Anda di halaman 1dari 17

KONSEP IJTIHAD SUFI KONTEMPORER DALAM PILIHAN

Irshandi Zaidan Awalino (23107009)

Program Studi Tasawuf Psikoterapi Fakultas Ushuludin dan Dakwah

Institut Agama Islam Negeri Kediri

Jalan Sunan Ampel, no.7 Ngronggo, Kec. Kota Kediri, Kota Kediri Jawa Timur Kode Pos
642217

E-mail : irshandiawalino@gmail.com,
Abstract
In the contemporary development of the ijtihad process today, there are various obstacles if this
process is still employed. Apart from the numerous and challenging qualifications to become a
mujtahid, engaging in ijtihad also entails many temptations of self-interest. Nevertheless, a
mujtahid's sincerity in this matter can serve as a reference for seeking laws that were not
present in the time of the Prophet. When choosing representatives, it should not be solely based
on preferences or fanaticism; instead, making a sincere effort in determining choices is a step
towards the nation's well-being. As Indonesian citizens with the right to vote, we should be able
to make informed choices for the benefit of our nation.

Keywords : Ijtihad, Draft, Choice, Contemporary

Abstrak

Dalam pengembangan proses ijtihad pada masa kontemporer saat ini, ada berbagai rintangan jika
proses ijtihad ini masih digunakan. Selain syarat menjadi seorang mujtahid itu sangat banyak
dan tidak mudah, berijtihad juga memiliki banyak godaan kepentingan. Namun, kesungguhan
seorang mujtahid dalam hal ini bisa sebagai acuan untuk mencari hukum yang tidak ada di masa
nabi. Memilih wakil rakyat jangan hanya dengan menggunakan dasar kesukaan atau kefanatikan
semata namun, bersungguh-sungguh dalam menentukan pilihan adalah salah satu langkah ikhtiar
untuk kebaikan bangsa. Sebagai masyarakat indonesia yang telah mempunyai hak pilih
seharusnya bisa menjatuhkan pilihan kita kepada seorang yang tepat.

Kata Kunci : Ijtihad, Konsep, Pilihan, Kontemporer


INTRODUCTION

Ijtihad dalam Islam meliputi semua dimensi ilmu-ilmu keislaman tanpa kecuali 1. yang
termasuk di dalamnya akidah, syariat dan akhlak dengan berbagai implikasinya, khususnya
ketika terjadi akulturasi antara agama Islam dengan budaya lain, seperti Mesir, Siria, Persia,
Yunani, India dan lain-lain yang dari padanya kaum muslim mengambil faedah. 2 Kesungguhan
dalam penentuan pilihan sangat diperlukan dalam hal ini. Mungkin dengan berijtihad kita dapat
menentukan pilihan yang tepat. Banyak sekali permasalahan ketika pada saat ini kita dihadapkan
dengan hasil ijtihad yang berbeda beda. Meskipun ada kaidah fiqhiyyah yang mengatakan sebuah
ijtihad tidak dapat menghapus ijtihad yang lain. 3 Oleh sebab itu, kesungguhan dalam hati pribadi untuk
berijtiad dengan benar sangat diperlukan.

Dengan kesungguhan dalam menentukan pilihan yang tepat diharapkan membawa


Indonesia menjadi negera yang lebih maju. Secara sudut pandang tasawuf ijtihad dalam
penentuan adalah sebuah kebaikan walaupun menurut tasawuf tak berijtihad pun, itu juga
Negara tetap baik-baik saja karena semua calon sudah ditetapkan oleh Allah dan bagaimana
Indonesia kelak juga telah ditentukan oleh Allah. Sejatinya politik adalah permainan dunia
saja. Menurut seorang sufi kontemporer “Yang lebih baik dari politik adalah kemanusiaan”
Gus Dur. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya menjadi seorang mujtahid pada masa
kontemporer saat ini sangat sulit, selain dari banyaknya macam godaan politik dan anomaly
yang berkembang dikhalayak, hal-hal sudut pandang tasawuf itu juga menjadi pronlem sendiri
bagi seorang mujtahid. Banyaknya asumsi orang dan munculnya berbagai macam anggapan
buruk kepada kiyai mujtahid juga memberikan hambatan. Kekurangan dari ijtihad sebagai alat
untuk menentukan pilihan pada saat pemilu adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan dari
para kiyai mujtahid tanpa memperdulikan sentimental dari diti seorang mujtahid lain.

Banyaknya anggapan tentang apakah benar ketika ijtihad itu dijadikan sebagai hujjah
dalam proses pemilu itu sesuai dengan ajaran Islam dan apa sebenarnya ijtihad itu fungsinya
apakah ketika ada seorang kyai yang mengatakan telah berijtihad untuk sebuah pemilu atau
pemilihan umum itu sesuai dengan konsep dasar ijtihad atau tidak banyak sekarang mujtahid
mujtahid itu yang menyebutkan bahwa dirinya itu mujtahid dan telah memberikan sebuah
dukungan atau salah satu dukungan itu kepada hal tertentu apakah itu seorang kyai itu atau
ulama itu bisa disebut sebagai mujtahid dan bagaimana konsep ijtihad yang benar. Tentunya
1
Yusuf Qardhawi, al-Ijtihad fi al-Syari‟ah, terj. Ahmad Syatori, Ijtihad dalam Syariat (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
h. 1. dan Said Agil Husin al-Munawar, Konsep Usuliyah Prof KH. Ibrahim Hosen : Sebuah Analisis (Jakarta : t.tp,
1994), h. 4-5
2
MM Sharif, Muslim Thought, it‟s Origin and Achievement, terj. Fuad Moh. Fachruddin, Alam
3
Syamsul bari PENERAPAN KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM DALAM ISTINBATH HUKUM (ANALISIS
KAJIAN DEWAN HISBAH/PERSIS) hal 67
pada permasalahan yang saat ini kerap kali kita temui ketika ada sekian banyak kyai atau
ustadz yang berijtihad. Lantas, Bagaimana Paradoks Pintu Ijtihad ?

Konsep dasar ijtihad adalah bersungguh-sungguh untuk menentukan sebuah hukum


yang belum ada dari zaman Rasulullah. Kebanyakan konsep ijtihad atau ijtihad itu dilakukan
ketika menghadapi masalah-masalah furu'iyah atau masalah-masalah yang berkaitan dengan
ibadah masalah-masalah yang sifatnya ibadah atau cara kita menyembah kepada Allah
subhanahu wa ta'ala ketika ditemukan sebuah hukum yang terjadi pembaruan atau penyesuaian
maka ijtihad itu perlu dilakukan. Ijtihad menjadi hukum ketiga dalam Islam karena ijtihad
dianggap sebagai penyempurna dari hukum-hukum yang ada walaupun pada dasarnya hukum
dalam ijtihad itu sifatnya tidak merubah hukum ijtihad sebelumnya atau ijtihad itu jika terjadi
perbedaan antara seorang mustahit atau sekelompok mustahil itu tidak ada relevansi atau
hubungan yang bisa membatalkan salah satunya namun bisa berjalan dua-duanya jika ijtihad
ini diterapkan dalam proses pemilu lantas terjadi berbagai macam polemik atau perbedaan
daripada kyai-kyai yang menjadi seorang mujtahid bukankah hasil ijtihad itu malah
membingungkan daripada orang-orang atau para pengguna ijtihad atau penggunaan hasil
ijtihad itu hal-hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan yang memiliki tanda tanya sangat besar.
Bagaimana konsep tasawuf dalam ijtihad?

Kami selaku penulis artikel ini dalam proses pembelajaran pengetahuan akan ijtihad
yang terbatas jika nanti ditolak salah tafsirkan mungkin menyebabkan kesesatan. Pada saat ini
banyak sekali oknum-oknum dari orang-orang yang mengaku sebagai dirinya ulama atau kyai
mereka menyebutkan bahwa untuk memilih pasangan calon pada pemilu itu bisa digunakan
dengan metode ijtihad apakah ijtihad atau konsep dasar ijtihad itu sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan dasar ijtihad itu pada awalnya. Misal pada masa sekarang ini di era era politik
yang sangat memanas itu terjadi perbedaan antara kyai ketika menentukan atau berijtihad
seperti halnya yang tersebar dalam website-website yang terdapat di media online
ditemukannya banyak sekali artikel-artikel atau tulisan-tulisan yang menunjukkan bahwa kiai-
kia itu berijtihad had dan hasil ijtihadnya sudah diketahui yaitu pasangan calon tertentu apakah
itu sesuai dengan kondisi saat ini itu yang akan menjadi permasalahan ketika konsep ijtihad
diterapkan. Bagaimana telaah ijtihad kaum sufi itu?

LITERATUR RIVEW
Ijtihad kaum sufi yang dimaksudkan di sini adalah ijtihad kaum sufi yang berkenaan
dengan jalan yang harus ditempuh untuk menemukan cara menyucikan diri agar dapat
sampai ke tingkat tertinggi yaitu dekat dengan Tuhan atau makrifat4. Namun dalam hal ini
ijtihad juga dimaksudkan secara umum. Dengan artian usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh.
Dengan demikian “ijtihada” berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya. Ijtihad dalam pengertian

lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang dimilikinya5. Dengan demikian, ijtihad bisa
digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum
Islam. Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun terminologi. Dalam
hal ini memiliki konteks yang berbeda. Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian
dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau
yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah
yang terkenal dengan maslahat.

Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad
adalah pencurahan seorang faqih atas semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi
komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.Pengertian lain bahwa
ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw.
Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa- masa selanjutnya
sampai sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taklid, ijtihad
tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu (kebangkitan atau pembaruan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan
kehidupan yang semakin kompleks.

Para ulama berbeda pendapat tentang luas dan terbatasnya cakupan kerja ijtihad yang
dilakukan oleh ulama. Dalam arti luas ijtihad itu menurut Harun Nasution6 juga digunakan dalam
bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah, yang menjelaskan bahwa ijtihad juga
digunakan dalam lapangan Tasawuf dan lain-lain. Bahkan kaum sufi adalah mujtahid-mujtahid
dalam masalah kepatuhan sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.Dalam prakteknya, apa yang
disebut dengan ijtihad memang lebih banyak berkaitan dengan upaya penggalian hukum-hukum
4
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology., h. 110 dan Harun Nasution, Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam,” dalam
Ahmad Azhar Basyir, dkk., Ijtihad dalam Sorotan., h. 111.
5
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98.
6
ibid
syara’ atau fiqih yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh para mujtahid/fuqaha’ pada setiap
qurun waktu. Sementara itu, kegiatan dan upaya sungguh-sungguh dari ulama dalam bidang aqidah
7
atau akhlak tidak disebut dengan ijtihad. Dalam kontek ini, Imam Al-Syaukani secara tegas
menyebutkan bahwa ijtihad itu berkaitan dengan kegiatan untuk memahami hukum-hukum syara’.
Sementara itu Ibnu al-Subki8 menyebutkan pula defenisi ijtihad merupakan Pengarahan
kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zanny.

Syarat ijtihad, yang dimaksud dengan syarat-syarat ijtihad disini ialah syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh orang yang akan melakukan ijtihad. Syarat-syarat yang telah dirumuskan oleh
ulama ini tujuannya adalah agar tidak semua orang melakukan ijtihad atau semua orang tidak
mungkin memapu melakukan ijtihad.9 Sekalipun terdapat perbedaan persyaratan dalam
melakukan ijtihad ini dikalangan ulama, namun persyaratan ini sangat diperlukan dan tidak
dilakukan oleh sembarang orang bahkan, mengingat pentingnya persyaratan ini agar kuantitas
produk hukum yang dihasilkan lewat ijtihad lebih terjamin.

Berikut ini dikemukakan sejumlah persyaratan yang harus dimiliki oleh orang yang akan
melakukan ijtihad .
1. Menurut Muhammad Abu Zahrah10. Syarat-syarat ijtihad itu adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui bahasa Arab dengan baik.

b. Mengetahui dan paham tentang Al-Qur’an – terutama yang berkaitan dengan


nasikh–mansukh.
c. Mengetahui Sunnah (Hadis) Nabi dengan baik.
d. Mengetahui dan memahami berbagai persoalan yang disepakati (ijma’) dan yang
tidak disepakati di kalangan ulama.
e. Mengetahui qiyas – yaitu teori analogi hukum
f. Mengetahui maqashid al-syarî’ah atau sering juga disebut maqashid al- ahkam –
yaitu tujuan pokok diturunkannya syari’at Islam.

2. Menurut Imam Al-Syaukani11


a. Mengetahui nash al-qur’an dan Sunnah. Bila salah satunya kurang (tidak dikuasai)
maka seseorang tidak boleh melakukan ijtihad dan ia tidak dipandang sebagai
7
Imam al-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 250
8
Ibnu al-subky, Matn Jam’i al-jawâmi. (Beirut: Dar al-fikr, 1982), Jilid. II, h. 379.
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), Jilid. II, Cet. II, h. 227
10
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 380-389
11
Muhammad al-Syaukani, op.cit., h. 250-252
mujtahid.
b. Mengetahui persoalan-persoalan yang telah disepakati oleh ualama (ijma’) sehingga
tidak mengeluarkan fatwa atau hasil ijtihad apa yang telah disepakati sebelumnya.
c. Mengetahui bahasa Arab (lisan Arab) dengan baik, sehingga akan memungkinkan
bagi seorang untuk menjelaskan apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa tidak boleh membuka ruang ijtihad terhadap
suatu hukum yang telah ditetapkan dalil Al-Qur’an yang pasti 12. Seperti kewajiban puasa atas
umat Islam, larangan khamar, makan daging babi, juga tentang hukum pembagian harta pusaka
bahwa bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan serta hukum-hukum
lainnya yang telah ditetapkan oleh dalil Al-Qur’an dan hadis yang pasti. Hal itu sebagaimana
yang telah dikonsensusi umat Islam sebagai sendi pemikiran dan perilaku umat Islam.
Tidak boleh menganggap hukum zanni sebagai hukum yang qat‘i.13 Dalam nomenklatur hukum
Islam, ada hukum suatu masalah yang qat}‘i dan yang zanni. Mengenai hukum yang dalilnya qat‘i
haruslah tetap qat‘i dan masalah yang dalilnya zanni diperlakukan sebagai z}anni. Bukan
melakukan yang sebaliknya, yaitu yang qat‘i dianggap zanni lalu dikerahkan nalar untuk berijtihad
mengutak-atiknya sehingga terkesan menjadi zanni. Begitu pula yang zanni tidak boleh diusahakan
agar ia menjadi qat‘i. Keempat, menghubungkan fikih dengan hadis. Yusuf al-Qaradawi
menekankan urgensinya memadukan antara fikih dengan hadis, sehingga tidak akan dijumpai lagi
seorang mujtahid yang secara intens menekuni hadis an sich. Sementara tidak banyak menaruh
perhatian kepada studi fikih.14

METHOD

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan pendekatan
kualitalif. Penelitian studi kepustakaan adalah jenis penelitian yang menggunakan kajian literatur,
12
Abu Yazid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 56
13
mir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid 2 (Cet. IV; Jakarta: Kencana Prenada, 2008),h. 224.
14
Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘as}ir (Cet. II; Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1998M/1418H), h. 104.
buku, catatan, hasil penelitian sebelumnya yang relevan, dan referensi lainnya dalam pengumpulan
informasi dan data secara mendalam, serta sebagai landasan teori untuk mendapatkan jawaban
mengenai masalah yang akan diteliti. Penelitian ini dihadapkan langsung dengan data atau teks
yang disajikan, bukan dengan data lapangan atau melalui saksi mata berupa kejadian, peneliti
hanya berhadapan langsung dengan sumber yang sudah ada di perpustakaan atau data bersifat siap
pakai, serta data-data sekunder yang digunakan ataupun dengan menggunakan data pada media
online lainnya.
Dalam proses penelitian, tahap awal mencakup penentuan tujuan dan pemilihan objek
penelitian yang sesuai. Langkah berikutnya melibatkan pemilihan metode pengumpulan data,
seperti wawancara, observasi, atau analisis data, serta perencanaan pengumpulan data dengan teliti.
Setelah data terkumpul, langkah kritis berikutnya adalah melakukan analisis data kualitatif, yang
mencakup pengorganisasian, pemberian label, dan interpretasi data. Pentingnya validasi dan
verifikasi data juga tidak bisa diabaikan guna memastikan keakuratan dan konsistensi informasi.
Hasil analisis data berfungsi sebagai dasar untuk merinci deskripsi mendalam mengenai subjek
penelitian, dan laporan penelitian disusun untuk menyampaikan temuan kepada pembaca. Dalam
konteks penelitian deskriptif kualitatif, dapat terungkap wawasan yang mendalam mengenai
fenomena yang sedang diteliti dan memiliki dampak yang signifikan. Salah satu metode analisis
terhadap data data yang telah terkumpul dan melakukan perbandingan antara data satu dengan data
yang lain dalam menemukan ilmu penegtahuan tentang islam.
Pendekatan Teologi Normatif, Pendekatan Historis, Pendekatan Sosiologis, Pendekatan
filosofis, Pendekatan Fenomenologi. Setelah data yang diperlukan berkenaan dengan ijtihad kaum
sufi terkumpul, langkah berikutnya, penulis melihat realibilitasnya, apakah data itu valid dan
akurat untuk dijadikan bahan analisis. Selanjutnya, data dianalisis dengan konten analisis. 15
Analisis ini dipilih, berhubung banyaknya sufi yang tercatat dalam sejarah yang bertebaran pada
berbagai pelosok dengan pendapatnya masing-masing. Namun pendapat-pendapat mereka secara
substansial dapat dikatakan sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, apalagi antara satu
sufi dengan sufi yang lain saling menguatkan dan tidak ada perselisihan di antara mereka. Data itu
seterusnya dianalisis secara deduksi, induksi dan komparatif .

RESULT/FINDINGS

Pintu Ijtihad

Pada abad empat Hijriyah, daulah islamiyah terbagi menjadi beberapa negara. Hal itu menjadi

15
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV (Cet.I; Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), h. 68.
lemah bagi kaum Muslim karena hubungan antarnegara tersebut menjadi terputus. Selain itu juga
meyebabkan melemahnya kebebasan berpikir. Dengan sebab tersebut mereka mempunyai
sikap yang loyal dan fanatik terhadap para ulama mazhab tersebut. Maka dari itulah menyebabkan
mereka berpendirian bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan mereka bukan lagi orang yang ahli

ijtihad.16 Namun benarkah pintu ijtihad itu sudah tertutup? Itulah yang menjadi permasalahn
kita sekarang ini. Kalau dicermati dengan saksama, pendapat mereka tentang pintu ijtihad telah
tertutup karena adanya permasalahan yang dipengaruhi oleh perkembangan politik pada masa itu.17
Selain ada perasaan bahwa ijtihad itu cukup dengan ijtihad yang terdahulu, mereka di sisi lain juga
merasa tidak mampu. Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,
berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Sedangkan golongan yang memandang bahwa pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imam mujtahid kenamaan.

Kini kita akan mengetahui argumentasi dari golongan yang berpendapat pintu ijtihad itu
telah terbuka dan tertutup yaitu: pertama, menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam
yang semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku sehingga Islam akan ketinggalan
zaman. Sebab, akan banyak kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur’an dan
sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu tidak dapat diketahui bagaimana status
hukumnya.Kedua, menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama Islam untuk
menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau
dalil hukum Islam.Ketiga, dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan baru yang
dihadapi umat akan dapat diketahui hukumnya. Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu
berkembang dan tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman. Golongan yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup antara lain beralasan bahwa hukum Islam baik dalam
bidang ibadah, muamalah, munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah lengkap dan
dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi. Kedua,
mayoritas ahlus sunnah hanya mengakui mazhab empat. Oleh karena itu, tiap-tiap yang menganut
mazhab ahlus sunnah harus memilih salah satu dari empat mazhab. la terikat dan tidak boleh
pindah mazhab. Ketiga, membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan membuang- buang
waktu, juga hasilnya akan berkisar dalam mazhab.18

Konsep Tasawuf

16
Rahmat Syafe›i, Ilmu Ushul Fiqh…, h. 110.
17
Mukti, Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1990
18
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fikih (Jakarta: Pustaka Hidayah, t.t.), h. 102.
Tasawuf merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang asasnya terdapat dalam al-
Qur‟an dan sunah, serta dicontohkan oleh Nabi, sahabat, tabiin dan ulama-ulama sufi muktabar,
akan tetapi perkembangan selanjutnya, tasawuf banyak berakulturasi dengan budaya lain yang
sedikit banyaknya dapat mempengaruhi essensi tasawuf dalam Islam.Hamka mengatakan bahwa:
Tasawuf dalam Islam, terdapat unsur Hindu dan Parsi, agama Nasrani dan filsafat Yunani 19.
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Harun Nasution20. Hal ini berpotensi memunculkan
ajaran tasawuf yang menyimpang atau tidak berorientasi ideologi gerakan Islam.Simuh
mengatakan bahwa: Konsep sufisme tentang ilmu gaib, tawassul, keramat, pemitosan wali Allah,
masih memenuhi selera emosional masyarakat awam. Sedangkan tujuan para sufi merintis jalan
dan mengembamgkan ajaran tasawuf adalah untuk memantapkan keyakinan agama dan untuk
menghidupkan serta menggairahkan pengamalan syariat, namun demikian yang perlu diwaspadai
tasawuf yang menyimpang dan mengahancurkan akidah21.

M. Ardhani mengatakan bahwa konsep tasawuf yang ditulis oleh sufi muktabar seperti
Abu Nasr al-Sarraj, al-Tusi, al-Qusyairi, al-Gazali, al-Kalabazi dan lain-lain, didasari oleh teologi
Asy‟ari karena kesesuainnya dengan semangat al-Qur‟an dan sunah dan menggunakan takwil
yang dekat dengan teksnya. Dalam catatan sejarah, tasawuf seperti ini disebut dengan tasawuf
sunni. Sedangkan konsep tasawuf dalam berbagai karya sufi seperti al- Busthami, al-Hallaj, Ibn
Arabi dan lain-lain, dengan paham Ittihad, hulul dan wahdah al-wujud, meskipun didasarkan kepada
al-Qur‟an dan sunah, namun menggunakan takwil yang sangat jauh dari al-Qur‟an dan sunah.
Dalam sejarah tasawuf seperti ini disebut dengan tasawuf falsafi/non sunni.22 Sedangkan menurut
Muhammad Amin al-Kurdi menjelaskan tasawuf sebagai ilmu yang membahas kebaikan dan
keburukan jiwa serta proses pembersihan jiwa dari sifat tercela. Muhammad Ali Al-Qassab
memandang tasawuf sebagai akhlak mulia yang muncul dari individu yang mulia di tengah-tengah
masyarakat yang mulia juga.23

Ijtihad Kaum Sufi

Ijtihad sebagai prinsip gerakan Islam, meliputi semua dimensi ajaran Islam tanpa kecuali
baik mengenai akidah, syariat dan akhlak tasawuf sebagai ajaran dasar Islam sabagaimana disebut
dalam al-Qur‟an dan hadis mutawatir, maupun ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya sebagai

19
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, h. 51-58
20
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. II; Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 58-59.
21
Abdul Qadir Jailani. Simuh, Sufisme Sebagai Tempat Pelarian Masyarakat Modern, Pengantar dalam Robby H.
Abror, Tasawuf Sosial (Cet. I; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h. VI-VII.
22
M. Ardhani, Nilai-Nilai Spiritual dalam al-Qur‟an dan Sunnah, h. 33.
23
Analisis Terhadap Karya Fihi Ma Fihi” 2021)
ilmu non dasar. Sebagai prinsip gerakan Islam, ijtihad akan berlangsung terus sepanjang masa
tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Khusus dalam sufisme, ijtihad dimaknai sebagai upaya atau
kerja keras melalui ketaatan menjalankan syariat yang dilaksanakan dengan mujahadah dan
muraqabah serta melakukan suluk atau perjalanan spritual menempuh maqamat, guna mensucikan diri
lahir batin agar dapat memperoleh hikmah berupa anugerah untuk memakrifati Allah sebagai ujung
perjalanan spiritual seorang sufi. Ijtihad kaum sufi mengenai kepatuhan, baik berkenaan dengan
amalan lahir (eksoterik) maupun amalan batin (esoterik) mempunyai dasar yang kuat dalam al-
Qur‟an dan hadis, demikian pula ajaran mengenai suluk dalam hal ini taubat, wara‟, zuhud, faqr,
sabar, syukur, tawakal dan rida, juga mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur‟an dan hadis.

Pada masa Nabi dan sahabatnya, bahkan lebih seratus tahun setelah wafatnya Nabi, dunia Islam
belum mengenal istilah kaum sufi sebagaiman juga belum dikenal istilah mutakallim, fuqaha‟, filosof
Islam, mufassirin dan muhaddisin. Namun pada hakekatnya, ajaran-ajaran sufi itu, telah mereka amalkan
dalam kehdupan mereka sehari-hari. Nabi dan sahabatnya sangat patuh menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangannya, mereka berakhlak mulia dan hidup sederhana, walaupun umat Islam pada waktu itu
telah berhasil menaklukan wilayah-wilayah sekitar Mekah yang mendatangkan rezki yang melimpah
ruah.Namun diakui bahwa dalam perjalanan sejarahnya, ketika agama Islam berakulturasi dengan
agama dan budaya lain, seperti agama Yahudi, Nasrani serta budaya Yunani, Parsi dan India,
agama Islam diperkaya oleh unsur lokal atau kearifan lokal sesuai dengan kondisi suatu tempat
pada waktu tertentu, tetapi walaupun demikian mistisisme Islam, memiliki ciri khas yaitu
senantiasa disemangati oleh al-Qur‟an sebagai sumber utama dan hadis sebagai sumber kedua
yang jauh berbeda dengan mistik lainnya, baik itu berkenaan ideologinya, maupun gerakannya.

DISCUSSION

Dua Pendapat Tentang Pintu ijtihad

Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV Hijriyah sampai detik ini
tak seorangpun ulama berani menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang mujtahid.24 Maka dari itu, bisa dikatakan mudah untuk memenuhi atau
melakukan suatu tindakan dengan menggunakan ijtihad tersebut.Tetapi jika mengikuti aturan
atau mekanisme ijtihad tersebut tentang siapa saja yang bisa memasuki wilayah ijtihad maka
sangat tidak layak jika ijtihad itu diperuntukkan kepada orang yang ahli dalam segala hal
yang telah tercantum di atas tadi. Dan sudah pasti di Indonesia khususnya dan seluruh umat
Muslim di dunia pada umumnya tidak mungkin ada yang mampu menguasai dan layak
memasuki wilayah ijtihad.Jika dilihat dari pengertian tentang ijtihad itu sendiri, mungkin
saja boleh melakukan ijtihad walaupun belum memenuhi persyaratan dari ijtihad tersebut.
Dan juga bisa mencari dan menelaah tentang bagaimana mencari jalan keluar dari suatu
permasalahan.

Muslimin (secara historis) menggunakan kesempatan ijtihad untuk melepaskan tanggung


jawab dalam menjawab permasalahan kehidupan yang belum ditemui dalam hukum yang jelas
(dhahir) sampai datangnya masa penaklukan kota Baghdad di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah
oleh Bangsa Tartar (sekitar 665 H.) Setelah adanya kejadian tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan
pintu ijtihad menjadi “tertutup”. Dari sinilah hak ijtihad hanya menjadi milik mujtahid terdahulu.
Para ulama membagi hukum melakukam ijtihad menjadi 3 bagian, yaitu: pertama, fardhu
‘ain, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi dan ia
khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada kepastian hukumnya. Atau ia sendiri
mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya. Kedua, fardhu kifayah, bagi orang
yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang yang dikhawatirkan lenyap
peristiwa itu, sedangkan selain ia tidak ada lagi mujtahid-mujtahid yang lainnya.

Maka apabila ke semua mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad maka mereka berdosa
semua. Tetapi apabila ada seorang dari mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntutan
ijtihad atas diri mereka. Ketiga, sunnat, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah- masalah yang
belum atau tidak terjadi25 hal tersebut menujukkan urgensi upaya ijtihad karena dengan ijtihad dapat
mendinamisir hukum Islam dan mengoreksi kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang merupakan
upaya pembaruan hukum Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Bakar al- Baqilani bahwa
setiap ijtihad harus diorientasikan pada pembaruan sebab setiap periode memiliki ciri tersendiri
sehingga menentukan perubahan hukum. Tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi
ijtihad yang lama sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad yang lama.
Bahkan sekalipun berbeda, hasil ijtihad baru tidak bisa mengubah status ijtihad yang lama, hal itu
seiring kaidah fiqhiyah “al-ijtihadu la yaudlu bi al-ijtihadi” (ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan
ijtihad pula).
24
Al Wafi Has ijtihat sebagai pemecahan masalah umat islam. h. 107
25
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fikih (Jakarta: Pustaka Hidayah, t.t.), h. 102
Konsep Tasawuf Ijtihad

Penemuan konsep tasawuf dari literatur sufi, etimologi kata "tasawuf," dan ijtihad
membawa pemahaman mendalam tentang urgensi tasawuf dalam konteks modern. Sebagai
pandangan terhadap ajaran Islam, tasawuf tidak hanya melengkapi perspektif fiqih, kalam, dan
filsafat, tetapi juga menjadi kebutuhan penting dalam memahami dan menghayati Islam. Dalam
era modern yang dipenuhi kompleksitas tantangan dan godaan, tasawuf bukan hanya setara,
melainkan menjadi disiplin yang mendesak untuk melatih individu agar lebih siap menghadapi
dinamika kehidupan. Fenomena upaya mengarahkan kebudayaan Islam ke masa lalu dengan
ajaran tasawuf menegaskan perlunya pengembangan tasawuf yang positif sebagai alternatif
kerohanian yang sehat, menjauhkan diri dari spiritualisme yang merosot. Dengan menekankan
pada aspek kesederhanaan, kebersihan batin, dan pembebasan dari dunia material, konsep tasawuf
merespons tuntutan spiritualitas di tengah individualisme dan materialisme era ini, memengaruhi
pemikiran masyarakat untuk mencari pemenuhan rohaniah dalam ajaran Islam. Keseluruhannya,
tasawuf menjadi landasan penting bagi keseimbangan spiritualitas dan kehidupan modern.

Muhammad Nursomad Kamba mengatakan bahwa studi tasawuf pada dasarnya bersifat
terbuka, tidak terikat oleh pola pemikiran tertentu, misalnya tasawuf sunni versus falsasi, karena
hal ini merupakan kegagalan intelektual dalam memahami spiritual Islam dan hanya menjurus
pada persoalan- persoalan syatahat, yang sering terjebak dalam generalisasi deduktif yang pada
gilirannya menyalahi ketentuan yang mereka tekankan sehubungan dengan kemutlakan menjamin
keseimbangan antara aspek syariah dan hakikat 26.Sedangkan Ahmad Daudy mengatakan bahwa
tasawuf bukan sesuatu yang berasal dari luar yang disebut ilmu asing, tetapi tasawuf berasal dan
berkembang dari kehidupan kerohanian umat Islam. Karena itu tasawuf adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah umat Islam itu sendiri. Hanya saja ia lahir kemudian dari sebab-sebab
tertentu yang sebagiannya merupakan sebab intern dan sebagian lagi oleh sebab-sebab ekstern
yang berasal dari berbagai pengaruh pemikiran berbagai kebudayaan luar yang masuk ke dalam
masyarakat Islam.

Tasawuf sebagaimana yang diajarkan ulama-ulama sufi pada abad kedua dan ketiga
hijriyah, pasti tidak akan lahir dalam masyarakat Islam sekiranya tidak didakwakan keluar
lingkungan perbatasan semenanjung tanah Arab. 27Penelitian ini hendak menjelaskan ijtihad kaum

26
Muhammad Nursomad Kamba, Dimensi Pragmatis Tasawuf dalam Kerangka Terapi, dalam Nurcholish Madjid et
al., h. 137-13.
27
Ahmad Daudy, Struktur Tasawuf dalam Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Hubungannya dengan Kurikulum
IAIN” dalam Harun Nasution, dkk., Orientasi Pengemangan Ilmu Agama Islam., h. 67
sufi yang beragam sebagai konsekuensi akulturasi dan universalitas Islam, namun tetap
berorientasi pada ideologi gerakan Islam, dalam arti berangkat dari landasan teologis dan
normatif berdasarkan al-Qur‟an dan hadis, serta gerakan sesuai dengan amalan-amalan sahabat
dan tabiin yang taat, kemuidian secara ijtihadi diperkaya oleh unsur lokal yang sesuai dengan
semangat (konteks) ajaran Islam sebagai hudan dan rah}matan li al-„alamin.

Ijtihad Kaum Sufi

Keterlibatan sosial dan kultural para sufi dalam berijtihad telah dicatat oleh sejarah bahwa
diantara kaum sufi, terdapat politisi, pengusaha, ilmuwan dan berbagai status sosial lainnya,
namun mereka senantiasa taat beragama memelihara akhlaknya dan kesederhanaannya. Di tengah
profesi yang ditekuni mereka senantiasa berzikir, bertaubat, wara‟, tawadu‟ tetap istiqamah,
tidak diperbudak oleh harta, sabar dalam mentaati Allah, mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan dan
setelah usahanya maksimal iapun pasrahkan kepada Allah dengan mengharap rida-Nya. 28Namun,
Seiring dengan meningkatnya kegiatan intelektual kaum muslimin, munculah berbagai indentifikasi ilmu-
ilmu keislaman termasuk di dalamnya tasawuf. Pemunculan tasawuf dipicu oleh pola hidup penguasa yang
telah menyimpang dari apa yang dicontohkan oleh Nabi dan sahabatnya. Mereka mabuk kekuasaan
berpoya-poya dan melakukan maksiat. Pasca al- Gazali dan Ibnu Arabi, muncul tarekat atau organisasi
pengikut sufi. Tarekat mengambil alih peran tasawuf dan penyebaran Islam ke berbagai pelosok penjuru
dunia. Karena itu gerakan kaum sufi, harus dimurnikan, terhindar dari tujuan sesaat seperti upaya
politisasi, komersialisasi dan pembodohan umat, karena sepanjang agama jauh dari tendensi
seperti itu, maka ia akan membawa kedamaian, kemaslahatan dan pencerahan. Karena itu,
gerakan kaum sufi harus berangkat dari akidah yang murni, kepatuhan menjalankan syariat, jauh
dari politisasi dan komersialisasi. Walaupun muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan
seperti taklid buta, fanatisme, tawasul, politisasi bahkan sampai kepada komersialisasi tasawuf.
Yang akibatnya umat Islam menjadi jumud, lemah dan mengalami degradasi (kebodohan dan
kemunduran) serta terjajah oleh bangsa-bangsa lain.

Namun jika tasawuf jika dihayati dan diamalkan dengan benar, pasti akan mencerahkan
dan membawa kedaamaian, sebalinya jika disalahfrahami, maka yang Nampak adalah kekerasan,
sadisme, kebengisan dan sejenisnya. Karena itu tasawuf yang berkembang dalam dunia Islam
harus dimurnikan atau direkonstrukasi sesuai dengan al-Qur‟an dan hadis. Sehingga kaum sufi
dapat dipastikan tidak akan pernah terlibat pada suatu gerakan untuk kepentingan sesaat seperti
mendirikan suatu majlis zikir untuk mendukung penguasa/rezim yang korup. Demikian pula
dapat dipastikan bahwa kaum sufi tidak akan pernah terjerumus kegiatan yang mengarah kepada
28
Tasawuf Buya Hamka.’” Academic Journal of Islamic Principles and Philosophy 3 (1): 85–108.
kekerasan, sadisme, terorisme, penyalahgunaan narkorba, selingkuh dan sejenisnya, yang telah
membuat manusia modern mengalami problema psikosomatik yang akut, stres, gelisah, tidak
nyenyak tidur kecuali makan obat tidur, sebagai akibat sikap materialis pragmatis dan hedonis,
loba, rakus dan tamak serta tidak memahami dari dan hendak ke mana hidup ini yang
sesungguhnya. Sebaliknya tasawuf dapat memberi pencerahan, memperindah syariat dan akhlak,
mempersatukan umat, menumbuhkan kreatifitas menuju masyarakat utama baldatun tayyibatun
wa rabbun gafur.29

Maka terlihat bahwa konsep ijtihad sufi memiliki peran yang penting dalam pemahaman
dan penghayatan Islam, terutama dalam menghadapi tantangan dan godaan dalam ijtihad
kontemporer. Konsep sufisme juga mencakup aspek kesederhanaan, kesucian tubuh, pembebasan
diri dari dunia material, dan perbaikan budi. 30Penelitian juga menunjukkan bahwa ijtihad menjadi
sumber utama yang mengurai keutamaan dan amalan-amalan spiritual, menjadi landasan kuat
bagi praktik tasawuf. Meskipun terdapat variasi interpretasi dan penekanan pada aspek-aspek
tertentu dari ajaran tasawuf, keseluruhan konsep ijtihad sufi menunjukkan kekayaan dan
keragaman dalam pemahaman spiritualitas Islam yang dapat memperkaya pandangan umatnya
serta memberikan beragam jalan menuju kedekatan dengan Tuhan.

CONCLUSION

Ternyata walaupun telah banyak hasil ijtihad yang ada dan sulitnya mencari mujtahid
pada masa sekarang namun ada dua pendapat tentang pintu ijtihad pendapat yang pertama pintu
ijtihad dengan konsep-konsep ijtihad itu masih terbuka bagi para mujtahid yang telah memenuhi
29
Bagir, Haidar. 2019. Mengenal Tasawuf. Noura Book.
30
Fasya, Adib‘Aunillah. 2022. “‘Konsep Tasawuf Menurut Imam Al-Ghazali.’”
syarat untuk menjadi seorang mujtahid. Akan tetapi ada pendapat lain mengenai pintu ijtihad
yaitu telah tertutup. Pendapat ini dikarenakan aspek-aspek untuk menjadi seorang mujtahid yang
sangatlah sulit dan tentunya tidak bisa terjangkau oleh ulama-ulama pada masa modern saat ini
sedangkan ketika banyak masalah yang ada saat ini ijtihad yang digunakan adalah ijtihad para
sufi atau para mujtahid pada zaman dulu. karena seluruh permasalahan yang ada pada zaman
sekarang sudah ada padanannya atau bahkan sudah ada rumusan dari mujtahid mujtahid
terdahulu. Sedangkan konsep tasawuf dalam ijtihad yaitu seorang pelaku tasawuf atau kita kenal
dengan Sufi itu membersihkan diri dan tetap membuka atas pengetahuan yang ada pada masa
sekarang dengan kata lain mujtahid mujtahid Sufi tidak tertutup dengan ijtihad ijtihad yang ada.
Serta ijtihad kaum Sufi meliputi semua ajaran syariat Islam kecuali aqidah atau hal-hal yang telah
mutawatir atau ada hukum yang dhohir.

Ijtihad menjadi sumber utama mengurai permasalahan-permasalahan yang ada baik bagi
pelaku tasawuf atau masyarakat pada umumnya jika tak ada padanan hukum. Pentingnya
pemahaman ijtihad yang benar dapat memberikan alternatif kerohanian dengan metode
pendekatan baik secara kuantitatif atau kualitatif yang nantinya sangat penting dalam
melaksanakan syariat agama atau pencucian diri pada diri masing-masing muslim. Selain itu
pendekatan konsep dalam ijtihad adalah dengan mengetahui seluruh apa yang menjadi syarat-
syarat ijtihad selain ada banyak syarat ijtihad dan hukum-hukum ijtihad juga mempelajari
tentang syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid. Dalam pembelajaran serta kehidupan
kebermanfaatan dalam belajar ijtihad atau konsep ijtihad dari sudut pandang Sufi itu menjadikan
seseorang terjaga dari penentuan pilihan yang salah baik itu pilihan dalam hal furu'iyah atau
dalam hal Syariah agama atau pilihan-pilihan yang sifatnya umum atau universal jadi penentuan
pilihan-pilihan dalam hal apapun ketika diisti hati atau dengan konsep ijtihad pendekatan Sufi
akan menjadikan sebuah hasil ijtihad yang sesuai atau lebih valid.

REFERENCES

1. Abdul Qadir Jailani. Simuh, Sufisme Sebagai Tempat Pelarian Masyarakat Modern,
Pengantar dalam Robby H. Abror, Tasawuf Sosial (Cet. I; Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2002), h. VI-VII.
2. Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fikih (Jakarta: Pustaka Hidayah,
t.t.), h. 102.
3. Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fikih (Jakarta: Pustaka Hidayah,
t.t.), h. 102
4. Abu Yazid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat
5. Ahmad Daudy, Struktur Tasawuf dalam Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam
Hubungannya dengan Kurikulum IAIN” dalam Harun Nasution, dkk., Orientasi
Pengemangan Ilmu Agama Islam., h. 67
6. Ajaran Islam,” dalam Ahmad Azhar Basyir, dkk., Ijtihad dalam Sorotan., h. 111.
7. Al Wafi Has ijtihat sebagai pemecahan masalah umat islam. h. 107
8. Amatullah Armstrong, Sufi Terminology., h. 110 dan Harun Nasution, Ijtihad Sumber
Ketiga
9. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), Jilid. II, Cet. II, h.
227
10. Analisis Terhadap Karya Fihi Ma Fihi” 2021)
a. Bagir, Haidar. 2019. Mengenal Tasawuf. Noura Book.
11. Buya Hamka.’” Academic Journal of Islamic Principles and Philosophy 3 (1): 85–108.
12. Fasya, Adib‘Aunillah. 2022. “‘Konsep Tasawuf Menurut Imam Al-Ghazali.’”
13. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, h. 51-58
14. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Cet. II; Jakarta : Bulan Bintang,
1978), h. 58-59.
15. Ibnu al-subky, Matn Jam’i al-jawâmi. (Beirut: Dar al-fikr, 1982), Jilid. II, h. 379.
16. Imam al-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dar al-Fikr,
tt), h. 250
17. Kurniawan, Asep. 2016. “‘Peran Tasawuf Dalam Pembinaan Akhlak Di Dunia Pendidikan
Di Tengah Krisis Spiritualitas Masyarakat Modern.’” JURNAL YAQZHAN: Analisis
Filsafat, Agama Dan Kemanusiaan 2 (1).
18. Kusumastuti, Adhi, and Ahmad Mustamil Khoiron. n.d. Metode Penelitian Kualitatif.
Lembaga Pendidikan.
19. M. Ardhani, Nilai-Nilai Spiritual dalam al-Qur‟an dan Sunnah, h. 33.
20. Mey, Melitasari. 2022. “Tasawuf Di Era Modern Perspektif Buya Hamka Dan Buya
Kamba (Studi Komparasi Konsep Tasawuf).” UIN Raden Intan Lampung.
21. mir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid 2 (Cet. IV; Jakarta: Kencana Prenada, 2008),h. 224.
22. MM Sharif, Muslim Thought, it‟s Origin and Achievement, terj. Fuad Moh. Fachruddin,
Alam
23. Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 380-389
24. Muhammad al-Syaukani, op.cit., h. 250-252
25. Muhammad Nursomad Kamba, Dimensi Pragmatis Tasawuf dalam Kerangka Terapi,
dalam Nurcholish Madjid et al., h. 137-13.
26. Mukti, Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan dan Muhammad
Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
27. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV (Cet.I; Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000), h. 68.
28. Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98.
29. Rahmat Syafe›i, Ilmu Ushul Fiqh…, h. 110.
30. Said Agil Husin al-Munawar, Konsep Usuliyah Prof KH. Ibrahim Hosen : Sebuah Analisis
(Jakarta : t.tp, 1994), h. 4-5
31. Syamsul bari PENERAPAN KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM DALAM ISTINBATH
HUKUM (ANALISIS KAJIAN DEWAN HISBAH/PERSIS) hal 67
32. Yusuf al-Qaradawi, al-Ijtihad al-Mu‘as}ir (Cet. II; Beirut: al-Maktabah al-Islami,
1998M/1418H), h. 104.
33. Yusuf Qardhawi, al-Ijtihad fi al-Syari‟ah, terj. Ahmad Syatori, Ijtihad dalam Syariat
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 1.

Anda mungkin juga menyukai