Anda di halaman 1dari 12

KUMPULAN ARTIKEL

Berbagai Artikel Menarik Yang Berhubungan Dengan Pendidikan, Pengetahuan,


Teknologi Dan Industri Yang Bermanfaat Bagi Anda.

Beranda ▼

Kamis, 22 Desember 2016

TEORI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN


PERKEMBANGANYA
PERKEMBANGAN DAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

A. Pendahuluan

Usia di bawah lima tahun (balita) adalah usia yang paling kritis atau paling menentukan dalam
pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Termasuk juga pengembangan intelegensi hampir
seluruhnya terjadi pada usia di bawah lima tahun. Kalau seseorang sudah terlanjur menjadi pencuri
atau penjahat, maka pendidikan Universitas bagi orang tersebut boleh dikatakan tidak berarti apa-
apa. Sebagaimana halnya sebatang pohon bambu, setelah tua susah dibengkokkan.

Anak-anak pada usia di bawah lima tahun memiliki intelegensi laten (potential intelegence) yang luar
biasa. Namun pada umumnya para orangtua dan guru hanya bisa mengajarkan sedikit hal pada anak-
anak. Sesungguhnya anak-anak usia muda tidak “complicated” (ruwet) dalam belajar, tetapi orangtua
atau guru yang bermasalah. Pada umumnya kita selalu menyalahkan anak-anak apabila tingkah laku
mereka tidak seperti yang kita inginkan. Hal ini lebih banyak disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dan pemahaman kita terhadap perkembangan jiwa anak, sehingga kita sering
memperlakukannya dengan tidak/kurang tepat.

Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa dan kemampuan untuk menyerap informasi sangat
tinggi. Kebanyakan orang tidak mengenali dan memahami kemampuan 'magic' yang ada pada anak-
anak. Mereka hanya bisa berkata, "Saya tahu anak-anak belajar lebih cepat", tetapi mereka tidak tahu
seberapa cepat anak-anak bisa belajar. Karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan orang tua
dan guru-guru maka potensi luar biasa yang ada pada setiap anak sebagian besar tersia-siakan.

Umumnya orang siap mengorbankan waktu bertahun-tahun dan uang berjuta-juta rupiah untuk
menempuh pendidikan di perguruan tinggi ; untuk apa ? --- untuk mendapatkan sedikit tambahan
intelegensi, karena sedikitnya kemampuan sel-sel otak yang tersisa. Sebaliknya orang kurang
memperhatikan pendidikan anak-anak pada usia muda. Anak-anak usia belia memiliki bermilyar-
milyar sel-sel syaraf otak yang sedang ber-kembang dan memiliki kemampuan yang dahsyat….serta
daya memory yang kuat. Maka pendidikan yang me-nanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan
(pengembangan intelegensi/kecerdasan, karakter, kreativitas, moral, dan kasih sayang universal)
sangatlah perlu diberikan pada anak-anak sejak usia muda.
Oleh karena itu Pendidikan Pre-School dan Taman Kanak-Kanak tidak boleh dianggap sepele dan
diabaikan. Bahkan pendidikan bayi sejak usia nol tahun (baru lahir) atau bahkan sejak bayi masih
dalam kandungan sudah saatnya dikembangkan. Guru-guru dan fasilitas yang terbaik semestinya
diprioritaskan pada lembaga pendidikan kanak-kanak. Dedikasi yang tulus dari guru-guru dan
dukungan sepenuhnya dari orangtua anak akan menjamin keberhasilan pendidikan anak-anak.

Kerjasama yang baik antara guru dengan orang tua anak sangat diperlukan.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang
merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi
motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual),
sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan
tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:

 Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh
dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal
di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
 Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik)
di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun.
Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara,
PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.

B. Perkembangan Anak Usia Dini

Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai
dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu
demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada
umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangananya. Di dalam keluarga
orang tua sering memaksakan keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan
tekanan (preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media
cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.

Mencermati perkembangan anak dan perlunya pembelajaran pada anak usia dini, tampaklah bahwa
ada dua hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan anak usia dini, yakni: 1) materi pendidikan, dan
2) metode pendidikan yang dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa materi maupun metodologi
pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benar-benar memperhatikan
tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat perkembangan berarti pula
mempertimbangkan tugas perkembangan mereka, karena setiap periode perkembangan juga
mengemban tugas perkembangan tertentu.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 menegaskan bahwa, pendidikan anak usia
dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut.

Menyikapi perkembangan anak usia dini, perlu adanya suatu program pendidikan yang didisain sesuai
dengan tingkat perkembangan anak. Kita perlu kembalikan ruang kelas menjadi arena bermain,
bernyanyi, bergerak bebas, kita jadikan ruang kelas sebagai ajang kreaktif bagi anak dan menjadikan
mereka kerasan dan secara psikologis nyaman. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini dikemukan
bagaimana Mantessori mendisain program perkembangan anak usia dini.

Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini, Montessori yakin bahwa
pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-
suara, benda-benda, diajak bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak
yang normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai usia
enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu juga dipengaruhi
seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena
perkembangan mental usia-usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan.
Pada tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan untuk
mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang pada asa yang berbeda
dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.

Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:

 Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah
mulai dapat menyerap pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
 Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat
tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap).
 Masa usia 2 - 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk
berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda
kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
 Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk peneguhan sensoris,
semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis
dan pada usia 4 - 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.
Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman Siswa, Ki hadjar
Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang baik dan tepat adalah dalam suasana
kekeluargaan dan dengan prinsip asih (mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak
bertumbuh kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang
penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar Dewantara menganjurkan
agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan (mengembangkan)
pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang
meningkatkan keterampilan.

Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan juga untuk mereka yang
dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun
sekaligus alamiah seperti bermain di taman. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan
membimbing anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak yang
mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah maupun di sekolah, serta
mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang, pelatihan kebiasaan secara alami, akan
berkembang menjadi anak yang bahagia dan sehat.

Anak-anak yang memiliki motivasi kuat untuk belajar akan mempunyai masa depan yang cerah
diwarnai penemuan, kesempatan, dan kontribusi. Mereka memiliki kecenderungan alami untuk
menguasai hal-hal tersebut yang akan membuatnya sukses pada abad ke 21, serta mendapat manfaat
dari segala perubahan positif dalam masyarakat. Mereka yang memiliki motivasi belajar yang kuat
mungkin saja akan menghadapi kendala-kendala dari sebuah ketidakadilan, tetapi kendala tersebut
bukanlah musuhnya. Mereka akan menjadi orang-orang yang paling cocok untuk belajar bagaimana
menghadapi kendala tersebut. Mareka akan menjadi orang yang paling mampu berkreasi dan
mencapai kesuksesan karena hasil terbaik dalam IPTEK, penelitian, dan kesenian tidak dapat
dipaksakan dari hati yang mengerdil.

Neil Postman seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an sangat mencemaskan akan hilangnya masa
kanak-kanak dalam kehidupan anak. Sistem pendidikan, terutama pada pendidikan anak usia dini
terjebak dalam suatu pemikiran yang tidak memberi kesempatan pada anak untuk bertumbuh
memekarkan dirinya sesuai dengan potensi dan keunikan yang mereka miliki sebagai anak. Padahal
anak perlu menjadi anak untuk dapat menjadi manusia dewasa. Tercerabutnya para belia ini dari masa
kanak-kanaknya, dikhawatirkan akan menggelincirkan kehidupan mereka menjadi masyarakat yang
infantile, suatu masyarakat yang kekanak-kanakan. Untuk itu akan akan dilakukan beberapa kajian
ilmiah terkait dengan teori-teori klasik dan kekinian yang diharapkan dapat membangun pola pikir
yang sama dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi belia kita, anak-anak usia dini di Indonesia.

1. Teori Perkembangan

Memunculkan prinsip teoritis dalam naskah akademik ini sangat penting untuk membangun
kesepaham sebagai usaha memberikan pelayanan pendidikan yang baik terhadap pendidikan anak
usia dini. Berbagai teori klasik yang ada hingga teori-teori kekinian yang ada merupakan sebuah
perjalanan panjang bagaimana dunia pendidikan selalu berubah memberikan solusi terbaik dalam
rangka membangun manusia yang mulia cerdas dan baik (good and smart). Beberapa teori yang akan
diungkapkan secara ringkas antara lain :

Teori Perkembangan Kognitif oleh Piaget

Ada beberapa tahap perkembangan kognitif yang digagas Piaget :

 Tahap Sensomotoris ( usia 0 hingga 18 bulan )


 Tahap Praoperasional ( usia 1 bulan hingga 6 atau 7 tahun )
 Tahap Konkrit Operasional ( usia 8 tahun hingga 12 tahun )
 Tahap Formal Operasional ( usia 12 tahun hingga usia dewasa )
Anak usia dini yang berusia 4 hingga 6 tahun berada pada tahapan ini. Di mana anak mampu berfikir
tentang obyek benda, kejadian, atau orang lain. Anak sudah mulai mengenal symbol berupa kata-kata,
angka, gambar dan gerak tubuh. Namun cara berfikir ini masih tergantung pada obyek konkrit dan
rentang waktu kekinian, sserta tempat di mana ia berada. Mereka belum mampu berfikir abstrak
sehingga symbol-simbol yang konkrit sangat dibutuhkan untuk dapat dipahami mereka. Misalnya
dalam mengenalkan angka mesti diiringi dengan obyek nyata berupa gambar atau benda-benda
lainnya yang jumlahnya sesuai dengan angka tersebut. Selain itu anak juga belum mampu mengaitkan
waktu sekarang dengan waktu lampau.
Teori Perkembangan Psikososial oleh Erik Erikson

Erikson (1902-1994) membagi tahapan perkembangan psikososial ini ke dalam delapan rentang
perkembangan, yang dalam rentang usia 3 hingga 6 tahunan tengah berada dalam tahapan Inisiatif.
Menurut Erikson rentang inisiatif ini berada dalam perkembangan emosi. Peran guru sebagai penidik
mesti mampu menghadirkan emosi positif dalam mengringi proses pendidikan. Hal ini akan
membantu anak dalam mengelola konflik-konflik yang terjadi akibat benturan emosi positif dan emosi
negative dalam pergaulan sehari-hari mereka yang berhubungan antarmanusia dan lingkungannya.
Seorang anak dengan perkembangan emosi yang baik pada tahap sebelumnya akan berpotensi
berkembang kea rah yang positif. Mereka kreatif, antisius melakukan sesuatu, suka bereksperimen,
berimajinasi, berani mengambil risiko dan senang bergaul dengan sesame teman. Namun semua ini
tergantung pada kondisi yang disiapkan pendidik kepada mereka. Jika anak-anak suka dipuji dan hasil
karyanya dihargai tentu saja akan menumbuhkan eosi positif yang berguna menguatkan
perkembangan kepribadiannya. Sebaliknya jika ia suka dikritik, dilabel sebagai anak nakal tentu saja
akan muncul emosi negative yang akan menumbuhkan rasa bersalah pada diri mereka sebagai anak.
Pada saat tertentu rasa bersalah mesti dihadirkan yang membantu membangun rasa tanggung jawab
yang dalam kepatutan akan mendukung tumbuhnya karakter baik pada diri anak. Semakin rasa
tanggung jawab tumbuh dalam diri anak maka rasa inisiatif akan semakin berkembang dalam diri
mereka.

Teori Sosio-Kultural oleh Vygotsky

Vygotsky (1896-1934) sangat setuju dengan adanya pesan budaya dalam proses pembelajaran di
sekolah. Ia mengatakan bahwa kontribusi budaya, interaksi social, dan sejarah dalam pengembangan
mental individual sangat berpengaruh, khususnya dalam perkembangan bahasa, membaca dan
menulis pada anak. Pembelajaran yang berbasis pada budaya dan interaksi sosial mengacu pada
perkembangan fungsi mental tinggi, yang terkait dengan aspek sosio-historis-kultural. Ketiga hal ini
akan sangat berdampak terhadap persepsi, memori dan berpikir anak. Ia menganjurkan pentingnya
melakukan interaksi sosiokultural yang menjadi sarana atau tools di dalam proses pembelajaran di
sekolah. Pengalaman-pengalaman anak yang mempertemukannya dengan budaya dibutuhkannya
untuk dapat meraih “Zone of Proximal Development.” Untuk itu dibutuhkan suatu pendekatan
pembelajaran yang dapat mengaitkan berbagai aspek pembelajaran yang ada dalam kurikulum
dengan pengalaman nyata yang dijalani anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Metodologi yang
efektif terkait dengan pengajaran dalam kelompok besar yang utuh, pengajaran melalui objek nyata,
beragam gaya belajar, pengajaran adaptif dan individual, pembelajaran tuntas, pembelajaran
kooperatif, pengajaran langsung, penemuan, konstruktif, melalui tutor sebaya sangat dibutuhkan
anak agar ia dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk belajar.

Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme modern oleh Vygotksy dibagi dalam
tiga tahap yaitu:

1) Tahap Zona Perkembangan (Zone of Proximal Development (ZPD))

Suatu ide bahwa anak usia dini belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona
perkembangan terdekat mereka. Artinya, suatu jarak antara keterampilan yang sudah dimiliki oleh
anak dengan keterampilan baru yang diperoleh dengan bantuan dari orang dewasa
(adult/caregiver/orang tua/guru) atau orang yang terlebih dahulu menguasai keterampilan tersebut
(knowledgeable person/peer/siblings). Zone of Proximal Development dihadirkan di tengah
lingkungan dengan fitur yang sekaya mungkin sehingga memberikan kesempatan melimpah bagi anak
untuk membangun konsep dan internalisasi pemahaman dalam dirinya tentang berbagai hal sehingga
anak memperoleh rangsangan yang kuat untuk mempelajari suatu konsep bagi pemahamannya
dengan cara terbaik.

2) Tahap Pemagangan Kognitif atau cognitive apprenticeship.

Adalah suatu istilah untuk proses pembelajaran di mana guru menyediakan dukungan kepada anak
usia dini dalam bentuk scaffold hingga anak usia dini berhasil membentuk pemahaman kognitifnya.
Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship juga merupakan suatu budaya belajar dari dan di
antara teman sebaya melalui interaksi satu sama lain sehingga membentuk suatu konsep tentang
sesuatu pengalaman umum dan kemudian membagikan pengalaman membentuk konsep tersebut di
antara teman sebayanya (Collins, Brown, and Newman1989). Wilson and Cole (1994) mendeskripsikan
ciri khas pemagangan kognitif yaitu “ heuristic content, situated learning, pemodelan, coaching,
articulation, refleksi, eksplorasi, dan ”order in increasing complexity”.

3) Scaffolding atau mediated learning,

Yaitu dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal yang
penting dalam pemikiran konstruktivis memodern. Scaffolding is adjusting the support offered during
a teaching session to fit the child’s current level of performance ” .Scaffolding sebagian besar
ditemukan dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orangyang lebih
dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya
dicapai oleh anak usia dini.

Teori Perkembangan Moral oleh Kohlberg dan Thomas Lickona.

Kohlberg sebagai pakar perkembangan moral, bertumpu pada teori Piaget yang menyatakan bahwa
perkembangan afektif (affective development) terjadi pada anak usia 1 hingga 5 tahun. Saat itu anak
berada pada ”self oriented Morality”. Sebagai tahapan awal dari perkembangan moral kondisi ini
merupakan “the Golden Rule” karena pada tahapan ini mulai tumbuh “mutual respect” pada diri anak.
Kepada mereka mulai dapat dikenalkan sopan santun, dan perbuatan baik lainnya, walau terkadang
mendapat pertentangan karena mereka sulit diatur dan berada pada masa egosentris.
Berbenturannya antara berfikir egosentris dengan mutual respek merupakan arena yang
mengasyikkan bagi tumbuhnya transformasi nilai-nilai pada diri anak. Kebajikan akan tumbuh melalui
serangkaian proses panjang yang melibatkan dan mengasah logika serta emosi saling berbenturan.
Namun dari kondisi inilah akan muncul kecerdasan emosi yang akan menjaga pertumbuhan moral
anak dapat berjalan semestinya. Thomas Lickona, bapak karakter dari Cortland University menyatakan
bahwa pada usia 4 hingga 6 tahun anak tengah berada pada tahap ”PATUH TANPA SYARAT” (Authority
Oriented Morality). Pada fase ini anak meperlihatkan sikap penurut, mudah diajak kerjasama, dan mau
mengerjakan perintah orang tua dan guru. Namun terkadang juga muncul sifat egosentrisnya sebagai
bentuk bahwa perkembangan moral pada diri mereka tengah mencari bentuk. Ada beberapa
karakteristik perkembangan moral pada fase ini, yakni:

 Menganggap orang dewasa sebagai makhluk serba tahu


 Dapat menerima pandangan orang lain
 Mudah terpengaruh dengan kenakalan sebayanya
 Suka mengadu jika dinakali teman
 Terkadang cenderung melanggar aturan
 Menghormati kehadiran guru dan orang tua
Teori Ekologi dan Kontekstual oleh Bronfenbrenner
Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembangan anak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang mencakup kehidupan manusia. Ringkasnya teori ini mengatakan bahwa perkembangan anak
dipengaruhi oleh konteks mikrosistem (keluarga, sekolah dan teman sebaya), konteks mesosistem
(hubungan keluarga dan sekolah, sekolah dengan sebaya, dan sebaya dengan individu), konteks
ekosistem (latar sosial orang tua dan kebijakan pemerintah), dan konteks makrosistem (pengaruh
lingkungan budaya, norma, agama, dan lingkungan sosial di mana anak dibesarkan.

Teori Bronfenbrenner ini membantu memberikan penjelasan kepada para pendidik untuk memahami
berbagai risiko yang dapat mempengaruhi proses perkembangan anak secara negatif misalnya
masalah kemiskinan, kekerasan pada anak, dan konflik dalam keluarga. Seorang guru akan menjalin
hubungan dengan anak yang memiliki latar negatif dengan memberikan perhatian khusus yang tidak
didapatkan anak dari lingkungannya.

2. Mendeteksi Perkembangan Anak Sejak Usia Dini

Di lapangan sering ditemukan kasus-kasus yang berakibat sudah terlalu jauh, sehingga bantuan yang
diperlukan untuk me“normal“kan kembali perkembangan anak memakan waktu yang tentunya lebih
lama pula. Perlu ditekankan disini bantuan yang harus diberikan bagi anak-anak yang mengalami
keterlambatan perkembangan merupakan satu „proses belajar“, dimana kita harus mengetahui
tahapan-tahapan yang harus dilalui anak sesuai dengan pada saat perkembangan itu mulai berhenti
atau mengalami gangguan. Oleh karena itu program yang dibutuhkanpun menjadi berbeda-beda pula
dari satu anak ke anak yang lain, karena kemampuan mereka juga berbeda.

Jadi kita sebagai Orangtua/pendidik yang akan melatih anak tsb harus mengetahui dengan tepat
tahapan dimana dan kapan perkembangan itu berjalan ditempat. Kalau perlu juga melalui kerjasama
dengan lembaga terapi atau ahli perkembangan anak. Mengenai istilah untuk jenis bantuan tsb,
seperti misalnya „sensori integrasi (SI) atau sering disebut juga “basic stimulation“ dll tidak perlu
dipermasalahkan, yang penting disini adalah Taman Bermain tempat anak di sekolahkan memiliki
orang-orang yang ahli untuk mengobservasi anak ,sehingga gangguan-gangguan perkembangan anak
dapat terdeteksi sejak dini. Orang-orang ini harus betul-betul mengerti masalah perkembangan anak
secara „holistik“ dan dapat membuat program pelatihan yang tepat bagi setiap anak yang
membutuhkan, sehingga target untuk me“normalkan“ kembali perkembangan anak itu bisa tercapai
sesuai harapan.

Siapakah yang mampu mendeteksi anak yang mengalami hambatan perkembangan? Jawabannya
adalah seorang ahli tumbuh kembang anak yang mengerti permasalahan anak secara “holistik“ artinya
yang benar-benar mengerti secara keseluruhan perkembangan anak dan hambatan-hambatannya dan
yang memahami bahwa tidak ada bagian dari perkembangan anak yang dapat berkembang dengan
sendirinya tanpa mendapatkan „input“ , rangsangan/stimulasi dari luar.

Bila kita memperhatikan perkembangan anak dengan cermat, maka kita akan melihat dengan jelas
adanya satu proses pergantian perkembangan antara motorik, persepsi, psikis, kemampuan berbicara
dan berpikir. Selain itu kita juga akan melihat perkembangan biologisnya yang menyangkut gizi dan
perkembangan ini juga sama pentingnya, namun tema ini tidak disinggung disini, karena terlalu khusus
dan memerlukan keahlian tentang gizi. Seorang ahli perkembangan anak harus mengetahui
permasalahan perkembangan anak sampai sekecil-sekecilnya, agar dia mudah mengerti dan
memahami tahap-tahap stimulasi yang dibutuhkan masing-masing anak. Sehingga perkembangan
anak dapat berjalan semakin lancar dan bagian-bagian yang mengalami hambatan dapat dipulihkan,
dan dengan itu membuat perkembangan anak secara keseluruhan yang tadinya berjalan ditempat bisa
berkembang „normal“ kembali sesuai usianya.

Melalui kerjasama antara pendidik di sekolah, terapis/shadow teacher dan orangtua di rumah, tidak
berarti harus mengerjakan program yang identis/sama, melainkan hanya memberikan
stimulus/rangsangan yang serupa dan boleh dengan tema yang berbeda, hambatan/kesulitan dalam
perkembangan anak dapat diatasi dengan baik.

C. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh
proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali
berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian,
psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas
kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur
8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004).
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya
dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas
ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa
emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu
pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari
lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program Bina Keluarga Balita
(BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati
(2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang
mengetahui program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB adalah
rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001, pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini). Namun keberadaan program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan
secara merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam
pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian
yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia
telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak
Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan
pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat
PAUD, 2004).

1. PAUD Berbasis Aqidah Islam

Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk generasi berkualitas pemimpin, yakni

1. berkepribadian Islam,
2. menguasai tsaqofah Islam, dan
3. menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi) yang memadai.
Apabila ke tiga tujuan ini tercapai, maka akan terwujudlah generasi pemimpin yang individunya
memiliki ciri sebagai insan yang sholeh/sholehah, sehat, cerdas dan peduli bangsa.

Setiap orang harus siap untuk menjadi pemimpin. Karena kepemimpinan itu sebuah sunatullah dan
merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT kelak. Sebagaimana
ditegaskan didalam sabda Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya... (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi
dari Ibnu Umar).

Upaya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam ini sangat erat kaitannya dengan sistem hidup Islam.
Sebagai bagian yang menyatu (integral) dari sistem kehidupan Islam, pendidikan memperoleh
masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan memberikan
hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut. Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem
pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa),
manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu
belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan biaya pendidikan.
Interaksi fungsional antar subsistem pendidikan dikenal sebagai proses pendidikan. Proses pendidikan
dapat terjadi di mana saja, sehingga berdasarkan pengorganisasian serta struktur dan tempat
terjadinya proses tersebut dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Melalui
proses ini diperoleh hasil pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditentukan.

Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan dalam menjabarkan pencapaian tujuan


pendidikan, maka keberadaan kurikulum pendidikan yang integral menjadi suatu kebutuhan yang tak
terelakkan. Kurikulum pendidikan integral sangatlah khas dan unik. Kurikulum ini memiliki ciri- ciri
yang sangat menonjol pada arah, azas, dan tujuan pendidikan, unsur-unsur pelaksana pendidikan
serta pada struktur kurikulumnya.

Azas pendidikan Islam adalah aqidah Islam. Azas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum
pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi
diantara semua komponen penyelenggara pendidikan. Yang dimaksud dengan menjadikan aqidah
Islam sebagai azas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah menjadikan aqidah Islam sebagai standar
penilaian. Dengan istilah lain, aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur pemikiran dan
perbuatan. Oleh sebab itu, implementasi pendidikan anak usia dini adalah PAUD BAI.

2. Pihak-Pihak yang Berperan dalam PAUD

Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan anak usia dini adalah pemerintah (negara),
masyarakat dan keluarga. Keluarga adalah institusi pertama yang melakukan pendidikan dan
pembinaan terhadap anak (generasi). Disanalah pertama kali dasar?dasar kepribadian anak dibangun.
Anak dibimbing bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang
Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti anak yang didapatkan
dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih
kalimat?kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka
diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal
yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk membentuk generasi berkualitas
dipersiapkan oleh keluarga.

Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya mempunyai peran yang besar
dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan, karena anak satu bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh sebab itu
masalah?masalah yang akan dihadapi anak ketika berinteraksi dalam masyarakat harus difahami agar
kita dapat mengupayakan solusinya. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai
pemikiran dan perasaan yang sama serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala
masing?masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan generasi maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang
akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan
generasi. Sedapat mungkin perkara negatif yang akan menjerumuskan anak akan dicegah bersama.
Disinilah peran masyarakat sebagai kontrol sosial untuk terwujudnya generasi ideal. Masyarakat yang
menjadi lingkungan hidup generasi tidak saja para tetangganya tetapi juga termasuk sekolah dan
masyarakat dalam satu negara. Karena itu para tetangga, para pendidik dan juga pemerintah sebagai
penyelenggara urusan negara bertanggung jawab dalam proses pendidikan generasi.

Selain keluarga dan sekolah, partai dan organisasi masyarakat seperti majelis ta’lim, mempunyai peran
dalam melahirkan generasi berkualitas pemimpin. Disanalah generasi akan dibina untuk menjadi
politikus yang ulung dan tangguh. Oleh sebab itu, partai dan ormas ini juga berperan dalam membina
para ibu agar ibu dapat mendidik generasi secara baik dan benar. Dari seluruh pihak yang mempunyai
tanggungjawab dalam mendidik generasi cerdas, generasi peduli bangsa, tentu negaralah yang
mempunyai peran terbesar dan terpenting dalam menjamin berlangsungnya proses pendidikan
generasi.

Negara bertanggung jawab mengatur suguhan yang ditayangkan dalam media elektronik dan juga
mengatur dan mengawasi penerbitan seluruh media cetak. Negara berkewajiban menindak perilaku
penyimpangan yang berdampak buruk pada masyarakat dll. Negara sebagai penyelenggara
pendidikan generasi yang utama, wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan umat secara layak. Atas dasar ini negara wajib menyempurnakan pendidikan bebas biaya
bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang
sebesar?besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan, sehingga pendidikan
tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis
yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri. Padahal mutu pendidikan sangat mempengaruhi
corak generasi yang dihasilkannya.

Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka yang memiliki kepribadian
Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi
serta cara?cara yang harus dilakukannya, karena mereka adalah tauladan bagi anak didiknya.
Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi. Seorang guru
tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya tetapi ia seorang pendidik dan pembina generasi.
Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin
kehidupan materi mereka. Ini dapat memberi motivasi lebih pada mereka meski tugas mereka tidak
ditujukan semata untuk memperoleh materi, tetapi merupakan ibadah yang mempunyai nilai
tersendiri di sisi Allah SWT. Betapa besar jasa para pendidik yang hingga ada ungkapan: "Guru adalah
pahlawan tanpa tanda jasa". Tentu saja pengabdian mereka harus mendapat penghargaan, dan ini
merupakan tanggungjawab negara.

DAFTAR PUSTAKA:
www.google.com

di 20.25.00
Berbagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar



Beranda

Lihat versi web


Mengenai Saya

frf

Lihat profil lengkapku


Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai