Anda di halaman 1dari 50

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Urgensi Klausul Force Majeure Dalam Suatu Perjanjian.

1. Urgensi Klausul dalam Perjanjian

Seberapa penting pencantuman klausul dalam suatu perjanjian?

Ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam merancang suatu

kontrak, klausula penting wajib dicantumkan di dalam kontrak

sebelum pada akhirnya perjanjian tersebut disetujui oleh para pihak.

Perjanjian yang dilakukan para pihak harus menjamin adanya

kepastian bahwa kesepakatan yang telah disepakati bersama dapat

ditepati dengan sebaik-baiknya. Ketidaktelitian dalam perancangan

kontrak bisa saja menimbulkan celah yang bisa menjerumuskan salah

satu pihak sehingga menimbulkan kerugian. Karena perjanjian

mengikat hanya pada para pihak, jika suatu saat terjadi sengketa akibat

pelaksanaan perjanjian, maka perjanjian tersebut akan menjadi alat

bukti tentang bagaimana seharusnya sengketa tersebut diselesaikan.

Isi perjanjian haruslah mencakup ketentuan dan persyaratan yang

jelas, lengkap, dan mendetail terutama mengenai objek perjanjian, hak

dan kewajiban, serta uraian lengkap mengenai prestasi. Dalam

merancang kontrak, selain para pihak harus memikirkan hak dan

kewajiban, mereka juga harus memperhatikan risiko dan keadaan

66
memaksa yang mungkin terjadi selama kontrak tersebut

dilaksanakan.55

Para pihak dianggap telah secara sadar menentukan hak dan

kewajibannya masing-masing dalam pasal-pasal/ klausul-kalusul

perjanjian, tentang bagaimana mereka akan menjalin hubungan hukum

diantara mereka sendiri untuk mencapai tujuan bersama. Jika para

pihak melakukan pelanggaran terhadap perjanjian, mereka yang

melanggar yang akan menanggung hukumannya seperti denda ataupun

ganti rugi.

Dalam setiap hubungan, apapun bentuknya, selalu mengandung

resiko timbulnya konflik. Sengketa-sengketa yang bersumber dari

perjanjian biasanya disebabkan karena tidak adanya kesesuaian paham

mengenai isi perjanjian. Jika dalam pelaksanaan terjadi perselisihan

klausul/isi dalam perjanian berfungsi sebagai alat bukti dalam

penyelesaian sengketa yang akan menjelaskan bagaimana seharusnya

hubungan hukum itu dilaksanakan, apa dan siapa yang melanggar.

Klausul dalam perjanjian dapat membuktikan bahwa hubungan

hukum dan atau kedudukan hukum diantara para pihak merupakan

fakta hukum, yang mana fakta hukum tersebut jika terjadi kesalah

pahaman dapat diluruskan. Dalam penyelesaian sengketa, perjanjian

merupakan salah satu pedoman dan sumber bagi hakim untuk

55
Public Training Perancangan Legal Drafting dan Penyusunan Gugatan Hukum, serta Strategi
Negosiasi yang diadakan ICJR Learning Hub pada 27 April 2019
67
mengukur suatu hukum yang disengketakan, sehingga perjanjian

merupakan alat bukti tertulis yang paling penting di persidangan.56

2. Urgensi Pencantuman Klausul Force Majeure dalam Perjanjian

Klausula Force Majeure/Overmacht dalam perjanjian menurut

Rahayu Ningsih Hoed menilai perjanjian di Indonesia memuat 2 (dua)

jenis klausul keadaan kahar. Adapun jenis-jenis klausul tersebut

yaitu:57 Klausul yang tidak eksklusif\merupakan suatu keadaan yang

dianggap sebagai keadaan kahar adalah tidak istimewa, sehingga pihak

debitur dapat mengklaim atas keadaan kahar sepanjang adanya kondisi

yang disetujui untuk berlakunya suatu keadaan kahar.

Sedangkan Klausul eksklusif merupakan keadaan kahar hanya

terbatas pada suatu keadaan yang telah disebutkan dalam perjanjian

yang telah disepakati bersama. Dalam tipe klausa ini, keadaan kahar

terbatas pada keadaan-keadaan yang disebutkan di dalam perjanjian.

Atau secara deskripsi bias di jelaskan bahwa, jika dalam perjanjian

disebutkan secara tegas menyatakan wabah penyakit atau pandemi

sebagai peristiwa Force Majeure.

Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH Perdata Buku

III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan menerangkan bahwa Force

Majeure absolut terjadi apabila kewajiban benar-benar tidak dapat

56
Legal Akses, “Untuk apa Membuat Pernjanjian/ Kontrak”, https://www.legalakses.com, diakses
pada tanggal 221 Oktober 2020.
57
Klik Legal, “Apakah Covid-19 Otomatis Menjadi Dasar Penerapan Force Majeure?”,
https://kliklegal.com, diakses pada tanggal 15 Oktober 2020.
68
dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena

bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin

dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang. Force

Majeure relatif terjadi ketika suatu perjanjian masih mungkin untuk

dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar

dari pihak debitur58, misalnya mengenai keadaan seperti penyebaran

COVID-19 yang terjadi saat ini seperti tidak bebas nya transportasi

antar lintas negara karena adanya lockdown atau pembatasan dan

pemberlakuan peraturan yang diterapkan setiap masing-masing negara.

Ini tentunya membuat ruang gerak semakin sempit sehingga

menimbulkan berbagai penundaan, reschedule, pertemuan relasi bisnis

antar negara sehingga menyebabkan sulitnya memenuhi suatu

perjanjian dengan sempurna. Salah satu contohya warga negara asing


59
tidak bisa kembali ke negaranya masing-masing karena COVID-19 ,

tak bisa pulang karena kehabisan uang.60 Perlu mengikuti berbagai

posedur yang tetapkan pemerintah seperti melakukan swab test, surat

keterangan kesehatan hasil lab atau lainnya sehingga memerlukan

waktu dan cara yang relatif lebih sulit dan rumit.

Jika tidak tercantum klausula yang menyatakan “kejadian-

kejadian lain di luar kemampuan debitur” atau sejenisnya, maka

58
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal 37.
59
CNN Indonesia, “Nepal Lockdown Turis Terjebak Tak Bisa Pulang”,
https://www.cnnindonesia.com, diakses pada 25 Januari 2021.
60
Kompas, “Tak Bisa Pulang karena Pandemi, Turis Rusia Tidur Beralaskan Tikar di Lapangan
karena Kehabisan Uang”, https://regional.kompas.com/, dikases pada 25 Januari 2021.
69
baik itu dinyatakan secara tegas atau tidak tegas dalam perjanjian,

yang harus diperhatikan adalah prestasinya, bukan semata

peristiwanya serta peristiwa tersebut pun merupakan kejadian yang

tidak dapat diduga sebelum dibuat perjanjian. Dengan demikian

inilah mengapa pentingnya mencatumkan kalusul Force Majeure.

Klausula Force Majeure kerap disepelekan para pihak yang

berkontrak, Perlunya mencantumkan klausula Force Majeure ini

dalam kontrak adalah untuk melindungi pihak-pihak apabila

terdapat bagian kontrak yang tidak dapat dilaksanakan karena

sebab yang diluar kontrol dan tidak dapat dihindarkan. Force

Majeure ini contohnya adalah Act of God atau bencana atau

kecelakaan yang disebabkan oleh sebab fisik yang tidak bisa

ditahan, seperti kilat, angin ribut, bencana laut (perils of the sea),

tornado, gempa bumi, dan jenis bencana lainnya terutama bencana

baru pandemi COVID-19 ini.61

Kedudukan Force Majeure dalam kontrak, Force Majeure

merupakan salah satu klausula yang lazimnya berada dalam suatu

perjanjian, karena kedudukan Force Majeure dalam suatu

kontrak/perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah

sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian

pokok selayaknya perjanjian accesoir dengan kata lain Force

61
Klik Legal, Op.Cit.
70
Majeure termasuk bagian pasal yang penting dalam isi substansi

kontrak/perjanjian . Eksistensi klausul Force Majeure tidak akan

ada apabila para pihak tidak menyepakati perjanjian.

Dengan demikian seberapa pentingkah pencantuman

klausul Force Majeure dalam perjanjian? Pertama, mari kita

hubungkan dengan asas kepastian hukum Di zaman yang modern

tentulah masalah atau konflik yang dihadapi pun juga ikut

berkembang maka tanpa diikuti kepastian hukum akan menjadi

masalah dikemudian hari. Misalnya, apabila salah satu pihak

mangkir dari tugasnya, pelanggaran atau melakukan wanprestasi

tentulah perlu mengkaji lebih dalam isi perjanjian terlebih dahulu,

apakah memang betul terpenuhi unsur wanprestasi tersebut.

Mengenai Asas Kepastian dan Pacta Sunt Servanda (Tiada

hukum tanpa kepastian), hal inilah pentingnya hitam diatas putih

atau kesepakatan diatas kertas. Berbagai bentuk kesepakatan antara

para pihak yakni agreement, memorandum of understanding

(MoU), Force Majeure, hingga bentuk-bentuk perjanjian lainnya.

Mengingat Asas Kepastian Hukum bahwa berdasarkan Pasal 1338

KUHPerdata menegaskan semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dari pasal ini tertuang asas kepastian hukum, karena mengakui isi

perjanjian (kewajiban dan hak) sebagai undang-undang bagi para

71
pihak yang disebutkan dengan arti konkrit, yakni undang-undang

yang lahir dari perjanjan dan hanya berlaku pada para pihak dalam

perjanjian.

Dalam bagian sebuah pola penyusunan kontak/perjanjian

terdapat isi yang tersusun atas ketentuan umum mengenai

wanprestasi, lalu ketentuan pokok klausula transaksional, hal yang

disepakati para pihak tentang obyek dan tata cara pemenuhan

prestasi dan kontraprestasi. Klausula antisipatif, menyangkut

kemungkinan yang akan terjadi selama berlangsungnya perjanjian.


62
Maka akan jauh lebih mudah untuk menentukan atau

menganalisa kontrak/perjanjiannya ruang lingkup mengenai suatu

keadaan memaksa yang mengakibatkan sebuah prestasi tidak dapat

terpenuhi, contohnya banjir, gempa bumi, atau pandemi yang

sedang terjadi saat ini, yang nantinya dapat dijadikan sebagai

landasan alat bukti perjanjian di muka persidangan63 dan

mempermudah hakim untuk mengindentifikasikan apakah sebuah

keadaan tersebut dikatakan wanprestasi atau Force Majeure

(keadaan memaksa) jika dalam perjanjian sudah disepakati klausul

Force Majeure telah disebutkan sebelumnya.

62
Isdian Anggraeny, Bab Tahap Perjanjian, Dalam Materi Pembelajaran Power Point.
Universitas Muhammadiyah Malang, 2018.
63
Daud Silalahi & Lawencon Associates, “Force Majeure Dalam Perjanjian Kerjasama
Perusahaan”, https://www.dslalawfirm.com, diakses pada tanggal 1 Oktober 2020.
72
Kedua, meminimalisir resiko, perjanjian menjadi pembatas

jelas mengenai hak dan kewajiban antar para pihak. Termasuk pula

resiko-resiko hukum yang diterima para pihak biasanya termuat

jelas dan terperinci dalam perjanjian. Contohnya, dalam perjanjian

ada salah satu pihak yang wajib membayar tepat waktu. Apabila

melewati batas waktu yang disepakati maka akan dikenakan denda.

Klausul Force Majeure juga dapat menjadi langkah

antisipatif terhadap kontrak akibat perubahan regulasi

pemerintah.Regulasi Pemerintah merupakan instrumen penting

yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kontrak. Tidak jarang

juga terkadang regulasi pemerintah selalu berganti secara tiba-tiba

seiring berjalanya waktu dalam pemenuhan kontrak, dan tidak

jarang juga yang semula boleh menjadi hal yang dilarang.

Pencantuman klausul Force Majeure dalam perjanjan dapat

menjadi alat untuk pembelaan debitur atas suatu keadaan memaksa

dalam pemenuhan prestasi. Pentingnya mencantumkan klausula

Force Majeure dalam perjanjian dapat diartikan sebagai klausula

yang memberikan dasar pada salah satu pihak dalam suatu

perjanjian, untuk terhindar menanggung sesuatu hal yang tidak

dapat diperkirakan sebelumnya, yang mengakibatkan pihak

tersebut tidak dapat menunaikan kewajibannya berdasarkan

73
kontrak yang telah diperjanjikan.64 Tujuan dari pencantuman

klausula Force Majeure dalam suatu perjanjian itu ditujukan untuk

melindungi para pihak dari kewajiban menanggung kerugian atas

kejadian yang belum tentu atau akan terjadi dalam pelaksanaan dari

suatu perjanjian.65

B. Akibat Hukum Pandemi COVID-19 Dinyatakan Sebagai Suatu

Keadaan Force Majeure Terhadap Suatu Pelaksanaan Perjanjian

Kebijakan pemerintah atas dikeluarkannya Keputusan Presiden

tentang bencana non alam No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan

Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-

19) Sebagai Bencana Nasional, banyak menimbulkan berbagai

pertanyaan. Pertama, apakah pandemi Covid-19 bisa dikategorikan

sebagai Force Majeure yang bersifat umum menurut Keputusan

Presiden No. 12 Tahun 2020? Kedua, apakah prinsip Force Majeure

itu bersifat menunda atau membatalkan perjanjian? Ketiga, bagaimana

apabila Covid-19 dinyatakan sebagai klausul Force Majeure, Keempat,

bagaimana jika dalam perjanjian belum memuat rumusan epidemi atau

pandemi di dalamnya, apakah secara otomatis bisa menjadi alasan

Force Majeure? Maka untuk menganilisanya penulis perlu membedah

64
Supriyadi, “Force majeure” , diakses dari http://excellent lawyer.blogspot.com, pada tanggal 1
Oktober 2020
65
Skripsi Universitas Sumatera Utara, Op.Cit.
74
unsur-unsur Force Majeure dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHperdata

terlebih dahulu sebagai berikut:

Pasal 1244 KUHperdata

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan

bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya

perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan

perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang

tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat

buruk kepadanya”.

Pasal tersebut, menurut terjemahan R. Subekti, berbunyi:

“Tidaklah biaya, rugi, dan bunga, harus digantikan, apabila lantaran

keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si

berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang

diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan

perbuatan yang terlarang (Geene vergoeding van kosten, schaden en

interessen heeft plaats, indien de schuldenaar door overmagt of door

toeval verhinderd iets gedaan heeft hetwelk hem veroden was).”

Pada pasal tersebut kata “overmagt” (sekarang: “overmacht”)

diterjemahkan oleh R. Subekti dengan kata “keadaan memaksa”.

Dengan mengacu pada definsi tersebut, kita dapat mengatakan bahwa

keadaan kahar adalah keadaan yang sewenang-wenang yang terjadi di

75
luar kewenangan manusia untuk menduganya terjadi. Karena tidak

dapat diduga, maka dengan sendirinya manusia tidak dapat mencegah

atau mengantisipasi kejadian tersebut. Persoalannya adalah apakah

kondisi norma (1), (2), dan (3) di atas merupakan kondisi yang

dipersyaratkan untuk dapat disebut sebagai Force Majeure? Untuk itu,

kita dapat melanjutkan analisis pada Pasal 1245 KUH Perdata.

Pasal 1245 KUH Perdata

“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena

keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara

kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat

sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan

yang terlarang baginya.”66

Sekilas tampak bahwa Pasal 1245 hanya mengulang atau

mempertegas ketentuan Pasal 1244. Melalui analisis struktur

norma, kita dapat dengan jelas melihat bahwa perbedaannya ada

pada unsur kondisi norma itu saja. Namun, penambahan unsur

“kejadian tak disengaja” pada kondisi norma Pasal 1245 itu

tidaklah signifikan karena di dalam Pasal 1244 sudah tertampung

oleh kondisi “sesuatu hal yang tidak terduga”. Kata ini seharusnya

dimaknai sebagai “mencegah atau menghalangi”.

66
R.Subekti danTjitrosudibio, Op.Cit
76
Seperti contohnya suatu perbuatan terlarang yang

mengakibatkan debitur tidak dapat melaksanakan perjanjian

misalnya yang diahruskan datang bertatap muka ke negara lain

untuk rapat, observasi, urusan bisnis di luar negeri karena adanya

suatu perintah atau larangan dari negara terkait. Belum meredanya

penyebaran COVID-19 sejumlah negara memutuskan untuk

menutup pintu wilayahnya melarang bagi pendatang yang berasal

dari negara-negara tertentu. Malaysia memutuskan melarang warga

dari 23 negara, termasuk Indonesia, memasuki wilayahnya. Jadi,

WNI yang berniat datang ke Malaysia tidak akan diberikan izin

hingga batas waktu yang belum ditetapkan.

Lalu pemerintah jepang mengeluarkan larangan perjalanan

atau berkunjung, larangan ini bersifat sementara dan tetap

diberlakukan pengecualian. Artinya, jika ada kepentingan tertentu

yang mendapatkan izin untuk masuk, maka seseorang tetap bisa

masuk ke Jepang. Arab Saudi Berdasarkan informasi IATA Travel

Center, Arab Saudi belum membuka pintunya bagi penerbangan

internasional mana pun, termasuk dari Indonesia. Pengecualian

diberlakukan bagi penerbangan yang sifatnya teknis, kemanusiaan,

medis dan evakuasi, diperbolehkan, hanya saja harus mendapatkan

77
persetujuan dari otoritas bandar udara. Astralia, Brunei

Darussalam67 dan negara-negara lainnya.68

Dengan demikian, apabila kedua pasal ini digabungkan

pemaknaannya, maka Force Majeure adalah: “keadaan memaksa

yang terjadi tanpa bisa diduga/dicegah pada saat kontrak terjadi,

yang akibat dari keadaan itu membuat debitur, tidak melaksanakan

suatu perikatan atau tidak melaksanakan suatu perikatan tepat

waktu (bentuk-bentuknya berupa: tidak memberikan sesuatu yang

diwajibkan; tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan; atau

melakukan sesuatu yang terlarang).” Konsekuensi hukum dari

keadaan memaksa ini adalah bahwa debitur tidak wajib dalam arti

diberi dispensasi untuk tidakmembayar biaya, kerugian, dan bunga,

sepanjang ia memang tak dapat (tidak layak) dimintakan

pertanggungjawaban atas keadaan memaksa tadi dan semua bentuk

wanprestasi/perbuatan melawan hukum yang dilakukannya itu

dilandasi iktikad baik.

Asas iktikad baik (good faith; te goeder trouw; de bonne

foi) pada dasarnya adalah asas umum yang langsung mengikuti

asas pacta sunt servanda. Hal ini dapat ditelusuri dari penempatan

67
Kompas, “Selain Malaysia, Ini 4 Negara yang Larang WNI Mauk di Masa Pandemi Corona”,
https://www.kompas.com, diakses pada tanggal 20 Oktober 2020.
68
Kompas, “11 Negara Ini Keluarkan Peringatan Perjalanan dari dan ke Indonesia”,
https://www.kompas.com, diakses pada tanggal 20 Oktober 2020.
78
asas ini pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berdekatan

dengan asas pacta sunt servanda. Pengertian “terlarang” pada

kalimat di atas, seharusnya dibaca, tidak hanya terlarang menurut

kontrak, tetapi juga menurut kepatutan, kebiasaan, dan peraturan

perundang-undangan (vide Pasal 1339 KUH Perdata). Itulah

sebabnya, gugatan yang mungkin diajukan terhadap debitur tak

hanya dengan landasan wanprestasi, namun bisa pula dengan

perbuatan melawan hukum.69 Dalam asas iktikad baik maka debitur

perlu membuktikan perbuatan-perbuatan dimana ia telah berusaha

semaksimal mungkin untuk memenuhi prestasi.

Akibat Hukum COVID-19 jika dinyatakan sebagai suatu

keadaan Force Majeure terhadap suatu pelaksanaan perjanjian. R.

Setiawan, suatu keadaan memaksa menghentikan bekerjanya

perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu:

a. kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;

b. debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya

tidak wajib membayar ganti rugi;

c. risiko tidak beralih kepada debitur;

d. pada persetujuan timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut

pembatalan.

69
Shidarta, “Force Majeure” dan “Clausula Rebus Sic Stantibus”, https://business-law.binus.ac.id,
diakses pada tanggal 1 Oktober 2020.
79
Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa

yang bersifat objektif dan subjektif. Keadaan memaksa yang

bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri

perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be

void from the outset) Sifat mutlak dan tidaknya (relatif) overmacht

coba dirinci oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut: (Abd.

Muhammad, 1992:28)

a. Keadaaan yang menunjukkan tidak dapat dipenuhi prestasi

karena suatu peristiwa yang membinasakan (memusnahkan)

dan menghancurkan benda objek perjanjian. Keadaan ini

menunjukkan sifat mutlak dari force majeure

b. Keadaaan yang menunjukkan tidak dapat dipenuhinya

aprestasi karena suatu peristiwa yang dapat menghalangi

perbuatan debitur untuk memenuhi prestasi. Keadaan ini

dapat bersifat mutlak atau relatif.

c. Keadaan yang menunjukkan ketidak pastian karena tidak

dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada saat

mengadakan perjanjian baik oleh debitur maupun kreditur.

Keadaan ini menunjukkanbahwa kesalahan tidak berada

pada kedua pihak khususnya debitur.

80
Mariam Darus Badrulzaman, keadaan memaksa

mengakibatkan perikatan tersebut tidak lagi bekerja (werking)

walaupun perikatannya sendiri tetap ada, dalam hal ini maka:

a. kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;

b. debitur tidak dapat dikatakan berada dalam keadaan lalai

dan karena itu tidak dapat menuntut;

c. kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;

d. pada perjanjian timbal balik maka gugur kewajiban untuk

melakukan kontraprestasi.

M. Yahya Harahap, berdasarkan Pasal 1244 dan 1245

KUHPerdata, keadaan memaksa telah ditetapkan sebagai alsan

hukum yang memebebaskan debitur dari kewajiban melaksanakan

pemenuhan (nakoming) dan ganti rugi (schadevergoeding)

sekalipun debitur telah melakukan perbuatan yang melanggar

hukum/ onrechtmatig. Itulah sebabnya keadaan memaksa disebut

sebagai dasar hukum yang membenarkan atau

rechtvaardigingsgrond. Ada dua hal yang menjadi

akibatovermacht, yaitu sebagai berikut:

a. membebaskan debitur dari membayar ganti rugi

(schadevergoeding). Dalam hal ini, hak kreditur untuk

menuntut gugur untuk selama-lamanya. Jadi, pembebasan

81
ganti rugi sebagai akibat keadaan memaksa adalah

pembebasan mutlak;

b. membebaskan debitur dari kewajiban melakukan

pemenuhan prestasi (nakoming). Pembebasan pemenuhan

(nakoming) bersifat relatif. Pada umumnya Pembebasan

hanya bersifat menunda, selama keadaan overmacht masih

menghalangi/ merintangi debitur melakukan pemenuhan

prestasi. Bila keadaan memaksa hilang, kreditur kembali

dapat menuntut pemenuhan prestasi. Pemenuhan prestasi

tidak gugur selama-lamanya, hanya tertunda, sementara

keadaan memaksa masih ada.

Rumusan/ klausul Pandemi dalam Sebuah Perjanjian.

Pandemi Covid-19 dapat dinilai termasuk sebagai suatu keadaan

kahar atau Force Majeure tergantung dari definisi keadaan kahar

apabila dicantumkan dalam kontrak. Sepanjang pihak yang

terdampak dalam hal ini adalah debitur mampu membuktikan

bahwa kondisi kahar telah dipenuhi, dirinya dapat mengklaim

bahwa pandemi ini merupakan suatu kejadian kahar.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya menurut Rahayu

Ningsih Hoed menilai perjanjian di Indonesia memuat 2 (dua) jenis

klusul keadaan kahar. Ada Klausul yang tidak eksklusif dimana

suatu pihak dapat mengklaim keadaan memaksa sepanjang kondisi

82
disetujui atas berlakunya Force Majeure yang dianggap sebagai

keadaan memaksa dalam hal ini Pandemi Covid-19. Klausul yang

eksklusif Klausul eksklusif merupakan keadaan kahar hanya

terbatas pada suatu keadaan yang telah disebutkan dalam perjanjian

yang telah disepakati bersama.70

Wabah virus corona telah menimbulkan kedaruratan

kesehatan masyarakat Indonesia. Maka pemerintah mentapkan

bahwa Covid-19 menjadi bencana non alam di negara kita.

Lahirnya Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020 tidak

dimaksudkan dan tidak bisa menjadikan alasan Covid-19 (pandemi

corona) sebagai alasan pembatalan suatu kontrak. Akan tetapi

renegosiasi dapat ditempuh para pihak dengan alasan Force

Majeure, tentunya berpatokan pada ketentuan-ketentuan Pasal

1244, Pasal 1245, dan 1338 KUHPerdata.71

Keadaan memaksa tidak bisa secara serta merta dijadikan

alasan pembatalan kontrak dengan alasan Force Majeure.

Sebelumnya harus dilihat terlebih dahulu apakah dalam klausul

kontrak terdapat adanya kesepakatan bahwa pada saat

pelaksanaannya terjadi kejadian memaksa, maka isi dalam kontrak

dapat disimpangi. Selain itu perlu dipahami pula jenis Force

70
Joni Emirzon, Op.Cit.
71
Jurnal : Annisa Dian Arini, Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeur Dalam Suatu
Kontrak Bisnis, VOL. 9, NO.1 JUNI 2020.
83
Majeure yang terjadi, yang mana dicantumkan dalam klausul

kontrak.

Adapun jenisnya yaitu Force Majeure absolut dan Force

Majeure relatif. Force Majeure absolut adalah kejadian atau

peristiwa yang secara mutlak meniadakan kemampuan pihak untuk

pemenuhan atas suatu prestasi. Force Majeure relatif adalah

keadaan memaksa itu ada namun masih terdapat alternatif-

alternatif yang disubstitusikan, dikompensasikan, ditunda dalam

pemenuhan prestasinya. 72

Walaupun tidak dimasukannya klausula Force Majeure

atau keadaan memaksa dalam kontrak, bukan berarti otomatis

perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi

terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan, akan tetapi tidak

adanya pencantuman klausula Force Majeure dianggap sebagai

ketidakcermatan dalam penyusunan kontrak sehingga memicu

sengketa dimana jika tidak adanya klausula Force Majeure dalam

kontrak, dan pada saat pelaksanaan perjanjian terdapat Force

Majeure , kedua belah pihak akan merasa dirugikan dan saling

menghindari kewajiban yang akan berujung pada saling

menuntut.73

72
Ibid.
73
Michiko, “Seputar Hukum Kontrak Komersial”, http://michiko60.blogspot.com, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2020.
84
Meskipun demikian, sesungguhnya Force Majeure dapat

dibuat khusus untuk jenis-jenis kegiatan usaha tertentu sehingga

tidak bersifat umum, agar dapat melindungi kepentingan para pihak

yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dapat

dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan hukum yang sesuai

untuk membantu para pihak. Dari uraian - uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa klausula Force Majeure merupakan klausula

yang penting untuk dicantumkan dalam suatu perjanjian.

Selanjutnya, pandemi Covid-19 tidak dapat dikategorikan

sebagai Force Majeure yang bersifat umum menurut Keputusan

Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Bahwa sekalipun pandemi

dinyatakan sebagai bencana nasional non alam, tapi tidak serta

merta berlaku umum dapat dijadikan alasan Force Majeure, perlu

dilihat dulu kasus nya (case by case), mengenai subjektivitas dan

objektivis dampak atau pengaruh yang diakibatkan oleh pandemi

terhadap pemenuhan pelaksanaan prestasi/perjanjiannya tersebut.

Maka, terhadap pelaksanaannya, menurut R. Subekti dibagi

menjadi dua dilihat dahulu dari letak pada derajat

ketidakmungkinan (imposibilitas). Jika ketidakmungkinan

pelaksanaanya sudah mutlak, tak lagi terbuka kemungkinan

berubah, maka ia menjadi keadaan memaksa untuk lahirnya Force

Majeure absolut. Namun jika pelaksanaan tersebut walaupun

85
memaksa namun masih mungkin dilaksanakan dikatakan Force

Majeure relatif.

Ketidakmungkinan (Imposibility) pelaksanaan kontrak

adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mungkin lagi

melaksanakan kontraknya karena keadaan di luar tanggung

jawabnya. Ketidak Praktisan (Impracticability) Bahwa terjadinya

peristiwa juga tanpa kesalahan dari para pihak, dimana dengan

peristiwa tersebut para pihak sebenarnya masih mungkin

melakukan prestasinya, tetapi secara praktis terjadi sedemikian

rupa sehingga kalaupun dilaksanakan prestasi dalam kontrak

tersebut akan memerlukan pengorbanan yang besar dari segi biaya,

waktu atau pengorbanan lainya. Tentunya hal tersebut merupakan

angin buruk dalam pelaksanaan kontrak.74

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, H.F.A Vollmar.

Overmacht harus dibedakan apakah sifatnya sementara ataukah

tetap. Dalam hal overmacht sementara, hanya mempunyai daya

menangguhkan dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali

jika dan sesegera faktor overmacht itu sudah tidak ada lagi,

demikian itu kecuali jika prestasinya lantas sudah tidak mempunyai

arti lagi bagi kreditur. Dalam hal terakhir ini, perutangannya

menjadi gugur. Misalnya tiket pesawat terbang yang dipesan jauh-

74
Joni Emirzon, Op.Cit.
86
jauh hari untuk berpergian urusan bisnis namun karena ada

ketentuan larangan penerbangan untuk penekanan penyebaran

Covid-19, menyebabkan ia tidak dapat datang pada waktunya

karena adanya ketentuan dan larangan yang mendadak, dan ketika

keadaan aman kembali atau ketentuan telah dicabut, perjanjian

waktu datang sampainya di suatu negara telah terlambat.75

Lalu pertanyaan mengenai apakah kebijakan pemerintah

menurut Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 dapat

dijadikan alasan Force Majeure? Rahmat S.S. Soemadipradja jika

diperbandingkan dengan lingkup Force Majeure yang diatur

didalam KUHPerdata maka ada perkembangan yang terjadi,

bahwa lingkup Force Majeure tidak lagi terbatas pada peristiwa

alam atau act of God, dan hilangnya objek yang diperjanjikan

tetapi sudah meluas kepada tindakan administratif penguasa,

kondisi politik.

Peristiwa yang tidak dipertanggung jawabkan kepada salah

satu pihak, kejadian mana mengakibatkan tidak mungkin lagi

dicapainya tujuan dibuatnya kontrak tersebut, sungguhpun

sebenarnya para pihak masih mungkin melaksanakan kontrak

tersebut. Karena, tujuan dari kontrak tersebut tidak mungkin

75
Ibid.
87
tercapai lagi sehingga dengan demikian kontrak tersebut dalam

keadaan memaksa/sulit.

Jadi, pada kesimpulannya jika Force Majeure absolut

terjadi apabila kewajiban benar-benar tidak dapat dilaksanakan

seluruhnya, misalnya ketika obyek perjanjian hancur karena

bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin

dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang. Force

Majeure relatif terjadi ketika suatu perjanjian masih mungkin untuk

dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat

besar dari pihak debitur, misalnya tidak dapat berpergian ke negara

lain, menghentikan tour, tontonan sepak bola secara langsung atau

impor barang diberhentikan karena suatu pembatasan dari

pemerintah pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek

perjanjian keluar dari suatu pelabuhan.76

Overmacht tetap, yaitu keadaan memaksa yang

mengakibatkan suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan atau

tidak dapat dipenuhi sama sekali. Overmacht sementara, adalah

keadaan memaksa yang mengakibatkan pelaksanaan suatu

perjanjian ditunda daripada waktu yang ditentukan semula dalam

perjanjian. Dalam keadaan yangdemikian, perikatan tidak berhenti

(tidak batal), tetapi hanya pemenuhan prestasinya yang

76
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit hal. 37
88
tertunda. Pada saat keadaan memaksa tidak ada lagi,

perjanjian berlaku (bekerja) kembali”. Jika sifatnya sementara,

hanyalah menunda kewajiban debitur, tidak mengakhiri perjanjian

kecuali ditegaskan dalam perjanjian atau adanya kesepakatan para

pihak. Dengan demikian, jika wabah virus corona berakhir atau

pemerintah mencabut PSBB, pihak kreditur dapat menuntut

kembali pemenuhan prestasi debitur atau dapat juga memilih

mengakhiri perjanjian dengan ganti rugi atau sesuai kesepakatan

bersama. 77

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata

yang berbunyi: Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi,

dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi

persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut

pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan

bunga. Pengakhiran perjanjian terjadi ketika halangan bersifat

tetap. Dengan berakhirnya perjanjian, maka kontra prestasi juga

ikut berakhir.

Sedangkan Penundaan kewajiban terjadi ketika peristiwa

Force Majeure sifatnya sementara. Bila keadaan halangan telah

pulih kembali, maka kewajiban debitur kembali pulih untuk

melaksanakan kewajibannya yang tertunda, dengan catatan:

77
Joni Emirzon, Op.cit.
89
bahwa agar debitur dapat mengemukakan alasan Force Majeure

harus dipenuhi tiga persyaratan:

a. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;

b. Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; dan

c. Ia tidak menanggung risiko, baik menurut ketentuan

undang-undang maupun perjanjian atau karena itikad baik

harus menanggung.

1. Identifikasi Case by Case

Bahwa sekalipun pandemi Covid-19 sudah tetapkan oleh

Pemerintah sebagai bencana nasional non alam melalui Keputusan

Presiden Nomor 12 Tahun 2020 yang kemudian diikuti dengan

aturan-aturan turunannya seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar

(PSBB) yang mengakibatkan pergerakan penduduk termasuk para

pekerja menjadi terbatas termasuk pembatasan terhadap kegiatan

perkantoran dengan sektor usaha tertentu.

Namun tetap saja, secara umum Covid-19 sebagai suatu

wabah penyakit tidaklah dapat dijadikan sebagai dasar suatu

keadaan memaksa / Force Majeure yang diberlakukan secara

umum. Sebagai contoh, Force Majeure bagi satu orang yang

sedang terikat dalam suatu perjanjian dalam masa pandemi Covid-

90
19 ini tidak serta merta menjadi suatu hal yang sama terhadap

orang lain yang terikat dalam perjanjian yang berbeda. 78

Force Majeure harus dilihat sebagai suatu yang sifatnya

“kondisional tertentu” berdasarkan kasus per kasus tergantung dari

pada sifat, jenis, keadaan-keadaan dan subjek maupun objek

perjanjian. Misalnya perjanjian dengan objek pembuatan aplikasi

antara seorang programmer dengan sebuah perusahaan yang dalam

pembuatannya hanya membutuhkan sumber daya listrik untuk

menghidupkan mesin produksi (komputer), secara umum di masa

pandemi Covid-19 dan PSBB ini tentu masih bisa dikerjakan

secara normal karena tidak memerlukan akses keluar rumah, dan

semacamnya.

Perjanjian dengan objek antar jemput dengan sepeda motor

antara seorang karyawan perusahaan dengan seorang ojek

pangkalan, di masa pandemi Covid-19 dan PSBB pengendara

bermotor dibatasi hanya boleh mengangkut penumpang dengan

alamat yang sama antara yang pengendara motor dengan yang

dibonceng. Kondisi demikian tentu membuat tidak dapat

dijalankannya perjanjian antar jemput dengan sepeda motor

tersebut.

78
Kompasiana, “Apakah Covid-19 dapat Dijadikan sebagai Dasar Force Majeure?”,
https://www.kompasiana.com, diakses pada tAnggal 1 Oktober 2020.
91
Apabila pandemi Covid-19 dilihat secara umum sebagai

suatu Force Majeure, tentu akan menjadi tidak tepat diberlakukan

terhadap kasus :

1) Kasus pertama, karena meskipun dalam situasi pandemi

Covid-19 programmer aplikasi tersebut masih tetap bisa

menunaikan kewajibannya untuk mengerjakan aplikasi

tersebut.

2) Kasus Kedua, berbeda dengan kasus nomor pertama,

akan menjadi tepat apabila pandemi Covid-19 dengan

aturan turunannya yaitu PSBB dikatakan membatalkan

pesanan atau order sebagai sebab yang memaksa tidak

dapat dilaksanakannya kewajiban tukang ojek untuk

mengantar karyawan tersebut. 79

Kesimpulannya Force Majeure di tengah-tengah pandemi

Covid-19 ini tidak bisa dikatakan sebagai dasar suatu keadaan

memaksa/Force Majeure yang berlaku umum. Force Majeure

dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19 harus dilihat sebagai

sesuatu yang pendekatannya kasus per kasus tergantung dari pada

sifat, jenis, keadaan-keadaan dan subjek maupun objek

perjanjiannya.

79
Ibid.
92
C. Akibat Hukum Pendemi Covid-19 Terhadap Suatu Pelaksanaan

Perjanjian Kredit Perbankan

Pandemi Covid-19 dengan penyebaran yang mudah, cepat, dan

luas telah menciptakan banyak permasalahan ekonomi. Beberapa

kebijakan PSBB/phycical distancing tersebut berdampak pada banyak

aspek kehidupan masyarakat tak terkecuali pada sektor ekonomi.

Beberapa aktifitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja

berhentinya/terhambat beroperasi karena langka atau mahalnya

pasokan bahan baku, kesulitan pemasaran yang semuanya berimbas

pada penurunnya keuntungan. Pembatasan interaksi dan dampak

melambatnya perekonomian juga dirasakan oleh pelaku ekonomi dari

berbagai sector.

Efek berikutnya yang terdampak oleh melambatanya

perekonomian adalah sektor keuangan/ perbankan. Adanya pandemi

ini benar-benar membuat para pelaku ekonomi mendapatkan pukulan

telak dan para pengusaha UMKM pun juga terdampak.Terhentinya

aktivitas dampak pandemi Covid-19 ini, tentu membuat masyarakat

was-was dalam bertindak, yang mengakibatkan berkurangnya

keuntungan yang pada nantinya akan berimbas pada kemampuan

bayar dalam kredit perbankan yang akan berkemungkinan pada kredit

macet. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh nasabah atau debitur dan

93
bank dalam menghadapi masa pandemic dalam permasalah

pembayaran kredit?

1. Kredit Perbankan Dengan Risiko Kredit Macet

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 jo

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 menyatakan, “bank adalah badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan

taraf hidup masyarakat banyak.”

Lembaga perbankan mempunyai fungsi sosial sebagai lembaga

yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Bank berperan sebagai

lembaga intermediasi, yaitu memiliki fungsi sebagai perantara

keuangan (financial intermediaries), sebagai prasarana pendukung

yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian. Sehingga

pada dasarnya bank mempunyai fungsi mentransfer dana-dana

(loanable) dari penabung atau unit surplus (lenders) kepada peminjam

(borrowers) atau unit defisit. Dana-dana tersebut dialokasikan dengan

negosiasi antara pemilik dana dan pemakai dana melalui pasar uang

dan pasar modal.

Penyaluran dana tersebut melalui pemberian fasilitas kredit.

Kredit menurut ketentuan Pasal 1 angka (11) Undang Undang

Perbankan adalah : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan

94
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Suatu pemberian kredit akan dilandasi oleh suatu Perjanjian

kredit. Perjanjian kredit berisi kesepakatan tentang hak dan kewajiban

masing-masing pihak yang akan menjadi undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya. Merujuk Pasal 8 UU Perbankan beserta

penjelasannya, dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan

prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan

berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik atau

kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk melunasi utangnya

atau mengembalikan kredit dimaksud sesuai dengan yang

diperjanjikan. Ini berarti bank harus mempunyai keyakinan dalam

membangun suatu kepercayaan antara bank dengan debitor. Bank

harus memperhatikan asas-asas prekreditan yaitu prinsip kehati-

hatian (prudential banking principle) dalam pemberian kredit.

Dalam pemberian kredit, bank harus tetap memperhatikan

empat unsur dalam kredit itu sendiri, yaitu kepercayaan, waktu,

tingkat risiko dan prestasi. Unsur tingkar risiko merupakan suatu

tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka

waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan

95
kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama

kredit yang diberikan maka semakin tinggi pula tingkat risikonya.

Sebelum pemberian kredit terlebih dahulu dilakukan penilaian

atas permohonan kredit tersebut. Maksud penilaian terhadap

permohonan kredit tersebut adalah untuk meletakkan kepercayaan dan

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari bila

kredit ternyata disetujui untuk diberikan.

Peran agunan sangat menentukan karena bank tentunya tidak

berani kehilang risiko atas kredit yang disalurkan. Menurut pasal 1

butir 23 Undang Undang Perbankan, agunan adalah jaminan tambahan

yang diserahkan oleh nasabah atau debitor kepada bank dalam rangka

pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

Syariah. Hal ini sejalan dengan fungsi pemberian jaminan yaitu untuk

meyakinkan pihak bank bahwa debitor akan dapat memenuhi

prestasinya, dimana keyakinan tersebut dilandasi pada pemberian hak

dan kekuasaan pada bank untuk memperoleh pelunasan dari barang

yang diagunkan bila debitor cidera janji.

Untuk menjamin pengembalian piutang kredit, agunan

merupakan salah satu faktor yang menentukan pemberian kredit dan

menjamin pengembalian piutang kredit yang macet. hal ini karena

dalam penyaluran kredit, Bank harus dapat menjamin bahwa debitor

dapat mengembalikan pinjaman/ kredit tepat pada waktu yang

96
diperjanjikan. Jika debitur tidak dapat memenuhi kewajiban pada

waktu yang ditentukan, maka hal dapat mengakibatkan kredit terhenti

atau macet. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang

nasabah debitor tidak mampu membayar atau mengembalikan

pinjaman sesuai yang diperjanjikan.

2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Perjanjian Kredit

selama Pandemi Covid-19.

Salah satu kebijakan dibidang keuangan/perbankan yang

diambil pemerintah adalah kebijakan relaksasi. Kebijakan ini

diumukan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 31 Maret 2020 di

Istana Bogor. Secara formal kebijkan ini diatur melalui peraturan

otoritas jasa keuangan nomor 11/pojk.03/2020 tentang stimulus

perekonomian nasional sebagai kebijakan countercyclical dampak

penyebaran corona virus disease 2019 (POJK stimulus dampak covid-

19). POJK ini sudah berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan

31Maret 2021.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kelonggaran atau

relaksasi kredit usaha mikro dan usaha kecil untuk nilai di bawah Rp

10 miliar baik kredit/pembiayaan yang diberikan oleh bank maupun

industri keuangan non-bank kepada debitur perbankan akan diberikan

penundaan sampai dengan satu tahun dan penurunan bunga.


97
Kebijakan pemerintah ini dalam rangka menjaga kestabilan

perekonomian Indonesia adalah melalui POJK Nomor

11/POJK/03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai

Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid 2019, yang

mengatur mengenai restrukturisasi utang terhadap debitur yang

terkena dampak Covid-19 dengan mengajukan restrukturisasi utang

kepada bank dan perusahaan pembiayaan, sederhananya utang atau

kredit yang macet (NPL) dari para debitur yang kriterianya tertulis

dalam POJK tersebut dijadikan kredit lancar oleh pemerintah.80

Dalam konsideran POJK tersebut, dinyatakan bahwa latar

belakang penerbitan peraturan ini disebabkan dengan penyebaran

Covid-19 secara global yang berdampak terhadap kinerja dan

kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit atau

pembiayaan yang tentunya mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi. Selain itu, peraturan ini juga dibuat untuk mengoptimalisasi

fungsi intermediasi dalam perbankan, dengan menjaga stabilitas

sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Mengenai restrukturisasi utang sendiri diatur dalam Bab III

tentang restrukturisasi kredit atau pembiayaan, tepatnya pada pasal 5

dan pasal 6. POJK No. 11/POJK/03/2020 memberikan batasan atau

80
Klik Legal, Op.Cit.
98
limitatif mengenai kriteria debitur yang dapat mengajukan

restrukturisasi utang terhadap bank atau lembaga pembiayaan.

Pasal 5 (1) Kualitas kredit atau pembiayaan yang

direstrukturisasi ditetapkan lancar sejak dilakukan

restrukturisasi.

(2) Restrukturisasi kredit atau pembiayaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap kredit atau

pembiayaan yang diberikan sebelum maupun setelah debitur

terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-

19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah.

(3) Kredit bagi BPR atau pembiayaan bagi BPRS yang

direstrukturisasi dikecualikan dari penerapan perlakuan

akuntansi restrukturisasi kredit atau pembiayaan.

Pasal 6 : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

berlaku untuk kredit atau pembiayaan yang memenuhi

persyaratan:

a. diberikan kepada debitur yang terkena dampak penyebaran

coronavirus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha

mikro, kecil, dan menengah; dan

99
b. direstrukturisasi setelah debitur terkena dampak penyebaran

coronavirus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha

mikro, kecil, dan menengah.

Pasal 7 : (1) Bank dapat memberikan kredit atau pembiayaan

dan/atau penyediaan dana lain yang baru kepada debitur yang

terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-

19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah.

(2) Penetapan kualitas kredit atau pembiayaan dan/atau

penyediaan dana lain yang baru sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit atau

pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain yang telah diberikan

sebelumnya.

(3) Penetapan kualitas kredit atau pembiayaan dan/atau

penyediaan dana lain yang baru sebagaimana dimaksud pada

ayat (1): a. untuk kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan

dana lain yang baru dengan plafon paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), penetapan

kualitas kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atau Pasal 4 ayat

(1); atau b. untuk kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan

dana lain yang baru dengan plafon lebih dari

100
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), penetapan

kualitas kredit atau pembiayaan dan/atau penyediaan dana lain

sesuai dengan ketentuan peraturan Otoritas Jasa Keuangan

mengenai penilaian kualitas aset. 81

Tidak semua debitur bisa mengajukan restrukturisasi utang,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6, disebutkan mengenai

kriteria debitur yang dapat mengajukan restrukturisasi utang,

yaitu debitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19

termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah serta

memiliki nilai kredit di bawah Rp10 miliar sebagaimana

ketentuan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf a.

Berdasarkan POJK No. 11/POJK/03/2020, dapat dianalisis

bahwa tidak semua debitur dapat mengajukan restrukturisasi utang di

masa pandemi. POJK tersebut memberikan batasan terhadap kriteria

debitur yang dapat mengajukan restrukturisasi di masa pandemi.

Persyaratan tersebut di antaranya: 1) Debitur yang terkena dampak

penyebaran Covid-19 termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan

menengah, 2) Debitur yang memiliki usaha dalam sektor pariwisata,

perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, pertambangan, dan

81
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan
Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019, POJK No. 11/POJK/03/2020.
101
transportasi, 3) Debitur dengan nilai kredit di bawah

Rp10.000.000.000.

Selain itu, cara untuk melakukan restrukturisasi utang di masa

pandemi Covid-19 juga telah diatur, di antaranya dengan: Melalui

kesepakatan antara kreditur dengan debitur, Melalui kebijakan

pemerintah dengan POJK No. 11/POJK/03/2020, pastinya dengan

melihat apakah kriteria debitur dapat mengajukan restrukturisasi utang

meninjau dari POJK tersebut.

.Jika kriteria debitur tidak memenuhi syarat yang telah

ditetapkan sebagaimana POJK No. 11/POJK/03/2020, maka debitur

dapat melakukan restrukturisasi utang di masa pandemi Covid-19 ini

melalui perjanjian dengan kesepakatan antara pihak debitur dengan

kreditur. Tentunya, hal ini berlandaskan dari Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat sah perjanjian dan

Pasal 1338 KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak. Jika

meninjau kepada POJK No. 11/POJK/03/2020, kebijakan ini dapat

menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang terkena dampak Covid-

19, terkhusus bagi UMKM yang sangat berkemungkinan mengalami

kebangkrutan apabila tidak diberikan keringanan terhadap kredit atau

hutangnya. Diharapkan dengan adanya POJK ini, banyak UMKM yang

dapat diselamatkan sehingga perekonomian pun dapat bangkit.

102
Namun, terdapat problematik dalam pelaksanaan dari POJK ini.

Sebut saja sektor ekonomi selain pariwisata, transportasi, perhotelan,

perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan, juga

mendapatkan perlakuan khusus dari POJK No. 11/POJK/03/2020,

selama utang yang harus dibayarkan kurang dari Rp10 miliar dan

termasuk dampak Covid-19. Oleh karenanya, bank harus memiliki

pedoman yang jelas untuk menentukan kriteria debitur yang terkena

dampak Covid-19 serta sektor yang terkena dampak. 82

3. Perbankan Dalam Menghadapi Kredit Macet Akibat Keadaan

Memaksa Covid-19.

Dalam kondisi pandemic Covid-19 sebagai suatu keadaan

force Majeur, dimana untuk mencegak debitur menanggung akibat

dan risiko perjanjian, maka dalam menyikapi keadaan memaksa, yang

diutamakan adalah “kebijaksanaan”. Dalam hal ini Pemerintah

melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan POJK No.

11/POJK.03/ 2020 tentang stimulus Perekonomian Nasional yang

memberikan kelonggaran atau relaksasi kredit kepada debitor

(termasuk debitor UMKM) untuk nilai dibawah Rp. 10 miliar baik

kredit yang diberikan oleh bank maupun industry keuangan non bank.

82
Klik Legal, “Implementasi POJK No. 11/POJK.03/2020 Terhadap Restrukturisasi Utang sebagai
Solusi Menyelamatkan Perusahaan dari Ancaman Kepailitan di Masa Pandemi”,
https://kliklegal.com, dikases pada tanggal 15 Oktober 2020.
103
Pada prinsipnya bank dapat melakukan restrukturisasi untuk

seluruh kredit kepada seluruh debitur, termasuk debitur UMKM,

sepanjang debitur-debitur tersebut teridenti- fikasi terdampak Covid-

19. Pemberian perlakuan khusus tersebut tanpa melihat batasan plafon

kredit.

Restrukturisasi kredit dilakukan mengacu pada POJK

mengenai penilaian kualitas aset, antara lain dengan cara:

a. penurunan suku bunga;

b. perpanjangan jangka waktu;

c. Pengurangan tunggakan pokok;

d. pengurangan tunggakan bunga;

e. penambahan fasilitas kredit; dan/atau

f. konversi kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.

Jangka waktu restrukturisasi ini sangat bervariasi tergantung

pada asesmen bank terhadap debiturnya dengan jangka waktu maksimal

satu tahun. Secara umum dalam pemberian restrukturisasi, bank

mengacu pada POJK penilaian kualitas asset. Namun dalam penerapan

ataupun skema restrukturisasinya dapat bervariasi dan sangat ditentukan

oleh kebijakan masing-masing bank tergantung pada asesmen terhadap

profil dan kapasitas membayar debiturnya.

Dalam hal ini OJK menekankan kepada seluruh bank agar

dalam pemberian kebijakan restrukturisasi ini dilakukan secara


104
bertanggungjawab dan agar tidak terjadi moral hazard. Jangan sampai

ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab

(freerider/aji mumpung).

Stimulus selanjutnya adalah bahwa sebagai dampak dari

wabah Covid-19, ada kelonggaran cicilan kredit 1 tahun untuk rakyat

kecil yang mengacu pada jangka waktu restrukturisasi sebagaimana

diatur dalam POJK Stimulus. Kelonggaran cicilan yang dimaksud lebih

ditujukan pada debitur kecil a.l. sektor informal, usaha mikro, pekerja

berpenghasilan harian yang memiliki kewajiban pembayaran kredit

untuk menjalankan usaha produktif mereka. Restrukturisasi ini

mensyaratkan itikad baik debitur.

Cara dan syaratnya supaya bisa mendapatkan relaksasi kredit

akibat pandemic Covid-19 adalah :

a. Debitur wajib mengajukan permohonan restrukturisasi melengkapi

dengan data yang diminta oleh bank yang dapat disampaikan

secara online (email/ website yang ditetapkan oleh bank) tanpa

harus datang bertatap muka.

b. Bank akan melakukan assessment antara lain terhadap apakah

debitur termasuk yang terdampak langsung atau tidak langsung,

historis pembayaran pokok/ bunga.

c. Bank memberikan restrukturisasi berdasarkan profil debitur

untuk menentukan pola restrukturisasi atau perpanjangan waktu,

105
jumlah yang dapat direstrukturisasi termasuk jika masih ada

kemampuan pembayaran cicilan yang nilainya melalui penilaian

dan/atau diskusi antara debitur dengan bank. Hal ini tentu

memperhatikan pendapatan debitur yang terdampak akibat Covid-

19. Informasi persetujuan restrukturisasi dari bank disampaikan

secara online atau via website bank yang terkait.83

4. Keringanan Kredit oleh Bank BRI

BRI memiliki berbagai alternatif skema restrukturisasi untuk

nasabah pelaku UMKM. Nasabah mikro, kecil dan ritel. Dari sisi

prosedur pengajuan keringanan, BRI mempermudah proses

diantaranya dengan menyediakan formulir agar diisi oleh nasabah dan

bisa diajukan oleh nasabah. BRI juga menanggung seluruh biaya yang

timbul atas adanya restrukturisasi pinjaman tersebut.

Pertama, debitur yang mengalami penurunan omzet sampai

dengan 30 persen, restrukturisasi berupa penurunan suku bunga

diberikan perpanjangan waktu kredit.Kedua, debitur yang mengalami

penurunan omzet 30 persen - 50 persen, restrukturisasi berupa

penundaan pembayaran bunga dan angsuran pokok selama 6 bulan.

Ketiga, debitur yang mengalami penurunan omzet 50 persen - 75

persen, penundaan pembayaran bunga selama 6 bulan, dan penundaan

83
Jurnal: Sri Redjeki Slamet1 Fitria Oliva, Akbar Apriansyah, Pandemic Covid-19 Sebagai Suatu
Keadaan Diluar Kekuasan (Force Majeure) Dalam Kredit Perbankan, Fakultas Hukum Universitas
Esa Unggul, Https://digilib.esaunggul.ac.id.
106
angsuran pokok hingga 12 bulan. Keempat, debitur yang mengalami

penurunan omzet 75 persen, penundaan pembayaran bunga selama 12

bulan dan penundaan angsuran pokok selama 12 bulan.

Adapun, untuk konsumer, ada 3 skema restrukturisasi.

Pembagiannya ialah debitur dengan penurunan penghasilan hingga 10

persen, penurunan penghasilan 10 persen - 30 persen, dan penurunan

penghasilan lebih dari 30 persen. Pertama, debitur dengan penurunan

penghasilan hingga 10 persen diberikan keringanan perpanjangan

waktu kredit maksimal 12 bulan. Pokok dan bunga kredit tetap

dibayarkan. Kedua, debitur penurunan penghasilan 10 persen - 30

persen restrukturisasi berupa penundaan pembayaran angsuran pokok

maksimal 12 bulan. Pembayaran bunga lebih ringan. Ketiga, debitur

dengan penurunan penghasilan lebih dari 30 persen mendapat

restrukturisasi penundaann pembayaran angsuran pokok dan bunga

maksimal 12 bulan.

Sementara itu, untuk nasabah menengah dan korporasi, ada 2

skema restrukturisasi yang disiapkan BRI. Pertama, untuk debitur

dengan penurunan omzet hingga 20 persen dan tidak terdampak

fluktuasi kurs, diberikan restrukturisasi penjadwalan angsuran pokok

dan penurunan bunga. Kedua, debitur yang mengalami penurunan

omzet lebih dari 20 persen dan/atau terdampak fluktuasi kurs,

107
restrukturisasi berupa penjadwalan angsuran pokok dan penurunan

suku bunga.84

Dari sisi prosedur pengajuan keringanan, BRI mempermudah

proses diantaranya dengan menyediakan formulir agar diisi oleh

nasabah dan bisa diajukan oleh nasabah. BRI juga menanggung

seluruh biaya yang timbul atas adanya restrukturisasi pinjaman

tersebut.

Gambar 1. 1 Form Surat Permohonan Restrukturisasi


Kredit terdampak Corona (Covid-19) BRI.

84
Finansial Bisnis, "Halo Nasabah, Begini Cara Minta Keringanan Kredit di Bank BRI",
https://finansial.bisnis.com/, diakses pada tanggal 25 Januari 2021.
108
Bagi nasabah UMKM BRI yang mengalami penurunan usaha

akibat terdampak COVID-19, dapat menghubungi Relationship

Manager (RM) pengelola kredit dan mengisi form aplikasi

restrukturisasi secara online/e-mail atau dapat juga datang ke Kantor

BRI pengelola kredit untuk mengajukan permohonan restrukturisasi

kredit.

Gambar 1. 2 Skema Keringanan Kredit UMKM

Selanjutnya BRI akan melakukan analisa/penilaian kelayakan

debitur untuk mendapatkan keringanan. Memperhatikan imbauan

physical distancing oleh Pemerintah, mekanisme pengajuan

109
permohonan oleh debitur kepada bank dapat disampaikan secara online

melalui surat elektronik (email) atau sarana elektronik lainnya dan

sampai dengan proses pemberitahuan hasil penilaian oleh bank kepada

debitur akan dilakukan secara online pula.

Seluruh proses tersebut akan dilakukan secara terstandarisasi

agar berjalan dengan baik dan tentunya disesuaikan dengan ketentuan

internal yang berlaku di BRI, serta menjadi kewenangan dan

kompetensi bank untuk menentukan mana yang perlu restrukturisasi

dan mana yang tidak perlu. Dan, terakhir yang tidak kalah penting

adalah seluruh biaya proses dan materai ditanggung oleh BRI. 85

5. Langkah yang dapat dilakukan Debitur dalam Pengajuan Klaim

Keadaan Force Majeure

Pengajuan klaim Force Majeure sangat bergantung pada

beberapa faktor diantaranya jenis perjanjian dan karakter bisnis para

pihak. Oleh karena itu, klaim implementasi Force Majeure dari satu

kasus ke kasus yang lain mungkin saja berbeda (case by case basis).

Ada beberapa pertimbangan dalam mengajukan klaim Force Majeure,

diantaranya:

Pertama, klaim Force Majeure diajukan dengan iktikad baik

dan sesuai tata cara pemberitahuan yang disepakati dalam perjanjian.

Para pihak dalam suatu perikatan perlu memahami bahwa asas iktikad

85
CNBC Indonesia, “Ini Syarat Nasabah BRI yang Bisa Dapat Keringanan Pinjaman”,
https://www.cnbcindonesia.com/, diakses pada tanggal 25 Januari 2021.
110
baik tidak hanya berlaku pada saat pelaksanaan perjanjian, namun

sejak persiapan perjanjian (pre-contract), pelaksanaan perjanjian

(during the period of contract), dan penyelesaian sengketa (disputes

settlement). Meskipun secara faktual terdampak pandemi COVID-19,

pihak yang mengklaim Force Majeure harus dengan iktikad baik

berusaha melakukan hal-hal yang dianggap patut dan wajar untuk

tetap melaksanakan kewajiban atau paling tidak melakukan upaya

utuk memitigasi risiko tidak terpenuhinya kewajiban berdasarkan

perjanjian. Kemudian terkait tata cara pemberitahuan, umumnya

ditentukan bahwa pihak yang mengalami/terdampak Force Majeure

harus memberitahukan secara tertulis kepada pihak lain dalam kurun

waktu tertentu sejak dampak tersebut dirasakan.

Kedua, klaim Force Majeure didasarkan pada rujukan hukum

yang tepat. Pihak yang mengajukan klaim harus terlebih dahulu

meneliti apakah bencana, pandemi atau tindakan pemerintah

pemberlakuan aturan tertentu termasuk ruang lingkup Force Majeure

yang diakomodasi dalam perjanjian. Apabila, klaim Force Majeure

didasarkan pada adanya tindakan pemerintah, pihak yang mengklaim

dianjurkan untuk membuktikan bahwa adanya tindakan pemerintah

tersebut secara nyata berdampak pada kegiatan/aktivitas bisnisnya.

Misalnya, dalam konteks Pembatasan Sosial Bersakala Besar yang

diberlakukan di Provinsi DKI Jakarta dan beberapa wilayah

111
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Pihak yang mengklaim harus

dapat membuktikan bahwa Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 33

Tahun 2020 dan Gubernur Provinsi Jawa Barat melalui Pergub Nomor

27 Tahun 2020 menyebabkan pihak tersebut tidak dapat melaksanakan

kewajibannya. Pihak dimaksud harus meneliti apakah pembatasan

aktivitas/kegiatan yang diatur dalam PSBB menghambat pelaksanaan

kewajiban dan membuktikannya.

Tidak hanya itu, Pihak yang mengklaim harus memperhatikan

apakah kegiatan usahanya dikecualikan dari ketentuan PSBB tersebut.

Sebagai pendukung argumentasi, pihak yang mengajukan klaim

Force Majeure karena pandemi Covid-19 dapat menggunakan

Keputusan Presiden 12 Tahun 2020 sebagai penetapan pemerintah

atas status pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional. Dalam

konteks perpajakan, klaim dapat merujuk misalnya pada Keputusan

Dirjen Pajak Nomor Kep-156/PJ/2020 tahun 2020 tentang Kebijakan

Perpajakan Sehubungan dengan Penyebaran Wabah Virus Corona

2019 yang menetapkan penyebaran Covid-19 dari tanggal 14 Maret

2020 sampai dengan 30 April 2020 sebagai keadaan kahar. Pada

prinsipnya, Pihak yang mengklaim harus dapat membuktikan secara

patut bahwa adanya Force Majeure berdampak pada pemenuhan

kewajiban serta dasar hukum yang sesuai dengan konteks hubungan

hukum diantara para pihak.

112
Ketiga, renegosiasi atau klaim diajukan dengan maksud untuk

merubah perjanjian dan bukan mengakhiri perjanjian.Pemberian

keringanan mengatur kembali isi perjanjian berdasarkan kesepakatan

besama sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata. Restrukturisasi,

penundaan pelaksanaan kewajiban dengan Force Majeure berakhir

ataupun dapat mengakhiri perjanian. Hal tersebut sangat tergantung

dengan objek perjanjian dan prestasi yang diperjanjiakan, terutama

kesepakatan para pihak.

Keempat, Dalam hal perjanjian memuat kondisi Force Majeure

dan penyelesaiaannya maka para pihak harus menyelesaiakan

berdasarkan ketentuan tersebut, dalam hal ini bila para pihak telah

mengatur dalam isi perjanjian mengenai Force Majeure diadakan

perundingan kembali untuk menyelesaikan hak dan kewajiban, maka

ketentuan ini mengenyampingkan pelepasan tanggung jawab pihak

yang terdampak Force Majeure.

Kelima, Dalam Klausula Force Majeure belum memuat wabah

atau pendemi atau bencana yang ditetepakan Pemerintah sebagai

peristiwa Force Majeure Para Pihak dapat melakukan addendum

perjanian atau membuat kesepakatan dengan menambahkan klausul

mengenai Force Majeure sebagi contoh menambahkan "Pandemi"

sebagi salah satu kalusul yang dapat dikategorikan sebagai Force

113
Majeure samapai kondisi kemabali normal pemberian keriganan

waktu misalnya (perpanjangan waktu).

Penting untuk dipahami bahwa klaim adanya Force Majeure

tidak serta merta menggugurkan kewajiban pihak tersebut. Ketentuan

Pasal 1245 KUHPerdata bahkan hanya berkaitan dengan pembebasan

atas kewajiban untuk mengganti rugi. Oleh karena itu, pada saat

pengajuan klaim Force Majeure, pihak tersebut seharusnya telah

menyiapkan alternatif perubahan perjanjian, misalnya berupa

perubahan tenggat waktu pembayaran kredit/pembiayaan, penyesuaian

kuantitas, kualitas barang/layanan, milestone kontrak maupun jadwal

pelaksanaan layanan (delivery time). Apabila disepakati, perubahan

perjanjian tersebut lebih baik dituangkan dalam akta notariil dan

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian awal.

Keenam, mengutamakan penyelesaian secara musyawarah

serta tetap tunduk pada tata cara penyelesaian sengketa yang diatur

dalam perjanjian. Dalam melakukan negosiasi perubahan perjanjian,

para pihak harus sedapat mungkin mengutamakan penyelesaian secara

musyawarah dan menghindari penyelesaian melalui litigasi. Dalam

situasi saat ini, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi tidak hanya

memerlukan proses yang panjang tetapi juga kompleks. Dapat

dibayangkan, berapa banyak potensi perkara wanprestasi akibat

114
pandemi COVID-19 yang akan diselesaikan di pengadilan terlebih

ditengah situasi pembatasan jarak/fisik saat ini.

Ketujuh, berkonsultasi dengan praktisi atau konsultan hukum

mengenai opsi-opsi hukum yang dapat dilakukan. Tentu saja,

pelaksanaan perjanjian tidak hanya berkaitan dengan aspek bisnis

semata, melainkan juga aspek legal. Oleh karena itu, penting untuk

berkonsultasi dengan praktisi/konsultan hukum yang diyakini dapat

memberikan opsi hukum yang sesuai dengan kondisi para pihak.86

86
Putra PM Siregar, Op.Cit
115

Anda mungkin juga menyukai