Konsep Pengalaman Belajar Dalam Perspektif Transformatif
Konsep Pengalaman Belajar Dalam Perspektif Transformatif
ISBN 978-602-19411-2-6
Ila Rosmilawati
Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
irosmilawati@gmail.com
Abstrak
Keterlibatan dalam belajar (learning engagement) merupakan proses transformative jika peserta
didik mengalami perubahan diri melalui proses belajar. Perubahan diperoleh dari proses berpikir
kritis dan refleksi terhadap perilaku dan pengetahuan yang didapat, yang berkontribusi pada proses
pemberdayaan diri (Harvey & Knight, 2006). Bagi peserta didik yang mengikuti proses belajar
melalui pendidikan non formal, efektivitas belajar mungkin akan sulit didapatkan. Kualitas proses
dan hasil pembelajaran dalam pendidikan non formal dianggap lebih rendah dibanding pendidikan
formal. Untuk itu, dapat dimengerti jika para siswa dan masyarakat menilai rendah pendidikan non
formal. Hal ini disebabkan karena kualitas pembelajaran hanya dilihat dari pendekatan
instrumentalist, yaitu dari performansi akademik siswa (Zingier, 2008). Hasil kajian literatur
tentang perspektif transformatif akan menjelaskan bagaimana para siswa diberi kesempatan untuk
mengenali potensi perubahan dalam diri menuju pribadi yang otonom. Kajian teori pembelajaran
transformatif (Mezirow, 1991) dan pedagogi kritis (Freire, 1973) akan memberikan kerangka
berpikir yang berguna untuk menganalisis dan mengidentifikasi kemungkinan siswa kurang
beruntung untuk bisa mengalami transformasi sebagai pembelajar. Berdasarkan konsep perspektif
transformatif, setiap siswa memiliki kapasitas untuk memberi makna pengalaman belajar yang
dialaminya. Setiap siswa akan mampu meyakini bahwa pengalaman belajar di pendidikan non
formal menawarkan konsep yang berbeda, melebihi pendekatan instrumentalist. Yaitu para siswa
memiliki kapasitas untuk melihat, menginterpretasi, mengkritisi, dan menemukan arti atau
perspektif baru tentang pengalaman belajar dalam kerangka masyarakat yang adil dan demokratis.
Kata Kunci: pembelajaran transformatif, pedagogi kritis, pengalaman belajar, pendidikan non
formal
Abstract
Learning engagement is seen as a transformative process if the students experience self-change
through learning, which is result of thinking critically and reflecting on their behaviour and
knowledge that contribute of self-empowerment (Harvey & Knight, 1996). For Indonesia
disadvantaged students who experience learning at non formal education) it might not be the case.
Quality of learning experience and outcomes in non formal education are not held to the same
accountability standards as the mainstream school. Therefore, I understand that if the students and
society undervalues the non formal education system, learning quality can be viewed as
instrumental or rationally technical, which is standard of learning outcomes based only on
academic performance (Zingier, 2008). However, through the framework of perspective
transformation, it is allow an opportunity for students to recognise self-transformation as a learner.
The theories of transformative learning (Mezirow, 1991) and critical pedagogy (Freire, 1973) are
useful lenses to examine for identifying the possibility of disadvantaged students witnessing
transformative experience. Based on these theories, every student can make their own meaning of
the process of re-engagement in learning because each has the capacity to examine their own
experience. The students will come to belief that the non formal education offers a “different”
learning experience beyond the instrumentalist approach in which students come to perceive,
interpret, criticise and reflect their learning experience for more just and democratic society.
Keywords: transformative learning, critical pedagogy, learning experience, non formal education
317
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
318
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
319
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
(1978) terhadap kelompok wanita yang kembali perspektif transformatif yang dikembangkan
bersekolah setelah dalam kurun waktu yang oleh Mezirow. Mezirow adalah salah satu murid
lama telah meninggalkan bangku sekolah. Salah Habermas yang mengatakan bahwa perspektif,
satu dari sampel penelitian Mezirow adalah asumsi, kepercayaan tumbuh karena pengaruh
istrinya sendiri. Penelitian ini berfokus pada ideologi dominan suatu masyarakat (Habermas,
perubahan peran dan konsep diri yang dialami 1987). Ideologi mempengaruhi individu dan
oleh para wanita sebagai hasil dari proses dipakai oleh individu untuk memaknai
pembelajaran. Studi ini menemukan bahwa pengalaman hidupnya. Sebagai contoh, jika
seiring dengan berkembangnya kesadaran kritis ideologi dominan suatu masyarakat adalah
para wanita sebagai hasil dari pengalaman kapitalisme, maka masyarakat akan memandang
pembelajaran setelah kembali ke bangku perolehan materi dan kesejahteraan sebagai
sekolah, asumsi dan cara berpikir (frame of pokok kehidupan. Dalam hal ini, ideologi
reference) mengalami perubahan, yang dominan dianggap sebagai dasar dan cara untuk
kemudian Mezirow menyebutnya sebagai berpikir dan bertindak. Sebaliknya, jika
„perspektif transformatif‟ (perspective seseorang mampu mengenali bahwa asumsi-
transformation) (Mezirow, 2000, p. xi). Hasil asumsi dan kepercayaan-kepercayaan tersebut
penelitian Mezirow tentang wanita yang kembali tidak sesuai dengan cara pandangnya, maka dia
bersekolah sejalan dengan fenomena remaja telah memasuki suatu proses pembelajaran
Indonesia yang memutuskan kembali bersekolah (learning), dimana hal ini akan bermuara pada
melalui jalur alternatif, salah satunya melalui terbentuknya cara pandang atau perspektif baru.
pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan Proses belajar inilah yang menjadi tujuan
didesain melayani anak dan remaja yang telah pencapaian pembelajaran transformatif, yaitu
meninggalkan sekolah formal tanpa adanya perubahan kerangka acuan berpikir
menyelesaikan pendidikannya. Para remaja (frame of reference) peserta didik yang
kurang beruntung ini, sebagian dari mereka merupakan hasil dari refleksi atas pengalaman
memilih untuk kembali bersekolah, seperti belajarnya.
halnya para perempuan dalam penelitian Pembelajaran transformatif adalah proses
Mezirow. Kemungkinan terjadinya kesamaan perubahan makna lama yang dimiliki seseorang
akan adanya perubahan cara pandang, menuju makna baru berdasarkan hasil dari revisi
pemahaman dan pemaknaan pengalaman hidup interpretasi makna pengalaman sebagai acuan
oleh para remaja di pendidikan non formal, tindakan dimasa mendatang (Mezirow, 1996, p.
maka mengkaji teori ini sangat berguna untuk 162). Individu yang bertransformasi menjadi
membantu para pemerhati pendidikan alternatif pembelajar adalah individu yang mampu
untuk menginterpretasi makna pengalaman mengarahkan diri sendiri, kritis dan mampu
belajar. berpikir secara otonom (Simorok, 2010, 47-48).
Filosofi pembelajaran transformatif Proses transformasi ini dapat dicapai melalui
berangkat dari paradigma konstruktivisme, empat cara; (i) mengelaborasi kerangka acuan
humanisme dan teori sosial kritis. Asumsi dasar berpikir saat ini (existing frame of reference);
konstruktivisme adalah bahwa setiap manusia (ii) mempelajari kerangka acuan berpikir baru
mampu memaknai dirinya sendiri berdasarkan (new frame of reference); (iii) mengubah cara
hasil interaksi dengan orang lain dibandingkan pandang (points of view); atau mengubah
dengan pengaruh dari luar (Mezirow, 1991, p. kebiasaan berpikir (habits of mind) (Mezirow
xiv). Untuk itu, pembelajaran transformatif 2012, 2012, p. 84). Yang dimaksud Mezirow
merupakan proses pembentukan, evaluasi, dan tentang kerangka acuan berpikir (frame of
revisi terhadap asumsi dan persepsi pembelajar reference) adalah struktur asumsi yang
terhadap apa yang dialami dan dipelajarinya. membatasi persepsi, kognisi dan perasaan
Kemudian, filosofi humanistik yang menjadi individu (Mezirow, 1997, p. 5). Perubahan
cikal bakal teori pembelajaran transformatif juga perspektif atau kerangka acuan berpikir akan
berkeyakinan bahwa setiap manusia mampu menghasilkan perubahan cara berprilaku dan
menentukan pilihan. Prinsip filsafat pendidikan bertindak (Cranton, 1994, p. 730). Kebiasaan
humanisme berdasarkan pada eksistensi setiap berpikir (habit of mind) adalah kumpulan asumsi
individu dan kebutuhan manusia. Selanjutnya, yang bertindak sebagai penyaring atau filter
teori sosial kritis memiliki pengaruh pada ketika kita memaknai pengalaman belajar dan
320
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
hidup. Hal ini selanjutnya akan menjadikan cara 10. Integrasi kehidupan dengan perspektif baru
pandang (point of view) – yaitu expektasi, (reintegrating into one’s life on the basis of
kepercayaan, perasaan, sikap dan penilaian - conditions dictated by one’s new
mempengaruhi kita dalam menginterpretasikan perspective).
dan mengevaluasi pengalaman belajar kita.
Berdasarkan kesepuluh tahapan proses
Peserta didik di pendidikan non formal secara
transformasi, ada dua fase yang menjadi krusial;
tidak langsung telah disosialisasikan oleh
(i) disorientasi atau dilema (disorienting
masyarakat secara umum bahwa pengalaman
dilemma: tahap 1), dan refleksi diri secara kritis
belajar di sekolah bukan arus utama, tidak akan
(berkaitan dengan tahap 2-10). Disorientasi
sama atau bahkan lebih rendah kualitasnya
dijelaskan sebagai perasaan bahwa pengalaman
dibandingkan dengan pengalaman belajar yang
atau kenyataan tidak sesuai dengan ekspekstasi,
ditawarkan sekolah formal. Sosialisasi tersebut
dan mempengaruhi emosi seseorang. Tahap
membentuk kebiasaan berpikir peserta didik,
selanjutnya, yaitu refleksi diri secara kritis
yang kemudian akan mempengaruhi bagaimana
melibatkan pengujian terhadap faktor-faktor
mereka menilai pengalaman belajarnya di
yang mempengaruhi perubahan perspektif
pendidikan non formal.
individu. Hal ini merupakan proses dimana
Mezirow (2000) berdasarkan hasil
seseorang berusaha menjustifikasi
penelitiannya kemudian mengidentifikasi proses
kepercayaannya, baik secara rasional ataupun
terjadinya perubahan (transformasi) seseorang
emosional, menguji asumsi-asumsi atau melalui
melalui 10 tahap:
dialog dengan orang lain. Elemen sentral dari
1. Mengalami disorientasi atau dilemma
perspektif transformatif adalah refleksi diri
(experiencing a disorienting dilemma).
secara kritis. Misalnya, ketika remaja putus
2. Menguji perasaan bersalah atau malu oleh
sekolah kemudian memutuskan kembali ke
diri sendiri (self-examining feelings of guilt
sekolah, dia mungkin akan bertanya pada
or shame).
dirinya sendiri tentang keputusannya tersebut;
3. Menguji asumsi-asumsi secara kritis
“mengapa saya harus kembali bersekolah?
(assessing assumptions critically).
Apakah ini berguna untuk kehidupan saya
4. Mengetahui bahwa ketidakpuasan dan
dimasa mendatang?”. Bertanya pada diri sendiri
proses transformasi dapat dibagi atau
adalah proses awal terjadinya refleksi diri untuk
dikomunikasikan dengan orang lain, dan
mencari jawaban akan ketidakpastian dan
menegosiasikan perubahan yang sama
ketakutan di masa mendatang atau karena
(recognizing that one’s discontent and
perasaan kurang nyaman akan kemampuan
process of transformation are shared, and
akademiknya setelah putus sekolah. Begitu juga
that others have negotiated a similar
ketika peserta didik sedang mengalami proses
change).
belajar, proses refleksi berada pada usaha untuk
5. Melakukan penjajakan terhadap pilihan-
mencari jalan keluar atau strategi jika orang
pilikan akan peran, hubungan, dan tidakan
tersebut menemukan kesulitan dalam belajar.
baru (exploring options for new roles,
Peserta didik mungkin akan bertanya kepada
relationshoips and actions).
dirinya sendiri; “apakah saya telah salah
6. Merencanakan tindakan (planning a course
menginterpretasikan apa yang telah guru
of action).
jelaskan?.” Begitu juga ketika peserta didik
7. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan
merasa asing di tengah-tengah komunitas
untuk mengimplementasikan rencana
sekolah barunya, dia mungkin akan bertanya;
(acquiring knowledge and skills for
“apakah normal jika saya merasakan bahwa
implementing one’s plan).
saya tidak diterima atau mendapatkan tempat di
8. Mencoba peran baru (trying out new roles
komunitas sekolah in?i.” Pertanyaan-pertanyaan
provisionally).
refleksi ini muncul sebagai tanda adanya potensi
9. Membangun kompetensi dan kepercayaan
seseorang untuk mengubah kebiasaan berpikir
diri dalam peran dan hubungan baru
(habit of the mind). Refleksi diri dapat
(building competence and self-confidence
membentuk reaksi atau tindakan yang bermuara
in new roles and relationships).
pada terjadinya proses transformasi, yaitu
perubahan kerangka acuan berpikir (frame of
321
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
reference) atau kebiasaan berpikir (habit of lebih lanjut apakah pengalaman belajar mereka
mind). saat ini masih mengalienasi atau justru
sebaliknya, mereka terlibat aktif dalam
Pedagogi Kritis
pengalaman belajar yang baru.
Perspektif transformatif juga berangkat dari Pendidikan formal sebagai pendidikan arus
filsafat utama pendidikan Freire, yaitu konsep utama telah mengajarkan peserta didiknya untuk
conscientization; suatu perubahan kesadaraan berkompetisi agar memenuhi standar pendidikan
dari rasa menerima kenyataan dan realitas hidup yang sudah di desain. Kurikulum tersembunyi
menjadi percaya bahwa realitas hidup dapat pada pendidikan formal di Indonesia termasuk
diubah. Bagi Freire, pendidikan adalah sebagai prestasi, disiplin dan mandiri. Dengan berbekal
praksis (aksi dan refleksi) pembebasan. Dasar pengalaman belajar sebelumnya di sekolah
pemikiran Freire adalah bahwa setiap manusia formal, akan mempengaruhi cara berpikir
memiliki kemampuan untuk memilih, menguji, peserta didik bahwa etos kerja, nilai, dan budaya
mengkaji dan menguji kembali lalu di sekolah non formal berbeda dengan
menghasilkan tindakan baru (Freire, 1998, p. pengalaman mereka di sekolah sebelumnya.
499). Akibat dari semua ini, tidak menutup
Remaja kurang beruntung di Indonesia kemungkinan peserta didik akan merasa
hidup di lingkungan yang miskin dan marjinal, teralienasi, seperti tidak berdaya dan tidak
yang menghalangi mereka mendapatkan akses memiliki aturan. Dalam upaya membebaskan
pendidikan yang layak. Mereka juga sering diri dari alienasi dan kondisi yang menindas,
terisolasi dari interaksi dengan masyarakat peserta didik di pendidikan non formal harus
secara luas, sehingga menghambat potensi untuk menemukan jati diri. Kenyataannya orang yang
mengembangkan diri. Disaat para remaja ini tertindas tidak “marjinal”, mereka tidak hidup di
mengenyam pengalaman belajar di pendidikan luar masyarakat (Freirem 1998). Kaum tertindas
non formal, kemungkinan besar mereka akan harus mengubah diri dari manusia yang ada
mengalami isolasi dari sistem pendidikan dan untuk keuntungan si penindas (being for others)
institusi pendidikan di sekitarnya. Stereotip menjadi subjek-subjek yang berinteraksi bagi
diekspresikan dengan memberikan label bahwa dirinya sendiri (being for themselves). Konsep
mereka adalah siswa “ dengan resiko” (at risk) pedagogi kritis dari Paulo Freire, berguna untuk
dan “tidak memiliki kapasitas” (non-capable) mengungkap kemungkinan peserta didik di
yang mungkin berujung pada perasaan satuan pendidikan non formal mengalami
tersisihkan dari komunitas pendidikan. Konsep kesadaran diri dan transformasi. Potensi
alienasi - kesadaran manusia yang telah dikuasai kesadaran kritis yang dimiliki tiap-tiap individu
atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis memberikan ruang bagi peserta didik untuk
yang ada diluar dirinya, sehingga manusia memahami bagaimana sistem pendidikan di
terpisah dari dunianya - menjelaskan keadaan jalur non formal berjalan, dan bagaimana sistem
peserta didik yang berada di jalur pendidikan tersebut memberikan pengaruh positif bagi masa
non formal. Konsep alienasi berkaitan dengan depan mereka.
hubungan atau interaksi peserta didik sebagai Konsep utama dari pedagogi kritis adalah
agen sosial dan struktur sosial yang lebih luas adanya kesadaran kritis (critical consciousness)
(Newman, 1981 dalam Taines, 2012). Alienasi peserta didik. Untuk mengidentifikasi apakah
terjadi ketika peserta didik di pendidikan non peserta didik mengalami proses penyadaran
formal tidak memahami keberadaannya dalam (consciousness) melalui pengalaman belajarnya,
lingkungan sekolah, ketika mereka melihat tiga komponen berikut ini dapat di ekplorasi; (i)
bahwa konten pendidikan tidak relevan untuk refleksi diri (self/reflection); (2) dialog dengan
mereka, dan ketika mereka merasa tersisih dari orang lain (others/dialogue); (iii)
komunitas belajar (Martin, 2008, pp. 35-36). aksi/transformasi (action/transformation)
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar (Freire, 1973). Kesadaran kritis salah satunya
peserta didik di jalur pendidikan non formal diperoleh melalui refleksi diri yang dilakukan
adalah mereka yang pernah mengalami secara terus menerus (Berta-Avila, 2003, p.
kegagalan dalam pendidikan sebelumnya, dan 123). Refleksi diri adalah proses yang unik
pengalaman ini tidak menyenangkan bagi dimana manusia mampu melakukan dialog
mereka. Sehingga, perlu untuk menginvestigasi dengan dirinya sendiri, melakukan refleksi
322
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
tentang kenyataan hidupnya dan dengan tindakan kritis (critical action). Akan
menghubungkannya dengan dunia di tetapi, tindakan kritis bergantung pada apa yang
sekelilingnya. Refleksi dapat terjadi ketika peserta didik alami di kelas.
peserta didik menyadari bahwa mereka adalah Dengan menggunakan pedagogi kritis
pemilik kehidupan bagi dirinya sendiri, sebagai kerangka berpikir (framework), kita
walaupun mengalami kesenangan dan kepedihan akan mampu melihat bahwa keputusan remaja
dalam proses belajar. Kegiatan refleksi bisa kurang beruntung yang kembali bersekolah
menjadi sarana untuk proses melepaskan diri adalah hasil dari proses conscientization, dan
dari masalah dan kepenatan. Dalam konteks di kesadaran kritis adalah faktor signifikan yang
Indonesia, praktik-praktik pembebasan jarang mempengaruhi keputusan tersebut. Faktor lain,
terjadi di institusi sosial seperti sekolah, karena seperti pengaruh budaya (contohnya keluarga
budaya diam telah dipengaruhi oleh praktik- dan masyarakat sekitar peserta didik yang
praktik hegemoni seperti aturan-aturan, moral, menjunjung tinggi nilai pendidikan), pengaruh
dan otoritas intelektual (Nuryanto, 2006, p. 62). pertemanan, atau karena takut menjadi
Konsensus politik dan ideologi yang pengangguran (karena terbatasnya lapangan
diterjemahkan kedalam kurikulum telah kerja), mungkin memotivasi remaja untuk
membatasi kebebasan peserta didik. kembali bersekolah. Namun, keputusan itu
Komponen utama berikutnya adalah diyakini datang dari sendiri melalui kesadaran
komunikasi antar peserta didik, yang diri sendiri karena sejatinya setiap individu
menandakan adanya komitmen untuk terbuka mampu mengenali peluang dan tantangan dalam
terhadap ide orang lain. Dialog menjadi praxis pendidikan.
(proses aksi dan refleksi) yang mendorong
peserta didik untuk bertindak dengan Hasil Belajar dari Pembelajaran Transformatif
kerendahan hati dan mendengarkan orang lain Pembelajaran transformatif adalah
untuk mengenali eksistensi orang lain. Freire pembelajaran yang menghendaki terjadinya
(1998) menekankan bahwa ide dan pengalaman perubahan cara berpikir atau mindset peserta
individu bukan satu-satunya yang ada dan didik. Perubahan mindset tersebut sering terjadi
diakui, tetapi kemampuan mendengarkan dan melalui proses sosial dimana peserta didik
berdiskusi menjadi hal penting agar setiap memahami bahwa hubungan sosial dan budaya
peserta didik bisa menjadi agen kemanusiaan. mempengaruhi kepercayaan dan perasaan
Akan tetapi, dalam konteks di Indonesia, mereka. Terdapat banyak bentuk hasil belajar
Sudiarja (2003, dalam Nuryanto, 2006) dari pembelajaran transformatif seperti yang
mengatakan bahwa tradisi indoktrinasi dalam dituliskan banyak literatur, termasuk
pendidikan masih dilakukan. Sebagai contoh, pemberdayaan terhadap diri sendiri, peningkatan
guru tidak menyediakan tempat untuk dialog kepercayaan diri dalam menjalankan peran dan
dengan peserta didik. Sebagai akibatnya, peserta hubungan baru, peduli dengan orang lain, dan
didik menerima saja apa yang diajarkan guru hubungan dengan orang lain (Taylor, 1997),
sebagai kebenaran. Konsep pedagogi kritis ini perubahan pada pemahaman terhadap diri
dapat digunakan sebagai kerangka berpikir sendiri, perubahan pada kepercayaan dan
untuk menemukan praktik-praktik proses perubahan pada tindakan (Clark & Wilson,
penyadaran (conscientization) dalam pendidikan 1991), pengembangan emosional, kemampuan
non formal, seperti mengidentifikasi refleksi dan berpikir kritis (Clark, 1993).
kemungkinan peserta didik memberikan makna Hasil dari pembelajaran transformatif ini
yang berbeda atas pengalaman belajarnya. berhubungan dengan pengembangan kognitif,
Komponen terakhir adalah perubahan psikososial dan aksi sosial. Hasil
aksi/transformasi, membantu peserta didik belajar yang berhubungan dengan
memahami faktor-faktor yang menghalangi perkembangan kognitif berkaitan dengan
perubahan sehingga mereka secara langsung perubahan perspektif peserta didik (Mezirow,
bekerja untuk memperbaikinya. Aksi adalah 1991). Melalui aktivitas refleksi kritis yang
tindakan individu yang memberikan efek dilakukan secara terus menerus, seseorang akan
terhadap perubahan sosial dan politik. Jika mengalami perubahan perspektif. Berdasarkan
seseorang merasakan bahwa mereka mampu pendekatan depth psychology yang
membuat perubahan, maka mereka akan terlibat
323
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
324
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
bagaimana peserta didik yang telah mengalami dengan adanya keterlibatan aktif peserta didik
putus sekolah kembali memiliki ketertarikan dalam proses belajar, sehingga hal ini
untuk terlibat aktif (engage) dengan menunjukkan terjadinya efektifitas belajar dan
pembelajaran? (ii) apa kesempatan dan peluang menstimulasi adanya peluang untuk membuat
masa depan yang ditawarkan oleh pengalaman prediksi kehidupan di masa depan.
belajar di pendidikan non formal bagi remaja
kurang beruntung.? Dengan pertanyaan- Saran
pertanyaan yang menganalisis pengalaman Refleksi diri secara kritis (critical self-
belajar peserta didik, diharapkan kerangka teori reflection) adalah elemen penting dari perspektif
perspektif transformatif dapat membantu peserta transformatif, yang melibatkan pemecahan
didik menganalisis masalah mereka sendiri, masalah (problem solving), hadap masalah
memahami latar belakang sosialnya, keadaan (problem posing) dan perubahan perspektif
sekolahnya, dan mengenali tantangan yang (perspective change). Hal ini menimbulkan
dihadapinya. Suara peserta didik juga dapat konsekuensi jika peneliti ingin menggunakan
digunakan untuk memotivasi adanya tindakan kerangka teori perspektif transformatif dalam
sosial dan mendorong adanya perubahan di mengungkap pengalaman belajar peserta didik
tingkat institusi atau lembaga. di satuan pendidikan non formal. Peneliti harus
mengajak subjek penelitiannya untuk berpikir
PENUTUP kritis, untuk menantang status quo, untuk
Simpulan mempertanyakan norma sosial, dan untuk
Perspektif transformatif yang berasal dari melihat cara-cara alternatif. Akan tetapi,
teori pembelajaran transformatif dan pedagogi mungkin tidak semua peserta atau subjek
kritis baik digunakan untuk merumuskan penelitian mampu mengartikulasikan
kerangka konsep kita dalam mencari cara yang perasaannya, khususnya bagi mereka yang
berbeda untuk menilai keberhasilan belajar berasal dari pedesaan yang terbiasa untuk tidak
peserta didik. Penggunaan kerangka konsep ini memprotes segala sesuatu.
memungkinkan calon peneliti untuk
menempatkan subjek penelitiannya sebagai UCAPAN TERIMA KASIH
individu yang mampu menentukan pilihan, Kajian literatur ini merupakan bagian dari
walaupun keadaan dirinya dan lingkungannya studi besar yang dilakukan penulis pada kurun
kurang mendukung (Elias, 2005). Kedua teori waktu 2012-2016. Ucapan terima kasih penulis
yaitu pembelajaran transformatif dan pedagogi haturkan untuk Direktorat Jenderal Sumber
kritis juga memberikan perspektif dan Daya IPTEK dan DIKTI yang telah memberi
penjelasan yang berbeda tentang bagaimana dukungan moril dan materil.
pengalaman belajar menjadi transformatif.
Transformasi dalam belajar memiliki arti bahwa DAF`TAR PUSTAKA
setiap peserta didik belajar untuk bernegosiasi Berta-Avila, M. (2003) The pocess of
dan bertindak sesuai dengan tujuan, nilai, conscientization: Xicanas/Xicanos
perasaan, dan makna yang dimilikinya ketika experiences in claiming authentic voice.
pembelajaran tersebut berlangsung, dari pada Journal of Hispanic Higher Education, 2(2),
selalu menerima apa yang dikatakan dan 177-128
diperintahkan guru kepadanya. Kedua teori
sama-sama menekankan pentingnya refleksi diri Boyd, R. D. (1994). Personal transformation in
dan dialog (discourse) untuk mencari arti small groups: Part 1. Small Group Research,
(meaning) atas pengalaman belajar. Penggunaan 20(4), 459-474
perspektif transformatif juga dapat dijadikan Clark, M. C. (1993). Transformational learning.
untuk memprediksi adanya dampak New Directions for Adult and Continuing
pembelajaran (impact of learning). Namun, Education, 1993(57), 47-56
dampak pembelajaran tersebut tidak ditunjukkan
dengan cara-cara tradisional, seperti menilai Clark, M. C., & Wilson, A. L. (1991). Context
kemampuan peserta didik dalam menjalankan and rationality in Mezirow‟s theory of
tugas-tugas belajar. Akan tetapi, ditunjukkan transformational learning. Adult Education
Quarterly, 41(2), 75-91
325
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNTIRTA 2017
ISBN 978-602-19411-2-6
326