Modul Penanganan Residu dari WtE ini disusun untuk pegangan bagi setiap
peserta pelatihan sebagai materi pendukung agar peserta dapat mengevaluasi
pemahamannya terhadap materi yang diajarkan di kelas. Modul ini
menggambarkan pengelolaan residu berbagai macam teknologi WtE.
Modul Penanganan Residu dari WtE ini bertujuan agar peserta pelatihan
mampu memahami prinsip, mengidentifikasi, dan memilih teknologi Waste to
Energy untuk pengolahan sampah dengan mempertimbangkan aspek teknis dan
non-teknis. Modul ini merupakan Modul ke-12 dari 14 Modul.
Modul ini disusun dalam 4 (empat) Bab, meliputi Pendahuluan, Residu Padat
Insinerator, Residu Cair Insinerator dan Residu Padat Pirolisis. Modul ini disusun
secara sistematis agar peserta pelatihan dapat mempelajari materi dengan lebih
mudah.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada tim penyusun
dan Para Narasumber atas tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk
mewujudkan modul ini. Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa
mendatang senantiasa terbuka dan dimungkinkan mengingat akan
perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan yang terus menerus terjadi.
Semoga modul ini dapat membantu dan bermanfaat bagi peningkatan
kompetensi ASN dalam pengolahan sampah dengan konsep WtE.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................... v
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik abu dasar dan abu terbang residu insinerator ................... 9
Tabel 2. Kandungan logam berat yang ditemukan pada abu terbang dan abu
dasar..................................................................................................................... 10
Tabel 3. Karakteristik air lindi dari bunker insinerator sampah perkotaan di
Cina ...................................................................................................................... 36
Tabel 4. Baku mutu lindi ...................................................................................... 37
Tabel 5. Jenis-jenis pengolahan air lindi .............................................................. 38
Tabel 6. Kriteria desain unit komponen sistem kolam ........................................ 40
Tabel 7. Efisiensi penyisihan beberapa polutan pada lindi oleh berbagai jenis
proses biologi ....................................................................................................... 46
v
vi | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
POSISI MODUL DALAM KURIKULUM PELATIHAN
vii
viii | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL
A Deskripsi
Modul Penanganan Residu dari WtE ini terdiri atas tiga materi pokok. Materi
pokok pertama membahas mengenai “Residu Padat InsInerator”, terdiri atas
materi mengenai jenis, kuantitas, karakteristik, pengelolaan dan pemanfaatan
residu. Materi pokok kedua menjelaskan tentang “Residu Cair Insinerator”,
melingkupi kuantitas, kualitas, pengelolaan dan pengolahan residu. Materi
pokok ketiga menjelaskan tentang “Residu Padat Pirolisis”, melingkupi kuantitas,
karakteristik, penanganan dan pemanfaatan. Modul ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman lebih mendalam kepada peserta terkait proses dan
teknologi penanganan residu dari teknologi WtE.
Untuk menanamkan pemahaman yang lebih kuat, modul ini akan berkaitan erat
dengan kegiatan kunjungan lapangan dan seminar. Kegiatan tersebut
merupakan latihan bagi peserta untuk mengetahui fungsi seluruh prasarana dan
sarana dari teknologi WtE dengan cara melakukan observasi langsung di
sebuah instalasi teknologi WtE. Sebagai evaluasi akan capaian pemahaman
peserta, dilakukan presentasi hasil kunjungan lapangan dengan menugaskan
peserta untuk menganalisa permasalahan yang ditemukan. Evaluasi dilakukan
langsung saat presentasi dan diskusi berlangsung, oleh Narasumber terhadap
peserta. Latihan atau evaluasi ini menjadi alat ukur tingkat penguasaan
peserta pelatihan setelah mempelajari materi dalam modul ini.
ix
B Persyaratan
Dalam mempelajari buku ini peserta pelatihan telah mengikuti diklat
dasar tentang pengelolaan sampah.
C Metode
Dalam pelaksanaan pembelajaran modul ini, metode yang dipergunakan
adalah metoda pemaparan di dalam kelas, yang diberikan oleh narasumber
yang akan menjadi bahan bagi diskusi interaktif yang harus terbangun antara
diantara peserta pelatihan. Paparan yang diberikan juga dilengkapi dengan
beberapa film singkat mengenai teknologi WtE.
D Alat Bantu/Media
Untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran ini, diperlukan
alat bantu/media pembelajaran tertentu, yaitu :
1. LCD/projector
2. Laptop
3. Papan tulis atau whiteboard dengan penghapusnya
4. Flip chart
5. Bahan tayang
6. Modul dan/atau Bahan Ajar
7. Video
1
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Penimbunan sampah di landfill memiliki banyak aspek lingkungan yang perlu
diperhatikan. Untuk mengelola sampah perkotaan yang jumlahnya ribuan ton
setiap harinya, pemerintah kota harus menyediakan lahan yang cukup luas untuk
dijadikan fasilitas landfill. Emisi gas metana, timbulan air lindi, dan potensi
pencemaran tanah oleh bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam sampah
merupakan aspek-aspek yang menyebabkan metode landfill dalam hierarki
pengelolaan sampah berada pada tingkatan paling bawah atau menjadi pilihan
terakhir. Waste to Energy (WTE) atau pengolahan sampah menjadi energi adalah
opsi yang menarik untuk ditindaklanjuti, karena sebenarnya sampah masih
memiliki energi yang dapat diperoleh kembali dan peluangnya untuk menjadi
sumber energi sangat besar. Beberapa contoh teknologi WTE yang melibatkan
proses termal adalah insinerasi, pirolisis dan gasifikasi. Walaupun pirolisis dan
gasifikasi belum banyak diterapkan untuk pengolahan sampah skala kota, tetapi
teknologi ini hingga saat ini terus dikembangkan, sehingga penting juga untuk
diketahui.
Insinerasi adalah metode yang umum digunakan untuk mengolah sampah kota
karena dapat mengurangi volume sampah hingga 90% dan panas yang dihasilkan
dapat dikonversi menjadi listrik (Lam, et al., 2010). Insinerasi sampah kota
menghasilkan 2 residu utama yang dapat digolongkan menjadi abu terbang dan
abu dasar. Sedangkan residu dari proses pirolisis dan gasifikasi yang sering tidak
termanfaatkan adalah char. Selain isu pengelolaan residu ini, hal lain yang
menjadi perhatian adalah strategi penggunaan abu insinerator agar penanganan
akhir abu tidak berujung pada penimbunan, tetapi dijadikan produk yang
bermanfaat.
B Tujuan
Mata pelatihan ini bertujuan untuk mengenalkan proses dan teknologi
pengendalian residu dari luaran hasil pemrosesan sampah terkait WtE kepada
peserta melalui ceramah interaktif, diskusi dan latihan soal.
3
3) Residu padat proses pirolisis meliputi:
Kuantitas dan Karakteristik Residu Padat Proses Pirolisis
Penanganan Residu
Potensi Pemanfaatan Residu
F Estimasi Waktu
Untuk mempelajari mata pelatihan Pengantar Pengolahan Sampah Secara
Umum ini, dialokasikan waktu sebanyak 2 (dua) jam pelajaran.
G Mind Mapping
5
Residu Padat Insinerator
A Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu memahami dan
menjelaskan residu padat dari teknologi WtE yaitu insenerator.
B Tujuan
Mata pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada peserta
mengenai jenis-jenis residu padat dari insinerator, perkiraan volume timbulan
yang dihasilkan dan karakteristiknya. Materi ajar ini bertujuan pula untuk
memberikan pemahaman mengenai tata cara penyimpanan, pengumpulan,
penimbunan, alternatif pengolahan, termasuk metode yang dapat diaplikasikan
jika abu akan dimanfaatkan.
Abu dasar (bottom ash); terdiri dari material yang tidak dapat terbakar,
karena seringkali sampah perkotaan mengandung material inert seperti
kerikil dan logam. Sampah organik yang tidak terbakar dan terkumpul
pada outlet ruang bakar yaitu pada cooling tank juga merupakan bagian
dari abu dasar. Ukuran partikel abu dasar memiliki rentang diameter
yang lebar yaitu berbentuk serbuk halus hingga lebih dari 4,75 mm. Oleh
karena rentang ukuran partikelnya yang lebar ini, abu dasar
dikelompokkan menjadi partikel halus (<0,18 mm), partikel sedang (0,18-
1,4 mm), dan partikel kasar (>1,4 mm) (Yu, et al., 2013).
Grate siftings merupakan material berukuran kecil yang jatuh dari grate
insinerator dan terkumpul di dasar ruang bakar. Grate siftings seringkali
Residu yang terakhir tidak dibahas pada modul ini, melainkan pada modul
Pengendalian Emisi Partikulat dan Gas dari Fasilitas WtE Termal. Gambar 1
menunjukkan gambaran umum posisi terbentuknya (generator point) residu
padat pada insinerator.
7
D Kuantitas abu insinerator
Gambar 2 menyajikan tipikal perbandingan residu padat yang dihasilkan dari
insinerator untuk pengolahan sampah kota di beberapa negara maju. Pada
umumnya, insinerator menghasilkan abu dasar pada kisaran 150-250 kg per ton
sampah yang dibakar pada insinerator. Sedangkan jumlah grate siftings jauh lebih
sedikit daripada abu dasar, yaitu berada pada kisaran 1-3 kg/ton sampah yang
diumpankan ke insinerator. Selain abu dasar dan grate siftings terdapat juga
residu padat lain yang berasal dari boiler. Jumlah timbulan abu boiler bergantung
pada tipe boiler dan jumlah partikulat yang terlepas sebagai hasil pembakaran
selama di grate. Jumlah timbulan abu boiler pada umumnya adalah 2-5 kg per ton
sampah masuk. Residu lain adalah abu terbang yang jumlahnya 1,5-5 gram/m3
gas buangan yang masuk ke ESP filter.
Abu terbang dari proses insinerasi sampah perkotaan juga mengandung klorida
lebih tinggi daripada abu dasar (Tabel 1). Hal ini dikarenakan pada proses
pemurnian gas buang dari gas yang bersifat asam seperti HCl, dihasilkan klorida
dalam konsentrasi yang tinggi yang terikut bersama abu terbang yang telah
meninggalkan alat pengendali pencemaran udara. Pada proses insinerasi, terjadi
pengurangan massa dan volume sampah yang menyebabkan konsentrasi logam
berat pada abu dasar lebih tinggi daripada yang terkandung pada sampah kota
yang belum melalui proses insinerator. Tabel 1 menunjukkan contoh komposisi
logam berat pada abu terbang dan abu dasar.
Dari Tabel 2 diketahui bahwa Zn dan Pb merupakan dua logam utama penyusun
abu dasar dan abu terbang. Keberadaan logam berat pada abu insinerator dapat
mengakibatkan masalah pelindian dan sangat berbahaya bagi lingkungan jika
tidak dikelola dengan baik. Pada umumnya, kandungan logam berat pada abu
terbang lebih tinggi daripada abu dasar dikarenakan oleh terjadinya penguapan
9
logam selama proses pembakaran dan adanya proses adsorpsi logam pada
permukaan abu terbang. Pengelolaan abu terbang, abu dasar, dan abu boiler
seharusnya tidak dicampur. Di beberapa negara maju, sudah ada peraturan yang
melarang pencampuran pengelolaan abu dasar dengan abu terbang atau abu
boiler.
Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa konsentrasi beberapa logam berat pada abu
terbang seperti As, Ba, Cd, Hg, Mn, dan Zn lebih tinggi daripada konsentrasi
logam-logam tersebut pada abu dasar. Pencampuran kedua jenis abu ini dapat
memperumit prosedur perlakuan ketika pemanfaatan akan dilakukan.
Tabel 2. Kandungan logam berat yang ditemukan pada abu terbang dan abu
dasar (mg/kg) (Transportation Research Board, 2000)
Logam berat Abu terbang Abu dasar
Ag ND-700 2-38
As 15-751 1,3-45
Ba 88-9001 47-2.000
Cd 5-2211 0,3-61
Co 2,3-1.671 22-706
Cr 21-1.901 13-1.400
Cu 187-2.381 80-10.700
Hg 0,9-73 0,003-2
Mn 171-8.500 50-3.100
Ni 10-1.970 9-430
Pb 200-2.600 98-6.500
Se 0,48-16 ND-3,4
Zn 2.800-152.000 200-12.400
Sedangkan perbandingan kandungan logam berat pada abu boiler dengan 2 jenis
abu lainnya ditampilkan pada Gambar 3, dimana untuk beberapa logam berat,
konsentrasi pada abu boiler lebih tinggi daripada konsentrasi yang terkandung
dalam abu dasar.
11
i. Reduce (mengurangi limbah B3)
Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 56 tahun 2015, setiap penghasil limbah B3 wajib melakukan
upaya pengurangan dan pemilahan limbah B3. Upaya ini dapat dilakukan
menggunakan teknologi bersih dan metode baru sehingga limbah yang
akan muncul relatif sedikit.
ii. 3R (reuse, recycle, recovery) limbah B3 melalui upaya pemanfaatan
kembali limbah B3 yang telah muncul sebagai bahan baku atau bahan
bakar
iii. Penimbunan limbah B3 sebagai solusi terakhir.
Tetapi jika dari hasil pengujian karakteristik limbah B3 abu insinerator tidak
termasuk limbah B3, maka pengelolaannya mengikuti tata cara pengelolaan
sampah. Di bawah ini akan dibahas tahapan pengelolaan abu insinerator jika
masuk dalam kategori limbah B3 dimulai dari tahapan penyimpanan dan
pengumpulan hingga pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan.
13
Selain PP 101 Tahun 2014 dan Kep-03/BAPEDAL/09/1995, tata laksana
penyimpanan limbah B3 juga diatur pada Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan No 30 Tahun 2009.
2. Pengolahan limbah B3
Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengurangi dan/atau
menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun.
Terdapat beberapa teknik pengolahan residu abu insinerator, yaitu:
Proses pemisahan
Pengolahan termal
Stabilisasi/solidifikasi
15
Gambar 5. Jenis-jenis pengolahan abu incinerator
a. Proses pemisahan
Proses pemisahan ditujukan untuk memperbaiki kualitas abu
insinerator dan meningkatkan potensi pemanfaatannya. Teknik
pemisahan ini dapat dilakukan melalui pencucian, proses melindikan
(leaching), dan proses elektrokimia.
Proses pencucian
Proses pencucian umumnya digunakan sebagai pengolahan
pendahuluan sebelum proses stabilisasi/solidifikasi abu insinerator
dilakukan. Proses ini ditujukan untuk menurunkan kandungan
beberapa senyawa yang terkandung dalam abu insinerator seperti
klorida, garam, alkali, dan logam berat menggunakan air atau larutan
asam. Jenis zat pencemar yang ditemukan pada abu insinerator
bergantung pada proses, khususnya temperatur. Logam berat dan
alkali banyak ditemukan pada abu dasar, sedangkan klorida dan
senyawa garam banyak ditemukan pada abu terbang. Kandungan
senyawa garam pada abu terbang yaitu sekitar 20%. Sebuah studi
menemukan bahwa keterlindian senyawa garam dari abu insinerator
telah menurunkan aktivitas dari bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi
yang terdapat di tanah. Selain itu, metode solidifikasi yang banyak
Proses elektrokimia
Tujuan dari proses elektrokimia yaitu untuk menyisihkan logam berat
dan memperoleh kembali logam berat untuk penggunaan lain.
Proses ini melibatkan energi potensial listrik untuk mendorong
terjadinya reaksi reduksi/oksidasi pada permukaan katoda dan
anoda. Selama proses berlangsung, logam akan terkumpul pada
permukaan katoda. Proses ini tidak melibatkan penambahan bahan
kimia apapun dan efisiensi penyisihannya rendah. Kombinasi
pengolahan dengan pencucian dan proses elektrokimia dapat
memperbaiki efisiensi penyisihan ini. Gambar 6 menampilkan prinsip
kerja dari proses elektrokimia untuk menyisihkan logam berat.
17
Gambar 6. Prinsip kerja proses elektrokimia dalam penyisihan
logam
(Lam, et al., 2010)
b. Pengolahan termal
Pengolahan termal diklasifikasikan menjadi 3 jenis pengolahan, yaitu
vitrifikasi, pelelehan, dan sintering. Pengolahan termal untuk residu
padat insinerator dapat menurunkan volume abu insinerator hingga
lebih dari 60%. Selain itu, proses termal juga dapat menurunkan
peluang keterlindian zat-zat pencemar saat produk mengalami
kontak dengan air. Oleh karena kemungkinan terlindikannya logam
berat menjadi lebih sedikit, produk dari proses termal bersifat dan
lebih stabil sehingga pemanfaatannya di akhir akan lebih mudah.
19
Kelebihan dari pengolahan abu insinerator dengan proses termal
yaitu kualitas produk akhir dari proses lebih homogen, memiliki
kerapatan lebih tinggi dengan potensi keterlindian yang lebih kecil.
Kelemahan utama dalam proses termal adalah biaya operasional
yang besar karena proses melibatkan temperatur yang tinggi. Selain
itu, peralatan pengendalian polusi udara juga diperlukan.
c. Stabilisasi/solidifikasi
Berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995, teknologi
stabilisasi/solidifikasi dapat diterapkan untuk mengolah limbah yang
mengandung logam. Stabilisasi/solidifikasi dilakukan untuk limbah
B3 yang tidak memenuhi persyaratan penimbunan langsung seperti
yang diatur pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kahutanan No 63 Tahun 2016, sehingga harus dilakukan pengolahan
awal limbah. Selain itu, stabilisasi/solidifikasi juga dapat digunakan
sebagai alternatif pengolahan limbah B3 yang akan dimanfaatkan,
misalnya untuk pelapis jalan (road base) dan bahan bangunan
(contoh: paving block, batako, batu bata).
21
Mekanisme proses stabilisasi/solidifikasi
Pengkapsulan makro: komponen berbahaya dari limbah
terperangkap secara fisik dalam sebuah struktur matriks.
Komponen tersebut berada dalam ruang atau pori dari sebuah
produk yang stabil. Bila terjadi destabilisasi secara fisik,
komponen limbah akan bermigrasi ke luar, misalnya karena
faktor cuaca atau masuknya air dari luar.
Pengkapsulan mikro: komponen limbah terperangkap secara
fisik dalam bahan stabilisasi/solidifikasi pada level yang lebih
mikro (misalnya dalam level kristal). Bila bahan
stabilisasi/solidifikasi tersebut mengalami kerusakan dan ukuran
menjadi lebih kecil, komponen limbah masih tetap terperangkap.
Keberadaan komponen dalam limbah tidak terikat secara kimia,
naiknya laju kelolosan dalam limbah sejalan dengan menurunnya
ukuran partikel.
Absorpsi: kontaminan ditahan di dalam sorben (bersifat fisik),
seperti halnya spons menahan air. Proses ini membutuhkan
bahan padat sebagai sorben untuk menyerap komponen limbah.
Adsorpsi: kontaminan terikat tetap (fix) secara kimia dalam
matriks padat stabilisasi/solidifikasi. Adsorben yang biasa
digunakan adalah tanah liat, abu terbang, semen, mineral liat, dll.
Di samping pemerangkapan fisik, dalam adsorpsi terdapat ikatan
yang bersifat elektrokimia. Ikatan secara adsorpsi lebih kuat
daripada absorpsi, sehingga lolosnya komponen berbahaya
dapat lebih dikurangi.
Pengendapan: beberapa proses stabilisasi mengendapkan
kontaminan limbahnya
Detoksifikasi: beberapa reaksi kimia dapat terjadi selama proses
stabilisasi berlangsung, termasuk kemungkinan detoksifikasi,
dimana terjadi reduksi toksisitas sehingga menjadi lebih tidak
toksik. Contoh: Cr6+ mengalami reduksi menjadi Cr3+ pada saat
stabilisasi dengan semen.
Tujuan stabilisasi/solidifikasi
Tujuan dari proses stabilisasi/solidifikasi adalah mengkonversi
limbah beracun menjadi massa yang secara fisik inert, memiliki daya
pelindian rendah, serta kekuatan mekanik yang cukup aman untuk
dibuang ke landfill limbah B3 atau mendapatkan bahan yang baik
23
Beberapa keuntungan pengolahan limbah B3 dengan teknik
stabilisasi/solidifikasi antara lain:
kemudahan dalam penerapan dan pengolahannya
mempunyai stabilitas fisik dan kimia jangka panjang yang baik
mempunyai kekuatan kompresi yang baik
resisten terhadap biodegradasi
memiliki permeabilitas air yang rendah
25
a. Industri semen
Abu insinerator hasil pembakaran sampah kota mengandung CaO,
SiO2, Fe2O3 dan Al2O3, dimana komposisinya menyerupai komposisi
daru bahan baku untuk pembuatan semen. Oleh karena itu, abu
insinerator mempunyai potensi untuk menggantikan bahan baku
pembuat semen. Keuntungan dari pemanfaatan abu insinerator
sebagai bahan substitusi sebagian dari bahan baku semen adalah
penurunan emisi karbondioksida, sebagai bagian dari upaya mitigasi
terhadap efek rumah kaca. Pada proses pembuatan semen tanpa
penggunaan abu insinerator, diperlukan energi dalam jumlah yangs
angat besar untuk mendekomposisi kalsium karbonat (CaCO3)
menjadi kapur (CaO), mengakibatkan teremisikannya karbondioksida
dalam jumlah yang sangat besar. Sedangkan, abu dasar dan abu
terbang mengandung kapur, oleh karena itu, tidak lagi diperlukan
energi untuk mendekomposisi kalsium karbonat menjadi kapur,
dimana hal ini akan berkontribusi dalam penurunan sejumlah emisi
karbondioksida. Namun, dalam aplikasi pemanfaatan abu insinerator
pada produksi semen, ditemukan sejumlah kendala teknik, seperti
tingginya kandungan klorida yang akan berdampak pada kualitas
produk dan dapat menyebabkan korosi dan penyumbatan pada
peralatan. Konsentrasi logam berat yang tinggi juga menjadi isu yang
harus dipertimbangkan dalam penggunaan abu insinerator sebagai
bahan baku pembuatan semen. Pengolahan pendahuluan untuk abu
insinerator sangat direkomendasikan untuk menyisihkan klorida dan
logam berat.
b. Pembuatan keramik
Abu dasar dan abu terbang dapat digunakan sebagai bahan baku
dalam proses pembuatan gelas dan keramik dalam kondisi
temperatur tinggi (>1000oC). Abu dasar dan abu terbang terdiri dari
SiO2, Al2O3 dan CaO, sehingga memungkinkan untuk menjadi
pengganti sebagian dari lempung pada produksi pembuatan keramik.
Sebuah penelitian oleh Andreola menunjukkan bahwa penggunaa
abi dasar sebesar 20% pada keramik tidak memengaruhi perilaku
termal dan mineral dari keramik tersebut. Walaupun demikian,
c. Adsorben
Adsorpsi merupakan teknik yang banyak digunakan untuk
menyisihkan zat pencemar dari air, dimana zat yang biasa digunakan
sebagai adsorben adalah karbon aktif. Sebagai alternatif untuk
menurunkan biaya operasional, banyak penelitian yang mempelajari
penggunaan abu dasar sebagai pengganti karbon aktif untuk
menyisihkan zat warna dan logam berat dari air limbah industri. Salah
satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan abu
dasar sebagai adsorben adalah kemungkinan terlindikannya logam
berat dari abu dasar, karena logam berat pada air adalah dapat
menyebabkan keracunan. Penggunaan abu terbang sebagai
adsorben sangat jarang ditemukan dibandingkan dengan
panggunaan abu dasar. Hal ini dikarenakan potensi kerelindian
logam berat dari abu tebang lebih tinggi, sedangkan abu dasar sangat
jarang ditemukan melindikan logam berat.
27
dasar digunakan untuk menyisihkan komponen culfur dari gas
landfill. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa 1 kg
abu dasar dapat menyerap lebih dari 3 g hydrogen sulfida, 44 mg
methyl mercapan dan 86 mg dimetil sulfida.
d. Pembuatan beton
Abu insinerator, khususnya abu terbang, memiliki banyak
karakteristik yang menyerupai karakteristik semen. Oleh karena itu,
abu terbang memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan
substitusi parsial semen pada proses pembuatan beton. Dari studi
yang pernah dilakukan, abu terbang memiliki karakteristik yang
hampir sama dengan bahan pozzolan kelas C yang tertuang pada
standar ASTM. Pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa
silika dan alumina dimana bahan pozzolan ini dengan adanya air akan
bereaksi secara kimiawi dengan kalsium hidroksida (senyawa hasil
reaksi antara semen dan air) pada suhu kamar membentuk senyawa
kalsium aluminat hidrat yang mempunyai sifat seperti semen.
Dalam hal limbah B3 tidak memenuhi hasil uji paint filter, uji TCLP, dan
pengujian pada butir e di atas, limbah B3 wajib diolah terlebih dahulu
dengan cara stabilisasi/solidifikasi dengan metode yang telah dijelaskan
pada sub bab sebelum ini.
29
Desain fasilitas mengikuti persyaratan kelas landfill: double liner,
single liner, dan clay liner. Perbedaan sistem pelapisan dasar (liner)
antara landfill kelas I, II, dan III ditunjukkan pada Gambar 9.
Memiliki sistem pelapis yang dilengkapi dengan saluran untuk
pengaturan aliran air permukaan, pengumpulan air lindi dan
pengolahannya, sumur pantau, dan lapisan penutup akhir
Memiliki peralatan pendukung penimbunan limbah B3 yang paling
sedikit terdiri dari: (i) peralatan dan perlengkapan untuk mengatasi
keadaan darurat, (ii) alat angkut untuk penimbunan limbah B3, dan
(iii) alat pelindung dan keselamatan diri
Memiliki rencana penimbunan limbah B3, penutupan, dan paska
penutupan landfill.
Salah satu contoh fasilitas landfill kelas I yang dibuat oleh penghasil
limbah B3 untuk menimbun limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan
operasinya ditunjukkan pada Gambar 10.
G Aspek Lingkungan
Abu insinerator mengandung senyawa persistent organik pollutants (POPs) yang
dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. POPs pada abu
insinerator terbentuk karena pembakaran atau reaksi kimia yang terjadi sampah
yang mengandung senyawa klorin. Beberapa contoh senyawa POPs yang
terdapat pada abu insinerator diantaranya polychlorinated biphenyls (PCBs),
hexachlorobenzene (HCB), polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDDs), dan
dibenzofurans (PCDFs). Dua senyawa terakhir dikenal sebagai dioksin. Jumlah
POPs yang terbentuk dari hasil pembakaran antara satu insinerator dengan yang
lain berbeda, tergantung dari komposisi sampah yang dibakar dan parameter
operasional yang digunakan dalam pengoperasian insinerator.
Diantara semua residu insinerator, dioksin dan POPs terbanyak ditemukan pada
residu yang terkumpul dari alat pengendali pencemaran udara, misalnya pada
abu terbang. Jumlah senyawa dioksin dan POPs pada abu boiler tidak sebanyak
yang terkandung pada residu dari alat pengendali pencemara udara. Namun, abu
dasar dan abu boiler mengandung logam berat dalam konsentrasi yang tinggi.
31
H Latihan
1. Jelaskan terbentuknya abu terbang dan abu dasar dari proses insinerator
2. Mengapa pengelolaan abu terbang dan abu dasar sebaiknya dipisahkan?
3. Jika abu insinerator termasuk dalam kategori limbah B3, sebutkan
beberapa persyaratan penyimpanan abu insinerator sebelum dikirim ke
pihak ketiga untuk diolah.
4. Kandungan apa saja yang menjadikan abu insinerator berbahaya bagi
kesehatan manusia dan lingkungan?
5. Salah satu cara pengolahan sekaligus pemanfaatan abu insinerator
adalah dengan melakukan stabilisasi/solidifikasi. Jelaskan tujuan
stabilisasi/solidifikasi.
I Rangkuman
Abu terbang dan abu dasar merupakan residu dari pembakaran sampah kota
menggunakan insinerator, dengan timbulan abu dasar sebanyak 20-25% dari
total volume sampah kota yang diumpankan ke ruang bakar insinerator. Abu
terbang merupakan partikel debu yang terbawa oleh gas buang hasil pembakaran
dan tertangkap filter dalam alat pengendali pencemaran udara. Sedangkan abu
dasar merupakan material yang tidak dapat terbakar (non-combustible), karena
seringkali sampah kota mengandung banyak material inert yang bersifat tidak
dapat terbakar.
Abu dasar dan abu terbang dari fasilitas insinerator untuk sampah kota tidak
diatur dalam Lampiran I PP No 101 Tahun 2014, sehingga diperlukan pengujian
karakteristik limbah B3 di laboratorium untuk menentukan tata cara pengelolaan
yang tepat. Jika abu insinerator dari pemrosesan sampah dikategorikan sebagai
limbah B3, maka seluruh kegiatan pengelolaan dimulai dari penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, maupun pemanfaatan harus memiliki
Izin Lingkungan dari dinas terkait.
33
Limbah Cair Insinerator
A Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu memahami dan
menjelaskan limbah cair yang berasal dari fasilitas insenerator.
B Tujuan
Mata pelatihan ini bertujuan untuk mengenalkan proses dan teknologi
pengendalian residu dari luaran hasil pemrosesan sampah terkait WtE kepada
peserta melalui ceramah interaktif, diskusi dan latihan soal
Berbeda dengan kondisi di negara maju, karena karakteristik sampah kota yang
berbeda, pada banyak kasus tidak ditemukan lindi pada bunker insinerator.
Komposisi sampah organik di negara maju tidak sebanyak yang ditemukan pada
negara berkembang, seperti ditunjukkan pada Gambar 12.
(a) (b)
Gambar 12. Perbandingan komposisi sampah perkotaan di (a) negara maju dan
(b) negara berkembang
(Hoornweg & Bhada-Tata, 2012)
35
D Kuantitas dan Kualitas Air Lindi
Berdasarkan studi pengolahan untuk lindi yang berasal dari bunker insinerator
yang dilakukan di Cina, jumlah lindi yang terbentuk sebesar 101-204 kg lindi per
ton sampah dengan karakteristik seperti pada Tabel 3. Karakteristik lindi yang
dihasilkan dari sampah kota setiap negara akan berbeda, karena dipengaruhi oleh
karakteristik dan komposisi sampah, curah hujan dan musim kelembaban dalam
timbulan sampah.
Tabel 3. Karakteristik air lindi dari bunker insinerator sampah perkotaan di Cina
(He, et al., 2009)
Parameter Satuan (mg/l)
pH 4,19-4,86
COD 68.800-76.700
BOD5 29.800-32.500
BOD5/COD 0,39-0,45
TOC 15.300-25.900
VFAs 4.500-5.000
Total Nitrogen 2.450-4.000
+
NH4 -N 480-560
Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) 1.660-1.900
E Pengelolaan lindi
Dalam pengoperasian insinerator untuk memproses sampah kota, dimana
menghasilkan timbulan lindi dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
pengelola fasilitas insinerator memerlukan fasilitas pengolahan lindi sendiri, tata
cara pengelolaan lindi diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No 59 tahun 2016, yaitu sebagai berikut:
Menjamin seluruh lindi yang dihasilkan di fasilitas insinerator masuk ke
instalasi pengolahan lindi. Salah satu caranya adalah dengan mengatur
kemiringan dasar bunker agar dapat mengalirkan lindi yang terbentuk ke
pengumpulan air lindi. Bunker juga harus didesain menggunakan
material yang kedap sehingga tidak terjadi perembesan lindi ke
lingkungan
Mengisolasi bunker agar air eksternal seperti air hujan tidak masuk
karena akan menambah kadar air dalam sampah. Selain itu, isolasi
bunker juga ditujukan untuk mencegah lindi tidak mengalir ke luar
F Pengolahan lindi
Setiap penghasil lindi diwajibkan melakukan pengolahan lindi yang berasal dari
tempat pemrosesan sampah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 59 tahun 2016 sebelum lindi dibuang ke
badan air. Tabel 4 menyajikan baku mutu lindi yang harus dipenuhi oleh setiap
penghasil lindi.
Tabel 4. Baku mutu lindi
Parameter Kadar paling tinggi Satuan
pH 6-9
BOD 150 mg/l
COD 300 mg/l
TSS 100 mg/l
N total 60 mg/l
Merkuri 0,005 mg/l
Kadmium 0,1 mg/l
37
Pada umumnya, teknologi yang digunakan untuk mengolah lindi baik yang
ditimbulkan dari TPA maupun fasilitas insinerator adalah sama dengan teknologi
pengolahan untuk air limbah domestik, dimana pengolahan utamanya
menggunakan proses biologi.
Pada umumnya, lindi memiliki BOD dan COD yang tinggi, oleh karena itu, proses
biologi secara aerobik saja seringkali tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi
BOD dan COD ini. Oleh karena itu, pada prakteknya, diperlukan proses anaerobik
di awal. Konfigurasi antara proses anaerobik dan aerobik ini berfungsi juga untuk
menurunkan kadar nitrogen dalam bentuk ammonium, nitrat dan nitrit.
39
Tabel 6. Kriteria desain unit komponen sistem kolam
(Damanhuri, 2012)
Kriteria Proses Pengolahan
Anaerobik Aerobik Maturasi Final
Kedalaman (m) 2,5-5 1-2 1-1,5 2
Penyisihan BOD (%) 50-85 70-80 60-89 75
Waktu detensi (hari) 20-50 5-30 7-20 3-5
Laju beban organik (kg/ha hari) 224-560 56-135 <17 <80
pH 6,5-7,2 6,5-8,5 6,5-10,5
Pengolahan final sebagai kesatuan dari sistem kolam pengolah lindi dapat berupa
biofilter, wetland, atau media karbon aktif atau zeolit. Pengolahan final berfungsi
untuk memoles lindi terolah sebelum dibuang ke badan air, misalnya
menurunkan sisa-sisa kadar padatan dan organik yang masih terkandung dalam
lindi. Berikut penjelasan mengenai aplikasi biofilter atau wetland sebagai
pengolahan final
.
Wetland
Konsep wetland mengacu kepada kemampuan tanah dan tanaman
dalam menetralisisr komponen-komponen pencemar yang tersisa di
lindi. Oleh karena itu, pengolahan ini diposisikan pada pengolahan
terakhir. Pengolahan final dengan wetland cocok diterapkan karena
relatif mudah, memanfaatkan kondisi alam (tanaman dan media
berbutir). Aplikasi wetland juga dapat dikombinsikan dengan tanaman air
yang tumbuh mengapung, dengan mengkombinasikan antara fungsi akar
tanaman penyerap komponen pencemar (logam berat) dan tumbuhnya
bakteri pemakan materi organik dalam lindi yang hidup di sekitar akar
dan tanah dan fungsi media berbutir untuk menguranfi pencemar secara
fisika. Contoh wetland dengan kombinasi tanaman dan media berbutir
disajikan pada Gambar 14.
Dalam hal tidak tersedianya lahan yang cukup luas atau lindi yang
terbentuk pada bunker insinerator hanya sedikit, sistem pengolahan lindi
aerob dengan sistem lumpur aktif atau rotating biological contactor
dapat dijadikan sebagai alternatif. Sedangkan untuk proses anaerob bisa
menggunakan metode fixed bed atau upflow anaerobic sludge blanket
(UASB).
41
sistem pengelolaan lumpur lanjutan, konsumsi energi untuk aerasi
sangat besar karena harus dilakukan secara kontinu, adanya potensi
kehadiran mikroorganisme inhibitor akibat tingginya konsentrasi
ammonium.
43
mempunyai luas permukaan yang besar untuk mendapatkan
pertumbuhan bakteri pengurai yang optimum. Pada reaktor fixed bed,
pertumbuhan bakteri paling banyak di media PVC, tetapi ada juga yang
tersuspensi di air limbah yang masuk. Pada aplikasi pengolahan lindi
dengan anaerobic fixed bed, lindi dialirkan melalui pipa inlet reaktor dan
akan mengalami kontak dengan media yang telah ditumbuhi bakteri.
Biogas yang dihasilkan akan terkumpul di bagian atas reaktor. Setelah
waktu detensi tertentu, lindi terolah akan keluar dari reaktor. Skema
pengolahan lindi dengan reaktor anaerobic fixed bed disajikan pada
Gambar 17.
45
Sebagai ringkasan dari penjelasan sebelumnya mengenai kinerja masing-
masing variasi teknologi yang dapat diaplikasikan untuk pengolahan lindi,
Tabel 7 menunjukkan angka efisiensi penyisihan beberapa polutan yang
umumnya terkandung pada lindi.
Tabel 7. Efisiensi penyisihan beberapa polutan pada lindi oleh berbagai jenis
proses biologi
G Latihan
1. Jelaskan proses terbentuknya air lindi dari fasilitas insinerator.
2. Jelaskan 3 contoh metode pengolahan air lindi secara biologis.
3. Jelaskan fungsi pengolahan biologis dalam pengolahan air lindi.
4. Mengapa pengolahan lindi dengan sistem kolam dirasa paling cocok
untuk diterapkan di Indonesia?
H Ringkasan
Sampah perkotaan di negara berkembang termasuk Indonesia memiliki
karakteristik yang berbeda dengan karakteristik sampah perkotaan di negara
maju. Kondisi ini berpengaruh terhadap desain teknologi pengolahan sampah
kota, misalnya insinerator. Karena komposisi sampah dan juga iklim tropis di
Indonesia, diperkirakan sebanyak 100-200 kg air lindi per ton sampah yang masuk
terbentuk pada bunker incinerator. Oleh karena itu, sarana pengolahan air lindi
pada fasilitas insinerator pun menjadi penting.
Karakteristik air lindi yang dihasilkan dari bunker insinerator memiliki konsentrasi
BOD dan COD yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pengolahan utama yang
dibutuhkan untuk pengolahan lindi adalah proses biologis. Namun seringkali air
lindi juga mengandung materi organik yang bersifat persistent dan tidak dapat
Pengolahan air lindi dengan sistem kolam dirasa cocok dengan kondisi alam di
Indonesia. Namun, dalam kondisi lahan yang tersedia tidak cukup besar, terdapat
alternatif pengolahan biologis lain seperti lumpur aktif, RBC, SBR, anaerobic fixed
bed, dan UASB. Sedangkan pengolahan kimia yang dapat diterapkan adalah
dengan koagulasi, oksidasi kimiawi, adsorpsi menggunakan karbon aktif dan lain-
lain.
47
48 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
BAB 4
RESIDU PADAT PIROLISIS
49
Residu Padat Proses Pirolisis
A Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu memahami dan
menjelaskan residu padat dari teknologi WtE yaitu Pirolisis.
B Tujuan
Mata pelatihan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai perkiraan
kuantitas residu padat dari proses pirolisis dan karakteristik yang menjadikan
residu ini memiliki peluang untuk dimanfaatkan dan karakteristik lain yang
menjadikan residu ini memiliki potensi untuk mencemari lingkungan jika tidak
dikelola dengan baik. Materi ajar ini bertujuan pula untuk memberikan
pemahaman mengenai prosedur pengelolaan residu padat yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
C Pendahuluan
Seperti telah dijelaskan pada mata pelatihan sebelumnya, bahwa proses pirolisis
menghasilkan 3 produk yang terdiri dari fasa gas, cair, dan padat. Produk gas
seringkali dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk operasional pirolisis itu
sendiri, namun pada beberapa kasus, gas buang dari proses pirolisis juga
memerlukan pengontrolan. Gas buang hasil pirolisis sampah kota yang banyak
didominasi sampah plastik PVC, misalnya, banyak mengandung HCl yang bersifat
korosif. Produk lainnya yaitu minyak juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bakar. Sedangkan produk terakhir yaitu residu padat, dikenal dengan sebutan
char, menjadi pokok bahasan dalam mata pelatihan ini karena merupakan residu
yang seringkali tidak dimanfaatkan. Char memiliki nilai kalor yang cukup tinggi,
sehingga sebenarnya mempunyai potensi pemanfaatan yang besar, namun,
bahan bakar berfase padat seringkali kurang menarik dibandingkan dengan
bahan bakar dengan fase cair dan gas (Chen, et al., 2015).
E Penanganan Residu
Seperti abu insinerator, char sebagai produk sampingan dari pirolisis belum
diatur secara khusus dalam PP No 101/2014. Maka, untuk menentukan jenis
pengelolaan yang tepat untuk char yang ditimbulkan dari kegiatan pirolisis
sampah perkotaan, harus dilakukan identifikasi awal untuk mengetahui apakah
char dikategorikan sebagai limbah B3 atau non B3. Jika termasuk ke dalam limbah
B3, maka pengelolaannya harus mengikuti tata cara pengelolaan limbah B3
seperti yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101
Tahun 2014, dimana pengelolaannya sama dengan pengelolaan residu
insinerator yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Prosedur pengujian untuk
penentuan limbah B3 yang diatur dalam PP No101/2014 disajikan pada Gambar
20.
51
Gambar 20. Prosedur penetapan limbah B3
Char atau residu padat dari pirolisis tidak termasuk dalam limbah B3 pada
Lampiran I PP 101/2014, maka perlu identifikasi terlebih dahulu melalui uji
laboratorium untuk menentukan jenis pengelolaan yang tepat
53
dengan injeksi nitrogen pada suhu tinggi yang ditujukan untuk memperluas area
permukaan, memperbanyak pori dan membuat porositas baru sehingga karbon
aktif yang dihasilkan mempunyai daya serap tinggi.
Selain itu char juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Beberapa
kelebihan dari char sebagai pupuk organik adalah char dapat meningkatkan daya
ikat nutrisi dan air di tanah yang memperbaiki tingkat produktivitas tanah
pertanian. Namun, aplikasi char sebagai pupuk organik memiliki kelemahan
terutama dari segi kandungan logam berat yang terdapat pada char. Sampah
perkotaan, terutama di negara berkembang, seringkali tidak terpisahkan dengan
sampah yang mengandung logam berat, sehingga residu dari proses
pengolahannya pun pada umumnya mengandung logam berat.
H Ringkasan
Proses pengolahan sampah tidak terlepas dari adanya residu atau produk
sampingan yang dihasilkan, selain tentunya produk akhir yang memiliki nilai
jual/kegunaan. Pada proses pirolisis sampah kota, terbentuklah pyrogas, bio oil,
dan char. Ketiga produk ini memiliki nilai kalor yang dapat disandingkan dengan
nilai kalor batubara, walaupun begitu, char seringkali lebih tidak menarik untuk
dijadikan bahan bakar dibandingkan dua produk lainnya.
Volume timbulan char dari proses pirolisis sampah kota berkisar antar 10-30%
dari sampah yang diolah. Char tidak masuk dalam daftar limbah B3 yang
tercantum pada Lampiran I PP N0 101 Tahun 2014, namun bukan berarti
pengelolaan char dapat langsung disamakan dengan pengelolaan limbah non B3.
Terdapat serangkaian prosedur yang harus dilalui untuk mengidentifikasi apakah
char masuk ke dalam kategori limbah B3 atau non B3. Jika char ditetapkan
sebagai limbah B3, maka tata cara pengelolaan char akan mengacu pada PP No
101 Tahun 2014.
Selain memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan bakar, kandungan karbon
char yang tinggi memungkinkan produk ini diaktivasi kembali untuk
menggantikan karbon aktif komersial dan char juga berpotensi digunakan sebagai
material yang dapat memperbaiki kondisi tanah. Namun, mempertimbangkan
pengelolaan sampah kota di Indonesia yang tidak terpilah dengan baik,
menjadikan char memiliki kandungan logam berat, dimana hal ini menjadi salah
satu kendala utama untuk aplikasi penggunaan char sebagai bahan untuk
memperbaiki produktivitas tanah.
55
56 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
DAFTAR PUSTAKA
Ariningsih, B., 2011. Solidifikasi limbah bottom ash hasil pembakaran unit
insinerator pusat pegolahan sampah ITB, Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Chen, D., Yin, L., Wang, H. & He, P., 2015. Reprint of: Pyrolysis technologies for
municipal solid waste: A review. Waste Management, Volym 37, pp. 116-
136.
He, P., Li, M., Xu, S. & Shao, L., 2009. Anaerobic treatment of fresh leachate
from a municipal solid waste incinerator by upflow blanket filter reactor.
Frontiers of Environmental Science & Engineering, 3(4), pp. 404-411.
Hoornweg, D. & Bhada-Tata, P., 2012. What a Waste: A Global Review of Solid
Waste Management, Washington: World Bank's Urban Development.
Lam, C. H., Ip, A. W., Barford, J. P. & McKay, G., 2010. Use of Incineration MSW
Ash: A Review. Sustainability, Volym 2, pp. 1943-1968.
Liu, S., 2013. landfill leachate treatment methods and evaluation of Hedeskoga
and Masalycke landfills, Swedia: Lund University.
Mojiri, A., Aziz, H. A., Zaman, N. Q. & Hamidi, A., 2012. A Review on Anaerobic
Digestion, Bio-reactor and Nitrogen Removal from Wastewater and Landfill
57
Leachate by Bio-reactor. Advances in Environmental Biology , 6(7), pp. 2143-
2150.
Pan, J. R., Huang, C., Kuo, J.-J. & Lin, S.-H., 2008. Recycling MSWI bottom and fly
ash as raw materials for Portland cement. Waste Management, 28(7), pp.
1113-1118.
Rangaraj, G., Rajagopal, R. & Thanikal, J., 2009. Anaerobic treatment of winery
wastewater in fixed bed reactors. Bioprocess and Biosystems Engineering,
33(5), pp. 619-628.
WRAP, 2011. Digestates: Realising the fertiliser benefits for crops and grassland,
u.o.: WRAP .
WRAP, 2016. Digestate and compost use in agriculture: Good practice guidance,
u.o.: WRAP.