Anda di halaman 1dari 5

“Penerapan Sanksi Cambuk Bagi Pelaku Zina di Aceh”

Oleh: Natasya Nur Daniah


Jenis: Islamis

Aceh merupakan provinsi yang berstatus daerah otonomi khusus atau istimewa di
wilayah Indonesia, dan hak otonomi khusus ini diakui oleh negara Indonesia melalui Pasal
18B ayat (1) UUD 1945. Dalam menjalankan hak otonomi khususnya, provinsi Aceh
berpedoman kepada UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dimana dalam Pasal
126 diatur bahwa Pemerintahan Aceh mewajibkan para masyarakatnya yang beragama Islam
untuk menaati dan mengamalkan syari’at Islam. Kemudian, bagi masyarakat lain yang tidak
beragama Islam tetapi tinggal atau berada di Aceh pun juga wajib menghormati pelaksanaan
dan penerapan syari’at Islam tersebut.

Salah satu syari’at Islam yang diterapkan di Aceh adalah jinayah atau hukum pidana
yang pelaksanaannya diatur dengan Qanun (hukum) Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat. Salah satu aturan yang paling terkenal dan dibicarakan yang tercantum dalam Qanun
Jinayat ini adalah penerapan sanksi cambuk bagi pelaku zina di Aceh. Lantas seperti apakah
implementasi sanksi cambuk tersebut terhadap para pelaku zina di Aceh berdasarkan Qanun
Jinayat dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap penerapan sanksi cambuk tersebut?
Yuk kita pelajari bersama

H2: Dasar Hukum dan Konteks

Hal-hal yang diatur di dalam Qanun jinayat adalah mengenai pelaku jarimah, jarimah
dan Uqubat. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang di syari’at Islam. Jarimah yang
dimaksud meliputi salah satunya zina atau persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih
dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dan dilakukan atas kesadaran
atau kerelaan kedua belah pihak.

Perbuatan Jarimah tersebut oleh Qanun jinayat ini diancam dengan ‘Uqubat, yaitu
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah. ‘Uqubat terdiri atas Hudud
dan Ta’Zir. Hudud merupakan jenis ‘Uqubat yang bentuk dan besarannya telah ditentukan di
dalam Qanun secara tegas, sedangkan Ta’zir merupakan jenis ‘Uqubat yang oleh Qanun telah
ditentukan bentuknya yang bersifat pilihan dan besarannya dalam batas tertinggi dan/atau
terendah. Perbuatan jarimah zina, diancam dengan sanksi cambuk yang termasuk ke dalam
‘Uqubat Hudud dan ‘Uqubat Ta’Zir utama.

Dasar hukum penerapan sanksi cambuk bagi pelaku zina di Aceh diatur oleh Pasal 33
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Qanun Jinayat dimana ayat 1 dari pasal tersebut mengatur
bahwa setiap orang yang sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Hudud
cambuk 100x. Ayat 2 pasal tersebut juga mengatur bahwa setiap orang yang mengulangi
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk
100x dan dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 120 gr emas murni dan
‘Uqubat Ta’zir penjara paling lama 12 bulan. Bagi mereka yang dengan sengaja menyediakan
fasilitas dan mempromosikan jarimah zina oleh ayat 3 Pasal tersebut juga diancam dengan
cambuk paling banyak 100x dan/atau denda paling banyak 100 gr emas murni dan/atau
penjara paling banyak 100 bulan.

Dasar hukum penerapan sanksi cambuk di Aceh tidak hanya terhadap mereka yang
telah melakukan perbuatan zina tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan yang
mengarah pada zina, perbuatan ini disebut dengan Jarimah Khalwat dan Jarimah Ikhtilath.
Jarimah Khalwat merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis
kelamin, bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan, di tempat tertutup secara tersembunyi
yang mengarah pada perbuatan zina, dan perbuatan ini dilakukan atas kesadaran dua belah
pihak. Sedangkan Jarimah Ikhtilath merupakan perbuatan bermesraan atau bercumbu,
berpelukan, berciuman, bersentuh-sentuhan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin
yang bukan suami istri, dan dilakukan pada tempat tertutup atau terbuka dan dilakukan atas
kesadaran dua belah pihak.

Dasar hukum penerapan sanksi cambuk bagi pelaku zina atau perbuatan Jarimah
Khalwat ada pada Pasal 24 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Qanun Jinayat yang
mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Khalwat diancam
dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 10x atau denda paling banyak 100 gr emas
murni atau penjara paling lama 10 bulan.

Dasar hukum penerapan sanksi cambuk bagi pelaku zina atau perbuatan Jarimah
Ikhtilath ada pada 3 pasal yaitu pertama pada Pasal 25 ayat (1) yang mengatur bahwa setiap
orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Ikhtilath diancam ‘Uqubat cambuk paling
banyak 30x atau denda paling banyak 300 gr emas murni atau penjara paling lama 30 bulan.

Kedua, pada Pasal 26 diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan
Jarimah Ikhtilath sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 dengan anak yang berumur diatas 10
tahun, maka diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 45x atau denda paling
banyak 450 gr emas murni atau penjara paling lama 45 bulan.

Terakhir pada Pasal 27 Qanun Jinayat, diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja
melakukan Jarimah Ikhtilath dengan orang yang Mahram dengannya, selain diancam dengan
‘Uqubat sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (1) (cambuk paling banyak 30x atau denda
paling banyak 300 gr emas murni atau penjara paling lama 30 bulan), juga dapat ditambah
dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 30 gr emas murni atau ‘Uqubat Ta’Zir penjara
paling lama 3 bulan.

Perlu diketahui juga bahwa setiap orang yang diperiksa untuk perkara jarimah
khalwat atau jarimah ikhtilath dan mengakui bahwa mereka telah melakukan perbuatan zina,
maka pengakuannya tersebut dianggap sebagai permohonan untuk dijatuhi ‘Uqubat zina
sebagaimana diatur oleh Pasal 33 Qanun Jinayat.

H3: Implementasi dan Proses

Implementasi sanksi cambuk bagi pelaku zina di Aceh diatur oleh Pasal 248 sampai
dengan Pasal 276 Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dan Pasal 30
Peraturan Gubernur Aceh No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat.
Pelaksanaan ‘Uqubat cambuk ini adalah wewenang dan tanggungjawab dari Jaksa Penuntut
Umum, dan dalam pelaksanaannya, Jaksa menjalin kerja sama dengan instansi/lembaga lain.

Kerja sama yang dimaksud dimulai dari penentuan tempat dan waktu pencambukan
yang merupakan hasil koordinasi antara Jaksa dengan Ketua Mahkamah Syari’ah, Kepala
Dinas Kesehatan dan Instansi yang membawahi Wilayatul Hisbah Kab/Kota setempat. Jaksa
juga akan meminta kepada instansi yang membawahi Wilayatul Hisbah Kab/Kota setempat
untuk mempersiapkan pencambuk. Kepala instansi tersebut kemudian memberitahukan
kesiapan petugas pencambuk kepada jaksa sebelum waktu pencambukan. Kemudian atas
permintaan Jaksa, Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota menyiapkan dokter yang bertugas
untuk memeriksa kesehatan pelaku jarimah sebelum dan sesudah pelaksanaan pencambukan.
Jaksa juga meminta Ketua Mahkamah Kab/Kota setempat untuk menyiapkan Hakim
Pengawas yang bertugas untuk hadir pada pelaksanaan ‘Uqubat cambuk. Terakhir, Jaksa
akan meminta pengawalan terhukum dan pengamanan pelaksanaan pencambukan kepada
Kepolisian Wilayatul Hisbah Kab/Kota setempat.

Berikut merupakan proses implementasi ‘Uqubat cambuk terhadap pelaku zina di


Aceh berdasarkan Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 dan Peraturan Gubernur Aceh No. 5 Tahun
2018:
1. Dokter memeriksa kesehatan terhukum sebelum pencambukan dilaksanakan,
apabila kondisi kesehatan terhukum dinyatakan tidak dapat menjalani
pencambukan maka pelaksanaan pencambukan ditunda sampai yang
bersangkutan dinyatakan sehat untuk menjalani pencambukan. Hasil pemeriksaan
kesehatan tersebut dituangkan oleh dokter dalam surat keterangan yang
diserahkan kepada Jaksa
2. Sebelum pelaksanaan pencambukan, bimbingan rohani singkat dapat diberikan
kepada terhukum oleh seorang ulama atas permintaan jaksa atau atas permintaan
terhukum
3. Sebelum pencambukan, jaksa akan terlebih dahulu membacakan identitas
terhukum, jarimah yang dilakukan dan ‘Uqubat yang dijatuhkan mahkamah yang
telah berkekuatan hukum tetap
4. Pencambukan dilaksanakan di tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang
hadir. Tempat terbuka ini yaitu Lembaga Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan.
Pelaksanaan dilaksanakan setelah adanya naskah kerjasama antara Pemerintah
Aceh dengan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM RI. Anak-anak dibawah
umur 18 tahun dilarang untuk menghadiri dan menyaksikan pencambukan.
5. Pencambukan dilaksanakan di atas alas (bidang) berukuran minimal 3 x 3 meter
dan jarak antara tempat berdiri terhukum dengan masyarakat yang menyaksikan
paling dekat 12 meter
6. Pada saat pelaksanaan pencambukan, terhukum menggunakan baju yang telah
disediakan oleh jaksa. Terhukum kemudian berada dalam posisi bebas dan berdiri
tanpa penyangga. Atas permintaan terhukum atau dokter, terhukum dapat
dicambuk sambil duduk bersimpuh atau berdiri dengan penyangga, tetapi harus
tetap dalam keadaan bebas
7. Selama pencambukan berlangsung, para jaksa, hakim pengawas, dokter serta
petugas pencambuk berdiri di atas atau di sekitar alas tersebut
8. Petugas pencambuk hadir di tempat pencambukan dengan menggunakan penutup
wajah dari kain dan dengan cambuk yang disediakan oleh jaksa
9. Pencambukan dilakukan atas perintah dan aba-aba dari Jaksa
10. Pencambukan dilakukan pada punggung (bahu sampai pinggul) terhukum
11. Jarak antara terhukum dengan petugas pencambuk adalah antara 0,70 meter
sampai dengan 1 meter dengan posisi pencambuk berdiri di sebelah kiri atau
kanan terhukum
12. Petugas pencambuk dapat membuat kuda-kuda dengan jarak antara kaki kiri dan
kanan paling jauh 50 cm. Petugas pencambuk dapat menekuk tangan serta
mengayunkan cambuk ke samping atau ke belakang dan posisi ujung tangannya
tidak lebih tinggi dari bahu
13. Cambukan yang telah dilaksanakan oleh petugas pencambuk tidak dapat
dibatalkan
14. Jaksa dapat menegur, memperbaiki posisi dan atau menukar petugas pencambuk
apabila ketentuan-ketentuan diatas tidak terpenuhi
15. Apabila petugas pencambuk tidak sanggup menyelesaikan pekerjaannya, maka
pelaksanaan pencambukan akan dilanjutkan oleh petugas pencambuk lainnya
16. Pencambukan dapat diberhentikan sementara apabila diperintahkan oleh dokter
berdasarkan pertimbangan medis dan apabila terhukum melarikan diri dari tempat
sebelum pencambukan selesai dilaksanakan.

H4: Perdebatan dan Kontroversi

Penerapan sanksi cambuk di Aceh berdasarkan syari’at Islam ini mengundang


berbagai pendapat dari kalangan masyarakat Indonesia sehingga menimbulkan perdebatan
dan kontroversi. Beberapa masyarakat, bahkan warga Aceh sendiri, mengemukakan bahwa
penerapan Uqubat’ cambuk ini dinilai diskriminatif karena hanya diberlakukan pada kasus
yang melanggar susila, perjudian dan minuman-minuman keras saja. Sedangkan pada kasus
tindak pidana lain seperti korupsi yang menghalangi kesejahteraan masyarakat aceh, itu tidak
diatur oleh Qanun Jinayat. Padahal menurut Syari’at Islam, hukuman kepada seorang
koruptor adalah dipotong tangannya. Hal ini kemudian membuat para Masyarakat Aceh
memandang penerapan sanksi yang berat ini hanya menargetkan kalangan bawah sedangkan
para pejabat kebal terhadap hukum tersebut.

Para penegak dan aktivis HAM juga menyatakan penolakan terhadap penerapan
sanksi cambuk di Aceh. Menurut mereka, penerapan sanksi cambuk ini melanggar dan
bertentangan dengan standar HAM yang dinilai kejam dan tidak manusiawi. Institute for
criminal justice reform (ICRJ) berpendapat bahwa penerapan hukuman cambuk ini menyakiti
raga dan menjatuhkan mental pelaku. Tidak sedikit pula masyarakat awam yang berpendapat
bahwa penerapan hukuman cambuk ini merupakan bentuk penyiksaan maupun penganiayaan
terhadap manusia.

Menurut para penegak HAM, penerapan sanksi cambuk ini bertentangan dengan apa
yang diatur di dalam International Covenant on Civil and Political Rights dan Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, dimana
setiap manusia memiliki hak untuk tidak disiksa dan hak ini tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun atau disebut juga sebagai non derogable rights. Hal tersebut juga diatur di
dalam konstitusi Indonesia sendiri di Pasal 28 UUD 1945 dan pada UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, bahwa hak untuk tidak disiksa dan kebebasan dari perlakuan yang kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan martabat adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.

Tetapi, beberapa penelitian mengemukakan bahwa menurut UU No. 5 Tahun 1998


yang meratifikasi Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment, hukuman cambuk bukanlah termasuk ke dalam suatu bentuk
penyiksaan dan tidak melanggar HAM. Pasal 1 ayat (1) konvensi tersebut yang berisi “...it
does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful
sanctions” yang berarti dalam hal rasa sakit atau penderitaan yang timbul dari pengenaan
sanksi hukum yang berlaku tidaklah termasuk ke dalam pengertian penyiksaan. Pasal tersebut
memberikan pembenaran bahwa hukuman cambuk adalah bagian dari suatu hukuman
terhadap pelaku dan hal ini diperkuat oleh Pasal 7 ayat (2e) Rome Statute yang berisi “...
except that torture shall not include pain or suffering arising only from, inherent in or
incidental to, lawful sanctions” yang memberikan penjelasan yang sama seperti Pasal 1 ayat
(1) dari konvensi yang telah disebutkan.
Referensi:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat

Qanun Aceh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

Peraturan Gubernur Aceh No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat

Rosida, I.A. and Hariri, A. “Pemberlakuan Sanksi Cambuk, Qanun Jinayat di Aceh dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia”. Media of Law and Sharia, Nomor 4 Volume 2, 2023.

Eva mazrieva, Hukuman Cambuk di Aceh Picu Kontroversi, voaindonesia.com, Diakses pada
16 Juli 2023.

Ayomi Amindoni, Qanun Jinayat di Aceh dianggap 'diskriminatif: 'Kalau rakyat kecil
membuat kesalahan, langsung dibawa jalur hukum', bbc.com/indonesia, Diakses pada 16 Juli
2023.

Hukuman cambuk di Aceh dalam Perspektif HAM, law.uii.ac.id, Diakses pada 16 Juli 2023.

Anda mungkin juga menyukai