Anda di halaman 1dari 17

Vol. 1, No. 1, 2019, pp.

17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

IMPLIKASI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TRANSFORMATIF


DALAMPEMBELAJARAN AGAMA DI PESANTREN
Ibrahim, M.A1
1
Prodi Manajemen Pendidikan Islam STITNU Sakinah Dharmasraya

Article Info ABSTRACT


Article history: The transformative learning Model requires transforming institutional
Received Agust 21th, 2019 management, relationship patterns, and building critical and progressive
Revised Aug 30th, 20119 minds among learners. Its application in Pesantren will give implications, both
Accepted Sept 26th, 2019 positive and negative, let alone the pesantren that has its own distinction and
charisma. To present this writing, the authors use a descriptive approach and
analysis of hermeneutics-philosophical, philosophical and theoretical
Keyword: approaches of psychological. Among the implications of Pesantren-from the
Implikasi plus side-is the progression of the management of the institution and the
Transformatif logical power, while the downside is the educational distinksi management
and Pesantren pattern, Kiai and students relationship patterns as well as the development of
liberal humanism, if applied in full. However, this can be minimized by the
formulation of a collaborative and transactional learning implementation.

Corresponding Author:
Ibrahim, M.A,
Email: ibrahimmustikas1s2s3@gmail.com

Pendahuluan
Penyelenggaraan pembelajaran di era globalisasi dan modernisasi di setiap jenjang dan lembaga
pendidikan dituntut untuk mampu melakukan berbagai inovasi dalam rangka mengiringi dan menjawab segala
tantangan dan efek dari arus globalisasi ini. Pada sisi lain, arus globalisasi dan modernisasi memporak-
porandakan kualitas output pendidikan pada nuansa pemanusiaan dan manusia Pancasila. Menurut Azyumardi
Azra, era yang tidak bisa dielakkan yang menimbulkan perubahan penting dalam berbagai aspek kehidupan;
ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, pendidikan dan lain-lain.1
Manusia Pancasila sebagai manusia Indonesia yang didambakan tidak kunjung terwujud dalam jumlah
yang massif. Output dan outcome pendidikan terjebak dalam paradigma materialistis, sekulerisme dan
liberalisme buta. Sehingga lepas dari makna pendidikan yang berfalsafahkan Pancasila yang religius.
Kondisi sosiologis -konfrehensif- yang demikian hancur harus mendesak untuk melakukan
transformasi secara luas. Dalam aspek penggenerasian, maka pendidikan segera melakukan transformasi ke
arah perbaikan dengan tidak meninggalkan nuansa perenialisme sebagai basis kehidupan. Transformasi ini
diwujudkan dalam bentuk pendidikan transformasi yang menghendaki gerakan perubahan dan pembaharuan
segala aspek atau komponen pendidikan secara sinergis. Pada aspek yang lebih kecil -pembelajaran-, menuntut
untuk melakukan dan menjadikan model pembelajaran transformatif.
Berdasarkan perspektif Islam, lembaga pendidikan pesantren sebagai salah satu wadah pendidikan -
yang eksistensinya tidak diragukan lagi- harus juga melakukan dan menjadikan pembelajaran transformatif,
sebagai upaya menggenerasikan manusia sempurna dalam kerangka manusia Pancasilais.
Penerapan model pembelajaran transformatif, bukan suatu wujud yang selalu sempurna dan positif
setidaknya bagi culture pendidikan yang telah dibangun oleh lembaga pendidikan pesantren selama ini. Maka

1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 51.
17
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

implikasi positif atau negatif dari penerapan merupakan suatu keniscayaan. Selanjutnya untuk mengungkap
implikasi dari penerapan model pembelajaran transformasi pada pesantren, penulis akan uraikan dalam tulisan
ini.

Metode
Tulisan ini disajikan dalam kerangka mendeskripsikan terlebih dahulu konsep pembelajaran
transformatif, pesantren dan pendidikan diniyah beserta polanya, barulah diinferensikan sisi positif dan
negatifnya. Metode penulisan menggunakan pendekatan deskriptif dan analisis hermeneutic-filosofis, yaitu
memberikan penafsiran yang lebih analitis dan konfrehensif serta menggunakan pendekatan filsafat- untuk
menemukan dasar filosofis dan teoritis psikologis model pembelajaran transformatif.

Hasil dan Pembahasan


Model Pembelajaran Transformatif
1. Pengertian model pembelajaran transformatif
Pembelajaran transformatif (transformatif learning) merupakan model pembelajaran yang
dikembangkan dari perspektif transformasi. Mezirow adalah salah satu orang yang melakukan penelitian
tentang pendidikan transformatif yang berasal dari aliran psikologi kognitif. Sebagai teori pembelajaran,
pembelajaran transformatif muncul sekitar tahun 1970-an. Mezirow melakukan penelitian terhadap
pengalaman belajar para wanita yang kembali lagi bersekolah setelah lama meninggalkan bangku sekolah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran mampu merubah perspektif yang dimiliki dalam
memaknai kenyataan dan pengalaman hidup yang dialami. Sejak saat itu, banyak bermunculan penelitian
tentang pembelajaran transformatif, dan fokus studi transformasi semakin meluas, mulai dari transformasi
personal, transformasi sosial, pembelajaran interkultural, refleksi kritis, lifestyle, bahkan perubahan karir.
Transformasi memiliki makna perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) atau perubahan
struktur.2 Transformasi juga dapat dibagi dalam tiga perubahan yaitu (a) merubah bentuk, penampilan atau
struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi. Dengan demikian,
semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua perubahan adalah transformasi. Perubahan
lebih bersifat superfisial, sedangkan transformasi lebih bersifat substansial.
Dengan merujuk pada pendapat Paulo Freire mengenai tujuan transformasi sosial, menurut Freire “...
sangat menaruh perhatian pada transformasi sosial melalui pengungkapan kebenaran oleh orang-orang yang
tertindas dengan cara membangkitkan kesadaran kritis mereka di mana mereka belajar untuk menerima
pertentangan-pertentangan sosial, politis dan ekonomi, serta mengambil tindakan dalam melawan elemen-
elemen opresif kebenaran”.3 Pandangan Freire ini memberikan sebuah konsep bahwa pembelajaran
transformatif didasarkan oleh perubahan-perubahan sosial yang terjadi baik penindasan, pertentangan sosial,
politik, ekonomi dan sebagainya yang selalu cendrung mengalami perubahan (transformatif). Maka
pembelajaranpun diharapkan untuk melakukan perubahan sebagai pejawantahan dari konsep manusia,
perubahan sosial dan sebagainya.
Secara sederhana pembelajaran transformatif merupakan proses pembelajaran yang berorientasi pada
perubahan (transformasi) seseorang, baik sisi kognitif, afektif maupun psikomotor serta hal-hal lainnya,
tergantung pada apa objeknya. Proses perubahan itu didasari oleh kesadaran. Sehingga proses penyadaran
peserta didik terhadap kesalahan atau kelemahan perspektif beserta asumsi dasar yang dimiliki, untuk
kemudian beralih pada perspektif baru yang dinilai tepat menjadi pondasi untuk melakukan transformasi.
Dalam dunia pendidikan, seseorang dapat dikatakan telah belajar jika telah mengalami perubahan. Seperti
pandangan Behavioral bahwa belajar adalah terjadi perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi
stimulus-respon.4 Maka perubahan menjadi sesuatu yang mendasar bagi setiap orang yang belajar, baik anak-
anak atau manusia dewasa. Sejatinya, pendidikan adalah melakukan upaya penyadaran untuk melakukan
perubahan dan pengembangan potensi peserta didik.

2
KBBHI Off Line.
3
Taylor, E. The Theory and Practice of Transformative Learning: A Critical Review, (Ohio: Vocational Education,
Ohio State University, 1998). Dapat diakses melalui alamat web:w.cete.org/acve/mp_taylor_01.asp (diakses
pada tanggal 14 Juni 2018).
4 C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 20.

18
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

Model pembelajaran transformatif berkembang karena didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah
makhluk otonom yang memiliki multy potensi yang siap dikembangkan, Menurut Hasan Langgulung -dikutip
Ramayulis-, potensi manusia tersimpul pada 99 asmul husna.5 Proses pengembangan itu melibatkan proses
kesadaran, pemberian kebebasan sehingga bisa tumbuh menjadi manusia yang holistik, kritis, kreatif,
partisipatif dalam kerangka yang interaktif. Sehingga jauh dari tekanan, pemasungan serta ketidakberdayaan
dari praktek pendidikan yang tidak memanusiakan.
Model pembelajaran transformatif adalah pembelajaran perubahan, pembebasan, individulisasi,
menemukan identitas, egalitarian, dialogis interaktif, persuasif, pemberian makna (meaning-hermeneutik) yang
didasari oleh proses penyadaran.
Berbagai penjelasan di atas, dapat disarikan bahwa model pembelajaran transformatif adalah model
pembelajaran menuju perubahan diri dengan berdasarkan pada proses penyadaran untuk pengembangan
potensi, pengembangan daya berpikir kritis, pembelajaran dialogis-interaktif, emansipatoris, partisipatif,
egalitarian, serta pemberian makna.

2. Bangunan filosofis dan teori dari model pembelajaran transformatif


Secara filosofis, model pembelajaran transformatif dibangun oleh beragam jenis filsafat pendidikan.
Mulai sejak awal hingga masa ini, terus mengalami perubahan. H.A.R. Tilaar menjelaskan bangunan filsafat dan
perubahannya dari model pembelajaran transformatif dalam bentuk tabel berikut ini.6

Tabel 1. Perkembangan Pedagogik Transformatif

Filsafat Orientasi Orientasi Orientasi Proses Orientasi


Budaya Kependidikan Belajar Individu
Idealisme Revitalisasi Perenialisme Transfer nilai Pengemba-ngan
Skolastisisme budaya Esensialisme budaya potensi individu
Eksistensialis-me
Posistivisme Sumber daya Progresivisme Aktif kreatif Kebebasan individu
Realisme manusia Liberalism
Pragmatisme Strukturalisme
Eksperimenta-
lisme
Pragmatism Rekonstruk- Rekonstruk Interaktif, kreatif, Kebebasan individu
sionisme Sionisme kritis dalam lingkungan
sosial budaya
Kontemporer Kritisisme Transformatif Interaktif, kreatif, Interaksi kebebasan
perubahan sosial kritis dan individu untuk
partisipatif mengembang-kan
potensinya dalam dan
untuk perubahan
sosial.

Menilik perkembangan filsafat pendidikan hingga pendidikan transformatif, maka dapat diketahui
bahwa filsafat yang mendasari model pembelajaran transformatif adalah dimulai dari filsafat idealisme hingga

5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kallam Mulia, 2002), h. 103.


6 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Peodagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2012), h. 259.
19
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

filsafat kontemporer. Sementara menurut H.A.R Tilaar, bahwa filsafat kontemporer yang dimaksud adalah
filsafat kritisisme masyarakat atau filsafat yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.7 Menurut penulis, apabila
filsafat tersebut bercerita tentang proses pendidikan adalah proses penumbuhkembangan potensi peserta
didik, pemanusiaannya serta pembebasannya dari segala pasungan yang dapat mengekang berkembangannya
potensi, maka filsafat tersebut menjadi bassic atas model pembelajaran transformatif. Terlepas dari filsafat
kritis, yang jelas bahwa kemunculan pembelajaran transformatif didasari oleh perkembangan filsafat sejak dari
idealism hingga filsafat kritisisme. Kesemua filsafat itu menghendaki adanya pengembangan potensi peserta
didik, kebebasan individu, lingkungan sosial budaya serta pengembangan potensi untuk perubahan sosial.

Adapun deskripsi filsafat yang mendasari pembelajaran transformatif -sekilas- diantara sebagai
berikut:
1. Filsafat positivisme sebagai salah satu landasan filosofis terhadap pembelajaran transformatif yang
menghendaki bahwa pemikiran manusia harus berkembang ke arah yang lebih positif (modern) dan
riil yang didasarkan pada ilmu positif yang didasarkan pada observasi dan eksperimen, diantara
tokohnya adalah Agus Comte.8 Ini memberikan makna bahwa dalam perubahan pembelajaran dan
pendidikan hendaknya didasarkan pada sesuatu yang nyata/riil yang dihasil dari observasi dan
eksperimen yang berhubungan dengan pendidikan terutama dalam arus perubahan sosial.
2. Filsafat pragmatisme, adalah filsafat yang melihat ukuran nilai atau tidak, benar atau salah ditentukan
oleh ukuran nilai guna atau manfaat. Jika bermanfaat maka sesuatu dianggap bernilai atau benar secara
praktis, diantara tokohnya adalah William James.9 Dalam hubungannya dengan perubahan, maka
perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang memberikan nilai guna bagi perkembangan
peserta didik baik, kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif serta masa depan pekerjaan peserta
didik.
Semua filsafat yang mendasari pembelajaran transformatif merupakan filsafat yang dikembangkan di
belahan barat yang syarat dengan asas negaranya yang liberal. Oleh karena itu, pengadobsiannya ke pendidikan
Indonesia mesti harus didasarkan sikap kritis dan modifikasi penuh kehati-hatian.
Selanjutnya teori belajar yang mendasari model pembelajaran transformatif yang utama adalah teori
belajar humanisme10 dan kognitif. Karena teori ini yang memberikan upaya pembebasan manusia dari proses
pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, sehingga manusia terjebak dalam kungkungan dunia
pendidikan. Humanistik berpendapat bahwa proses belajar harus ditujukan untuk kepentingan memanusiakan
manusia itu sendiri.11
Jika dilihat dari sisi, bahwa manusia adalah makhluk individu dan otonom yang memiliki banyak
kompetensi. Maka teori nativisme juga menjadi teori yang menjadi dasar atas bangunan model pembelajaran
transformatif. Menurut teori nativisme manusia atau individu lahir kedunia sudah membawa kemampuan atau
bakat yang akan berkembang menurut arahnya masing-masing.12 Nativisme ini ditokohi oleh Arthur
Schopenhaur seorang filsuf berkebangsaan Jerman.13
Selanjutnya menurut H.A.R. Tilar bahwa model pembelajaran transformatif tidak hanya memfokuskan
pengembangan individuasi pada aspek kecerdasan intelejensi (IQ), tetapi juga aspek emosional question (EQ)
dan spiritual question (SQ) bahkan keseluruhan potensi pribadi.14 Maka, ini berarti filsafat perenialisme juga
ikut serta membangun model pembelajaran transformatif dari sisi mengembalikan pada nilai-nilai agama yang
sudah terjamin. Karena filsafat perenialisme filsafat yang berpegang pada nilai-nilai yang bersifat abadi yang

7 Menurut hemat penulis, filsafat kontemporer hari ini, bukan sekedar filsafat kritis masyarakat akan tetapi
filsafat pragmatism, progressive, kontruktivisme dan sebagainya juga termasuk dalam kelompok filsafat
kontemporer.
8 Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 183.
9 Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 133.
10 H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 332.
11 C. Asri Budiningsih, Op.Cit, h. 68.
12 M. Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: PT RadjaGrafindo

Persada, 2012), h. 24.


13 Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 147.
14
H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 307.
20
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

telah terbukti sepanjang sejarah.15 Kembali ke masa lalu dilakukan sebagai upaya untuk menghadapi
problematika kehidupan manusia sekarang bahkan untuk masa yang akan datang.16
3. Karakteristik model pembelajaran transformatif
Karakteristik model pembelajaran transformatif, menurut H.A.R Tilaar ada 15 macam yang didasarkan
pada prinsip model pembelajaran transformatif, yaitu: 17
a. Proses pendidikan normatif. Mendidik adalah suatu proses, akan tetapi model transformatif tidak
hanya berhenti pada hakikat proses pendidikan melainkan apa yang harus diperbuat dan ke arah mana
proses mendidik itu diarahkan. Inilah yang dimaksud sebagai proses pendidikan normatif.
b. Proses individuasi, adalah bagaimana seseorang manusia yang unik mengembangkan dirinya untuk
memperoleh identitas dirinya. Oleh karena manusia adalah makhluk sosial maka proses pendidikan -
individuasi- tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial dan kebudayaan di mana ia hidup.
c. Identitas individu, manusia adalah makhluk otonom (individu) dan memiliki potensi yang harus
dikembangkan. Pengembangan individu itulah yang dikenal dengan proses mencari identitas sehingga
menjadi dirinya sendiri (akunya). Dengan prinsip ini, individu bukanlah seseorang yang hanya
menerima segala sesuatu dari luar seperti yang diprogramkan oleh sekolah, orang tua dan masyarakat.
d. Model transformatif adalah model komunikatif, ini artinya seorang peserta didik tidak mampu
mengembangkan potensi dirinya sehingga ia menjadi eksis jika tidak berinteraksi dengan yang lainnya.
e. Prinsip dialogis, bahwa proses dialogis antara peserta didik dengan yang lainnya (guru-masyarakat
serta kehidupan) sebagai suatu realitas. Karena proses perubahan (transformatif) tidak akan terjadi
pada ruang kosong melainkan dalam kegiatan dialogis atau partisipatif sehingga pengembangan diri
menjadi terarah dan konkret.
f. Berorientasi masa depan. Maka proses pendidikan harus berorientasi ke masa depan yang lebih
terarah bukan kembali ke masa lalu atau masa kini. Karena, jika tidak maka tidak akan terjadi realitas
yang tidak berubah. Serta tindakan individu tidak hanya ditentukan oleh masa lalu dan masa kini yang
tidak berbentuk tetapi merupakan perpaduan antara masa lalu, kini dan masa yang akan datang (cita-
cita).
g. Hak azazi manusia. Proses pendidikan harus mampu memberikan perhargaan dan pengakuan hak azazi
manusia, karena individu adalah makhluk yang otonom. Sehingga terjadilah perilaku menghargai hak-
hak orang lain sebagai eksistensi seseorang serta tumbuh perilaku tanggung jawab atas hak-hak yang
dimilikinya.
h. Lingkungan proksimatif, artinya manusia adalah bukan makhluk isolasi melainkan makhluk sosial dan
budaya. Anak harus dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya yang konkret, sehingga terjadi proses
belajar dan terjadilah proses individuasi.
i. Proses perkembangan dari luar ke dalam. Ini terjadi saat individu mampu melakukan kegiatan
komunikasi, dialogis, lingkungan sosial yang konkret.
j. Proses perkembangan dari dalam ke luar, ini dimaksudkan bahwa seorang individu adalah makhluk
otonom yang memiliki kebebasan dan mengambil keputusan. Proses indivuasinya menjadi bahagian
dari proses pengembangan potensinya.
k. Harmonisasi kekuatan dari dalam dan dari luar. Harmonisasi ini bisa terjadi jika adanya pengakuan
akan otonom seorang, jika tidak maka harmonisasi tidak akan terjadi.
l. Proses pendidikan adalah proses memberi arti (meaning) bukan proses pemaksaan.

15 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para
Tokohnya, (Jakarta: kallam Mulia, 2009), h. 21.
16 Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 50.
17 H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 292-303.

21
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

m. Belajar sepanjang hayat dan proses humanisasi. Model transformatif melihat manusia sebagai makhluk
yang berubah dan bertujuan, maka model ini mengakui kebebasan manusia dan menentang segala
bentuk penindasan.
n. Berorientasi sebagai pedagogik kritis. Karena memang, model ini bukan model pembelajaran dogmatis.
Memahami 15 karakteristik yang ditawarkan oleh H.A.R Tilaar di atas, memunculkan banyak inferensi,
diantaranya:
a. Model pembelajaran transformatif dibangun berdasarkan multi filsafat, multi teori, multi psikologi
yang terus berkembang. Sehingga model transformatif, sesuai dengan maknanya akan selalu
mengalami perubahan. Perubahan baik dari sisi IQ, EQ, SQ, KQ, dan sebagainya menjadi target utama
dari model pembelajaran transformatif.
b. Model pembelajaran transformatif menghendaki adanya beragam pendekatan pembelajaran, yaitu:
1. Student centre, merupakan pendekatan pembelajaran bahwa siswa adalah subjek pendidikan yang
memiliki potensi yang siap dikembangkan maka fungsi guru adalah memfasilitasi proses
pembinaan, bimbingan, dan pengembangan potensinya dalam proses pembelajaran.
2. Humanistic approach, ini melihat bahwa peserta didik adalah manusia yang unik, memiliki potensi
dan menuntut untuk diperlakukan sebagai mausia seutuhnya.
3. Cognitive-Rational Approach, pendekatan ini melihat bahwa proses pembelajaran harus
mengembangkan kognitif rasionalis seorang peserta didik, bukan memasung aktivitas
pengembangan daya cognitive-rational.
4. Emancipatory Approach, pendekatan ini memandang bahwa dalam proses pembelajaran peserta
didik diposisikan setara dan merdeka atas beragam perbedaan kemampuan, asal usul, jenis
kelamin serta pengukungan peserta didik.
5. Developmental Approach, merupakan pendekatan yang melihat proses pembelajaran adalah
proses pengembangan mental peserta didik. Maka pembelajaran harus disetting untuk mewadahi
proses pengembangan sikap atau mentalitas peserta didik ke arah yang lebih baik.
6. Spiritual-Integrative Approach, pendekatan melihat bahwa proses pembelajaran harus berjalan di
atas nilai-nilai spiritual18 yang terpadu dan membumi. Jadi bukan nilai-nilai spiritualitas teoritis,
melainkan praktis. Sehingga menciptakan kondisi lingkungan spiritual -dalam makna luas- yang
konkret.
c. Model pembelajaran tranformatif menghendaki metode-metode pembelajaran yang mampu mewadahi
aktivitas peserta didik untuk melakukan perubahan, memberikan kesempatan pada peserta didik
untuk melakukan dan sebagainya.
d. Model pembelajaran transformatif menghendaki peran dan eksistensi peserta didik sebagai subjek
pembelajaran bukan objek pembelajaran. Sehingga proses belajar menjadi kegiatan yang bermuara
pada dialogis partisipatif.

Sebagai sebuah perbandingan pola pendidikan tradisionalis, kritis dan transformatif, dapat dilihat
dalam tabel berikut ini.19
Tabel 2. Perbandingan Pola Pendidikan Tradisionalis, Kritis dan Transformatif

Aspek Pendidikan Tradisonal Pendidikan Pendidikan Transformatif


Kritis
Pendekatan Berpusat pada guru, Sosio-politik Individuasi partisipatif dalam
sebagai objek masyarakat berubah
Pengembangan potensi Memberdayakan Penyadaran dan pengembangan potensi
(empowerment) individu dalam kebersamaan
bermasyarakat
Humanism Humanism politik Humanisme sosio-kultural
Steril dari kebudayaan Bagian dari Penggerak kebudayaan

18 Nilai-nilai spiritual yang dimaksud sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dalam perspektif Islam, bagi
Barat spiritual atau kecerdasan spiritual adalah sifat yang dibangun sebagai perpaduan oleh kecerdasan IQ
dan EQ. Sementara dalam perspektif Islam adalah gabungan seluruh kecerdasan yang bersifat ilahiyah.
19 H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 332.

22
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

kebudayaan
Evolusionisme Revolusionisme “jalan ketiga” (the third way)
Pedagogic Pedagogisme Sosio-politik Hermeneutic pedagogic
sebagai pedagogic
disiplin ilmu
Guru Investor data (subjek) Pemberdaya Mitra belajar
Peserta didik Sebagai objek Sebagai subjek yang Sebagai subjek partisipatif antisipatif dalam
sadar akan keberadaa perubahan sosial
dan perannya dalam
kehidupan sosial
politik
Proses Aktif mekanistik Dialogis Dialogis partisipatif
pendidikan/
Belajar
Kelembagaan Bahagian dari kekuasaan yang Rekosntruktor sosial Dekonstruktor dan rekonstruktor sosial
pendidikan ada
Melalui matriks, maka semakin jelaslah bagaimana konsep model pembelajaran transformatif, yang
lebih menitik tekankan perubahan didasarkan pada kondisi sosial yang terus mengalami fluktuatif secara nilai.
Maka peserta didik diupayakan untuk siap dan mampu mengambil keputusan untuk melakukan perubahan
secara benar dalam bimbingan, pengembangan, pembinaan di atas pendekatan dialogis partisipatif. Proses
pengambilan keputusan peserta didik merupakan bahagian dari proses pemberian makna-proses hermeneutic.

4. Unsur-unsur model pelajaran transformatif

Merujuk pada penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka penulis mencoba untuk memberikan uraian
tentang unsur-unsur pembelajaran yang meliputi sintax, social system, principle of reaction dan support system.20

a. Sintax
Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pendidik dalam melaksanakan model pembelajaran
transformatif sebagai berikut:
1. Memahami dengan baik konsep transformatif-pada posisi ini seorang pendidik harus
memahami terlebih dahulu konsep pembelajaran transformatif dengan baik dan membuat
rencana pembelajaran berbasis prakondisi kepada peserta didik, menyiapkan rencana dan
media, monitoring dan penilaian.
2. Guru melaksanakan pembelajaran sebagai fasilitator, sementara peserta didik sebagai subjek
pembelajaran. Jadi semua model pembelajaran modern yang bertumpu pada psikologi kognitif,
humanistik dan konstruktivisme selalu memposisikan peserta didik sebagai subjek
pembelajaran sementara pendidik/kiai/ustadz/guru hanyalah sebagai fasilitator. Sehingga

20
Setiap model pembelajaran, strategi dan metode harus memiliki 4 unsur yaitu sintax, social system, principle
of reaction dan support system. Jika tidak ada kejelasan kedudukan keempat unsur maka sesuatu term tidak
dapat dikatakan sebagai sebuah model, strategi dan metode. Hal ini dapat ditemui dalam Bruce Joyce dkk,
Models of Teaching, (Boston: Allyn and Bacon, 2000).
23
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

seorang kiai/ustadz di pesantren harus melakukan reformasi metode pembelajaran wetonan


dengan pembelajaran berbasis klasikal dengan model dan metode yang modern.
3. Menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan konsep transformatif, yang
menempatkan peserta didik sebagai subjek, membangun pola berpikir kritis-solutif,
membebaskan, komunikatif, dialogis-interaktif dan sebagainya
4. Melakukan kegiatan dialogis partisipatif dan membangun budaya kritis atas kondisi sosial yang
terjadi. Sehingga materi bidang studi yang diajarkan memiliki korelasi langsung dengan
kondisi sosial, ini akan memberikan makna tersendiri bagi peserta didik
(hermeneutic process).
5. Menstimulus atau membimbing peserta didik untuk memberi makna
(meaning/hermeneutic) terhadap kondisi sosial dan atau materi pembelajaran yang
disajikan oleh guru. Sehingga ini semakin menambah ruh sebuah ilmu serta mampu
mengkorelasikan ilmu dengan dunia nyata-realitas sosial.
6. Melakukan refleksi dan evaluasi.

Dalam bentuk teknis-praktis dapat dilihat pada skema sintax yang ditawarkan oleh Hardika berikut
ini.21

b. Social system
Social system ini berisi tentang sub-sub sistem yang saling bergantungan sehingga membentuk pola
pembelajaran atau aturan pembelajaran. Adapun sosial sistem dalam model pembelajaran
transformatif menurut penulis adalah pendidik harus melakukan:
1. Pengkondisian tempat yang bersifat transformatif atau memungkinkan terjadi proses
transformatif seperti kenyamanan, kebersihan, penataan tempat duduk dan sebagainya.
2. Metode yang transformatif, sehingga dapat mengejawantahan nilai-nilai komunikatif, kritis dan
dialogis peserta didik seperti metode tanya jawab, diskusi, dan sebagainya.
3. Aturan belajar yang transformatif seperti bentuk komunikasi yang dibangun dalam
pembelajaran, membuat pertanyaan, mengkritisi, merenungkan, demokrasi pembelajaran dan
sebagainya.

c. Principle of reaction
Principle of reaction, merupakan prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang mengatur pola interaksi
lanjutan yang berlangsung dalam pembelajaran. Adapun principle of reaction yang harus
diwujudkan dalam pembelajaran transformatif diantaranya adalah: 1) guru memberikan jawaban

21 Hardika, Pembelajaran Transformatif Berbasis Learning How To Learn, (Malang: UMM Press, 2012), h. 35.
24
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

pertanyaan yang dialogis, mencerahkan, tidak menekan dan memaknakan, 2) guru bersifat
fasilitator yang selalu siap membantu kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran, 3) melakukan proses
pengawasan dan penilaian dengan baik serta 4) menghargai pertanyaan, ide, atau gagasan peserta
didik dan sebagainya.
d. Support system
Support system dalam pembelajaran memiliki makna sebagai segala sesuatu yang mendukung
ketercapaian dari tujuan model pembelajaran atau daya dukung yang dibutuhkan untuk penerapan
suatu model pembelajaran agar berjalan efektif dan efisien. Adapun yang menjadi support system
dalam model pembelajaran adalah
1. Metode yang mendukung terjadi transformatif pada peserta didik, seperti metode yang bisa
mengembangkan kemampuan berpikir kritis-solutif, imajinatif, dialogis, seperti metode-metode
pada pembelajaran kooperatif learning.
2. Kemampuan guru, ini menjadi salah satu kunci utama penyajian model pembelajaran
transformatif.
3. Kemampuan peserta didik. Sehubungan dengan model pembelajaran transformatif, maka
pendidik perlu secara kontiniu merubah cara pikirnya dan cara pikir peserta didiknya dalam
pembelajaran agar pembelajaran dapat berlangsung secara aktif dan bermakna. Jika peserta
didik dalam kondisi intimidasi doktrin -seperti kiai tidak boleh disanggah- maka pembelajaran
transformatif tidak terjadi karena daya dukung dari peserta didik tidak ada -berpikir kritis.
4. Bahan-bahan yang mendukung metode dan transformasi seperti bahan pembelajaran, media,
serta kasus sosial atau realitas sosial yang sudah tersusun oleh pendidik.
5. Kondisi ruangan yang mendukung untuk tercipta proses transformasi. Ini juga menentukan
kenyamanan pelaksanaan pembelajaran yang transformatif.

Unsur-unsur pembelajaran model transformatif yang penulis tawarkan bukanlah sesuatu yang kaku
serta menutup bentuk yang lain. Akan tetapi, unsur-unsur tersebut sifatnya fleksibel, bisa dikembangkan sesuai
dengan strategi dan metode yang dipilih untuk menerapkan model transformatif. Model pembelajaran
transformatif masih sangat konseptual sehingga menuntut untuk dikembangkan dan menjadi alternatif model
pembelajaran.

Pesantren; Lembaga Pendidikan Islam Tradisionalis

1. Pengertian pesantren
Pesantren merupakan bentuk pendidikan keagamaan Islam. Ia muncul sebagai wadah pendidikan
keagamaan bagi umat Islam yang membutuhkan -kering- pengetahuan ke-Islaman. Pesantren mendapat
legalitas pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional Pasal 30 ayat 4
bahwa Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan
bentuk lain yang sejenis.22 Peraturan turunannya adalah Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, PP ini menjelaskan secara rinci tentang bentuk-bentuk
pendidikan agama dan keagamaan baik yang masuk kelompok formal maupun non formal.
Menurut Sudjoko Prasodjo, “pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya
dengan cara non klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya

22 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 30 ayat 4.
25
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut”.23 Menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.24 Maka pesantren dalam
pengertian ini adalah lembaga pendidikan Islam yang keberadaannya telah ada sebelum dan selalu mengalami
perkembangan sesudah kemerdekaan yang mengajarkan kitab-kitab klasik serta ilmu-ilmu umum di bawah
asuhan seorang Kiai dan memiliki asrama (pondok) sebagai tempat tinggal santri. Dengan elemennya adalah
pondok, masjid, santri, kitab-kitab klasik serta kiai.25
Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada
jalur formal, nonformal, dan informal. Pada Pasal 26 ayat 2 dijelaskan bahwa Pesantren menyelenggarakan
pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.26 Dengan demikian pesantren tidak ubahnya -
bisa berbentuk- lembaga induk yang memiliki anak-anak lembaga pendidikan dalam bentuk jenjang
pendidikan.

2. Karakteristik pesantren
Character adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap terus dan
kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi. 27 Adapun karakteristik dari
pendidikan pesantren:
a. Kiai.
Kiai adalah seorang pendidik atau guru utama di pesantren, disebabkan karena kiai bertugas
membimbing, mengarahkan, dan mendidik para santri. 28 Kiai adalah salah satu unsur yang paling
dominan dalam kehidupan suatu pesantren, kemasyhuran, perkembangan dan kemajuan suatu
pesantren sangat -banyak- tergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa dan
keterampilan seorang kiai. 29 Dilihat dari sisi sosial, posisi kiai sebagai posisi elit dalam struktur sosial
dan politik suatu masyarakat. Sehingga masyarakat memberikan penghormatan yang tinggi
melebihi pejabat setempat.30
b. Santri
Santri adalah sebutan seorang peserta didik yang merelakan dirinya untuk belajar di sebuah
pesantren. Maka pada kata santri terkandung makna yang cukup luas yaitu orang selalu mengikuti
seseorang guru, orang yang menumpangkan diri pada seseorang, atau seseorang yang miskin ilmu dan
berharap akan ilmu. Makna ini terungkap dari asal santri yang berasal dari bahasa Jawa-salah satu
pendapat- yaitu cantrik yang berarti mengikuti guru ke mana guru pergi.31 Seorang santri yang akan
menimba ilmu di pesantren harus mematuhi segala aturannya. Maka seorang kiai akan melakukan
penanaman (internalisasi of values) nilai-nilai utama pada setiap santri. Martin Van Brunessen
menyatakan bahwa sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak terhadap kiai adalah salah satu nilai
pertama yang ditanamkan pada setiap santri.32 Sehingga tidak mengherankan jika pada setiap
pesantren di pulau Jawa menekankan dan mengajarkan tentang adab murid dengan guru secara
berulang-ulang (kontiniu) hingga santri hafal dan memahami dengan baik.
c. Kitab kuning
Kitab kuning merupakan buku-buku klasik yang berbahasa Arab gundul (tidak berbaris) dan
memang berwarna kuning. Bagi Azyumardi Azra, kitab kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa

23 Sudjoko Prasodjo, et al. “Profil Pesantren”. Dalam Abudin Nata (Editor). Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 104.
24 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan

Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55.


25 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 44.
26 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
27 Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kallam Mulia, 2008), h. 160.
28 Abd Halim Soebahar, Op.Cit, h. 38.
29 Hasbullah, Op.Cit, h. 144.
30 Mujamil Qomar, Op.Cit, h. 29.
31 Nuchalish Majid, Op.Cit, h. 20. .
32 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), h. 18.

26
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

Arab, Melayu, dan Jawa atau bahasa lokal lainnya. Memang umumnya orang berpendapat bahwa kitab
kuning adalah kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama Timur Tengah dengan cetakan berwarna
kuning. Akan tetapi kitab kuning juga banyak yang ditulis oleh orang Indonesia dengan bahasa Arab
dan daerah seperti kitab-kitab yang ditulis oleh al-Raniri (Sirathal Mustaqim), al-Banjari (Sabiil al-
Muhtadiin), dan al-Sinkili (Mir’at al-Thullaab), judulnya berbahasa Arab akan tetapi isinya diuraikan
dalam bahasa Melayu.33 Kitab kuning yang dimaksud dalam tradisi keagamaan pesantren adalah kitab
yang ditulis oleh para ulama di abad pertengahan -yang masuk dalam kelompok ahli sunnah
waljamaah-, itupun tidak semua disiplin ilmu melainkan hanya beberapa cabang ilmu seperti bidang
tafsir-hadis, fiqh, teologi, tasawuf, ilmu-ilmu balaghah, nahw dan ilmu-ilmu yang serumpun.34
d. Masjid/Mushalla/Langgar
Masjid menjadi pusat pelaksanaan ibadah dalam pesantren. Masjid menjadi lambang
spritualitas pesantren, tanpa adanya masjid/mushalla maka eksistensi pesantren tersebut tentu
diragukan. Eksistensi masjid adalah pusat pendidikan dalam tradisi pesantren sebagai manifestasi
universalitas sistem pendidikan tradisional yang mengadopsi sistem pendidikan Islam pada masa
rasul.35 Menurut Haidar, meskipun pesantren sudah memiliki ruang belajar berupa kelas-kelas,
tetapi masjid tetap digunakan sebagai tempat belajar.36
e. Asrama/pemondokan
Pondok atau asrama merupakan unsur khas utama dari pesantren. Ia menjadi tempat
tinggal dan belajar para santri di bawah bimbingan seorang kiai. Sehingga sering sekali kata
pondok digabungkan dengan kata pesantren menjadi “pondok pesantren” yang
mengisyaratkan proses pendidikan dan pembinaan santri 24 jam ada di pesantren, karena telah
disediakan tempat tinggal atau asrama atau pondok.
f. Metode pengajarannya meliputi metode wetonan, sorogan dan hafalan. Semuanya ini terjadi pada
pesantren dalam masa tradisional atau pesantren tradisional dengan pola pendidikan yang bercirikan
transmisi keilmuan atau kitabi, bukan pada pengembangan ilmu.
g. Pola kehidupan pesantren, sepenuhnya diatur oleh seorang kiai. Sehingga nuansa di pesantren adalah
kharismatik, penta’zhiman, pensakralan -tidak semua pesantren di era sekarang- kemandirian,
kesederhanaan dan sebagainya.

3. Metode pengajaran di Pesantren dalam hubungannya dengan adab santri. Metode yang berlangsung
pada pesantren memiliki kemiripan dengan metode pendidikan di Timur Tengah era kemunduran
hingga sekarang ini seperti metode hafalan. Adapun metode pengajaran yang berlangsung pada
pesantren diantaranya adalah
a. Metode sorogan adalah metode pengajaran dengan cara seorang santri menghadap kepada kiai secara
perorangan dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Menurut Mujamil Qomar, bahwa metode
ini digunakan untuk santri kelas rendah yaitu mereka yang baru mempelajari baca Qur’an. Melalui
metode ini, Kiai mengetahui kemampuan intelektual seorang santri secara secara utuh, sehinga bisa
diberikan bimbingan yang maksimal terhadap para santri. Akan tetapi penggunaan metode ini

33 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 143-145.
34 Sa’id Aqiel Siradj, et al. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung:

Pustaka Hidayah, 1999), h. 292.


35 Abd Halim Soebahar, Op.Cit, h. 40.
36 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2007), h. 63.
27
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

membutuhkan keuletan, kesabaran dan ketekunan seorang kiai/guru. Metode ini juga terasa kurang
efisien, karena menghabiskan waktu yang sangat lama untuk bisa mencapai seluruh santri tingkat
rendah, karena sifat metodenya yang individual.37
b. Metode wetonan adalah metode pengajaran dalam bentuk kuliah, di mana santri duduk melingkar
dihadapan kiai. Kegiatan santri adalah menyimak dan mencatat pelajaran yang disampaikan oleh kiai.
Metode ini dikenal juga dengan nama bandongan di Jawa Barat dan halaqah di Sumatera Barat. Metode
ini dikenal juga sebagai metode pengajaran secara kolektif atau bersama-sama.38
c. Metode hafalan yaitu metode pengajaran dengan cara memerintah santri untuk menghafal suatu materi
pelajaran dalam bentuk teks dari suatu kitab yang dipelajari. 39 Metode hafalan ini dikenal juga
dengan istilah lalaran yang arti kegiatan belajar masing-masing individu melalui kegiatan menghafal
pada tempat-tempat yang dibolehkan seperti di mesjid, mushalla, serambi mesjid dan sebagainya.
d. Model pendidikan kitabi, yang dalam bahasa Azyumardi Azra disebut sebagai “transmisi keilmuan atau
penanaman ilmu/knowledge implantation” dengan metode hafalan sebagaimana yang terjadi di Timur
Tengah,40 bukan pada pengembangan ilmu. Sehingga lebih pencetakan ulama-ulama kitabi dengan
prinsip ilmu al-fi shudur, yang pada akhirnya miskin pengembangan sekaligus menjadi ciri khas dunia
pesantren.

Melihat pada ketiga metode dan sistem tata nilai yang berlaku pada pesantren, maka Mastuhu
berpendapat bahwa pendidikan yang berlangsung di pesantren menggunakan pedekatan teochentric. Dalam
prakteknya, pendekatan ini wujud dalam sikap belajar yang cendrung dan berorientasi ukhrawi serta
berperilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari.41 Pada sisi yang lain metode pendidikan di pesantren
menggambarkan culture dan habit yang dibangun di pesantren. Sehingga sulit ditemukan dipesantren
tradisional yang menerapkan metode kooperatif learning, diskusi, dan sebagainya, karena metode ini, secara
tidak langsung -sedikit/banyak- akan menimbulkan budaya mengkritisi termasuk mengkritisi keilmuan dan
perilaku kiai. Akan tetapi pada pesantren modern yang telah mengalami perubahan -disesuaikan-, tidak terpaku
lagi dalam penggunaan metode ngajarannya pada sorogan atau wetonan. Hal ini dapat terlihat pada pesantren-
pesantren modern seperti pondok pesantren Gontor Ponorogo, Pesantren al-Salam Pabelan, pesantren
Darunnajah Jakarta dan sebagainya. 42

Implikasi Penerapan Model Pembelajaran Transformatif


Adapun implikasi penerapan model pembelajaran transformatif di pesantren dari sisi positif maupun
negatifnya sebagai berikut:
Menilik pada karaktersitik pendidikan di pesantren maka akan didapatkan banyak sisi positif dari
penerapan model pembelajaran transformatif diantaranya adalah
a. Terbentuknya santri yang humanis religious. Karena model pembelajaran transformatif adalah proses
memanusiakan manusia, santri diperlakukan sebagai manusia yang utuh, egaliter serta tunduk pada
norma kesantrian yang Islamis. Model transformatif, lebih pada pemanusian yang sesungguhnya -tentu
perspektif Islam bukan perspektif Maslow yang kering dari makna manusia. Maka tugas setiap
pemerhati pendidikan Islam dan pengelola serta pendidik di satuan pendidikan untuk berusaha
mengformulasi model transformasi Islam sehingga memang spirit yang dibawa representatif Islam.
b. Terbentuknya santri yang kritis. Model pemebelajaran yang dikedepankan transformatif adalah
melatih daya berpikir kritis terhadap segala persoalan sosial termasuk dalam konteks agama dan
tantangannya globalisasi saat ini. Sehingga tafaquh fi din tetap terjaga untuk menyiapkan calon-calon
ulama masa depan yang mumpuni dengan dialektika modern bukan ulama taklid. Berkembang
pemikiran kritis para santri akan mampu memberi pengaruh pada kemajuan suatu pesantren. Asalkan
nuansa kritis itu dibangun dengan dasar-dasar Islami, sifat kritis solutif, sehingga melahirkan

37 Mujamil Qomar, Op.Cit, h. 142-143.


38 Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2015), h. 310.
39 Samsul Nizar (Editor), Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 287.


40 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim…..Op.Cit , h. 89
41 Mastuhu, Op.Cit.,h. 62.
42
M. Sulthon Masyhud, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), h. 8.
28
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

pemikiran-pemikiran yang membangun untuk kemajuan pesantren, hal ini tentu harus didasari oleh
kesiapan kiai dan para ustadz untuk mengkoordinir dan mengakomodir nuansa kritis santri sebagai
akibat positif dari pembelajaran transformatif.
c. Melestarikan generasi yang memiliki multi kecerdasan, tidak hanya sebatas kecerdasan spiritual,
melainkan seluruh aspek kemanusiaannya. Karena fakta sains telah menjawab bahwa pada manusia
memiliki banyak kecerdasan, baik IQ (kemampuan syaraf manusia untuk berpikir logis, numeric dan
taat asas.43), EQ (mewakili dimensi emosi) dan SQ (mewakili dimensi spiritual seseorang).44 Bahkan
saintis Howard Gardner menemukan kecerdasan baru yang disebut dengan MI yaitu multiple
intelligences atau multi kecerdasan atau kecerdasan ganda yang meliputi kecerdasan linguistik,
matematis logis, ruang, kinestetik badani, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalis/lingkungan
dan eksistensial.45 Menurut penulis, masih banyak lagi kecerdasan manusia yang belum ditemukan,
penemuannya sangat bergantung pada perkembangan dan temuan sains. Secara dogmatis normatif,
manusia adalah makhluk yang sempurna yang disiapkan untuk menjadi khalifah di muka
bumi.46
d. Terjadi perubahan komponen pendidikan di pesantren, mulai dari manajemen, metode
pembelajaran, sikap pendidiknya serta daya dukung lainnya. Karena memang model ini
mengharapkan adanya keterpaduan perubahan dalam mekanisme yang sinergik, bukan
parsial. Transformatif pesantren semakin perlu dilakukan dan sesuai dengan kondisi perubahan sosial
yang begitu cepat. Menurut HM. Amien Haedari, ada beberapa langkah yang dilakukan diantaranya 1)
melakukan pembaharuan kepemimpinan di bawah kiai dalam makna melakukan kaderisasi pemimpin
pengganti Kiai pendiri saat ia telah meninggal, bukan menggantikan atau merusak sentralistik
kepemimpinan kiai karena hal itu merupakan cirri khas kepesantrenan, 2) pembenahan metodologi
pembelajaran yang kreatif dengan tetap mempertahan budaya transmisi keilmuan, dan 3) memperjelas
orientasi pesantren di tengah-tengah pendidikan, keagamaan dan peran sosial.
e. Menguatkan normatif Islam, bahwa pendidikan berlangsung bersifat sepanjang hayat. Karena memang
dalam konsep pembelajaran transformatif, Proses individuasi bukan suatu proses yang bisa berhenti,
akan tetapi merupakan proses yang terus berlangsung selama hidup. Maka untuk menjadikan identitas
diri menjadi lebih baik, maka harus selalu melakukan kegiatan belajar sepanjang masa. Dengan begitu
tumbuh dan bangkitnya gairah menuntut waktu di setiap lintasan waktu dan siap untuk melakukan
perubahan.
f. Membangun sikap santri yang peka sosial, sehingga hal ini berdampak positif terhadap perjalanan
pesantren. Model pembelajaran transformatif, adalah pembelajaran yang memberi makna terhadap
perubahan sosial serta ikut melakukan perubahan itu sendiri, hal ini tentu sesuai juga dengan semangat
dakwah dalam Islam seperti dikemukakan banyak ayat seperti firman Allah swt surat Ali Imran ayat
110.

Sementara sisi negatif yang muncul dalam dunia pesantren sebagai ekses penerapan model
pembelajaran transformasi adalah

43 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21; Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelligence Atas IQ, (Bandung:
Alfabeta, 2005), h. 82.
44 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan,

(Jakarta: Arga, 2004), h. 221.


45 Paul Suparno, Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah; Cara Menerapkan Teori Multiple

Intellegences Howar Gardner, (Jakarta: Kanisius, 2013), h. 17 dan 19.


46 Lihat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 dan surat at-Tin ayat 4.

29
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

a. Dimungkinkan akan berkurangnya nuansa pensakralan, pentakzhiman dan pemuliaan yang berlebihan
dari seorang Kiai di pesantren, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
b. Dimungkinkan munculnya generasi -santri- yang selalu siap memberikan kritikan terhadap
pelaksanaan pendidikan di pesantren. karena nuansa model transformatif adalah membangun sikap
kritis peserta didik. Sementara pola pendidikan di pesantren bukan membangun sikap kritis terhadap
kondisi dan perubahan sosial di pesantren. Akan tetapi jika para pengampu pesantren, memiliki cara
pandang yang luas, berpikir visioner dan tetap menjaga kharismatik yang sesungguhnya maka ini akan
menjadi energi positif bagi pengembangan pesantren itu sendiri.
c. Hilangnya atau memudarnya otoritas seorang Kiai dalam pengelolaan dan pendidikan di pesantren.
Karena model pembelajaran ini menjadikan peserta didik sebagai subjek pendidikan dan menghendaki
perubahan pola pembelajaran yang bersifat sorogan dan wetonan serta manajemen pesantren
terutama yang sentralistik pada seorang Kiai. Penggunaan model pembelajaran transformatif
menghendaki metode-metode pembelajaran yang transformatif pula sehingga bisa membangun cara
berpikir kritis, dialogis, komunikatif serta peka sosial.
d. Kurang menariknya metode pembelajaran dan memudarnya pola pengajaran pesantren dalam bentuk
sorogan dan wetonan, karena pola ini tidak membentuk proses transformasi peserta didik dengan
nuansa kritis dan dialogis-interaktif.
e. Melunturnya culture di pesantren yang cendrung mistis/sinkretis -terutama pesantren pola tradisional-
, hal ini didasarkan pada pandangan filosofis positivisme dan eksperimentalisme yang cendrung
rasional dan riil. Akan tetapi, nuansa spiritual sufistik masih tetap bisa dipertahankan selama
didasarkan pada prinsip-prinsip tauhid, bukan pengelabuan berkedok agama seperti pengkeramatan
seorang kiai bahkan lebih dari -yaitu mesakralkan dan meminta kekuburan kiai.
f. Melunturnya budaya kitab kuning, karena pola pendidikan tidak menatap masa depan dan mengisolasi
diri dari kitab-kitab yang lain. Karena pengajaran melalui kitab-kitab muqarrarah menggunakan sistem
pengajian non klasikal dengan urutan membaca, menterjemahkan dengan memperhatikan tiap-tiap
kata dalam kalimat, hamper tidak mungkin untuk mengembangkan dan mendorong terciptanya suatu
pikiran yang mandiri, merdeka dan kritis dalam diri seorang santri. Sehingga tidak mendorong
seseornag untuk berijtihad, bahkan gagasan untuk melakukan ijtihad menjadi bahan tertawaan, karena
para santri memahami ijtihad dalam makna ijtihad yang dilakukan oleh ulama terkemuka seperti Imam
Syafi’I, Hambili, Maliki dan sebagainya.47
g. Posisi Kiai yang dianggap setara dalam proses pembelajaran, karena model ini lebih mengedepankan
nuansa egaliteran dan emansipatoris. Hal inilah yang paling fatal dalam pelaksanaan pembelajaran
dengan model transformatif. Karena posisi kiai yang sedemikian tinggi dalam pandangan para santri.
Akan tetapi hal ini bisa diminimalisir jika kiainya bisa membangun karisma yang tepat.
h. Rendahnya kemampuan ilmu terapan dari seorang ustadz dalam praktek membelajarkan santri, maka
model pembelajaran ini berdampak kegagalan penerapannya.

Kesimpulan
Merujuk pada uraian tentang model pembelajaran transformatif di atas, maka dapat dipahami bahwa
model pembelajaran transformatif merupakan model pembelajaran menuju perubahan diri dengan
berdasarkan pada proses penyadaran untuk pengembangan potensi, pengembangan daya berpikir kritis,
pembelajaran dialogis-interkatif, emansipatoris, partisipatif, egalitarian, kebebasan, serta pemberian
makna/hermeneutik.
Model pembelajaran seperti ini menjadi penting dan keharusan di tengah kondisi pendidikan yang
tidak sejalan dengan makna pendidikan. Pendidikan yang seharusnya membebaskan, justru yang terjadi adalah
pemasungan. Pendidikan yang semesti mengembangkan potensi berubah menjadi pendidikan yang mengekang
kemampuan peserta didik, ditambah lagi ekspansi dari luar pendidikan sebagai akibat arus globalisasi yang
berdampak terhadap perubahan secara massif segala aspek kehidupan, baik politik, sosial, budaya, hukum dan
tidak luput pendidikan itu sendiri. Dampak yang paling jelas itu adalah semakin deras arus dan cara pandang
masyarakat yang materialistis dan liberalisme buta.

47
Mujamil Qomar, Op.cit, h. 71.
30
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangsih -sedikit atau banyak- terhadap khasanah keilmuah
dan ada flow up dari tulisan ini sehingga menjadi khasanah keilmuan yang dapat dijadikan rujukan dan
masukan dalam model pembelajaran pada pendidikan Islam.

31
Indonesia Jurnal Sakinah Ibrahim1
http:// www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

Reference

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana,
2012.
--------------------. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, JaKarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Ashraf, Ali. Horizon Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Progresif, 1984.
A Steenbrink, Karel. Pesantren, Madrasyah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES,
1994.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Bakti Nasution, Hasan. Filsafat Umum, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Bruce Joyce dkk, Models of Teaching, Boston: Allyn and Bacon, 2000.
Budiningsih, C. Asri, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21; Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelligence Atas IQ, Bandung:
Alfabeta, 2005.
Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan,
Jakarta: Arga, 2004.
Halim Soebahar, Abd. Modernisasi Pesantren; Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan
Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2013.
Hardika. Pembelajaran Transformatif Berbasis Learning How To Learn, Malang: UMM Press, 2012.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT
Radja Grafindo Persada, 1999.
--------------. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
HM. Amien Haedari. Editor, Pesantren dan Peradaban Islam, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010.
Huda, Nor. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2015.
KBBHI Off Line.
M. Sukardjo dan Ukim Komarudin. Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: PT. RadjaGrafindo
Persada, 2012.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan
Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
Nata, Abuddin. Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada,
2012.
Nizar, Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam; Potret Timur Tengah Era Awal dan
Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
----------------- (Editor). Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Prasodjo, Sudjoko, et al. ”Profil Pesantren”. Dalam Abudin Nata (Editor). Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Putra Daulay, Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2007.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kallam Mulia, 2002.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,
Jakarta: kallam Mulia, 2009.
----------------. Sejarah Pendidikan Islam; Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam
dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, Jakarta: Kallam Mulia, 2011.
----------------. Psikologi Agama, Jakarta: Kallam Mulia, 2008.
Rachman Shaleh, Abdul. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi, Jakarta: Gemawindu
Pancaperkasa, 2000.
Saleh Abdullah, Abdurrahman. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Sobur, Alex. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Sulthon Masyhud, M. dkk, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2005.

32
Vol. 1, No. 1, 2019, pp. 17-33

Contents lists available at Jurnal IJS


(Indonesia Jurnal Sakinah) Jurnal Pendidikan dan Sosial Islam
ISSN: 2337-6740 (Print)

Journal homepage: http://www.jurnal.stitnu-sadhar.ac.id

Suparno, Paul. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah; Cara Menerapkan Teori Multiple Intellegences
Howar Gardner, Jakarta: Kanisius, 2013.
Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Peodagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2012.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta:
Erlangga, 2007.
----------------. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, tt.
Van Bruinessen, Martin Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.

33

Anda mungkin juga menyukai