Anda di halaman 1dari 10

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017

ISBN 978-602-19411-2-6

KONSEP PENGALAMAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF TRANSFORMATIF:


ANTARA MEZIROW DAN FREIRE

Ila Rosmilawati
Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
irosmilawati@gmail.com

Abstrak

Keterlibatan dalam belajar (learning engagement) merupakan proses transformative jika peserta
didik mengalami perubahan diri melalui proses belajar. Perubahan diperoleh dari proses berpikir
kritis dan refleksi terhadap perilaku dan pengetahuan yang didapat, yang berkontribusi pada proses
pemberdayaan diri (Harvey & Knight, 2006). Bagi peserta didik yang mengikuti proses belajar
melalui pendidikan non formal, efektivitas belajar mungkin akan sulit didapatkan. Kualitas proses
dan hasil pembelajaran dalam pendidikan non formal dianggap lebih rendah dibanding pendidikan
formal. Untuk itu, dapat dimengerti jika para siswa dan masyarakat menilai rendah pendidikan non
formal. Hal ini disebabkan karena kualitas pembelajaran hanya dilihat dari pendekatan
instrumentalist, yaitu dari performansi akademik siswa (Zingier, 2008). Hasil kajian literatur
tentang perspektif transformatif akan menjelaskan bagaimana para siswa diberi kesempatan untuk
mengenali potensi perubahan dalam diri menuju pribadi yang otonom. Kajian teori pembelajaran
transformatif (Mezirow, 1991) dan pedagogi kritis (Freire, 1973) akan memberikan kerangka
berpikir yang berguna untuk menganalisis dan mengidentifikasi kemungkinan siswa kurang
beruntung untuk bisa mengalami transformasi sebagai pembelajar. Berdasarkan konsep perspektif
transformatif, setiap siswa memiliki kapasitas untuk memberi makna pengalaman belajar yang
dialaminya. Setiap siswa akan mampu meyakini bahwa pengalaman belajar di pendidikan non
formal menawarkan konsep yang berbeda, melebihi pendekatan instrumentalist. Yaitu para siswa
memiliki kapasitas untuk melihat, menginterpretasi, mengkritisi, dan menemukan arti atau
perspektif baru tentang pengalaman belajar dalam kerangka masyarakat yang adil dan demokratis.
Kata Kunci: pembelajaran transformatif, pedagogi kritis, pengalaman belajar, pendidikan non
formal

Abstract
Learning engagement is seen as a transformative process if the students experience self-change
through learning, which is result of thinking critically and reflecting on their behaviour and
knowledge that contribute of self-empowerment (Harvey & Knight, 1996). For Indonesia
disadvantaged students who experience learning at non formal education) it might not be the case.
Quality of learning experience and outcomes in non formal education are not held to the same
accountability standards as the mainstream school. Therefore, I understand that if the students and
society undervalues the non formal education system, learning quality can be viewed as
instrumental or rationally technical, which is standard of learning outcomes based only on
academic performance (Zingier, 2008). However, through the framework of perspective
transformation, it is allow an opportunity for students to recognise self-transformation as a learner.
The theories of transformative learning (Mezirow, 1991) and critical pedagogy (Freire, 1973) are
useful lenses to examine for identifying the possibility of disadvantaged students witnessing
transformative experience. Based on these theories, every student can make their own meaning of
the process of re-engagement in learning because each has the capacity to examine their own
experience. The students will come to belief that the non formal education offers a “different”
learning experience beyond the instrumentalist approach in which students come to perceive,
interpret, criticise and reflect their learning experience for more just and democratic society.

Keywords: transformative learning, critical pedagogy, learning experience, non formal education

317
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

PENDAHULUAN tersebut diasumsikan menggunakan pendekatan


Tujuan kajian literatur ini untuk mencari instrumentalist atau melihat kualitas
perspektif yang berbeda tentang makna pembelajaran dari sudut pandang teknis, dimana
pengalaman belajar dan arti hasil belajar bagi hasil belajar diukur dari performasi akademik
siswa pendidikan non formal di Indonesia. peserta didik (Zingier, 2008, pp. 1771-1772).
Pengalaman dan hasil belajar yang baik Padahal, jika dikaji dengan menggunakan
umumnya diukur dengan capaian performansi perspektif transformatif, sistem pendidikan
akademik. Perspektif transformatif memberikan kesetaraan di desain melampaui pendekatan
kerangka konsep yang berbeda dalam instrumentalist, dimana keberhasilan siswa
menginterpretasi makna pengalaman belajar dalam belajar dinilai dari perubahan aspek
siswa di pendidikan non formal, seperti psikologis siswa, khususnya perubahan cara
pengalaman belajar di pendidikan kesetaraan. pandang (mindset) sebagai perubahan kesadaran
Pendidikan kesetaraan telah memberikan akses yang mendasar yang akan digunakan untuk
bagi anak dan remaja kurang mampu akan hak- memaknai pengalaman hidupnya. Cara pandang
hak dasar mendapatkan pendidikan, termasuk baru tersebut didapat dari proses berpikir kritis
manfaat yang akan mereka dapatkan untuk dan hasil refleksi terhadap prilaku dan
kehidupannya. Program pendidikan ini banyak pengetahuan yang didapat, yang berkontribusi
dimanfaatkan oleh anak dan remaja, baik pada pemberdayaan diri tiap siswa (Harvey &
sebagai sekolah yang menyediakan “kesempatan Knight, 1996). Untuk itu, kajian literatur
belajar kedua” (second chance education) mengenai perspektif transformatif penting
setelah gagal pada kesempatan pertama atau dilakukan untuk menemukan dimensi yang
mereka yang memanfaatkan pendidikan berbeda dalam menilai pengalaman belajar
kesetaraan sebagai pilihan satu-satunya karena siswa dalam konteks pendidikan non formal.
pilihan lain tidak dapat diakses. Melalui Perspektif transformatif berasal dari teori
pendidikan non formal, siswa kurang beruntung pembelajaran transformatif (Mezirow, 1991) dan
diharapkan mendapatkan pengalaman belajar pedagogi kritis (Freire, 1973). Kedua teori ini
yang berbeda dan khas, sehingga pengalaman memiliki cara pandang yang berbeda mengenai
dan pengetahuan tersebut dapat dijadikan modal konsep perubahan (transformation). Teori
untuk perubahan personal dan sosial. pembelajaran transformatif memandang hasil
Hasil penelitian terdahulu menyatakan perubahan peserta didik dari perubahan cara
bahwa satuan pendidikan non formal, misalnya berpikir (mindset) dan emosi masing-masing
pendidikan kesetaraan kurang mendapatkan individu. Tetapi, teori pedagogi kritis
apresiasi yang baik di masyarakat. memandang perubahan sebagai hasil dari
Dibandingkan dengan sekolah formal atau penyadaran (consciousness), yaitu kemampuan
sekolah yang menjadi arus utama masyarakat, setiap peserta didik untuk belajar menganalisis
pendidikan kesetaraan diklasifikasikan sebagai realitas sosialnya dan bertindak mengubah
pendidikan kelas dua yang ditandai dengan realitas tersebut.
kualitas dan performansi siswa yang rendah. Peserta didik di satuan pendidikan non
Misalnya, Organisasi Buruh Indonesia (2011) formal sangat heterogen. Sebagian besar berasal
yang bermarkas di Jakarta mengungkapkan dari kelompok kurang beruntung (disadvantaged
bahwa lulusan pendidikan kesetaraan tidak dapat groups), baik secara ekonomi, politik, maupun
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih sosial. Untuk itu, kelompok belajar di satuan
tinggi, baik itu sekolah formal tingkat atas atau pendidikan ini bisa terdiri dari anak usia
perguruan tinggi. Hal ini karena lulusannya sekolah, tetapi di kelompok lain merupakan
tidak mampu bersaing dengan siswa lulusan campuran anak usia sekolah dan orang dewasa.
sekolah formal, atau karena kepala sekolah di Demikian pula jika kita lihat dari latar belakang
sekolah formal tidak memiliki inisiatif untuk peserta didik, tidak sedikit dari mereka yan
mengakomodasi kelompok mereka demi memiliki tanggung jawab di luar tanggung
mempertahankan kualitas siswanya (Irwanto, jawabnya sebagai pelajar, seperti membantu
Hendriati & Hestyanti, 2001; International keluarga atau bekerja untuk memenuhi
Labour Organization, 2011; Syaukani, 2008). kebutuhan dasar. Akan tetapi, peserta didik yang
Kerangka konsep yang dipakai untuk heterogen tersebut datang ke satuan pendidikan
membangun argumen atas hasil penelitian non formal dengan memiliki tujuan dan harapan

318
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

yang sama, yaitu mendapat akses pendidikan, PEMBAHASAN


termasuk manfaatnya untuk kehidupan di masa Pendidikan non formal di Indonesia
depan. Disini, kita dapat melihat secara jelas menawarkan jalur alternatif bagi anak dan
bahwa keberadaan pendidikan non formal sangat remaja yang kurang beruntung untuk dapat
efektif dalam memberi kesempatan seluas- mengakses pendidikan ketika pendidikan formal
luasnya untuk siapa saja yang ingin mengakses tidak tersedia untuk mereka, atau tidak sesuai
pendidikan. Disatu sisi, pemerintah Indonesia dengan kondisi kehidupan mereka. Penelitian
telah bekerja keras dalam mengembangkan jalur yang mendokumentasikan pengalaman belajar
alternatif dalam pendidikan, disisi lain kritik dari perspektif peserta didik di sektor
terhadap jalur persekolahan ini terus mengalir. pendidikan non formal masih terbilang jarang,
Sebagian besar kritik berkaitan dengan hasil padahal sektor ini semakin tumbuh dan
belajar (outcomes). Contohnya, pendidikan berkembang, khususnya dalam upaya
kesetaraan di Indonesia diklasifikasikan sebagai meningkatkan partisipasi pendidikan nasional.
pendidikan yang memiliki kualitas rendah dan Kalaupun ada, publikasi berfokus pada
performansi akademik peserta didiknya lebih pengukuran jumlah lulusan dan nilai hasil
rendah dibanding dengan mereka yang berasal belajar. Untuk itu, kini saatnya kita mengubah
dari sekolah formal. Keadaan ini menimbulkan konsep pengukuran kualitas pendidikan, dengan
pertanyaan; bagaimana pendidikan non formal mengedepankan cara-cara yang lebih humanis,
dapat memberikan hasil dan manfaat untuk yaitu mendengarkan “suara” siswa tentang apa
peserta didiknya yang berasal dari latar belakang yang mereka rasakan dan pikirkan.
yang beragam? Meningkatkan keterlibatan siswa dalam belajar
Untuk menjawab pertanyaan diatas, (learning engagement) dan mendengarkan
diperlukan konsep yang berbeda dari konsep “perspektif” siswa tentang belajar (learning),
yang biasa dipakai untuk mengukur keberhasilan pengajaran (teaching) dan persekolahan
program pendidikan, seperti pengukuran hasil (schooling) yang mereka alami menjadi dasar
belajar siswa berdasarkan peningkatan penilaian apakah siswa di satuan pendidikan non
pengetahuan atau nilai akademik atau dikenal formal mendapatkan manfaat dari program
dengan pendekatan instrumentalist. Konsep pendidikan ini atau tidak.
pengukuran hasil pembelajaran seperti ini
kurang bisa diterima dalam sistem pendidikan Perspektif Transformatif
non formal, karena hanya menempatkan peserta Perspektif transformatif adalah konsep
didik sebagai objek (bukan subjek) dan pasif, pembelajaran yang menghasilkan perubahan
bahkan tidak mengakui potensi dan hak otonom pada individu tentang bagaimana individu
peserta didik. Sebaliknya, diperlukan konsep tersebut mengerti dan memaknai kenyataan dan
pengukuran kualitas pembelajaran yang pengalaman hidupnya. Ini mencakup proses
menempatkan peserta didik sebagai subjek seseorang dalam melihat dan memahami proses
dengan mendengar langsung penilaian mereka belajar yang dialaminya saat ini dan
tentang pengalaman belajarnya sendiri. Terlebih, menghubungkannya dengan keadaan hidupnya.
karakteristik peserta didik di satuan pendidikan Seseorang yang berhasil mengubah asumsi dasar
non formal yang bersifat heterogen, artinya yang dimiliki dan sadar atas kelemahan
setiap peserta didik akan memberikan makna perspektif yang dianutnya untuk kemudian
yang beda untuk menilai pengalaman beralih pada perspektif baru adalah orang yang
belajarnya, serta justifikasi hasil dan manfaat telah mengalami proses pembelajaran
pendidikan yang dijalaninya berdasarkan transformatif. Pembelajaran transformative
orientasi pendidikan masing-masing. Perspektif (transformative learning) merupakan model
transformatif, dalam hal ini, meyakinkan kita pembelajaran yang dikembangkan dari
bahwa untuk menilai keberhasilan suatu perspektif transformatif. Transformasi dalam
pembelajaran, maka strategi yang paling efektif diri manusia adalah proses perubahan yang
adalah mendengarkan peserta didik menilai mendasar, baik dari segi bentuk, penampilan,
sendiri pengalaman belajarnya. kondisi, karakteristik dan substansi.
Teori pembelajaran transformative muncul
pada tahun 70-an yang didasari pada hasil
penelitian besar yang dilakukan oleh Mezirow

319
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

(1978) terhadap kelompok wanita yang kembali perspektif transformatif yang dikembangkan
bersekolah setelah dalam kurun waktu yang oleh Mezirow. Mezirow adalah salah satu murid
lama telah meninggalkan bangku sekolah. Salah Habermas yang mengatakan bahwa perspektif,
satu dari sampel penelitian Mezirow adalah asumsi, kepercayaan tumbuh karena pengaruh
istrinya sendiri. Penelitian ini berfokus pada ideologi dominan suatu masyarakat (Habermas,
perubahan peran dan konsep diri yang dialami 1987). Ideologi mempengaruhi individu dan
oleh para wanita sebagai hasil dari proses dipakai oleh individu untuk memaknai
pembelajaran. Studi ini menemukan bahwa pengalaman hidupnya. Sebagai contoh, jika
seiring dengan berkembangnya kesadaran kritis ideologi dominan suatu masyarakat adalah
para wanita sebagai hasil dari pengalaman kapitalisme, maka masyarakat akan memandang
pembelajaran setelah kembali ke bangku perolehan materi dan kesejahteraan sebagai
sekolah, asumsi dan cara berpikir (frame of pokok kehidupan. Dalam hal ini, ideologi
reference) mengalami perubahan, yang dominan dianggap sebagai dasar dan cara untuk
kemudian Mezirow menyebutnya sebagai berpikir dan bertindak. Sebaliknya, jika
„perspektif transformatif‟ (perspective seseorang mampu mengenali bahwa asumsi-
transformation) (Mezirow, 2000, p. xi). Hasil asumsi dan kepercayaan-kepercayaan tersebut
penelitian Mezirow tentang wanita yang kembali tidak sesuai dengan cara pandangnya, maka dia
bersekolah sejalan dengan fenomena remaja telah memasuki suatu proses pembelajaran
Indonesia yang memutuskan kembali bersekolah (learning), dimana hal ini akan bermuara pada
melalui jalur alternatif, salah satunya melalui terbentuknya cara pandang atau perspektif baru.
pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan Proses belajar inilah yang menjadi tujuan
didesain melayani anak dan remaja yang telah pencapaian pembelajaran transformatif, yaitu
meninggalkan sekolah formal tanpa adanya perubahan kerangka acuan berpikir
menyelesaikan pendidikannya. Para remaja (frame of reference) peserta didik yang
kurang beruntung ini, sebagian dari mereka merupakan hasil dari refleksi atas pengalaman
memilih untuk kembali bersekolah, seperti belajarnya.
halnya para perempuan dalam penelitian Pembelajaran transformatif adalah proses
Mezirow. Kemungkinan terjadinya kesamaan perubahan makna lama yang dimiliki seseorang
akan adanya perubahan cara pandang, menuju makna baru berdasarkan hasil dari revisi
pemahaman dan pemaknaan pengalaman hidup interpretasi makna pengalaman sebagai acuan
oleh para remaja di pendidikan non formal, tindakan dimasa mendatang (Mezirow, 1996, p.
maka mengkaji teori ini sangat berguna untuk 162). Individu yang bertransformasi menjadi
membantu para pemerhati pendidikan alternatif pembelajar adalah individu yang mampu
untuk menginterpretasi makna pengalaman mengarahkan diri sendiri, kritis dan mampu
belajar. berpikir secara otonom (Simorok, 2010, 47-48).
Filosofi pembelajaran transformatif Proses transformasi ini dapat dicapai melalui
berangkat dari paradigma konstruktivisme, empat cara; (i) mengelaborasi kerangka acuan
humanisme dan teori sosial kritis. Asumsi dasar berpikir saat ini (existing frame of reference);
konstruktivisme adalah bahwa setiap manusia (ii) mempelajari kerangka acuan berpikir baru
mampu memaknai dirinya sendiri berdasarkan (new frame of reference); (iii) mengubah cara
hasil interaksi dengan orang lain dibandingkan pandang (points of view); atau mengubah
dengan pengaruh dari luar (Mezirow, 1991, p. kebiasaan berpikir (habits of mind) (Mezirow
xiv). Untuk itu, pembelajaran transformatif 2012, 2012, p. 84). Yang dimaksud Mezirow
merupakan proses pembentukan, evaluasi, dan tentang kerangka acuan berpikir (frame of
revisi terhadap asumsi dan persepsi pembelajar reference) adalah struktur asumsi yang
terhadap apa yang dialami dan dipelajarinya. membatasi persepsi, kognisi dan perasaan
Kemudian, filosofi humanistik yang menjadi individu (Mezirow, 1997, p. 5). Perubahan
cikal bakal teori pembelajaran transformatif juga perspektif atau kerangka acuan berpikir akan
berkeyakinan bahwa setiap manusia mampu menghasilkan perubahan cara berprilaku dan
menentukan pilihan. Prinsip filsafat pendidikan bertindak (Cranton, 1994, p. 730). Kebiasaan
humanisme berdasarkan pada eksistensi setiap berpikir (habit of mind) adalah kumpulan asumsi
individu dan kebutuhan manusia. Selanjutnya, yang bertindak sebagai penyaring atau filter
teori sosial kritis memiliki pengaruh pada ketika kita memaknai pengalaman belajar dan

320
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

hidup. Hal ini selanjutnya akan menjadikan cara 10. Integrasi kehidupan dengan perspektif baru
pandang (point of view) – yaitu expektasi, (reintegrating into one’s life on the basis of
kepercayaan, perasaan, sikap dan penilaian - conditions dictated by one’s new
mempengaruhi kita dalam menginterpretasikan perspective).
dan mengevaluasi pengalaman belajar kita.
Berdasarkan kesepuluh tahapan proses
Peserta didik di pendidikan non formal secara
transformasi, ada dua fase yang menjadi krusial;
tidak langsung telah disosialisasikan oleh
(i) disorientasi atau dilema (disorienting
masyarakat secara umum bahwa pengalaman
dilemma: tahap 1), dan refleksi diri secara kritis
belajar di sekolah bukan arus utama, tidak akan
(berkaitan dengan tahap 2-10). Disorientasi
sama atau bahkan lebih rendah kualitasnya
dijelaskan sebagai perasaan bahwa pengalaman
dibandingkan dengan pengalaman belajar yang
atau kenyataan tidak sesuai dengan ekspekstasi,
ditawarkan sekolah formal. Sosialisasi tersebut
dan mempengaruhi emosi seseorang. Tahap
membentuk kebiasaan berpikir peserta didik,
selanjutnya, yaitu refleksi diri secara kritis
yang kemudian akan mempengaruhi bagaimana
melibatkan pengujian terhadap faktor-faktor
mereka menilai pengalaman belajarnya di
yang mempengaruhi perubahan perspektif
pendidikan non formal.
individu. Hal ini merupakan proses dimana
Mezirow (2000) berdasarkan hasil
seseorang berusaha menjustifikasi
penelitiannya kemudian mengidentifikasi proses
kepercayaannya, baik secara rasional ataupun
terjadinya perubahan (transformasi) seseorang
emosional, menguji asumsi-asumsi atau melalui
melalui 10 tahap:
dialog dengan orang lain. Elemen sentral dari
1. Mengalami disorientasi atau dilemma
perspektif transformatif adalah refleksi diri
(experiencing a disorienting dilemma).
secara kritis. Misalnya, ketika remaja putus
2. Menguji perasaan bersalah atau malu oleh
sekolah kemudian memutuskan kembali ke
diri sendiri (self-examining feelings of guilt
sekolah, dia mungkin akan bertanya pada
or shame).
dirinya sendiri tentang keputusannya tersebut;
3. Menguji asumsi-asumsi secara kritis
“mengapa saya harus kembali bersekolah?
(assessing assumptions critically).
Apakah ini berguna untuk kehidupan saya
4. Mengetahui bahwa ketidakpuasan dan
dimasa mendatang?”. Bertanya pada diri sendiri
proses transformasi dapat dibagi atau
adalah proses awal terjadinya refleksi diri untuk
dikomunikasikan dengan orang lain, dan
mencari jawaban akan ketidakpastian dan
menegosiasikan perubahan yang sama
ketakutan di masa mendatang atau karena
(recognizing that one’s discontent and
perasaan kurang nyaman akan kemampuan
process of transformation are shared, and
akademiknya setelah putus sekolah. Begitu juga
that others have negotiated a similar
ketika peserta didik sedang mengalami proses
change).
belajar, proses refleksi berada pada usaha untuk
5. Melakukan penjajakan terhadap pilihan-
mencari jalan keluar atau strategi jika orang
pilikan akan peran, hubungan, dan tidakan
tersebut menemukan kesulitan dalam belajar.
baru (exploring options for new roles,
Peserta didik mungkin akan bertanya kepada
relationshoips and actions).
dirinya sendiri; “apakah saya telah salah
6. Merencanakan tindakan (planning a course
menginterpretasikan apa yang telah guru
of action).
jelaskan?.” Begitu juga ketika peserta didik
7. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan
merasa asing di tengah-tengah komunitas
untuk mengimplementasikan rencana
sekolah barunya, dia mungkin akan bertanya;
(acquiring knowledge and skills for
“apakah normal jika saya merasakan bahwa
implementing one’s plan).
saya tidak diterima atau mendapatkan tempat di
8. Mencoba peran baru (trying out new roles
komunitas sekolah in?i.” Pertanyaan-pertanyaan
provisionally).
refleksi ini muncul sebagai tanda adanya potensi
9. Membangun kompetensi dan kepercayaan
seseorang untuk mengubah kebiasaan berpikir
diri dalam peran dan hubungan baru
(habit of the mind). Refleksi diri dapat
(building competence and self-confidence
membentuk reaksi atau tindakan yang bermuara
in new roles and relationships).
pada terjadinya proses transformasi, yaitu
perubahan kerangka acuan berpikir (frame of

321
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

reference) atau kebiasaan berpikir (habit of lebih lanjut apakah pengalaman belajar mereka
mind). saat ini masih mengalienasi atau justru
sebaliknya, mereka terlibat aktif dalam
Pedagogi Kritis
pengalaman belajar yang baru.
Perspektif transformatif juga berangkat dari Pendidikan formal sebagai pendidikan arus
filsafat utama pendidikan Freire, yaitu konsep utama telah mengajarkan peserta didiknya untuk
conscientization; suatu perubahan kesadaraan berkompetisi agar memenuhi standar pendidikan
dari rasa menerima kenyataan dan realitas hidup yang sudah di desain. Kurikulum tersembunyi
menjadi percaya bahwa realitas hidup dapat pada pendidikan formal di Indonesia termasuk
diubah. Bagi Freire, pendidikan adalah sebagai prestasi, disiplin dan mandiri. Dengan berbekal
praksis (aksi dan refleksi) pembebasan. Dasar pengalaman belajar sebelumnya di sekolah
pemikiran Freire adalah bahwa setiap manusia formal, akan mempengaruhi cara berpikir
memiliki kemampuan untuk memilih, menguji, peserta didik bahwa etos kerja, nilai, dan budaya
mengkaji dan menguji kembali lalu di sekolah non formal berbeda dengan
menghasilkan tindakan baru (Freire, 1998, p. pengalaman mereka di sekolah sebelumnya.
499). Akibat dari semua ini, tidak menutup
Remaja kurang beruntung di Indonesia kemungkinan peserta didik akan merasa
hidup di lingkungan yang miskin dan marjinal, teralienasi, seperti tidak berdaya dan tidak
yang menghalangi mereka mendapatkan akses memiliki aturan. Dalam upaya membebaskan
pendidikan yang layak. Mereka juga sering diri dari alienasi dan kondisi yang menindas,
terisolasi dari interaksi dengan masyarakat peserta didik di pendidikan non formal harus
secara luas, sehingga menghambat potensi untuk menemukan jati diri. Kenyataannya orang yang
mengembangkan diri. Disaat para remaja ini tertindas tidak “marjinal”, mereka tidak hidup di
mengenyam pengalaman belajar di pendidikan luar masyarakat (Freirem 1998). Kaum tertindas
non formal, kemungkinan besar mereka akan harus mengubah diri dari manusia yang ada
mengalami isolasi dari sistem pendidikan dan untuk keuntungan si penindas (being for others)
institusi pendidikan di sekitarnya. Stereotip menjadi subjek-subjek yang berinteraksi bagi
diekspresikan dengan memberikan label bahwa dirinya sendiri (being for themselves). Konsep
mereka adalah siswa “ dengan resiko” (at risk) pedagogi kritis dari Paulo Freire, berguna untuk
dan “tidak memiliki kapasitas” (non-capable) mengungkap kemungkinan peserta didik di
yang mungkin berujung pada perasaan satuan pendidikan non formal mengalami
tersisihkan dari komunitas pendidikan. Konsep kesadaran diri dan transformasi. Potensi
alienasi - kesadaran manusia yang telah dikuasai kesadaran kritis yang dimiliki tiap-tiap individu
atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis memberikan ruang bagi peserta didik untuk
yang ada diluar dirinya, sehingga manusia memahami bagaimana sistem pendidikan di
terpisah dari dunianya - menjelaskan keadaan jalur non formal berjalan, dan bagaimana sistem
peserta didik yang berada di jalur pendidikan tersebut memberikan pengaruh positif bagi masa
non formal. Konsep alienasi berkaitan dengan depan mereka.
hubungan atau interaksi peserta didik sebagai Konsep utama dari pedagogi kritis adalah
agen sosial dan struktur sosial yang lebih luas adanya kesadaran kritis (critical consciousness)
(Newman, 1981 dalam Taines, 2012). Alienasi peserta didik. Untuk mengidentifikasi apakah
terjadi ketika peserta didik di pendidikan non peserta didik mengalami proses penyadaran
formal tidak memahami keberadaannya dalam (consciousness) melalui pengalaman belajarnya,
lingkungan sekolah, ketika mereka melihat tiga komponen berikut ini dapat di ekplorasi; (i)
bahwa konten pendidikan tidak relevan untuk refleksi diri (self/reflection); (2) dialog dengan
mereka, dan ketika mereka merasa tersisih dari orang lain (others/dialogue); (iii)
komunitas belajar (Martin, 2008, pp. 35-36). aksi/transformasi (action/transformation)
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar (Freire, 1973). Kesadaran kritis salah satunya
peserta didik di jalur pendidikan non formal diperoleh melalui refleksi diri yang dilakukan
adalah mereka yang pernah mengalami secara terus menerus (Berta-Avila, 2003, p.
kegagalan dalam pendidikan sebelumnya, dan 123). Refleksi diri adalah proses yang unik
pengalaman ini tidak menyenangkan bagi dimana manusia mampu melakukan dialog
mereka. Sehingga, perlu untuk menginvestigasi dengan dirinya sendiri, melakukan refleksi

322
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

tentang kenyataan hidupnya dan dengan tindakan kritis (critical action). Akan
menghubungkannya dengan dunia di tetapi, tindakan kritis bergantung pada apa yang
sekelilingnya. Refleksi dapat terjadi ketika peserta didik alami di kelas.
peserta didik menyadari bahwa mereka adalah Dengan menggunakan pedagogi kritis
pemilik kehidupan bagi dirinya sendiri, sebagai kerangka berpikir (framework), kita
walaupun mengalami kesenangan dan kepedihan akan mampu melihat bahwa keputusan remaja
dalam proses belajar. Kegiatan refleksi bisa kurang beruntung yang kembali bersekolah
menjadi sarana untuk proses melepaskan diri adalah hasil dari proses conscientization, dan
dari masalah dan kepenatan. Dalam konteks di kesadaran kritis adalah faktor signifikan yang
Indonesia, praktik-praktik pembebasan jarang mempengaruhi keputusan tersebut. Faktor lain,
terjadi di institusi sosial seperti sekolah, karena seperti pengaruh budaya (contohnya keluarga
budaya diam telah dipengaruhi oleh praktik- dan masyarakat sekitar peserta didik yang
praktik hegemoni seperti aturan-aturan, moral, menjunjung tinggi nilai pendidikan), pengaruh
dan otoritas intelektual (Nuryanto, 2006, p. 62). pertemanan, atau karena takut menjadi
Konsensus politik dan ideologi yang pengangguran (karena terbatasnya lapangan
diterjemahkan kedalam kurikulum telah kerja), mungkin memotivasi remaja untuk
membatasi kebebasan peserta didik. kembali bersekolah. Namun, keputusan itu
Komponen utama berikutnya adalah diyakini datang dari sendiri melalui kesadaran
komunikasi antar peserta didik, yang diri sendiri karena sejatinya setiap individu
menandakan adanya komitmen untuk terbuka mampu mengenali peluang dan tantangan dalam
terhadap ide orang lain. Dialog menjadi praxis pendidikan.
(proses aksi dan refleksi) yang mendorong
peserta didik untuk bertindak dengan Hasil Belajar dari Pembelajaran Transformatif
kerendahan hati dan mendengarkan orang lain Pembelajaran transformatif adalah
untuk mengenali eksistensi orang lain. Freire pembelajaran yang menghendaki terjadinya
(1998) menekankan bahwa ide dan pengalaman perubahan cara berpikir atau mindset peserta
individu bukan satu-satunya yang ada dan didik. Perubahan mindset tersebut sering terjadi
diakui, tetapi kemampuan mendengarkan dan melalui proses sosial dimana peserta didik
berdiskusi menjadi hal penting agar setiap memahami bahwa hubungan sosial dan budaya
peserta didik bisa menjadi agen kemanusiaan. mempengaruhi kepercayaan dan perasaan
Akan tetapi, dalam konteks di Indonesia, mereka. Terdapat banyak bentuk hasil belajar
Sudiarja (2003, dalam Nuryanto, 2006) dari pembelajaran transformatif seperti yang
mengatakan bahwa tradisi indoktrinasi dalam dituliskan banyak literatur, termasuk
pendidikan masih dilakukan. Sebagai contoh, pemberdayaan terhadap diri sendiri, peningkatan
guru tidak menyediakan tempat untuk dialog kepercayaan diri dalam menjalankan peran dan
dengan peserta didik. Sebagai akibatnya, peserta hubungan baru, peduli dengan orang lain, dan
didik menerima saja apa yang diajarkan guru hubungan dengan orang lain (Taylor, 1997),
sebagai kebenaran. Konsep pedagogi kritis ini perubahan pada pemahaman terhadap diri
dapat digunakan sebagai kerangka berpikir sendiri, perubahan pada kepercayaan dan
untuk menemukan praktik-praktik proses perubahan pada tindakan (Clark & Wilson,
penyadaran (conscientization) dalam pendidikan 1991), pengembangan emosional, kemampuan
non formal, seperti mengidentifikasi refleksi dan berpikir kritis (Clark, 1993).
kemungkinan peserta didik memberikan makna Hasil dari pembelajaran transformatif ini
yang berbeda atas pengalaman belajarnya. berhubungan dengan pengembangan kognitif,
Komponen terakhir adalah perubahan psikososial dan aksi sosial. Hasil
aksi/transformasi, membantu peserta didik belajar yang berhubungan dengan
memahami faktor-faktor yang menghalangi perkembangan kognitif berkaitan dengan
perubahan sehingga mereka secara langsung perubahan perspektif peserta didik (Mezirow,
bekerja untuk memperbaikinya. Aksi adalah 1991). Melalui aktivitas refleksi kritis yang
tindakan individu yang memberikan efek dilakukan secara terus menerus, seseorang akan
terhadap perubahan sosial dan politik. Jika mengalami perubahan perspektif. Berdasarkan
seseorang merasakan bahwa mereka mampu pendekatan depth psychology yang
membuat perubahan, maka mereka akan terlibat

323
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

mengembangkan model pembelajaran pendidikan bertabiat hafalan dan perolehan


transformatif berdasarkan analitis (depth) kecakapan akademik yang disajikan dalam nilai
psychology Carl Jung (Boyd, 1988, 1994), prestasi siswa. Keberhasilan peserta didik,
individuasi (atau perkembangan psikologi menurut pandangan keduanya terletak pada
seseorang yang berkaitan dengan keunikan adanya perubahan cara siswa memaknai realitas
personalitas masing-masing individu) hidup dan pengalaman belajar sehingga menjadi
membangun kesadaran diri sebagai perubahan lebih reflektif, inklusif, dan toleran terhadap
perspektif. Sebaliknya, hasil pembelajaran pandangan orang lain namun tetap kritis dan
transformatif menurut pendekatan otonom (Mezirow, 1991). Untuk itu, perspektif
developmental (Kegan, 2000) dapat dilihat dari transformatif yang mengakar dari pemikiran
kemampuan seseorang yang lebih realistis Mezirow dan Freire sangat cocok digunakan
melihat dirinya sendiri. untuk menjelaskan pengalaman belajar remaja
Menjadi pembelajar yang otonom adalah kurang beruntung yang mengenyam pendidikan
tujuan dari pembelajaran transformatif, yang di jalur non formal. Konsep belajar dari
ditandai dengan kebebasan berpikir peserta didik pengalaman (pedagogy of experience) bertujuan
sebagai acuan dalam bertindak. Kebebasan untuk “freeing students from the oppressive
dalam berpikir akan meningkatkan kebebasan cultural frames of knowing by providing them
dalam bertindak. Informed action atau tindakan with new ways of claiming authority for their
yang penuh pertimbangan adalah kunci utama own experience” (Zavarrzadeh & Morton, 1994:
hasil pembelajaran transformatif. Mezirow 22). Peserta didik yang mampu menjustifikasi
(1991) menjelaskan bahwa perubahan perspektif pengalaman belajarnya adalah mereka yang
seseorang akan menjadi acuan untuk bertindak, terbebas dari pendindasan. Kerangka pedagogi
sehingga menghasilkan keputusan, perubahan kritis dapat menjelaskan isu-isu keterasingan
sikap, dan cara baru berinteraksi dengan dirinya, remaja kurang beruntung, dan bagaimana
orang lain dan lingkungannya. mereka kembali tertarik dan terlibat dalam
Pendidikan non formal akan menjadi pembelajaran dari sudut pandang
tempat (space) untuk transformasi bagi peserta critical/sociological perspective yang berakar
didik jika mereka mampu menjadi individu yang dari filsafat pendidikan Freirean. Teori-teori dan
otonom dan bertanggung jawab. Pencapaian praktik-praktik pendidikan yang mengakar dari
hasil belajar, menurut perspektif transformatif perspektif transformatif dan pedagogi kritis
tidak selalu ditandai dengan penguasaan memiliki tujuan bahwa pendidikan seharusnya
pengetahuan dan pengembangan keterampilan menstimulasi terjadinya perubahan sosial yang
yang mungkin sulit dicapai oleh peserta didik berakar pada pengalaman belajar siswa sebagai
karena terbatasnya sumber belajar (seperti proses peningkatan penyadaran. Artinya agenda
fasilitas, guru, dan kesediaan dana pendidikan). utama pendidikan non formal untuk anak dan
Tetapi, berakar pada komunikasi (critical remaja kurang beruntung (disadvantaged
discourse) dimana peserta didik mampu children and youth) adalah untuk
mengemukakan dan berargumen atas mengembangkan kesadaran kritis diantara kaum
keyakinannya, memberi bukti dan alasan akan marginal. Sehingga, tujuan penyelenggaraan
keyakinan dan argumen tersebut. Sejatinya, hasil pendidikan di jalur ini adalah membantu peserta
pembelajaran transformatif berhubungan dengan didik untuk mengerti dan memahami realitas
perubahan personal setiap individu yang hidup dengan cara yang kritis, meningkatkan
kompleks dan dalam yang mencakup dimensi- kepercayaan diri, dan menstimulasi mereka
dimensi belajar, seperti kognisi, emosi, untuk mengenali kapasitas diri serta dapat
hubungan dengan orang lain dan lingkungan, mempertahankan identitas dirinya untuk
serta keyakinan spiritual. membuka kemungkinan-kemungkinan dan
peluang-peluang di masa depan.
Perspektif Transformatif: Kontribusi Mezirow Kerangka perspektif transformatif akan
dan Freire dalam Memaknai Pengalaman bermanfaat untuk menjawab pertanyaan-
Belajar di Pendidikan Non Formal pertanyaan yang mengeksplorasi arti dan makna
Baik Mezirow maupun Freire, keduanya pengalaman belajar yang dialami peserta didik
sepakat bahwa proses pembelajaran melampaui di satuan pendidikan non formal. Misalnya,
pertanyaan-pertanyaan tersebut berupa; (i)

324
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

bagaimana peserta didik yang telah mengalami dengan adanya keterlibatan aktif peserta didik
putus sekolah kembali memiliki ketertarikan dalam proses belajar, sehingga hal ini
untuk terlibat aktif (engage) dengan menunjukkan terjadinya efektifitas belajar dan
pembelajaran? (ii) apa kesempatan dan peluang menstimulasi adanya peluang untuk membuat
masa depan yang ditawarkan oleh pengalaman prediksi kehidupan di masa depan.
belajar di pendidikan non formal bagi remaja
kurang beruntung.? Dengan pertanyaan- Saran
pertanyaan yang menganalisis pengalaman Refleksi diri secara kritis (critical self-
belajar peserta didik, diharapkan kerangka teori reflection) adalah elemen penting dari perspektif
perspektif transformatif dapat membantu peserta transformatif, yang melibatkan pemecahan
didik menganalisis masalah mereka sendiri, masalah (problem solving), hadap masalah
memahami latar belakang sosialnya, keadaan (problem posing) dan perubahan perspektif
sekolahnya, dan mengenali tantangan yang (perspective change). Hal ini menimbulkan
dihadapinya. Suara peserta didik juga dapat konsekuensi jika peneliti ingin menggunakan
digunakan untuk memotivasi adanya tindakan kerangka teori perspektif transformatif dalam
sosial dan mendorong adanya perubahan di mengungkap pengalaman belajar peserta didik
tingkat institusi atau lembaga. di satuan pendidikan non formal. Peneliti harus
mengajak subjek penelitiannya untuk berpikir
PENUTUP kritis, untuk menantang status quo, untuk
Simpulan mempertanyakan norma sosial, dan untuk
Perspektif transformatif yang berasal dari melihat cara-cara alternatif. Akan tetapi,
teori pembelajaran transformatif dan pedagogi mungkin tidak semua peserta atau subjek
kritis baik digunakan untuk merumuskan penelitian mampu mengartikulasikan
kerangka konsep kita dalam mencari cara yang perasaannya, khususnya bagi mereka yang
berbeda untuk menilai keberhasilan belajar berasal dari pedesaan yang terbiasa untuk tidak
peserta didik. Penggunaan kerangka konsep ini memprotes segala sesuatu.
memungkinkan calon peneliti untuk
menempatkan subjek penelitiannya sebagai UCAPAN TERIMA KASIH
individu yang mampu menentukan pilihan, Kajian literatur ini merupakan bagian dari
walaupun keadaan dirinya dan lingkungannya studi besar yang dilakukan penulis pada kurun
kurang mendukung (Elias, 2005). Kedua teori waktu 2012-2016. Ucapan terima kasih penulis
yaitu pembelajaran transformatif dan pedagogi haturkan untuk Direktorat Jenderal Sumber
kritis juga memberikan perspektif dan Daya IPTEK dan DIKTI yang telah memberi
penjelasan yang berbeda tentang bagaimana dukungan moril dan materil.
pengalaman belajar menjadi transformatif.
Transformasi dalam belajar memiliki arti bahwa DAF`TAR PUSTAKA
setiap peserta didik belajar untuk bernegosiasi Berta-Avila, M. (2003) The pocess of
dan bertindak sesuai dengan tujuan, nilai, conscientization: Xicanas/Xicanos
perasaan, dan makna yang dimilikinya ketika experiences in claiming authentic voice.
pembelajaran tersebut berlangsung, dari pada Journal of Hispanic Higher Education, 2(2),
selalu menerima apa yang dikatakan dan 177-128
diperintahkan guru kepadanya. Kedua teori
sama-sama menekankan pentingnya refleksi diri Boyd, R. D. (1994). Personal transformation in
dan dialog (discourse) untuk mencari arti small groups: Part 1. Small Group Research,
(meaning) atas pengalaman belajar. Penggunaan 20(4), 459-474
perspektif transformatif juga dapat dijadikan Clark, M. C. (1993). Transformational learning.
untuk memprediksi adanya dampak New Directions for Adult and Continuing
pembelajaran (impact of learning). Namun, Education, 1993(57), 47-56
dampak pembelajaran tersebut tidak ditunjukkan
dengan cara-cara tradisional, seperti menilai Clark, M. C., & Wilson, A. L. (1991). Context
kemampuan peserta didik dalam menjalankan and rationality in Mezirow‟s theory of
tugas-tugas belajar. Akan tetapi, ditunjukkan transformational learning. Adult Education
Quarterly, 41(2), 75-91

325
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6

Freire, P. (1973). Education for critical Mezirow, J. (1996). Contemporary paradigms of


consciousness. New York, NY: Seabury learning. Adult Education Quarterly, 46(3),
Press 158-172
Freire, P. (1998). The Paulo Freire reader. New Mezirow, J. (1998). On critical reflection. Adult
York, NY: Continuum. Wducation Quarterly, 48(3), 185-198
Harvey, L., & Knight, P. (1996). Transforming Mezirow, J. (2000). Learning as transformation:
higher education. Buckingham, England: Critical perspectives on a theory in progress.
Open University Press. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
International Labour Organisation. (2011). Nuryanto, M. A. (2006). Education and social
Equivalency education and decent work. transformation: Investigating the influence
International Labour Organisasion Jakarta. and reception of Paulo Freire in Indonesia.
Diakses dari http://www.ilo.org/jakarta (Doctor of Philosophy). McGill University,
Canada. Retreived from
Irwanto, Hendriaty, A., & Hestyanti, Y. R.
http://www.collectionscanada.gc.ca
(2001). Alternative education for
disadvantaged youth in Indonesia. Sirimorok, N. (2010). Membangun Kesadaran
International Institute for Educational Kritis: Kisah Pembelajaran Partisipatif Orang
Planning/UNESCO. Diakses dari Muda. Yogyakarta: Insist Press.
http://www.unesco.org/iiep
Syaukani, A. A. (2008). Pengaruh media
Kegan, R. (2000). What form transforms? A pembelajaran dan kreativitas terhadap hasil
constructive-developmental approach to belajar IPA Paket B setara SMP di DKI
transformative learning. Dalam J. Mezirow Jakarta. Jurnal Teknologi Pendidikan.
(Ed).) Learning as transformation: Critical Diakses dari http://isjd.pdii.lipi.go.ig
perspective on a theory in progress. San
Taines, C. (2012). Intervening in alienation: The
Francisco, CA: Jossey-Bass.
outcomes for urban youth of participating in
Martin, J. (2008). Pedagogy of the alienated: school activism. American Educational
Can Freirean teaching reach working-class Research Journal, 49(1). 53-86
student? Equity & Excellence in Education,
Taylor, E. W. (1997). Building upon the
41(1), 31-44
theoretical debate: A critical review of the
Mezirow, J. (1978). Education for perspective empirical studies of Mezirow‟s
transformation. Women re-entry programs in transformative learning theory. Adult
community college. New York, NY: Center Education Quarterly, 48(1), 34-59
for Adult Education, Teacher College,
Zyngier, D. (2008). (Re)conceptualising student
Columbia University.
engagement: Doing education not doing
Mezirow, J. (1991). Transformative dimensions time. Teaching and Teacher Education,
of adult learning (1st ed.). San Francisco, CA: 24(7), 1976
Jossey-Bass.

326

Anda mungkin juga menyukai