Anda di halaman 1dari 10

Bagian I.

Analisis kritis dan mendalam terhadap kondisi pembelajaran di sekolah


dasar pada umumnya sekarang secara komprehensif menurut teori belajar

Pascapandemi covid-19, dunia pendidikan saat ini tengah berjuang untuk memulihkan
kondisi pembelajaran. Berbagai negara mengeluarkan upaya guna mengejar ketertinggalan
akibat learning loss. Learning loss adalah keadaan peserta didik yang mengalami kehilangan
kesempatan belajar atau mengalami kemunduran secara akademis karena faktor
ketidakberlangsungan proses pendidikan (The Educationand Development Forum, 2020).
Sistem pembelajaran yang utamanya yang tadinya dilakukan di sekolah berubah total menjadi
pembelajaran daring atau dilakukan di rumah masing-masing dengan bantuan kecanggihan
teknologi termasuk di sekolah dasar. Pembelajaran ini dikenal dengan istilah pembelajaran
jarak jauh (Mustika, 2013).
Pembelajaran jarak jauh yang harapannya dapat mengakomodasi kebutuhah belajar
peserta didik. Pada kenyataanya pelaksanaanya masih jauh dari kata ideal. Adapun
ketimpangan pembelajaran pada era pandemi muncul dikarenakan peserta didik tidak
mempunyai akses terhadap: (1) perangkat digital; (2) pendidik adaptif dan berkemampuan it
yang mencukupi; (3) kondisi finansial; dan (3) orangtua yang aktif memberikan dukungan
(The Smeru Research Institute, 2020). Keterbatasan interaksi langsung serta ketersediaan
aksesibilitas yang terbatas menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran di masa
pandemic (Adi et al. (2021). Kondisi ini diperburuk dengan peserta didik yang melaksanakan
PJJ pun tidak mendapatkan kualitas pembelajaran yang sama sebagaimana sebelum pandemi.
Banyak peserta didik hanya menerima instruksi, umpan balik, dan interaksi yang terbatas dari
pendidik mereka (Indrawati, Pihadi, dan Siantoro, 2020).
Kondisi ini berkontribusi pada menurunnya kemampuan peserta didik,
ketidaktercapaian pembelajaran, ketimpangan pengetahuan yang semakin lebar,
perkembangan emosi dan kesehatan psikologis yang terganggu, kerentanan putus sekolah,
serta potensi penurunan pendapatan peserta didik di kemudian hari (The SMERU Research
Institute-The RISE Programme in Indonesia, 2020). Hal ini diperkuat hasil penelitian
Teristonia, Ni Luh Pegy, dkk (2023) bahwa terjadi fenomena learning loss di sekolah dasar
pasca pandemi yang dilihat pada rendahnya prestasi belajar dan intelektual peserta didik,
rendahnya psikologis dan psikososial peserta didik dan adanya kesenjangan pada akses
belajar anak. Lebih lanjut, di sekolah dasar ditemukan fakta bahwa masih kurangnya
pastisipasi atau keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran seperti mengajukan atau
menjawab pertanyaan, memecahkan suatu masalah, maupun peserta didik kurang aktif
dalam berdiskusi. Rendahnya motivasi yang dilihat menurunnya ketertarikan peserta didik
dalam belajar saat kembali diterapkannya pembelajaran tatap muka di sekolah. Pada
pelaksanaan pembelajaran, pendidik juga harus menjelaskan kembali materi atau topik
yang diberikan sebelumnya pada waktu peserta didik mengikuti pembelajaran daring.
Hasilnya sebagian besar peserta didik belum memahami materi secara menyeluruh
sehingga hal ini berdampak pada proses belajar peserta didik kedepannya.
Oleh karena itu, di sekolah dasar, pembelajaran saat ini diharapkan dapat mengatasi
dampak fenomena tersebut dengan perlunya pembelajaran berpusat untuk belajar aktif,
kolaborasi, pengalaman belajar, menekankan proses belajar, dan penilaian yang lebih
menyeluruh. Hal ini sejalan dengan paradigma pembelajaran konstruktivisme yang
dikemukakan oleh Piaget dan Vigotsky. Harasim (2017) mengidentifikasi empat kunci
penting dalam konstruktivisme yakni: active learning, learning-by-doing, scaffolded
learning dan collaborative learning.
Dalam konstruktivisme, pembelajaran berpusat pada peserta didik atau student center.
Pendidik bukan sekedar pendidik dan pengajar tapi pendidik juga seorang fasilitator,
mediator, dan manajer di kelas. Dalam konstruktivisme, pembelajarah harus mampu
menghargai keberagaman yang dimiliki peserta didiknya. Keberagaman bukan suatu
halangan, namun modal penting di dalam pembelajaran. Hasil akhir pembelajaran bukan
ditentukan oleh skor atau nilai yang diperoleh oleh peserta didik tetapi nilaimenyeluruh yang
berhasil diraih oleh peserta didik.
Di sisi lain, teori Piaget menyatakan bahwa peserta didik sekolah dasar berada pada
tahap berpikir operasional konkret. Kegiatan pembelajaran peserta didik diberikan
pengalaman konkret. Melalui pengalaman konkret peserta didik akan mudah menemukan
konsep. Lebih lanjut, Eggen dan Kauchak (2016:74-75) menyatakan beberapa petunjuk yang
dapat dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik dalam pembelajaran berkaitan dengan hal
ini yaitu; 1)Pendidik memberikan pengalaman konkret yaitu pengalaman langsung yang
diberikan pendidik ke peserta didik, misalnya untuk menunjukkan bahwa matahari panas
maka peserta didik diajak keluar untuk merasakan panas secara langsung. 2) Pendidik
membantu peserta didik menghubungkan pengalaman konkret dengan ide abstrak. misalnya
mengapa baju bisa kering jika dijemur di bawah terik matahari. 3) Pendidik membentuk
kelompok untuk memajukan dan memperbaiki pemahaman peserta didik Melalui kegiatan
kelompok, peserta didik saling berdiskusi sehingga mendorong bertambahnya pengetahuan
mereka. 4) Merancang pengalaman belajar sebagai awal perkembangan peserta didik ke tahap
yang lebih maju. Ini sebagai langkah awal peserta didik dalam memahami materi secara lebih
mendalam. Jadi, pendidik hendaknya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif setiap
peserta didik serta memberikan isi,metode, media pembelajaran yang sesuai dengan
tehapannya (Pahliwandari, 2016: 159).
Selain itu, pembelajaran di sekolah dasar saat ini diharapkan dapat
mengembangkan self-regulated learning pada siswa. Self regulated learning juga sebagai
bentuk belajar individual dengan bergantung pada motivasi belajar mereka, secara otonomi
mengembangkan dan pengukuran (kognisi, metakognisi, dan perilaku), dan memonitor
kemajuan belajarnya (Baumert et al., 2002). Dalam prosesnya, pada awalnya, peserta didik
masih dibantu dengan scaffolding, namun secara bertahap peserta didik dibimbing untuk
melakukannya sendiri, hingga dia benar-benar bisa menerapkan pembelajaran yang diaturnya
sendiri. Kesadaran peserta didik selama proses pembelajaran ini tentunya akan berdampak
motivasinya dalam proses pembelajaran dan terhadap penguasaan materi
Adanya kebijakan kurikulum merdeka yang diterbitkan kemendikbud dirasakan
menjadi solusi alternatif jika diimplementasikan dengan baik. Kurikulum Merdeka
memberikan keleluasaan kepada pendidik untuk menciptakan pembelajaran berkualitas yang
sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan belajar peserta didik (Kemendikbud,2022).
Kurikulum ini memberikan kebebasan dan wewenang bagi satuan pendidikan dalam
mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan peserta didik dan satuan pendidikan paska
pandemi. Pada kurikulum merdeka menekankan pembelajaran yang menekankan pada
proses, pembelajaran dan assesmen yang fleksibel, dengan aktivitas project-based
learning yang multi disiplin ilmu (Gatot Pramono, 2023). Untuk itu, sebagai pendidik saat
ini bukan saja seorang yang mampu menyampaikan materi di depan kelas, tapi harus dapat
menjadi seorang manajer yang mampu mengeluarkan kemampuan terbaik yang dimiliki
peserta didik.
2. Dasar-dasar yang diperlukan sebagai pertimbangan psikologis untuk memperlakukan
peserta didik sebagai pelaku belajar.

Peserta didik adalah salah satu komponen dalam pembelajaran. Peserta didik
merupakan anggota masyarakat yang berupaya untuk mengembangkan potensi dirinya
melalui proses pembelajaran yang di dalamnya diatur jalur dan jenjang pendidikan (Ramli,
2015). Dalam hal ini, peserta didik dianggap seseorang yang sudah mempunyai bekal sedang
menempuh belajar di sekolah. Lebih jauh peserta didik dianggap mereka yang secara khusus
diserahkan oleh orang tua untuk mengikuti pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah
dengan tujuan untuk menjadi manusia yang memiliki pengetahuan, berketrampilan,
berpengalaman, berkepribadian, berakhlak dan mandiri (Ali, 2014). Dapat dikatakan, peserta
didik adalah seseorang yang sedang menjalankan sebuah proses pendidikan di dalam
lingkungan pendidikan untuk mengembangkan potensi dalam mencapai tujuan tertentu.

Peserta didik tidak hanya sekadar sebagai obyek atau sasaran pendidikan dalam
pandangan pendidikan modern. Peserta didik diperlakukan sebagai subyek pendidikan,
dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Tanpa adanya peserta didik, sesungguhnya tidak akan terjadi proses pengajaran, karena
peserta didiklah yang membutuhkan pengajaran dan bukan pendidik, pendidik hanya
berusaha memenuhi kebutuhan yang ada pada peserta didik (Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama,2005). Dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah komponen yang
terpenting dalam pembelajaran. Hal ini sejalan bahwa peserta didik merupakan salah satu
input yang menentukan keberhasilan proses pendidikan (Hasbullah, 2010). Untuk
mencapainya, peserta didik harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Maka,
pembelajaran saat ini, bertolak pada model pengajaran yang berpusat pada siswa atau dikenal
sebagai student-centered learning.

Teori konstrutivisme pembelajaran (constructivist theories of learning) mendasari ide


pembelajaran yang berpusat pada siswa. Esensi dari teori ini adalah ide bahwa pembelajar
secara individual harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi yang
kompleks jika mereka ingin menjadikannya sebagai pengetahuan miliknya sendiri
(Anderson,et all dalam Slavin, 2006). Lebih lanjut teori konstrutivisme melihat pembelajar
dalam perannya sebagai pencari informasi secara tetap terhadap aturan-aturan lama dan
kemudian merevisi aturan-aturan ketika hal itu tidak bekerja lagi.
Pendidik membantu siswa untuk menemukan pengertian mereka sendiri
dibandingkan memberikan kuliah/ceramah saja dan mengontrol seluruh aktivitas
pembelajaran (Weinberger & McCombs; Windschitl dalam Slavin, 2006). Pendidik lebih
tepatnya disebut sebagai fasilitator pembelajaran, dapat juga disebut sebagai mediator.
Pendidik dapat menfasilitasi proses pengajaran dengan cara membuat informasi bermakna
dan berkaitan dengan siswa; dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri. Pendidik mengajarkan kepada siswa
untuk bangkit dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Gambarannya seperti pendidik dapat memberikan tangga yang membimbing siswa menuju
pemahaman yang lebih tinggi, dan siswa dengan sendirinya harus bisa mendaki tangga
tersebut (Slavin, 2006).

Pendidik diarahkan untuk dapat menerapkan teori konstruksivisme berakar dari teori kognitif
yang dikemukakan oleh Piaget dan Vigotsky. Konsep pertama adalah terkait pembelajaran
sosial. Siswa belajar dengan keterlibatan atau interaksi dengan orang dewasa atau teman
sebaya (peer) yang kapabel. Konsep kedua adalah terkait dengan Zone of Proximal
Development yang mana siswa bekerja ketika mereka terikat dengan tugas yang tidak dapat
mereka kerjakan sendiri tetapi dapat mengerjakannya dengan asisten teman sebaya ataupun
orang dewasa. Konsep ketiga adalah cognitive apprenticeship, yang merujuk pada proses
yang mana pembelajar secara bertahap mendapatkan keahlian melalui interaksi dengan
seorang ahli, yang dapat berupa seorang dewasa atau seseorang yang lebih tua, ataukah teman
sebaya yang lebih maju (advance). Konsep keempat
adalah scaffolding. Scaffolding merupakan mekanisme pendukung yang membantu siswa
untuk berhasil menyelesaikan suau tugas dalam zona perkembangan proksimalnya (Ormrod,
2008). Dengan demikian, konsep ini menekankan bahwa peserta didik dibimbing menjadi
seorang pembelajar yang mandiri. Pembelajar yang independen, yang akan menjadikannya
sebagai seseorang yang mampu berperan dalam masyarakat sesuai dengan kompetensinya
Lebih lanjut, Ormrod menjelaskan untuk dapat menerapkan pembelajaran student-centered
learning menjadi lebih efektif perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Konsep Student-Centered Learning menekankan pada pemrosesan informasi dari atas ke
bawah (Top-Down processing), yang artinya siswa memulai dari permasalahan yang
kompleks untuk diselesaikan dan kemudian bekerja untuk menemukan keterampilan dasar
yang diperlukan, tentu dengan bimbingan pendidik sebagai fasilitator. Misalnya saja,
ketika pendidik memberikan suatu soal untuk diselesaikan secara bersama dalam
kelompok.
2. Penekanan pada pembelajaran kooperatif. Melalui pembelajaran kooperatif, siswa akan
lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit karena mereka dapat
membicarakannya dengan orang lain. Pembelajaran kooperatif ini merupakan pendekatan
pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai
tujuan bersama dan membantu satu sama lain dalam belajar
3. Pendekatan discovery learning (pembelajaran penemuan) dalam pembelajaran.
pembelajaran penemuan merupakan suatu proses di mana para siswa berinteraksi dengan
lingkungannya dan memperoleh informasi bagi dirinya sendiri Siswa didukung untuk
belajar secara lebih luas berdasarkan pada pemahaman mereka sendiri melalui keterlibatan
yang aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. PENDIDIK mendukung siswa
untuk memiliki pengalaman dan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka
menemukan prinsip-prinsip bagi dirnya sendiri.
4. Peran pendidik sebagai fasilitator dan atau mediator serta asisten. Hal ini merujuk pada
pembelajaran yang dimediasi (mediated learning). Dalam pembelajaran ini, pendidik
berperan sebagai agen kultural yang membimbing siswa sehingga siswa dapat menguasai
dan menginternalisasi keterampilan-keterampilan yang kemudian memungkinkan siswa
untuk mencapai fungsi-fungsi kognitif yang lebih tinggi.
5. Mendorong siswa mengembangkan self-regulated learning. Para ahli kognitif sosial dan
psikolog kognitif mulai menyadari bahwa untuk menjadi pembelajar yang benar-benar
efektif, siswa harus terlibat dalam beberapa aktivitas mengatur diri (self-regulated
activities). Siswa tidak hanya sekedar mengatur perilakunya sendiri, melainkan juga
mengatur proses-proses mental mereka sendiri Pembelajaran yang diatur sendiri mencakup
proses-proses seperti penetapan tujuan, perencanaan, motivasi diri, kontrol atensi,
penggunaan strategi belajar yang fleksibel, monitor diri, mencari bantuan yang tepat, dan
evaluasi diri. Dalam padangan Vygotsky, self-regulated mungkin berakar pada
pembelajaran yang diatur secara sosial (socially-regulated learning) atau di atur oleh
orang lain. Dalam perkembangannya, jembatan yang masuk akal antara keduanya adalah
pembelajaran yang diatur bersama (co-regulated learning). Pada awalnya, siswa mungkin
masih dibantu dengan scaffolding, namun secara bertahap siswa dibimbing untuk
melakukannya sendiri, hingga dia benar-benar bisa menerapkan pembelajaran yang
diaturnya sendiri.
3. Pertimbangan dan penjelasan pemilihan metode dan pendekatan pembelajaran yang sesuai
dengan kondisi perkembangan masyarakat dan kondisi psikogis siswa secara sistematis,
sistemik, dan komprehensif!

Pandemi Covid-19 menyebabkan proses pembelajaran tidak berlangsung seperti


konsep ideal dalam proses pembelajaran. Belajar adalah proses interaksi antara siswa, guru,
dan sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar (Abidin, 2016). Belajar sebagai proses
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan interasi antara guru, siswa, dan sumber belajar
dalam suatu lingkungan belajar. Pembelajaran dikatakan berkualitas tinggi jika terjadi
interaksi multi arah seperti antara guru dan siswa, siswa dan guru, antar siswa, siswa dengan
sumber belajar, dan siswa dengan lingkungan belajar (Assidiqi & Sumarni, 2020). Namun,
dari tingkat sekolah dasar dan menengah sampai tingkat perguruan tinggi. kegiatan belajar
dan mengajar terganggu dengan meniadakan pembelajaran tatap muka secara langsung.
Proses pembelajaran harus berjalan secara online.

Pandemi memaksa lompatan digital teknologi dalam pembelajaran. Komunikasi


antara peserta didik dan pendidik memerlukan metode pengajaran khusus dalam
pembelajaran jarak jauh.. Pendidik dituntut kreatif lebih proaktif dalam mempersiapkan
masyarakat untuk transformasi digital dan menangani transformasi digital pendidikan. Selain
itu,peserta didik dihadapkan penguasaan dapat mengelola dan menguasai masa depan digital
selama pembelajaran. Alhasil, transformasi digital dalam dunia pendidikan di masa yang
bergejolak juga menciptakan peluang dan tantangan yang diakui oleh masyarakat.
Keberagaman dalam proses pembelajaran ini selanjutnya memberi pengaruh pada semakin
melebarnya kesenjangan hasil pembelajaran siswa selama pandemi.

Hasil penemua The SMERU Research Institute (2020) menunjukkan dua hal.
Pertama, analisis ketimpangan belajar di dalam kelas menunjukkan bahwa siswa yang
memiliki akses terhadap perangkat digital, memiliki guru adaptif, pada kondisi sosial
ekonomi lebih tinggi, serta mempunyai orang tua yang aktif berkomunikasi dengan guru
cenderung memiliki kemampuan di atas rata-rata. Kedua, ketimpangan hasil belajar antar
siswa dalam satu kelas pun diprediksi akan semakin lebar. menunjukkan risiko yang lebih
besar dari semakin melebarnya kesenjangan pembelajaran ini. Pembelajaran selama covid-19
memiliki dampak yang lebih besar pada beberapa kelompok siswa, di mana siswa yang
berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi lebih rendah lebih berisiko tidak
terdaftar lagi atau tidak lagi berpartisipasi dalam proses pembelajaran (Studi inovasi dan
puslitjak ,2020). Apabila tidak ada intervensi yang mendorong pendidik untuk menyusun
pembelajaran yang memperhatikan keragaman kemampuan belajar siswa, maka siswa dengan
kemampuan rendah akan semakin tertinggal dari siswa lainnya.

Sejalan hal tersebut, pada dasarnya peranan pendidik juga tidak dapat
dikesampingkan dalam proses pembelajaran. Pendidik berperan sangat penting bagi tumbuh
kembangnya peserta didik dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Peserta
didik, dapat mengembangkan kemampuannya dan semua potensi yang dimilikinya kearah
yang positif. Dalam hal tersebut tentunya tetap pada pengawasan pendidik. Penentu utama
keberhasilan pendidikan adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan
maupun teori belajar (Sagala;2017). Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa peserta didik
adalah pribadi yang “unik” yang mempunyai potensi dan mengalami berkembang (Djamarah,
2011). Peserta didik antara satu dan yang lain tidak dapat disamakan. Perbedaan individual
terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya
yang berkaitan dengan kecerdasan dan bakat tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat
perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita bahkan perbedaan ke pribadian secara
keseluruhan. Pendidik perlu memahami perkembangan individu peserta didiknya baik itu
prinsip perkembangannya maupun arah perkembangannya.

Oleh sebab itu, Pemilihan metode dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi perkembangan masyarakat serta kondisi psikologis siswa perlu mempertimbangkan
beberapa faktor kunci sebagai berikut:
1. Perkembangan Kognitif. Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual
Ruseffendi dalam Dwi Siswoyo, dkk. (2013: 101) menyebutkan sebagai berikut: 1).
Bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama. Maksudnya setiap manusia akan mengalami urutan tersebut
dan dengan urutan yang sama; 2). Bahwa tahap-tahap perkembangan didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokkan,
pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku
intelektual. 3) bahwa gerak melalui melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh
keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi
antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi). Guru perlu
menyesuaikan tingkat perkembangan kognitif yang dimiliki peserta didik akan dalam
memilih dan menggunakan pendekatan pembelajaran, metode, media, dan jenis evaluasi.
Di sekolah dasar, pada dasarnya anak belajar melalu benda kongkrit. Untuk memahami
konsep abstrak anak memerlukan benda-benda kongkrit sebagai perantara atau
visualisasinya.
2. Kemampuan kognitif. kemampuan kognitif berkaitan anak dapat berpikir, memahami,
dan mengeksplor hal-hal menjadikan bekal peserta didik untuk pembelajaran.
kemampuan awal atau entry behavior menurut Ali (1984: 54) merupakan keadaan
pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh peserta didik
sebelum mempelajari pengetahuan atau keterampilan baru. Pengetahuan dan
keterampilan yang harus dimiliki terlebih dahulu maksudnya adalah pengetahuan atau
keterampilan yang lebih rendah dari apa yang akan dipelajari. Contohnya Siswa sebelum
mempelajari tentang pembagian maka siswa tersebut harus mengusai terlebih dahulu
tentang konsep pengurangan. Kemampuan awal bagi peserta didik akan banyak
membawa pengaruh terhadap hasil belajar yang dicapainya. Oleh karena itu seorang
pendidik harus mengetahui kemampuan awal peserta didiknya. Jika kemampuan awal
peserta didik telah diketahui oleh pendidik, maka pendidik tersebut akan dapat
menetapkan dari mana pembelajarannya akan dimulai. Kemampuan awal peserta didik
bersifat individual, artinya berbeda antara peserta didik satu dengan lainnya, sehingga
untuk mengetahuinya juga harus bersifat individual.
3. Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar yang perlu diketahui para
pendidik, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya ditingkat Sekolah
Dasar. Seorang pendidik harus dapat menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan
keadaan peserta didiknya, maka sangat penting bagi seorang pendidik mengetahui
karakteristik peserta didiknya. Selain karakteristik yang perlu diperhatikan juga adalah
kebutuhan peserta didik. pemahaman terhadap karakteristik peserta didik dan tugas-tugas
perkembangan anak SD dapat dijadikan titik awal untuk menentukan tujuan pendidikan
di SD, dan untuk menentukan waktu yang tepat dalam memberikan pendidikan sesuai
dengan kebutuhan perkembangan anak itu sendiri.
4. Gaya belajar merupakan cara termudah yang dimiliki oleh individu dalam
menyerap,mengatur, dan mengolah informasi yang diterima. DePorter & Hernacki (2009)
mengemukakan bahwa gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap dan
kemudian mengatur serta mengolah informasi. Gaya b elajar yang sesuai adalah kunci
keberhasilan peserta didik dalam belajar.Dengan menyadari hal ini, peserta didik mampu
menyerap dan mengolah informasi dan menjadikan belajar lebih mudah dengan gaya
belajar peserta didik sendiri. Penggunaan gaya belajar yang dibatasi hanya dalam satu
bentuk, terutama yang bersifat verbal atau dengan jalur auditorial, tentunya dapat
menyebabkan adanya ketimpangan dalam menyerap informasi. Oleh karena itu, dalam
kegiatan belajar, peserta didik perlu dibantu dan diarahkan untuk mengenali gaya belajar
yang sesuai dengan dirinya sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.
Terdapat tiga modalitas (type) dalam gaya belajar yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.
5. Pemenuhan kebutuhan dasar peserta didik. Dalam rangka pencapaian perkembangan diri
peserta didik, sekolah dan pendidik seyogiyanya dapat menyediakan dan memenuhi
berbagai kebutuhan peserta didiknya dalam rangka pencapaian perkembangan diri siswa.
seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis, pemenuhan kebutuhan rasa aman, pemenuhan
kebutuhan kasih sayang atau penerimaan, pemenuhan kebutuhan harga diri , pemenuhan
kebutuhan akatualisasi diri.
6. Teknologi yang terus berkembang. Penggunaan teknologi dan informasi sebagai media
pembelajaran agar pembelajaran semakin menarik dan tidak hanya terpaku kepada guru.
Dalam penggunaannya, media teknologi dan informasi memang sulit di operasikan dan
membutuhkan keahlian khusus untuk menjalanknnya. Media pembelajaran dengan jenis
ini sangat memudahkan guru dalam kegiatan belajar mengajar, karena guru dapat tidak
lagi menjelaskan ulang materi telah dibahas. Dan cakupan dalam media berbasis
teknologi ini sangat luas sehingga sangat mudah untuk dijangkau peserta didik.
7. Globalisasi. Adanya arus globalisasi semakin meningkat, memungkinkan pertukaran ide,
budaya, dan informasi di antara masyarakat yang berbeda di seluruh dunia. Hal ini juga
memberikan tantangan dan peluang dalam hal adaptasi mempersiapkan penting untuk
mempertimbangkan metode, pendekatan pembelajaran yang meningkatkan keterampilan
abad ke-21, seperti keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan pemecahan
masalah. Metode yang menekankan pada pengembangan keterampilan ini akan
membantu siswa untuk sukses dalam masyarakat yang terus berubah.
8. Kondisi masyarakat dan lingkungan sosial juga penting untuk dipertimbangkan.
Pemahaman akan nilai-nilai budaya lokal, kebiasaan, dan konteks sosial dapat membantu
dalam merancang metode pembelajaran yang relevan dan bermakna bagi siswa.
Masyarakat saat ini dihadapkan pada perubahan-perubahan sosial yang signifikan,
termasuk isu-isu seperti ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, isu kesehatan global,
migrasi, serta perubahan politik yang mempengaruhi dinamika sosial di berbagai negara.

Anda mungkin juga menyukai