KELOMPOK 11
Disusun Oleh:
Auggrand Rigodman Orsan (235020407111040)
Aisha Humaira (235020407111042)
Abdul Faqih (235020407111044)
Aiman Destra Jurban (235020407111047)
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan nikmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pancasila.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mengangkat judul “Pancasila Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan”.
Kami berterima kasih kepada Bapak Dr. George Towar Ikbal Tawakkal, S. IP., M. Si.
selaku dosen pengampu mata kuliah Pancasila yang telah memberikan tugas. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan terlibat dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Harapan kami
semoga ide dalam penulisan makalah ini dapat menginspirasi dan memberi pengetahuan bagi
para pembaca dan masyarakat luas.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................8
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila, ideologi atau filsafat nasional, adalah aspek fundamental dari pembangunan
Indonesia. Ini menekankan nilai-nilai moral sebagai dasar untuk tindakan dan pengambilan
keputusan dalam hidup, dan berfungsi sebagai penyaring atau panduan untuk memahami dunia.
Pancasila telah berperan penting dalam membentuk identitas Indonesia dan mempromosikan
nilai-nilai etika, yang sangat penting untuk masa depan negara ini.
1.3 Tujuan
1
BAB 2
PEMBAHASAN
Meletakkan Pancasila sebagai paradigma ilmu sesungguhnya merupakan tugas baru bagi
akademisi maupun mahasiswa untuk melakukan kajian dalam berbagai literatur yang dapat
membentuk dan membangun pemahaman ihwal nilai-nilai Pancasila yang harus dijadikan dasar
pengembangan ilmu.
Pengembangan IPTEK di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara. Pancasila memiliki urgensi sebagai dasar nilai pengembangan IPTEK
di Indonesia dalam beberapa hal:
2
nasional, aspirasi rakyat, dan cita-cita bangsa. Pancasila juga dapat menjadi motivasi bagi
pengembang ilmu untuk mengabdikan diri bagi kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
2) Kedua, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan IPTEK di Indonesia dapat
memberikan norma dan etika bagi pengembang ilmu. Pancasila dapat menjadi acuan bagi
pengembang ilmu untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral, religius, humanis,
nasionalis, dan demokratis dalam proses dan hasil pengembangan IPTEK. Pancasila juga
dapat menjadi korektif bagi pengembang ilmu untuk mencegah penyalahgunaan atau
penyelewengan IPTEK yang dapat merugikan diri sendiri, masyarakat, atau lingkungan.
3) Ketiga, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan IPTEK di Indonesia dapat
memberikan identitas dan karakteristik bagi pengembang ilmu. Pancasila dapat menjadi
ciri khas bagi pengembang ilmu untuk menghasilkan IPTEK yang memiliki keunikan dan
keunggulan yang berbeda dengan IPTEK negara-negara lain. Pancasila juga dapat
menjadi pembeda bagi pengembang ilmu untuk menghasilkan IPTEK yang memiliki
nilai tambah dan manfaat yang lebih besar bagi bangsa Indonesia.
Secara garis besar ilmu pengetahuan terbagi atas tiga kelompok: (1) Ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science), meliputi; biologi, antropologi fisik, ilmu pasti, dan lain-lain.
(2) Ilmu pengetahuan kemasyarakatan (sosial science), meliputi; ilmu hukum, ilmu ekonomi,
sosiologi, antropologi budaya, dan sosial, dan sejenis-lainnya. (3) Humaniora (Studi Humanitas,
Humanities studies), meliputi; ilmu agama, filsafat bahasa, dan lain-sejenisnya. Masing-masing
disiplin ilmu tersebut berdiri dan dapat berjalan sendiri-sendiri. Dalam alam modern, disiplin-
disiplin tersebut menjadi semakin terspesialisasi dan semakin menjauh dari akar-akar
pengetahuannya. Bahaya yang ditimbulkan dari spesialisasi keilmuan tersebut adalah manusia
menjadi semakin berada dalam pandangan tertutup dan sempit karena antara disiplin yang satu
dengan yang lain tidak berkaitan dengan disiplin-disiplin yang lainnya. Realitas kemanusiaan
akhirnya terpilah-pilah atas dasar keilmuan (Verhaak dan Imam, 1989).
Secara garis besar, klasifikasi ilmu berdasarkan pada model keilmuannya terpola menjadi
dua, yakni ilmu-ilmu teoritis dan ilmu- ilmu praktis. Dalam prakteknya, kedua entitas ini saling
menafikan satu sama lain. Berbagai anggapan miring juga kerap kali dilontarkan dari masing-
masing kubu. Secara epistemologi, bangunan Imu-ilmu teoritis sebetulnya muncul dan
berkembang sebagai akibat dari problem-problem yang timbul dan disebabkan karena hubungan
timbal balik antara perumusan teori dan pengujiannya. Jika pada ilmu- ilmu praktis problem-
problemnya berangkat dari realitas konkrit, maka ilmu teoritis justru bertujuan untuk
3
menyelesaikan persoalan- persoalan praksis. Karenanya, ilmu-ilmu praktis pada umumnya
terkadang bersifat multidisipliner. Meskipun terdapat juga ilmu-ilmu praksis yang bersifat
monodisipliner atau interdisipliner (Van Melsen, 1992: 125).
Sifat multidisiliner ilmu-ilmu manusia terjadi karena manusia mempunyai begitu banyak
aspek yang tidak bisa berdiri sendiri tetapi saling terkait dan juga terkadang terjadi saling tumpah
tindih. Pendekatan multidisilpiner ini mengandaikan syarat keaktifan ilmu-ilmu lain seperti ilmu
alam, filsafat, dan etika. Pendekatan multidisipliner ini pada kenyataannya lambat laun mengarah
pada upaya integratif antar lintas-keilmuan (Van Melsen, 1992: 126).
Pembedaan yang cukup tegas dijelaskan oleh Gie, menurutnya ilmu murni mengejar
pengetahuan atau kebenaran demi pengetahuan atau kebenaran itu sendiri, sebaliknya ilmu
terapan mengejar pengetahuan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan manusia atau
mengatasi masalah (The Liang Gie, 1996: 99). Contoh yang paling mudah dicerna mengenai
pembedaan ilmu murni dengan ilmu terapan digambarkan oleh Calder. Menurutnya, ilmu
psikologi adalah ilmu murni, sementara pedagogy adalah ilmu terapan. Psikologi adalah ilmu
murni yang menemukan berbagai penerapan teori, kaidah, serta prinsip psikologi sehingga
berwujud menjadi ilmu pedagogi. Habermas adalah filsuf kontemporer yang secara
epistempologis mempertautkan ketiga disiplin keilmuan, yakni: empiris-analitis, historis-
hermenutis, dan sosial-kritis. Dalam "Technology and Science as Ideology", Habermas
memformulasikan ilmu-ilmu empiris-analitis sebagai ilmu yang didasarkan pada 'tindakan-
rasional-bertujuan'. Menurutnya, tindakan rasional-bertujuan merealisasikan tujuan- tujuannya
yang ditetapkan dalam kondisi-kondisi tertentu, akan tetapi sementara tindakan rasional-
bertujuan juga mengorganisasikan sarana-sarana yang sesuai maupun tidak sesuai menurut
kreteria- kreteria mengenai kontrol suatu realitas yang efektif. Tindakan strategis hanya
tergantung pada suatu penilaian yang tepat mengenai alternatif- alternatif prilaku yang mungkin,
yang hanya diperoleh melalui deduksi dengan bantuan nilai-nilai dan pedoman (Habermas, 1983,
59-60). Sistem tindakan instrumental inilah yang pada akhirnya menentukan struktur penelitian
empiris-analitis, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu- ilmu sosial, sejauh disiplin ilmu-ilmu tersebut
bertujuan memproduksi pengetahuan yang bersifat nomologis (Charty, 64 dan 68). Pernyataan
ini dapat disimpulkan bahwa karekterikstik mendasar pada ilmu-ilmu empiris-analitis (hukum,
antropologi, psikologi, ilmu-ilmu alam) adalah Pertama, terdapat sistem referensi atau acuan
yang sama, yang menentukan arti proposisi-proposisi empiris, baik peraturan mengenai
konstruksi suatu teori, maupun peraturan tentang tes empiris yang akan dikenakan pada teori
yang bersangkutan (nomologis). Kedua, ilmu-ilmu empiris analitis melahirkan banyak teori yang
4
kemudian dengan bantuan metode deduksi memungkinkannya diturunkan dalam bentuk
hipotesa-hipotesa yang lebih banyak dari isi empirisnya. Ketiga, hipotesa-hipotesa tersebut
merupakan proposisi tentang korelasi antar variabel dalam suatu obyek yang diamati, yang
kemudian dapat pula menghasilkan prognosa (ramalan) tertentu (Kleden, 1993: 32-33).
Kepentingan kognitif ini mengarahkan pemahaman dan tingkah laku praktis dari
tindakan-tindakan komunikatif dalam masyarakat. Kata 'praktis' diartikan sebagai interaksi;
bukan kerja. Oleh karena itu, Habermas menyebutnya kepentingan kognitif-praktis atau
kepentingan praktis; tulis Habermas, "Karena (kemungkinan untuk mencapai kesepakatan tanpa
paksaan dan saling pemahaman) merupakan pengadaian dari praxis, kita menyebut kepentingan
konstiutif ilmu-ilmu budaya itu praktis" (J. Habermas, 1971: 176).
Sementara pada kelompok ilmu ketiga, Habermas memunculkan ilmu-ilmu sosial kritis.
Pada taraf metodologis, kepentingan emansipatoris membimbing seluruh refleksi sistematis pada
kelompok ilmu ketiga ini, termasuk filsafat dan kritik ideologi, yang kemudian disebut
Habermas dengan ilmu-ilmu kritis. Yang termasuk dalam tipe keilmuan ini adalah ekonomi,
sosiologi, politik, dan seluruh disiplin ilmu-ilmu empiris-analitis yang bertujuan untuk
menghasilkan pengetahuan yang nomologis. Tetapi ilmu-ilmu kritis tidak puas dengan itu saja.
Lebih dari itu, ia berusaha untuk membuktikan kapan pernyataan-pernyataan teoritis dapat
menangkap keteraturan- keteraturan yang tidak berubah (invarian) dari tindakan sosial pada
umumnya, dan kapan ia dapat mengungkapkan hubungan-hubungan ketergantungan yang
dibekukan secara ideologis, namun pada prinsipnya dapat diubah" (Habermas, 1971: 168-169).
Meski Habermas menunjuk filsafat sebagai ilmu-ilmu kritis, akan tetapi selama filsafat masih
terikat pada ontologi, maka ia sendiri yang menjadi korban suatu obyektifisme yang merintangi
jalinan hubungan pengetahuannya dengan kepentingan emansipasi. Baru apabila kritik yang ia
tujukan terhadap obyektifisme ilmu-ilmu dan terhadap kesemuan teori dalam dirinya sendiri,
maka ia akan memperoleh kekuatan dan kesadaran yang disadari (Habermas, 1971: 169). Secara
aksiologis, tujuan ilmu-ilmu kritis adalah memudahkan proses refleksi diri dan menghancurkan
kendala-kendala proses pembentukan diri manusia sebagai makhluk sosial maupun individual.
Dalam konsepsi Habermas, ilmu-ilmu kritis ini menyatukan kepentingan tekhnis dan praksis dari
kedua kelompok ilmu lain dalam suatu kerangka kerja, sesuai dengan sifat dasariah kepentingan
emansipatoris (Hardiman, 1993:172). Disinilah ilmu-ilmu kritis bertugas untuk menentukan
6
kapan praxis sosial yang telah membeku dan menindas serta menghambat proses pembentukan
diri.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar negara menandakan bahwa nilai-nilai Pancasila menjadi panduan
normatif dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, termasuk dalam peraturan perundang-
undangan. Dengan konsistensi ini, setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan, termasuk
undang-undang, mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, Pancasila juga dianggap sebagai
sumber nilai dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki potensi untuk menyatukan kebudayaan,
mempererat persatuan masyarakat, serta memperkuat pembangunan dan identitas nasional.
Keempat, karena pendidikan dianggap sebagai kebutuhan masyarakat, prinsip demokrasi
menuntut agar teknologi dan pengelolaannya didistribusikan secara merata di seluruh lapisan
sosial. Kelima, perlu terus mempersempit kesenjangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk mencapai prinsip keadilan. Dengan demikian, hubungan erat antara Pancasila,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi
menjadi sebuah kesatuan yang harmonis dalam mengarahkan pembangunan dan kemajuan
Indonesia.
7
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Mohamad dkk, 2019. Buku Ajar Pendidikan Pancasila. Malang: Pusat Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian Universitas Brawijaya
Universitas Islam An Nur Lampung. 2023. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai
Pengembangan Ilmu. Tersedia di: https://an-nur.ac.id/blog/urgensi-pancasila-sebagai-
dasar-nilai-pengembangan-ilmu.html (Diakses: 28 November 2023)