KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya Modul
Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak sebagai salah satu mata pelatihan
dalam Pelatihan Integrated Coastal and Lowland Development. Modul ini disusun untuk
memenuhi kebutuhan kompetensi dasar Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tersebar di
beberapa unit organisasi bidang sumber daya air di lingkungan Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Modul Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak ini disusun dalam 3 (tiga) bagian
yang terbagi atas pendahuluan, materi pokok, dan penutup. Penyusunan modul yang
sistematis diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan dalam memahami
pengelolaan rawa pasang surut dan irigasi tambak. Penekanan orientasi pembelajaran pada
modul ini lebih menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta.
Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Tim Penyusun dan
Narasumber, sehingga modul ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyempurnaan maupun
perubahan modul di masa mendatang senantiasa terbuka dan dimungkinkan mengingat akan
perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan yang terus-menerus terjadi. Semoga Modul
ini dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kompetensi ASN di lingkungan Kementerian
PUPR.
i
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
DAFTAR ISI
ii
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
DAFTAR GAMBAR
iii
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Gambar 33. Peta Sebaran Pembangunan Irigasi di Indonesia per Pulau ........................... 57
Gambar 34. Bandeng ......................................................................................................... 60
Gambar 35. Udang Windu (kiri) dan Udang Kaki Putih (kanan) .......................................... 61
Gambar 36. Pintu Sorong ................................................................................................... 62
Gambar 37. Pintu Skot Balok ............................................................................................. 63
Gambar 38. Sketsa Jaringan dan Penempatan Bangunan Pintu ........................................ 63
Gambar 39. Sketsa Bangunan Pengaman Pengambilan Air Laut ....................................... 64
Gambar 40. Sketsa Alternatif Penempatan Pompa............................................................. 65
Gambar 41. Jaringan Irigasi Tambak dengan Kolam Pencampur ....................................... 67
Gambar 42. Jaringan Irigasi Tambak .................................................................................. 68
Gambar 43. Letak Bangunan Pengambil Air Asin ............................................................... 69
Gambar 44. Bangunan Pencampur berupa kolam (kiri) dan berupa saluran (kanan) .......... 71
Gambar 45. Bangunan Pembagi ........................................................................................ 72
Gambar 46. Jenis-Jenis Tanggul ........................................................................................ 74
iv
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
DAFTAR TABEL
v
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Deskripsi
Modul Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak ini terdiri dari 2 (dua) materi
pokok. Materi pokok pertama membahas tentang Rawa Pasang Surut. Materi kedua
membahas tentang Irigasi Tambak.
Peserta pelatihan mempelajari keseluruhan modul ini dengan cara yang berurutan.
Pemahaman setiap materi pada modul ini diperlukan untuk mengetahui dan memahami
pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir terpadu. Setiap materi pokok dilengkapi
dengan latihan yang menjadi alat ukur tingkat penguasaan peserta pelatihan setelah
mempelajari materi pada materi pokok.
Persyaratan
Dalam mempelajari modul ini, peserta pelatihan diharapkan dapat menyimak dengan
seksama penjelasan dari pengajar, sehingga dapat memahami dengan baik materi yang
merupakan kemampuan wawasan umum dari Pelatihan Integrated Coastal and Lowland
Development. Untuk menambah wawasan, peserta diharapkan dapat membaca terlebih
dahulu materi yang berkaitan dengan pengelolaan rawa pasang surut dan irigasi tambak
dalam ruang lingkup dan sumber lainnya.
Metode
Dalam pelaksanaan pembelajaran ini, metode yang dipergunakan adalah dengan kegiatan
pemaparan yang dilakukan oleh Pengajar/Widyaiswara/Fasilitator, dengan adanya kegiatan
ceramah interaktif, tanya jawab, diskusi, dan problem based learning.
Alat Bantu/Media
Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran dalam mata pelatihan ini, peserta mampu
menjelaskan tahapan dan aspek-aspek mengenai pengelolaan rawa pasang surut dan irigasi
tambak.
vi
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modul Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak disusun untuk memenuhi
kebutuhan akan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengelolaan sumber daya
alam terkait rawa pasang surut dan irigasi tambak di Indonesia. Dalam rangka
meningkatkan kompetensi dan pemahaman Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait
lingkungan perairan yang unik ini, modul pelatihan ini dirancang untuk memberikan
wawasan menyeluruh tentang strategi pengelolaan, infrastruktur, dan perencanaan yang
berkaitan dengan rawa pasang surut dan tambak. Tujuannya adalah memberikan
pengetahuan yang komprehensif kepada ASN agar mereka mampu mengelola sumber
daya alam tersebut secara efektif dan berkelanjutan dalam konteks pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur serta lingkungan di Indonesia. Modul ini juga diharapkan dapat
memberikan solusi terhadap tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan rawa pasang
surut dan irigasi tambak, serta memberikan dasar yang kuat untuk kebijakan dan tindakan
yang lebih baik dalam mengelola lingkungan perairan ini.
B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini membahas tentang ruang lingkup rawa pasang surut dan irigasi tambak
yang ada di kawasan pesisir mulai dari potensi, kendala hingga perencanaannya di
kawasan pesisir. Pembelajaran disampaikan dengan metode ceramah, tanya jawab, dan
brainstorming. Keberhasilan peserta pelatihan dinilai dari kemampuan untuk menjelaskan
tahapan dan aspek-aspek mengenai pengelolaan rawa pasang surut dan irigasi tambak.
C. Tujuan Pembelajaran
1. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam mata pelatihan ini, peserta mampu
menjelaskan tahapan dan aspek-aspek mengenai pengelolaan rawa pasang surut dan
irigasi tambak.
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diharapkan mampu:
a. Menjabarkan pembahasan mengenai rawa pasang surut.
b. Menguraikan pembahasan mengenai irigasi tambak.
1
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
b. Sistem planning
2. Irigasi Tambak
a. Potensi dan kendala pengembangan irigasi tambak
b. Topografi tambak
c. Komoditi dan ekosistem
d. Prasarana jaringan irigasi tambak
e. Sistem planning
E. Estimasi Waktu
Alokasi waktu yang diberikan untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk mata
pelatihan “Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak” ini adalah 6 jam
pelajaran (JP) atau sekitar 270 menit.
2
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
MATERI POKOK 1
RAWA PASANG SURUT
Menurut Permen PUPR No. 29 Tahun 2015 tentang Rawa, dijabarkan bahwa Rawa adalah
wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus
menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif datar atau cekung
dengan endapan mineral atau gambut, dan ditumbuhi vegetasi, yang merupakan suatu
ekosistem.
Dalam pengertian yang lebih luas, rawa digolongkan sebagai lahan basah (wetlands) atau
lahan bawahan (lowlands), tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau lahan bawahan hanya
rawa. Menurut Konvensi Ramsar (1971) yang dimaksud dengan lahan basah adalah daerah
rawa, payau, gambut, atau badan perairan lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya
mengalir atau tergenang, bersifat tawar, payau atau salin, termasuk kawasan laut yang
mempunyai jeluk air pada saat surut terendah tidak lebih dari 6 meter. Jadi, dari batasan
Konvensi Ramsar ini persawahan (irigasi), waduk, dan tambak termasuk lahan basah
sehingga pengelolaan yang terkait dengan pemanfaatan lahan sulfat masam untuk keperluan
pertanian, perikanan (tambak) dapat mengacu pada pengertian dalam konteks pengelolaan
lahan basah.
Pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut, 3 – 4 Maret
1992, disepakati bahwa istilah rawa mempunyai dua pengertian, yaitu rawa pasang surut (tidal
swamps) dan rawa lebak (swampy atau non-tidal swamps). Rawa pasang surut diartikan
sebagai daerah rawa yang mendapatkan pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan
pasang surutnya air laut/sungai sekitarnya, sedang rawa lebak diartikan sebagai daerah rawa
yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah
antara 25 – 50 cm. sebelumnya, rawa diistilahkan dengan lebak, dan pasang surut sendiri
tidak dikategorikan sebagai rawa.
Indonesia memiliki rawa yang sangat luas, berkisar kurang lebih 33,4 juta hektar dimana
sekitar 60% dari keseluruhan luasnya merupakan rawa pasang surut. Luas sisanya yakni
sekitar 40% merupakan rawa lebak atau rawa non pasang surut. Hampir lebih dari 9 juta
hektar dari rawa pasang surut sudah direklamasi sebagian oleh Pemerintah sekitar 1,3 juta
hektar dan sebagian lagi oleh penduduk lokal utamanya suku Bugis dan Banjar sekitar 2,4
3
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
juta hektar, serta kurang lebih seluas 5,3 juta hektar dikembangkan oleh perusahaan swasta
terutama untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan selebihnya untuk
pertambakan.
Berdasarkan Permen PUPR No. 29/PRT/M/2015 tentang Rawa, yang ditetapkan sebagai
rawa pasang surut apabila memenuhi kriteria:
a. terletak di tepi pantai, dekat pantai, muara sungai, atau dekat muara sungai; dan
b. kesatuan hidrologi dibatasi oleh sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut harian,
dan/atau laut;
c. secara alami tergenangi air yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan/atau dari air
hujan, atau menjadi kering akibat drainase reklamasi lahan; dan
d. dasar drainase alam maupun reklamasi lahan adalah saluran, atau sungai, dan/atau laut
yang dipengaruhi pasang surut.
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang berkesinambungan
dengan laut, khususnya di muara sungai besar dan pulau-pulau delta di wilayah dekat muara
sungai besar. Di bagian pantai, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat
kuat, sering kali disebut sebagai tidal wetlands yakni lahan basah yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut. Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di tepi pantai, dekat
pantai, muara sungai, atau dekat muara sungai yang tergenang air akibat pengaruh pasang
surut air laut.
Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan tanah yang
jenuh atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan
dalam setahun. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa
termasuk tanah basah atau wet soils yang dicirikan oleh kondisi berair, yakni saat ini
mengalami penjenuhan tanah yang dominan adalah pembentukan horison tanah tereduksi
berwarna kelabu kebiruan disebut proses gleisasi, dan pembentukan lapisan gambut di
permukaan. Bentuk penampang rawa pasang surut ditampilkan dalam bentuk sketsa pada
Gambar 1.
4
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Sebagai sumber daya lahan, rawa secara tradisional telah dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk tempat tinggal, lahan pertanian, perikanan, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup
lainnya. Di masa kini dan masa mendatang, rawa merupakan sumber daya lahan penting
untuk pangan dan beberapa tanaman industri. Bahkan, beberapa pusat permukiman dan
kegiatan ekonomi yang ada sekarang ini merupakan hasil pengembangan rawa.
5
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
dari 4 bulan dalam setahun dengan kadar natrium (Na) dalam larutan tanah 8 –
15%. Berdasarkan tingkat salinitasnya, lahan salin dapat dibagi menjadi tiga
topologi, yaitu salin ringan apabila nilai DAL < 1 dS.m -1 (DAL dulu ditulis dengan
satuan mmhos.cm-1 atau mS.cm-1), cukup/sedang salin apabila nilai DAL 1 – 4
dS.m-1, dan sangat salin apabila nilai DAL > 4 dS.m -1. Kendala produksi pada
jenis lahan ini sedang sampai sangat berat, terutama dalam hal tingkat
kegaraman (salinitas).
Sistem klasifikasi tanah yang umum digunakan di Indonesia adalah sistem yang telah
dikembangkan di Amerika Serikat yang lebih dikenal dengan sistem klasifikasi
Unified Soil Classification System (USCS). USCS mengklasifikasikan tanah
berdasarkan ukuran dan distribusi ukuran partikel dan sifat-sifat butir halus yang
dikandungnya. Sistem ini menggolongkan tanah kedalam tiga kategori utama:
Dalam panduan geoteknik oleh Pusat Litbang Jalan, penggunaan istilah “tanah
lunak” berkaitan dengan jenis tanah yang jika tidak diperhatikan dengan cermat bisa
menimbulkan masalah stabilitas dan penurunan jangka panjang yang tidak
diinginkan. Tanah tersebut memiliki kekuatan geser yang rendah dan tingkat
kompresibilitas yang tinggi. Tanah lunak dibagi dalam dua tipe: lempung lunak dan
gambut.
a) Lempung Lunak
Tanah jenis ini mengandung mineral-mineral lempung dan mengandung kadar
air yang tinggi, yang menyebabkan kuat geser yang rendah. Dalam rekayasa
6
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
geoteknik istilah ”lunak” dan ”sangat lunak” khusus didefinisikan untuk lempung
dengan kuat geser seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
b) Gambut
Suatu tanah yang pembentuk utamanya terdiri dari sisa-sisa tumbuhan. Tipe
tanah yang ketiga yaitu, lempung organik adalah suatu material transisi antara
lempung dan gambut, tergantung pada jenis dan kuantitas sisa-sisa tumbuhan
tanah organik bisa berperilaku seperti lempung atau gambut. Dalam rekayasa
geoteknik, klasifikasi ketiga tipe tanah tersebut dibedakan berdasarkan kadar
organiknya, sebagai berikut:
Pada dasarnya semua jenis tanah tersebut adalah “berumur resen” dalam istilah
geologi, yaitu berumur kurang dari 10.000 tahun. Periode geologi ini juga biasa
dikenal sebagai holosen. Penyebaran endapan ini bisa dilihat pada Gambar 2. Pada
7
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
3. Klasifikasi Tanah
Sistem USCS membagi tanah menjadi tiga kelompok utama: tanah berbutir kasar,
tanah berbutir halus dan tanah dengan kandungan organik yang tinggi. Lebih jauh
dalam panduan ini tanah berbutir halus dibagi lagi menjadi tiga kelompok
berdasarkan kandungan organiknya, sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.
8
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
geser undrain (CU) untuk tanah lempung atau deskripsi klasifikasinya dapat
dilihat pada Tabel 5.
Konsistensi CU (kPa)
Sangat Lunak < 12,5
Lunak 12,5 – 2,5
25 – 50
50 – 100
100 – 200
> 200
Sumber: Modul Pelatihan Diklat Perencanaan Teknis Rawa, 2016
B. Tanah Organik
Tanah organik (O) adalah tanah yang dikelompokkan sedemikian berdasarkan
kandungan organiknya, dimana dalam panduan ini didefinisikan sebagai tanah
yang memiliki kandungan organik 25% hingga 75%. Selanjutnya, tanah organik
ini dikelompokkan lagi menjadi kelompok OL dan OH berdasarkan tingkat
plastisitasnya.
C. Gambut
Gambut (PT) adalah jenis tanah yang memiliki kadar organik lebih dari 75%.
Selanjutnya berdasarkan kandungan seratnya, gambut dikelompokkan kembali
menjadi dua kelompok. Gambut dengan kadar serat < 20% termasuk ke dalam
9
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
kelompok gambut amorf dan gambut dengan kadar serat > 20% termasuk ke
dalam kelompok gambut berserat.
Sistem klasifikasi yang lengkap untuk tanah organik dan inorganik ditunjukkan pada
Gambar 4.
10
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Sangat sulit untuk memisahkan kedua faktor penyebab ini, oleh karenanya dalam
pembahasan selanjutnya, kedua faktor tersebut akan dibahas secara bersamaan:
1) Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Gambut
a) Berat jenis
Tanah adalah campuran dari tanah mineral yang umumnya memiliki nilai
berat jenis 2.7, dan bahan organik dengan nilai berat jenis sekitar 1,4, maka
dapat dikatakan bahwa berat jenis akan tergantung pada kadar organik.
Untuk tanah di Indonesia, sebuah hubungan yang sama dapat juga
digunakan, tetapi diperlukan asumsi bahwa tanah tersebut memiliki berat
jenis yang lebih tinggi, baik untuk tanah mineral maupun gambut. Rahadian
et al. (2001) menampilkan data yang menunjukan nilai berat jenis untuk
tanah mineral tersebut bervariasi antara 2,7 hingga 2,9 dan untuk gambut
bervariasi antara 1,4 hingga 1,7.
b) Batas cair (liquid limit)
Pengujian batas cair membutuhkan peremasan tanah yang cukup. Akibatnya
kemas (fabric) gambut, dan terutama kadar serat, jauh menurun. Oleh
karenanya pengujian ini memiliki nilai yang sangat terbatas sebagai petunjuk
(indicator) sifat-sifat gambut, terutama gambut berserat yang ditemukan di
Indonesia.
Beberapa hasil uji untuk lempung inorganik dan lempung organik mendekati
hubungan-hubungan yang diberikan oleh Skemton & Petley (1970),
sementara sampel-sampel gambut murni memperlihatkan nilai-nilai dibawah
yang ditunjukan oleh Skempton & Petley.
Data dari Farrel dkk. (1994) cocok dengan data Berengbengkel untuk
lempung organik, tetapi untuk kadar organik yang tinggi memperlihatkan
batas cair yang jauh lebih tinggi. Farrell dkk. juga memperlihatkan suatu
hubungan dari Miyakawa, yang tidak cocok dengan Berengbengkel.
11
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
c) Kompresibilitas (Compressibility)
Farrell dkk. (1994) memperlihatkan bahwa untuk gambut Irlandia
kompresibilitas Cc mempunyai hubungan dengan batas cair sesuai dengan
persamaan yang sudah dikenal:
𝐶𝑐 = 𝑘(𝑤𝐿 − 10)
Dengan nilai k berkisar antara 0,007 sampai 0,009
Untuk gambut berserat hubungan seperti itu tidak bisa diterapkan. Pengujian
konsolidasi pada gambut berserat dari Tempat Uji Timbunan Berengbengkel
memperlihatkan nilai-nilai Cc sampai 20 seperti pada Gambar 6.
12
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
13
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
14
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
d) Permeabilitas (Permeability)
Ong & Yogeswaran (1991) telah melakukan tes pemompaan (pumping test)
yang dilakukan pada gambut tropis yang berserat di serawak. Hasilnya
menunjukkan sebuah korelasi terbatas antara permeabilitas dengan derajat
pembusukan yang terjadi (humification) seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
15
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Permeabilitas
Deskripsi Gambut Referensi
m/detik
Permukaan > 10-1 Hobbs (1986)
Dasar dari “raised bog” yang
3 x 10-5 Hobbs (1986)
membusuk sedikit
Fen acrotelm di Rusia:
di dekat permukaan 3 x 10-5 Hobbs (1986)
-7
di dekat dasar 6 x 10
Lapisan Gambut Irlandia
yang sangat membusuk dan 3 x 10-8 hingga 10-7 Hobbs (1986)
bersifat seperti agar-agar
Gabut Sphagnum H8
sampai H10 6 x 10-8 Hobbs (1986)
H3 10-5
Gambut Sedge H3 sampai
10-5 Hobbs (1986)
H5
Gambut Brushwood H3
10-5 Hobbs (1986)
sampai H6
Gambut Malaysia yang
asam dan berserat (Fibrous 2 x 10-5 to 6 x 10-8 Toh et al, (1990)
acidic)
Sumber: Modul Pelatihan Perencanaan Teknis Rawa, 2016
5. Karakteristik Gambut
A. Distribusi Penyebaran Gambut
Terdapat hasil identifikasi areal penyebaran gambut di Indonesia yang dilakukan
oleh Soekardi dan Hidayat dalam Modul Pelatihan Diklat Perencanaan Teknis
Rawa sebagaimana ditunjukan pada Tabel 7 berikut:
16
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
17
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Kalimantan
39,5 34,6 25,9 100.754
Barat
Kalimantan
Tengah & 62,6 19,6 17,8 190.145
Selatan
Total 1.263.185
Sumber: Modul Pelatihan Diklat Perencanaan Teknis Rawa, 2016
Subsidensi gambut yang cepat juga menimbulkan masalah dalam hal pengendalian
air. Menurunnya permukaan tanah menyebabkan semakin terhambatnya drainase
terutama di lahan-lahan pasang surut. Terdapat juga hamparan gambut di daerah
pasang surut yang tidak pernah tersuplai air pasang tertinggi, sehingga harus
bergantung pada air hujan untuk pengairannya. Disamping itu terjadi pula penurunan
pH tanah menjadi luar biasa masam (pH < 3,5) yang disebabkan oleh terbentuknya
18
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
asam-asam organik dengan kadar tinggi. Bagian yang mudah teroksidasi merupakan
bagian yang kaya dengan muatan, bila bagian ini hilang dan terlindi (karena sifat
porus dari gambut), maka sifat muatan gambut tersebut sangat berkurang dan
menyebabkan status keharaan tanaman menjadi miskin. Pengapuran sering
didengungkan untuk meningkatkan pH tanah, takaran kapur tiap unit volume gambut
memang tidaklah besar (< 4 ton ha–1), tetapi harus diingat bahwa pemberian bahan
alkali kuat (seperti kapur) akan menyebabkan percepatan peruraian gambut tersebut
yang menghasilkan humat dan fulvat yang mudah terlindi. Percobaan pengapuran
mencapai pH tetap 5,0, menunjukkan terjadinya pelarutan bahan humin sebanyak
26% dari berat tanah gambut. Pelarutan asam humat dan fulvat yang berwarna
kecoklatan tersebut akan sangat merugikan keharaan tanaman, karena sebagian
besar hara terkandung dalam kedua fraksi tersebut (Gazali dan Fathurrahman,
2019).
Selain itu, kendala pada saat mendesain bangunan yang akan didirikan di daerah
rawa perlu diperhatikan metode pondasinya. Rembesan air merupakan suatu
ancaman yang permanen terhadap stabilitas bangunan, oleh karena itu diperlukan
penggunaan tiang pancang vertikal. Tiang-tiang pancang vertikal ini jugalah yang
berfungsi sebagai pondasi. Metode pondasi lainnya adalah dengan rakit atau
lampatan yang diletakkan langsung di atas tanah, dengan syarat bahan tanah
organik atau tanah liat sangat lembut dibuang dan diganti dengan tanah yang lebih
baik. Karena tiang pancang perlu diperhatikan secara khusus guna mencegah tiang
pancang mengambil alih fungsi rakit. Tanah lapisan bawah yang lembut sampai
sangat lembut pada lahan rawa perlu diperhatikan secara khusus bila akan
dipergunakan untuk pondasi bangunan. Pondasi tiang diperlukan dan dirancang
tahan gesekan. Tiang gelam dapat dipergunakan juga tiang-tiang untuk pondasi
tersebut terendam secara permanen. Untuk mengatasi terbatasnya panjang tiang
gelam yang tersedia, maka dipergunakan sejumlah tiang dengan jarak yang rapat.
19
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Keberhasilan pengembangan suatu komoditas sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas
ketersediaan benih. Varietas padi yang telah beradaptasi baik terhadap lingkungan bio fisik
maupun selera konsumen khususnya rasa dan berdaya hasil tinggi adalah varietas Margasari
dan Martapura. Di samping itu masih terdapat galur harapan yang dapat dilepas dalam waktu
dekat menjadi varietas. Dengan pengelolaan yang baik potensi produksi padi lahan ini dapat
mencapai 5 t/ha. Di samping padi, tanaman yang cocok diusahakan pada lahan ini adalah
palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, beberapa tanaman hortikultura
seperti jeruk, nanas, cabai, tomat, bawah merah dan semangka. Tanaman industri yang
memiliki prospek cukup baik, diusahakan pada lahan ini adalah kelapa, lada dan jahe, serta
berbagai macam ternak bisa beradaptasi baik (Sudana, 2005).
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang surut adalah kemasaman
tanah tinggi, serta ketersediaan unsur hara dalam tanah relatif rendah. Oleh sebab itu,
ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting untuk memecahkan masalah
tersebut, khususnya pada lahan sulfat masam dan gambut. Bahan amelioran yang telah teruji
baik adalah kapur atau abu sekam maupun abu gergajian (Sudana, 2005).
Selain itu, menurut Direktorat Irigasi dan Rawa (2023) masalah pengembangan dan
pengelolaan rawa antara lain:
20
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
1. Pengembangan dan pengelolaan rawa sangat terkait dengan isu lingkungan hidup dan
kehutanan mengingat pada sebagian rawa terdapat gambut dan/atau berada pada
kawasan hutan.
2. Selama ini konsep pengembangan dan pengelolaan irigasi rawa mengikuti kebijakan
yang diterapkan untuk irigasi permukaan. Ada indikasi bahwa banyak konsep irigasi
permukaan yang kurang/tidak relevan diterapkan pada rawa.
3. Selain rawa sebagai jaringan irigasi, pengertian rawa sebagai wadah air dan fungsinya
sebagai sumber air perlu juga dipertimbangkan.
4. Belum adanya Pedoman dan Kriteria Perencanaan Rawa.
5. Masih banyak lahan rawa yang sudah direklamasi akan tetapi belum sepenuhnya
dimanfaatkan.
6. Alih fungsi lahan rawa dari pertanian tanaman pangan menjadi lahan perkebunan sawit
dan lahan industri.
21
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Tidak semua jaringan irigasi rawa yang dibangun pemerintah dapat berhasil. Contoh daerah
irigasi rawa yang berhasil untuk pertanian antara lain: DIR Telang di Sumsel (>6 ton/ha), DIR
Bunga Raya di Riau (IP>200 dan >6 ton/ha), DIR Petung di Kaltim (>5 ton/ha), DIR Sebakung
di Kaltim (>5 ton/ha), DIR Belanti II di Kalteng (>5 ton/ha).
22
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan kualitas jaringan irigasi rawa di Indonesia, proses
pengembangannya terbagi menjadi tiga fase yang berbeda. Tahap pertama, yang disebut
sebagai Phase I, melibatkan pembangunan jaringan drainase terbuka. Kemudian, pada tahap
Phase II, jaringan ini diperkuat dengan pembangunan bangunan pengatur air sederhana
untuk meningkatkan fungsionalitasnya. Sementara itu, tahap Phase III menandai tahapan
puncak dalam pengelolaan air, di mana jaringan irigasi menggunakan sistem polder untuk
pengaturan air yang lebih terkendali. Meskipun demikian, sebagian besar jaringan irigasi rawa
yang ada saat ini umumnya telah mencapai tahap Phase II dalam proses pengembangannya.
Prinsip dasar dalam pengembangan serta pengelolaan rawa di Indonesia adalah bahwa
ketika lingkungan ekosistem rawa mengalami genangan air yang berlebihan, dibutuhkan
suatu pendekatan pengaturan drainase dan manajemen tata air yang cermat dengan tetap
memperhatikan agar tidak terjadi overdrain yang disebabkan oleh pembuangan air yang
berlebihan ataupun penurunan permukaan air tanah secara berlebihan, karena akan
menyebabkan gambut mengering tak balik atau mati dan penurunan permukaan tanah
gambut (subsidence) terlalu cepat, dari hal tersebut akan menyebabkan kondisi gambut pada
rawa akan terbuka dan menimbulkan pelepasan gas rumah kaca. Keselarasan antara tingkat
air yang tepat dan pengelolaan drainase menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan
ekosistem rawa. Pada pengelolaan rawa, wajib memperhatikan pengaturan muka air dan
sirkulasi air dengan cara membangun pintu air dan canal blocking.
23
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 14 tahun 2015,
terdapat pembagian luasan Daerah Irigasi Rawa yang dibagi menurut kewenangan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang disajikan dalam
Tabel 9 di bawah ini.
24
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
25
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Melalui Direktorat Irigasi dan Rawa, Ditjen SDA, diinterpretasikan peta mengenai sebaran
daerah irigasi rawa di Indonesia seperti yang terlihat pada Gambar 13.
26
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
27
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
28
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Jaringan reklamasi rawa pasang surut adalah saluran, bangunan air, bangunan pelengkap
dan tanggul, yang merupakan satu kesatuan fungsi yang diperlukan untuk pengelolaan air di
daerah reklamasi rawa pasang surut. Saluran jaringan reklamasi rawa pasang surut adalah
bagian dari jaringan reklamasi rawa pasang surut yang dimulai dari sumber air sampai dengan
29
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
lahan yang diairi yang terdiri atas saluran primer, saluran sekunder, saluran sub sekunder dan
saluran tersier.
Perencanaan sistem tata letak jaringan irigasi rawa merupakan proses perencanaan tata guna
lahan dan kebutuhan infrastrukturnya dalam perencanaan pengembangan rawa, yang
didalamnya menjelaskan tentang hasil analisis hidrotopografi, analisis hidrologi, analisis tanah
pertanian, analisis agronomi, yang kemudian dirangkum dalam suatu rencana pengembangan
yang sesuai dengan kebutuhan petani, beserta segenap sarana tata air, jaringan transportasi
berikut tata cara pengelolaannya.
Untuk tujuan pengembangan pertanian, tanah mineral dan tanah bergambut adalah tanah
yang paling sesuai dan berdasarkan sifat fisiknya dapat dibedakan atas:
1) hidrotopografi (peluang irigasi pasang surut selama musim tanam);
2) intrusi air asin (peluang irigasi pompa selama musim tanam);
3) drainabilitas; dan
4) keberadaan lapisan pirit di dalam daerah perakaran tanaman.
Tabel 10 berikut adalah klasifikasi satuan lahan rawa pasang surut dengan melihat kondisi
lahan, kedalaman drainase, dan intrusi salinitas.
30
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Klasifikasi satuan lahan tersebut terkait erat dengan kelas kesesuaian lahan untuk pertanian.
Satuan lahan 1 biasanya cocok untuk padi sawah irigasi pasang, satuan lahan 2, satuan lahan
4, satuan lahan 8, satuan lahan 9 dan satuan lahan 10 untuk padi tadah hujan atau palawija,
dan satuan lahan 3, satuan lahan 5, satuan lahan 6 dan satuan lahan 7 untuk tanaman
tahunan. Permukiman dengan berbagai tanaman campuran di pekarangan rumah harus
bebas dari salinitas dan satuan lahan 1 dan yang sesuai adalah satuan lahan 4, satuan lahan
5, satuan lahan 8, dan satuan lahan 9.
Tabel 11 berikut adalah kesesuaian lahan rawa pasang surut dengan melihat kesesuaian
lahan per tipe satuan lahan.
31
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
32
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
33
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
System planning disusun berdasarkan hasil survei dan investigasi, serta analisa dan evaluasi
terhadap semua pilihan yang memungkinkan untuk mengatasi kendala dan memanfaatkan
secara efektif potensi yang ada dengan mempertimbangkan saran, pendapat, maupun
aspirasi dari petani setempat yang tergabung dalam P3A/GP3A/IP3A ataupun
Poktan/Gapoktan melalui pertemuan konsultasi publik.
Rencana penyempurnaan dan peningkatan kinerja jaringan irigasi rawa pasang surut disusun
dengan mengintegrasikan berbagai fungsi yaitu:
1) pembuangan air (drainase);
2) pencucian (leaching) dan penggelontoran (flushing) kemasaman dan unsur racun tanah;
3) pengendalian banjir dan pencegahan intrusi air asin; dan
4) penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi dengan berbagai pilihan yang
memungkinkan meliputi irigasi pasang surut, gravitasi, maupun pompa sederhana.
Rencana lay out jaringan irigasi rawa pasang surut meliputi jaringan tingkat primer, tingkat
sekunder, dan tingkat tersier beserta semua bangunan pintu pengatur air dan bangunan
pelengkapnya.
Rencana penyempurnaan jalan inspeksi diintegrasikan fungsinya sebagai bagian dari jaringan
jalan penghubung untuk meningkatkan kemudahan transportasi alsintan, angkutan input
34
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
maupun output produksi pertanian. Rencana penguatan institusi penglola kegiatan O&P
dilakukan melalui peningkatan kapasitas:
1) organisasi pelaksana O&P Daerah Irigasi Rawa Pasang Surut terkait; dan
2) P3A/GP3A/IP3A.
Tata kelola air irigasi rawa terbagi menjadi 2 (dua), yaitu tata air makro dan tata air mikro.
35
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
gotong royong. Di Sumatra dikenal dengan istilah parit kongsi. Handil dalam
masyarakat suku Banjar diartikan sebagai suatu luasan lahan atau areal yang
dibuka dengan sekaligus pembuatan saluran yang menjorok masuk ke pedalaman
dari pinggiran sungai besar. Sistem ini hanya cocok dikembangkan untuk skala
pengembangan yang relatif kecil. Sebuah handil umumnya digali dan
dimanfaatkan secara gotong royong sekitar 7 -10 orang.
36
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
37
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
3) Sistem Anjir
Sistem anjir disebut juga dengan sistem kanal yaitu sistem tata air makro dengan
pembuatan saluran besar yang dibuat untuk menghubungkan antara dua sungai
besar. (Saluran yang dibuat dimaksudkan untuk dapat mengalirkan dan
membagikan air yang masuk dari sungai untuk pengairan jika terjadi pasang dan
sekaligus menampung air limpahan (pengatusan) jika surut melalui handil-handil
yang dibuat sepanjang anjir. Dengan demikian, air sungai dapat dimanfaatkan
untuk pertanaman secara lebih luas dan leluasa.
Dengan dibuatnya anjir, maka daerah yang berada di kiri dan kanan saluran dapat
diairi dengan membangun handil-handil (saluran tersier) tegak lurus kanal.
Adanya anjir ini menimbulkan lalu lintas transportasi air antara dua kota menjadi
lebih ramai sehingga mendorong pembangunan daerah karena terjadinya
peningkatan arus pertukaran barang dan jasa.
38
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
39
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Pada setiap saluran tersier dipasang pintu air yang bersifat otomatis
(aeroflapegate). Pintu bekerja secara otomatis mengatur bentuk muka air sesuai
dengan pasang dan surut. Sistem garpu ini dikembangkan oleh Tim Proyek
Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di Institut Teknologi Bandung
(1969-1982) untuk wilayah Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah yang menerapkan sistem sisir,
mencapai sekitar 600 ribu hektar.
- Kelebihan sistem sisir :
a) Panjang saluran sekunder pada sistem sisir dapat mencapai 10 km.
b) Pada sistem sisir tidak dibuat kolam penampung pada ujung-ujung
saluran sekunder sebagaimana pada sistem garpu sehingga dalam
perencanaannya lebih ekonomis.
- Kelemahan sistem sisir :
a) Terjadinya air mati (dead water) di tengah-tengah saluran primer.
b) Endapan yang tinggi pada ujung saluran primer.
40
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
keluar, sehingga di waktu air surut air keluar, tetapi di waktu pasang pintu menutup
sehingga air tidak masuk. Saluran kuarter yang merupakan batas kepemilikan
lahan perlu ditata sesuai dengan tata air yang dilaksanakan di wilayah tersier
tersebut.
Gambar 19. Jaringan Tata Air Sistem Tabat untuk Tipe Luapan C dan D
Sumber: Balai Teknik Rawa
41
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
yang ditujukan sebagai suplai air irigasi yang dapat diterapkan di Daerah Irigasi
Rawa (DIR) dengan kategori hidrotopografi B atau C, yang mengalami
kekurangan air saat musim kemarau (Pusat Litbang SDA, 2019).
42
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
43
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
1.4 Rangkuman
Rawa adalah kawasan di sepanjang pantai, sungai, danau, atau lebak yang terpengaruh oleh
pergerakan air pasang surut dari laut atau sungai terdekatnya. Lahan rawa ini dapat tergenang
saat musim hujan hingga satu meter, tapi menjadi kering saat musim kemarau dengan
sebagian muka air tanah turun di bawah 50 cm dari permukaan tanah. Rawa termasuk lahan
basah menurut Konvensi Ramsar, meliputi rawa, paya, dan gambut. Di Indonesia, sekitar 60%
dari total 33,4 juta hektar lahan rawa adalah rawa pasang surut, sementara sisanya adalah
rawa lebak atau non-pasang surut. Rawa telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian,
perikanan, dan untuk kebutuhan hidup, namun, pengembangannya menghadapi tantangan
teknis, lingkungan, sosial, dan hukum. Strategi pengembangan rawa melibatkan tahapan
bertahap dari pembangunan infrastruktur hingga pengelolaan air yang lebih terkendali. Meski
memiliki potensi untuk pertanian dan tanaman industri, pengelolaan lahan rawa juga
memerlukan perhatian khusus terkait kemasaman tanah, nutrisi tanah, dan perubahan
lingkungan. Tantangan dalam pengembangan dan pengelolaan rawa meliputi kekurangan
pedoman teknis, konflik penggunaan sumber daya, dan kurangnya dukungan kebijakan.
Perencanaan irigasi rawa menjadi penting karena pengalaman Indonesia masih terbatas. Ada
dua fokus utama: jaringan reklamasi dan tata kelola air irigasi. Tata kelola ini meliputi aspek
makro dan mikro, dengan berbagai sistem seperti handil, garpu, anjir, dan sisir. Inovasi terbaru
melibatkan teknologi tata air mikro satu arah untuk mengatasi defisit air saat musim kemarau,
memungkinkan peningkatan produksi pertanian sepanjang tahun di lahan rawa.
44
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
MATERI POKOK 2
IRIGASI TAMBAK
Berdasarkan Permen PUPR No. 21 Tahun 2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan
Jaringan Irigasi Tambak, yang dimaksud dengan Jaringan irigasi tambak adalah saluran,
bangunan, dan bangunan pelengkap yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk
penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi tambak.
Kegiatan usaha budidaya perikanan tambak sudah sejak lama dilakukan di Indonesia di
sebagian pantai utara dan timur Pulau Jawa, pantai timur Aceh dan pantai barat Sulawesi
Selatan. Di beberapa tempat sepanjang pantai timur Provinsi Jawa Timur terutama di daerah
Kabupaten Banyuwangi, penduduk telah mengenal pemeliharaan ikan bandeng di tambak
sejak abad ke-14 pada zaman Kerajaan Majapahit. Jaringan/saluran yang ada pada mulanya
dibangun oleh pembudidaya secara gotong royong.
Sampai sekitar tahun 1964, jenis individu utama yang dipelihara di tambak adalah ikan
bandeng, jenis individu lainnya termasuk udang masih merupakan hasil sampingan.
Kemudian sebagian kecil petani tambak mulai melakukan budidaya udang secara sederhana
(ekstensif) melalui pola tunggal (monoculture) atau dengan pola ganda (polyculture) yaitu
udang bersama ikan bandeng.
Budidaya udang menjadi tolok ukur untuk menentukan persyaratan kualitas air tambak,
karena udang lebih sensitif terhadap perubahan kualitas air dan memerlukan perlakuan serta
persyaratan yang lebih ketat jika dibandingkan dengan jenis budidaya perikanan lainnya.
Secara bertahap para petani tambak melakukan perbaikan teknik konstruksi dan teknologi
budidaya sarana produksi untuk meningkatkan produksi.
Pada tahun 1980-an Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen
Pertanian membangun saluran-saluran baru dan merehabilitasi saluran-saluran yang ada baik
menggunakan dana APBN maupun APBD. Peningkatan teknik budidaya telah pula dilakukan
dengan berbagai cara.
Tambak yang ada sekarang ini banyak yang tidak difungsikan dengan baik dikarenakan
berbagai alasan diantaranya tidak terpeliharanya prasarana tambak, rusaknya lingkungan
45
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
akibat perkembangan permukiman, industri, dan alih budidaya dari tambak menjadi
perkebunan.
1. Kualitas Air
Yang dimaksud dengan kualitas air adalah semua faktor yang meliputi faktor fisik,
kimiawi, cemaran logam berat, dan mikrobiologi dari air. Faktor penting sehubungan
dengan kualitas air baik air sumber maupun air pemeliharaan adalah pH (keasaman),
DO (Dissolve Oxygen/Oksigen Terlarut), salinitas, kecerahan dan suhu.
Besarnya kandungan oksigen terlarut (DO) pada bagian yang berdekatan dengan
sumber air yang dipergunakan untuk mengairi tambak perlu diketahui (dicatat).
Apabila oksigen terlarut di dalam air < 3 mg/l maka akan menghambat pertumbuhan
udang dan ikan, bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Tingkat evaporasi tinggi pada musim kemarau perlu diketahui, apakah di sekitar
lokasi terdapat sumber air tawar yang cukup untuk dapat dipergunakan sebagai
pelarut air asin guna mempertahankan salinitas. Apabila sumber air tawar diambil
dari sungai, sungai perlu diketahui apakah pada bagian hulunya terjadi pencemaran
baik limbah organik, pestisida, limbah industri, serta limbah pertambangan.
Kecerahan, suhu, dan oksigen terlarut saling berkaitan. Apabila suhu air di tambak >
32°C maka oksigen terlarut akan menurun. Apabila kecerahan di bawah 25 cm maka
suhu akan naik dan oksigen terlarut akan turun.
Salinitas perlu diukur pada waktu pasang tinggi dalam musim hujan dan kemarau
selama satu tahun. Ada dua hal yang mempengaruhi kadar salinitas pada pertemuan
air asin dan air tawar.
Nilai
No Parameter Satuan
Standar Optimum
1 Salinitas ppm 15 – 30 15 – 25
2 Suhu °C 26 – 32 29 – 31
3 Kecerahan cm 25 – 60 30 – 40
46
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Nilai
No Parameter Satuan
Standar Optimum
4 pH - 7,5 – 8,7 8 – 8,5
5 Oksigen Terlarut mg/l 3 – 10 4–7
6 Amonia (NH3) mg/l 0 – 1,0 0
7 Nitrit (NO2-) mg/l 0 – 0,25 0
8 Sulfida (H2S) mg/l 0 – 0,001 -
9 Pyrit (FeS2) mg/l 0,03 -
Logam berat:
Timbal (Pb) mg/l < 0,25 -
Seng (Zn) mg/l < 0,25 -
Tembaga (Cu) mg/l < 0,25 -
Sumber: Permen PUPR No. 16/PRT/M/2011
2. Kualitas Tanah
Tanah untuk tambak adalah tanah yang mempunyai permeabilitas tinggi, mempunyai
kandungan liat untuk menjamin agar tanggul dan petakan tambak kedap air. Tanah liat
berpasir atau lempung berpasir adalah bahan yang paling baik untuk bahan konstruksi
tanggul tambak, karena bersifat keras dan tidak retak (hancur) apabila kering. Tanah
humus buruk untuk pembuatan tanggul karena akan terlalu melekat dan dapat merekah
apabila kering (Denlk, 1976). Demikian pula tanah yang mengandung senyawa pyrit
buruk untuk konstruksi tanggul tambak, jika teroksidasi dapat membentuk asam sulfat
yang mengakibatkan menurunnya pH tanah.
Kriteria persyaratan kualitas tanah untuk pertambakan dikeluarkan oleh Pusat Pelatihan
dan Pengembangan Perikanan dan Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen
Pertanian tahun 1991 dalam Permen PUPR No. 16/PRT/M/2021 tentang Pedoman
Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Tambak, seperti Tabel 13.
47
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
48
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Gambar 24. Variasi pasang surut tahunan dan pembagian zone tambak
Sumber: Permen PUPR No. 21/PRT/M/2021
49
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
50
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Melalui Direktorat Irigasi dan Rawa, Direktorat Sumber Daya Air diinterpretasikan dalam peta
sebaran luasan daerah irigasi tambak seperti yang terlihat pada Gambar 25 di bawah ini.
51
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Dalam potensi pengembangan irigasi tambak di Indonesia, sebelum tahun 2018, Ditjen SDA
Kementerian PUPR bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan
dukungan untuk infrastruktur tata air tambak yang terbagi menjadi dua program, yaitu
Revitalisasi Tambak Garam yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pengelolaan Ruang Laut
(KKP) dengan target produksi garam rakyat tahun 2018 sebanyak 1,5 juta ton dan Revitalisasi
Tambak Ikan/Udang yang menjadi tanggung jawab Ditjen Perikanan Budidaya (KKP) dengan
target produksi perikanan budidaya rakyat tahun 2018 sebanyak 24,08 juta ton.
Adapun berdasarkan data yang didapat pada Maret 2023, Kementerian PUPR lebih spesifik
lagi Ditjen SDA memberikan dukungan infrastruktur program pengembangan kawasan
tambak oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai yang dilandaskan pada Perjanjian
Kerjasama antara Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR dan Ditjen Perikanan dan
Budidaya KKP Tahun 2019. Dukungan Kementerian PUPR ini berupa rehabilitasi saluran
tambak, sarana dan prasarana perikanan tambak.
Dukungan infrastruktur tahun anggaran 2020 hingga tahun anggaran 2021 difokuskan pada
tambak budidaya dengan komoditas bandeng dan udang. Pada tahun anggaran 2020,
Kementerian PUPR melaksanakan kegiatan dukungan infrastruktur tambak berupa
pembangunan seluas 700 Ha dan rehabilitasi 9.261,1 Ha. Sedangkan pada tahun anggaran
2021 dilaksanakan kegiatan pembangunan seluas 575 Ha dan rehabilitasi seluas 1.194 Ha.
Berikut disajikan gambaran capaian kegiatan dukungan infrastruktur tambak tahun anggaran
2020 (Gambar 26) dan tahun anggaran 2021 (Gambar 28).
52
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Gambar 27. Hasil Pelaksanaan Dukungan Infrastruktur Tata Air Tambak TA 2020
Sumber: Direktorat Irigasi dan Rawa, Ditjen SDA, 2023
53
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Gambar 29. Contoh Hasil Pelaksanaan Dukungan Infrastruktur Tata Air Tambak TA 2021
Sumber: Direktorat Irigasi dan Rawa, Ditjen SDA, 2023
Pada tahun anggaran 2022 diprogramkan kegiatan peningkatan tambak budidaya udang
vaname pada lokasi:
- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Kabupaten Aceh Timur (ditunda ke tahun
anggaran 2023 karena sisa waktu pelaksanaan tidak mencukupi)
- Provinsi Lampung di Kabupaten Lampung Selatan (ditunda ke tahun anggaran 2023
karena belum ada detail desain dan dokling dari KKP)
- Provinsi Sulawesi Selatan di Kabupaten Pinrang (on going dan dilanjutkan ke tahun
anggaran 2023)
Berikut disajikan gambaran capaian kegiatan dukungan infrastruktur tambak pada tahun
anggaran 2022 (Gambar 30).
54
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Gambar 31. Contoh Hasil Pelaksanaan Dukungan Infrastruktur Tata Air Tambak TA 2022
Sumber: Direktorat Irigasi dan Rawa, Ditjen SDA, 2023
Kemudian, pada tahun anggaran 2023 telah diprogramkan peningkatan tambak budidaya
pada lokasi:
- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Kabupaten Aceh Timur
- Provinsi Lampung di Kabupaten Lampung Selatan
- Provinsi Sulawesi di Kabupaten Pinrang
- Provinsi Nusa Tenggara Barat di Kabupaten Sumbawa
Berikut disajikan peta rencana program dukungan infrastruktur dalam rangka mendukung
tambak budidaya tahun anggaran 2023 (Gambar 32).
55
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
56
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
57
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Sementara budidaya udang membutuhkan persyaratan kualitas air tertentu dimana salinitas
(kandungan garam dalam air) merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan
untuk menciptakan kualitas air yang baik. Salinitas ini selalu berubah mengikuti perubahan
musim maupun pasang surut air laut. Dengan demikian maka keberhasilan budidaya tambak
terletak pada kemampuan memanfaatkan kondisi dan karakteristik fisik yang ada dimana
pada saat itu kondisi-kondisi tersebut sepenuhnya belum dipertimbangkan.
Berdasarkan data yang didapat dari Direktorat Irigasi dan Rawa Ditjen SDA Kementerian
PUPR terdapat beberapa kendala dalam pengembangan irigasi tambak serta tindak lanjutnya
yang disajikan dalam Tabel 13.
a. Tambak Ideal
Tambak yang ideal adalah tambak yang dapat diairi dan dikeringkan dengan cara
gravitasi. Elevasi muka tanah tambak terletak antara elevasi muka air tinggi rata-rata
(Mean High Water Level) dan muka air rendah rata-rata (Mean Low Water Level).
58
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
(1) Elevasi muka air tambak terletak di atas muka air tinggi rata-rata (Mean Hight Water
Level) dan dasar tambak berada di bawah muka air rendah rata-rata (Mean Low
Water Level). Pengisian air dilakukan dengan menggunakan pompa, pembuangan
air selalu dilakukan dengan cara gravitasi. Berdasarkan harga-harga standar untuk
variasi muka air laut selama 1 tahun tambak yang seperti ini termasuk ke dalam
zone III. Kategori terhadap posisi elevasi lahan adalah kategori layak sampai layak
bila digali;
(2) Muka air tambak terletak di bawah muka air tinggi rata-rata (Mean High Water
Level), dan dasar tambak terletak di bawah muka air rendah rata-rata (Mean Low
Water Level). Pengisian airnya selalu dengan cara gravitasi, pembuangan airnya
selalu dengan pompa. Berdasarkan harga-harga standar untuk variasi muka air laut
selama 1 tahun, tambak seperti ini termasuk dalam zone I. Kategori terhadap posisi
pada elevasi lahan, termasuk kategori layak sampai layak bila ditimbun;
(3) Tambak terletak pada daerah yang tunggang pasangnya (perbedaan elevasi muka
air tambak tertinggi dan terendahnya) terlalu kecil, sehingga pengisian dan
pengeringan dilakukan dengan menggunakan pompa.
1. Bandeng
Ikan bandeng memiliki nama latin Chanos chanos, merupakan ikan campuran antara air
asin dan air tawar atau payau. Ikan ini dapat hidup sampai ke pinggiran dan tengah laut
kemudian secara kontinyu akan kembali ke perairan dangkal atau tepi pantai untuk
bertelur. Ikan bandeng lebih senang perairan dangkal dengan banyak tanaman bakau di
sekitarnya karena akar tanaman bakau akan melindungi telur dan bayi ikan bandeng dari
pemangsa seperti ikan lain yang berukuran lebih besar (Hermawan, 2015).
Bandeng adalah ikan pangan populer di Asia Tenggara. Ikan ini merupakan satu-satunya
spesies yang masih ada dalam familia Chanidae (bersama enak genus tambahan
dilaporkan pernah ada namun sudah punah). Dalam bahasa Bugis dan Makassar dikenal
sebagai ikan bolu, dan dalam bahasa Inggris milkfish. Mereka hidup di Samudera Hindia
59
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
dan Samudera Pasifik dan cenderung berkawanan di sekitar pesisir dan pulau-pulau
dengan terumbu koral. Ikan yang muda dan baru menetas hidup di laut selama 2 – 3
minggu, lalu berpindah ke rawa-rawa bakau berair payau, dan kadangkala danau-danau
berair asin. Bandeng baru kembali ke laut ketika sudah dewasa dan bisa berkembang
biak.
Ikan muda (disebut nener) dikumpulkan orang dari sungai-sungai dan dibesarkan di
tambak-tambak. Di sana mereka bisa diberi makanan apa saja dan tumbuh dengan cepat.
Setelah cukup besar (biasanya sekitar 25 – 30 cm) bandeng dijual segar atau beku.
Bandeng bisa diolah dengan cara digoreng, dibakar, dikukus, dipindang, atau diasap.
2. Udang
Udang adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut, atau danau.
Udang dapat ditemukan di hampir semua “genangan” air yang berukuran besar baik air
tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan
hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan. Udang biasa dijadikan sebagai
hidangan makanan laut (seafood).
Udang menjadi dewasa dan bertelur hanya di habitat air laut. Betina mampu bertelur
sebanyak 50.000 hingga 1 juta telur, yang akan menetas setelah 24 jam menjadi larva
(nauplius). Nauplius kemudian bermetamorfosis memasuki fase kedua yaitu zoea (jamak
zoeae). Zoea pemakan ganggang liar. Setelah beberapa hari bermetamorfosis lagi
menjadi mysis (jamak myses). Mysis memakan ganggang dan zooplankton. Setelah tiga
sampai empat hari kemudian mereka bermetamorfosis terakhir kali memasuki tahap
pasca larva: udang muda yang sudah memiliki ciri-ciri hewan dewasa. Seluruh proses
memakan waktu sekitar 12 hari dari pertama kali menetas. Pada tahap ini, udang
budidaya siap untuk diperdagangkan, dan disebut sebagai benur. Di alam liar, postlarvae
kemudian bermigrasi ke estuari, yang sangat kaya akan nutrisi dan bersalinitas rendah.
Di sana mereka tumbuh dan kadang-kadang bermigrasi lagi ke perairan terbuka di mana
mereka menjadi dewasa.
60
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Gambar 35. Udang Windu (kiri) dan Udang Kaki Putih (kanan)
61
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Saluran primer dapat berfungsi sebagai saluran pemberi air tawar, pemberi air asin, pemberi
air payau atau saluran pembuang. Saluran primer berfungsi sebagai saluran pembuang hanya
ada pada jaringan irigasi teknis tambak.
Saluran sekunder dapat berfungsi sebagai saluran pemberi air tawar, pemberi air asin,
pemberi air payau atau saluran pembuang. Sakuran sekunder berfungsi sebagai saluran
pemberi air tawar atau pemberi air asin apabila sistem pencampuran airnya tersebar.
Saluran sekunder dengan fungsi sebagai pemberi air payau terdapat pada setiap klasifikasi
jaringan irigasi tambak. Saluran sekunder yang berfungsi sebagai saluran pembuang hanya
ada pada jaringan irigasi teknis tambak.
62
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Sketsa penempatan pintu sorong/klep/skot balok pada jaringan irigasi tambak sesuai
fungsinya dapat dilihat pada Gambar 38.
63
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Lokasi titik pengambilan air asin ditentukan dengan memperhatikan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Salinitas atau kualitas harus cukup baik;
b. Air tidak keruh dan cukup bebas dari angkutan sedimen;
c. Bebas polusi dan sampah;
d. Keadaan geometri pantai dan unsur kelautan harus stabil;
e. Sebaiknya titik pengambilan tidak jauh dari jaringan irigasi tambak (saluran pemberi,
kolam pencampur); dan
f. Efektif dan efisien.
Sketsa bangunan pengaman intake pengambilan dapat dilihat pada Gambar 35.
Beberapa alternatif penempatan pompa di jaringan irigasi tambak antara lain dipasang di
tanggul petak tambak (alternatif I), dipasang pada tanggul saluran tersier (alternatif II),
dipasang pada tanggul saluran primer (alternatif III), dan ada yang dipasang di tepi muara
sungai (alternatif IV). Yang perlu diperhatikan pada penempatan pompa adalah pencegahan
64
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
akibat lelehan minyak (solar bensin dan oli) yang digunakan agar tidak mencemari air di
saluran maupun di petakan tambak. Sketsa beberapa alternatif penempatan pompa
digambarkan seperti Gambar 36.
2.4.5 Tanggul
Tanggul adalah timbunan tanah yang berfungsi sebagai penyekat dan penahan massa air
pada setiap unit jaringan irigasi tambak. Tanggul dibedakan oleh ukuran dan fungsinya
masing-masing sebagai berikut:
a. Tanggul primer adalah tanggul yang mengelilingi unit tambak dan memisahkan air di
saluran utama dengan petakan dan penghadang intrusi air asin. Tingginya sesuai dengan
tinggi pasang atau lebih tinggi dari pasang tertinggi (> 1,50 m). Lebar dan kekuatan
tanggul dibuat sedemikian rupa agar dapat diallui oleh kendaraan roda 4 dan berfungsi
sebagai jalan inspeksi dan jalan produksi;
b. Tanggul sekunder adalah tanggul pemisah air di saluran sekunder dengan petakan
tambak. Tingginya disesuaikan dengan tinggi air di dalam saluran. Kekuatan dan lebar
tanggul dibuat sedemikian rupa agar dapat dilalui kendaraan roda 4 atau roda 2 untuk
mempermudah dan mempercepat dalam pengontrolan tambak;
c. Tanggul tersier adalah tanggul pemisah air di saluran tersier dengan petakan dan
merupakan pemisah antara petakan tambak. Tingginya disesuaikan dengan tinggi air di
65
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
saluran dan petakan tambak. Lebar dan kekuatannya dibuat sedemikian rupa agar air
tidak merembes keluar dan dapat dilalui dengan kendaraan roda 2 untuk memperlancar
pengontrolan tambak;
d. Tanggul petakan adalah tanggul yang dibuat untuk pembatas antar petak tambak atau
petak tambak dengan saluran tersier. Tinggi tanggul petakan sama dengan tinggi tanggul
tersier. Untuk melindungi tanggul dari kerusakan dianjurkan menanam rumput sebagai
penahan erosi.
66
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
mencakup bangunan bagi/sadap, pelengkap, pengatur, dan pengukur, serta bangunan seperti
tanggul, jalan inspeksi, dan layanan. Tidak ketinggalan, terdapat kolam tandon (reservoir) dan
kolam pengendap sedimen untuk mendukung fungsi seluruh sistem tersebut.
67
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
68
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
69
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
yang ada pada sumber air yang akan digunakan untuk mengairi tambak. Saluran
pembawa air tawar bisa berupa saluran terbuka, saluran tertutup, atau kombinasi
saluran terbuka dan tertutup dengan persyaratan sesuai dengan tipe masing-masing.
3. Saluran Pembawa Air Asin
Saluran pembawa air asin menjadi aspek penting dalam perencanaan irigasi tambak.
Dengan direncanakan terpisah dari saluran pembawa air tawar, saluran air asin ini
memiliki peran vital dalam sistem tambak. Pada tambak dengan sistem kolam
pencampur terpusat, saluran pembawa air asin berfungsi sebagai jalur yang
mengalirkan air asin dari bangunan utama air asin hingga mencapai bangunan atau
kolam pencampur. Di sisi lain, untuk tambak yang mengadopsi sistem kolam
pencampur tersebar, saluran pembawa air asin terdiri dari saluran primer dan
sekunder air asin. Adapun variasi saluran pembawa air asin bisa berupa saluran
terbuka, saluran tertutup, atau bahkan kombinasi keduanya, dengan penyesuaian
yang mengikuti kebutuhan dan jenis tambak yang bersangkutan.
4. Bangunan Pencampur
Bangunan pencampur memiliki peran krusial dalam menggabungkan air tawar
dengan air asin untuk membentuk air payau buatan yang dapat diatur salinitasnya.
Fungsinya adalah sebagai titik pertemuan antara saluran pembawa air tawar dan air
asin. Penyesuaian salinitas menjadi mungkin dengan adanya bangunan ini. Secara
desain, bangunan pencampur bisa berbentuk bak atau kolam, atau sebagai saluran
linear yang memanjang. Lokasi penempatan bangunan pencampur sangat
bergantung pada lingkungan tambak serta sistem salurannya. Dalam hal sistem
terpusat, bangunan ini ditempatkan pada saluran primer yang mengairi satu area
tambak, sedangkan pada sistem tersebar, beberapa kolam pencampur dipasang
pada saluran sekunder untuk memenuhi kebutuhan air payau dalam sejumlah
petakan tambak terbatas.
70
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Gambar 44. Bangunan Pencampur berupa kolam (kiri) dan berupa saluran (kanan)
Sumber: Direktorat Irigasi Rawa
71
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
7. Bangunan Pembagi
Bangunan pembagi air memiliki beberapa jenis, seperti Bangunan Bagi, Bangunan
Sadap, dan Bangunan Bagi/Sadap. Fungsinya berbeda-beda; Bangunan Bagi
membagi air payau dari saluran primer ke saluran sekunder, sedangkan Bangunan
Sadap membagi air dari saluran sekunder ke saluran tersier untuk dialirkan ke petak
tambak. Air hanya diperbolehkan dialirkan ke petak tambak dari saluran tersier atau
kuarter, tergantung pada sistem pembagian air di petak tersier. Jika pada bangunan
Bagi terdapat pengaturan air di saluran tersier, maka bangunan tersebut dikenal
sebagai Bangunan Bagi-Sadap.
Sekunder
72
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
73
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Jalan inspeksi adalah jalan yang dibuat untuk keperluan OP jaringan irigasi tambak
dan bisa digunakan untuk transportasi sarana produksi. Jalan inspeksi dapat
dibangun pada tanggul primer atau tanggul sekunder sesuai keperluan.
11. Standar Tata Nama
- Nama Tambak: nama daerah yg ada di lokasi tambak (DIT. Jatiluhur)
- Nama Bangunan utama air tawar: nama sumber air tawar misal (B UT. Cibeet)
- Nama Bangunan utama air asin: nama sumber air asin missal (B UA. Pisangan)
- Nama Saluran Pembawa air tawar: Saluran Induk Tawar Cibeet
- Nama Saluran pembawa air asin: Saluran Induk Asin Pisangan
- Saluran Primer: Saluran Primer Payau Karawang
- Saluran Sekunder: Saluran Sekunder Payau Cikarang
- Saluran Tersier
- Bangunan Pencampur: Bangunan Kolam Campur Jatiluhur (B KC Jatiluhur)
- Bangunan bagi/sadap: BBK 1; BPK 2, dst
- Bangunan pelengkap: BBK 1a dst
74
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
Secara lebih singkatnya, terdapat 8 (delapan) kriteria irigasi tambak berdasarkan data yang
diperoleh dari Direktorat Irigasi dan Rawa, Ditjen SDA Kementerian PUPR sebagai berikut.
2.6 Latihan
1. Apa fungsi utama jaringan irigasi dalam budidaya tambak?
2. Apa salah satu persyaratan kualitas air yang penting untuk budidaya udang dalam
tambak?
3. Apa saja elemen yang tercakup dalam kriteria perencanaan Irigasi Tambak Teknis?
2.7 Rangkuman
Budidaya perikanan tambak telah lama dilakukan di beberapa wilayah Indonesia seperti
Pantai Utara dan Timur Pulau Jawa, pantai timur Aceh, dan pantai barat Sulawesi Selatan.
Jaringan irigasi tambak diperlukan untuk menyediakan, membagi, memberikan,
menggunakan, dan membuang air irigasi. Jenis utama yang dulu dipelihara adalah ikan
bandeng, dengan udang sebagai hasil sampingan. Budidaya udang menentukan standar
kualitas air tambak karena kepekaannya terhadap perubahan kualitas air. Persyaratan air
tambak meliputi faktor fisik, kimia, dan mikrobiologi seperti salinitas, suhu, kecerahan, pH, dan
oksigen terlarut. Selain itu, kualitas tanah juga menjadi faktor penting dengan persyaratan
tertentu. Program pemerintah telah mendukung revitalisasi tambak melalui pembangunan dan
rehabilitasi infrastruktur tata air tambak dengan fokus pada budidaya bandeng dan udang.
Kendala dalam pengembangan tambak termasuk saluran yang belum memadai, tata lahan
yang tidak teratur, dan persyaratan kualitas air yang berubah-ubah sesuai musim.
Topografi ideal tambak terletak pada lahan landai yang dapat diakses oleh pasang air laut,
dengan elevasi yang mempengaruhi pengisian dan pembuangan air. Tambak yang optimal
memiliki elevasi antara elevasi muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata. Namun,
terdapat tambak yang tidak ideal dengan beberapa tipe elevasi yang memengaruhi cara
75
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
pengisian dan pembuangannya. Bandeng dan udang menjadi komoditas utama yang
dibudidayakan, awalnya sebagai pekerjaan sampingan nelayan di tepi pantai. Sistem jaringan
irigasi tambak memastikan pasokan air asin untuk memenuhi kebutuhan bandeng dan udang,
sementara infrastruktur tambak mencakup saluran air, pintu air, bangunan pengambil air asin
dan tawar, tanggul, dan bangunan pelengkap seperti kolam pencampur. Ini menjadi bagian
vital dalam mendukung budidaya tambak secara efisien.
Kriteria perencanaan Irigasi Tambak Teknis melibatkan sejumlah elemen seperti jaringan
irigasi, bangunan utama untuk pengambilan air tawar dan air asin, saluran pembawa air tawar
dan air asin, serta bangunan pencampur. Ada pembahasan juga mengenai berbagai jenis
bangunan, termasuk pengaturan air tawar dari sungai atau air tanah, dan pengambilan air
asin dari laut. Sistem pembuangan air juga diperinci, bersama dengan elemen-elemen seperti
kolam tandon, kolam pengendap sedimen, dan bangunan pembagi air. Dalam rangka
perencanaan, standar tata nama dan kriteria penting seperti potensi lahan, sumber daya air,
tenaga kerja, pasar, serta infrastruktur juga dibahas. Ini menguraikan secara rinci bagaimana
elemen-elemen ini saling terkait dan pentingnya setiap elemen dalam perencanaan tambak
yang efisien.
76
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
PENUTUP
A. Simpulan
Rawa memiliki peran krusial dalam pemanfaatan lahan pertanian, perikanan, dan
kebutuhan hidup di Indonesia. Pengelolaan rawa menghadapi beragam tantangan teknis,
lingkungan, sosial, dan kebijakan. Dalam konteks ini, perencanaan irigasi rawa menjadi
sangat penting namun masih terbatas pengalaman Indonesia. Pembangunan dan
rehabilitasi infrastruktur tata air tambak, fokus pada budidaya ikan bandeng dan udang,
menjadi prioritas pemerintah. Namun, kendala seperti saluran yang belum memadai, tata
lahan yang tidak teratur, serta perubahan persyaratan kualitas air menjadi hambatan.
Dalam upaya mengoptimalkan budidaya tambak, kriteria perencanaan yang
komprehensif, yang melibatkan berbagai elemen seperti jaringan irigasi, bangunan
utama, saluran air, dan tata nama standar, menjadi kunci dalam mencapai efisiensi dan
keberlanjutan.
B. Tindak Lanjut
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan ini, peserta diharapkan mengikuti kelas lanjutan untuk
dapat memahami detail dalam tata kelola dan ruang lingkup bidang sumber daya air dan
ketentuan Pelatihan Integrated Coastal Lowland Development pendukung terkait lainnya,
sehingga memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai pelatihan yang
dilaksanakan.
Diharapkan setelah memperoleh pembelajaran dari modul ini Peserta dapat melakukan
pengayaan dengan materi yang berkaitan dengan kawasan pesisir, dan juga perlu
dipelajari tentang pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini.
77
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2015). Peraturan
Pemerintah Nomor 29/PRT/M/2015 tentang Rawa. Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2015). Peraturan
Pemerintah Nomor 11/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan
Reklamasi Rawa Pasang Surut. Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2015). Peraturan
Pemerintah Nomor 21/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Irigasi
Tambak. Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2017). Surat Edaran Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air No. 19/SE/D/2017 tentang Pedoman Peningkatan Jaringan
Irigasi Rawa Pasang Surut. Jakarta.
Putri, Y. S. E. dan Wurjanto, A. (2016). Tata Cara Perencanaan Teknik Jaringan Irigasi Rawa.
Reka Racana Jurnal Online Institut Teknologi Nasional, 2(1), 48-59.
Sudana, W. (2005). Potensi dan Prospek Lahan Rawa sebagai Sumber Produksi Pertanian.
Analisis Kebijakan Pertanian, 3(2), 141-151.
Susilawati, A., Wahyudi, E., dan Minsyah, N. (2017). Pengembangan Teknologi untuk
Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Berkelanjutan. Jurnal Lahan Suboptimal:
Journal of Suboptimal Lands, 6(1), 87-94.
Tobing, S. C. (2001). Dampak Perbaikan Saluran Irigasi Tambak Terhadap Prospek
Pengembangan Usaha Budidaya Udang (Kasus di Wilayah Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan). Bogor: Institur Pertanian Bogor.
78
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
EVALUASI FORMATIF
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan diakhir pembahasan modul Perubahan
Mindset pada Pelatihan Pengelolaan dan Pengembangan Wilayah Pesisir Terpadu. Evaluasi
ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta pelatihan terhadap
materi yang disampaikan dalam modul.
A. Soal
Anda diminta untuk memilih salah satu jawaban yang benar dari pertanyaan-pertanyaan di
bawah ini!
79
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
80 - 90% : baik
70 - 79% : cukup
Diharapkan dengan materi yang diberikan dalam modul ini, peserta dapat mengetahui dan
memahami pengelolaan irigasi tambak. Proses berbagi dan diskusi dalam kelas dapat
menjadi pengayaan akan materi pengelolaan irigasi tambak dengan perkembangan terkini.
80
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
GLOSARIUM
81
Modul 07. Pengelolaan Rawa Pasang Surut dan Irigasi Tambak
KUNCI JAWABAN
Berikut ini merupakan kumpulan jawaban atau kunci dari setiap butir pertanyaan yang
terdapat di dalam modul. Kunci jawaban ini diberikan dengan maksud agar peserta pelatihan
dapat mengukur kemampuan diri sendiri.
Adapun kunci jawaban dari latihan-latihan dalam materi pokok adalah sebagai berikut:
1. Pengalaman Indonesia dalam irigasi rawa masih terbatas, dan perencanaan ini
diperlukan untuk mengatasi permasalahan irigasi serta mengembangkan sistem yang
sesuai dengan kebutuhan petani di masa yang akan datang.
2. Pengalaman Indonesia dalam irigasi rawa masih terbatas, dan perencanaan ini
diperlukan untuk mengatasi permasalahan irigasi serta mengembangkan sistem yang
sesuai dengan kebutuhan petani di masa yang akan datang.
3. Pengalaman Indonesia dalam irigasi rawa masih terbatas, dan perencanaan ini
diperlukan untuk mengatasi permasalahan irigasi serta mengembangkan sistem yang
sesuai dengan kebutuhan petani di masa yang akan datang.
1. Jaringan irigasi tambak berfungsi untuk menyediakan dan membuang air yang
digunakan dalam tambak, memastikan pasokan air yang diperlukan untuk budidaya.
2. Salinitas air menjadi persyaratan kualitas yang krusial karena udang sensitif terhadap
perubahan kualitas air.
3. Kriteria tersebut melibatkan elemen seperti jaringan irigasi, bangunan utama pengambil
air, saluran pembawa air, dan bangunan pencampur.
Evaluasi Formatif
1. C
2. D
3. C
4. B
5. C
6. D
82