Anda di halaman 1dari 111

IMPLEMENTASI PENETAPAN BIAYA PENDAFTARAN

TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL) PADA


TINGKAT KOTA/KABUPATEN

TESIS

Oleh :
Nama : ARDO YOGA PRADANA, SH
NIM : 21301800125
Program Studi : Magister Kenotariatan

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN (M.Kn)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2021
IMPLEMENTASI PENETAPAN BIAYA PENDAFTARAN
TANAH SISTEMATIS LENGKAP (PTSL) PADA
TINGKAT KOTA/KABUPATEN

TESIS
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
guna mencapai derajat S2 dalam Kenoktariatan

Oleh :
Nama : ARDO YOGA PRADANA, SH
NIM : 21301800125
Program Studi : Magister Kenotariatan

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN (M.Kn)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2021

ii
iii
iv
v
vi
Motto

Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kamu berusaha

menangkapnya, ia akan lari. Tapi kalau kamu

membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu.

vii
ABSTRAK

Pemerintah menetapkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap


(PTSL) dengan tujuan pendaftaran tanah yang dapat menjangkau seluruh
Indonesia. Taget bahwa seluruh tanah di Indonesia memiliki sertifikat pada tahun
2025 sebagai bentuk percepatan dalam mewujudkan penerbitan sertifikat tanah.
Sebelumnya, masyarakat belum mendaftarkan tanahnya karena biaya pendaftaran
tanah yang tinggi. Pemerintah menetapkan peraturan terkait dengan biaya
pendaftaran tanah secara gratis, namun dalam proses permohonan dan
pelaksanaan PTSL pasti ada biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat
sebagai pemohon. Pemerintah pusat telah menetapkan biaya-biaya standar yang
bisa dibebankan kepada masyarakat. Hal ini akan ditindak lanjuti oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota untuk menentukan standar biaya yang akan dibebankan
kepada pemohon. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan penetapan
biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tingkat pemerintah
pusat dan impelementasi penetapan biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL) pada tingkat pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Metode penelitian
dalam tesis ini menggunakan metode yuridis normatif serta spesifikasi penelitian
secara deskriptif analisis dengan jenis data berdasarkan pada data primer dan
sekunder. Berdasarkan hasil observasi dan kajian peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan objek penelitian menunjukkan bahwa kebijakan penetapan
biaya PTSL telah diatur oleh pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Bersama
3 Menteri yang mana biaya PTSL dikategorikan sesuai dengan wilayah.
Pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan terkait penetapan biaya PTSL
implementasinya harus tetap mengacu pada kebijakan pusat agar tetap terjadi
sinkronisasi kebijakan. Daerah yang menetapkan biaya sesuai dengan aturan SKB
maka dapat langsung melakukan sosialisasi pelaksanaan PTSL. Sedangkan daerah
yang menetapkan biaya PTSL sendiri, melalui mekanisme pembuatan kebijakan
dan penetapannya harus diatur secara tertulis melalui peraturan daerah/desa. Saran
dari hasil penelitian ini Pelaksanaan PTSL perlu disosialisasikan lebih masif,
pemerintah harus memastikan tidak terjadi pungutan liar, dan apabila ada biaya
yang melebihi ketentuan maka dibuatkan penetapan secara tertulis dan
disosialisasikan kepada masyarakat.

Kata Kunci: Implementasi, Biaya, Pendaftaran Tanah

viii
ABSTRACT

The government sets the program Complete Systematic Land Registration


(PTSL) with the aim of land registration that can reach all of Indonesia. Target
that all land in Indonesia have a certificate in 2025 as a form of acceleration in
realizing the issuance of land certificates. Previously, the community had not
registered their land because of the high cost of land registration. The government
stipulates regulations related to free land registration fees, however in the process
of applying and implementing PTSL, there must be costs that must be paid by the
community as an applicant. The central government has set standard fees that can
be charged to the community. This will be followed up by the district/city
government to determine the standard fees that will be charged to the applicant.
This study aims to examine the policy for setting a Complete Systematic Land
Registration (PTSL) fee at the central government level and the implementation of
a Complete Systematic Land Registration (PTSL) fee determination at the
Regency/City level. The research method in this thesis uses normative juridical
methods as well as research specifications in descriptive analysis with the type of
data based on primary and secondary data. Based on the results of observations
and studies of laws and regulations relating to the object of research, it shows
that the PTSL costing policy has been regulated by the central government
through a Joint Decree of 3 Ministers in which PTSL costs are categorized
according to the region. Local governments in determining policies related to
PTSL costing, their implementation must still refer to central policies so that
policy synchronization continues. Regions that set costs in accordance with the
SKB rules can immediately socialize the implementation of PTSL. Meanwhile,
regions that determine the costs of PTSL themselves, through a policy-making
mechanism and their determination must be regulated in writing through
regional/village regulations. Suggestions from the results of this study The
implementation of PTSL needs to be socialized more massively, the government
must ensure that there are no illegal fees, and if there are costs that exceed the
provisions, a written determination is made and socialized to the public.

Keywords: Implementation, Cost, Land Registration

ix
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Implementasi

Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Pada

Tingkat Kota/Kabupaten”

Bahwa penulisan tesis ini di maksudkan sebagai salah satu persyaratan

untuk menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana Program Studi Magister

Kenotariatan di Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah

membantu penulisan tesis ini serta semua pihak Akademis Universitas Sultan

Agung Semarang :

1. Bapak Ir. H. Prabowo Setiyawan, MT., Ph.D selaku Rektor Universitas

Islam Sultan Agung Semarang.

2. Bapak Prof. Dr. H. Gunarto, SH, SE,Akt, M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

3. Bapak Dr. Maryanto, S.H., M. Hum selaku Ketua Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

4. Bapak Dr. H. Achmad Sulchan, S.H., M.H selaku pembimbing I (pertama)

yang telah menuntun serta mengarahkan penulis dalam menyelesaikan

penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Islam Sultan Agung Semarang yang telah mengajar penulis.

x
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Islam Sultan Agung Semarang yang telah mengajar penulis.

7. Semua staff Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Islam Sultan

Agung Semarang.

8. Kedua Orang Tua tercinta yang telah memberikan bantuan baik moril dan

spiritual kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya penulisan tesis ini.

9. Teman Hidupku dan sahabat-sahabatku tersayang yang selalu mendukung

dan menemaniku.

10. Teman-teman Angkatan XIII (tiga belas) terima kasih atas kebersamaannya

dalam suka maupun duka.

Semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat positif bagi pengembangan

ilmu pengetahuan, kritik serta saran yang bermanfaat kami harapkan demi

perbaikan penulisan tesis ini,

Semarang, Oktober 2021

ARDO YOGA PRADANA, SH

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ......................................................................v
PERNYATAAN PUBLIKASI ILMIAH ................................................................ vi
MOTTO DAN HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................1
B. Perumusan Dan Pembatasan Masalah .......................................................7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................8
D. Manfaat Peneitian ......................................................................................8
E. Kerangka Konseptual .................................................................................9
F. Kerangka Teori ........................................................................................12
G. Metode Penelitian ....................................................................................17
H. Sistematika Penulisan ..............................................................................23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pemerintah Daerah ........................................25
1. Sejarah Singkat Pemerintahan Daerah ..............................................25
2. Kewenangan Kepala Daerah .............................................................26
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Tanah Nasional ..................................28
1. Pengertian Tanah dan Hukum Tanah ................................................28
2. Sistem Hak Atas Tanah Nasional .....................................................32
C. Tinjauan Tentang Pendaftaran Tanah .....................................................35
D. Asas-Asas dalam Pendaftaran Tanah .......................................................40
E. Akta Tanah ...............................................................................................42

xii
F. Model-Model Implementasi Kebijakan ...................................................44
G. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap ...................................................45
1. Sejarah Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap ...............................46
2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.....................50
3. Syarat Pendaftaran Tanah .................................................................51
H. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap ..............................53
I. Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sisteamtis Lengkap .......................54
J. Asas-Asas Pendaftaran Tanah..................................................................56
K. Persepektif Hukum Islam Tentang Tanah................................................48
L. Kerangka Berpikir ....................................................................................50
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sistetmatis Lengkap pada
Pemerintah Pusat ........................................................................................ 61
B. Implementasi Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sistetmatis Lengkap
pada Tingkat Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota .................................... 74
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................89
B. Saran ........................................................................................................89

DAFTAR PUSTAKA

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah sebagai sumber daya yang penting dan melekat dalam kegiatan

hidup manusia. Tanah memiliki peranan strategis dari seg ekonomi, sosial,

politik maupun budaya.1 Negara mengatur tentang perihal tanah karena

pentingnya tanah bagi seluruh manusia sehingga diatur dalam pasal 33 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang

berbunya:”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”.

Nilai dari tanah semakin hari semakin meningkat seiring dengan

pertambahan jumlah penduduk. Hak atas kepemilikan atas tanah di Indonesia

telah diatur oleh negara untuk menghindari sengketa atas tanah. pengelolaan

tanah yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur terdiri dari

pembangunan untuk kepentingn umum dan kepentingan pribadi, hal ini sesuai

dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012. Tanah yang

digunakan sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur untuk kepentingan

umum yang juga mendukung pertahanan dan keamanan nasional.

Pembangunan-pembangunan ini meliputi jalan tol, jalan umum, jalur kereta

api, pelabuhan, bandara, prasarana pendidikan, dan segala fasilitas umum.

Sedangkan untuk kepentingan pribadi seperti rumah dan perumahan.

1
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Komprehensif, Jakarta: Prenadamedia Group, h.09

1
Pengelolaan atas tanah tersebut di Indonesia dilakukan oleh Badan

Pertanahan Nasional.

Kepemilikan atas tanah harus didaftarkan pada Badan Pertanahan

Nasional. Kepemilikan atas tanah harus didaftaran untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah tersebut. 2 Hal ini

diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang

menjelaskan bahwa pendaftaran atas tanah dilakukan untuk memberikan

jaminan akan kepastian hukum atas tanah oleh pemerintah sesuai dengan

ketentuan peraturan pemerintah. Hal ini harus dilakukan karena kebutuhan

akan tanah semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk

yang pesat. Ketidakseimbangan antara persediaan tanah dengan kebutuhan

tanah jika tidak diimbangi dengan adanya kepastian hukum akan

menimbulkan banyaknya permasalahan sengketa atas tanah.

Pendaftaran tanah dilakukan secara berkesinambungan, terus menerus

dan teratur. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukaan penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis berupa peta dan daftar. Yang mana kegiatan ini termasuk pemberian

sertifikat sebagai bukti kepemilikan bidang-bidang tanah yang hak milik atas

bidang tanah maupun satuan rumah. Sertifikat tanah ini merupakan bentuk

jaminan dan kepastian hukum. Kepastian hukum yang diwujudkan dalam

pendaftara ini meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek

2
Sutedi, A. 2011. Sertifikat hak atas tanah, Sinar Grafika, Jakarta. h. 27.

2
hak, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertifikat

sebagai tanda bukti haknya.3

Pelaksanaan tanah terdaftar di seluruh Indonesia mengalami berbagai

kendala baik dari pemerintah maupun dari kesediaan masyarakat untuk

mendaftarkan tanahnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardani (2019)

menemukan kendala terbesar yang dihadapi pemerintah adalah rendahnya

keikutsertaan masyarakat yang ditunjukkan dengan kurangnya respon

masyarakat ketika petugas kantor pertanahan melakukan sosialisasi pada

lokasi PTSL, tidak berada di lokasi ketika akan dilakukan pengukuran

tanahnya, selain itu masyarakat juga sudah terstigma bahwa biaya

pendaftaran tanah cukup tinggi.4

Pendaftaran tanah yang dapat menjangkau seluruh Indonesia

diwujudkan pemerintah dengan meluncurkan program Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap (PTSL). Pemerintah menetapkan target pada tahun 2025

seluruh tanah di Indonesia telah memilki sertifikat, target ini merupakan

percepatan dalam penerbitan sertifikat tanah dengan jumlah sekitar 126 juta

bidang yang jika dilakukan tanpa percepatan baru akan tercapai dalam kurun

waktu lebih dari 100 tahun.5 PTSL sebagai wujud upaya pemerintah dapat

mempercepat proses pendaftaran tanah karena program ini membutuhkan

berbagai peran dari pemerintah yang dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan

3
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.2.
4
Ardani, M.N. 2019. Tantangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap dalam Rangka Mewujudkan Pemberian Kepastian Hukum. Jurnal Gema Keadilan 6 (3),
h. 280.
5
Https://www.atrbpn.go.id/

3
sebagai panitia dan juga perangkat desa, serta dengan dukungan dari

masyarakat.

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan pengganti

program Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Pada tahun 2016

melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 35 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). PTSL menjadi kegiatan pendaftaran tanah

secara serentak bagi semua objek pendaftaran tanah yang pertama kali.

Metode yang digunakan dalam PTSL secara serentak ini menggantikan

metode yang sebelumnya dilakukan secara sporadik. Kegiatan PTSL meliputi

pengumpulan data fisik dan data yuridis objek pendaftaran tanah. Wujud dari

program ini adalah diterbitkannya sertifikat tanah. PTSL menjadi program

percepatan yang ditargetkan mampu menyelesaikan 79 juta bidang tanah pada

tahun 2025.6

Program PTSL melakukan pendataan atas tanah terpusat pada satu

desa yang mana seluruh tanah yang belum memiliki sertifikat dalam satu desa

tersebut akan dibuatkan sertifikat.hal ini berbeda dengan program PRONA

karena pada PRONA pendataan tanah dan penerima sertifikat tanah dilakukan

secara merata pada desa ataupun kelurahan dalam satu kabupaten namun

penerbitan sertifikat tanah tidak menyeluruh. Tanah-tanah pada satu desa

akan dilakukan validasai terlebih dahulu untuk mendapatkan data apakah

tanah tersebut merupakan tanah sengketa atau tidak. Tanah-tanah yang masih

6
https://kominfo.go.id/content/detail/12924/program-ptsl-pastikan-penyelesaian-sertifikasi-
lahan-akan-sesuaitarget/0/artikel_gpr, diakses 8 April 2021.

4
sengketa akan ditunda terlebih dahulu penerbitan sertifikatnya sampai

mendapat kejelasan hukum atas tanah tersebut.

Objek utama pendaftaran tanah atau land registration adalah tanah

yang pengumpulan dan penyajian datanya meliputi letak, batas-batas, luas

dalam peta pendaftaran yang semuanya disajikan dalam “daftar tanah”.

program PTSL merupakan program yang ditujukan untuk membantu

masyarakat dalam memperoleh kepastian hukum atas tanahnya. dengan

memiliki sertifikat tanah, masyarakat dapat menggunakan sertifikat tanahnya

untuk membuka atau mengembangkan usahanya dengan penambahn modal

usaha.

Program PTSL menjadi program yang membantu masyarakat

mendapatkan sertifikat tanpa biaya. Program ini dilakukan dengan anggaran

yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan pada SKB tiga menteri

Nomor 34 tahun 2017 tentang biaya persiapan PTSL menjelaskan bahwa

jenis biaya PTSL meliputi:7

1. Kegiatan penyiapan dokumen;

2. Kegiatan pengadaan patok dan materai;

3. Kegiatan operasional petugas kelurahan/desa.

Peraturan yang ditetapkan menjelaskan bahwa sertifikat diberikan

secara gratis, namun dalam proses permohonan dan pelaksanaan PTSL pasti

ada biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat sebagai pemohon.

Pemerintah pusat telah menetapkan biaya-biaya standar yang bisa dibebankan

7
Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

5
kepada masyarakat. Hal ini akan ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah

kabupaten/kota untuk menentukan standar biaya yang akan dibebankan

kepada pemohon. Misalnya pada pemerintah Kabupaten Sanggau,

Kalimantan Barat menetapkan biaya program PTSL sebesar Rp 250.000,-.

Hal ini tertuang dalam peraturan pemerintah daerah setempat yang

menyebutkan besaran biaya yang diperluakan dalam persiapan pelaksanaan

PTSL sebesar Rp 250.000,- per peserta PTSL.8 Untuk daerah Jawa, standar

biaya yang ditetapkan juga berbeda dengan daerah luar Jawa. Pada Kabupaten

Malang, biaya yang ditetapkan untuk persiapan pelaksanaan PTSL sebesar Rp

150.000,- per peserta PTSL. Meskipun telah ditetapkan standar biaya

persiapan PTSL pada tiap daerah, namun tidak semua daerah menetapkan

biaya sesuai dengan peraturan tersebut. Hal ini diungkapkan pada hasil

penelitian pada daerah Banyuwangi yang mana standar biaya yang ditetapkan

adalah Rp 150.000,00 per peserta PTSL namun pada praktiknya masih terjadi

pembebaban biaya melebihi standar pada dusun Kedungrejo, Kabupaten

Banyuwangi biaya yang dibebankan dilakukan dua kali periode sesuai dengan

banyaknya jumlah biaya. Pada periode pertama sebesar Rp 750.000,00

sedangkan untuk periode kedua sebesar Rp 450.000,00.9 Meskipun terdapat

biaya yang harus dibebankan kepada masyarakat, namun hal ini tidak

menurunkan antusias masyarakat untuk mengikuti program ini karena biaya

8
Peraturan Bupati Sangau Nomor 5 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Persiapan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
9
Primastya, A.A. 2020. Pembebanan Biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
Tinjauan Peraturan Bupati No.11 Tahun 2018 dan Maslahah Mursalah

6
ini relatif lebih rendah dibanding jika masyarakat membuat sertifikat tanah

sendiri.

Berdasarkan uraian masalah di atas, peneliti ingin melakukan

penelitian yang berkaitan dengan pembiayaan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap (PTSL) dengan judul “Implementasi Penetapan Biaya

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada Tingkat

Kabupaten/Kota”.

B. Perumusan Masalah Dan Pembatasan Masalah

Sebenarnya masalah-masalah yang berhubungan dengan penulisan ini

cukup banyak, akan tetapi untuk mempermudah dalam penulisan ini

diperlukan adanya rumusan dan pembatasan terhadap masalah, hal ini agar

dalam pembatasan masalah agar lebih terarah sehingga mudah dimengerti.

Adapun perumusan dan pembatasan masalah tersebut adalah sebagai

berikut:

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis merumuskan

beberapa Permasalahan yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaiamana kebijakan penetapan biaya Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap (PTSL) pada tingkat pemerintah pusat?

2. Bagaimana impelementasi penetapan biaya Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap (PTSL) pada tingkat pemerintah daerah

Kabupaten/Kota?

7
C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah mendapatkan suatu rumusan hasil dari suatu

penelitian melalui proses mencari, menemukan, mengembangkan, menguji serta

menganalisis suatu pengetahuan. Berdasarkan pada rumusan masalah di atas,

adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan pembiayaan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tingkat pemerintah pusat.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis impelementasi pembiayaan

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tingkat daerah

Kabupaten/Kota.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari dilakukannya Penelitian ini diharapkan dapat

dipergunakan baik secara Teoritis maupun Praktis.

1. Manfaat Teoritis :

a) Dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang

Ilmu Pengetahuan dan Hukum, khususnya mengenai peran Pemerintah

Daerah terhadap Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

b) Penelitian ini dharapkan dapat menjadi referensi pada penelitian

selanjutnya dalam melakukan pembaharuan kajian hukum tentng

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

2. Manfaat Praktis :

a) Bagi Pemerintah

8
Dari hasil Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan

bagi Pemerintah agar dapat memperbaiki program PTSL terkait

dengan dalam menetapkan besaran pembiyaan PTSL di suatu

Kota/Kabupaten.

b) Bagi Notaris

Dari hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

Notaris agar dalam pelaksanaan pembuatan dan pendaftaran Akta

Program PTSL lebih efisien dan terukur.

c) Bagi Masyarakat

Dari hasil Penelitian ini diharapkan mampu memberikan arahan

kepada masyarakat mengenai besaran pembiayaan PTSL di suatu

Kota/Kabupaten.

d) Bagi Mahasiswa

Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan

referensi kepada mahasiswa baik secara Hukum mengenai peran

Kepala Daerah terhadap dalam menetapkan besaran pembiyaan PTSL

di suatu Kota/Kabupaten.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan

antara konsep-konsep hukum yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep

bukan suatu gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu

abstraksi dari gejala tersebut. Gejala ini dinamakan dengan fakta,

9
sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-

hubungan dari fakta tersebut. Maka, di dalam Penelitian ini Penulis akan

menjelaskan beberapa konsep, yaitu :

a. Implementasi

Implementasi dapat diartikan dengan pelaksanaan atau penerapan.

Implementasi dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan

sebagai suatu tahapan dari proses kebijakan. Setiap kebijakan publik

yang dibuat pada prinsipnya akan ditindaklanjuti dengan adanya

implementasi dari kebijakan tersebut.10

Implementasi diartikan sebagai serangkaian aktivitas dalam

menjalankan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan

tersebut dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.11 Aktivitas

tersebut mencakup persiapan, sumber daya sebagai penggerak dari

kebijakan, sarana dan prasarana, penetapan pembiayaan dan

pertanggungjawaban atas pelaksanaan kebijakan tersebut.

b. Penetapan

Penetapan merupakan keputusan pemerintah atau pembuat kebijakan

dalam suatu hal.

10
Akib, Haedar dan Antonius Tarigan. “Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan:
Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya,” Jurnal Baca, Volume 1 Agustus 2008, Universitas
Pepabari Makassar, 2008, h. 117.
11
Syaukani, dkk. 2004. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.

10
c. Biaya

Biaya adalah pengorbanan yang yang harus dilakukan dengan

membayar kemudian dinyatakan menurut satuan uang berdasarkan

harga pasar yang berlaku.

d. Notaris

Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Autentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

ini, yaitu Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris ;

e. Pendaftaran ;

Proses, cara, perbuatan mendaftar yang dilakukan dengan mengisi

formulir pendaftaran yang ditetapkan oleh menteri ;

f. Tanah ;

Tanah adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan

organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi

karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan

hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang

berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk

bernapas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai

mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi

lahan untuk hidup dan bergerak;

11
g. PTSL

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat

PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak bagi semua obyek pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah

desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang

meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data

yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk

keperluan pendaftarannya.

F. Kerangka Teoritik

1. Teori Kepastian Hukum

Hukum dapat didefinisikan sebagai sekumpulan atau himpunan

petunjuk hidup yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan

sebagai suatu tata tertib pada masyarakat dan harus ditaati, dan akan

menimbulkan konsekuensi tertentu ketika terjadi pelanggaran

tersebut.12

Asas kepastian hukum sebagai asa terpenting dalam negara hukum.

Menurut Gustav Radbruch, teori kepastian hukum memiliki tujuan

yang berorientasi pada 3 (tiga) hal yaitu:

a. Kepastian Hukum; kepastian hukum dapat terwujud dengan

ditetapkannya hukum pada peristiwa konkrit, dan hukum yang

12
Mokhammad Najih dan Soimin, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Setara Press,
Malang, h. 9

12
berlaku tidak boleh menyimpang atau disebut fiat justitia et pereat

mundut (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan).

b. Keadilan; keadilan sebagai harapan yang harus diwujudkan dalam

penegakan hukum. Nilai keadilan tidak boleh mengesampingkan nlai

kemanfaatan dan kepastian hukum. Karakteristik dari keadilan

bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.

c. Daya Guna dan Kemanfaatan; demikian pula sebaliknya jika

menitikberatkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian

hukum dan keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan.

Idealnya dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan

yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan

merupakan suatu kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar

kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara yuridis

harus diterapkan secara seimbang dalam menegakkan hukum.

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat

dan diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan

secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-

raguan atau multitafsir, dan logis dalam arti hukum tersebut menjadi

suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma ataupun adanya kekaburan dan

kekosongan norma.13 Penjelasan Pasal 6 huruf i UndangUndang

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

13
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, h.158

13
Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234, menetapkan bahwa dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan salah satunya harus mencerminkan adanya asas

kepastian hukum.

a. Asas Kontradiktur Delimitasi

Asas Contradictoire Delimitatie atau Kontradiktur Delimitasi adalah

suatu norma dalam pendaftaran tanah yang mewajibkan pemegang hak

atas tanah memperhatikan penempatan, penetapan, dan pemeliharaan

batas tanah secara kontradiktur atau berdasarkan kesepakatan dan

persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, yang dalam hal ini adalah

pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah yang dimilikinya, sesuai

dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah pada Pasal 17, 18 dan 19. Pemberlakuan asas ini

sebagai proses penetapan batas bidang tanah yang harus dibuktikan

dengan surat pernyataan yang ditanda tangani pemilik tanah dan pemilik

tanah yang berbatasan dan oleh Kepala Desa /Kelurahan. Tujuan dari

asas ini adalah meminimalisir adanya perselisihan/persengkataan batas-

batas tanah.

b. Asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Selain asas

kontradiktur delimitasi, setiap pendaftaran tanah di Indonesia memiliki

asas dalam pelaksanaannya. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 2 PP

Nomor 24 Tahun 1997, bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan

14
berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.

Asas pendaftaran tanah ini merupakan pengaturan baru karena

sebelumnya tidak diatur secara limitatif dalam PP Nomor 10 Tahun

1961.

2. Teori Keadilan

Teori keadilan menurut Aristoteles, dijelaskan bahwa keadilan akan terjadi

ketika seseorang diberikan apa yang menjadi miliknya. Perlakuan tidak

adil terjadi ketika seseorang mengambil lebih dari bagian yang semestinya

serta tidak menghiraukan hukum, karena hal-hal yang berkaitan dengan

hukum merupaka suatu hal yang dianggap adil. Keadilan merupakan

tindakan proporsional dan tidak melanggar hukum dengan memberikan

apa yang menjadi haknya seseorang.14

Teori keadilan menurut Hans Kelsen merupakan legalitas, peraturan

umum dikatakan “adil” ketika benar-benar diterapkan pada semua kasus

yang menggunakan peraturan ini harus diterapkan.

Teori keadilan diimplementasikan bahwa setiap sengketa baik sengketa

sertifikat maupun sengketa yang lain, harus berorientasi pada keadilan.15

Jerome Frank seorang tokoh dari konsep keadilan mengatakan, bahwa

jangan sampai terjebak perangkap bahwa seolah-olah dalam hukum yang

diumumkan akan mendapatkan keseragaman pemahaman melalui susunan

14
Dardji Darmodiharjo dan Shidarta, h. 167.
15
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991), h. 214 dan 215.

15
kata-kata dari ketentuan-ketentuan.16 Para hakim harus menentukan apa

yang adil dan tidak adil yang diterapkan kepada para pihak yang beperkara

dalam situasi tertentu.

Teori keadilan memberikan gambaran tentang hubungan “hak dan

keadilan” hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak dan keadilan

berkaitan dengan hak hukum sebagai suatu kepentingan yang dilindungi

hukum atau suatu kehendak yang diakui.

Peraturan hukum tidak menciptakan, tetapi menjamin hak-hak dan

keadilan, maka peraturan hukum tersebut tidak pula dapat menghapus hak-

hak dan keadilan yang ada. Ini berarti, tidak mungkin secara logis untuk

menghapus hak milik pribadi atas benda-benda yang merupakan hak

absolut (mutlak), di mana pemilik mempunyai suatu hak untuk menuntut

dari setiap orang agar tidak mengganggu kepemilikan atas harta

kekayaannya. Demikian juga peraturan perundang-undangan tidak dapat

mencabut dari seseorang individu suatu hak kepemilikan tertentu

menyangkut miliknya. Hak-hak atas benda (termasuk tanah) yang mutlak

merupakan hak-hak perorangan yang paling utama. Setiap pelaku

pelanggaran dari suatu hak atas tanah sebagai hak yang mutlak dapat

diberikan keleluasaan untuk menuntutnya terhadap para pelanggar melalui

pengadilan agar hak-haknya diberikan dengan menuntut penghukuman

pelanggar dan haknya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban.

Dipersenjatai dengan putusan hakim, dan selanjutnya dapat menugaskan

16
Stanislaus Atalim, Konflik Antara Keadilan dan the rule of law, Era Hukum, No.
2/th.1/Oktober 1994, h.2.

16
jurusita untuk melaksanakan suatu putusan hakim tersebut berdasarkan

undang undang. Dengan putusan hakim yang berisikan penghukuman

tentunya diperoleh kepastian hukum. Antara pihak-pihak yang bersengketa

harus selalu diberikan putusan yang adil.17

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara peneliti mengungkap suatu

permasalahan yang akan dibahas dengan tujuan mengungkapkan

kebenaran dengan sistematis, metodologis, dan konsisten dalam penelitian

hukum yang berdasarkan pada sistemtikan dan pemikiran tertentu dengan

cara menganalisis.18

Dalam melaksanakan penelitian ini, maka penulis menggunakan

metodelogi sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif (normative law research). Penelitian hukum normatif yang

digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam studi kasus normatif

yang membahas tentang produk-produk perilaku hukum, salah satu

contohnya adalah Undang-Undang. Kajian dalam penelitian ini

berfokus pengkonsepan hukum sebagai norma atau kaidah yang

menjadi acuan masyarakat dalam berperilaku. Pokok hukum pada

17
J.P.H Suijling, Hak-hak Subjektif dalam Hukum Perdata dan Hukum Publik, (Bnadung:
Armico, 1985), h. 13-17 dan 22-23, Terjemahan Hoesein Soemdiredja
18
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiyono, Metode Penelitian Hukum, FH UMS, 2004,
h. 3.

17
penelitian ini terdiri dari Inventarisasi hukum positif, asas-asas dan

doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto,

sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah

hukum.19

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara melakukan

penelitian yang diambil dari bahan pustaka, bisa berupa jurnal ilmiah

yang baru dan termutakhir, pemahaman baru mengenai fakta mauun

gagasan-gagasan atau ide, yang mana hal ini terdiri dari bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku pendukung,

jurnal yang sesuai, disertasi maupun tesis.20

Penelitian hukum normtif menggunakan beberapa pendekatan

sebagai cara penulisan yang berdasarkan pada analisis terhadap

beberapa asas hukum, teori hukum, dan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dan berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian

hukum. Penelitian hukum normatif ini bertujuan untuk menemukan

kebenaran yang didasarkan pada logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya.21

Terdapat beberapa pendekatan dalam penelitian hukum normatif

sebagai berikut:22

19
Abdulkadir Muhammad, 2004, HukumdanPenelitianHukum. Cet. 1, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 52
20
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2006), h. 118.
21
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang, 2006, h.57
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, h. 14

18
a) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu

pendekatan penelitian yang bahan hukum utama sebagai acuan

dasar dalam penelitian berupa peraturan perundang-undangan.

b) Pendekatn konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan

yang memberikan sudut pandang dalam analisis penyelesaian

masalah sesuai dengan aspek konsep-konsep hukum yang

melatarbelakanginya, berdasarkan nilai-nilai dalam penormaan

suatu peraturan dikaitkan dengan konsep yang digunakan.

c) Pendekatan historis (historical approach) merupakan pendekatan

historis melakukan penelitian dengan mencari tahu nilai-nilai

sejarah yang menjadi latar belakang dan mempengaruhi peraturan

perundang-undangan.

d) Pendekatan kasus (case approach) merupakan penelitian hukum

normatif yang mana peneliti berusaha menemukan nilai kebenaran

dan solusi terbaik dari suatu peristiwa hukum dengan mengacu

pada prinsip-prinsip keadilan dengan cara berusaha membangun

argumentasi hukum yang berhubungan dengan suatu kasus atau

peristiwa hukum yang terjadi di lapangan.

e) Pendekatan perbandingan (comparative approach) penelitian

dengan pendekatan ini melakukan perbandingan baik dengan

negara-negara lain atuapun dengan peristiwa-peristiwa yang pernah

terjadi dalam satu negara.

19
Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach)

yang menelaan kasus-kasus berkaitan dengan penetapan biaya

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tingkat

Kabupaten/Kota.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif

analistis, yaitu dimaksudkan untuk memberi data yang seteliti

mungkin tentang suatu keadaan atau gejala–gejala lainnya.23 karena

penelitian ini diharapkan memberi gambaran secara rinci, sistematis

dan menyeluruh mengenai penetapan biaya Pendaftaran Tanah

Sistemtis Lengkap (PTSL). Disamping itu bertujuan memberikan

gambaran dan menganalisa permasalahan yang ada, dimana penelitian

ini akan memaparkan segala hal.

3. Jenis dan Sumber Data

Bahan-bahan Hukum yang digunakan dalam Penelitian ini berupa

bahan Hukum Primer dan bahan Hukum Sekunder :

a) Data Primer, yaitu bahan Hukum yang mengikat seperti peraturan

perundang-undangan dan yurisprudensi, diantaranya:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

23
Soerjono Soekanto & Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, h. 43

20
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 2014);

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014

Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5679);

5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3696);

7) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa;

8) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018

21
tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 501); dan

9) Keputusan Bersama Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 25/SKB/V/2007, Menteri

Dalam Negeri Nomor 590- 3167A/2017, Menteri Desa

Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor

34/2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah

Sitematis.

b) Data Sekunder, yaitu bahan Hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, antara lain :

1) Literatur atau hasil penulisan berupa hasil penelitian yang terdiri

dari Buku-buku, dan Jurnal-jurnal ilmiah ;

2) Hasil karya dari praktisi Hukum dan tulisan dari para pakar ;

serta

3) Teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana melalui

literatur yang dipakai.

c) Data Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,

ensiklopedia dan bahan-bahan hukum yang mengikat khususnya

dibidang kenotariatan.

4. Teknik Analisis Data

22
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian hukum

normatif adalah dengan mensistematika bahan-bahan hukum tertulis

artinya melakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut

untuk memberikan kemudahan dalam menganalisis dan

mengkonstruksi data-data tersebut. Sesuai daengan bahan hukum, data

dari studi kepustakaan, jurnal serta peraturan perundang-undangan

yang diperoleh. Tahapan teknik analisis data yang dilakukan untuk

menjawab perumusan masalah sebagai berikut:

a. Tahap pertama, dilakukan dengan cara pengumpulan data yang

digunakan serta mempelajari data tersebut.

b. Tahap kedua, melakukan penyaringan data yang telah

dikumpulkan.

c. Tahap lanjutan, pada tahap ini peneliti mempelajari data-data

dan menganalisa data-data yang dapat membantu menjawab

rumusan masalah;

d. Tahap terakhir, peneliti membuat kesimpulan dari data-data

yang telah dianalisis.

5. Analisis Data

Dalam membahas pokok permasalahan dan menganalisis data

yang telah diperoleh, maka penulis menggunakan segala informasi

dan data yang telah diperoleh, baik itu data primer maupun data

sekunder. Kemudian penulis analisis secara kualitatif yang kemudian

disajikan secara deskriptif.

23
H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari 4 (empat) bab, dimana masing-

masing bab memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain.

Gambaran yang lebih jelas mengenai penulisan hukum ini akan diuraikan

dalam sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini membahas tentang latar belakang, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka

pemikiran terdiri dari kerangka konseptual dan kerangka teoritis,

metode penelitian, dan sistematika penulisan ;

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini terdiri dari tinjauan umum tentang pemerintah

daerah, tinjauan tentang hukum tanah nasional, tinjauan tentang

pendaftaran tanah sistematis lengkap, perspektif hukum Islam

tentang Tanah; dan kerangka berpikir.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi tentang kebijakan penetapan biaya

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tingkat

Pemerintah Pusat dan implementasi penetapan biaya

pendaftaran tanah sistematis lengkap (ptsl) pada tingkat

pemerintah daerah kabupaten/kota.

24
BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini berisi tentang Simpulan yang merupakan jawaban

dari rumusan masalah yang telah dibahas. Serta saran yang

berupa rekomendasi penulis dalam penelitian.

25
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pemerintah Daerah

1. Sejarah Singkat Pemerintah Daerah

Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan bentuk realisasi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang

memiliki tujuan agar Pemerintah Daerah menjadi bagian dari sistem

pemerintahan Indonesia sebagai upaya mengatur hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini tertuang di dalam Pasal

18 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah adalah suatu organ

yang dipimpin oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus

bertindak sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara, dengan

bagian-bagiannya, terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi,

Pemerintahan Kabupaten dan Kota.24 Konsep Negara Indonesia seperti

dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, pelaksanaan otonomi memiliki prinsip demokrasi, otonomi luas dan

kewenangan yang luas, keadilan, pembagian kekuasaan, pengaturan

kewenangan, dan penghormatan atas hak- hak asli. Dengan demikian,

merupakan salah satu dari asas-asas penyelenggaraan pemerintahan negara

24
I Dewa Gede Atmaja, “Aspek Hukum Dan Birokrasi Penyelenggaraan Pemerintahan”,
(1994) 2 prespektif. h. 54.

26
yang menekankan adanya pemberian kewenangan oleh negara kepada

daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.25

Desentralisasi pemerintah yang pelaksanaannya diwujudkan dengan

pemberian otononi kepada daerah-daerah yang bertujuan untuk

memungkinkan daerah-daerah tersebut meningkatkan daya guna dan hasil

penyelenggaran pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat

dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, daerah perlu diberikan

wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintah sebagai

urusan rumah tangganya serta sekaligus memiliki pendapatan daerah

seperti pajak, retribusi daerah dan lain-lain pemberian.26

2. Kewenangan Kepala Daerah

Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan

pemerintah daerah merupakan wewenang dari kepala daerah dalam

melaksanakan tugas dan wewenang. Kepala Daerah merupakan kepala

pemerintahan yang memiliki tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah berdasarkan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah, menyebutkan bahwa kepala daerah dalam melaksanakan tugas dan

wewenang berkewajiban melaksanakan kehidupan demokrasi yang

merupakan wewenang kepala daerah untuk menyerapan aspirasi

25
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, (Jakarta :
PT.Grasindo, 2010), h. 1
26
Inu Kencana Syafei, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), h.
57

27
masyarakat, peningkatan partisipasi serta menindaklanjuti pengaduan

masyarakat.

Kepala daerah dalam menyelenggarakan wewenang sebagai

pemimpin daerah terhadap pemerintah daerah memiliki tugas dan

wewenang sesuai dengan pasal 65 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang pemerintah daerah yang mengatakan :

1. Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

2. Memelihara katentraman dan ketertiban masyarakat;

3. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan

rancangan perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk di bahas bersama

DPRD serta menyusun dan menetapkan RKPD;

4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan

Perda dan perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggung

jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;

5. Mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan, dan dapat

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundangan- undangan;

6. Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan

7. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan

perundan- undangan.27

27
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dalam Pasal 65

28
Penyelenggara pemerintah daerah yang demokratis dengan

menggunakan prinsip desentralisasi, maka kepala daerah otonom bukan

perpanjangan pemerintahan pusat, tetapi menjadi pemimpin rakyat di

daerah yang berkewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah

yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, berdasarkan peran serta dan

partisipasi rakyat secara aktif, pemerintahan daerah menurut prinsip-

prinsip demokrasi diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip

akuntabilitas, transparansi, berdasarkan hukum dan partisipasi rakyat.

Seperti yang termuat dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 yang

mengatakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah

untuk Kabupaten/Kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/Kota

salah satunya mengenai Pelayanan pertanahan. Berkenaan dengan hal

tersebut tentunya peran kepala daerah menjadi hal yang penting dan utama

dalam mendukung percepatan dalam hal peyanan pertanahan yang sesuai

dengan harapan semua pihak, tanpa dukungan dari kepala daerah atau

pemerintah setempat tentunya percepatan pelayanan pertanahan yang

direncanakan oleh Pemerintah Pusat tidak akan dapat tercapai sesuai

dengan apa yang telah direncanakan dalam Program Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap. Sejalan dengan tersebut menurut George C Edwards

bahwa aspek penting yang memengaruhi keberhasilan terhadap

pencapaian kualitas kebijakan, sebagaimana premisnya: “What are the

primary obstacle to successful policy implementation to answer these

quistion, four critical factor or variables in implementating public

29
policy:communication, resources, disposition, attitudes, and bureaucratic

structure.“28

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Tanah Nasional

1. Pengertian Tanah dan Hukum Tanah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah diartikan ke dalam 7

(tujuh) arti yaitu:

a. Permukaan bumi atau bumi lapisan atas;

b. Keadaan bumi disuatu tempat;

c. Permukaan bumi yang diberi batas;

d. Daratan;

e. Permukaan bumi yang terbatas, yang ditempati suatu bangsa yang

diperintah suatu Negara atau menjadi daerah tanah Negara, negeri;

f. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, napal,

cads, dan sebagainya).

g. Dasar (warna, cat, dan sebagainya).29

Berdasarkan pengertian konteks agrarian, tanah berarti permukaan bumi.

Hal ini disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu :

“atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam

pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,

yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

orang-orang lain serta badan-badan hukum.”

28
George C Edwards, III. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC. Texas A &
M University, Congressional Quarterly Press, review at 23.
29
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
2007, h. 112.

30
Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa :

“hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian

pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnyaa sekedar

diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini

dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”

Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum

baik yang tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang

merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan yang konkrit dangan

tanah. Susunan Hukum Tanah dapat dikaitkan dengan subjek-subjek hak

penguasaan akan tanah yaitu :

 Negara sebagai penguasa yang disebut Hukum Tanah Administratif;

 Perorangan dan Badan Hukum Perdata yang disebut Hukum Tanah

Perdata.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok Agraria sebelum dikeluarkan terdapat dua peringkat Hukum

Tanah yang berlaku pada saat yang bersamaan, yaitu Hukum Tanah Barat

dan Hukum Tanah Adat untuk menghindari pluralism dalam Hukum

Tanah tersebut, diadakanlah unifikasi dan kodifikasi.

Tanah juga sebagai simbol sosial dalam masyarakat yang mana

penguasaannya melambangkan nilai kehormatan, kebanggaan dan

keberhasilan pribadi, sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah

31
yang dimilikinya menjadi sebuah sumber kehidupan, simbol identitas,

kehormatan dan martabat pendukungnya.30

Hal penting dari hukum pertanahan nasional sebagian besar

membahas tentang hak atas tanah. Hak atas tanah pada hakikatnya

merupakan hubungan hukum konkrit antara orang (termasuk badan

hukum) dengan tanah, dimana hubungan tersebut memperoleh

perlindungan hukum. Tujuan dari hak tanah adalah untuk memberikan

kepastian hukum terhadap hubungan hukum tersebut, sehingga

pemegang hak dapat menjalankan kewenangan/ isi hak tanahnya dengan

aman.31

Batasan pelaksanaan kewenangan hak tanah oleh pemegang hak,

dibatasi oleh beberapa prinsip antara lain:32

a. Semua hak tanah mempunyai fungsi sosial.

b. Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak tanah

pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau

mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara

pemerasan.

c. Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak tanah wajib

memelihara tanahnya, termasuk menambah kesuburan dan mencegah

kerusakannya.

d. Setiap pemegang hak dilarang menelantarkan tanah.

30
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi Dan
Implementasi, kompas, jakarta, h., 159.
31
Rusmadi Murad, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Jakarta,
h., 71-72.
32
Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Op.Cit, h., 72

32
Menyangkut dengan hak-hak atas tanah, maka perlu mengkaitkannya

dengan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, makna “dikuasai”

oleh negara bukan berarti bahwa tanah tersebut harus “dimiliki” secara

keseluruhan oleh negara, tetapi pengertian “dikuasai” itu membawa

wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa

Indonesia untuk tingkatan tertinggi.33

a. Mengatur dan menyelenggarakan tanah untuk penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaannya.

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian

dari bumi, air, dan runag angkasa di atas tanah itu.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang

dan perbuatan hukum antara orang mengenai bumi, air, dan ruang

angkasa di atas tanah itu.

Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda

dengan leluasa dan untuk berniat bebas terhadap kebendaan itu, dengan

kedaulatan sepenuhnya asal tidak bertentangan dengan undang-undang

atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak

menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.34

2. Sistem Hak Atas Tanah Nasional

Penguasaan atas tanah yang berlaku menggunakan sistem hukum

tanah nasional dengn sistem komunalistik-religius, sistem tersebut

menjelaskan bahwa penguasaan atas tanah dapat dimiliki baik secara

33
G. Kartasapoetra, 1992, Masalah Pertanahan Indonesia, Pt Bineka Cipta, Jakarta, h., 2.
34
Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,h.1.

33
perseorangan dan juga mengandung unsur kebersamaan. Artinya, dengan

sistem ini yang juga meresapi dari konsep hukum adat menyatakan

bahwa sistem tanah secara nasional adalah seluruh wilayah negara

Republik Indoneisa menjadi tanah bersama seluruh rakyat Indonesia. Hal

ini juga tertuang dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria

yang menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.

Hak atas tanah dibedakan menjadi dua menurut UUPA sebagai

berikut:

a. Hak penguasaan tanah oleh negara

Pasal 2 UUPA berdasarakan penjabaran dari pasal 33 UUD tahun

1945 yang mana konsep penguasaan tanah oleh negara berasal

dari konsep hak ulayat.35

b. hak atas tanah dapat dimiliki oleh orang pribadi maupun bersama-

sama ataupun badan-badan hukum berdasarka pada pasal 4 jo

pasal 16 UUPA.

Macam-macam hak atas tanah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) adalah:

a. Hak milik

hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh sesuai dengan

pasal 21 sampai 27 UUPA karena hak ini merupkan hak turun

temurun atas kepemilikan tanah yang dapat beralih atau dialihkan

kepada pihak lain sesua dengan pasal 6. Hak milik atas tanah

35
Muhammad Bakri, 2007, op.cit., h.16.

34
hanya dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia, dan

badan hukum yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Artinya, jika seseorang telah kehilangan kewarganegaraannya

maka hak milik atas tanah tersebut akan hilang.

b. Hak guna usaha

hak guna usaha merupakan hak dalam menggunakan dan

mengusahakan tanah dengan jangka waktu tertentu digunakan

untuk usaha pertanian, perikanan, atau perkebunan sesuai

ketentuan pasal 28 dan 29 UUPA.

c. Hak guna bangunan

Hak guna bangunan memberikan kewenangan kepada seseorang

yang bukan pemilik hak atas tanah untuk mendirikan bangunan

di atas tanah tersebut untuk mendirikan bangunan-bangunan

dengan jangka waktu maksimal 30 tahun sesuai dengan

ketentuan pasal 35 UUPA.

d. Hak pakai;

Hak pakai adalah hak bagi individu atau badan usaha untuk

menggunakan dan/atu memungut hasil dari tanah negara ataupun

tanah atas hak milik orang lain, pemberian wewenang dan

kewajiban dilakukan dengan perjanjian antara pemilik tanah

dengan pengguna hak pakai oleh pejabat yang berwenang

memberikannya. Hak pakai diatur dalam pasal 41 UUPA.

e. hak sewa;

35
hak sewa diatur dalam pasal 44 ayat (1) UUPA tentang

penentuan seseorang atau badan hukum yang mempunyai hak

sewa atas tanah, pemilik hak sewa yang telah mendapat hak sewa

atas tanah milik orang lain harus membayar sejumlah uang

sebagai uang sewa kepada pemilik tanah yang dapat dilakukan

satu kali atau pada waktu-waktu yang ditentukan sesuai dengan

kesepakatan. Perjanjian hak sewa hampir sama dengan hak pakai

yang mana tidak boleh terdapat unsur-unsur pemerasan.

f. hak membuka tanah;

hak membuka tanah serta mengambil hasil hutan tidak diatur dalam

pasal-pasal pada UUPA, namun diatur dalam penjelasan pasal 46

yang hanya menjelaskan bahwa pembukaan tanah dan pemungutan

hasil hutan merupakan hak-hak dalam hukum adat yang

menyangkut tanah.

3. Tinjauan Tentang Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang ditetapkan dan

diundangkan pada tanggal 8 Juli 1997. Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri

Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor

3 Tahun 1997, yang mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1997.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diberikan

rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah, yaitu:

36
“Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian

serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta

dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah

susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti

haknya bagi bidang- bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak

milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya”.

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok- pokok Agraria (UUPA) menetapkan bahwa untuk

menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran

tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia. Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia (BPN-RI).36 berdasarkan Peraturan

Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan

Tata Ruang jo Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional jo Keputusan

Presiden Nomor 121/P/2014 tentang Pembentukan Kementerian

dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-

2019, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan

Nasional (KATR/BPN) ditugaskan untuk melaksanakan urusan

36
Kantor Pertanahan Kabupaten Subang. 2018. Juknis PRONA. Badan Pertanahan
Nasional.

37
pemerintahan dibidang pertanahan bertanggungjawab kepada

Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi.

Prinsip utama pendaftaran hak atas tanah adalah untuk

memfasilitasi jaminan keamanan atas pemilikan tanah dan

pemindahan haknya. Selain itu, pendaftaran tanah dibuat untuk

menemukan apakah ada hak-hak pihak ketiga. Pokok gagasan

dalam sistem pendaftaran adalah mencatat hak-hak atas tanah,

kemudian menggantikan bukti kepemilikan atas pemberian hak

atas tanahnya. Prinsip pendaftaran tanah harus mencerminkan

suatu ketelitian mengenai kepemilikan dari tanah dan hak-hak

pihak ketiga yang mempengaruhinya. Prinsip jaminan pendaftaran

adalah status hak memberikan jaminan dari ketelitian suatu daftar,

bahkan seharusnya memberikan ganti kerugian kepada siapapun

yang menderita kerugian.37

Pendaftaran tanah merupakan persyaratan dalam upaya menata dan

mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan dan penggunaan

tanah termasuk untuk mengatasi berbagai masalah pertanahan.

Pendaftaran tanah ditujukan untuk memberikan kepastian hak dan

perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah dengan

pembuktian sertifikat tanah, sebagai instrumen untuk penataan

penguasaan dan pemilikan tanah serta sebagai instrumen

pengendali dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah. Pendaftaran

37
Adrian Sutedi, 2014, Sertifikat Hak Atas Tanah, Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, h.,
59.

38
hak-hak atas tanah merupakan jaminan dari negara, dan merupakan

suatu instrumen penting untuk perlindungan pemilik tanah.

Pendaftaran tanah bersifat rechtkadaster yang meliputi kegiatan

pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak

tersebut, pemberian sertifikat hak atas tanah yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.38

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan data

pendaftaran tanah (maintenance) (Pasal 11, PP 24/1997).

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui

pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara

sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara

serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum

didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek

pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu

desa/kelurahan secara individual atau massal.

Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui

cara ini akan dipercepat perolehan data mengenai bidang-bidang

tanah yang akan didaftar daripada melalui pendaftaran tanah secara

38
J.B. Daliyo dan kawan-kawan, 2001, Hukum Agraria I, Cetakan 5, Prehallindo, Jakarta,
h., 80.

39
sporadik. Disamping pendaftaran tanah secara sistematik,

pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan

pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah

banyak permintaan untuk mendaftar secara individual dan missal

yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan

makin meningkat kegiatannya.

Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta

pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan

sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.

Agar data yang tersedia di kantor pertanahan selalu sesuai dengan

keadaan yang mutakhir, dalam pasal 36 ayat (2) PP 24/1997

ditentukan, bahwa para pemegang hak yang bersangkutan wajib

mendaftarkan perubahan-perubahan yang dimaksudkan kepada

kantor pertanahan.

Sistem pendaftaran tanah yang dipakai oleh suatu negara

tergantung pada asas hukum yang dianut negara tersebut dalam

mengalihkan hak atas tanahnya. Terdapat dua macam asas hukum,

yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. Asas itikad baik

berbunyi “orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad baik,

akan tetapi menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum”.

Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beriktikad baik.

Asas nemo plus yuris berbunyi “orang tak dapat mengalihkan hak

40
melebihi hak yang ada padanya”. Ini berarti bahwa pengalihan hak

oleh orang yang tidak berhak adalah batal. Asas ini bertujuan

melindungi pemegang hak yang sebenarnya.39

Dalam sistem negatif, pemegang hak yang sebenarnya akan selalu

dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

Oleh karena itu daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan

bukti.40 Dalam sistem positif, dimana daftar umumnya mempunyai

kekuatan bukti, maka orang yang terdaftar adalah pemegang hak

yang sah menurut hukum. Kelebihan yang ada pada sistem positif

ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu

adanya dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya.41

4. Asas-asas dalam Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah harus sesuai dengan asas-asas dalam

pendaftaran tanah sebagai berikut:42

a. Asas specialist, pendaftaran tanah harus dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang didalamnya diatur

secara khusus tentang teknik pengukuran, pemetaan,

pendaftaran, serta peralihannya.

39
Adrian Sutedi. Op.cit. h., 117.
40
Badan Pertanahan Nasional . Tanpa Tahun, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah.
Tanpa Penerbit. h., 29.
41
Adrian Sutedi. Op.cit. h,. 118.
42
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komrehensif, (Jakarta: Kencana Prenamedia
Group, 2012), h. 290-291

41
b. Asas openbaarheid (asas publisitas), asas ini berarti bahwa

informasi dan data-data yuridis pertanahan dapat diakses oleh

publik ataupun masyarakat luas. Informasi tersebut meliputi

pihak-pihak yang pernah memiliki tanah yang bersangkutan,

subjek pemegang hak, nama hak atas tanah, dan bagaimana

terjadinya peralihan dan pembebanannya ini bersifat terbuka

untuk umum dan setiap orang berhak untuk dapat melihatnya.

Asas spesialiteit dan publisitas bertujuan untuk siapapun

mengetahui dengan mudah tentang data yuridis dan data fisik

bidang tanah yang dapat diperoleh di Kantor Pertanahan dan

dimuat dalam suatu daftar yang tepat.

Pelaksanaan pendaftaran tanah juga harus memenuhi asas-asas

pelaksanaan pendaftaran tanah yang meliputi:43

e. Sederhana, asas ini artinya dalam pelaksanaan pendaftaran

tanah harus memenuhi prosedur dan ketentuan-ketentuan

pokok yang mudah dipahami oleh pihak-pihak pemegang hak

atas tanah ataupun yang berkepentingan.

f. Aman, asas ini bertujuan untuk memberikan jaminan dan

kepastian hukum pendaftaran tanah perlu dilaksanakan secara

teliti dan cermat sehingga dapat menunjukkan keamaan bagi

pemilik tanah.

43
Penjelasan Pasal 2 Perarutan Pemerintah No. Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

42
g. Terjangkau, pelaksanaan pelayanan pendaftaran tanah harus

dengan biaya yang memperhatikan kebutuhn dan kemampuan

dari masyarkat dengn ekonomi lemah sehingga dapat

menjangkau pihak-pihak yang membutuhkan pendaftaran

tanahnya.

h. Mutakhir, asas ini berkaitan dengan keterbaruan data.

Pelaksanaan pendaftaran tanah harus berkesinambungan dan

lengkap serta berkesinambungn dalam rangka pemeliharaan

datanya. Pendaftar tanah wajib mendaftarkan dan mencatatkan

perubahan-perubahan atas data yang dimilikinya untuk

memutakhirkan data di kemudian hari. Data tersebut harus

selalu diperbarui sehingga data yang tersimpan di Kantor

Pertanahan sesuai dengan fakta di lapangan.

i. Terbuka, informasi atas keadaan tanah bisa di akses di Kantor

Pertanahan oleh masyarakat, dan keterangan yang benar wajib

diperoleh masyarakat setiap saat.

5. Akta Tanah

Akta secara etimologi menurut S. J. Fachema Andreae menjelaskan

bahwa akta berasal dari bahasa latin acta yang berarti geschrift

atau surat.44 Sementara itu, Mertokusumo menjelaskan akta adalah

surat yang menunjukkan dan memuat peristiwa-peristiwa sebagai

44
Suharjono. 1995. Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum. h. 128.

43
dasar dalam hak atau perikatan, yang dibuat dan diberi tanda

tangan seabagai bentuk pembuktian.45

Akta terdiri dari berbagai macam, pasal 1867 KUH Perdata

membagi akta menjadi dua macam yaitu pembuktian dengan

tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan

tulisan-tulisan di bawah tangan. Akta terdiri dari akta otentik dan

akta dibawah tangan dijelaskan sebagai berikut:46

a. Akta Otentik

Akta otentik merupakan surat atau akata yang dari awal secara

sengaja dibuat untuk pembuktian. Ketentuan akta otentik diatur

dalam pasal 165 HIR dan pasal 285 Rbg. Akta otentik menurut

pasal 1868 KUH Perdata merupakan suatu akta yang didalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau

dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di

tempat di mana akta dibuatnya. Akta otentik sebagai alat bukti

mempunyai kekuatan pembuktian baik lahir, formal, maupun

material yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Kekuatan Pembuktian Lahir

2) Kekuatan Pembuktian Formal

3) Kekuatan Pembuktian Material

b. Akta di Bawah Tangan

45
Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta. h.
149.
46
Achmad Sulchan, Sukarmi, Ari Widiyanto. 2017. Akta Notaris Menggunakan Media
Elektronik. Semarang: Sint Publishing. h. 53.

44
Akta di bawah tangan menurut Pasal 1874 KUH Perdata

menjelaskan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah

tangan adalah akta yang ditandatangan di bawah tangan, surat,

daftar, surat urusan rumah tangga, dan tulisan-tulisan yang lau

yang dibuat tanpa perantara pejabat umum. Jenis-jenis akta di

bawah tangan sebagai berikut:

1) Legalisasi, merupakan akta dibawah tangan yang belum

ditandatangani, yang diberikan pada notaris dan dihadapan

notaris ditandangani oleh para pihak yang bersangkutan

setelah isi akta dijelaskan oleh notaris kepada mereka.

2) Waarmeken, merupakan akta dibawah tangan yang

didaftarkan untuk memberikan tanggal yang pasti.

6. Model-Model Implementasi Kebijakan

a. Model Implementasi Kebijakan menurut teori Van Meter dan

Van Horn menjelaskan bahwa terdapat 6 indikator sebagai

pengukuru kinerja implementasi meliputi47:

(1) Standar dan Sasaran Kebijakan

Implementasi kebijakan harus memenuhi unsur kejelasan

dan keterukuran. Indikator ini menunjukkan bahwa

kebijakan yang disusun tidak menimbulkan perbedaan

interpretensi dari para agen implementasi, sehingga dapat

mengurangi timbulnya konflik.

47
Subarsono, 2011. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

45
(2) Sumber Daya

Sumber daya berkaitan dengan sumber daya yang

diperlukan dalam penyusunan suatu kebijakan.

(3) Komunikasi antara organisasai dan penguatan aktivitas.

Dalam implementasi suatu program ataupun kebijakan

harus ada dukungan dari berbagai organsisasi ataupun

instansi-instansi yang terkait dengan kebijakan tersebut.

Sinergi antar organissasi dan penguatan aktivitas

merupakan kunci dalam keberhasilan implementasi suatu

program ataupun kebijakan.

(4) Karakteristik agen pelaksana.

Hal ini berkaitan dengan kelompok-kelompok yang

memberikan dukungn dalam implementasi kebijakan.

Bagaiamana masyarakat berpartisipasi dalam suatu

kebijakan apakah memberikan dukungan atau penolakan.

(5) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

Keberhasilan dalam implementasi kebijakan tidak dapat

dipisahkan dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

(6) Disposisi Implementor

Hal ini berkaitan dengan sikap maupun respon dari para

implementor terhadap suatu kebijakan. Keberhaslan suatu

kebijakan dipengaruhi oleh faktor kemauan implementor

46
untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, serta

sikap dari implementor tersebut.

7. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang

meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar

dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan dan

pendaftaran ini merupakan inisiatif pemerintah.48

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah pendaftaran tanah yang

dilaksanakan atas prakarsa dari Badan Pertanahan Nasional yang

didasarkan atas suatu rencana kerja jangka panjang dan rencana

tahunan yang berkesinambgungan yang pelaksanaannya dilakukan

di wilayah-wilayah yang ditunjuk oleh menteri. Pendaftaran tanah

secara sistematik, inisiatif datang dari kantor pertanahan setempat.

Mereka yang mengunjungi lokasi, mendatangi para pemilik tanah

dengan didampingi oleh aparat kelurahan yang tergabung dalam

panitia adjudikasi. Biaya pendaftaran tanah seperti ini dibebankan

oleh APBN dan dana pinjaman dari Bank Dunia dan biasa disebut

dengan “proyek ajudikasi”.49

a. Sejarah Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Berdasarkan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal

28D ayat (1) tentang kepastian hukum, maka pada tanggal 24


48
Boedi Harsono, Op.cit. h., 474
49
Florianus SP Sangsun, 2007, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta,
h., 39.

47
September 1960 disahkan Undang-Undang Nomor 5 tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Wujud kepastian hukum ini diberikan atas kepemilikan tanah

baik itu tanah hak milik maupun tanah wakaf, maka

pemerintah harus mengadakan pendaftaran tanah di seluruh

wilayah Indonesia yang hasilnya berupa sertifikat tanah.

Hal ini sesuai dengan Pasal 19 Ayat (1) UUPA yang

menyatakan,

”Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah”.50

Pengadaan pendaftaran tanah diwujudkan melalui pasal 19

UUPA pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10

Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian

diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah yang dimaksud

adalah setiap rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan

teratur yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan,

penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam

bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan

50
Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria

48
satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda

bukti hak bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya

dan hak milk atas satuan rumah susun dan hak lain yang

membebaninya.51

Pelaksanaan sertifikasi masal bertujuan memberikan

kepastikan hukum kepada pemilik hak atas tanah masyarakat

Indonesia dengan dikeluarkannya kebijakan percepatan

pendaftaran hak atas tanah di Indonesi melalui program Proyek

Operasi Nasional Agraria (PRONA). Program ini diatur daam

Surat Keputusan Dalam Negeri No. 189 Tahun 1981 yang

didalamnya mengatur pelaksanaan dan tata tertib administrasi

pertanahan. PRONA ini sendiri dilaksanakan pada tahun 1981

sampai adanya program baru yaitu Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap di tahun 2016. Program PRONA disini

dirasa oleh pemerintah belum mampu menjawab problem

masih mengenai sertifikat tanah di Indonesia. Atas dasar

tersebut, di tahun 2016 pemerintah menerbitkan program baru

yaitu Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (selanjutnya

disebut dengan PTSL). Pedaftaran tanah juga memberikan

dampak tidak hanya pada tanah masyarakat yang teregistrasi,

namun juga manfaat pada aspek lain seperti meningkatkan

tingkat keamanan kepemilikan tanah, kesetaraan gender,

51
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

49
mengurangi terjadinya perselisihan atas tanah, serta

memudahkan akses kredit dalam meningkatkan investasi atau

modal usaha.52

Tanah yang telah terdaftar juga menjadi salah satu indikator

tingkat kemiskinan yang berkurang. Dengan adanya

kemampuan untuk mendaftarkan tanah, hak kepemilikan atas

tanah seseorang menjadi legal, sehingga menjadi salah satu

bukti kepemilikan harta.53

Salah satu ketentuan dalam program PTSL ditahun 2016 yang

mana biaya yang berasal dari pemerintah, hanya bisa diikuti

oleh masyarakat yang tidak mampu. Kemudian baru ditahun

2017 dalam Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2017 Tentang

Perubahan Kedua Atas Permen No. 35 Tahun 2016 Tentang

Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Pasal 14

dirubah sehingga menyatakan bahwa setiap Warga Negara

Indonesia bagi perorangan dapat mengikuti program ini.

Melalui perubahan dalam Pasal 14 ini masyarakat sangat

antusias dan berbondong-bondong mendaftarkan tanahnya

yang belum memiliki sertifikat.

Kemudian ditahun 2018 Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2017

Tentang Perubahan Kedua Atas Permen No. 35 Tahun 2016

52
Yami, M. & Snyder, K. (2016). After All, Land Belongs To The State: Examining The
Benefits Of Land Registration For Smallholders In Ethiopia. Land Degrad. Develop. 27: 465–478.
53
Webster, C., Wu, F., Zhang, F., & Sarkar, C. (2016). Informality, Property Rights, And
Poverty In China‟s „„Favelas”. World Development Vol. 78, h. 461–476.

50
Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

sudah tidak berlaku dan dirubah dengan Permen ATR/BPN

No. 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap.

b. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Dasar hukum pelaksanaan pendaftaran tanah sistematis

lengkap yang pertama yaitu Permen ATR/BPN No. 35 Tahun

2016 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis

Lengkap sebagaimana telah diubah dengan Permen ATR/BPN

No. 1 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Permen ATR/BPN

No. 35 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap. Kemudian dibuatlah Permen ATR/BPN

No. 12 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap. Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2017

mencabut dan menyatakan tidak berlaku Permen No. No. 1

Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Permen ATR/BPN No.

35 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap.

Kemudian muncul Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN,

Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembagunan Daerah

Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3(tiga)

Menteri No. 25/SKB/V/2017 Tentang Pembiayaan Persiapan

51
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Menindaklanjuti

Keputusan Bersama tiga menteri tersebut, maka Presiden

mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2018 Tentang

Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh

Wilayah Republik Indonesia. Menindaklanjuti Instruksi

Presiden No. 2 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh Wilayah Republik

Indonesia. Di tahun 2018 dibuatlah peraturan baru yakni

Permen ATR/BPN No. 2 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap. Berdasarkan ketentuan penutupnya

menyatakan bahwa setelah Permen ini mulai berlaku maka

Permen No. 12 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

c. Syarat Pendaftaran Tanah

Persyaratan dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali

meliputi :

1) KTP (merupakan warga Negara Indonesia )

2) KK (Kartu Keluarga)

3) SPPT (Surat Pembebanan Pajak Tarutang)

4) SKT (Surat Keterangan Tanah)

Objek PTSL:

52
PTSL merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama

kali yang dilakukan serentak untuk semua objek pendaftaran

tanah di seluruh wilayah Indonesia dalam satu wilayah

desa/kelurahan atau yang setingkat dengan itu, meliputi

pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau

beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan

pendaftarannya.54

Hak-hak atas tanah yang dapat diterbitkan sertifikat melalui

kegiatan PTSL meliputi :55

1) Hak milik

2) Hak guna usaha (HGU)

3) Hak Guna Bangunan (HGB)

4) Hak pakai

5) Hak sewa

6) Hak membuka tanah

7) Hak memungut hasil hutan

Objek pendaftaran tanah yang dimaksudkan adalah seluruh

tanah di wilayah Indonesia tak terkecuali:56

1) bidang tanah yang belum memiliki ha katas tanahnya.

54
Pasal 1 Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap
55
Pasal 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
56
Pasal 4 Permen ATR/BPN No. 6 Thun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap

53
2) bidang tanah yang sudah memiliki hak atas tanahnya

namun dalam dalam rangka memperbaiki kualitas data

pendaftaran tanah.

3) bidang tanah yang sudah memiliki tanda batas.

4) bidang tanah yang masih akan ditetapkan tanda

batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL.

8. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistemastis Lengkap

PTSL diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Kementerian

Agraria dan Tata Ruang dimana unit pelaksananya adalah Kantor

Wilayah Badan Pertanahan dan Tata Ruang di tiap-tiap Provinsi di

Indonesia. Kemudian instansi vertikat selanjutnya adalah Kantor

Pertanahan yang terdapat di setiap Kabupaten/Kota. Dalam

pelaksanaan PTSL, Kemeneterian Agraria dan Tata Ruang

memiliki mitra kerja dengan Pihak Ketiga yaitu Surveyor Kadaster

Belisensi atau bisa disingkat dengan SKB dan juga Aparatur Sipil

Negara (ASN) melalui Swakelola sehingga kegiatan PTSL bisa

dilakukan oleh Pihak Ketiga melalui SKB maupun bekerjasama

dengan ASN.

Pelakasanan kegaitan PTSL meliputi:

a. Penyelenggaraan kegiatan PTSL

b. Perencanaan

c. Penetapan lokasi

54
d. Persiapan

e. Penyuluhan

f. Penelitian data yuridis untuk pembuktian hak

g. Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya

h. Penyelesaian kegiatan pendafaran tanah sistematis lengkap

i. Penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian

j. Penerbitan sertifikat hak atas tanah

k. Pendokumentasian dan penyerahan hasil kegiatan

l. pelaporan

9. Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang disingkat menjadi

PTSL merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali

yang dilakukan serentak dalam suatu wilayah desa/kelurahan untuk

semua obyek pendaftaran tanah yang belum di daftar.57

Besaran biaya yang dibebankan dalam program PTSL terbagi

dalam dua hal, pertama adalah biaya untuk persiapan kegiatan yang

dibebankan kepada masyarakat dan yang kedua adalah biaya

pelaksaaan dan penerbitan sertifikat yang dibebankan kepada

pemerintah.58

57
Pasal 1 Poin 6 Peraturan Bupati Banyuwangi No. 11 Tahun 2018 Tentang Pembiayaan
Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Yang Dibebankan Kepada Masyarakat.
58
Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa,
Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3(tiga) Menteri No.
25/SKB/V/2017 Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan
Peraturan Bupati Banyuwangi No. 11 Tahun 2018 Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap Yang Dibebankan Kepada Masyarakat.

55
Kegiatan persiapan pelaksanaan PTSL yang dimaksud meliputi :59

a. Kegiatan dalam hal penyiapan dokumen, berupa surat

pernyataan penguasaan fisik bidang tanah yang berisi sekurang-

kurangnya keterangan tentang tidak adanya sengketa, riwayat

pemilikan/penguasaan tanah, bukan tanah asset milik

pemerintah, daerah, desa, dan penguasaan tanah secara

sporadic.60

b. Kegiatan pengadaan Patok dan Materai, berupa pembiayaan

patok sebanyak tiga buah sebagai tanda batas bidang tanah dan

pengadaan materai sebagai pengesahan Surat Pernyataan

sebanyak satu buah.61

c. Kegiatan operasional petugas kelurahan, berupa biaya dalam

penggandaan dokumen pendukung, penmgangkutan dan

pemasangan patok, serta transportasi perugas Desa/Kelurahan

ke Kantor Pertanahan dalam rangka memperbaiki dokumen

yang diperlukan.62

59
Bagian Kesatu Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3 (tiga)
Menteri No. 25/SKB/V/2017 Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap.
60
Pasal 6 Peraturan Bupati Banyuwangi No. 11 Tahun 2018 Tentang Pembiayaan
Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Yang Dibebankan Kepada Masyarakat.
61
Pasal 7 Peraturan Bupati Banyuwangi No. 11 Tahun 2018 Tentang Pembiayaan
Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Yang Dibebankan Kepada Masyarakat.
62
Pasal 8 Peraturan Bupati Banyuwangi No. 11 Tahun 2018 Tentang Pembiayaan
Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Yang Dibebankan Kepada Masyarakat.

56
Biaya untuk kegiatan persiapan PTSL terbagi menjadi beberapa

kategori, biaya-biaya tersebut sebesar :63

a. Untuk kategori I yang meliputi provinsi Papua, Papua Barat,

Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dibebankan

biaya sebesar Rp 450.000,00.

b. Untuk kategori II yang meliputi provinsi Kepulauan Riau,

Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi

Tenggara, Nusa Tenggara Barat dibebankan biaya sebesar Rp

350.000,00.

c. Untuk kategori III yang meliputi provinsi Gorontalo, Sulawesi

Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan

Barat, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan

Timur dibebankan biaya sebesar Rp 350.000,00

d. Untuk kategori IV yang meliputi Provinsi Riau, Jambi,

Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Selatan

dibebankan biaya sebesar Rp 250.000,00

e. Sedangkan untuk kategori terakhir, yaitu kategori V yang

neliputi pulau Jawa dan Bali dibebankan biaya sebesar Rp

150.000,00

Biaya-biaya yang tersebut diatas untuk satu kali pengajuan

pendaftaran sertifikat dan belum termasuk biaya pembuatan akta,

63
Diktum Kesembilan Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3(tiga)
Menteri No. 25/SKB/V/2017 Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap.

57
Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan Pajak Pengahsilan

(PPh), dan biaya-biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat.64

10. Asas-Asas Pendaftaran Tanah

Pelaksanaan pendaftaran tanah sistematis lengkap harus memenuhi

asas-asas pendaftaran tanah yang meliputi:

a) Asas sederhana

Asas ini berkaitan dengan prosedur pendaftaran tanah maupun

ketentuan pokok pendaftaran tanah mudah dipahami pihak-

pihak yang berkepentingan, terutama pemegang hak tanah.

b) Asas Aman

Pendaftaran tanah yang dilakukan harus secara teliti dan cermat

dengan tujuan terjaminnya kepastian hukum sesuai dengan

tujuan pendaftaran tanah.

c) Asas Terjangkau

Pendaftaran tanah harus dapat menjangkau semua pihak,

khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan

golongan ekonomi lemah, dan pelayanan yang diberikan juga

harus menjangkau semua pihak yang membutuhkan.

d) Asas Mutakhir

Data yang diperlukan dalam pendaftaran tanah harus mutakhir

dengan kelengkapan yang memadai. Data harus terus dipelihara

64
Diktum Kesembilan Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3(tiga)
Menteri No. 25/SKB/V/2017 Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap.

58
dengan pemutakhiran sehingga ketika terjadi perubahan-

perubahan di kemudian hari harus mendaftarkan perubahan-

perubahan yang terjadi.

e) Asas Terbuka

Data yang berada pada kantor pertanahan harus selalu sesuai

dengan kenyataan dan masyarakat secara terbuka dapat

memperoleh keterangan data-data yang benar.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pendaftaran tanah

tidak hanya tentang asas, akan tetapi terdapat 7 hal penting yang

juga harus diperhatikan menurut Sir Charles Fortescue

Brickdate65, yaitu:

a) Security, kemantapan sistem pendaftaran tanah akan

membuat jaminan rasa aman.

b) Simplicy, sederhana

c) Accuracy, sistem pendaftaran lebih teliti dan efisien.

d) Expedition, dapat lancar dan segera.

e) Cheapness, biaya dapat semurah mungkin.

f) Completeness of record, perekaman harus lengkap.

C. Persepektif Hukum Islam tentang Tanah

65
Sulchan, A., & Rahmawati, A. A. (2019). Kebijakan Pemerintah Dalam Program
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). h. 60. Semarang: SINT Publishing.

59
Tanah dalam persepektif islam berkaitan dengan hak kepemilikan (milkiyah),

pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi‟) tanah.66 Hukum pertanahan

dalam hukum islam disebut dengan Ahkam Al-Aradhi. Para ahli hukum Islam

(Fuqaha) menjelaskan tentang hukum pertanahan berkaitan dengan pengelolaan

harta benda (al-amwal) oleh negara. Islam memandang bahwa segala sesuatu

yang berada di langitu dan bumi termasuk tanah merupakan milik Allah SWT.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT (artinya),”Dan kepunyaan Allah-lah

kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS

An-Nuur [24]: 42). Allah SWT juga berfirman (artinya),”Kepunyaan-Nyalah

kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha

Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57] : 2).67

Sesuai dengan ayat-ayat tersebut, pada hakikatna pemilik tanah adalah Allah

SWT, kemudian Allah memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk

mengelola tanah tersebut sesuai dengan hukum-hukumnya.

Artinya, dalam islam telah diterangkan secara jelas bahwa terdapat dua inti

dari kepemilikan tanah, yaitu: pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT,

dan manusia diberikan hak kuasa oleh Allah SWT sebagai pemilik hakiki dari

tanah untuk mengelola tanah sesuai dengan hukum-hukum islam.

Implikasinya adalah hanya hukum-hukum Allah (syariah islam) yang boleh

digunakan untuk mengatur tentang tanah. Mengatur pertanahan dengan hukum

selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah sebagai pemiliknya yang hakiki.

66
Jamaluddin Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam,Gama Media, Yogyakarta, 2008,
h. 39.
67
http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2012/09/tulisan-menarik-hukum-pertanahan-
menurut-syariah-islam/ diakses pada tanggal Sabtu, 28 Agutstus 2021 pada pukul 20.51 WIB

60
Firman Allah SWT (artinya),”Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi

sekutu-Nya dalam menetapkan hukum.” (QS Al-Kahfi [18]: 26).

Ketetapan yang telah dijelaskan pada Alqur‟an dapat dipahami bahwa manusia

hanya memiliki hak mengelola, menanami, dan memiliki hasil produksi dari

tanah yang pemilik hakikinya adalah Allah SWT, sementara hak milik yang

dimiliki manusia bersifat tidak mutlak atau majazi.68

68
Sulchan, A., & Rahmawati, A. A. (2019). Kebijakan Pemerintah Dalam Program
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). h. 49. Semarang: SINT Publishing.

61
D. Kerangka Berpikir

Pancasila

UUD 1945

UUPA No.5 Tahun 1960

Instruksi Presiden No.1 tahun 2016

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala


Badan Pertanahan Nasional No.35 tahun 2016

Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah


Sistematis Lengkap (PTSL)

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah


Sistematis Lengkap (PTSL) Sistematis Lengkap (PTSL)

SKB 3 Menteri

Implementasi pada tingkat pemerintah


daerah

62
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kebijakan Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

(PTSL) Pada Tingkat Pemerintah Pusat

1. Sejarah Badan Pertanahan Nasional

Badan Pertanahan Nasional pada mulanya disebut sebagai Kantor

Agraria. Pada tahun 1998 terdapat pertimbangan yang mendasari perubahan

nama dari Kantor Agraria menjadi Badan Pertanahan Nasional karena tanah

sudah bukan lagi termasuk permasalah agraria yang dikenal dengan istilah

pertanahan, namun permasalahan tanah telah berkembang menjadi

permasalahan lintas sektoral dengan dimensi pertanahan dan keamanan.

Oleh sebab itu, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 tahun

1998 menetapkan bahwa Badan Pertanahan Nasional terbentuk.

Badan Pertanahan Nasional menjadi salah satu lembaga pemerintah non

Kementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden dengan dipimpin

oleh kepala69. Tugas utama Badan Pertanahan Nasional adalah

melaksanakan tugas pemerintahan terkait dengan bidang pertanahan baik

secara nasional, regional dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Badan Pertahanan Nasional mengalami beberapa kai

perubahan dalam bentuk kelembagaan dan pergantian kekuasan, yang mana

hal ini berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan. Badan Pertahanan

69
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013

63
Nasional sebelum terjadi perubahan berada di bawah Kementerian Agraria.

Pada posisi ini proses pengambilan kebijakan dilakukan dan ditindaklanjuti

sesuai dengan struktur kepemimpinan yaitu dari pemerintah pusat sampai

pada tingka kantah. Kemudian, Badan Pertanahan Nasional berpindah

menjadi di bawah naungan Departemen Dalam Negeri yang mana

pertanahan sebagai Dirjen Agraria, maka dalam proses pengambilan

kebijakan hanya dilakukan pada tingkat Dirjen. Badan Pertahanan Nasional

mengalami beberapa kali perubahan struktur kelembagaan pada beberapa

periode waktu sebagai berikut:

1960-1970

Masa ini merupakan masa transisi dengan Undang-Undang Pokok Agraria

masih awal berlaku. Segala bentuk peraturan pertanahan masih terpusat

dikeluarkan oleh Presiden dan Menteri Muda Kehakiman.

1965

Pada masa ini, status kelembagaan agraria berada di bawah naungan

Menteri Agraria, terpisah dari Menteri Pertanian. Dengan adanya pemisahan

ini, Menteri Agraria dipimpin oleh R. Hermanses, S. H. Pemisahan ini

memberikan kewenangan kepada Menteri Agraria dalam proses

pengambilan keputusan.

1968

Status kelembagaan pada masa ini kembali mengalami perubahan,

Kementerian Agraria berubah di bawah naungan Departemen Dalam Negeri

dengan nama lembaga berubah menjadi Direktorat Jenderal Agraria.

64
Perubahan ini terjadi pada masa yang cukup lama yaitu periode tahun 1968-

1990. Sehingga dalam proses pengambilan kebijakan dan penerbitan

peraturan tidak banyak mengalami perubahan pada masa ini.

1988-1990

Masa ini adalah awal mula terbentuknya Badan Pertanahan Nasional. Status

kelembagaan lembaga mengalami perubahan yang sebelumnya di bawah

naungan Departemen Dalam Negeri menjadi lembaga non departemen

dengan nama Badan Pertanahan Nasional. pada saat itu dipimpin oleh Ir.

Soni Harsono dengan catur tertib pertanahannya. Perubahan status non

kelembagaan ini membuat perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek

lembaga, terutama pada proses pengambilan kebijakan.

1990

Badan Pertanahan Nasional mengalami perubahan kembali pada periode ini

menjadi Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dengan

pimpinan yang masih sama.

1998

Periode ini tidak terjadi perubahan status kelembagaan, hanya saja terjadi

perubahan pimpinan. Pada periode ini pimpinannya adalah Hasan Basri

Durin.

2002-2006

Pada periode ini Badan Pertanahan Nasional berubah status menjadi

lembaga negara sehingga kedudukannya setara dengan kementerian. Pada

periode ini, lembaga ini dipimpin oleh Prof.Lutfi I.Nasoetion, MSc.,Ph.D.

65
2006-2012

Pada periode ini tidak terjadi perubahan status kelembagaan. Pimpinan

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada periode ini dipimpin

oleh Joyo Winoto, Ph.D. Pada periode ini diterbitkan 11 agenda kebijakan

pada kurun waktu lima tahun.

2012-2014

Pada periode ini tidak terjadi perubahan status kelembagaan, hanya terjadi

perubahan pimpinan. Pada periode ini, Hendarman Supandji dilantik

menggantikan pimpinan yang sebelum.

2014-sekarang

Pada periode ini terjadi perubahan kelembagaan kembali. Periode ini

merupakan periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, perubahan

dilakukan dengan menggabungkan Direktorat Jenderal Penataan Ruang di

Kementeriaan Pekerjaan Umum dengan Badan Pertanahan Nasional. adanya

penggabungan ini juga merubah status Institusi urusan Tata Ruang menjadi

bagian dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badap Pertanahan

Nasional menjadi Direktorat Jenderal Tata Ruang.

Saat ini, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, memiliki empat direktorat dan satu

sekretariat, yaitu:

1) Sekretariat Direktorat Jenderal

2) Direktorat Perencanaan Tata Ruang Nasional

3) Direktoratan Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah I

66
4) Direktoratan Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah II

5) Direktorat Sinkronisasi Pemanfaatan Tata Ruang

Struktur Organisasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan

Pertanahan Nasional sebagai berikut70:

Sumber: website resmi Kementerian ATRBPN

70
https://www.atrbpn.go.id/?menu=strukturOrganisasi

67
Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional

Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 tentang

Badan Pertanahan Nasional, badan pertanahan nasional Republik Indonesia

mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya,

badan pertanahan nasional Republik Indonesia menyelenggarakan fungsi:71

a. Penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan.

b. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan

pemetaan.

c. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah,

pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat.

d. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan

pengendalian kebijakan pertanahan.

e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah.

f. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan

penanganan sengketa dan perkara pertanahan.

g. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan badan pertanahan

nasional republik indonesia.

h. Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan

administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan badan

i. pertanahan nasional republik indonesia.

71
http://www.bpn.go.id/Tentang-Kami/Sekilas-ATR-BPN, diakses pada tanggal 12 Juni
2021, pukul 09.00 wib

68
j. Pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan

berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan. Pelaksanaan penelitian

dan pengembangan di bidang pertanahan; dan

k. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.

Agenda Kebijakan Badan Pertanahan Nasional:

a. Membangun kepercayaan masyarakat pada badan pertanahan nasional

b. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi

tanah secara menyeluruh di seluruh indonesia.

c. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah (land tenureship).

d. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana

alam dan daerah-daerah konflik.

e. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik

pertanahan di seluruh indonesia secara sistematis.

f. Membangun sistem informasi pertanahan nasional (simtanas), dan sistem

pengamanan dokumen pertanahan di seluruh indonesia.

g. Menangani masalah korupsi kolusi dan nepotisme (kkn) serta

meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

h. Membangun data base pemilikan dan penguasaan tanah skala besar.

i. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan

pertanahan yang telah ditetapkan.

j. Menata kelembagaan badan pertanahan nasional.

k. Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan

pertanahan.

69
Daftar Lokasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) mengacu pada

daftar lokasi pada tahun 2020 ini daftar lokasi PTSL mengalami penyesuaian

karena adanya pandemi Covid-19.

Daftar lokasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sebagai berikut:

No Kode Kanwil Pengukuran Yuridis


1 01 Aceh 90.464 69.747
2 02 Sumut 230.701 190.000
3 03 Sumbar 77.324 56.739
4 04 Sumsel 193.284 175.044
5 05 Riau 169.900 154.900
6 06 Jambi 150.000 135.000
7 07 Bengkulu 105.168 85.000
8 08 Lampung 280.000 260.000
9 09 DKI 332.655 332.655
10 10 Jabar 1.269.500 1.269.500
11 11 Jateng 1.276.374 1.227.221
12 12 Jatim 1.616.385 1.572.630
13 13 DIY 247.459 247.459
14 14 Kalbar 163.477 140.137
15 15 Kalteng 137.500 117.500
16 16 Kaltim 118.971 98.971
17 17 Kalsel 160.000 140.000
18 18 Sulut 61.659 40.700
19 19 Sulteng 80.000 76.878
20 20 Sulsel 140.197 123.897
21 21 Sultra 75.800 58.378
22 22 Bali 270.000 270.000
23 23 NTB 202.643 181.143
24 24 NTT 110.200 90.000
25 25 Maluku 50.000 30.000
26 26 Papua 50.000 30.000
27 27 Malut 51.869 40.000
28 28 Banten 400.000 400.000
29 29 Babel 75.240 50.000

70
No Kode Kanwil Pengukuran Yuridis
30 30 Gorontalo 57.619 35.000
31 31 Sulbar 59.350 39.268
32 32 Kepri 118.200 89.900
33 33 Papua Barat 40.000 20.080
Total 8.461.939 7.847.747

2. Kebijakan Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

(PTSL) Pada Tingkat Pemerintah Pusat

Pendafataran tanah sistematis lengkap (PTSL) merupakan program pemerintah

yang memudahkan masyarakat dalam pendaftaran tanahnya secara sistematis

dengan biaya yang relatif lebih rendah dibanding jika masyarakat melakukan

pendaftaran tanah secara mandiri. Program ini memiliki tujuan untuk

memberikan peningkatan kesejahteraan dn kemakmuran masyarakat dan

ekonomi negara, selain itu juga sebagai upaya pencegahan terjadinya sengketa

maupun konflik pertanahan dengan cara memberikan kepastian hukum

sebagaimana tercantum pada pasal 2 Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional No.12 tahun 2017. Bidang tanah yang dapat

menjadi objek PTSL telah diatur dalam Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan

bahwa objek PTSL merupakan seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik

bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak, baik

merupakan tanah aset Pemerintah/Pemerintah Daerah, tanah Badan Usaha

Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, tanah desa, tanah negara, tanah

masyarakat hukum adat, kawasan hutan, tanah objek landreform, tanah

transmigrasi, dan bidang tanah lainnya.

71
Sebagai program percepatan, pemerintah pusat telah membuat berbagai

kebijakan untuk mendukung terwujudnya target yang telah ditetapkan. Biaya

pelaksanaan program telah diseragamkan oleh pemerintah pusat dan

membebaskan pembiayaannya bagi masyarakat. Pengaturan biaya dan sumber

pendanaan yang tidak menggunakan dana dari APBN diatur dalam Keputusan

bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional,

Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis

(SKB). Tujuan diterbitkannya SKB ini adalah sebagai patokan dalam

menentukan biaya pelaksanaan persiapan PTSL pada tingkat pemerintah

daerah. Surat Keputusan Bersama ini perlu ditegaskan kembali pada

pelaksanaannya di tingkat pemerintah daerah. Dalam penentuan biaya PTSL,

pemerintah daerah harus mengikuti peraturan yang telah dituangkan dalam

SKB. Jenis anggaran kegiatan yang telah disebutkan dalam SKB tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan Penyiapan Dokumen

Anggaran yang ditentukan dalam kegiatan penyiapan dokumen ini meliputi

kegiatan pengadaan dokumen yang berkaitan dengan surat pernyataan yang

dibuat oleh pemilik tanah yang menjelaskan bahwa tanah tersebut bukan

termasuk tanah sengketa, riwayat kepemilikan tanah, keterangan yang

menunjukkan bahwa tanah tersebut bukan tanah milik

pemerintah/desa/daerah, bukan merupakan tanah dalam kawasan hutan

serta tanah tersebut belum pernah diterbitkan sertifikat tanahnya.

72
b. Kegiatan pengadaan patok dan materai

Pada kegiatan ini, rincian biaya yang dianggarkan adalah pengadaan patok

untuk batas-batas sebidang tanah yang jumlahnya 3 buah, dan 1 materai

yang digunakan untuk pengesahan surat pernyataan.

c. Kegiatan operasional petugas kelurahan/desa

Kegiatan yang berkaitan dengan operasional petugas kelurahan/desa yang

telah dianggarkan berkaitan dengan pengadaan dokumen pendukung,

kegiatan pengangkutan pemasangan patok, serta biaya transportasi bagi

petugas desa yang melakukan perjalanan dari kantor kelurahan/desa

menuju kantor pertanahan dengan tujuan perbaikan dokumen.

Selain itu, pada SKB tiga menteri juga disebutkan bahwa Bupati/Walikota

dapat menganggarkan biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang tidak

tertampung dalam APBN dan APBDesa dapat dimasukkan ke dalam

APBDaerah sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing. Hal ini

bertujuan untuk memberikan keringanan biaya kepada masyarakat. Namun,

tidak semua pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk memberikan

keringanan biaya kepada masyarakat atau menanggung semua biaya yang

dikeluarkan pada program PTSL tersebut, oleh sebab itu perlu adanya

musyawah pada tiap daerah untuk menentukan besaran biaya yang harus

ditanggung secara swadaya oleh masyarakat. Pemerintah pusat sendiri telah

memberikan batasan-batasan yang dapat digunakan sebagai acuan pemerintah

73
daerah dalam menentukan besaran biaya yang ditanggung masyakarat. Sesuai

dengan yang diatur dalam SKB tiga Menteri sebagai berikut:

a. Untuk kategori I yang meliputi provinsi Papua, Papua Barat, Maluku,

Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dibebankan biaya sebesar Rp

450.000,00.

b. Untuk kategori II yang meliputi provinsi Kepulauan Riau, Bangka

Belitung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa

Tenggara Barat dibebankan biaya sebesar Rp 350.000,00.

c. Untuk kategori III yang meliputi provinsi Gorontalo, Sulawesi Barat,

Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara,

Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Timur dibebankan biaya sebesar Rp

350.000,00

d. Untuk kategori IV yang meliputi Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan,

Lampung, Bengkulu, Kalimantan Selatan dibebankan biaya sebesar Rp

250.000,00

e. Sedangkan untuk kategori terakhir, yaitu kategori V yang neliputi pulau

Jawa dan Bali dibebankan biaya sebesar Rp 150.000,00

Biaya-biaya yang tersebut diatas untuk satu kali pengajuan pendaftaran

sertifikat dan belum termasuk biaya pembuatan akta, Bea Perolehan Hak Atas

Tanah (BPHTB) dan Pajak Pengahsilan (PPh), dan biaya-biaya tersebut

dibebankan kepada masyarakat.72

72
Diktum Kesembilan Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3(tiga)
Menteri No. 25/SKB/V/2017 Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap.

74
Pemerintah telah menetapkan sumber-sumber pendanaan yang dapat digunakan

sebagai pembiayaan kegiatan PTSL. Pembiayaan PTSL dapat diperoleh dari

berbagai sumber sebagai berikut:73

a. Dana yang disediakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional yang berupa dana DIPA (Daftar Isian Program

Anggaran) dengan anggaran khusus untuk program PTSL, Prona,

transmigrasi, redistribusi tanah landreform, dan program pensertipikatan

hak atas tanah.

b. Dana DIPA yang disediakan oleh kementerian ataupun lembaga pemerintah

lainnya.

c. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi, Kabupaten/Kota

dan Dana Desa;

d. Dana dari Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, maupun

badan hukum swasta melalui danan Corporate Social Responsibility (CSR).

e. Dana yang dihimpun dari masyarakat melalui kegiatan Sertipikat Masal

Swadaya (SMS) yang harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

f. Dana dari penerimaan hibah (grant), pinjaman (loan) dari badan hukum

swasta atau dalam bentu lain yang diberikan melalui mekasnisme Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara danatau Pendapatan Negara Bukan Pajak.

73
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12
Tahun 2017 tentang Pecepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia pada Pasal 33 ayat (1) dan (2).

75
g. Kerjasama yang dilakukan dengan pihak-pihak lain yang perolehan dan

penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

B. Implementasi Penetapan Biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap

(PTSL) Pada Tingkat Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

PTSL sebagai agenda prioritas pemerintah, tidak hanya menjadi tanggung

jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

(ATR/BN) namun juga perlu dukungan dan komitmen dari pemerintah daerah.

Kunci sukses keberhasilan program PTSL adalah adanya dukungan dari

pemerintah daerah karena objek tanah berada pada wilayah daerah terutama

desa/kelurahan, dan masyarakat sebagai pemilik objek tanah tersebut berada.

Keaktifan pemerintah daerah dalam suksesnya program ini dapat dilakukan

dengan menjembatani antara masyarakat dengan kantor pertanahan sebagai

pelaksana utama program PTSL.

Pemerintah telah memberikan kemudahan kepada masyarakat terkait dengan

biaya PTSL, namun dalam penetapan biaya PTSL pemerintah daerah harus

mampu mempertimbangkan berbagai aspek biaya yang timbul dalam program

tersebut. Pemerintah pusat telah memberikan beberapa kategori nominal biaya

dan jenis penggunaan biaya dengan tujuan penyeragamaan biaya pada lapisan

pemerintah daerah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu mengatur sumber

pendanaan terhadap program PTSL yang tidak termasuk dalam anggaran

pendapatan belanja negara agar biaya yang ditanggung oleh masyarakat tidak

terlalu tinggi.

76
Pemerintah daerah dalam hal ini Bupati/Walikota dapat melakukang langkah-

langkah sesuai dengan arahan menteri dalam membantu merealisasikan

program PTSL dalam hal ini terkait dengan penetapan biaya PTSL agar tidak

memberatkan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah

a. Menyusun anggaran biaya pendaftaran PTSL yang tidak termasuk dalam

APBN maupun APBD.

b. Memberikan keringanan dan pengurangan atas biaya pajak bea perolehan

hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap masyarakat penerima

sertifikat.

c. Memberikan sosialisasi lengkap terkait dengan PTSL mulai dari

persyaratan, proses pendaftaran sampai pada terbitnya sertifikat serta

rincian biaya yang dibutuhkan dalam pendaftaran PTSL.

d. Mengacu pada pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang

pemerintah Daerah maka Walikota/Bupati memerintahkan inspektorat

daerah untuk melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum

berkaitan dengan pelaksanaan program PTSL.

Berdasarkan hasil penelitian beberapa pemerintah daerah telah menindaklanjuti

kebijakan dari pemerintah pusat dengan membuat kebijakan terkait dengan

penetapan biaya PTSL pada daerahnya, sebagai berikut:

a. Implementasi Penetapan Biaya PTSL pada Desa Medaeng Kecamatan

Waru Kabupaten Sidoarjo

Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo memperoleh kuota dalam

pelaksanaan PTSL sebesar 60ribu sertifikat dengan target 60 ribu bidang

77
tanah yang terdaftar dapat diselesaikan pada akhir periode kerja tahun

2020.74

Penetapan biaya PTSL pada daerah ini mengikuti besaran biaya yang telah

ditetapkan pemerintah yaitu sebsar Rp. 150.000,00. Rincian biaya tersebut

meliputi biaya materai, biaya tanda batas/pal (pipa paralon, pagar, tembok

pendek), biaya warkah serta biaya transportasi aparat desa dibebankan

kepada masyarakat pemohon PTSL. Penetapan biaya ini mengikuti aturan

yang telah ditetapkan pada SKB 3 Menteri. Daerah ini termasuk pada

kategori V. Jenis anggaran kegaitan yang biayanya ditetapkan sesuai

dengan SKB 3 Menteri pada Desa Madaeng, Kecamatan Waru, Kabupaten

Sidoarjo dijabarkan sebagai berikut:

1) Kegiatan Penyiapan Dokumen

Pada kegiatan penyiapan dokumen pelaksanaan PTSL di desa

Madaeng, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo dialokasikan sebagai

biaya materai dalam dokumen-dokumen yang dibutuhkan pemohon

PTSL. Dokumen-dokumen tersebut berupa surat pernyataan yang

dibuat oleh pemilik tanah yang menjelaskan bahwa tanah tersebut

bukan termasuk tanah sengketa, riwayat kepemilikan tanah,

keterangan yang menunjukkan bahwa tanah tersebut bukan tanah

milik pemerintah/desa/daerah, bukan merupakan tanah dalam kawasan

hutan serta tanah tersebut belum pernah diterbitkan sertifikat

tanahnya.

74
Lika, S. D. R., & Sholichah, N. (2020). Implementasi Kebijakan PTSL di Desa Madaeng,
Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Journal of Social Politics and Governance, 2 (1), 63-72.

78
2) Kegiatan Pengadaan Patok dan Materai

Pada kegiatan ini, anggaran biaya dialokasikan untuk biaya tanda

batas/pal berupa pipa paralon, pagar, maupun tembok pendek.

3) Kegiatan Operasional Petugas Kelurahan/Desa

Alokasi biaya yang digunakan dalam kegiatan operasional petugas

kelurahan/desa Madaeng, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo

adalah untuk transportasi aparat desa serta biaya warkah.

Alokasi anggaran dan penggunaan biaya pendaftaran pada desa tersebut

mengikuti ketentuan dari pemerintah pusat yang mana nominal biaya

sesuai dengan batas minimal yang ditetapkan. Besaran biaya yang

ditetapkan sudah sesuai dengan kebutuhan operasional pelaksanaan proses

pensertifikatan tanah, sehingga di desa ini tidak lagi membebankan biaya

tambahan kepada masyarakat. Penetapan biaya PTSL di desa Madaeng,

Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo yang sudah mengikuti kebijakan

pada pemerintah pusat ini dapat dianalisis oleh penulis bahwa

pengambilan kebijakan sesuai dengan teori Van Meter dan Van Horn yang

terdiri dari 6 indikator yaitu standard dan sasaran kebijakan, sumber daya,

komunikasi antara organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen

pelaksana, kondisi sosial, ekonomi dan politik dan disposisi

implementor75.

Indikator Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur. Pada

implementasi kebijakan yang dilakukan di desa Madaeng, Kecamatan

75
Subarsono, 2011. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

79
Waru, Kabupaten Sidoarjo telah memenuhi indikator ini. Hasil telaah yang

dilakukan oleh penulis menemukan bahwa penetapan biaya PTSL sesuai

dengan SKB 3 Menteri dan pelaksanaan PTSL juga mengacu pada

Peraturan Menteri Agraria No.1 tahun 2017. Indikator Komunikasi dan

penguatan akitivitas telah memenuhi teori karena pelaksanaan penetapan

biaya PTSL di desa Madaeng, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo ini

telah melakukan sinkronisasi antara pemerintah pusat, Kantor Pertanahan

Kabupaten Sidoarjo dan aparatur desa, namun, masih terdapat kendala

pada masyarakat yang mana sosialisasi kurang dilakukan karena masih

terdapat masyarakat yang tidak mengikuti PTSL dengan anggapan biaya

pendaftaran PTSL yang mahal. Telaah yang dilakukan pada jurnal yang

ditulis oleh Lika dan Sholichah ini juga menjelaskan bahwa indikator sikap

implementor dalam hal ini adalah masyarakat yang sebagian masih

beranggapan bahwa biaya PTSL mahal, dan proses pendaftaran sertfikat

yang cukup rumit menjadi kendala dalam efektivitas pelaksanaan

kebijakan.76 Pendaftaran tanah dapat berhasil tergantung dari kemauan dan

kemampuan masyarakat unutk mengikuti program pendaftaran tanah.77

b. Implementasi Penetapan Biaya PTSL pada Kabupaten Semarang

Hasil telaah penulis terhadap jurnal yang ditulis oleh Putra, Sarjita dan

Farid (2019) menjelaskan tentang pelaksanaan penetapan biaya PTSL yang

dilakukan di Kabupaten Semarang. Dalam penetapan besarnya biaya yang

76
Ibid
77
Rakotonarivo, O. S., Jacobsen, J. B., Poudyale, M., & Rasoamanana, A. (2019).
Estimating welfare impacts where property rights are contested: methodological and policy
implications. Land Use Policy, 70. h. 71–83.

80
ditetapkan, pemerintah desa melakukan musyawarah dengan masyarakat

yang kemudian hasil musyawah tersebut terbitlah Peraturan Desa (Perdes).

Perdes inilah yang digunakan oleh pemerintah desa di wilayah Kabupaten

Semarang untuk menetapkan biaya PTSL sehingga tidak dianggap sebagai

pungutan liar (pungli). Meskipun nominal biaya PTSL yang ditetapkan

berbeda dengan kategori biaya yang telah ditetapkan dengan pemerintah

pusat, namun hal ini tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat karena

kebijakan yang dihasilkan tidak satu arah melainkan hasil dari kesepakatan

bersama masyarakat. Peraturan Desa (Perdes) ini juga melindungi aparat

desa dalam pelaksanaan PTSL agar terhindar dari OTT.78

Peraturan Desa yang dirancang untuk penetapan biaya PTSL sudah sesuai

dengan Pasal 371 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang

menjelaskan tentang pelaksanaan kewenangan pemerintah desa dan Badan

Permusyawaratan Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dapat

membentuk peraturan desa sebagai dasar penyelenggaraan desa.

Peraturan Desa yang dibentuk di wilayah Kabupaten Semarang ini sesuai

dengan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

No.111 tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan di desa.

Penetapan biaya PTSL yang melalui peraturan desa ini sebagai bentuk

tindak lanjut dari Surat Edaran Gubernur dalam rangka pengaturan biaya

pensetipikatan tanah yang dibebankan kepada pemohon harus berdasarkan

hasil musyawarah.
78
Putra, A. P., Sarjita., & Farid, A.H. (2019). Peraturan Desa Sebagai Instrumen
Pendukung Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap . Jurnal Tunas Agraria,2 (1), 1-
20.

81
Langkah-langkah penetapan biaya melalui Peraturan Desa di Kabupaten

Semarang adalah sebagai berikut:79

1) Pengidentifikasian kebutuhan anggaran

Kegiatan identifikasi ini dilakukan agar tidak terjadi overlapping

anggaran antara anggaran yang akan ditetapkan dengan anggaran yang

sudah ditetapkan dalam SKB (pembiayaan untuk satu kegiatan yang

sejenis). anggaran-anggaran yang belum disebutkan dalam SKB

kemudian dialokasikan dalam rencana anggaran biaya desa.

2) Penyusunan Rencana Anggaran Biaya

3) Musyawarah dengan masyarakat terkait dengan rencana anggaran

biaya yang telah disusun. Pada musyawah ini, dilakukan pembahasan

mengenai solusi atas kekurangan pembiayaan yang tidak termasuk

dalam anggaran APBN maupun APB Desa. Kekurangan ini kemudian

sebagai bahan pertimbangan yang mana biayanya akan dibebankan

kepada masyarakat melalui swadaya atau pungutan. Hasil musyawarah

yang telah disepakati kemudian sebagai acuan dalam penetapan biaya

PTSL yang dituangkan dalam peraturan desa.

Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan tujuan ketika biaya PTSL

yang dibebankan kepada masyarakat apablia melebihi dari nominal yang

telah ditetapkan dalam SKB, tidak dainggap sebagai pungutan liar karena

sudah sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, setiap pungutan yang

dibebankan kepada masyarakat dapat dipertanggungjawabkan


79
Putra, A. P., Sarjita., & Farid, A.H. (2019). Peraturan Desa Sebagai Instrumen
Pendukung Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap . Jurnal Tunas Agraria,2 (1), 1-
20.

82
penggunaannya. Artinya penetapan biaya yang dilakukan di Kabupaten

Semarang juga telah memenuhi unsur transparansi.

Penulis menganalisis hasil kajian yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa penetapan biaya pada Kabupaten Semarang telah memenuhi asas

Asas openbaarheid (asas publisitas) yang mana informasi PTSL ini dapat

dijangkau dan diketahui oleh masyarakat80.

Analisis yang dilakukan dengan payung teori model-model implementasi

kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn dapat dijelaskan bahwa

kebijakan penyusunan peraturan desa dalalm penentuan biaya PTSL di

Kabupaten Semarang memenuhi beberapa indikator sebagai berikut.

1) Pada indikator standard dan sasaran kebijakan jelas bahwa penetapan

biaya yang dilakukan di Kabupaten Semarang sesuai dengan standard

yang telah ditetapkan pada SKB dengan standard kebutuhan biaya

yang diperlukan dalam kegiatan pelaksanaan PTSL pada tingkat desa.

Sasaran kebijakan juga jelas dituangkan dalam peraturan desa dengan

tujuan biaya yang ditetapkan sesuai dengan hasil musyawarah dengan

masyarakat.

2) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas

Penetapan biaya PTSL di Kabupaten Semarang merupakan bentuk

adanya komunikasi yang baik antar organisasi terkait. Organisasi yang

terllibat dalam penetapan biaya mulai dari organisasi pusat sampai

pada organisasi daerah terkecil. Aktivitas ditandai dengan berbagai

80
Ibid, 28.

83
kegiatan, dimulai dari sosialiasi arahan dari pemerintah sampai pada

musyawarah penetapan biaya.

3) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik

Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan

dari masyarakat. Karakteristik masyarakat di Kabupaten Semarang

yang sebagian besar sudah memahami pentingnya musyawarah.

Ekonomi masyarakat di Kabupaten Semarang relatif lebih baik jika

dbandingkan dengan Kabupaten lain. Disposisi Implementor

Sikap semua stakeholders yang berperan dalam kegiatan PTSL ini

turut berperan aktif dalam mengawal pelaksanaan PTSL.

c. Implementasi Penetapan Biaya PTSL di Kabupaten Kuantan Singingi

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap tidak hanya menjangkau pada

objek tanah di pulau Jawa saja, namun ke seluruh wilayah di Indonesia.

Kabupaten Kuantan Singingi merupakan salah satu Kabupaten di

Kepulauan Riau. Implementasi PTSL di Kabupaten ini sesuai dengan

kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Penetapan biaya

PTSL di Kabupaten Kuantang Singingi mengikuti ketentuan yang telah

ditetapkan pada SKB 3 Menteri. Nominal biaya PTSL di Kabupaten ini

masuk pada kategori IV dengan nominal biaya sebesar Rp 250.000,00.

Anggaran yang ditetapkan pada pelaksanaan PTSL di Kabupaten Kuantan

Singingi ini dibiayai melalui APBN, APBD, Sertipikat masal swadaya,

84
dana CSR BUMN/BUMD/Swasta. Anggaran utama dari pelaksanaan

PTSL di Kabupaten Singingi tahun 2017 dibiayai melalui DIPA81.

Model implementasi penetapan biaya di Kabupaten Singingi jika dianalisis

menggunakan teori Van Meter dan Van Horn sebagai berikut:

(1) Standar dan sasaran kebijakan

Implementasi kebijakan penetapan biaya di Kabupaten Singingi sesuai

dengan standar yang telah ditetapkan.standar penetapan biaya dan

anggaran telah ditetapkan melalui petunjuk teknis yang telah disusun.

Petunjuk teknis ini bertujuan untuk mengatur agar pelaksanaan PTSL

dan anggaran yang telah ditetapkan sesuain dengan sasaran sehingga

setiap kegiatan dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Komunikasi antar organisasi dan Penguatan aktivitas

Pada aspek ini, penetapan biaya PTSL tidak membutuhkan penguatan

aktivitas karena penetapan biaya sesuai dengan SKB 3 Menteri,

sehingga yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya adalah komunikasi

berupa sosialisasi kepada masyarakat.

(3) Disposisi Implementor

Sikap implementor dalam merespon kebijakan yang telah ditetapkan

pada pelaksanaan PTSL di Kabupaten Singingi menunjukkan adanya

kesadaran dari para pelaksana kebijakan. Badan Pertanahan Nasional

dibantu dengan pemerintah desa setempat bersama-sama melakukan

sosialisasi program sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.

81
Khairi, A. (2018). Implementasi Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
di Kabuptan Singing Tahun 2017. JOM Fisip, 5 (2), 1-14.

85
Aalisisi teori kepastian hukum dapat dikaji terhadap implementasi

penetapan biaya PTSL pada beberapa daerah menunjukkan bahwa dalam

penetapan biaya, pemerintah telah menetapkan kebijakan standar biaya yang

dibebankan kepada pemohon PTSL. Standar biaya yang ditetapkan telah

disesuaikan dengan wilayah-wilayah yang telah di kelompokkan.

Pemerintah daerah atau Kabupaten dapat langsung menetapkan standar

biaya sesuai dengan yang disebutkan dalam SKB 3 Menteri ataupun

menetapkan sendiri besaran biaya yang akan dibebankan kepada masyarakat

dalam bentuk swadaya/pungutan. Biaya yang nominalnya ditetapkan sesuai

dengan kebijakan pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat

langsung melakukan sosialisasi terhadap program PTSL. Sedangkan, ketika

harus menetapkan biaya sendiri maka perlu adanya mekanisme penetapan

biaya sebagaimana mekanisme dalam membuat kebijakan. Contoh

implementasi yang dilakukan pada Kabupaten Semarang dalam menetapkan

kebijakan biaya PTSL melalui beberapa prosedur. Tujuan dari penetapan

biaya sesuai dengan mekanisme yang ada adalah menghindari adanya

pungutan liar yang dapat merugikan masyarakat. Kebijakan penetapan biaya

yang berbeda dengan yang telah ditetapkan pemerintah pusat harus diatur

secara tertulis dan dituangkan dalam suatu peraturan daerah/desa dengan

tetap mengacu pada kebijakan pusat. Adanya peraturan daerah/desa sebagai

petunjuk teknis dalam pelaksanaan PTSL dilapangan sebagai bentuk

pemenuhan aturan sesuai dengan asas kepastian hukum. hal ini sesuai

86
dengan teori Gustav Radbruch yang menjelaskan tentang asas hukum yang

berorientasi pada 3 tujuan sebagai berikut:82

Jadi kepastian hukum, pada implementasi penetapan biaya PTSL kepastian

hukum diperoleh ketika biaya yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan

pemerintah pusat dalam SKB 3 Menteri. Ataupun ketika ditetapkan sendiri

oleh pemerintah daerah, harus dituangkan dalam suatu peraturan

daerah/desa atau petunjuk teknis. Hal ini menghindari terjadinya

penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparat pemerintah dan juga

menjaga kepercayaan masyarakat, serta menghindari adanya pungutan liar.

Sejalan dengan argumentasi yang dibangun oleh Thomas J. Miceli, C.F.

Sirmans, & Joseph Kieyah dalam jurnal yang ditulisnya yaitu “The purpose

title registration is to increase the security of land ownership by enlisting

the power of the state to enforce ownership rights”83. Dimana Norma dalam

Pasal 19 UUPA menjadi perintah bagi pemerintah untuk melaksanakan

pendaftaran tanah di Indonesia yang menitik beratkan pada recht cadaster

yang dapat dimaknai bahwa akan memberikan dan menjamin kepastian

hukum.

Adapun teori keadilan, menunjukkan biaya yang telah ditetapkan sesuai

dengan kebijakan tentu akan memenuhi asas keadilan karena dalam

penetapan biaya terdapat berbagai pertimbangan dan keterlibatan

masyarakat dalam menentukan besaran biaya yang akan ditanggung. Aspek

82
Ibid, 14
83
Thomas J Miceli, C.F. Sirmans, & Joseph Kieyah. “The Demand for Land Title
Registration: Theory with Evidence from Kenya” (2001) 3:2.American Law and Economic
Review at 56.

87
keadilan ini juga dapat dilihat dari manfaat yang diperoleh masyarakat akan

adanya program PTSL yang memberikan kemudahan dalam pensertipikatan

tanahnya dan dengan biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan

pembuatan sertipikat yang dilakukan secara mandiri ke Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT). Mekanisme penetapan biaya yang dilakukan dengan

transparan memberikan jaminan keamanan dan kepercayaan masyarakat

dengan program pemerintah. Pemahaman masyarakat yang baik tentang

pentingnya pendaftaran tanah dan pola kepemilikan tanah menjadi hal

penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.84 Sejalan juga

dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa program pendaftaran

tanah sebagai salah satu bentuk perlindungan pemerintah pada kondisi

ekonomi masyarakat.85 Hal ini sesuai juga dengan hasil penelitian yang

dilakukan di Ghana bahwa petani lebih merasa aman ketika tanah yang

dimilikinya dari hasil warisan nenek moyang telah terdaftar secara resmi

oleh pemerintah dengan penetapan biaya yang terstandar sehingga

terjangkau oleh semua golongan masyarakat.86

Proses penetapan biaya PTSL yang dilakukan dengan berberapa prosedur

dan melibatkan aspirasi dan kemampuan dari masyarakat, maka dapat

dikatakan bahwa implementasi penetapan biaya PTSL pada tingkat

pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan teori keadilan. Sesuai

84
Moroni, S. (2018). Property as a human right and property as a special title. Rediscussing
private ownership of land. Land Use Policy, 70. h. 273–280
85
Holland, M., et. Al. (2017). Titling land to conserve forests: The case of Cuyabeno
Reserve in Ecuador. Global Environmental Change, 44. h. 27–38.
86
Ghebru, H., & Lambrecht, I. (2017). Drivers of perceived land tenure (in)security:
Empirical evidence from Ghana. Land Use Policy, 66, h. 293–303.

88
dengan teori keadilan yang ditetapkan oleh Hans Kelsen, bahwa keadilan

diperoleh ketika penetapan biaya PTSL diimplementasikan secara legal

sehingga memenuhi konsep legalitas bahwa peraturan umum tersebut

diterpakan pada semua kasus, dan peraturan tersebut diterapkan dalam

pemerintah daerah kabupaten/kota. Penerbitan sertifikat tanah (akta) PTSL

diberikan ketika semua proses dan prosedur PTSL telah dilaksanakan.

Penerbitan sertifikat tanah ini akan diberikan kepada pemilik tanah secara

langsung. Berikut ini contoh sertifikat tanah dari PTS

Gambar 3.1 Contoh Sertifikat Tanah PTSL

89
Gambar 3.2 Formulir Permohonan PTSL

90
Gambar 3.2 Peta Bidang hasil PTSL

91
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Kebijakan penetapan biaya PTSL telah diatur oleh pemerintah pusat

melalui Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang mana biaya PTSL

dikategorikan sesuai dengan wilayah. Pada aturan kebijakan tersebut

memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk menentukan

anggaran biaya PTSL sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.

2. Pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan terkait penetapan biaya

PTSL implementasinya harus tetap mengacu pada kebijakan pusat agar

tetap terjadi sinkronisasi kebijakan. Untuk daerah yang menetapkan biaya

sesuai dengan aturan SKB maka dapat langsung melakukan sosialisasi

pelaksanaan PTSL. Sedangkan daerah yang menetapkan biaya PTSL

sendiri, maka harus melalui mekanisme pembuatan kebijakan dan

penetapannya harus diatur secara tertulis melalui peraturan daerah/desa.

B. Saran

1. Pelaksanaan PTSL perlu disosialisasikan lebih masif terutama terkait

dengan biaya yang akan ditanggung oleh pemohon dan rincian biaya

digunakan untuk apa saja agar masyarakat mendapatkan kepastian biaya

dan rasa tenang dengan nominal biaya yang telah diketahui.

92
2. Perlu adanya edukasi kepada Masyarakat agar bisa memahami pentingnya

program PTSL supaya memiliki kepastian hukum terhadap tananhya dan

masyarakat memahami teknis penetapan biaya PTSL sehinngga program

PTSL yang dilaksanakan berjalan lancar dan sesuai dengan target.

3. Pemerintah harus memastikan tidak terjadi pungutan liar dan memastikan

bahwa penetapan biaya sesuai dengan mekanisme kebijakan yang telah

ditetapkan.

4. Apabila ada biaya yang melebihi ketentuan maka dibuatkan penetapan

secara tertulis dan disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi

kesalahpahaman.

93
DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an

QS An-Nuur [24]: 42).

(QS Al-Hadid [57] : 2).

(QS Al-Kahfi [18]: 26).

B. Buku-Buku

Ali, A. 2002. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.

Amiruddin dan Asikin, Z. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum.


Jakarta: Rajawali Pers.

Dimyati, K. dan Wardiyono, K. 2004. Metode Penelitian Hukum, FH


UMS.

Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan


Undang Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta.

Huda, N. 2005. Negara Hukum, Demokrasi & Juducial Review.


Yogyakarta: UII Press.

Ibrahim, J. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.


Malang: Bayu Media Publishing.

J.B. Daliyo dan kawan-kawan. 2001. Hukum Agraria I. Jakarta:


Prehallindo.

Kartasapoetra, G. 1992. Masalah Pertanahan Indonesia. Jakarta: Pt


Bineka Cipta.

Marzuki, P. M. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Pranada


Media Group.

Marzuki, P. M. 2016. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.

Mertokusumo, S. 2006. Hukum acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty.

94
Muhammad, A. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum.Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.

Murad, R. 2007. Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan. Jakarta:


Mandar Maju.

Najih, M. dan Soimin. 2012. Pengantar Hukum Indonesia.Malang:


Setara Press.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar


Bahasa Indonesia, Jakarta.

Sangsun, Florianus S.P. 1998. Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah.


Jakarta : Visi Media.

Santoso, U. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah.Jakarta:


Kencana Prenada Media Group.

Santoso, U. 2012. Hukum Agraria Kajian Komrehensif. Jakarta: Kencana


Prenamedia Group.

Saptomo, A. 2001. Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat


Nusantara. (Jakarta : PT.Grasindo.

Soekanto, S. dan Mamuji, S, 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu


Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers.

Soimin, S. 2004. Status Hak Dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar


Grafika.

Suharjono. 1995. Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum. Jakarta : Sinar


Grafika.

Sulchan, A., & Rahmawati, A. A. (2019). Kebijakan Pemerintah Dalam


Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). h. 49.
Semarang: SINT Publishing

Sulchan, A., Sukarmi, dan Widiyanto, A. 2017. Akta Notaris


Menggunakan Media Elektronik. Semarang: Sint Publishing.

Sumardjono, Maria S.W. 2001. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi


Dan Implementasi. Jakarta: kompas.

Sutedi, A. 2014. Sertifikat Hak Atas Tanah, Cetakan 3. Jakarta: Sinar


Grafika.

Sutedi, A. 2011. Sertifikat hak atas tanah. Jakarta: Sinar Grafika.

95
Syafei, I. K. 2011. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta : Rineka
Cipta.

Syaukani, dkk. 2004. Otonomi Daerah Dalam Negara


Kesatuan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

C. Kebijakan Pemerintah Tentang PTSL

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 tentang


Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia

D. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2014);

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696);

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa;

96
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 501); dan

Keputusan Bersama Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan


Pertanahan Nasional Nomor 25/SKB/V/2007, Menteri Dalam
Negeri Nomor 590- 3167A/2017, Menteri Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 34/2017 tentang
Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sitematis.

Peraturan Bupati Sangau Nomor 5 Tahun 2018 tentang Standar Biaya


Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

E. Jurnal / Artikel Ilmiah

Akib, H. dan Tarigan, A. 2008. “Artikulasi Konsep Implementasi


Kebijakan: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya” Jurnal
Baca, vol 1 Universitas Pepabari.

Ardani, M.N. 2019. “Tantangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran


Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Mewujudkan
Pemberian Kepastian Hukum”. Jurnal Gema Keadilan 6 (3).

Edwards, George C, III. 1980. Implementing Public Policy. Washington


DC. Texas A & M University, Congressional Quarterly Press.

Ghebru, H., & Lambrecht, I. (2017). Drivers of perceived land tenure


(in)security: Empirical evidence from Ghana. Land Use Policy,
66.

Holland, M., et. Al. (2017). Titling land to conserve forests: The case of
Cuyabeno Reserve in Ecuador. Global Environmental Change,
44.

Moroni, S. (2018). Property as a human right and property as a special


title. Rediscussing private ownership of land. Land Use Policy,
70.

Primastya, A.A. 2020. “Pembebanan Biaya Pendaftaran Tanah Sistematis


Lengkap (PTSL) Tinjauan Peraturan Bupati No.11 Tahun 2018
dan Maslahah Mursalah”.

97
Rohmatillah, Maqhfirotur. 2019. Upaya Penegakan Hukum Terhadap
Kasus Tindak Pidana Korupsi PTSL (Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap) Di Kabupaten Situbondo, Yogyakarta :
Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Syafrudin, Ateng. 2000. “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara


yang Bersih dan Bertanggungjawab”, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,
Universitas Parahyangan, Bandung.

Thomas J. Miceli, C.F. Sirmans, & Joseph Kieyah. “The Demand for
Land Title Registration: Theory with Evidence from Kenya”.
American Law and Economic Review. (2001) Vol. 3, No. 2

Webster, C., Wu, F., Zhang, F., & Sarkar, C. (2016). Informality,
Property Rights, And Poverty In China‟s „„Favelas”. World
Development Vol. 78.

F. Website

Kemenkumham Luncurkan Sistem FidusiaOnline, http://www.hukum


online.com/berita/baca/html., diakses tanggal 17 April 2020.

https://www.atrbpn.go.id/ , diakses 9 April 2021.

https://kominfo.go.id/content/detail/12924/program-ptsl-pastikan-
penyelesaian-sertifikasi-lahan-akan-sesuaitarget/0/artikel_gpr,
diakses 8 April 2021.

http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2012/09/tulisan-menarik-hukum-
pertanahan-menurut-syariah-islam/ diakses pada tanggal Sabtu,
28 Agutstus 2021 pada pukul 20.51 WIB

G. Lain-Lain

Kantor Pertanahan Kabupaten Subang, 2018, Juknis PRONA, Badan


Pertanahan Nasional.

Badan Pertanahan Nasional . Tanpa Tahun, Himpunan Karya Tulis


Pendaftaran Tanah. Tanpa Penerbit.

98

Anda mungkin juga menyukai