Anda di halaman 1dari 23

Bab 5 5.

1 Memahami Kelompok Kecil


Kepemimpi Dalam pengembangan keterampilan komunikasi, seringkali fokus
ditempatkan pada interaksi interpersonal, terutama dalam konteks
nan Dan komunikasi satu lawan satu. Meskipun keterampilan ini sangat
penting dan dapat ditransfer ke konteks kelompok kecil, perlu diakui bahwa interaksi dalam kelompok
memerlukan adaptasi tambahan dan pemahaman yang lebih mendalam.Komunikasi kelompok kecil
merujuk pada proses interaksi antara tiga orang atau lebih yang terhubung melalui tujuan bersama,
pengaruh timbal balik, dan identitas kelompok yang terbentuk. Dalam upaya untuk memahami
dinamika kelompok kecil, kita perlu mengeksplorasi ciri-ciri, fungsi, serta struktur yang
mempengaruhinya.

5.1.1 Ukuran Kelompok Kecil


Kelompok kecil merupakan entitas yang penting dalam kehidupan sosial manusia. Mereka bisa
terbentuk di berbagai konteks, mulai dari lingkungan kerja, sekolah, hingga komunitas lokal. Namun,
penting untuk memahami bahwa ukuran sebuah kelompok kecil tidak selalu menjadi penentu
keberhasilannya. Dalam konteks ini, kita akan menjelajahi konsep tentang ukuran ideal kelompok
kecil, bagaimana jumlah anggota dapat mempengaruhi dinamika internal, dan mengapa penting untuk
mempertimbangkan batasan jumlah anggota demi mencapai tujuan kelompok.

Sebuah kelompok kecil biasanya terdiri dari sejumlah individu yang berinteraksi secara teratur untuk
mencapai tujuan bersama atau memenuhi kebutuhan tertentu. Namun, tidak ada aturan yang mengikat
mengenai jumlah anggota kelompok kecil. Sebagai contoh, untuk kelompok yang ingin memulai
diskusi atau perencanaan acara, tiga orang mungkin sudah cukup, karena setidaknya dibutuhkan tiga
orang untuk memungkinkan adanya variasi opini dan ide. Namun, jika tujuan kelompok lebih
kompleks, seperti mengelola proyek besar, mungkin membutuhkan lebih banyak anggota untuk
membagi tugas dan tanggung jawab dengan lebih efektif.

Meskipun tidak ada batasan pasti, ketika jumlah anggota kelompok melebihi kisaran lima belas
hingga dua puluh orang, sulit untuk tetap menganggapnya sebagai kelompok kecil. Ini karena semakin
banyak anggota, semakin kompleks pula dinamika dan interaksi di antara mereka. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa dengan setiap penambahan anggota, jumlah koneksi atau hubungan unik di antara
mereka tumbuh secara eksponensial. Sebagai contoh, kelompok beranggotakan enam orang dapat
memiliki lima belas potensi koneksi, sementara kelompok beranggotakan dua belas orang dapat
memiliki enam puluh enam potensi koneksi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar kelompok,
semakin sulit bagi setiap anggota untuk mempertahankan hubungan yang kuat dengan semua orang di
dalamnya.

Titik ini menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan batasan jumlah anggota dalam sebuah
kelompok kecil. Dengan membatasi jumlah anggota, kita dapat menjaga agar hubungan di antara
mereka tetap berkualitas dan berarti. Terlalu banyak anggota dalam sebuah kelompok dapat
meningkatkan risiko anggota merasa kewalergi atau terputus, karena sulit bagi setiap individu untuk
merasa terhubung dengan semua orang. Selain itu, semakin banyak anggota, semakin sulit pula bagi
kelompok untuk mencapai konsensus atau mengambil keputusan secara efisien.
5.1.2 Struktur Kelompok Kecil
Struktur dalam sebuah kelompok kecil adalah pondasi yang menentukan bagaimana kelompok
tersebut beroperasi dan berinteraksi. Pengaruh internal dan eksternal memiliki peran yang signifikan
dalam membentuk struktur kelompok ini. Pengaruh internal merujuk pada karakteristik individu di
dalam kelompok, sementara pengaruh eksternal berkaitan dengan faktor-faktor di luar kelompok yang
memengaruhi dinamika internalnya.

Dari segi pengaruh internal, anggota kelompok memiliki peran yang berbeda dalam membentuk
struktur dan dinamika kelompok. Seorang individu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang
tujuan dan tugas kelompok, serta memiliki motivasi tinggi, mungkin akan muncul sebagai pemimpin
informal dalam kelompok tersebut. Pemimpin ini bisa saja menggerakkan proses pengambilan
keputusan internal, seperti merekrut anggota baru atau menetapkan peran bagi setiap anggota
kelompok. Berbagai anggota kelompok juga akan tertarik pada peran yang berbeda-beda dalam
kelompok, dan mereka akan mendukung prosedur dan tindakan yang sesuai dengan peran yang
mereka pilih.

Faktor eksternal, seperti ukuran kelompok, jenis tugas yang dihadapi, dan ketersediaan sumber daya,
juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap struktur kelompok. Misalnya, kelompok yang lebih
besar mungkin memiliki kendali yang lebih kecil terhadap faktor-faktor eksternal karena kompleksitas
yang lebih tinggi dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, kelompok yang lebih kecil dan mandiri
mungkin memiliki kendali yang lebih besar atas faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi mereka.

Ukuran dan struktur kelompok juga berdampak pada komunikasi di dalam kelompok. Semakin
banyak anggota dalam kelompok, semakin kompleks masalah penjadwalan dan koordinasi
komunikasi. Waktu merupakan sumber daya yang penting dalam interaksi kelompok, dan struktur
kelompok dapat mempengaruhi arus komunikasi di dalamnya. Konsep keterjangkauan merujuk pada
seberapa mudah setiap anggota kelompok dapat terhubung dengan anggota lainnya. Struktur
kelompok yang memudahkan keterjangkauan antar anggota dapat meningkatkan efisiensi dalam
koordinasi dan pengambilan keputusan.

Ada berbagai struktur kelompok yang dapat memengaruhi dinamika internalnya, di antaranya adalah
struktur lingkaran dan struktur roda. Struktur lingkaran menunjukkan bagaimana setiap anggota
kelompok terhubung dengan anggota lainnya dalam sebuah lingkaran. Struktur ini bisa menjadi
efektif dalam situasi di mana setiap anggota bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan kepada
anggota berikutnya dalam lingkaran. Sebaliknya, struktur roda menunjukkan bagaimana satu anggota
kelompok terhubung dengan seluruh anggota lainnya, seringkali sebagai pemimpin atau orang yang
memiliki keahlian khusus dalam tugas tertentu.

Perbedaan struktur kelompok seperti ini dapat memengaruhi cara kelompok berkomunikasi dan
bekerja sama. Dalam struktur lingkaran, komunikasi mungkin lebih langsung antara anggota yang
berdekatan dalam lingkaran, sementara dalam struktur roda, komunikasi akan lebih terpusat pada
individu yang berada di pusat roda.

Penting untuk memahami bahwa tidak ada struktur kelompok yang satu lebih baik daripada yang lain
dalam semua situasi. Setiap struktur memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan pilihan
struktur tergantung pada tujuan kelompok, jenis tugas yang dihadapi, dan karakteristik individu di
dalam kelompok.
Untuk mengoptimalkan kinerja kelompok, penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor yang
mempengaruhi struktur kelompok, baik dari segi internal maupun eksternal. Dengan memahami
karakteristik anggota, tujuan kelompok, dan dinamika lingkungan eksternal, kelompok dapat memilih
struktur yang paling sesuai untuk mencapai tujuan mereka dengan efektif. Komunikasi yang efektif,
koordinasi yang baik, dan kerja sama antar anggota kelompok akan menjadi kunci keberhasilan dalam
mencapai hasil yang diinginkan.

Gambar 5.1.1: Struktur Kelompok Kecil


Ketika kita melihat struktur suatu kelompok, kita dapat membuat beberapa asumsi tentang bagaimana
komunikasi berlangsung di dalamnya. Ada dua contoh struktur yang sering ditemui, yaitu "Roda" dan
"Lingkaran". Roda adalah struktur yang terpusat, sedangkan Lingkaran bersifat lebih terdesentralisasi.

Penelitian telah menunjukkan bahwa kelompok yang terpusat cenderung lebih cepat dan efisien dalam
komunikasi. Ini karena orang yang memiliki koneksi terbanyak, seperti Tara dalam struktur Roda,
biasanya menjadi pemimpin atau memiliki pengaruh yang kuat dalam kelompok. Mereka memiliki
pemahaman yang lebih luas tentang apa yang terjadi dalam kelompok. Namun, orang yang memiliki
posisi sentral ini juga bisa menjadi penjaga gerbang. Mereka memiliki akses paling banyak terhadap
informasi, yang sering kali menandakan kepemimpinan atau status, dan mereka bisa memilih untuk
membatasi aliran informasi sesuai keinginan mereka. Namun, dalam tugas yang kompleks, orang
tersebut mungkin merasa terbebani dengan banyaknya informasi yang harus mereka proses dan
bagikan ke anggota kelompok lainnya.

Di sisi lain, struktur Lingkaran lebih sering muncul dalam kelompok di mana kolaborasi menjadi
tujuan utamanya dan tidak ada tekanan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam kelompok ini,
meskipun seseorang mungkin menjadi pemimpin karena mereka memulai kelompok atau memiliki
pengetahuan yang lebih luas tentang tugas, setiap anggota memiliki akses yang setara terhadap
informasi. Hal ini mengurangi struktur yang kaku dan mengurangi kemungkinan adanya penjaga
gerbang dalam kelompok.

Penting untuk diingat bahwa setiap struktur memiliki kelebihan dan kelemahannya tergantung pada
tujuan dan jenis tugas yang dihadapi kelompok. Struktur yang terpusat seperti Roda mungkin lebih
cocok untuk situasi di mana kecepatan dan efisiensi sangat penting, sementara struktur yang
terdesentralisasi seperti Lingkaran mungkin lebih sesuai untuk situasi di mana kolaborasi dan
pembagian informasi menjadi fokus utama. Dengan memahami karakteristik masing-masing struktur,
kelompok dapat memilih yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.

5.1.3 Saling Ketergantungan


Kelompok kecil biasanya saling tergantung, artinya mereka memiliki tujuan dan nasib yang sama.
Jika satu atau dua orang dalam kelompok melakukan sesuatu yang membuat kelompok gagal
mencapai tujuan, maka semua anggota akan terkena dampaknya. Sebaliknya, jika beberapa orang
berhasil, semua orang dalam kelompok akan mendapat manfaat. Inilah sebabnya banyak mahasiswa
tidak suka tugas kelompok karena mereka merasa kehilangan kendali dan kemandirian saat bekerja
sendiri. Mereka khawatir nilai mereka bisa turun karena ulah orang lain atau kerja keras mereka bisa
dimanfaatkan oleh anggota lain yang kurang berkontribusi.

Keanggotaan dalam pertemuan kelompok adalah contoh nyata dari saling ketergantungan dalam
interaksi kelompok. Seringkali, beberapa anggota tidak hadir di pertemuan, yang bisa menyulitkan
kelompok untuk menyelesaikan tugasnya. Terkadang, anggota yang hadir harus mengulang
pertemuan karena tidak bisa menyelesaikan tugas tanpa partisipasi semua anggota. Bahkan jika
anggota hadir, tetapi tidak berpartisipasi, ini juga bisa menghambat kemajuan kelompok.

Meskipun terkadang menyebalkan jika hasil kerja, nilai, atau reputasi kita tergantung pada tindakan
orang lain, saling ketergantungan dalam kelompok juga bisa meningkatkan kualitas kinerja dan hasil.
Ini terutama terjadi ketika setiap anggota bertanggung jawab atas kontribusinya sendiri.

5.1.4 Identitas Bersama


Identitas bersama dalam kelompok dapat tercermin dalam berbagai cara. Salah satunya adalah melalui
dokumen resmi seperti piagam atau pernyataan misi dan visi kelompok. Dokumen-dokumen ini
menggambarkan tujuan dan nilai-nilai yang dimiliki kelompok. Identitas juga bisa diperoleh melalui
pencapaian dan tujuan bersama yang telah diraih kelompok sebelumnya. Hal ini memberikan energi
kepada anggota untuk melihat ke depan dan mempertahankan identitas kelompok. Selain itu, identitas
bersama juga bisa dinyatakan melalui hal-hal seperti nama kelompok, slogan, lagu, jabat tangan,
pakaian, atau simbol lainnya. Misalnya, pada reuni keluarga, kaos seragam khusus, hidangan
tradisional, dan berbagi cerita keluarga yang telah meninggal membantu memperkuat identitas dan
hubungan sosial bersama.

Pembentukan identitas bersama juga terjadi melalui pembentukan kelompok dalam (in-group) dan
kelompok luar (out-group). Seberapa besar anggota kelompok merasa memiliki identitas bersama
dapat bervariasi. Dalam keluarga misalnya, tidak semua anggota mungkin merasa terhubung dengan
acara reuni atau tertarik dengan pakaian seragam. Identitas bersama juga muncul ketika kelompok
menjadi kohesif, artinya mereka merasa terikat dan menyukai tugas dan anggota kelompok lainnya.
Keberadaan kohesi dan identitas bersama ini menghasilkan kepercayaan yang kuat di antara anggota,
yang juga berdampak positif pada produktivitas dan kepuasan mereka.
5.1.5 Jenis Kelompok
Ada beberapa jenis kelompok kecil, namun yang paling umum adalah kelompok berorientasi tugas
dan kelompok berorientasi relasional. Kelompok berorientasi tugas dibentuk untuk menyelesaikan
masalah, mencapai tujuan tertentu, atau menghasilkan ide dan informasi. Dalam kelompok seperti itu,
seperti komite atau kelompok belajar, interaksi dan keputusan dievaluasi berdasarkan hasil akhir yang
dihasilkan. Ada tiga jenis tugas utama dalam kelompok ini: tugas produksi, diskusi, dan pemecahan
masalah.

Tugas produksi melibatkan kelompok dalam menciptakan sesuatu yang nyata, seperti laporan, desain
taman bermain, pertunjukan musik, atau acara penggalangan dana. Sementara itu, dalam tugas
diskusi, anggota kelompok diminta untuk berdiskusi tentang suatu topik tanpa mencari jawaban yang
benar atau salah. Contoh dari kelompok seperti ini adalah kelompok dukungan bagi penderita
HIV/AIDS, klub buku, atau kelompok orang tua baru. Sedangkan, dalam tugas pemecahan masalah,
kelompok harus merancang langkah-langkah untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Meskipun
kelompok semacam itu juga mungkin melibatkan produksi dan diskusi, tujuan utamanya adalah
menghasilkan ide yang matang, bukan produk konkret.

Kelompok berorientasi tugas memerlukan keterampilan pemecahan masalah untuk mencapai tujuan,
dan seringkali memiliki struktur yang lebih kaku dibandingkan kelompok berorientasi relasional.

Di sisi lain, kelompok berorientasi relasional dibentuk untuk memperkuat hubungan antar anggota dan
lebih fokus pada interaksi yang berkontribusi pada kesejahteraan mereka. Keputusan yang diambil
dalam kelompok semacam ini bertujuan untuk memperkuat atau memperbaiki hubungan, bukan hanya
menyelesaikan tugas-tugas tertentu atau memperdebatkan ide atau tindakan tertentu.

Kesemuanya, baik kelompok berorientasi tugas maupun relasional, mencakup unsur tugas dan
hubungan. Oleh karena itu, lebih baik untuk melihatnya sebagai dua ujung dari sebuah kontinum,
bukan sebagai sesuatu yang eksklusif. Misalnya, meskipun sebuah keluarga bekerja sama untuk
menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari seperti menyiapkan anak-anak untuk sekolah, interaksi utama
mereka masih bersifat relasional, bukan semata-mata tugas.

Anggota kelompok berorientasi tugas biasanya sangat berdedikasi pada tugas dan anggota kelompok
lainnya. Dalam konteks profesional dan sosial, tim semacam ini sering disebut sebagai "katatim"
untuk menggambarkan semangat, kerjasama, dan dedikasi mereka. Para ahli telah mengidentifikasi
beberapa faktor umum yang berkaitan dengan keberhasilan tim, termasuk tujuan yang jelas, struktur
yang berfokus pada hasil, anggota yang kompeten, iklim kolaboratif, standar kinerja yang tinggi,
dukungan eksternal, dan kepemimpinan yang etis dan akuntabel.

5.1.6 Group Virtual


Semakin umumnya penggunaan teknologi, kelompok dan tim kecil kini semakin terlibat dalam
interaksi virtual. Kelompok virtual menggunakan teknologi modern dan mayoritas atau bahkan semua
pertemuan mereka dilakukan secara online untuk mencapai tujuan mereka. Beberapa kelompok
virtual bahkan dapat menyelesaikan tugas-tugas mereka tanpa perlu bertemu langsung secara fisik.
Grup virtual memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
Grup virtual digunakan secara luas dalam berbagai konteks, baik itu akademis, profesional, maupun
personal. Kelas-kelas yang dilakukan sepenuhnya secara online, tim kerja yang berkomunikasi
melalui webinar atau aplikasi konferensi video, serta komunitas online yang didasarkan pada minat
yang sama, semuanya merupakan contoh dari grup virtual ini. Grup virtual sangat populer di kalangan
profesional karena memungkinkan orang-orang dari lokasi yang berbeda untuk bekerja sama tanpa
batasan geografis. Selain itu, grup virtual juga memungkinkan masuknya anggota dengan latar
belakang yang beragam. Kemampuan untuk melampaui batasan jarak membuat orang dengan
berbagai pengalaman dan pandangan lebih mudah diakses dibandingkan dengan situasi di mana
pertemuan harus dilakukan secara langsung.

Salah satu kelemahan utama dari kelompok virtual adalah kesulitan yang dihadapi dalam menjalin
hubungan sosial karena adanya mediasi teknologi. Seperti yang akan kita pelajari lebih lanjut, bagian
penting dari kebersamaan dalam sebuah kelompok adalah proses sosialisasi anggota kelompok
terhadap norma-norma kelompok. Karena norma-norma ini seringkali bersifat tidak langsung,
sebagian besar informasi tersebut diperoleh melalui pengamatan atau komunikasi informal antar
anggota kelompok. Namun, dalam kelompok virtual, kesulitan lebih besar dalam hal proses sosialisasi
ini karena kurangnya interaksi tatap muka yang kaya akan nuansa sosial.

Untuk mengatasi tantangan ini, anggota kelompok virtual harus lebih berusaha dalam membangun
hubungan sosial di dalam kelompok mereka. Hal ini melibatkan memberikan sinyal-sinyal sosial yang
jelas kepada anggota baru dan berkontribusi secara aktif dalam kegiatan kelompok, bahkan hanya
dengan mendukung kontribusi orang lain. Anggota kelompok juga perlu memperhatikan untuk
mencampurkan unsur-unsur sosial dalam komunikasi mereka, karena anggota yang hanya fokus pada
tugas-tugas kelompok cenderung dinilai lebih negatif. Kelompok virtual yang berhasil mengatasi
tantangan ini akan lebih mampu memenuhi tenggat waktu, lebih aktif dalam berinteraksi, dan lebih
minim absensi.

Berikut beberapa pedoman yang dapat membantu meningkatkan kualitas kelompok virtual:
1. Mulailah berinteraksi sebagai kelompok secepat mungkin untuk membangun hubungan.
2. Berinteraksilah secara teratur untuk menjaga produktivitas dan menghindari tumpukan pekerjaan.
3. Usahakan untuk menyelesaikan tugas-tugas sejak awal agar proses komunikasi dan organisasi
berjalan lancar.
4. Berikan tanggapan dan dukungan terbuka terhadap kontribusi orang lain.
5. Ekspresikan pikiran dan reaksi secara jelas, karena ekspresi nonverbal tidak selalu mudah dipahami
dalam komunikasi virtual.
6. Tentukan tenggat waktu dan patuhi mereka untuk memastikan kelancaran proses kerja kelompok.

5.1.7 Keuntungan Dan Kerugian Kelompok Kecil


Partisipasi dalam kelompok kecil adalah bagian yang penting dari kehidupan kita, baik di dunia
akademis, profesional, atau pribadi. Namun, seperti halnya dengan segala sesuatu, ada keuntungan
dan tantangan yang terkait dengan berada dalam sebuah kelompok kecil.

Salah satu keuntungan yang jelas dari berpartisipasi dalam kelompok kecil adalah kemampuan untuk
mengambil keputusan bersama. Dalam konteks ini, kelompok kecil memungkinkan anggotanya untuk
berkolaborasi dan berdiskusi tentang solusi yang terbaik untuk masalah yang dihadapi. Dengan
berbagi ide dan perspektif yang berbeda, kelompok dapat mencapai keputusan yang lebih baik
daripada yang dapat dicapai oleh individu secara mandiri. Hal ini sangat penting dalam konteks
masyarakat yang demokratis, di mana partisipasi dalam pengambilan keputusan adalah salah satu pilar
utama dari kewarganegaraan yang aktif.

Selain itu, kelompok kecil juga memungkinkan berbagi sumber daya. Dalam kelompok kecil, anggota
dapat saling membantu dan mendukung satu sama lain, memanfaatkan keahlian dan pengetahuan
masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya, dalam konteks profesional, anggota tim
dapat saling melengkapi keterampilan mereka untuk menyelesaikan proyek dengan lebih efektif. Ini
menghasilkan sinergi, di mana hasil akhir dari kerja sama kelompok seringkali lebih baik daripada apa
yang dapat dicapai oleh individu secara mandiri.

Keberagaman juga menjadi salah satu manfaat dari berpartisipasi dalam kelompok kecil. Dalam
kelompok kecil, anggota sering berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, baik secara etnis,
budaya, atau pendidikan. Hal ini memungkinkan anggota untuk terpapar kepada sudut pandang dan
pengalaman yang beragam, yang dapat memperluas pemahaman mereka tentang dunia. Selain itu,
keberagaman ini juga dapat menghasilkan ide-ide kreatif dan solusi yang inovatif untuk masalah yang
dihadapi kelompok.

Meskipun ada banyak manfaat dari berpartisipasi dalam kelompok kecil, ada juga beberapa tantangan
yang perlu dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah proses pengambilan keputusan yang lambat.
Dalam kelompok kecil, seringkali diperlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai kesepakatan di
antara semua anggota. Ini bisa menjadi masalah terutama dalam situasi di mana keputusan harus
dibuat dengan cepat.

Selain itu, koordinasi dan komunikasi seringkali menjadi tantangan dalam kelompok kecil. Mengatur
pertemuan atau menangani perbedaan jadwal bisa menjadi sulit, terutama jika anggota kelompok
memiliki jadwal yang sibuk. Komunikasi yang buruk juga dapat menyebabkan konflik dan
ketidaksepakatan di antara anggota kelompok, menghambat kemajuan kelompok.

Selain itu, ada juga risiko kemalasan sosial dalam kelompok kecil. Beberapa anggota kelompok
mungkin cenderung mengandalkan anggota lain untuk melakukan sebagian besar pekerjaan, yang
dapat menghambat produktivitas kelompok secara keseluruhan. Ini bisa menjadi masalah terutama
dalam situasi di mana semua anggota kelompok diharapkan untuk berkontribusi secara aktif.

Namun demikian, ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi tantangan ini. Salah
satunya adalah dengan memiliki pemimpin yang ditunjuk dalam kelompok, yang bertanggung jawab
untuk mengkoordinasikan tindakan kelompok dan memastikan bahwa semua anggota kelompok
berpartisipasi dengan baik. Selain itu, penting untuk memiliki komunikasi yang terbuka dan
transparan di antara anggota kelompok, sehingga masalah dapat diatasi dengan cepat sebelum menjadi
lebih besar.

Secara keseluruhan, meskipun ada tantangan yang terkait dengan berpartisipasi dalam kelompok
kecil, manfaatnya jauh lebih besar daripada kerugiannya. Dalam kelompok kecil, anggota dapat saling
mendukung dan saling melengkapi, menciptakan sinergi yang menghasilkan hasil yang lebih baik
daripada yang dapat dicapai oleh individu secara mandiri
5.2 Pengembangan Kelompok Kecil
Setiap kelompok kecil dimulai dari suatu titik awal. Meskipun beberapa kelompok telah terbentuk
sebelumnya, dinamika mereka tetap berubah seiring waktu dengan datangnya dan perginya anggota,
penyelesaian tugas, dan perubahan hubungan. Ada beberapa tahapan yang biasanya dialami oleh
kelompok kecil dalam proses perkembangannya: pembentukan, konflik, pembentukan norma, kinerja,
dan pembubaran (Tuckman & Jensen, 1977). Namun, seperti banyak model dalam bidang
komunikasi, meskipun tahapan-tahapan ini disusun secara berurutan, pengalaman nyata seringkali
tidak terjadi secara linier. Selain itu, tidak semua kelompok mengalami semua tahapan ini, beberapa
mungkin mengalami tahapan yang sama beberapa kali, atau bahkan mengalami beberapa tahapan
secara bersamaan.

5.2.1 Forming
Selama tahap pembentukan, anggota kelompok mulai mengurangi ketidakpastian yang terkait dengan
hubungan baru dan/atau tugas baru melalui interaksi awal yang menjadi landasan bagi dinamika
kelompok selanjutnya. Ini adalah waktu di mana kelompok berusaha menetapkan fondasi yang kokoh,
terutama saat anggota baru datang atau pergi. Meskipun ketidakpastian mungkin tidak sebesar ketika
kelompok pertama kali terbentuk, setiap perubahan anggota tetap membutuhkan waktu dalam tahap
pembentukan.

Pada tahap ini, ikatan antar pribadi biasanya belum terbentuk dan tujuan serta tugas kelompok belum
jelas, sehingga tingkat ketidakpastian cenderung tinggi. Anggota mulai bernegosiasi peran mereka dan
mengklarifikasi tujuan serta aturan kelompok. Ini juga merupakan awal dari pembentukan kohesi
kelompok, yang mencerminkan tingkat komitmen anggota terhadap tujuan kelompok dan interaksi
positif antar individu dalam kelompok.

Pembentukan kohesi pada tahap ini penting karena akan mempengaruhi dinamika kelompok
selanjutnya. Kelompok dengan anggota yang bergabung secara sukarela mungkin menunjukkan
optimisme yang tinggi terhadap pencapaian tujuan mereka. Namun, optimisme yang berlebihan dapat
menimbulkan kekecewaan jika ekspektasi tidak realistis. Oleh karena itu, penting bagi anggota
kelompok untuk menjaga keseimbangan antara optimisme dan realisme.

Di sisi lain, kelompok dengan anggota yang ditugaskan atau wajib mungkin menghadapi tantangan
berupa anggota yang merasa tidak sepenuhnya terikat atau bahkan memiliki sikap negatif terhadap
tujuan kelompok. Meskipun demikian, kelompok masih dapat mencapai kesuksesan jika anggotanya
yang berkomitmen dan positif dapat menyeimbangkan dampak anggota yang kurang mendukung.

Secara keseluruhan, tahap pembentukan merupakan fase krusial dalam perkembangan kelompok di
mana fondasi yang kuat harus dibangun agar kelompok dapat berfungsi secara efektif dan mencapai
tujuan mereka.

5.2.2 Storming
Selama tahap perkembangan kelompok yang penuh badai, konflik mulai muncul saat anggota
kelompok mulai mengemban peran mereka, menyuarakan ide-ide mereka, dan bernegosiasi mengenai
struktur kelompok. Ketidakpastian yang hadir pada tahap pembentukan mulai teratasi ketika anggota
kelompok mengambil peran yang lebih jelas dan tujuan, aturan, serta norma kelompok menjadi lebih
terdefinisikan. Konflik dapat timbul ketika beberapa anggota kelompok merasa tidak puas dengan
peran yang mereka atau anggota lainnya jalani, atau ketika terjadi ketidaksepakatan mengenai tujuan
atau prosedur kelompok.

Contohnya, jika seorang pemimpin muncul atau ditunjuk pada tahap pembentukan, beberapa anggota
mungkin merasa bahwa pemimpin tersebut memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Seperti yang
akan kita bahas lebih lanjut dalam bagian kepemimpinan kelompok, para pemimpin harus mampu
mengantisipasi kemungkinan ketidakpuasan dari anggota lain yang berpotensi menjadi pemimpin,
mengalami konflik pribadi dengan pemimpin, atau sekadar memiliki masalah umum dalam hal
kepemimpinan.

Meskipun kata "badai" dan "konflik" sering memiliki konotasi negatif, konflik sebenarnya dapat
bersifat positif dan produktif. Seperti badai yang dapat menyuburkan tanah dan memacu pertumbuhan
tanaman, konflik juga dapat memacu pertumbuhan kelompok. Meskipun tidak dapat dihindari, konflik
harus dihadapi oleh setiap kelompok. Namun, kelompok yang terjebak dalam tahap storming
kemungkinan besar akan kesulitan menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan mereka.

Pengaruh dari luar kelompok juga dapat mempengaruhi tingkat konflik pada tahap storming. Konflik
interpersonal yang mungkin telah ada sebelum pembentukan kelompok dapat mengalihkan perhatian
kelompok dari konflik yang lebih produktif yang terkait dengan ide atau tugas, yang sebenarnya dapat
memperkuat kelompok dan meningkatkan kualitas ide, pengambilan keputusan, dan hasil kelompok.

5.2.3 Norming
Selama fase normatif dalam evolusi suatu kelompok, norma-norma dan harapan-harapan yang berlaku
dalam kelompok diperkuat secara berkelanjutan, yang membawa kepada peningkatan stabilitas,
produktivitas, dan kohesi di kalangan anggota. Norma-norma kelompok adalah perilaku yang menjadi
kebiasaan namun tidak selalu diucapkan secara eksplisit. Dengan kata lain, norma-norma ini
membantu mengatur perilaku anggota kelompok dan menetapkan standar perilaku yang diharapkan
dari mereka.

Norma-norma kelompok seringkali bersumber dari norma-norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat secara umum. Misalnya, norma tentang kesopanan, ketepatan waktu, dan pola komunikasi
dalam kelompok seringkali mirip dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan lain. Namun,
terkadang suatu norma dalam kelompok mungkin perlu ditantang jika dianggap tidak sesuai, yang
bisa mengakibatkan timbulnya konflik di antara anggota kelompok. Di sisi lain, ada saat-saat di mana
anggota kelompok secara tiba-tiba menolak norma tanpa alasan yang jelas, yang bisa memicu sanksi
dari kelompok atau konflik internal.

Norma-norma kelompok yang terbentuk dalam tahap ini memiliki peran penting dalam membentuk
identitas dan karakteristik kelompok itu sendiri. Mereka membantu menetapkan batas-batas perilaku
yang diterima, mempromosikan kerja tim, dan memelihara keseimbangan antara kepentingan individu
dan kelompok. Selain itu, norma-norma ini juga berkontribusi pada proses pengambilan keputusan
dan interaksi sosial di dalam kelompok.

Dalam situasi di mana norma kelompok tidak sesuai dengan kebutuhan atau harapan anggota, bisa
terjadi konflik internal. Konflik semacam ini bisa muncul jika ada perbedaan dalam persepsi tentang
norma yang berlaku, atau jika anggota merasa bahwa norma tersebut tidak adil atau tidak relevan.
Ketika konflik semacam ini terjadi, penting bagi kelompok untuk menemukan cara untuk
menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara yang konstruktif dan membangun.

Selain itu, ada momen di mana anggota kelompok secara kolektif menolak norma yang ada tanpa
alasan yang jelas. Hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan dalam dinamika kelompok atau karena
munculnya keprihatinan baru yang tidak terpenuhi. Dalam situasi semacam ini, kelompok bisa
mengalami ketidakstabilan sementara atau bahkan konflik internal yang lebih besar.

Penting untuk diingat bahwa norma-norma kelompok tidak selalu statis dan dapat berubah seiring
waktu. Perubahan dalam anggota kelompok, tujuan kelompok, atau lingkungan eksternal dapat
memicu perubahan dalam norma yang berlaku. Oleh karena itu, penting bagi kelompok untuk tetap
fleksibel dan terbuka terhadap perubahan, serta untuk secara teratur mengevaluasi dan menyesuaikan
norma-norma mereka sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat ini.

Dalam banyak kasus, kelompok yang berhasil adalah yang mampu mengintegrasikan berbagai norma
dan nilai-nilai anggota individu ke dalam kerangka kerja yang kohesif dan berfungsi baik bagi
kelompok secara keseluruhan. Ini memungkinkan kelompok untuk beroperasi secara efektif dan
mencapai tujuan mereka dengan lebih efisien.

Dengan demikian, tahap normatif dalam pengembangan kelompok memainkan peran yang krusial
dalam membentuk identitas kelompok, mengatur perilaku anggota, dan mempromosikan kerja tim dan
kohesi. Norma-norma yang diperkuat selama tahap ini membentuk dasar bagi kinerja dan
keberhasilan kelompok, serta membantu memastikan bahwa anggota kelompok bekerja bersama
secara harmonis untuk mencapai tujuan bersama.

5.2.4 Performing
Selama tahap pelaksanaan dalam pengembangan kelompok, anggota kelompok berkolaborasi secara
efektif menuju penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Meskipun fokus
interaksi pada tugas selama tahap ini, aspek hubungan antarpribadi tetap menjadi fondasi penting
yang memberikan dukungan kepada anggota kelompok. Kegiatan sosial di luar waktu resmi kelompok
juga dapat membantu mengurangi beban tugas yang dihadapi kelompok. Saat berinteraksi untuk
menyelesaikan tugas, diharapkan bahwa anggota kelompok mulai mengalami sinergi, di mana
kombinasi keterampilan, ide, pengalaman, dan sumber daya mereka menciptakan hasil yang lebih
besar daripada yang bisa dicapai secara individu. Sinergi merupakan aspek positif yang mendorong
anggota kelompok untuk melampaui batas ekspektasi mereka dan mencapai kinerja yang lebih baik.

Gangguan dalam kinerja kelompok dapat mengakibatkan kelompok kembali ke tahap pengembangan
sebelumnya. Perubahan dalam anggota kelompok, peran mereka, atau norma kelompok mungkin
memerlukan revisi terhadap elemen-elemen dari tahap pembentukan, penyerangan, atau normatif.
Salah satu pendekatan untuk memperkuat kohesi kelompok selama tahap implementasi adalah dengan
menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek yang dapat dicapai. Mencapai kemajuan, walaupun kecil,
dapat meningkatkan motivasi kelompok secara keseluruhan, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kohesi dan produktivitas kelompok secara keseluruhan.

Anggota kelompok perlu memahami bahwa tahap pelaksanaan seringkali memerlukan kesabaran dan
kerja keras. Keterampilan komunikasi yang efektif, kolaborasi, dan kemampuan mengelola konflik
menjadi sangat penting selama periode ini. Ketika kelompok berfokus pada pencapaian tujuan
mereka, mereka harus memperhatikan dinamika antarpribadi yang berkembang dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan dalam hubungan mereka.

Penting juga untuk dicatat bahwa selama tahap ini, kelompok mungkin mengalami tantangan baru
yang belum mereka hadapi sebelumnya. Mungkin ada konflik internal yang muncul karena perbedaan
pendapat atau ketegangan antara anggota kelompok. Dalam hal ini, penting bagi kelompok untuk
mengatasi perbedaan mereka dengan cara yang konstruktif dan membangun solusi yang memenuhi
kebutuhan semua orang. Selain itu, perubahan dalam lingkungan eksternal, seperti perubahan dalam
kebijakan organisasi atau kondisi pasar, juga dapat mempengaruhi jalannya tugas kelompok.
Kelompok yang adaptif dan responsif akan lebih mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dan tetap
fokus pada pencapaian tujuan mereka.

Seiring berjalannya waktu dan kelompok semakin terbiasa dengan dinamika kerja sama, mereka akan
mengalami peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam mencapai tujuan mereka. Keterampilan
manajemen waktu dan pengorganisasian menjadi semakin penting karena kelompok berusaha untuk
mengoptimalkan penggunaan sumber daya mereka dan memastikan bahwa mereka tetap berada pada
jalur yang benar menuju pencapaian tujuan mereka.

Selain itu, komunikasi menjadi kunci dalam tahap ini. Anggota kelompok harus berkomunikasi secara
terbuka dan jujur tentang kemajuan, tantangan, dan kebutuhan mereka. Komunikasi yang efektif
memungkinkan anggota kelompok untuk tetap ter informasi tentang perkembangan proyek dan
memastikan bahwa semua orang tetap berada pada halaman yang sama.

Ketika kelompok mencapai tahap pelaksanaan, penting bagi mereka untuk tetap fleksibel dan terbuka
terhadap perubahan. Kadang-kadang, kendala atau masalah yang tidak terduga mungkin muncul, dan
kelompok harus siap untuk menyesuaikan rencana mereka sesuai keadaan. Ini membutuhkan
kemampuan adaptasi dan keterampilan pemecahan masalah yang kuat.

Selain itu, dalam tahap ini, penting bagi anggota kelompok untuk mengakui dan menghargai
kontribusi individu mereka. Ketika tujuan tercapai atau proyek berhasil diselesaikan, penting untuk
merayakan pencapaian tersebut dan mengakui peran setiap anggota dalam kesuksesan kelompok.

Namun demikian, tahap pelaksanaan tidak selalu berjalan mulus. Ada kemungkinan bahwa kelompok
mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan mereka atau bahwa konflik internal muncul dan
mengganggu kemajuan mereka. Dalam hal ini, penting bagi kelompok untuk tetap tenang dan tetap
fokus pada solusi. Mungkin diperlukan pertemuan tambahan atau diskusi untuk menyelesaikan
masalah dan membawa kelompok kembali ke jalur yang benar.

Selain itu, dalam tahap pelaksanaan, peran pemimpin kelompok menjadi sangat penting. Pemimpin
harus dapat mengarahkan kelompok menuju pencapaian tujuan mereka dan memfasilitasi kolaborasi
yang efektif antara anggota kelompok. Mereka juga harus mampu mengatasi konflik dan mengelola
dinamika kelompok dengan bijaksana.

Pada akhirnya, tahap pelaksanaan adalah saat ketika kerja keras dan kerja sama kelompok membawa
hasil. Dengan keterampilan komunikasi yang kuat, manajemen waktu yang efektif, dan kerjasama tim
yang solid, kelompok dapat mencapai tujuan mereka dan merayakan keberhasilan mereka bersama-
sama.
5.2.5 Adjourning
Tahap akhir dalam perkembangan kelompok terjadi ketika kelompok tersebut mengakhiri
eksistensinya. Hal ini bisa terjadi ketika kelompok telah mencapai tujuan atau sasaran yang
ditetapkan, anggotanya menurun dan dukungan terhadap kelompok menurun, atau karena sebab-sebab
internal atau eksternal lainnya. Beberapa kelompok mungkin tidak mengalami tahap ini dan terus
berlanjut tanpa batas waktu. Namun, ada juga kelompok yang mengalami begitu banyak konflik pada
tahap sebelumnya sehingga mereka tidak dapat melanjutkan dan memutuskan untuk membubarkan
diri sebelum mencapai tujuan mereka.

Bagi kelompok dengan tingkat kohesi yang tinggi, tahap penundaan ini bisa menjadi pengalaman
emosional yang sulit. Namun, anggota kelompok biasanya tetap menjalin hubungan interpersonal
meskipun kelompok telah bubar. Meskipun demikian, banyak ikatan tersebut cenderung memudar
setelah kelompok dibubarkan karena hubungan antarpribadi sering kali terbentuk karena kedekatan
dan interaksi yang terjadi selama bekerja bersama dalam kelompok. Ketika dinamika kelompok sudah
tidak ada lagi, hubungan tersebut seringkali tidak lagi dapat dipertahankan.

Namun, tahap penundaan juga dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk refleksi dan
pembelajaran. Banyak kelompok mengadakan acara perayaan atau upacara untuk merayakan
pencapaian mereka. Meskipun ada kelompok yang mengalami kegagalan, mereka masih dapat
memetik pelajaran berharga melalui refleksi pada tahap penundaan ini, yang dapat membantu mereka
dalam interaksi kelompok di masa depan. Bahkan, pengalaman di dalam kelompok seringkali
membawa anggota kelompok untuk mengembangkan keterampilan baru atau meningkatkan
keterampilan yang sudah dimiliki, yang nantinya dapat diterapkan dalam situasi kelompok atau
individu di masa depan. Bahkan kelompok yang lebih berfokus pada hubungan interpersonal daripada
tugas dapat memperbaiki keterampilan antarpribadi, mendengarkan, atau empati antar anggota
kelompok, serta meningkatkan pemahaman mereka tentang budaya dan mengintegrasikan perspektif
baru.

5.3: Dinamika Kelompok Kecil


Setiap kali sekelompok individu berkumpul, terjadi dinamika khusus yang berbeda dari interaksi
individu yang biasa kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi dalam kelompok menciptakan
atmosfer atau iklim tertentu yang mempengaruhi cara kita memandang orang lain dan cara kita
merespons tujuan dan tugas kelompok. Dinamika ini dipengaruhi oleh kontribusi semua anggota
kelompok.

Pada dasarnya, kesan yang kita bangun terhadap anggota kelompok lain dan persepsi kita terhadap
tujuan kelompok dipengaruhi oleh atmosfer yang diciptakan oleh seluruh anggota kelompok.
Kelompok tersebut juga menciptakan norma-norma tertentu, dan anggota baru kemudian
disosialisasikan ke dalam iklim dan norma-norma ini, mirip dengan bagaimana kita disosialisasikan
ke dalam norma-norma sosial dan budaya yang lebih besar dalam kehidupan sehari-hari kita. Tekanan
untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok menjadi lebih kuat karena adanya interaksi intensif
dalam lingkungan kelompok, dan beberapa kelompok menggunakan kekuatan ini dengan hasil yang
positif, sementara yang lain bisa menghasilkan hasil yang negatif.
Selain itu, potensi untuk konflik, baik yang produktif maupun yang merusak, meningkat ketika
sejumlah individu berkumpul untuk menyelesaikan suatu tugas atau mencapai suatu tujuan bersama.
Bagian ini bertujuan untuk menjelajahi dinamika-dinamika ini lebih lanjut, yang mencakup pengaruh
atmosfer kelompok, pembentukan norma, serta konflik yang mungkin timbul, sehingga Anda dapat
lebih siap menghadapi interaksi kelompok di masa depan.

Dalam konteks kelompok, atmosfer atau iklim merujuk pada kesan umum tentang suasana hati dan
hubungan interpersonal di antara anggota kelompok. Iklim kelompok ini sangat mempengaruhi
perasaan nyaman dan kepuasan anggota kelompok dalam berinteraksi. Misalnya, atmosfer yang
terbuka, ramah, dan mendukung cenderung meningkatkan keterlibatan dan kolaborasi antar anggota
kelompok. Sebaliknya, atmosfer yang tegang, kompetitif, atau terlalu serius dapat menghambat
komunikasi terbuka dan kerja sama dalam kelompok.

Selain itu, pembentukan norma adalah proses di mana kelompok mengembangkan aturan tidak tertulis
tentang perilaku yang diterima atau diharapkan dari anggotanya. Norma-norma ini dapat berkisar dari
cara berkomunikasi hingga etika kerja, dan memainkan peran penting dalam membentuk budaya
kelompok. Ketika anggota kelompok baru bergabung, mereka secara bertahap disosialisasikan ke
dalam norma-norma ini melalui interaksi dan pengamatan terhadap anggota kelompok yang lebih
berpengalaman.

Namun, dalam lingkungan kelompok, tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok bisa sangat kuat. Hal ini karena anggota kelompok ingin diterima dan diakui oleh sesama
anggota kelompok. Terlebih lagi, ketika seseorang menolak untuk mengikuti norma kelompok, itu
dapat menimbulkan konflik atau bahkan penolakan dari anggota lainnya.

Selain itu, potensi untuk konflik juga merupakan bagian alami dari interaksi kelompok. Konflik bisa
bermanfaat jika diarahkan dengan baik, karena bisa mendorong pemikiran kritis, inovasi, dan
pemecahan masalah. Namun, konflik juga bisa merusak jika tidak ditangani dengan baik, karena dapat
mengganggu kerja sama dan menyebabkan ketegangan antar anggota kelompok.

Dengan memahami dinamika-dinamika ini, Anda dapat lebih siap menghadapi berbagai situasi dalam
interaksi kelompok di masa depan. Misalnya, dengan memperhatikan atmosfer kelompok, Anda dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung kerja sama dan keterbukaan. Selain itu, dengan memahami
pembentukan norma, Anda dapat lebih efektif dalam membangun budaya kelompok yang inklusif dan
berorientasi pada tujuan. Terakhir, dengan menyadari potensi untuk konflik, Anda dapat
mengembangkan keterampilan dalam mengelola konflik dan memfasilitasi diskusi yang konstruktif
dalam kelompok. Dengan demikian, Anda dapat menjadi kontributor yang lebih efektif dan anggota
kelompok yang lebih adaptif dalam berbagai konteks.

5.3.1 Kohesi Kelompok Dan Iklim


Iklim kelompok yang positif seringkali merupakan hasil dari tingkat kohesi yang memadai, di mana
kepuasan anggota terhadap kelompok turut memengaruhi suasana dalam kelompok tersebut. Konsep
iklim kelompok sering digambarkan sebagai semangat keseluruhan kelompok, yang tercermin dalam
berbagai kualitas berikut ini (Marston & Hecht, 1988):
1. Partisipasi: Ketika anggota kelompok merasa bahwa mereka benar-benar terlibat dalam diskusi dan
merupakan bagian integral dari kelompok, ini cenderung meningkatkan kepuasan mereka terhadap
kelompok.

2. Komunikasi Pesan: Konfirmasi pesan di dalam kelompok membantu memperkuat dimensi


relasional di antara anggota, sementara pesan yang jelas, terstruktur, dan relevan membantu
memperkuat dimensi tugas dalam kelompok tersebut.

3. Masukan Positif: Umpan balik yang diberikan dengan cara yang positif, konstruktif, dan relevan
berkontribusi pada penciptaan iklim kelompok yang positif.

4. Prinsip Keadilan: Selain aspek partisipasi individu, anggota kelompok juga merasa bahwa
partisipasi mereka diperlakukan secara adil dalam kelompok, termasuk adanya rotasi yang adil dalam
kesempatan berpartisipasi.

5. Peran yang Jelas dan Diterima: Anggota kelompok menginginkan pemahaman yang jelas tentang
bagaimana status dan hierarki beroperasi dalam kelompok. Namun, penting juga bahwa peran yang
diberikan di dalam kelompok diterima dan dihargai oleh anggota kelompok.

6. Motivasi: Motivasi anggota kelompok seringkali dipicu oleh hubungan yang mereka rasakan dalam
kelompok dan rasa relevansi mereka terhadap tujuan atau sasaran yang ditetapkan oleh kelompok.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip di atas, kelompok dapat menciptakan lingkungan yang


mendukung, membangun, dan positif bagi semua anggotanya. Kesadaran akan pentingnya faktor-
faktor ini dalam membentuk iklim kelompok yang memadai dapat membantu memperkuat
keterhubungan antara anggota kelompok, memperkuat kolaborasi, dan meningkatkan produktivitas
dalam mencapai tujuan kelompok secara bersama-sama.

5.3.2 Bekerja Dalam Tim


Meskipun sebagian besar mahasiswa mengungkapkan ketidaksukaan mereka terhadap kerja
kelompok, praktik bekerja dalam tim telah menjadi norma dalam lingkungan profesional. Mengikuti
jejak Jepang, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat mulai mengadopsi pendekatan berbasis tim
untuk manajemen proyek beberapa dekade yang lalu. Pendekatan ini telah meningkat dalam
popularitasnya sebagai cara untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi birokrasi dalam
berbagai lingkungan organisasi.

Model tim di tempat kerja telah memperluas struktur hierarkis vertikal organisasi menjadi lebih
horizontal, dengan tujuan membentuk unit-unit yang lebih kecil dalam organisasi. Unit-unit ini
memiliki ukuran yang cukup kecil untuk dikelola sendiri, namun cukup besar untuk menciptakan
sinergi di antara anggotanya. Keberagaman pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan di dalam tim
menjadi sumber potensi inovasi. Pengumpulan orang-orang dengan latar belakang yang beragam
secara strategis dapat menghasilkan pemikiran kolaboratif yang sinergis, memunculkan pengetahuan
baru, dan memfasilitasi solusi inovatif dalam situasi yang berisiko tinggi.

Perusahaan-perusahaan besar saat ini sering membentuk tim penelitian dan pengembangan berkinerja
tinggi yang terdiri dari para ahli teknis dan ilmiah dari berbagai latar belakang. Tim-tim ini bekerja
secara kolaboratif dan simultan dalam proyek-proyek kompleks dalam kondisi yang sangat
menantang. Tim-tim seperti ini menjadi kunci untuk mencapai kemajuan teknologi generasi
berikutnya di pasar yang kompetitif.

Namun, meskipun tim berkinerja tinggi dapat memberikan hasil yang luar biasa, mereka juga
menghadapi tantangan tertentu. Potensi ketidakpastian dan konflik dapat muncul karena tidak adanya
hierarki tradisional dalam tim, tekanan kerja yang tinggi, dan kurangnya sejarah bersama karena fokus
tim pada masa depan. Selain itu, harapan yang tinggi tanpa sumber daya yang memadai untuk
menyelesaikan tugas juga dapat menjadi tantangan yang signifikan.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, anggota tim perlu mengembangkan sikap yang positif namun
realistis terhadap tujuan tim. Mereka juga perlu menunjukkan kepercayaan pada kemampuan dan
keahlian anggota tim lainnya, serta berperan sebagai anggota tim yang dapat diandalkan dan mudah
didekati. Mengambil inisiatif, mengajukan pertanyaan kritis, dan memberikan umpan balik konstruktif
juga merupakan kunci untuk membangun semangat tim yang kuat dan produktif.

Dengan memahami tantangan yang terkait dengan kerja tim dan menerapkan strategi yang sesuai,
anggota tim dapat meningkatkan efektivitas kerja kelompok mereka dan mencapai hasil yang lebih
baik dalam pencapaian tujuan bersama.

5.3.3 Sosialisasi Anggota Kelompok


Sosialisasi dalam konteks kelompok merujuk pada proses di mana anggota kelompok diajarkan dan
mempelajari norma, aturan, dan harapan yang terkait dengan interaksi dan perilaku dalam kelompok.
Norma, aturan, dan kohesi kelompok dapat dibangun dan dipertahankan melalui proses sosialisasi ini
(Ahuja & Galvin, 2003). Melalui sosialisasi, identitas bersama dan realitas sosial dapat berkembang di
antara anggota kelompok, namun hal ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Misalnya,
kelompok dengan tingkat kohesi yang tinggi cenderung memiliki anggota yang lebih patuh terhadap
norma dan aturan, yang pada gilirannya membantu memperkuat proses sosialisasi. Kebutuhan akan
sosialisasi juga dapat berubah seiring berjalannya waktu dalam suatu kelompok. Ketika keanggotaan
dalam kelompok tetap stabil, anggota yang sudah ada tidak memerlukan banyak sosialisasi tambahan.
Namun, ketika anggota baru masuk ke dalam kelompok, anggota yang sudah ada perlu meluangkan
waktu untuk melakukan sosialisasi. Proses sosialisasi juga terjadi secara berkelanjutan dalam
kelompok yang baru terbentuk, di mana anggota kelompok bekerja sama untuk menegosiasikan
aturan, mengembangkan norma, dan menciptakan sejarah bersama seiring berjalannya waktu.

Pertukaran informasi selama proses sosialisasi dapat dibagi menjadi dua kategori umum: pengetahuan
teknis dan sosial (Ahuja & Galvin, 2003). Pengetahuan teknis berfokus pada keterampilan dan
informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu, sementara pengetahuan sosial lebih
menekankan pada norma-norma perilaku yang mengatur interaksi dalam kelompok. Informasi dalam
kedua kategori ini biasanya disampaikan melalui kombinasi cara formal dan informal. Pengetahuan
teknis seringkali disampaikan melalui orientasi, pelatihan, manual, dan dokumen karena kontennya
cenderung lebih jelas. Di sisi lain, pengetahuan sosial cenderung lebih ambigu dan sering disampaikan
melalui cara informal atau dipelajari secara pasif oleh anggota baru melalui observasi. Dalam konteks
sebelumnya, pengetahuan teknis berkaitan dengan aturan dalam kelompok, sedangkan pengetahuan
sosial berkaitan dengan norma dalam kelompok.

Aturan dan norma dalam kelompok memberikan anggota perasaan yang lebih terstruktur dan
membantu mengurangi ketidakpastian, yang pada gilirannya meningkatkan rasa aman terhadap peran
seseorang dalam kelompok. Aturan dan norma juga membimbing interaksi anggota kelompok dengan
kelompok tersebut, membantu menciptakan realitas sosial bersama, dan memungkinkan kelompok
berfungsi tanpa harus ada seseorang yang terus-menerus mendidik, memantau, dan memperbaiki
perilaku anggota (Hargie, 2011). Tentu saja, keberhasilan implementasi aturan dan norma tersebut
sangat tergantung pada dukungan dari seluruh anggota kelompok.

Dengan memahami pentingnya proses sosialisasi dalam kelompok, anggota dapat lebih baik
beradaptasi dengan lingkungan kelompok dan meningkatkan kohesi serta efektivitas kelompok secara
keseluruhan.

5.3.4 Tekanan Kelompok


Dalam dinamika kelompok, keberadaan aturan dan norma berperan penting dalam mengatur perilaku
anggota dan membentuk identitas serta nilai-nilai kelompok. Namun, kekuatan motivasi yang
mendorong anggota kelompok untuk mematuhi aturan dan norma tersebut sangat penting agar sistem
tersebut dapat berfungsi secara efektif. Tanpa motivasi yang kuat, anggota kelompok mungkin tidak
merasa terdorong untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok atau menginternalisasi
nilai-nilai dan identitas kelompok.

Kekuatan motivasi ini dapat berasal dari dua sumber utama: tekanan internal dan tekanan eksternal.
Tekanan internal merujuk pada motivasi intrinsik yang mendorong individu untuk mengikuti aturan
dan norma karena mereka percaya bahwa itu adalah hal yang benar atau penting untuk dilakukan. Ini
bisa berkaitan dengan rasa tanggung jawab, harga diri, atau kesetiaan terhadap kelompok. Di sisi lain,
tekanan eksternal melibatkan pengaruh dari faktor-faktor di luar individu, seperti sanksi sosial,
hukuman, atau konsekuensi negatif yang mungkin timbul akibat melanggar aturan dan norma.

Dalam konteks sosial, tekanan internal sering kali dihasilkan dari proses sosialisasi yang melibatkan
menginternalisasi norma dan nilai-nilai kelompok. Anggota kelompok yang telah terlibat dalam
proses sosialisasi yang kuat cenderung memiliki motivasi intrinsik yang lebih besar untuk mematuhi
aturan dan norma kelompok. Mereka mungkin merasa terikat secara emosional dengan kelompok dan
memiliki kepercayaan yang kuat pada pentingnya aturan dan norma tersebut dalam menjaga kohesi
dan keberlangsungan kelompok.

Sementara itu, tekanan eksternal dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk pengawasan atau
evaluasi oleh anggota kelompok lain, hukuman atau sanksi sosial, atau harapan dari pihak otoritas.
Meskipun tekanan eksternal dapat memainkan peran yang penting dalam memastikan ketaatan
terhadap aturan dan norma, terlalu banyak ketergantungan pada tekanan eksternal juga dapat memiliki
dampak negatif, seperti mengurangi motivasi intrinsik anggota kelompok atau menciptakan perasaan
ketidaknyamanan atau ketegangan di antara anggota.

Dalam beberapa kasus, tekanan eksternal mungkin diperlukan untuk menegakkan aturan dan norma
yang penting untuk kelangsungan kelompok. Namun, terlalu banyak ketergantungan pada tekanan
eksternal dapat mengurangi kualitas interaksi antar anggota, meningkatkan potensi konflik, atau
bahkan merusak kohesi kelompok. Oleh karena itu, penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat
antara tekanan internal dan eksternal dalam mendukung kepatuhan terhadap aturan dan norma
kelompok.
Dalam prakteknya, pemimpin kelompok atau anggota yang memiliki pengaruh sosial yang kuat
seringkali berperan dalam memfasilitasi ketaatan terhadap aturan dan norma. Mereka dapat
menggunakan berbagai strategi, seperti memberikan contoh positif, memberikan umpan balik
konstruktif, atau merangsang diskusi dan refleksi tentang pentingnya aturan dan norma dalam
mencapai tujuan kelompok.

Dalam kesimpulannya, aturan dan norma dalam kelompok memainkan peran penting dalam mengatur
perilaku dan membentuk identitas serta nilai-nilai kelompok. Namun, untuk memastikan
efektivitasnya, perlu ada motivasi yang kuat dari anggota kelompok untuk mematuhi aturan dan
norma tersebut. Tekanan internal dan eksternal keduanya berperan dalam menciptakan motivasi
tersebut, namun keseimbangan yang tepat antara keduanya sangat penting untuk menjaga kohesi dan
keberlangsungan kelompok.

5.3.4.1 Kesesuain
Dalam dinamika kelompok, individu sering kali berinteraksi dengan norma dan aturan dalam berbagai
cara, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Ada perbedaan dalam kecenderungan
individu untuk menerima atau menolak norma dan aturan kelompok, yang dapat memengaruhi
dinamika dan kemungkinan konflik dalam kelompok tersebut. Beberapa anggota mungkin secara
pasif menerima norma dan aturan untuk mencapai penerimaan sosial, sementara yang lain mungkin
lebih aktif menolaknya karena perbedaan pendapat atau sifat kepribadian yang agresif.

Karakteristik kepribadian individu, seperti tingkat kedisiplinan diri dan preferensi konformitas,
memainkan peran penting dalam bagaimana mereka berinteraksi dengan norma dan aturan kelompok.
Beberapa individu mungkin memiliki mekanisme internal yang kuat untuk mengatur diri mereka
sendiri, sehingga mereka secara alami lebih cenderung untuk mematuhi norma-norma kelompok.
Ketika norma-norma ini diinternalisasi, individu tersebut mungkin merasa dorongan internal untuk
beradaptasi dan mengikuti aturan, menghindari konflik internal yang dapat timbul dari penyimpangan
terhadap norma-norma tersebut.

Di sisi lain, tekanan konformitas juga dapat berasal dari luar, ketika kelompok memberikan
penghargaan atau hukuman berdasarkan tingkat kinerja anggota. Dalam konteks ini, anggota mungkin
merasa dorongan eksternal untuk mematuhi norma dan aturan kelompok agar mendapat pengakuan
atau menghindari hukuman. Meskipun tekanan ini dapat memiliki dampak negatif jika berlebihan,
seperti yang terlihat dalam kasus-kasus ekstrim perilaku konformitas yang tidak etis atau bahkan
berbahaya, dalam batas-batas yang tepat, tekanan konformitas dapat meningkatkan kohesi dan kinerja
kelompok.

Kelompok dengan tingkat konformitas yang sehat biasanya menikmati tingkat kohesi yang lebih
tinggi, hubungan yang lebih baik antar anggota, dan kinerja tugas yang lebih baik secara keseluruhan.
Selain itu, kelompok-kelompok seperti ini dapat memproyeksikan citra positif kepada orang-orang di
luar kelompok, yang dapat meningkatkan reputasi atau profil kelompok tersebut.

Namun, penting untuk memperhatikan bahwa tekanan konformitas yang berlebihan dapat mengarah
pada hasil yang merugikan, termasuk perilaku yang tidak etis atau bahkan membahayakan diri sendiri
atau orang lain. Oleh karena itu, penting untuk mengelola tekanan konformitas dengan bijaksana dan
memastikan bahwa anggota kelompok merasa nyaman untuk mengekspresikan pendapat mereka
tanpa takut akan konsekuensi negatif.
5.3.4.2 Groupthink
Groupthink merupakan sebuah fenomena yang terjadi dalam kelompok yang ditandai dengan
kurangnya evaluasi kritis terhadap ide atau tindakan yang dihasilkan dari tingkat kohesi yang tinggi
dan/atau tekanan konformitas yang berlebihan (Janis, 1972). Fenomena ini memiliki sejumlah dampak
yang perlu dipahami secara lebih mendalam. Ketika anggota kelompok terjebak dalam groupthink,
hasilnya adalah penerimaan keputusan atau saran tanpa kritik yang mendasar terhadap rencana
tindakan untuk mencapai tujuan kelompok. Meskipun pertemuan kelompok yang tampak harmonis
dan penuh interaksi positif mungkin terlihat ideal, namun sebenarnya bisa menjadi tanda adanya
groupthink (Ellis & Fisher, 1994). Ketika keputusan dibuat terlalu cepat atau ketakutan akan konflik
menghalangi evaluasi yang cermat, maka groupthink cenderung muncul. Keputusan yang diambil
sebagai hasil dari groupthink dapat berkisar dari presentasi yang tidak terfokus dengan baik hingga
kegagalan fatal yang berujung pada kerugian besar.

Dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya groupthink adalah tingkat kohesi yang tinggi dan
tekanan konformitas yang berlebihan. Tingkat kohesi yang tinggi dalam kelompok dapat
menyebabkan anggota kelompok enggan untuk menantang gagasan atau saran anggota lain karena
takut merusak hubungan di dalam kelompok. Ketika kohesi tugas dalam kelompok tinggi, anggota
mungkin merasa terlalu percaya diri dan enggan mengevaluasi ide secara kritis. Meskipun tingkat
kohesi yang tinggi sebenarnya dapat mengurangi tekanan konformitas, anggota kelompok yang masih
merasa tertekan oleh norma atau tekanan konformitas internal mungkin tetap enggan untuk
mengkritik gagasan-gagasan yang diajukan. Selain itu, tekanan konformitas eksternal dari luar
kelompok juga dapat memicu terjadinya groupthink, seperti tekanan waktu atau hadiah yang
dijanjikan.

Ada beberapa cara untuk menghindari terjadinya groupthink (Hargie, 2011):

1. Bagi tanggung jawab pengambilan keputusan di antara anggota kelompok sehingga tidak ada satu
individu yang memiliki kekuasaan penuh.
2. Catat kontribusi setiap anggota kelompok sehingga masukan dari semua anggota dapat didiskusikan
dengan baik.
3. Dorong ekspresi pendapat minoritas atau perbedaan pendapat, dan hargai kontribusi dari semua
anggota kelompok.
4. Berikan kesempatan bagi setiap anggota untuk menyampaikan ide sebelum dimulainya diskusi,
sehingga pendapat tidak dipengaruhi oleh anggota yang mengemukakan ide terlebih dahulu.
5. Pertanyakan setiap keputusan besar dan evaluasi potensi konsekuensi negatifnya secara kritis.
6. Libatkan pihak luar yang tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk meninjau
keputusan tersebut.
7. Selalu adakan sesi refleksi sebelum keputusan diimplementasikan, di mana anggota dapat
menyatakan keberatan atau berpikir ulang mengenai keputusan tersebut.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, kelompok dapat menghindari jebakan dari groupthink dan
membuat keputusan yang lebih cerdas dan terinformasi.

5.3.5 Konflik Kelompok


Konflik merupakan bagian alami dari interaksi kelompok, dan dapat muncul dalam berbagai bentuk,
baik langsung maupun tidak langsung, mirip dengan konflik dalam interaksi antarpribadi. Anggota
kelompok bisa saja secara terbuka memperdebatkan gagasan, menyatakan ketidaksukaan terhadap
satu sama lain, atau menggunakan komunikasi tidak langsung seperti sindiran atau perilaku pasif-
agresif. Meskipun seringkali dipandang secara negatif, konflik sebenarnya dapat memiliki dampak
yang bermanfaat dalam konteks kelompok. Misalnya, dalam situasi di mana kelompok mengalami
stagnasi atau kehilangan kreativitas, konflik bisa menjadi katalisator yang membantu mengubah
dinamika kelompok. Namun, konflik juga bisa menghambat produktivitas kelompok jika tidak
ditangani dengan baik, karena dapat menciptakan ketegangan dalam tugas maupun hubungan sosial di
dalam kelompok. Konflik dalam kelompok dapat dibagi menjadi tiga jenis utama: konflik prosedural,
substantif, dan interpersonal, masing-masing dengan tingkat intensitas yang berbeda yang dapat
mempengaruhi dampaknya pada kelompok dan anggotanya secara keseluruhan.

Konflik Prosedural
Konflik prosedural timbul ketika anggota kelompok memiliki pandangan yang berbeda tentang cara
menjalankan proses operasional kelompok. Dalam situasi ini, perbedaan keyakinan muncul mengenai
bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan. Penanganan konflik prosedural biasanya melibatkan
pemimpin kelompok, terutama jika pemimpin tersebut memiliki kewenangan untuk mengubah
prosedur atau menerapkan aturan kelompok. Namun, jika tidak ada pemimpin yang ditunjuk atau
pemimpin tidak memiliki otoritas tunggal untuk mengubah prosedur, langkah-langkah dapat diambil
untuk mengatasi konflik prosedural dengan mengumpulkan masukan dari anggota kelompok.
Pemungutan suara untuk mencapai konsensus atau mayoritas juga bisa menjadi cara untuk
menyelesaikan konflik prosedural ini.

Konflik Substantif
Konflik substantif berkaitan dengan perbedaan keyakinan, sikap, nilai, atau gagasan anggota
kelompok tentang tujuan atau tugas kelompok. Berbeda dengan konflik prosedural yang berfokus
pada "bagaimana", konflik substantif lebih menitikberatkan pada "apa". Contohnya, ketika kelompok
berusaha menetapkan tujuan atau misi, perbedaan pendapat bisa muncul mengenai arti sesuatu, bukti
pendukung suatu proposal, atau standar kinerja yang dapat diterima. Penting bagi pemimpin dan
anggota kelompok untuk tidak terburu-buru dalam menyelesaikan konflik semacam ini. Diskusi
terbuka dan debat mengenai ide dan saran tindakan kelompok bisa menghasilkan solusi yang lebih
baik dan mencegah terjadinya pemikiran kelompok. Para pemimpin yang mengambil keputusan akhir
terkait konflik substantif harus berhati-hati agar tidak menciptakan atmosfer persaingan yang
membuat anggota kelompok merasa gagasan mereka tidak dihargai. Untuk menyelesaikan konflik
semacam ini, anggota kelompok bisa melakukan penelitian untuk melihat pendekatan apa yang telah
berhasil dilakukan oleh kelompok lain dalam situasi serupa. Setelah mengumpulkan informasi,
penting untuk mempertimbangkan semua usulan dan berupaya mencapai kesepakatan di antara
berbagai perspektif. Diskusi yang beradab dan terbuka yang mempertimbangkan manfaat setiap
gagasan lebih disukai daripada suasana yang membuat anggota kelompok merasa diserang secara
pribadi atas gagasan mereka.

Konflik Antar Pribadi


Konflik interpersonal muncul ketika terjadi pertentangan antara individu-individu di dalam kelompok.
Sementara konflik prosedural berfokus pada "bagaimana" dan konflik substantif berkaitan dengan
"apa", konflik interpersonal berkaitan dengan "siapa". Konflik semacam ini seringkali tidak terkait
dengan fungsi atau tujuan kelompok, melainkan lebih berfokus pada perbedaan individual, seperti
perbedaan kepribadian. Konflik antarpribadi bisa menjadi hasil dari konflik prosedural atau substantif
yang tidak ditangani dengan baik atau dihindari, dan akhirnya menjadi lebih personal daripada fokus
pada tugas. Jenis konflik ini juga bisa dipicu oleh perbedaan keyakinan, sikap, dan nilai yang
dianggap sebagai masalah personal daripada substansial, perbedaan kepribadian, atau gaya
komunikasi yang berbeda. Meskipun konflik prosedural dan substantif mungkin lebih mudah
diungkapkan karena tidak langsung menyerang individu tertentu, konflik interpersonal bisa terbentuk
perlahan ketika orang menghindari konfrontasi terbuka atau kritik terhadap individu lain. Tanda-tanda
perilaku pasif-agresif bisa menjadi indikasi bahwa konflik antarpribadi sedang berkembang, dan
langkah-langkah intervensi mungkin diperlukan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan retaliasi.
Para pemimpin juga bisa berperan sebagai mediator dengan bertemu secara pribadi dengan individu
yang terlibat dalam konflik antarpribadi untuk membantu mereka memahami persepsi masing-masing
dan mencapai penyelesaian yang memuaskan. Sementara individu yang memulai konflik prosedural
atau substantif mungkin dianggap peduli terhadap kesejahteraan kelompok, individu yang terlibat
dalam konflik interpersonal seringkali dipandang negatif oleh anggota kelompok lainnya.

5.3.6 Mengelola Konflik Dalam Kelompok Kecil


Ada beberapa strategi umum yang dapat digunakan untuk mengelola konflik dalam kelompok, yang
meliputi memiliki prosedur pengambilan keputusan yang jelas, mediasi pihak ketiga, dan fasilitasi
oleh pemimpin. Meskipun pemungutan suara dapat membantu kelompok mencapai keputusan, hal itu
juga dapat meninggalkan perasaan ketidakpuasan bagi anggota yang suaranya kalah, yang pada
akhirnya dapat memicu konflik lebih lanjut. Sebaliknya, memiliki seorang pemimpin yang mengambil
keputusan akhir dapat mempercepat proses pengambilan keputusan, namun konflik mungkin hanya
ditekan dan tidak diselesaikan secara menyeluruh. Mediasi pihak ketiga dapat membantu kelompok
mengatasi konflik dengan cara yang mengurangi rasa permusuhan, terutama ketika mediator tersebut
tidak memiliki keterlibatan langsung dalam kelompok. Dalam beberapa situasi, pemimpin kelompok
dapat bertindak sebagai mediator internal pihak ketiga untuk membantu anggota kelompok
menavigasi konflik mereka dengan cara yang produktif.

Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu mengelola konflik dalam kelompok:

1. Klarifikasi Permasalahan: Mulailah dengan memahami akar masalah dengan mendalami sejarah
konflik. Ingatlah bahwa persepsi setiap individu bisa berbeda, jadi penting untuk memahami
perspektif masing-masing anggota tentang konflik tersebut.

2. Ciptakan Iklim Diskusi yang Positif: Dorong anggota kelompok untuk mendengarkan secara aktif
dan hargai berbagai pandangan. Menciptakan lingkungan yang positif untuk berdiskusi dapat
membantu mengurangi ketegangan dan memfasilitasi penyelesaian konflik.

3. Diskusikan Kebutuhan: Sebelum mencari solusi, bicarakan kebutuhan masing-masing individu dan
tujuan dari penyelesaian konflik. Menetapkan pemahaman bersama tentang kebutuhan dasar dan
tujuan dapat membantu menciptakan landasan yang kuat untuk penyelesaian.

4. Tetapkan Batasan Diskusi: Pastikan untuk menetapkan batasan yang jelas untuk diskusi dan
mengawasi agar diskusi tetap produktif. Hindari perselisihan pribadi dan serangan pribadi yang tidak
konstruktif.
5. Gunakan Bahasa yang Kolaboratif: Ketika berkomunikasi, gunakan bahasa yang menekankan
kohesi dan identitas kelompok dengan menggunakan kata "kita". Hindari menggunakan bahasa yang
defensif dengan menggunakan kata "saya".

Dengan mengikuti tips ini dan menerapkan strategi manajemen konflik yang sesuai, kelompok dapat
mengatasi konflik secara efektif dan mempromosikan kerjasama yang produktif.

5.3.7 Keuntungan Dan Kerugian Konflik


Penting untuk diingat bahwa keberadaan konflik dalam suatu kelompok sebenarnya merupakan
indikasi positif, karena menunjukkan adanya aktivitas dan komitmen di antara anggota kelompok
(Ellis & Fisher, 1994). Konflik, jika ditangani dengan bijaksana, dapat membantu kelompok
memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang masalah yang mereka hadapi. Sebagai contoh,
konflik substantif dapat membuka perspektif-perspektif baru yang belum pernah dipertimbangkan
sebelumnya. Selain itu, ketika konflik dipandang sebagai sesuatu yang normal, diperlukan, dan dapat
memunculkan hasil yang positif, anggota kelompok dapat menghadapinya dengan pikiran terbuka dan
niat untuk belajar. Hal ini terutama berlaku jika mereka yang menginisiasi konflik substantif dapat
menyampaikan pandangan mereka dengan cara yang terampil dan beradab. Di samping itu, kohesi
kelompok juga dapat meningkat akibat penanganan konflik yang baik. Pengalaman menghadapi
ketegangan yang diikuti dengan penyelesaian dapat memberikan rasa pencapaian kepada kelompok,
menghilangkan ketakutan terhadap konflik, dan meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam
mengatasi konflik di masa depan.

Namun, konflik yang berlarut-larut atau tidak ditangani dengan baik dapat mengancam kekompakan
kelompok. Anggota yang berusaha menghindari konflik mungkin masih merasakan ketegangan atau
frustrasi ketika konflik terus berlanjut. Selain itu, anggota kelompok mungkin merasa tidak nyaman
dengan individu yang terlalu mempermasalahkan konflik atau membuatnya menjadi pribadi, sehingga
memperburuk konflik menjadi konflik antarpribadi. Konflik yang terus menerus atau tidak tertangani
dapat merusak keharmonisan kelompok dan bahkan menyebabkan kehilangan anggota karena mereka
menimbang-nimbang biaya dan manfaat dari keanggotaan kelompok.

Dalam hal ini, penting bagi kelompok untuk mengembangkan keterampilan penyelesaian konflik yang
efektif, termasuk kemampuan untuk mengenali dan mengatasi konflik sebelum menjadi merusak,
serta kemampuan untuk berkomunikasi dengan jujur dan terbuka. Dengan demikian, kelompok dapat
memperkuat kohesi mereka dan menjaga keberlangsungan kelompok dalam jangka panjang.
Daftar Pustaka
Berikut ini daftar pustaka yang sudah diurutkan:

Adler, R. B., & Elmhorst, J. M. (2005). Communicating at Work: Principles and Practices for
Businesses and the Professions (8th ed.). McGraw-Hill.

Ahuja, M. K., & Galvin, J. E. (2003). Socialization in Virtual Groups. Journal of Management, 29(2),
163.

Ahuja, M. K., & Galvin, J. E. (2003). Socialization in Virtual Groups. Journal of Management, 29(2),
163.

Comer, D. R. (1991). Organizational Newcomers’ Acquisition of Information from Peers.


Management Communication Quarterly, 5(1), 64–89.

Daniel, L. J., & Davis, C. R. (2009). What Makes High-Performance Teams Excel? Research
Technology Management, 52(4), 40-41.

du Chatenier, E., Verstegen, J. A. A. M., Biemans, H. J. A., Mulder, M., & Omta, O. S. W. F. (2010).
Identification of Competencies in Open Innovation Teams. Research and Development Management,
40(3), 271.

Ellis, D. G., & Fisher, B. A. (1994). Small Group Decision Making: Communication and the Group
Process (4th ed.). McGraw-Hill.

Ellis, D. G., & Fisher, B. A. (1994). Small Group Decision Making: Communication and the Group
Process (4th ed.). McGraw-Hill.

Fujishin, R. (2001). Creating Effective Groups: The Art of Small Group Communication. Acada
Books.

Hargie, O. (2011). Skilled Interpersonal Interaction: Research, Theory, and Practice (5th ed.).
Routledge.

Hargie, O. (2011). Skilled Interpersonal Interaction: Research, Theory, and Practice (5th ed.).
Routledge.

Janis, I. L. (1972). Victims of Groupthink: A Psychological Study of Foreign-Policy Decisions and


Fiascos. Houghton Mifflin.

Jain, A. K., Thompson, J. M., Chaudry, J., McKenzie, S., & Schwartz, R. W. (2008). High-
Performance Teams for Current and Future Physician Leaders: An Introduction. Journal of Surgical
Education, 65, 145.
Karau, S. J., & Williams, K. D. (1993). Social Loafing: A Meta-Analytic Review and Theoretical
Integration. Journal of Personality and Social Psychology, 65(4), 681.

Larson, C. E., & LaFasto, F. M. J. (1989). TeamWork: What Must Go Right/What Must Go Wrong.
Sage.

Larson Jr., J. R. (2010). In Search of Synergy in Small Group Performance. Psychology Press.

Marston, P. J., & Hecht, M. L. (1988). Group Satisfaction. In Cathcart, R. & Samovar, L. (Eds.),
Small Group Communication (5th ed., pp. 236-246). Brown.

McKay, M., Davis, M., & Fanning, P. (1995). Messages: Communication Skills Book (2nd ed.). New
Harbinger Publications.

Solansky, S. T. (2011). Team Identification: A Determining Factor of Performance. Journal of


Managerial Psychology, 26(3), 250.

Tuckman, B. W., & Jensen, M. A. C. (1977). Stages of Small-Group Development Revisited. Group
and Organizational Studies, 2(4), 419–427.

Walther, J. B., & Bunz, U. (2005). The Rules of Virtual Groups: Trust, Liking, and Performance in
Computer-Mediated Communication. Journal of Communication, 55(4), 830.

Anda mungkin juga menyukai