Anda di halaman 1dari 13

Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Dan Sistem Etika

Disusun Oleh Kelompok 8 :

ENGELLINA (2261201095)

HANA SEBA (2261201087)

DIPA SUDARTA (2261201060)

Dosen Pengampu

Nur Apriyani, S.Hi.,M.pd

SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN INDONESIA

YAPMI MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera bagi kita semua. Puji syukur atas karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang mana berkat tuntunan dan kemudahan dari-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Dan Sistem Etika” ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya

Penyusunan makalah ini berdasarkan pemenuhan tanggung jawab tugas dan


ditujukan sebagai sarana penampung informasi berdasarkan judul yang kami tinjau
secara lugas, bantuan para teman kelompok, serta bimbingan Dosen Mata Kuliah
Pembagunan Karakter Pancasila, Oleh karena itu, kami menyampaikan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam proses pembuatan makalah ini.

kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dari berbagai
segi. Kritik dan saran akan sangat kami perlukan agar makalah ini dapat perbaikan
lebih lanjut.Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Makassar,20Mare
t 2023

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan

BAB 2 PEMBAHASAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awalnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia masih relatif
sederhana dan belum berkembang. Namun, berikut dengan berjalannya waktu, ilmu
pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat karena banyak ditemukan teori
dan teknologi.

Perkembangan pesat ilmu pada saat ini berbanding lurus dengan sikap kritis dan
cerdas manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di sekitarnya. Namun,
perkembangan pesat ilmu pada saat ini justru menimbulkan gejala penurunan derajat
manusia. Produk yang dihasilkan oleh manusia, baik teori maupun materi, menjadi
lebih bernilai daripada penggagasnya Oleh karena itu, aplikasi nilai-nilai Pancasila
dalam pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia harus diperkuat agar bangsa
Indonesia tidak terjerumus dalam pengembangan ilmu yang semakin jauh dari nilai-
nilai , kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilanketuhanan

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pancasila sebagai dasar perkembagan ilmu pengetahuan?
2. Apa itu Eksistensi Ilmu Pengetahuan dan prinsip - prinsip berfikir ilmiah?
3. Bagaimana dasar pengembangan sistem etika ?
4. Bagaimana Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan ?

C. Tujuan

Ada pun tujuan dari rumusan masalah di atas yakni

1.Mengetahui Pancasila sebagai dasar perkembagan ilmu pengetahuan

2.Mengetahui Eksistensi Ilmu Pengetahuan dan prinsip - prinsip berfikir ilmiah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pancasila Sebagai Dasar Perkembagan Ilmu Pengetahuan
1. Konsep Pancasila sebagai dasar perkembangan ilmu pengetahuan

Pengertian Pa ncasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu


pada beberapa jenis pemahaman. Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) yang dikembangkan diIndonesia haruslah tidak bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kedua, bahwa setiap iptek yang
dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai faktor
internal pengembangan iptek itu sendiri. Ketiga, bahwa nilai-nilai Pancasila berperan
sebagai rambu normatif bagi pengembangan iptek di Indonesia, artinya mampu
mengendalikan iptek agar tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa
Indonesia.

Oleh karena itu, beberapa alasan Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai
pengembangan iptek dalam kehidupan bangsa Indonesia meliputi hal-hal sebagai
berikut:

1). Pertama, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh iptek,baik dengan dalih
percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius. Penggalian tambang
batubara,minyak, biji besi, emas, dan lainnya di Kalimantan, Sumatera, Papua, dan
lain-lain dengan menggunakan teknologi canggih mempercepat kerusakan
lingkungan. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka generasi yang akan datang,
menerima resiko kehidupan yang rawan bencana lantaran kerusakan lingkungan dapat
memicu terjadinya bencana.

2).Kedua, penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek


dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan iptek yang
berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak masyarakat yang cenderung pragmatis.
Artinya,penggunaan benda-benda teknologi dalam kehidupan masyarakat Indonesia
dewasa ini telah menggantikan peran nilai-nilai luhur yang diyakini dapat
menciptakan kepribadian manusia Indonesia yang memiliki sifat sosial, humanis, dan
religius. Selain itu, sifat tersebut kini sudah mulai tergerus dan digantikan sifat
individualistis, dehumanis,pragmatis, bahkan cenderung sekuler.

3). Ketiga, nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupandi berbagai
daerah mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti:budaya gotong royong
digantikan dengan individualis yang tidak patuh membayar pajak dan hanya menjadi
free rider di negara ini, sikap bersahaja digantikan dengan gaya hidup bermewah-
mewah.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini mencapai
kemajuan pesat sehingga peradaban manusia mengalami perubahan yang luar biasa.
Pengembangan iptek tidak dapat terlepas dari situasi yang melingkupinya, artinya
iptek selalu berkembang dalam suatu ruang budaya. Perkembangan iptek pada
gilirannya bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dan agama sehingga di satu pihak
dibutuhkan semangat objektivitas, di pihak lain iptek perlu mempertimbangkan nilai-
nilai budaya dan agama dalam pengembangannya agar tidak merugikan umat
manusia.Relasi antara iptek dan nilai budaya, serta agama dapat ditandai dengan
beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama,iptek yang terkait dengan nilai
budaya dan agama sehingga pengembangan iptek harus senantiasa didasarkan atas
sikap human-religius. Kedua, iptek yang lepas sama sekali dari norma budaya dan
agama sehingga terjadi sekularisasi yang berakibat pada kemajuan iptek tanpa
dikawal dan diwarnai nilai human-religius. Hal ini terjadikarena sekelompok
ilmuwan yang meyakini bahwa iptek memilikihukum-hukum sendiri yang lepas dan
tidak perlu diintervensi nilai-nilai dari luar. Ketiga, iptek yang menempatkan nilai
agama dan budaya sebagai mitra dialog di saat diperlukan. Dalam hal ini, ada
sebagian ilmuwan yang beranggapan bahwa iptek memang memiliki hukum
tersendiri (faktor internal), tetapi di pihak lain diperlukan faktor eksternal (budaya,
ideologi, dan agama) untuk bertukar pikiran,meskipun tidak dalam arti saling
bergantung secara ketat

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya


dan agama dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
mengakomodir seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
demikian pula halnya dalam aktivitas ilmiah. Oleh karena itu, perumusan Pancasila
sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas ilmiah di Indonesia merupakan sesuatuyang
bersifat niscaya. Sebab, pengembangan ilmu yang terlepas darinilai ideologi bangsa,
justru dapat mengakibatkan sekularisme, seperti yang terjadi pada zaman Renaissance
di Eropa. Bangsa Indonesiamemiliki akar budaya dan religi yang kuat dan tumbuh
sejak lama dalam kehidupan masyarakat sehingga manakala pengembangan ilmu
tidak berakar pada ideologi bangsa, sama halnya dengan membiarkan ilmu
berkembang tanpa arah dan orientasi yang jelas.

B. Eksistensi Ilmu Pengetahuan Dan Prinsip-Prinsip Cara Berpikir Ilmiah

2.2 Eksistensi Ilmu Pengetahuan


Kelahirnya ilmu pengetahuan (science) menandai lahirnya peradaban modern
yang serba terukur (measurable). Perkembangan tersebut kemudian diikuti dengan
kecenderungan memposisikan ilmu pengetahuan secara parsial antara hakikat, proses,
dan nilai guna (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Hal tersebut mendasari
berbagai keberhasilan dan keterbatasan ilmu pengetahuan, ketika ilmu pengetahuan
hanya dilihat dari ontologisnya. Maka kemudian muncul pernyataan “ilmu
pengetahuan bebas nilai”. Dalam rangka misi penyelamatan peradaban manusia, para
ilmuwan menempatkan ilmu pengetahuan sebagai “pencerah” untuk
menyejahterakan.

Potensi yang dimiliki ilmu pengetahuan, manusia dapat mengembangkan


budaya diri sebagai manusia yang bermoral, bermartabat dan berbudaya. Ilmu
pengatahuan yang merupakan salah satu produk khas manusia dipandang sebagai
salah satu unsur dasar kebudayaan. Sehingga dapat mengantarkan ke peradaban
global dan membawa akibat-akibat besar terhadap eksistensi kemanusiaan. Para
ilmuwan dapat memosisikan dirinya pada jalur tanggung jawab kultural untuk dapat
merealisasikan ilmu pengetahuan secara utuh yang disertai moral baik. (Mudzakir,
Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam, No. 2, September, 2016,
280)Pengembangan ilmu pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana kehidupan


manusia, tetapi sudah tersubstansialkan menjadi bagian dari harga diri (prestige) dan
mitos bangsa. Dalam kedudukannya yang substansif iptek telah menyentuh semua lini
kehidupan secara ekstensif, dan dapat mengubah budaya manusia secara intensif.
Fenomena perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat yang sedang mengalami
masa transisi, yaitu:

1).Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan


budaya industri modern.

Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan
lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap sebagai penguasa alam
sekitar, melainkan melalui akal pikir dengan kekuatan penalaran, menjadi kerangka
acuan untuk meramalkan dan mengatur kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan
waktu, etos kerja,kaidah-kaidah normatif yang semula menjadi panutan, bergeser
mencari format baru yang dibutuhkan untuk melayani.

masyarakat yang berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat“sesama


bus kota tidak boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut
adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-
inovatifkreatif.

2). Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional kebangsaan

Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara konvergen menuju satu


kesatuan pranata kebudayaan demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation
state) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur pemerintahan,
sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara intensif merupakan
upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati diri sebagai satu kesatuan
bangsa.

3).Masa transisi budaya nasional - kebangsaan menuju budaya global

Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak asasi,
demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan
fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan ataupun keagamaan, kini mengendor
menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang lebih konkrit dalam
tataran operasional.

4). Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi adanya
pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism.

Keterlibatan globalisasi menunjukkan berkembangnya standarisasi kehidupan


di berbagai bidang. Keterlibatan tersebut akhitnya membuat kehidupan masyarakat
menjadi kompleks dengan standar ganda. Di satu pihak tetap ingin mempertahankan
nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru
yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (sub-culture). Sedangkan
di pihak lain muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan terhadap
perubahanperubahan yang dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan dari
mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari
waktu ke waktu, yang disebut sebagai budaya tandingan (counterculture). (Direktorat
Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2013, 112-120).Perkembangan ilmu pengetahuan
tidak dapat dilepaskan dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksinya, yang
memungkinkan untuk mencari alternatif-alternatif pengembangannya melalui kajian,
penelitian eksperimen. Alternatif pengembangan tersebut dilihat dari aspek ontologis
epistemologis, dan ontologis. Karena setiap pengembangan ilmu pengetahuan harus
ada validitas dan reliabilitas agar dapat dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan
kaidah-kaidah keilmuan maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu
itu ditemukan/dikembangkan.

2.3 Prinsip-prinsip berpikir ilmiah

Adapun beberapa prinsip cara berpikir secara ilmiah, yaitu:

1).Berpikir secara objektif, yaitu dengan cara memandang masalah apa adanya,
terlepas dari faktor-faktor subjektif (misalnya : faktor perasaan, keinginan, emosi,
keyakinan)

2). Berpikir secara rasional, yaitu dengan cara menggunakan akal sehat yang dapat
dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi,
sistem keyakinan)

3). Berpikir secara logis, yaitu dengan cara menggunakan logika, tidak mengandun
g unsur pemikiran yang kontradiktif, selalu rasional.

4). Berpikir secara metodologis, yaitu dengan cara menggunakan metode keilmuan
yang khas dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis,
hermeneutik, intuitif).

5) Berpikir secara sistematis, yaitu dengan cara berpikir dan be rtindak


menggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain
serta memiliki target dan arah tujuan yang jelas

C. Dasar pengembangan sistem etika

Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang
dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk
mencapai suatu tujuan. Sistem nilai dalam pancasila adalah satu kesatuan nilai-nilai
yang ada dalam pamcasila yang saling berkaitan satu sama lain, tidak dapat
dipisahkan ataupun ditukar tempatkan karena saling berkaitan antara satu dengan
yang lain. Nilai-nilai yang dimaksud ialah :

Pertama, Nilai Ketuhanan: Secara hierarkis, nilai ini bisa dikatakan sebagai
nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai
kebaikan diturunkan dari nilai ini (nilai ketuhanan). Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah, dan hukum Tuhan. Pandangan
demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar
nilai, kaidah, dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan kasih sayang
antarsesama, akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Dari nilai ketuhanan
menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. (Ngadino Surip, dkk, 2015:
180) Kedua, Nilai Kemanusiaan: Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan


keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani dan
rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat
hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding
dengan makhluk lain seperti hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu,
suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban. Dari nilai kemanusiaan
menghasilkan nilai kesusilaan contohnya seperti tolong menolong, penghargaan,
penghormatan, kerja sama, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 180).

Kedua, Nilai Kemanusiaan: Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai


dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila
adalah keadilan dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir
dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan
makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan
keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain seperti hewan, tumbuhan, dan
benda tak hidup. Karena itu, suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban. Dari
nilai kemanusiaan menghasilkan nilai kesusilaan contohnya seperti tolong menolong,
penghargaan, penghormatan, kerja sama, dan lain-lain. (Ibid, Ngadino Surip, dkk,
2015: 180)

Ketiga, Nilai Persatuan: Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat


memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan
perbuatan yang tidak baik, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan.
Sangat mungkin seseorang seakanakan mendasarkan perbuatannya atas nama agama
(sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan
maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik. Dari nilai
persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan, dan lain-lain. (Ibid,
Ngadino Surip, dkk, 2015: 180)

Keempat, Nilai Kerakyatan: Dalam kaitannya dengan kerakyatan, terkandung


nilai lain yang sangat penting, yaitu nilai hikmat atau kebijaksanaan dan
permusyawaratan. Kata hikmat atau kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang
mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan
minoritas belum tentu kalah dibandingkan dengan pandangan mayoritas. Pelajaran
yang sangat baik misalnya pada peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama
Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun
memerhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif
dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas pandangan
mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui atau
bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar
musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah atau kebijaksanaan. Dari nilai
kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lainlain. (Ibid,
Ngadino Surip, dkk, 2015: 181)

Kelima, Nilai Keadilan: Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka
kata tersebut dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan
pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbutan dikatakan baik
apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995:
37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat.
Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya
dengan orang lain. Dari nilai ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu
dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Dari nilai keadilan juga
menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama, dan lainlain.
(Ibid, Ngadino Surip, dkk, 2015: 181)

Pancasila sebagai sistem etika di samping merupakan way of life bangsa


Indonesia, juga merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan
tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia dalam bersikap dan
bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk mengembangkan
dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki kemampuan
menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pancasila sebagai sistem etika merupakan moral guidance yang dapat
diaktualisasikan ke dalam tindakan konkrit, yang melibatkan berbagai aspek
kehidupan. Oleh karena itu, sila-sila Pancasila perlu diaktualisasikan lebih lanjut ke
dalam putusan tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh,
dan berwawasan moral-akademis.

D. Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan


Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan permaslahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia diantaranya:

1. Masih terdapat kasus korupsi yang melemahkan sendi kehidupan negara.


2. Masih terdapat kasus terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga
menurunkan sikap toleransi dan menghambat integrase nasional
3. Masih terjadinya pelanggaran atas arti HAM dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Terdapat kesenjangan antara kelompok miskin dan kaya serta masih
terdapatnya kaum marginal di beberapa wilayah yang merasa terasingkan.
5. Masih adanya ketidakadilan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia.
6. Banyak terjadi pengingkaran dalam pembayaran pajak, dan sebagainya.
Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan Pancasila
sebagai sistem etika memerlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai
moral yang hidup agar tidak terjebak dalam pandangan yang bersifat
mitos. Misalnya korupsi terjadi karena pejabat diberi hadiah oleh seorang
yang membutuhkan sehingga urusannya lancar.

Dia menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut memberikan


bantuan. Sehingga tidak tahu kalua perbuatannya dikategorikan dalam bentuk suap.
Hal yang sangat penting dalam mengembangkan Pancasila sebagai sistem etika
meliputi:

1. Menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan penentu sikap,


tindakan serta keputusan yang akan diambil setiap warga negara.
2. Pancasila memberikan pedoman bagi setiap warga negara agar memiliki
orientasi yang jelas dalam pergaulan regional, nasional dan internasional.
3. Pancasila menjadi dasar analisis kebijakan yang dibuat penyelenggara
negara sehingga mencerminkan semangat kenegaraan berjiwa Pancasila.
4. Pancasila menjadi filter terhadap pluralitas nilai yang berkembang dalam
berbagai bidag kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

-https://mahasiswa.yai.ac.id/v5/data_mhs/tugas/
1844390017/03TUGAS1_PANCASILA_RETNO%20INDRIANI_1844390017.pdf

https://www.google.com/search?
q=KONSEP+PANCASILA+DALAM+KEHIDUPAN&rlz=1C1FKPE_idID978ID97
8&oq=KONSEP+PANCASILA+DALAM+KEHIDUPAN&aqs=chrome..69i57j0i22i
30l3.13602j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8

https://www.google.com/search?
q=FUNGSI+PANCASILA+DALAM+ETIKA&rlz=1C1FKPE_idID978ID978&oq=F
UNGSI+PANCASILA+DALAM+ETIKA&aqs=chrome..69i57j0i22i30l5.21914j0j7
&sourceid=chrome&ie=UTF-8

Anda mungkin juga menyukai