Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN

HIPERTENSI

Dosen Pembimbing :
Ns. Masmun zuryati.,M.Kep

Disusun Oleh :
Nadila Ridha Munada 2019720138
Nurhikmah 2019720143
Putri Widia Sari 2019720147
Rini Rismawati 2019720151
Syafa Anissa Lesmana 2019720157
Siti Nursyarija 2019720071
Tri Yudha Noor Mujiono Putro 2019720054
Viola Rachmawati 2019720066
Vadela auliatsani 2019720035
Yatasya Eliza 2019720079

Kelas : 7 C

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

I
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang mana berkat, rahmat,
taufik serta hidayah-nyalah sampai akhirnya asuhan keperawatan kritis pada
pasien hipertensi ini dapat disusun dan di selesaikan.
Sholawat serta salam tak lupa kami panjatkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw yang telah membawa kita dari jaman kegelapan menuju jaman
yang terang benderang.
Pada susunan asuhan keperawatan kritis pada pasien hipertensi ini
dapat terselesaikan tak jauh dari berbagai pihakyang telah memberi dukungan
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis. Disadari bahwa
asuhan keperawatan keluarga ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik
dan saran dari pembaca sekalian kami harapkan.
Semoga laporan asuhan keperawatan kritis pada pasien hipertensi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dan penulis khususnya, Amin.

Jakarta, 26 September 2022

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................II
DAFTAR ISI.....................................................................................................................III
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN TEORI...........................................................................................................3
2.1 KONSEP PENYAKIT.....................................................................................3
2.1.1 Definisi.......................................................................................................3
2.2 Anatomi Fisiologi..............................................................................................4
2.3 Klasifikasi.........................................................................................................6
2.4 Etiologi..............................................................................................................7
2.6 Pathway...........................................................................................................10
2.7 PRESENTASI KLINIS..................................................................................10
2.7.1 Anamnesa................................................................................................10
2.7.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................................11
2.7.3 Pemeriksaan penunjang.........................................................................12
2.8 Manajemen dan Terapi..................................................................................13
2.9 Komplikasi......................................................................................................16
2.10 Penatalaksanaan.............................................................................................17
2.11 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Hipertensi..................................21
BAB III............................................................................................................................29
PENUTUP.......................................................................................................................29

III
1.1 Kesimpulan.....................................................................................................29
1.2 Saran...............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................30

IV
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini penyakit hipertensi merupakan penyebab kematian nomor satu
di dunia. Berdasarkan dari data WHO (2015), hampir satu miliyar penduduk
diseluruh dunia memiliki tekanan darah tinggi diatas normal. Diperkirakan di
tahun 2020 sekitar 1,56 miliar orang dewasa akan hidup dengan hipertensi.
Angka penyakit hipertensi di negara maju seperti Amerika Serikat sebanyak
36% terjadi pada orang dewasa menderita hipertensi, kawasan Afrika
memegang posisi puncak penderita hipertensi sebanyak 46% (Wade, 2016).
Penyakit yang serius ini didefinisikan sebagai suatu peningkatan
tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmhg atau tekanan distolic sedikitnya
90 mmHg. Penyebabnya hipertensi ini dibagi menjadi dua golongan yaitu
primer dan sekunder. Hipertensi primer disebabkan berbagai faktor seperti
genetik, lingkungan, obesitas, dan lain-lain. Berbeda dengan hipertensi primer,
hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu kelainan spesifik pada salah satu
organ atau sistem tubuh (Noviyanti, 2015).
Penyakit yang juga sering disebut dengan silent killer ini telah
membunuh 1.5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga
orang di asia menderita tekanan darah tinggi. Selanjutnya dari data kemenkes
RI pada tahun 2010 kejadian hipertensi cukup tinggi, dengan proporsi kasus
42,38% pada pria dan 57,62% pada wanita (Kemenkes RI, 2012).
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), gejala-gejala penyakit hipetensi
yang biasa terjadi pada seseorang yaitu: sakit kepala, gelisah, jantung
berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga
berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari.
Sementara itu komplikasi hipertensi yang pernah di jumpai pada penderita
hipertensi meliputi gangguan penglihatan saraf, jantung, fungsi ginjal, dan
gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan dampak kejang dan pendarahan

1
pembuluh darah otak yang menimbulkan kelumpuhan dan ganggguan
kesadaran hingga koma.
Pada pasien krisis hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah yang
mencolok tinggi, umumnya tekanan darah sistolik lebih dari 220 mmHg dan
atau tekanan darah diastolik lebih dari 120-130 mmHg, dan peningkatannya
terjadi dalam waktu yang relatif pendek. Selain itu, dalam penatalaksanaan,
yang lebih penting daripada tingginya tekanan darah adalah adanya tanda
kerusakan akut organ target.Dengan pemakaian obat antihipertensi baru yang
bekerja jangka panjang dengan efek samping yang minimal, jumlah pasien
krisis hipertensi menjadi lebih sedikit, dengan angka prevalensi sekitar 1%
pada pasien hipertensi (Noviyanti, 2015)

1.2 Rumusan Masalah


- Apa yang dimaksud dengan Krisis Hipertensi ?
- Apa Etiologi dari Krisis Hipertensi ?
- Bagaimana klasifikasi dari Krisis Hipertensi ?
- Apa Tanda dan Gejala Krisis Hipertensi ?
- Bagaimana Pathway dari Krisis Hipertensi ?
- Apa Komplikasi Krisis Hipertensi ?
- Apa saja Pemeriksaan Penunjang Krisis Hipertensi ?
- Bagimana Penatalaksanaan dari Krisis Hipertensi ?
- Bagaimana Asuhan Keperawatan Krisis Hipertensi ?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui konsep dasar dari Krisis Hipertensi dan Asuhan
Keperawatan dari Krisis Hipertensi untuk diterapkan dan dijadikan bahan
belajar.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP PENYAKIT


2.1.1 Definisi
Hipertensi di definisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg
hipertensi di kategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95-104
mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114
mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih.
Pembagian ini berdasarkan peningkatan diastolik karena dianggap lebih
serius dan peningkatan sistoliknya.(Smith dalam Padila, 2013 : 356).
Hipertensi krisis didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
180/120 mmHg tergantung dari besar serta ada atau tidak adanya kerusakan
target organ. (Budi, 2015)
Secara praktisi, krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan
prioritas pengobatan, (Budi, 2015), sebagai berikut:
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan peningkatan tekanan
darah (> 180/120 mmHg). disertai dengan kerusakan berat dari target
organ. disertai dengan kerusakan berat dari target organ. Contoh dari
kerusakan target organ meliputi iskemia koroner, gangguan fungsi
serebral, cerebrovascular event, edema paru, dan gagal ginjal. Diperlukan
penurunan tekanan darah sampai level yang aman dalam waktu beberapa
menit sampai jam.
2. Hipertensi urgensi (mendesak) ditandai dengan peningkatan tekanan
darah yang tinggi tanpa disertai kerusakan target organ, Pada kondisi ini
diperlukan normalisasi tekanan darah secara bertahap dalam waktu 24-72
jam sampai beberapa hari dengan pemberian obat oral dengan tujuan
untuk menurunkan tekanan darah diastol sampai 100 mmHg.
Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi, (Budi,
2015), antara lain:

3
1. Hipertensi refrakter: respons pengobatan yang tidak memuaskan,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif pada penderita.
2. Hipertensi akselerasi: tekanan darah meningkat (diastolik) > 120 mml Ig
disertai dengan kejadian ocular hemorrhages, eksudat dan tanpa
papiledema (Kimmelstiel-Wilson retinopathy derajat III). Bila tidak
diobati maka bisa berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna: digunakan untuk menggambarkan suatu gejala yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai dengan kelainan
funduskopi KW III (Kimmelstiel-Wilson retinopathy derajat III) dengan
papildema, peningkatan tekanan intrakranial yang cepat, gagal ginjal akut.
Istilah hipertensi maligna yang sebelumnya dihubungkan dengan
ensefalopathy atau retinopathy sudah lama tidak dipakai dan telah diganti
berdasarkan National and International Blood Pressure Control
Guidelines.
4. Hipertensi ensefalopati: kenaikan tekanan darah tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang hebat, perubahan kesadaran dan kondisi ini bisa
reversibel jika tekanan darah diturunkan

2.2 Anatomi Fisiologi


Menurut Padila (2012) anatomi dan fisiologi dalam kasus hipertensi
adalah sebagai berikut :
a. Jantung

(Sumber Padila, 2012)

4
Jantung merupakan organ utama sistem kardiovaskuler, berotot dan
berongga, terletak di rongga thoraks bagian mediastinum, diantara 2 paru-
paru. Bentuk jantung seperti kerucut tumpul, pada bagian bawah di sebut
apeks, letaknya lebih ke kiri dari garis medial, bagian tepinya pada ruang
intercosta V kiri atau kira-kira 9 Cm dari kiri line medioclavicularis,
sedangkan bagian atasnya di sebut basis terletak agak ke kanan tepatnya pada
costa ke III, 1 cm dari tepi lateral sternum.
Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm, lebar 8-9 cm dan tebalnya 6
cm. Beratnya sekitar 200-425 gram, pada laki-laki sekitar 310 gram, pada
perempuan sekitar 225 gr.
a. Lapisan otot jantung
Ada 3 lapisan jantung yaitu lapisan bagian luar disebut apikardium,
Lapisan bagian tengah di sebut Miokardium, lapisan ini lebih tebal, tersusu
atas otot lurik dan mampu berkontraksi dengan kuat. Sedangkan lapisan
bagian dalam di sebut endokardium, lapisan ini terdiri dari jaringan
endotalia yang juga melapisi ruang jantung dan katup-katup jantung.
b. Selaput jantung
Jantung di lapisi oleh 2 membran untuk mencegfah terjadinya trauma dan
infeksi yaitu pericardium parietal dan pericardium visceral. Pericardium
parietal merupakan merman lapisan jantung paling luar dan tersusun dari
jaringan vibrosa. Membrane ini sangat efektif dalam melindungi jantung
dari infeksi. Sedangkan lapisan membrane pericardium visceral
merupakan lapisan pada bagian dalam yang melekat ke miokardium dan
melapisi beberapa sentimeter aorta dan arteri vulmonalis. Diantara kedua
lapisan tersebut terdapat 5-20 ml cairan pericardium yang berfungsi
sebagai pelumat untuk mencegah trauma.
c. Ruang jantung
Jantung terbagi atas 2 belahan yaitu belahan kanan dan belahan kiri, kedua
belahan tersebut dipisahkan oleh otot pemisah yang di sebut septum.
Setiap belahan terdiri dari 2 ruang yaitu ruang pengumpul yang di sebut
atrium dan ruang pemompa yang di sebut dengan ventriel. Dengan

5
demikian jantung memiliki empat ruangan yaitu atrium kanan, atrium kiri,
ventrikel kanan dan vetrikel kiri.
d. Katup jantung
Jantung memiliki 2 tipe katup yaitu katup atrioventrikuler dan katup
semilunar. Katup atrioventrukuler terletak di antara atrium dan ventrikel.
Katup ini terdiri atas katup trikuspidalis yang menghubungkan antara
atrium dan ventrikel kanan dan bikusvidalis atau mitral yang
menghubungkan antara antara atrium kiri dan ventrikel kiri.
e. System konduksi jantung
1) Sinoatril Node (SA Node), terletak antara vena cava superior dengan
atrium kanan.
2) Atrioventrikular Node (AV Node), terletak antara bagian bawah
atrium kanan dan ventrikel atau dekat septum atrium.
3) Bundle His merupakan pacemaker dengan impuls 40-60 x/m.
4) Serat Purkinje merupakan serat otot jantung dengan jaringan yang
menyebar pada otot endokadium bagian ventrikel.
f. Siklus jantung
Siklus jantung merupakan periode dimana jantung berkontraksi dan
relaksasi. Satu kali siklus jantung sama dengan satu periode systole (saat
ventrikel berkontraksi) dan satu periode diastole (saat ventrikel relaksasi).
Normalnya siklus jantung di mulai dengan depolarisasi spontan dari sel
pacemaker dari SA Node dan berakhir dengan keadaan relaksasi ventrikel.

2.3 Klasifikasi
Menurut Budi, 2015 krisis Hipertensi dibedakan menjadi 2 berdasar
tingkat kegawatannya.
1.) Hipertensi emergensi
- Tekanan darah diastolik> 120 mmHg disertai dengan
- 1/> kondisi akut.
- Ikemia akut atau stroke perdarahan
- Hipertensi ensefalopati Diseksi akut aorta
- Eklamsia Funduskopi KW III atau IV

6
- Insufisiensi ginjal akut
- Infark miokard akut
- Edema paru akut
- Kondisi kelebihan katekolamin:
- B blocker atau clonidine withdrawal -Cocaine, phencyclidine
hydrochloride
- Fekhromositoma
- Luka bakar Perdarahan
- Paska pembedahan
- Epistaksis berat
2.) Hipertensi urgensi
- Hipertensi berat dengan TD diastolik > 120 mmHg tetapi tanpa disertai
dengan kerusakan target organ - KW 1 atau II pada funduskopi
- Hipertensi post operasi
- Hipertensi tidak terkontrol

2.4 Etiologi
Peningkatan tekanan darah akut dan severe dapat terjadi sebagai komplikasi
dari hipertensi esensial maupun hipertensi sekunder atau dapat terjadi secara
idiopatik. Penyebab paling umum dari krisis hipertensi adalah hipertensi
kronis dengan eksaserbasi akut. Salah satu penyebab paling umum adalah
kurangnya kepatuhan penderita; meskipun secara umum sekitar 8% dari
hipertensi emergensi dan 25% hipertensi urgensi yang masuk ke ruang
emergensi tidak sadar bahwa dirinya menderita hipertensi. Penyebab lain
meliputi withdrawal syndrome terhadap terapi anti hipertensi; a blocker
perifer atau B blocker akan menyebabkan peningkatan aliran simpatis. Pada
penderita yang sebelumnya dengan normotensi, pemakaian obat seperti
kontrasepsi oral, kokain, phencyclidine, monoamine oxidase inhibitors
dengan tyramine atau agent lain seperti linezolid, obat anti inflamasi
nonsteroid, atau obat amfetamin. (Budi, 2015)
Penyebab sekunder dari hipertensi yang dapat menyebabkan terjadinya krisis
hipertensi meliputi penyakit parenkim ginjal, penyakit renovaskular, infark

7
ginjal, kehamilan (preeklamsia). kelainan endokrin dan sistem saraf pusat.
Penyakit sistemik yang melibatkan ginjal seperti systemic lupus
crythematosus, microangiopathic hemolityc anemia (TTP/ HUS), gangguan
endokrin seperti Cushing disease. aldosteronisme primer, atau
pheochromocytoma, dan hiperaktivitas otonom pada spinal cord/head injury.
cerebrovascular accident infarction/hemorrhages yang dapat menimbulkan
krisis. Beberapa jenis pembedahan pada penderita yang diketahui menderita
hipertensi sebelumnya dapat dihubungkan dengan terjadinya krisis hipertensi
postoperative, antara lain pada bedah jantung, major vascular surgery, bedah
kepala dan leher serta trauma. Hipertensi post operative didefinisikan sebagai
tekanan darah sistolik 190 mmHg dan tekanan darah diastolik≥ 100 mmHg
dengan pemeriksaan 2 kali berturut-turut yang telah dilaporkan terjadi pada
sekitar 4-35% penderita yang disebabkan karena peningkatan kadar
katekolamin yang tinggi dan peningkatan tahanan vascular. (Budi, 2015).

1.5 Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan
organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap
pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial
akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda
neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit
neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati
dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema.
Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul
lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri
akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan
atau hematuria bisa saja terjadi (Devicaesaria, 2014)
Gejala krisis Hipertensi ini bervariasi, mulai dari gejala ringan sampai berat
1. Gejala ringan :
 Mual, muntah
 Sakit Kepala

8
 Kaku pada tengkuk
 Nyeri Dada
 Sesak Napas
2. Gejala yang lebih berat
 Gangguan kesadaran sampai pingsan
 Kejang
 Nyeri dada hebat

9
2.6 Pathway
Gambar. Patofisiologi dari hipertensi emergensi

Dikutip dari: Kaplan, dkk. 2010; Joseph V, dkk. March, 2007 dalam Budi, 2015.

2.7 PRESENTASI KLINIS


Penegakan diagnosa yang adekuat adalah hal yang penting di dalam
menentukan kondisi klinis penderita yang disebabkan karena hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi. Diagnosa ditegakkan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (mis. Pemeriksaan
laboratorium, EKG, dan rontgen dada). Gejala yang ditimbulkan tergantung
dari organ yang terkena. (Budi, 2015)
2.7.1 Anamnesa

10
Anamnesa menurut Budi, 2015, yatu:
 Riwayat hipertensi: lama dan beratnya
 Obat anti hipertensi yang digunakan dan tingkat kepatuhannya
 Usia: sering pada usia 40-60 tahun
 Gejala sistem saraf sakit kepala, seizure, perubahan status
mental, ansietas, penurunan visual, koma.
 Gejala dari sistem ginjal: gross hematuri, jumlah urin
berkurang
 Gejala dari sistem kardiovaskular: nyeri dada (iskemia miokard
atau infark miokard), sesak (edema paru atau gagal jantung
kongestif),
 Riwayat penyakit sebelumnya: glomerulonefrosis, pyelonefritis
 Riwayat kehamilan: tanda preeklamsia/ cklamsia
Tanda dan gejala klinis paling sering dari hipertensi urgensi adalah
pusing (22%), epistaksis (17%), faintness (10%), psychomotor
agitation (10%). nyeri dada (9%), dan sesak (9%). Gejala lain yang
kurang sering nampak adalah aritmia dan parestesia. Sebaliknya,
terbanyak pada penderita hipertensi emergensi mengeluh adanya nyeri
dada (27%), sesak (22%), gangguan neurologi (34,5%). Dihubungkan
dengan kerusakan target organ meliputi infark serebral (24,5%), edema
paru akut (22,5%), hipertensi ensefalopati (16,3%), gagal jantung
kongestif (12,0%). Sedikit penderita yang mengeluh adanya
perdarahan intraserebral, diseksi aorta yang akut, infark miokard akut,
AKI (acute kidney injury), dan eklamsia. (Budi, 2015).
Terdapat tanda dan gejala yang dihubungkan dengan krisis hipertensi
atau manifestasi klinis yang berlangsung perlahan (silent). Silent HTN
crisis dijumpai terutama pada laki-laki muda berkulit hitam. (Budi,
2015).
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada awalnya, pemeriksaan fisik hendaknya difokuskan pada
pengukuran tekanan darah dengan tepat di kedua lengan atas dengan
manset untuk tekanan darah yang sesuai dan dilakukan dengan posisi

11
berbaring. duduk atau berdiri untuk menilai status volume. Nadi
seharusnya dipalpasi dan dibandingkan antara ekstremitas atas, bawah
dan femoralis. Arteri karotis dan arteri abdominalis seharusnya di
auskultasi untuk mendengarkan adanya bruit, dengan dugaan adanya.
kasus cerebrovascular. Pemeriksaan kardiovaskular secara
komprehensif sangat bernilai. Meningkatnya tekanan vena jugularis,
S3, gallop, dan/atau adanya rales di paru merupakan tanda terjadinya
gagal jantung. Adanya getaran yang prominen di apek atau adanya
murmur yang kasar di daerah intraskapula merupakan tanda adanya
koarktasio aorta.(Budi, 2015).
2.7.3 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Budi, 2015, yaitu:
1. Darah
Rutin, BUN, creatinin, elektrolit, gula darah. aldosteron, renin
2. Urine
Urinalisa dan kultur urine
3. EKG
12 lead, Pada EKG selalu menunjukkan gambaran hipertrofi
ventrikel kiri, strain, dan iskemia lateral.
4. Ekokardiografi
Pada ekhokardiografi menunjukkan incoordinate contractions
dengan gangguan fungsi diastolik dan pembukaan katup mutral
yang terlambat, diseksi aorta
5. Rontgen dada
Apakah tampak adanya edema paru
6. Funduskopi
Melihat adanya perdarahan dan eksudat (grade III retinopati),
dan/papiledema (grade IV retinopati)
7. Pemeriksaan ginjal
IVP, angiografi ginjal, biopsi renal
8. Pemeriksaan intraserebral
CT Scan, MRI

12
2.8 Manajemen dan Terapi
Melakukan suatu tindaka triase yang tepat untuk mendapatkan tujuan terap
baik jangka pendek maupun jangka panjang pad penderita dengan
peningkatan tekanan darah.

Tabel 1. Triase pada penderita Hipertensi.

Sumber. Christopher J. Hebert, dkk. 2008 dalam Budi, 2015.


Semua pasien hipertensi harus melakukan perubahan pola hidup, seperti
berolahraga teratur, menurunkan berat badan bagi yang kelebihan berat
badan, berhenti merokok, mengurangi asupan garam, dan lalin-lain. Pasien
hipertensi dengan risiko kardiovaskular tinggi harus diobati lebih agresif
dengan target tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka
yang memiliki risiko kardiovaskular rendah." Manajemen yang tepat terhadap
hipertensi berat sangat penting untuk mencegah kerusakan dari target organ di
otak, jantung, ginjal, dan sistem pembuluh darah. Tujuan terapi seharusnya
mampu menurunkan tekanan darah berdasarkan presentasi klinis. Obat
antihipertensi perlu dimulai berdasarkan pada 2 kriteria: 1) tingkatan tekanan
darah sistolik dan diastolik, dan 2) tingkatan risiko kardiovaskular.
JNC 7 (2003) dalam Budi, 2015 merekomendasikan pilihan jenis obat
antihipertensi berdasarkan ada tidaknya penyakit komorbid (compelling
indication for Individual Drug Classes).

13
Hipertensi urgensi dapat diterapi dengan menggunakan regimen obat oral dan
kontrol tekanan darah secara bertahap lebih dari 12 jam sampai 24 atau 72
jam: pada penderita seharusnya dilakukan penurunan tekanan darah secara
cepat untuk mencapai tekanan darah yang normal. (Budi, 2015).
Hipertensi emergensi diharapkan segera opname di ruang perawatan intensif
untuk mengontrol tekanan darah secara tepat dengan obat anti hipertensi
parenteral, titrasi ketika dilakukan monitoring secara berkala terhadap
tekanan darah, status neurologi, dan produksi urin. Tekanan darah seharusnya
diturunkan dalam waktu beberapa menit sampai jam, dan tidak diturunkan
segera ke tingkat yang normal. Tujuan untuk memperbaiki tekanan darah
sampai < 20-25% pada jam pertama dan kemudian jika stabil sampai
160/100-160/110 mmHg dalam waktu 2-6 jam kemudian. Pilihan lain adalah
menurunkan tekanan darah diastolik (DBP) 10-15% atau sampai sekitar 110
mmHg dalam waktu 30-60 menit dengan tujuan penurunan ke kondisi
normal dalam waktu 24-48 jam. Penurunan tekanan darah yang agresif akan
membuat lebih buruk untuk terjadinya hipoperfusi dan kerusakan target organ
yang lebih berat. Terapi spesifik adalah untuk mencegah kerusakan target.
(Budi, 2015).

14
Tabel 2. Obat yang dipakai pada terapi hipertensi urgensi.

Sumber. Elisenda Gomez A, dkk. 2010 dalam Budi, 2015.


Tabel 3. Obat untuk terapi hipertensi emergensi.

Sumber. Budi, 2015.

15
Tabel 4. Obat parenteral yang dipakai pada pengobatan hipertensi
krisis.

Sumber. Maria AR, dkk. March/April 2010; Seedat YK, dkk. 2012
dalam Budi, 2015.
Tabel 3.
2.9 Komplikasi
a. Iskemia atau Infark Miokard
Iskemia atau infark miokard merupakan komplikasi yang sering terjadi
pada hipertensi berat. Tekanan darah harus diturunkan sampai rasa nyeri
dada berkurang atau sampai tekanan diastolik mencapai 100 mmHg. Obat
pilihan adalah nitrat yang diberikan secara intravena yang dapat
menurunkan resistensi sistemik perifer dan memperbaiki perfusi koroner.
Obat lain yang dapat dipakai adalah labetalol.
b. Gagal Jantung Kongestif
Peningkatan resistensi vaskular sistemik yang mencolok dapat
menimbulkan gagal jantung kiri. Natrium nitroprusid yang diberikan
bersama-sama dengan oksigen, morfin, dan diuretik merupakan obat
pilihan karena dapat menurunkan preload dan afterload. Nitrogliserin yang

16
juga dapat menurunkan preload dan afterload merupakan obat pilihan yang
lain.
c. Diseksi Aorta Akut
Diseksi aorta harus dipikirkan pada pasien dengan peninggian tekanan
darah yang mencolok yang disertai dengan nyeri di dada, punggung, dan
perut. Untuk menghentikan perluasan diseksi tekanan darah harus segera
diturunkan. Tekanan darah diastolik harus segera diturunkan sampai 100
mmHg, atau lebih rendah asal tidak menimbulkan hipoperfusi organ
target. Obat pilihan adalah vasodilator seperti nitroprusid yang diberikan
bersama penghambat reseptor b. Labetalol adalah obat pilihan yang lain.
d. Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal akut dapat sebagai penyebab atau akibat peninggian
tekanan darah yang mencolok. Pada pasien cangkok ginjal peninggian
tekanan darah dapat disebabkan stenosis arteri pada ginjal cangkok,
siklosporin, kortikosteroid, dan sekresi renin yang tinggi oleh ginjal asli.
Penatalaksanaan adalah dengan cara menurunkan resistensi vaskular
sistemik tanpa mengganggu aliran darah ginjal. Antagonis kalsium seperti
nikardipin dapat dipakai pada keadaan ini
e. Krisis Katekolamin
Krisis katekolamin terjadi pada feokromositoma dan kelebihan dosis
kokain. Pada intoksikasi obat tersebut biasanya disertai kejang, strok, dan
infark miokard. Fentolamin adalah obat pilihan klasik pada krisis
katekolamin, meski labetalol juga terbukti efektif

2.10Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan
klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan
memerlukan pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk
menghindari keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru.
Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat
bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan

17
tekanan darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya,
mempunyai efek yang tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping
minimal.
Menurut Devicaesaria (2014) terdapat beberapa penatalaksanaan yang
dapat dilakukan kepada pasien krisis hipertensi yaitu :
1. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan adalah menurunkan resistensi vaskular sistemik
Pada kegawatan hipertensi tekanan darah arteri rata-rata diturunkan secara
cepat, sekitar 25% dibandingkan dengan tekanan darah sebelumnya, dalam
beberapa menit atau jam. Penurunan tekanan darah selanjutnya dilakukan
secara lebih perlahan. Sebaiknya penurunan tekanan darah secara cepat
tersebut dicapai dalam 1- 4 jam, dilanjutkan dengan penurunan tekanan
darah dalam 24 jam berikutnya secara lebih perlahan sehingga tercapai
tekanan darah diastolik sekitar 100 mmHg.
Seperti sudah disebutkan di atas, pada kegawatan hipertensi
diberikan obat antihipertensi parenteral yang memerlukan titrasi secara
hati-hati sesuai dengan respons klinik. Setelah penurunan tekanan darah
secara cepat tercapai dengan pemberian obat antihipertensi parenteral,
dimulai pemberian obat antihipertensi oral.
Jika tekanan darah makin menurun dengan penambahan obat
antihipertensi oral tersebut, dilakukan titrasi penurunan dosis obat
antihipertensi parenteral sampai dihentikan. Pengukuran tekanan darah
yang berkesinambungan dapat dilakukan dengan menggunakan alat
monitor tekanan darah osilometrik otomatik.
Sebaiknya tekanan darah tidak diturunkan sampai normal atau
hipotensi, kecuali pada diseksi aorta, karena akan mengakibatkan
terjadinya hipoperfusi organ target. Penurunan tekanan darah sampai
normal dapat dilaksanakan pada saat pasien berobat jalan.
Obat parenteral yang digunakan untuk terapi krisis hipertensi adalah :
 Natrium Nitropusida
 Nikardipin hidroklorida
 Nitrogliserin

18
 Enaraplirat
 Hidralazin Hidroklorida
 Diazoksid
 Labatalol Hidroklorida
 Fentolamin
Obat pilihan pada kedaruratan hipertensi adalah yang memiliki efek
samping segera. Nitroprusid dan labetalol hidroklorida intravena memiliki
efek vasodilatasi segera dengan waktu kerja yang pendek, sehingga banyak
digunakan pada awal klinis.
Efek pada kebanyakan obat antihipertensi diperkuat oleh deuretik.
Pemantauan tekanan darah yang sangat ketat dan status kardiovaskuler
pasien penting dilakukan selama penanganan dengan obat ini.
Penurunan tekanan darah secara mendadak dapat terjadi dan
memerlukan tindakan segera untuk mengembalikan tekanan darah ke batas
normal.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Bila diagnosa krisis hipertensi telah ditegakkan maka TD perlu
segera diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di
ICU, pasang femoral intra arterial line dan pulmonari arterial catether (bila
ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status
volume intravaskuler. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. Tentukan
penyebab krisis hipertensi, singkirkan penyakit lain yang menyerupai
krisis hipertensi, tentukan adanya kerusakan organ sasaran. Tentukan TD
yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya
kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan
usia pasien.
Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik
tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg
selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal :
disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP
ataupun TD yang didapat.

19
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal
pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung
dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan,
kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta. TD
secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
3. Diet sehat penderita krisis hipertensi
Pengaturan menu bagi penderita hipertensi selama ini dilakukan
dengan empat cara, yakni diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan
lemak terbatas, diet rendah serat,dan diet rendah energi (bagi yang
kegemukan).
Cara diet tersebut bertambah satu dengan hadirnya DASH (Dietary
Approach to Stop Hipertension) yang merupakan strategi pengaturan menu
yang lengkap. Prinsip utama dari diet DASH adalah menyajikan menu
makanan dengan gizi seimbang terdiri atas buah-buahan, sayuran, produk-
produk susu tanpa atau sedikit lemak, ikan, daging unggas, biji-bijian, dan
kacang-kacangan. Porsi makanan tergantung pada jumlah kalori yang
dianjurkan untuk dikonsumsi setiap harinya. Jumlah kalori tergantung
pada usia dan aktifitas. Menu yang dianjurkan dalam diet DASH untuk
yang berat badannya normal mengandung 2.000 kalori yang dibagi dalam
tiga kali waktu makan (pagi, siang, malam).

BAHAN
PORSI SEHARI UKURAN PORSI
MAKANAN
Karbohidrat 3 – 5 piring Kecil
Lauk hewani 1 – 2 potong Sedang
Lauk nabati 2 – 3 potong Sedang
Sayuran 4 – 5 mangkuk
Buah – buahan 4 – 5 buah/potong Sedang
Susu / yoghurt 2 – 3 gelas

Diet tinggi buah-buahan, sayuran, dan produk susu tanpa lemak


atau rendah lemak secara bersama-sama dan total dapat menurunkan

20
tekanan sistolik rata-rata 6 – 11 mmHg. Buah yang paling sering
dianjurkan dikonsumsi untuk mengatasi hipertensi adalah pisang.
Sementara dari golongan sayuran adalah sayuran hijau, seledri, dan
bawang putih. Sedangkan makanan yang dilarang dikonsumsi lagi oleh
penderita hipertensi adalah daging kambing dan durian.
4. Terapi
Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolic
kurang lebih 110 mmHg atau berkurangnya sampai tekanan darah diastolic
kurang lebih 110 mmHg atau berkurangnya mean arterial blood pressure
mean arterial blood pressure25 %( pada strok penurunan hanya boleh 20
% dan khusus pada strok iskemik, tekanan darah baru diturunkan secara
bertahap bila sangat tinggi> 220 / 330 mmHg ) dalam waktu 2 jam.
Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat
dilanjutkan dalam 12 – 16 jam selanjutnya sampai mendekati normal.
Penurunan tekanan darah hipertensi urgency dilakukan secara bertahap
dalam dilakukan secara bertahap dalam waktu 24 jam.

2.11 Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Hipertensi

1. Pengkajian
a. Identitas
1) Pasien, meliputi : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat,
Pendidikan, Agama, Bangsa.
2) Penanggung Jawab : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat,
Pendidikan, Agama, Bangsa dan hubungan dengan pasien.
b. Pengkajian Primer
1) Airway
Kaji :
a) Bersihan jalan nafas
b) Adanya/ tidaknya jalan nafas
c) Distres pernafasan

21
d) Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema
laring
2) Breathing
Kaji :
a) Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
b) Suara nafas melalui hidung atau mulut
c) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) Circulation
Kaji :
a) Denyut nadi karotis
b) Tekanan darah
c) Warna kulit, kelembapan kulit
d) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability
Kaji :
a) Tingkat kesadaran
b) Gerakan ekstremitas
c) GCS ( Glasgow Coma Scale )
d) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
5) Eksposure
Kaji :
a. Tanda-tanda trauma yang ada. ( Muslicha : 45-46 )
b. Dasar Data Pengkajian
1) Aktivitas/istirahat
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
Takipnea
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung
koroner, penyakit serebrovaskuler
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan
warna kulit, suhu dingin

22
3) Integritas Ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi,
euphoria, faktor stress multipel
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue
perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang,
pernapasan menghela, peningkatan pola bicara
4) Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
5) Makanan/Cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan
tinggi garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema
6) Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit
kepala, berdenyut, gangguan penglihatan, episode
epistaksis
Tanda : perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman,
perubahan retinal optic
7) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala
oksipital berat, nyeri abdomen
8) Pernapasan
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea,
ortopnea, dispnea nocturnal proksimal, batuk dengan
atau tanpa sputum, riwayat merokok
Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan,
bunyi napas tambahan, sianosis
9) Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesia unilateral transien, hipotensi postura
10) Pembelajaran/Penyuluhan

23
Gejala : factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis,
penyakit jantung, DM , penyakit ginjal Faktor resiko
etnik, penggunaan pil KB atau hormone.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan O2 otak menurun
b. Perubahan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru
c. Penurunan COP berhubungan dengan Penurunan O2 miokrdium
d. Resiko injury berhubungan dengan diplopia
e. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kelemahan anggota
gerak
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik

3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan O2 otak menurun
Tujuan : gangguan perfusi jaringan dapat diatasi
Kriteria hasil :
1) Fungsi sensori dan motorik membaik
2) Mampu mempertahankan tingkat
Intervensi :
1) Pantau TTV tiap jam dan catat hasilnya
R : Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan
TIK. Napas tidak teratur menunjukkan adanya peningkatan TIK
2) Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
R : Mampu mengetahui tingkat respon motorik pasien.
3) Pantau status neurologis secara teratur
R : Mencegah/menurunkan atelektasis
4) Dorong latihan kaki aktif/ pasif
R : Menurunkan statis vena
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran haluaran urin
R : Penurunan atau pemasukan mual terus menerus dapat
menyebabkan penurunan volume sirkulasi

24
6) Beri obat sesuai indikasi, misal : Caumadin
R : Menurunkan resiko trombofeblitis

b. Perubahan pola napas berhubungan dengan Penurunan ekspansi paru


Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola napas
Kriteria hasil : Memperhatikan pola napas normal/efektif, bebas
sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien
Intervensi :
1) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan
adanya suara-suara tambahan yg tidak normal
R : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru
2) Pantau frekuensi,irama,kedalaman pernapasan, catat
ketidakteraturan pernapasan
R : Perubahan dapat menunjukan komplikasi
pulmonal/menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak.
3) Berikan oksigen sesuai indikasi
R : Mencegah hipoksia, jika pusat pernapasan tertekan.
4) Anjurkan pasien untuk latihan napas dalam yang efektif jika
pasien sadar
R : Mencegah/menurunkan atelektasis
5) Kaji TTV tiap hari
R : Mengetahui perubahan status kesehatan
c. Penurunan COP berhubungan dengan Penurunan O2 miokrdium
Tujuan : Menurunkan beban kerja jantung
Kriteria hasil :
1) Berpartisipasi dalam menurunkan TD
2) Mempertahankan TD dalam rentan yang dapat diterima
Intervensi :
1) Pantau TTV tiap jam dan catat hasilnya
R : Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan
TIK. Napas tidak teratur menunjukkan adanya peningkatan TIK

25
2) Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
R : Mampu mengetahui tingkat respon motorik pasien.
3) Catat keberadaan denyutan sentral dan perifer
R : Denyutan karotis, jugularis, radialis, femoralis mungkin
menurun mencerminkan efek vasokontriksi.
4) Auskultasi tonus jantung
R : S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat
5) Amati warna kulit, kelembapan suhu dan masa pengisian kapiler
R : Adanya pucat, dingin, kulit lembap dan masa pengisian
kapiler lambat mungkin berkaitan dengan vasokontriksi atau
mencerminkan dekompensasi atau penurunan COP
6) Berikan obat-obat sesuai indikasi, misal : deuretik tiyazid
R : Tiyazid mungkin digunakan sendiri atau dicampur dengan
obat lain untuk menurunkan tekanan darah.

d. Resiko injury berhubungan dengan diplopia


Tujuan : Resiko injuri berkurang
Kriteria hasil : Pasien merasa tenang dan tidak takut jatuh
Intervensi :
1) Atur posisi pasien agar aman.
R : Menurunkan resiko injuri
2) Pertahankan tirah baring secara ketat
R : Pasien mungkin merasa tidak dapat beristirahat atau perlu
untuk bergerak
3) Atur kepala taruh diatas daerah yang empuk ( lunak )
R : Menurunkan resiko trauma secara fisik

e. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kelemahan anggota


gerak
Tujuan : Mempertahankan posisi fungsi optimal
Kriteria hasil : Dapat melakukan aktifitas mandiri
Intervensi :

26
1) Kaji derajat emobilitas pasien dengan menggunakan skala
ketergantungan
R : Pasien mampu mandiri ataukah masih membutuhkan orang
lain untuk aktivitas
2) Pertahankan kesejajaran tubuh
R : Untuk membantu mencegah footdrop
3) Bantu pasien dengan program latihan menggunakan alat
mobilisasi
R : Proses penyembuhan yang lambat sering menvertai trauma
4) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional
R : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional

f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
Kriteria hasil : Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas
yang dapat diukur
Intervensi :
1) Kaji respon pasien terhadap aktifitas, parhatikan frekuensi nadi,
dispnea atau nyeri dada, keletihan dan kelemahan yang
berlebihan, diaforesis, pusing atau pingsan
R : Menyebutkan parameter membantu dlam mengkaji respons
fisiologi terhadap stres aktifitas dan bila ada merupakan
indikator dari kelebihan kerja yang berkaitan dengan tingkat
aktifitas
2) Instruksikan pasien tentang tehnik penghematan energi
R : Tehnik menghemat energi mengurangi penggunaan energi
juga membantu keseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
3) Berikan dorongan untuk melakukan aktifitas/perawatan diri
bertahap jika dapat ditoleransi, berikan bantuan sesuai kebutuhan.
R : Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan kerja
jantung tiba tiba.

27
Memberikan bentuan hanya sebatas kebutuhan akan mendorong
kemandirian dalam melakukan aktifitas. ( Doengoes, Marlynn E.
2002. )

28
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis di mana tekanan darah
menjadi sangat tinggi dengan kemungkinan adanya kerusakan organ seperti
otak (stroke), ginjal, dan jantung. Krisis hipertensi sangat sering terjadi pada
pasien hipertensi lama yang tidak rutin atau lalai meminum obat anti
hipertensi nya.
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular,
berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor
penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami.
Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai
peningkatan resistensi vaskular.
Krisis Hipertensi dibagi menjadi dua yaitu Hipertensi Emergency dan
Hipertensi Urgency. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah : Rawat di
ICU, pasang femoral intra arterial line dan pulmonari arterial catether (bila
ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. Tentukan penyebab
krisis hipertensi, singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi,
tentukan adanya kerusakan organ sasaran.

1.2 Saran
Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat
bagi pembaca makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembaca
terutama perawat dalam membuat asuhan keperawatan.

29
DAFTAR PUSTAKA
Budi. (2015). Hipertensi Manajemen Komprehensif. Surabaya: Airlangga
University Press.

Kapita selekta kedokteran,editor Mansjoer Arif edisi 3 jakarta: 2015

30

Anda mungkin juga menyukai