Anda di halaman 1dari 22

Anggie Aprilia (03061282328019)

Dinda Septrija Putri (03061282328032)


Dhavin Rizqy(03061282328040)
Ike Faddya (03061182328012)
Kata Pancasila secara etimologis berasal dari
bahasa Sanskerta yaitu dari kata “Panca” dan “Sila”.
Panca berarti lima sedangkan sila berarti dasar atau
sendi. Dengan demikian Pancasila berarti lima dasar,
yaitu lima dasar tentang kesusilaan atau lima ajaran
tentang tingkah laku.
istilah Filsafat Pancasila secara harfiah menunjuk
kepada adanya ilmu filsafat yang menjadikan
Pancasila sebagai objeknya.
Pancasila sebagai filsafat didasarkan atas pendapat para ahli dan teori
causalitas Aristoteles (Zurmaini Yunus, 1985). Beberapa pendapat
mengatakan bahwa Pancasila adalah suatu filsafat.
1. Muh. Yamin (1962), menegaskan bahwa Pancasila tersusun secara
harmonis dalam suatu sistem falsafah. Ajaran Pancasila adalah satu
sinthesa negara yang lahir dari pada satu antithesa. Ajaran Pancasila
adalah suatu sistem filsafat sesuai dengan dialektik Neo Hegelian.
2. Soediman Kartohadiprodjo (1969) menegaskan pula bahwa
Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia berdasarkan atas ucapan
Bung Karno yang menyatakan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa
Indonesia.
3. Notonegoro (1976) juga berpendapat
Sifat kefilsafatan dari dasar negara terwujud dalam rumusan yang
abstrak dari kelima sila Pancasila dengan kata-kata intinya ialah
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan (kesatuan dalam dinamikanya),
kerakyatan, dan keadilan.
nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila mendasari seluruh peraturan hukum
yang brlaku di Indonesia, artinya nilai Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan
harus mendasari seluruh peraturan perundang-
undangan yang berlaku. pada hakikatnya
pancasila merupakan suatu sistem filsafat, suatu
kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan,
saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu
dan secara keseluruhan merupakan suatu
kesatuan yang utuh.
1. Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang Bersifat
Organis
Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan. setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri
terlepas dari sila-sila lainnya serta di antara sila satu
dan lainnya tidak saling bertentangan.Pancasila itu
merupakan suatu kesatuan dan keutuhan yaitu setiap
sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari
Pancasila.
2. Susunan Pancasila yang Bersifat Hirakhis dan
Berbentuk Piramidal
dilihat dari intinya urutan-urutan lima sila menunjukkan
suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya
merupakan pengkhususan dari sila-sila di mukanya.
Jika urut-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud
demikian maka di antara lima sila ada hubungan yang
mengikat yang satu kepada yang lainnya sehingga
Pancasila merupakan suatu keseluruhan yang bulat.
3. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-sila Pancasila
yang saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi

Kesatuan sila-sila Pancasila juga memiliki sifat saling


mengisi dan saling mengkualifikasi. Hal ini dimaksudkan
bahwa dalam setiap sila terkandung nilai keempat sila
lainnya, atau dengan lain perkataan dalam setiap sila
senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya.
Pancasila dapat dikatakan sebagai sistem filsafat, karena telah
memenuhi persyaratan untuk dapat disebut sebagai sistem filsafat.
Syarat-syarat tersebut ialah: adanya kesatuan, adanya keteraturan,
adanya keterkaitan, adanya kerjasama, dan adanya tujuan bersama.

Kajian Pancasila sebagai suatu filsafat sangat diperlukan, karena


manusia memerlukan filsafat dalam mepelajari dan memahami Pancasila.
Ada beberapa alasan perlunya kajian Pancasila sebagai sistem filsafat
sebagai berikut:

Filsafat Pancasila Landasan Landasan Landasan


sebagai
Landasan
Ontologis Epistemologis Aksiologis
Genetivus Objektif Ontologis
Filsafat Filsafat Filsafat
dan Genetivus Filsafat
Pancasila Pancasila Pancasila
Subjektif. Pancasila
Pancasila sebagai Genetivus Objektif, artinya nilai-nilai
Pancasila dijadikan sebagai objek yang dicari landasan
filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang
filsafat yang berkembang di Barat.

Pancasila sebagai Genetivus Subjektif, artinya nilai-nilai


Pancasila dipergunakan untuk mengkritisi berbagai aliran
filsafat yang berkembang baik untuk menemukan hal-hal yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun untuk melihat nilai-
nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebaga Genetivus Subjektivus
memerlukan landasan pijak filosofis yang kuat yang
mencakup tiga dimensi yaitu landasan ontologis,
landasan epistemologis, dan landasan aksiologis.
Ontologi menurut Aristoteles merupakan cabang
filsafat yang membahas tentang hakikat segala yang
ada secara umum sehingga dapat dibedakan
dengan disiplin ilmu-ilmu yang membahas sesuatu
secara khusus.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila seacara
ontologis memiliki hal mutlak-hal yang yaitu terdiri atas susunan
kodrat raga dan jiwa jasmani dan rokhani, sifat kodrat manusia
adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri dan
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai
makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama
Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-
sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975).
Epistemologi adalah cabang filsafat pengetahuan yang
membahas tentang sifat dasar pengetahuan, kemungkinan,
lingkup, dan dasar umum pengetahuan (Bahm, 1995).

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga


merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan
sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi
bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna
hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan.
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu
kesatuan dasar aksiologisnya sehingga nilai-nilai yang terkandung
dalam. Terdapat bermacam teori tentang nilai dan hal ini sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam
menentukan tentang pengertian nilai dan hirarkhinya. Misalnya kalangan
materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai
material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi
adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan
tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang
yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek
pemberi nilai yaitu manusia. Hal ini disebut juga dengan subjektif
1. Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat

2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat

3. Sumber Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat


• Sila Ketuhanan yang Maha Esa:
-Masyarakat Indonesia telah mengalami berbagai pengaruh agama lokal dan internasional selama ribuan tahun.
- Agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial.

• Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:


- Bangsa Indonesia terbentuk dari pengalaman maritim yang menjelajahi Nusantara dan dunia.
- Internasionalisme Soekarno menggarisbawahi pentingnya kemanusiaan yang adil dan beradab setelah
kemerdekaan.

• Sila Persatuan Indonesia:


- Indonesia merupakan bangsa majemuk paripurna yang dapat menyatukan kemajemukan sosial, kultural, dan
teritorialnya.
- Indonesia memiliki warisan peradaban Nusantara dan pernah mencapai kegemilangan.

• Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan:


- Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan rakyat merupakan fenomena baru di Indonesia.
- Nilai-nilai demokrasi sudah berkembang dalam budaya Nusantara sebelumnya.

• Sila keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia:


- Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagiaan bangsa Indonesia. Impian ini terpahat dalam ungkapan
"Gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerja raharja".
Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki sumber sosiologis yang terbagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat awam yang memahami Pancasila
sebagai pandangan hidup yang terwujud dalam agama, adat istiadat, dan budaya.
Kelompok kedua adalah masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila dalam
teori-teori akademis.

Notonagoro menggambarkan Pancasila sebagai kesatuan utuh yang tidak dapat


dipisahkan, dengan sila-sila yang saling terkait dan berhubungan koheren. Sila-sila tersebut
tergambar dalam piramida hirarkis lima tingkat, di mana Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi puncak piramida dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai alas.

Selain itu, sila-sila Pancasila juga saling mengisi atau mengkualifikasi satu sama lain.
Misalnya, Ketuhanan Yang Maha Esa juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila pada awalnya merupakan konsensus politik yang kemudian berkembang menjadi sistem
filsafat. Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI,
sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959. Kelompok kedua mencakup
argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada era Reformasi, khususnya dalam
pidato politik Habibie pada 1 Juni 2011.

Soekarno mengemukakan Pancasila sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan


bernegara di Indonesia. Ia menegaskan pentingnya nilai-nilai Pancasila, seperti Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Habibie mewakili kelompok kedua kembali menyuarakan pentingnya Pancasila dalam kehidupan
bangsa Indonesia, terutama dalam menghadapi perubahan nilai dalam masyarakat akibat
globalisasi, perkembangan gagasan hak asasi manusia, dan pemanfaatan teknologi informasi. Dia
menyuarakan perlunya reaktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia.
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila
Sebagai Sistem Filsafat

1. Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika sebagai berikut. Pada era
pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah
“Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut merupakan perenungan filosofis
Soekarno atas rencananya berdirinya negara Indonesia merdeka. Ide tersebut
dimaksudkan sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Ide tersebut ternyata mendapat sambutan yang positif dari berbagai kalangan,
terutama dalam sidang BPUPKI pertama, persisnya pada 1 Juni 1945. Namun, ide
tentang Philosophische Grondslag belum diuraikan secara rinci, lebih merupakan
adagium politik untuk menarik perhatian anggota sidang, dan bersifat teoritis. Pada
masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli
Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.
Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat berkembang ke
arah yang lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih tepat adalah weltanschauung).
Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan
kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Atas dasar
inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat Pancasila menjadi penataran P-4.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang terdengar
resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana
akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1
Juni 2011.
2. Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat muncul dalam bentuk-
bentuk sebagai berikut. Pertama, kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan
individual pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih keuntungan
sebesar-besarnya merupakan upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Salah satu bentuk
tantangan kapitalisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah meletakkan kebebasan
individual secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti
monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan lain-lain.
Kedua, komunisme adalah sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas perkembangan
kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme merupakan aliran yang meyakini bahwa
kepemilikan modal dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Salah satu
bentuk tantangan komunisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah dominasi negara
yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai