Anda di halaman 1dari 8

Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

Pendidikan Keaksaraan untuk Anak Usia Dini


AYI OLIM*)

Abstrak

Keaksaraan untuk anak usia dini merupakan salah satu upaya pengembangan kemampuan
intelektual, sosial, dan spiritual. Dalam kehidupan nyata, banyak anak yang tidak mendapatkan
perlakuan bijak untuk meningkatkan kemampuan keaksaraan mereka pada periode usia dini.
Kurangnya sentuhan keaksaraan disebabkan oleh banyak faktor seperti lingkungan sosial dan
persepsi yang dalam terhadap perkembangan keaksaraan usia dini. Akibat dari keadaan ini,
anak-anak menjadi tertinggal (left behind) dalam hal kemampuan keaksaraan.

Pengembangan keaksaraan adalah pekerjaan bersama antara orang tua dan ahli pendidikan.
Pengembangan keaksaraan yang bijak akan berdampak positif pada perkembangan kemampuan
dan individu. Terdapat tiga tahapan dalam melakukan pendidikan keaksaraan untuk anak usia
dini, yaitu meningkatkan hubungan antara pengajar, orang tua, dan anak; pengembangan
kurikulum; dan proses pembelajaran. Untuk itu, dibutuhkan persyaratan khusus bagi anak yang
sedang belajar keaksaraan dasar, yaitu kesempatan pada anak untuk memimpin, pembelajaran
dilakukan secara interaktif dan tatap muka, diikuti dengan langkah lanjutan dan selalu
mengusahakan adanya percakapan sesuai dengan belajar keaksaraan yang sedang dilakukan.

Kata Kunci: Keaksaraan, usia dini

Pendahuluan

Keaksaraan untuk anak usia dini menjadi polemik saat kelompok klasik memandang pemberian
kemampuan keaksaraan kepada anak-anak sebelum berusia tujuh tahun sebagai penyimpangan,
walaupun bertujuan agar anak-anak mampu membaca dan menulis Al Qur’an dan bukan urusan
duniawi atau gabungan keduanya (Nurul Hikam, 2010).

Polemik ini semakin berkembang ketika semua ahli bersepakat bahwa pembelajaran keaksaraan
untuk anak usia dini harus menggunakan metode di luar pembelajaran langsung membaca dan
menulis. Namun di pihak lain, para pengajar yang pernah mempelajari tentang pentingnya belajar
keaksaraan menilai bahwa belajar keaksaraan melalui permainan sekalipun, harus memperlakukan
anak didik sebagaimana layaknya anak yang sudah berusia di atas tujuh tahun, seperti pembelajaran
dengan memberikan pekerjaan rumah. Dalam pandangan mereka, orang tua anak usia dini
berharap agar anaknya bisa memasuki kelas Sekolah Dasar berbekal kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung.

Untuk mengenali polemik ini lebih jauh, berikut ini diberikan gambaran pola keaksaraan bagi
anak usia dini, apa yang dianggap saat ini telah sesuai aturan, apa yang harus diperbaiki, serta
bagaimana seharusnya.

Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM 51


Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

Kenyataan Pendidikan Anak Usia Dini

Anak yang belajar sambil bermain dengan bimbingan orang tua atau orang dewasa yang
dikenalnya akan menunjukkan antusiasme belajar. Sebaliknya, anak yang memperoleh pembelajaran
keaksaraan yang melebihi kapasitasnya akan mengalami ketegangan.

Inilah kenyataan belajar keaksaraan pada anak usia dini. Di satu sisi, secara teoretis, anak tidak
boleh dipaksakan untuk belajar keaksaraan. Sementara di sisi lain, belajar keaksaraan identik
dengan memenuhi harapan orang tua untuk memberikan paspor bagi anak sebelum memasuki
tahun-tahun pertama pengalaman belajarnya pada lingkup pendidikan dasar.

Pandangan tentang tidak boleh memaksakan anak usia dini belajar keaksaraan seperti layaknya
anak yang lebih tua usianya dapat dilihat pada dokumen Pusat Kurikulum Balitbang (2007).
Dokumen ini mengungkapkan bahwa wacana yang dipergunakan untuk keaksaraan bagi anak
usia dini usia satu tahun bukan membaca dan menulis, akan tetapi pra-membaca, contohnya
mulai menunjukkan ketertarikan dengan buku/media cetak lainnya (pra-membaca). Hal ini
ditandai dengan mengeksplorasi buku atau media cetak dengan memasukkannya ke dalam mulut,
memukul-mukulnya, atau memperhatikan buku-buku/media cetak lainnya yang memiliki gambar
dan warna yang menarik. Meski demikian, masih harus didiskusikan apakah tindakan anak usia
dini memasukkan buku ke dalam mulut atau memukul-mukulkannya merupakan indikator pra-
membaca atau semata-mata naluri anak tersebut. Pada usia 1-2 diperoleh gambaran sebagai
berikut

Untuk anak usia 1-2 tahun jauh lebih dapat dipahami, seperti mulai tertarik isi buku dan media
cetak lainnya dengan cara menanyakan atau berpura-pura menulis. Selanjutnya dapat dilihat
pula standar untuk usia 2-3 tahun:

Seperti halnya membaca untuk anak usia 1-2 tahun diwacanakan pramembaca, demikian pula
menulis dikenal dengan pramenulis dan indikator keduanya antara lain meminta tolong kepada
orang dewasa untuk menuliskan cerita gambar yang dibuatnya serta menghasilkan garis-garis
dengan alat tulis. Masalahnya, asumsi pemikiran tersebut ditujukan pada masyarakat yang
melek baca tulis namun belum mempertimbangkan latar belakang komunitas yang sama sekali
orang tua dan belum bisa membaca dan menulis. Berikutnya standar untuk anak usia 3-4 tahun,
diperoleh gambaran sebagai berikut:

Dari semua tahapan yang ditetapkan, kosa kata yang dipergunakan sekali lagi bukan membaca
dan menulis, akan tetapi pramembaca dan pramenulis; walaupun terdapat perbedaan yang
mendasar antara konsep keaksaraan seperti yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum dengan
pengamatan ahli bahasa di negara yang sudah maju (Mustafa, 2008).

Pada umumnya masyarakat awam menganggap cukup bila anak diberikan pengetahuan yang
berhubungan dengan baca tulis hitung pada awal perkembangan kehidupannya. Anggapan seperti
ini membuat anak tidak memiliki perkembangan diri yang seimbang, atau secara teoritis diberikan
beban yang berlebihan pada otak kiri dan tidak lagi diberikan perhatian pada otak kanannya,
bahkan keduanya tidak berjalan secara seimbang (James J. (1996). Sehubungan itu Gardener
menganggap keseimbangan itu dalam satu kesatuan utuh, berimbang dan proporsional sesuati
kecakapan intelektual.

Musthafa menyatakan, bila pembelajaran lebih banyak mengikuti ambisi orang tua ketimbang
mengikuti ritme yang ada pada anak sendiri akan merupakan hambatan tersendiri dalam
pengembangan kemampuan seseorang. Resiko yang sama juga terjadi bila Kebiasaan dipaksakan
untuk mengikuti bahasa tutur dan mengabaikan kemampuan untuk membaca bahasa tulisan.

Pengetahuan dan kecakapan kebahasaan merupakan bagian utama dalam kecakapan intelektual

52 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM


Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

karena fungsi yang strategis dalam komunikasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat
hubungan sistemik antara kemampuan kebahasaan dengan kemampuan berkompetisi dari anak
tersebut (National Research Council, 1998). Hampir semua permasalahan dalam kehidupan
membutuhkan kemampuan komunikasi dan menjadi persyaratan utama dalam kehidupan modern
untuk berekspresi dan bahkan survive dalam kehidupan.

Shonkoff (2000) menekankan kembali bahwa anak dilahirkan ke dunia dibekali dengan kemampuan
untuk belajar. Pada lima tahun pertama, pertumbuhan mereka luar biasa terutama dalam
kemampuan linguistik, konseptual, sosial, emosional, dan kompetensi motoriknya. Sejak masa
kelahirannya seorang anak yang sehat tumbuh menjadi seorang partisipant yang aktif, dibekali
dengan kemampuan jelajah lingkungan, belajar untuk berkomunikasi dan setelah sedikit mengikuti
pertumbuhannya berkembang dengan kemampuan mengkonstruk ide dan teori tentang benda
dan lingkungan sekitarnya.

Perhatian pada anak usia dini semakin meningkat sesuai dengan “jaringan kerja untuk aksi dalam
memenuhi kebutuhan dasar dalam belajar” yang merupakan deklarasi dunia Mengenai Pendidikan
Untuk Semua (PUS) di Jomtien Thailand tahun 1990. Selanjutnya pada bulan April 2000, forum
dunia ini dilanjutkan di Dakar Senegal melalui pembaharuan dokumen terdahulu, dengan
penekanan pada perluasan dan peningkatan layanan yang komprehensif pada pendidikan anak
usia dini, pada wilayah yang memiliki resiko tinggi dan kelompok kurang beruntung. Pertemuan
Dakar juga menitikberatkan pada pendidikan dasar sejagat, kualitas pendidikan, kesetaraan
gender, peningkatan keaksaraan dan peningkatan kecakapan hidup. Melalui pendekatan terintegrasi
berarti pula memberikan peluang yang sebesar-besarnya pada anak usia dini untuk mendapatkan
kemampuan tumbuh kembang secara dini.

Pendidikan Keaksaraan bagi Anak Usia Dini di Indonesia

Tahun 2005 UNESCO mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara yang angka partisipasi
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terendah di ASEAN, yaitu baru sebesar 20%. Ini artinya
masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan dari negara yang baru saja merdeka Vietnam
(43%), Thailand (86% dan Malaysia (89%). Semua ini semakin tampak dengan Human
Development Index (HDI) Indonesia yang juga lebih rendah diantara negara-negara tersebut.
Ini membuktikan bahwa pembangunan PAUD berbanding lurus dengan mutu dari sebuah negara
yang terdeskripsikan dalam HDI.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Kemdiknas bahwa


Pemerintah telah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang awalnya
pada tahun 2004 adalah 39,09%, pada tahun 2008 sudah mencapai 50,62%. Hal ini sebagaimana
terlihat pada table 1. Ini tentu merupakan hal yang menggembirakan bagi pengembangan
pendidikan anak usia dini.
Tabel 1: APK PAUD Per Provinsi Tahun 2008
No Provinsi Usia 0-6 Tahun Siswa PAUD APK PAUD
1 DKI Jakarta 1.164.583 496.470 42,63
2 Jawa Barat 5.187.613 2.023.072 39,00
3 Banten 1.369.724 431.118 31,47
4 Jawa tengah 3.417.369 2.120.069 62,04
5 DI Yogyakarta 356.917 321.357 90,04
6 Jawa timur 4.708.453 3.596.988 76,39
7 Nanggroe Aceh Darussalam 580.676 474.868 81,78
8 Sumatra Utara 1.724.233 474.247 27,50
9 Sumatra Barat 563.646 348.949 61,91
10 Riau 746.721 330.261 44,23
11 Kepulauan Riau 117.351 91.054 77,59

Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM 53


Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

12 Jambi 619.101 317.792 51,33


13 Sumatra Selatan 751.389 356.892 47,50
14 Bangka Belitung 131.186 112.002 85,38
15 Bengkulu 217.499 115.550 53,13
16 Lampung 954.847 439.869 46,07
17 Kalimantan Barat 660.849 219.494 33,21
18 Kalimantan Tengah 243.691 143.190 58,76
19 Kalimantan Selatan 605.993 233.657 38,56
20 Kalimantan Timur 600.879 200.868 33,43
21 Sulawesi Utara 275.054 128.170 46,60
22 Gorontalo 174.836 103.841 59,39
23 Sulawesi Tengah 371.266 144.346 38,88
24 Sulawesi Selatan 1.095.025 494.996 45,20
25 Sulawesi Barat 233.583 102.770 44,00
26 Sulawesi Tenggara 333.223 214.802 64,46
27 Maluku 279.506 89.928 32,17
28 Maluku Utara 157.445 90.902 57,74
29 Bali 429.384 193.878 45,15
30 Nusa Tenggara Barat 564.741 321.079 56,85
31 Nusa Tenggara Timur 715.464 208.537 29,15
32 Papua 317.530 99.863 31,45
33 Papua Barat 178.053 68.803 38,64
Total 29.847.830 15.109.682 50,62

Sumber: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2009

Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah telah menetapkan rencana 5 tahun ke depan APK-
PAUD diharapkan mencapai 21,3 juta (72,6%). Secara bertahap harapan untuk mencapai jumlah
APK-PAUD tersebut terlihat pada tabel 2.

Tabel 2: Target Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia Tahun 2010 – 2014
Target / Sasaran Tahun Pencapaian Target
2010 2011 2012 2013 2014
Estimasi Jumlah Anak
Usia 0-6 th 30,18 Juta 30,2 Juta 30,3 Juta 30,35 Juta 30,4 Juta
Target Sasaran PAUD 17,4 Juta 18,7 Juta 19,9 Juta 21 Juta 22,1 Juta
(Formal & Nonformal) (57,8%) (61,8%) (65,7%) (69,3%) (72,6%)
Target PAUD Formal 5,8 Juta 5,85 Juta 5,9 Juta 5,95 Juta 6 Juta
(19,3%) (19,37%) (19,5%) (19,6%) (19,7%)
Target PAUD Nonformal 11,6 Juta 12,85 Juta 14 Juta 15,05 Juta 16,1 Juta
(38,5%) (42,43%) (46,2%) (49,7%) (52,9%)

Terdapat tiga tahapan dalam melakukan pendidikan keaksaraan untuk anak usia dini, yaitu
meningkatkan hubungan pengajar, orang tua, dan anak; pengembangan kurikulum; dan proses
pembelajaran. Dalam mengembangkan hubungan, aspek yang utama yaitu membangun hubungan
positif antara pengajar, orang tua dengan anak, memberikan bantuan pada anak untuk memperoleh
teman yang mendukung pada kemampuan keaksaraan dan menciptakan lingkungan belajar yang

54 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM


Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

memiliki nilai duga tinggi, konsisten dan harmonis. Adapun dalam mengembangkan bahan
ajar/kurikulum faktor yang harus mendapatkan perhatian yaitu pengembangan sosial emosi,
pengembangan kebahasaan dan keaksaraan. Selanjutnya dalam hal pembelajaran keaksaraan,
yaitu dukungan yang kreatif dari lingkungan untuk berkembangnya kemampuan keaksaraan
bagi anak usia dini, penetapan waktu belajar dan penggunaannya-pengelompokkan dan konsistensi
untuk mencapai tujuan belajar, pelayanan terhadap minat dan kebutuhan anak, pemaknaan belajar
bagi anak, pembelajaran untuk pemahaman lebih jauh dan pengembangan kemampuan anak
untuk membangun kecakapan dan pengetahuan.

Terdapat beberapa pola dalam memberikan pendidikan keaksaraan untuk anak usia dini.
Diantaranya adalah studi yang dilakukan Hanen (Strang, 2009). Kemampuan keaksaraan, menurut
Hanen terdiri dari tiga tahapan yaitu bermain dan kegiatan keseharian, pengayaan-lingkungan
bahasa yang interaktif dan tahapan pengembangan-bahasa yang paling dibutuhkan dan interaksi
sebaya. Teori Hanen mengenai kekasaran untuk usia dini amat tergantung pada interaksi, baik
antara anak dengan sesama, dengan orang tua, dengan pengajar maupun dengan lingkungannya.
Bermain ini menjadi krusial, sehingga Musthafa menyatakan, permainan sosiodrama merupakan
alat pembelajaran bahasa yang demikian penting.

Kepada mereka harus diberikan kesempatan interaksi yang memadai, dimana peluang untuk
berinteraksi ini dikelola sealami mungkin. Sementara para pendamping memberikan tanggapan
dalam bentuk yang sederhana dan mudah. Bahasa maupun keaksaraan yang diperkenalkan harus
sesederhana mungkin. Pendekatan dilakukan sealami mungkin, dengan cara memanfaatkan
proses permainan dan kegiatan keseharian. Demikian pula percakapan dan aksara yang
diperkenalkan harus menyangkut kegiatan keseharian anak dan keluarganya. Untuk memudahkan,
bahan ajar diperoleh melalui pembelajaran yang sedang berlangsung pada lingkungan mereka
dan pihak pendamping bertindak sebagai agen perubahan yang ditujukan pada peserta didik.

Terdapat tiga tugas dari pendamping yaitu sebagai pencegah, melakukan intervensi dan pengayaan.
Upaya pencegahan dilakukan melalui proses dan bahan belajar yang sederhana untuk mencegah
kemungkinan anak menjadi bosan. Intervensi dilakukan untuk memperkenalkan bahan ajar pada
kognisi mereka dengan selalu menghubungkan pada tahap kehidupan dan pertumbuhan mereka.
Tugas berikutnya yaitu pengayaan pada hasil belajar yang dilakukan dengan cara mengulang,
membuat variasi dan modifikasi sepanjang tidak terlepas dari konteks yang sedang dipelajari.

Ke Arah Keaksaraan Anak Usia Dini yang Berkualitas

Negara yang telah mengawali keberhasilan dalam mengembangkan keaksaraan untuk anak usia
dini yaitu Australia (Makin. L, 1998). Hasil pengkajian yang pertama adalah harus adanya
perubahan pola pemikiran dari keaksaraan untuk anak usia dini yang klasik terbatas pada
membaca dan menulis menjadi keaksaraan beragam yang dilaksanakan pada lingkungan kelurga
dan masyarakat, dengan menggunakan teknologi, memanfaatkan media yang diproduksi setiap
hari menggunakan bahasa lain di luar Bahasa Inggris.

Diketahui bahwa rendahnya kemampuan keaksaraan memiliki kaitan dengan permasalahan


sosial yang dihadapi komunitas tertentu, seperti pengangguran dan penyimpangan yang terjadi
pada keluarga maupun anak. Hal ini terjadi pula pada kelompok minoritas yang menunjukkan
kemampuan keaksaraan yang lebih rendah dibanding mereka yang mayoritas. Sementara kemajuan
dalam keaksaraan sejalan dengan keaksaraan yang emergen, konstruktivisme dan teori kritis.
Keaksaraan emergen adalah wacana baru dimana kemajuan belajar bagi anak memiliki kaitan
dengan tingkat keaktifan siswa, pengalaman belajar berdasar pada inisiatif, dimana hasil belajar
difungsionalkan, diberi arti dan berkomunikasi dengan menggunakan bahan tertulis dan teks.

Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM 55


Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

Temuan utama mengapa keaksaraan di Australia jauh lebih bermutu, dipengaruhi oleh pengajar
dan tenaga kependidikan yang jauh lebih berpengalaman. Selain itu strategi pembelajaran,
dukungan penggunaan teknologi untuk mendukung pembelajaran seperti bahan cetakan dan
bahan tertulis lainnya dan terutama dukungan keluarga.

Sebagai pembanding penelitian serupa terutama dalam melihat urgensinya pengembangan


kebahasaan untuk anak usia dini yang berkaitan dengan masa depan anak diungkap Berk (2009),
menekankan pentingnya pengembangan kebahasaan melalui penuturan cerita, mendiskusikan
bahan, pertanyaan terbuka, menjelaskan bahan tertulis memiliki dampak pada kemampuan
kebahasaan dan keberhasilan yang bersangkutan dalam kebahasaan.

Kemampuan kebahasaan merupakan awal kemampuan kognitif yang mencapai puncaknya pada
masa pertumbuhan 12-24 bulan ditandai dengan pertumbuhan kosa kata yang eksplosif dan
mengagumkan. Berdasar perkiraan sekitar 70-80% bahasa ibu dikuasai oleh anak normal dari
semua kalangan. Kebalikannya rendahnya pertumbuhan kebahasaan berbanding lurus dengan
kemampuan intelektualnya. Anak juga mengalami kemampuan dimana bagian yang ditulis tidak
dipahami oleh penulisnya sendiri seperti diungkapkan Dyson, 1985 (Musthafa, 2008).

Upaya kebahasaan untuk anak usia dini adalah tanggungjawab dari keluarga dan kendati terdapat
lembaga yang bertindak atas nama keluarga adalah merupakan kepanjangan dari keluarga.
Sehubungan itu beberapa petunjuk penting bagi keluarga yaitu: (a) buka saluran komunikasi
seluas mungkin dengan orangtua murid dan undang keterlibatan mereka seluas mungkin dalam
proses pembelajaran (b) mengorganisasikan program pembalajaran melalui strategi, teknik
membuat pertanyaan dan teknik membaca cerita dan menimbulkan minat membaca (c) pastikan
pengajar memahami benar latar belakang setiap siswa (d) sistem pengadministrasian yang rapi
dan komprehensif dan memingkinkan orang tua dan pihak tertentu dapat mengambil sikap guna
perbaikan.

Pengajaran literasi membutuhkan pendekatan tersendiri. Sejumlah petunjuk yang perlu diperhatikan
antara lain: (a) sediakan bagi anak alat permainan yang dibutuhkan, beri ruangan yang lapang
dan bantu anak dalam memperkaya kandungan pengalaman bermainnya (b) ciptakan situasi
belajar yang informal melibatkan sebanyak mungkin anak untuk membaca dan menulis untuk
tujuan yang nyata dan bermakna, merupakan bagian integral dari permainan mereka (c) pupuk
kesadaran anak tentang kemanfaatan aktivitas membaca dan menulis (d) fasilitasi perkembangan
konseptual anak dengan membawa langsung pada kegiatan seperti kunjungan lapangan (e) beri
kesempatan pada anak untuk mengungkapkan hasil belajarnya dalam berbagai media seperti
bermain peran, menggambar, menulis, menari dan mendramatisasi cerita yang dihayatinya.

Pembelajaran kebahasaan untuk usia dini membutuhkan pendekatan, desain dan strategi. Dengan
berbasis pada pendekatan konstruktivis, pendekatan yang ditetapkan yaitu berbasis pada interaksi
sosial terutama memberikan kemampuan berkomunikasi sebagai modal dasar ekspresi diri.
Berdasarkan pemikiran ini anak harus ditempatkan sebagai subjek dan peserta belajar yang aktif.
Selanjutnya disain pembelajaran harus diarahkan sefungsional mungkin, untuk keperluan
horisontal yang semakin meningkat saat ini maupun vertikal dalam upaya memperluas cakrawala
masa depannya. Adapun strategi pembelajaran lebih ditekankan pada pembelajaran bahasa
bermakna, yaitu bukan hanya untuk mempelajari hakikat kebahasaan dan pewacanaan, akan
tetapi lebih jauh pada nilai yang harus dikembangkan dari sisi peserta belajar sendiri.

Temuan ini dapat disimilasikan pada kondisi di tanah air (Brizius, 1993), dimana kemampuan
kebahasaan tidak dapat dipisahkan dengan dukungan gizi masa pertumbuhan, perhatian orang
tua dan ketersediaan fasilitasi terutama buku. Dua peringatan yang perlu diperhatikan yaitu,
pertama: kurang persiapan anak dari keluarga dengan pendapatan rendah untuk memasuki
lembaga pendidikan serta kedua, anak dari keluarga berpendapatan rendah memiliki kesulitan

56 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM


Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

untuk memperoleh buku.

Keberhasilan pendidikan keaksaraan pada anak usia dini sangat tergantung pada fasilitasi orang
tua yang digambarkan seperti berikut:

Skema dukungan orang tua digambarkan seperti di atas. Fungsi keluarga yaitu menjalin hubungan
yang lebih harmonis serta partisipasi keluarga dalam lingkungan pembelajaran. Selanjutnya
fasilitasi juga sangat tergantung dari hubungan yang harmonis antara keluarga dengan sekolah
baik dalam berkomunikasi maupun partisipasi. Hal lain yang berpengaruh pada hasilan pendidikan
yaitu belajar keaskasraan di rumah dan percakapan dan pembelajaran yang diolakuakan antara
peserta didik dengan keluarga.

Sehubungan dengan itu diperlukan sejumlah tips: (a) pahami benar hakikat keaksaraan untuk
usia dini (b) anak belajar bahasa bukan dari kacamata guru akan tetapi dari imajinasi dirinya
sendiri (c) belajar bahasa merupakan kesatuan utuh dari perkembangan kemampuan kognisi
anak yang secara utuh pula berpengaruh pada perkembangan pribadinya (d) anak membutuhkan
belajar kebahasaan secara fungsional dan berkelanjutan (e) dibutuhkan kreativitas dan usaha
sungguh-sungguh dari orang tua dan guru untuk tetap mencipta bahan ajar yang murah-mudah
dan menarik.

Obsesi untuk mengetengahkan belajar bahasa bagi anak usia dini bisa kontra produktif dan
melupakan hakikat kemampuan berbahasa sebagai upaya integratif menyimak, membaca, menulis
dan mengeskpresikan diri dengan lisan dan tulisan. Bila tidak ditata akan kembali pada kebiasaan
lama dimana berbahasa sebagai wacana demikian mengemuka dan melupakan kemampuan
kebahasaan sebagai bagian dari upaya kreatif dan penciptaan inovasi sebagai bentuk penyaluran
keunggulan kemanusiaan. Kunci keaksaraan anak usia dini bukan bisa membaca, akan tetapi
senang membaca merupakan keunggulan intelektual masa yang akan datang.

Kesimpulan

Keaksaraan untuk anak usia dini merupakan upaya pengembangan salah satu kemampuan intelektual.
Dalam kenyataan, masih sangat sangat banyak anak usia dini yang yang tidak mendapat perlakuan
bijaksana dalam pengembangan keaksaraan. Rendahnya sentuhan keaksaraan disebabkan berbagai
faktor antara lain lingkungan sosial dan persepsi yang salah pada pengembangan keaksaraan untuk

Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM 57


Keaksaraan untuk Anak Usia Dini

anak usia dini. Dampak keterlambatan ini memungkinkan anak menjadi tertinggal. Pengembangan
keaksaraan merupakan tugas bersama antara ahli dengan orang tua.

Terdapat tiga tahapan dalam melakukan pendidikan keaksaraan untuk anak usia dini yaitu
meningkatkan hubungan pengajar, orang tua, dan anak, pengembangan kurikulum dan proses
pembelajaran. Untuk itu dibutuhkan persyaratan khusus bagi anak yang sedang belajar keaksaraan
dasar, yaitu kesempatan pada anak untuk memimpin, pembelajaran dilakukan secara interaktif
dan tatap muka, diikuti dengan langkah lanjutan dan selalu mengusahakan adanya percakapan
sesuai dengan belajar keaksaraan yang sedang dilakukan.

Hasil akhir pembelajaran pada usia dini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kegiatan
identifikasi dan intervensi awal, pendekatan terpadu, jaringan yang kuat antara orang tua dengan
pihak sekolah, pendekatan terintegrasi dan upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh agen pada
pihak keluarga. Rendahnya kemampuan keaksaraan memiliki kaitan dengan permasalahan sosial
yang dihadapi komunitas tertentu, seperti pengangguran dan penyimpangan yang terjadi pada
keluarga maupun anak. Hal ini terjadi pula pada kelompok minoritas yang menunjukkan
kemampuan keaksaraan yang lebih rendah dibanding mereka yang mayoritas. Pengembangan
keaksaraan yang bijaksana memiliki pengaruh pada pengembangan pribadi dan kecakapan.

*) Dosen pada Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Pendidikan Indonesia.

Daftar Pustaka
Asher, James J. 1996. Brainswitching–Practical Applications of the right-left brain._______:
Sky Oaks Productions Inc.
Baharudin, Musthafa. 2008. Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi. Bandung: Yayasan Crest.
Brizius, J. A., & Foster, S. A. 1993. Generation to Generation: Realizing the Promise of Family
Literacy. _________:High/Scope Press.
Browning, Kimberly. 2006. Early Childhood Care and Development Programs: An International
Perspective. The High/Scope Educational Research Foundation.
James, E. Johnson, PhD. 2010. Play and Early Literacy Development Comments on Christie
and Roskos1. Pennsylvania: Pennsylvania.
Lori, M. and G. Irwin. 2003. Early Child Development : A Powerful Equalizer Final Report for
the World Health. Organization’s Commission on the Social Determinants of Health
Murray, T. Scott. Measuring Adult Literacy and Life Skills: New Frameworks for Assessment.
Catalogue no. 89-552, MIE no. 13, Minister of Industry.
National Research Council. 1998. Preventing Reading Difficulties in Young Children. Washington,
D.C.: National Academy Press.
Nurul Hikam. 2010. “Mengapa Melarang Belajar Membaca dan Menghafal Al-Qur'an di Usia
Dini?” Workshop Nasional Bait Qurany.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2007. Standar Isi Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:
Pusat Kurikulum Balitbang Departemen Pendidikan Nasional.
Strang, Wendy dan Fiona Forbes. 2009. Early Language and Development An Australian
Interagency Model. NZASSP/ASEPA National Conference Wellington NZ September 16th –
18th 2009.
Tanuwijaya, William. 2008. Mind set Para Miliader: Menciptakan Uang Bukan Mencari Uang.
Yogyakarta, Midpress.

58 Jurnal AKRAB! Volume I Edisi 1/Maret/2010, OLIM

Anda mungkin juga menyukai