Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI DASAR


PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
KELOMPOK 11
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila
Dosen Pengampu: Dr. George Towar Ikbal Tawakkal, S. IP., M. Si.
KELAS B8M

KELOMPOK 11
Disusun Oleh:
Auggrand Rigodman Orsan (235020407111040)
Aisha Humaira (235020407111042)
Abdul Faqih (235020407111044)
Aiman Destra Jurban (235020407111047)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan nikmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pancasila.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mengangkat judul “Pancasila Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan”.

Kami berterima kasih kepada Bapak Dr. George Towar Ikbal Tawakkal, S. IP., M. Si.
selaku dosen pengampu mata kuliah Pancasila yang telah memberikan tugas. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan terlibat dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Harapan kami
semoga ide dalam penulisan makalah ini dapat menginspirasi dan memberi pengetahuan bagi
para pembaca dan masyarakat luas.

Malang, 28 November 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...............................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1

1.3 Tujuan...............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2

2.1 Urgensi Pancasila Sebagai Dasar pengembangan Ilmu........................................................2

2.2 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Modern..................................................................................3

BAB III PENUTUP...................................................................................................................7

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................8

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia telah memasuki era modern, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah berdampak signifikan pada kehidupan manusia. Teknologi telah menjadi alat
yang membantu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman manusia, sambil memfasilitasi
komunikasi dalam komunitas yang lebih luas. Namun, kemajuan teknologi yang cepat dapat
merugikan kehidupan manusia, karena dapat menimbulkan dampak negatif pada berbagai aspek
kehidupan.

Pembangunan teknologi dapat dengan mudah dipengaruhi oleh masyarakat Indonesia,


karena memungkinkan pengembangan teknologi komunikasi yang berfungsi lebih efektif dan
dapat melayani banyak orang sekaligus. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
juga dapat memiliki dampak negatif pada kehidupan manusia dan berbagai aspek kehidupan.

Pancasila, ideologi atau filsafat nasional, adalah aspek fundamental dari pembangunan
Indonesia. Ini menekankan nilai-nilai moral sebagai dasar untuk tindakan dan pengambilan
keputusan dalam hidup, dan berfungsi sebagai penyaring atau panduan untuk memahami dunia.
Pancasila telah berperan penting dalam membentuk identitas Indonesia dan mempromosikan
nilai-nilai etika, yang sangat penting untuk masa depan negara ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa urgensi Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu?


2. Bagaimana klasifikasi ilmu pengetahuan modern?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui urgensi Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu.


2. Mengetahui klasifikasi ilmu pengetahuan modern.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Urgensi Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu


Sebuah kenyataan yang tidak bisa dimungkiri bahwa peradaban manusia memang sangat
berhutang budi pada perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan keduanya di satu sisi
manusia dengan lebih cepat dan mudah dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, di sisi lain
perkembangan tersebut juga bisa membawa manusia menuju malapetaka, yakni dimana
perkembangan ilmu dan teknologi dijadikan alat untuk berperang. Contoh yang dapat kita lihat
secara jelas adalah ketika Amerika Serikat dengan teknologi dan keangkuahannya menyerang
Irak. Lebih dari itu gejala dehumanisasi mulai semakin tampak dan menjadi semakin terasakan
di era kita saat ini. Pada level epistemologi, persoalan ini disebabkan oleh dua hal: Pertama,
terjadi ruang pemisahan yang begitu lebar antar disiplin keilmuan satu dengan disiplin lainnya.
Absennya saling sapa, kritik, dan koreksi antar keilmuan ini pada akhirnya meminbulkan
pembacaan yang parsial, alias tidak utuh terhadap realitas. Kedua, gejala positivisme yang bebas
nilai tidak hanya merambah pada kawasan ilmu-ilmu alam, akan tetapi juga masuk pada kawasan
ilmu sosial (dunia kehidupan), yang notabene merupakan wilayah yang nyata-nyata mempunyai
dimensi aksiologi (Hardiman, 2003: 20). Implikasi dan pengaruh ilmu dan teknologi yang juga
mempunyai sisi "dampak merusak" terhadap martabat kemanusiaan, secara umum ternyata tidak
bisa lagi diselesaikan oleh disiplin ilmu itu sendiri.

Meletakkan Pancasila sebagai paradigma ilmu sesungguhnya merupakan tugas baru bagi
akademisi maupun mahasiswa untuk melakukan kajian dalam berbagai literatur yang dapat
membentuk dan membangun pemahaman ihwal nilai-nilai Pancasila yang harus dijadikan dasar
pengembangan ilmu.

Pengembangan IPTEK di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara. Pancasila memiliki urgensi sebagai dasar nilai pengembangan IPTEK
di Indonesia dalam beberapa hal:

1) Pertama, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan IPTEK di Indonesia dapat


memberikan arah dan tujuan bagi pengembang ilmu. Pancasila dapat menjadi pedoman
bagi pengembang ilmu untuk menghasilkan IPTEK yang sesuai dengan kepentingan

2
nasional, aspirasi rakyat, dan cita-cita bangsa. Pancasila juga dapat menjadi motivasi bagi
pengembang ilmu untuk mengabdikan diri bagi kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
2) Kedua, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan IPTEK di Indonesia dapat
memberikan norma dan etika bagi pengembang ilmu. Pancasila dapat menjadi acuan bagi
pengembang ilmu untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral, religius, humanis,
nasionalis, dan demokratis dalam proses dan hasil pengembangan IPTEK. Pancasila juga
dapat menjadi korektif bagi pengembang ilmu untuk mencegah penyalahgunaan atau
penyelewengan IPTEK yang dapat merugikan diri sendiri, masyarakat, atau lingkungan.
3) Ketiga, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan IPTEK di Indonesia dapat
memberikan identitas dan karakteristik bagi pengembang ilmu. Pancasila dapat menjadi
ciri khas bagi pengembang ilmu untuk menghasilkan IPTEK yang memiliki keunikan dan
keunggulan yang berbeda dengan IPTEK negara-negara lain. Pancasila juga dapat
menjadi pembeda bagi pengembang ilmu untuk menghasilkan IPTEK yang memiliki
nilai tambah dan manfaat yang lebih besar bagi bangsa Indonesia.

2.2 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Modern

Secara garis besar ilmu pengetahuan terbagi atas tiga kelompok: (1) Ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science), meliputi; biologi, antropologi fisik, ilmu pasti, dan lain-lain.
(2) Ilmu pengetahuan kemasyarakatan (sosial science), meliputi; ilmu hukum, ilmu ekonomi,
sosiologi, antropologi budaya, dan sosial, dan sejenis-lainnya. (3) Humaniora (Studi Humanitas,
Humanities studies), meliputi; ilmu agama, filsafat bahasa, dan lain-sejenisnya. Masing-masing
disiplin ilmu tersebut berdiri dan dapat berjalan sendiri-sendiri. Dalam alam modern, disiplin-
disiplin tersebut menjadi semakin terspesialisasi dan semakin menjauh dari akar-akar
pengetahuannya. Bahaya yang ditimbulkan dari spesialisasi keilmuan tersebut adalah manusia
menjadi semakin berada dalam pandangan tertutup dan sempit karena antara disiplin yang satu
dengan yang lain tidak berkaitan dengan disiplin-disiplin yang lainnya. Realitas kemanusiaan
akhirnya terpilah-pilah atas dasar keilmuan (Verhaak dan Imam, 1989).

Secara garis besar, klasifikasi ilmu berdasarkan pada model keilmuannya terpola menjadi
dua, yakni ilmu-ilmu teoritis dan ilmu- ilmu praktis. Dalam prakteknya, kedua entitas ini saling
menafikan satu sama lain. Berbagai anggapan miring juga kerap kali dilontarkan dari masing-
masing kubu. Secara epistemologi, bangunan Imu-ilmu teoritis sebetulnya muncul dan
berkembang sebagai akibat dari problem-problem yang timbul dan disebabkan karena hubungan
timbal balik antara perumusan teori dan pengujiannya. Jika pada ilmu- ilmu praktis problem-
problemnya berangkat dari realitas konkrit, maka ilmu teoritis justru bertujuan untuk
3
menyelesaikan persoalan- persoalan praksis. Karenanya, ilmu-ilmu praktis pada umumnya
terkadang bersifat multidisipliner. Meskipun terdapat juga ilmu-ilmu praksis yang bersifat
monodisipliner atau interdisipliner (Van Melsen, 1992: 125).

Sifat multidisiliner ilmu-ilmu manusia terjadi karena manusia mempunyai begitu banyak
aspek yang tidak bisa berdiri sendiri tetapi saling terkait dan juga terkadang terjadi saling tumpah
tindih. Pendekatan multidisilpiner ini mengandaikan syarat keaktifan ilmu-ilmu lain seperti ilmu
alam, filsafat, dan etika. Pendekatan multidisipliner ini pada kenyataannya lambat laun mengarah
pada upaya integratif antar lintas-keilmuan (Van Melsen, 1992: 126).

Pembedaan yang cukup tegas dijelaskan oleh Gie, menurutnya ilmu murni mengejar
pengetahuan atau kebenaran demi pengetahuan atau kebenaran itu sendiri, sebaliknya ilmu
terapan mengejar pengetahuan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan manusia atau
mengatasi masalah (The Liang Gie, 1996: 99). Contoh yang paling mudah dicerna mengenai
pembedaan ilmu murni dengan ilmu terapan digambarkan oleh Calder. Menurutnya, ilmu
psikologi adalah ilmu murni, sementara pedagogy adalah ilmu terapan. Psikologi adalah ilmu
murni yang menemukan berbagai penerapan teori, kaidah, serta prinsip psikologi sehingga
berwujud menjadi ilmu pedagogi. Habermas adalah filsuf kontemporer yang secara
epistempologis mempertautkan ketiga disiplin keilmuan, yakni: empiris-analitis, historis-
hermenutis, dan sosial-kritis. Dalam "Technology and Science as Ideology", Habermas
memformulasikan ilmu-ilmu empiris-analitis sebagai ilmu yang didasarkan pada 'tindakan-
rasional-bertujuan'. Menurutnya, tindakan rasional-bertujuan merealisasikan tujuan- tujuannya
yang ditetapkan dalam kondisi-kondisi tertentu, akan tetapi sementara tindakan rasional-
bertujuan juga mengorganisasikan sarana-sarana yang sesuai maupun tidak sesuai menurut
kreteria- kreteria mengenai kontrol suatu realitas yang efektif. Tindakan strategis hanya
tergantung pada suatu penilaian yang tepat mengenai alternatif- alternatif prilaku yang mungkin,
yang hanya diperoleh melalui deduksi dengan bantuan nilai-nilai dan pedoman (Habermas, 1983,
59-60). Sistem tindakan instrumental inilah yang pada akhirnya menentukan struktur penelitian
empiris-analitis, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu- ilmu sosial, sejauh disiplin ilmu-ilmu tersebut
bertujuan memproduksi pengetahuan yang bersifat nomologis (Charty, 64 dan 68). Pernyataan
ini dapat disimpulkan bahwa karekterikstik mendasar pada ilmu-ilmu empiris-analitis (hukum,
antropologi, psikologi, ilmu-ilmu alam) adalah Pertama, terdapat sistem referensi atau acuan
yang sama, yang menentukan arti proposisi-proposisi empiris, baik peraturan mengenai
konstruksi suatu teori, maupun peraturan tentang tes empiris yang akan dikenakan pada teori
yang bersangkutan (nomologis). Kedua, ilmu-ilmu empiris analitis melahirkan banyak teori yang

4
kemudian dengan bantuan metode deduksi memungkinkannya diturunkan dalam bentuk
hipotesa-hipotesa yang lebih banyak dari isi empirisnya. Ketiga, hipotesa-hipotesa tersebut
merupakan proposisi tentang korelasi antar variabel dalam suatu obyek yang diamati, yang
kemudian dapat pula menghasilkan prognosa (ramalan) tertentu (Kleden, 1993: 32-33).

Dengan demikian, pada tingkat metodologis, ilmu-ilmu empiris- analitis mendasarkan


diri pada logika induksi-deduksi dan abduksi. Logika penelitian ini akan menghasilkan
pengetahuan yang bersifat nomologis, menjelaskan realitas (eklaeran), dan seterusnya.
Sementara pada tingkat epistemologis, ilmu-ilmu empiris merupakan bentuk pengetahuan
empirik yang bersifat observasi, ekperimentasi, dan komparasi. Data yang diinforamsikannya
bersifat diskriptif, eklaeranl menjelaskan realitas. Kepentingan yang mendasari tipe keilmuan ini
adalah kepentingan teknis.

Kategori ilmu yang kedua disebut Habermas sebagai ilmu historis-hermeneutis.


Termasuk dalam tipe kedua ini adalah ilmu agama, filsafat, bahasa, seni, dan budaya.
Karakteristik mendasar pada kelompok ilmu historis-hermeunetis sebagai berikut. Pertama, jalan
untuk mendekati kenyataan bukannya melalui observasi, melainkan melalui pemahaman diri
(sinverstehen). Kedua, ujian salah-benarnya pemahaman tersebut tidak dilaksanakan melalui tes
yang direncanakan, melainkan melalui interpretasi. Interpretasi yang benar akan meningkatkan
inter-subjektifitas, sedangkan interpretasi yang salah akan mendatangkan sangsi. Ketiga, Sebuah
pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan pra-pengertian
(vorverstaendnis), artinya pemahaman situasi orang lain hanya mungkin tercapai melalui
pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman berarti membangun komunikasi
antar kedua situasi terlebih dahulu. Pemahaman berarti membangun komunikasi antar kedua
situasi tersebut. Keempat, Interesse(kepentingan) yang ada di sini adalah mempertahankan dan
memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi. Apa yang mengikat komunikasi adalah norma
berdasarkan konsesus mengenai tingkah laku yang diakui dan diterima. Kelima, kekuatan norma-
norma sosial tersebut didasarkan pada saling pengertian tentang maksud pihak- pihak yang
terlibat dalam komunikasi, yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban
yang harus ditaati (Kleden, 1993: 33-34).

Menurut Habermas (1971: 176) fungsi transendental metode hermeneutika adalah


menjaga saling-pemahaman antar-subyek dan kelompok-kelompok sosial juga pemahaman yang
timbal-balik antara individu-individu dan group-group sosial. Hal ini sangat memungkinkan
untuk membentuk kesepakatan yang tak terbatas dan tipe intersubyektivitas yang terbuka
berdasarkan tindakan komunikatif. Metode hermeneutis berfungsi menghindarkan dari bahaya-
5
bahaya kemacetan komunikasi yang mencakup dimensi vertikal dan sosial. Pada dimensi
vertikal, hermeneutika menghindarkan kemacetan komunikasi pada sejarah hidup individu
maupun tradisi sosial dimana individu hidup, sementara pada dimensi sosial, menghindarkan
kemacetan komunikasi antara individu-individu, kelompok-kelompok, serta kebudayan-
kebudayaan. Jika terjadi gangguan komunikasi dan interaksi, maka akan terjadi kekerasan dan
tindakan saling membinasakan. Dengan demikian hermeneutika juga dibimbing untuk
mengarahkan kepentingan manusiawi, kepentingan itu adalah 'kepentingan kognitif'.

Kepentingan kognitif ini mengarahkan pemahaman dan tingkah laku praktis dari
tindakan-tindakan komunikatif dalam masyarakat. Kata 'praktis' diartikan sebagai interaksi;
bukan kerja. Oleh karena itu, Habermas menyebutnya kepentingan kognitif-praktis atau
kepentingan praktis; tulis Habermas, "Karena (kemungkinan untuk mencapai kesepakatan tanpa
paksaan dan saling pemahaman) merupakan pengadaian dari praxis, kita menyebut kepentingan
konstiutif ilmu-ilmu budaya itu praktis" (J. Habermas, 1971: 176).

Sementara pada kelompok ilmu ketiga, Habermas memunculkan ilmu-ilmu sosial kritis.
Pada taraf metodologis, kepentingan emansipatoris membimbing seluruh refleksi sistematis pada
kelompok ilmu ketiga ini, termasuk filsafat dan kritik ideologi, yang kemudian disebut
Habermas dengan ilmu-ilmu kritis. Yang termasuk dalam tipe keilmuan ini adalah ekonomi,
sosiologi, politik, dan seluruh disiplin ilmu-ilmu empiris-analitis yang bertujuan untuk
menghasilkan pengetahuan yang nomologis. Tetapi ilmu-ilmu kritis tidak puas dengan itu saja.
Lebih dari itu, ia berusaha untuk membuktikan kapan pernyataan-pernyataan teoritis dapat
menangkap keteraturan- keteraturan yang tidak berubah (invarian) dari tindakan sosial pada
umumnya, dan kapan ia dapat mengungkapkan hubungan-hubungan ketergantungan yang
dibekukan secara ideologis, namun pada prinsipnya dapat diubah" (Habermas, 1971: 168-169).
Meski Habermas menunjuk filsafat sebagai ilmu-ilmu kritis, akan tetapi selama filsafat masih
terikat pada ontologi, maka ia sendiri yang menjadi korban suatu obyektifisme yang merintangi
jalinan hubungan pengetahuannya dengan kepentingan emansipasi. Baru apabila kritik yang ia
tujukan terhadap obyektifisme ilmu-ilmu dan terhadap kesemuan teori dalam dirinya sendiri,
maka ia akan memperoleh kekuatan dan kesadaran yang disadari (Habermas, 1971: 169). Secara
aksiologis, tujuan ilmu-ilmu kritis adalah memudahkan proses refleksi diri dan menghancurkan
kendala-kendala proses pembentukan diri manusia sebagai makhluk sosial maupun individual.
Dalam konsepsi Habermas, ilmu-ilmu kritis ini menyatukan kepentingan tekhnis dan praksis dari
kedua kelompok ilmu lain dalam suatu kerangka kerja, sesuai dengan sifat dasariah kepentingan
emansipatoris (Hardiman, 1993:172). Disinilah ilmu-ilmu kritis bertugas untuk menentukan

6
kapan praxis sosial yang telah membeku dan menindas serta menghambat proses pembentukan
diri.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar negara menandakan bahwa nilai-nilai Pancasila menjadi panduan
normatif dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, termasuk dalam peraturan perundang-
undangan. Dengan konsistensi ini, setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan, termasuk
undang-undang, mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, Pancasila juga dianggap sebagai
sumber nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertama-tama,


ditekankan bahwa pengembangan ini tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama. Oleh
karena itu, perlu dijaga agar pengembangan ilmu pengetahuan menghormati keyakinan agama
masyarakat. Meski kedua aspek ini memiliki logika masing-masing, tidak perlu diperdebatkan.
Kedua, ilmu pengetahuan diarahkan untuk pengembangan kemanusiaan dan diwajibkan oleh
nilai-nilai etika yang berakar pada kemanusiaan.

Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki potensi untuk menyatukan kebudayaan,
mempererat persatuan masyarakat, serta memperkuat pembangunan dan identitas nasional.
Keempat, karena pendidikan dianggap sebagai kebutuhan masyarakat, prinsip demokrasi
menuntut agar teknologi dan pengelolaannya didistribusikan secara merata di seluruh lapisan
sosial. Kelima, perlu terus mempersempit kesenjangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk mencapai prinsip keadilan. Dengan demikian, hubungan erat antara Pancasila,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi
menjadi sebuah kesatuan yang harmonis dalam mengarahkan pembangunan dan kemajuan
Indonesia.

7
DAFTAR PUSTAKA

Anas, Mohamad dkk, 2019. Buku Ajar Pendidikan Pancasila. Malang: Pusat Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian Universitas Brawijaya

Universitas Islam An Nur Lampung. 2023. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai
Pengembangan Ilmu. Tersedia di: https://an-nur.ac.id/blog/urgensi-pancasila-sebagai-
dasar-nilai-pengembangan-ilmu.html (Diakses: 28 November 2023)

Anda mungkin juga menyukai