INDOTECH
CONSULTANTS
TIM HREIS
Daftar Isi
Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
harus dipenuhi untuk dapat hidup secara layak. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN) 2020-2024 untuk perumahan dan permukiman menyatakan
bahwa perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau, air tanah dan air
baku aman berkelanjutan, air minum serta sanitasi sanitasi layak dan aman harus
dapat diakses oleh masyarakat.
Perumahan dan kawasan permukiman mempunyai peran penting dalam
pembangunan manusia Indonesia. Setiap orang berhak untuk meningkatkan mutu
kehidupan dan penghidupannya di dalam rumah. Hal ini merupakan amanat Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (1), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pasal 40 bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan
berkehidupan yang layak, serta amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 129 yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah
yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Upaya memenuhi target nasional maupun global sesuai amanat RPJMN dan SDGs
memerlukan dukungan data-data yang berkualitas agar dapat dihasilkan kebijakan
yang berbasis bukti. Data Profil perumahan ini mengulas beberapa data yang bersifat
makro dari beberapa sumber data. Sumber data pokok yang banyak digunakan dalam
perencanaan dan evaluasi pembangunan bidang perumahan adalah hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data-data pokok di bidang perumahan
dikumpulkan melalui instrument Susenas Kor yang dilakukan secara rutin setiap bulan
Maret. Untuk data-data perumahan yang lebih spesifik, Badan Pusat Statistik (BPS)
melaksanakan Susenas Modul Kesehatan dan Perumahan (MKP), yang dilaksanakan
setiap 3 tahun pada bulan September.
Sumber data lainnya dalam profil perumahan disini adalah data yang bersumber dari
Bank Indonesia, Mappi, PPDPP, PUPR.
Data dari Bank Indonesia antara lain yang berasal dari survey harga properti
residensial, berupa Indeks harga property, sedangkan data Mappi adalah data harga
penawaran rumah tapak dan apartemen. Data dari PPDPP/FLPP berupa data harga
transaksi rumah. Keseluruhan data tersebut terhimpun dalam data base HREIS.
Status tempat tinggal/hunian ini mengacu pada data Susenas Kor, yang menanyakan
status tempat tinggal pada saat pencacahan apakah dirumah milik sendiri, rumah
sewa, rumah Dinas atau rumah bebas sewa. Disini yang tinggal dirumah milik sendiri
tidak dipisahkan antara yang memiliki rumah maupun tidak memiliki rumah. Profil
rumah tangga pada tabel diatas untuk memotret daerah-daerah yang menjadi pusat
perkembangan ekonomi, seperti Jakarta, Bodetabek, Bandung dan sekitarnya,
Semarang, Yogyakarta serta Surabaya dan sekitarnya dan di wilayah lain seperti di
Sumatera. Potret daerah pusat aglomerasi ini dapat dilihat pada status rumah tangga
yang tinggal di rumah sewa/kontrak.
Gambaran rumah tangga menurut status tempat tinggal pada saat pencacahan dapat
dilihat pada tabel 2.1. Pada Tahun 2020 perkiraan jumlah rumah tangga adalah
sebesar 72.792.284, yang bertempat tinggal dirumah milik sendiri adalah sebesar
58.303.283 rumah tangga, sedangkan yang bertempat tinggal dirumah bukan milik
sendiri adalah sebesar 14.489.001 rumah tangga.
Jumlah rumah tangga yang bertempat tinggal dirumah bukan milik sendiri terdiri dari
yang tinggal di rumah dinas sebesar 743.592 rumah tangga, tinggal dirumah kontrak/
sewa sebesar 6.744.853 rumah tangga, kemudian yang tinggal di rumah bebas sewa
sebesar 7.000.556 rumah tangga.
Tercatat ada 5 Provinsi dengan jumlah status tempat tinggal di rumah bukan milik
sendiri yaitu Provinsi Sumatera Utara sebesar 1.118.506 rumah tangga, Provinsi DKI
Jakarta sebesar 1.686.988 rumah tangga, Provinsi Jawa Barat sebesar 3.133.461
rumah tangga, Provinsi Jawa tengah sebesar 1.044.668 rumah tangga dan Provinsi
Jawa timur sebesar 1.463.812. Untuk provinsi-provinsi lainnya dapat dilihat pada tabel
2.1 dibawah ini.
Berdasarkan tabel 2.1 diatas jumlah rumah tangga yang tinggal dirumah bukan milik
yang terbesar adalah tinggal dirumah bebas sewa dan di rumah dengan status
kontrak/sewa dan sebagian lagi tinggal di rumah dinas.
Jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah sewa/kontrak sebesar 6.744.853 dn yang
tinggal dirumah bebas sewa sebesar 7.000.556, dan yang tinggal di rumah dinas
sebesar 743.592 rumah tangga.
Bila di provinsi lainnya jumlah rumah tangga yang tinggal di rumah sewa/kontrak
seimbang besarnya dengan yang tinggal di rumah bebas sewa , akan tetapi di DKI
2019 2020
Provinsi Milik Milik
Kontrak/Sewa Kontrak/Sewa
Sendiri Sendiri
11-ACEH 6,66 80,33 6,98 80,96
12-SUMATERA UTARA 14,02 68,35 12,54 69,16
13-SUMATERA BARAT 11,93 70,75 11,44 71,24
14-RIAU 15,4 70,55 13,61 69,78
15-JAMBI 6,53 82,26 5,83 84,32
16-SUMATERA SELATAN 6,09 81,52 5,13 81,76
17-BENGKULU 7,74 82,72 7,49 83,56
18-LAMPUNG 4,2 88,6 4,16 88,39
19-KEP BANGKA BELITUNG 5,92 85,51 5,76 85,33
21-KEPULAUAN RIAU 24,03 66,62 26,29 66,37
31-DKI JAKARTA 36,36 47,12 37,71 45,04
32-JAWA BARAT 11,11 77,89 10,68 77,6
33-JAWA TENGAH 2,91 89,04 2,56 89,2
34-DI. YOGYAKARTA 17,53 73,29 15,01 74,55
35-JAWA TIMUR 6,02 87,58 5,65 87,12
36-BANTEN 12,35 80,36 11,62 82,26
51-BALI 21,03 72,88 22,03 71,17
52-NUSA TENGGARA BARAT 3,1 87,16 3,38 87,43
53-NUSA TENGGARA TIMUR 6 86,88 5,93 87,39
61-KALIMANTAN BARAT 3,19 88,52 2,86 88,83
62-KALIMANTAN TENGAH 8,47 75,58 7,57 78,35
63-KALIMANTAN SELATAN 10,98 76,33 9,91 77,58
64-KALIMANTAN TIMUR 16,97 69,13 17,44 68,83
65-KALIMANTAN UTARA 15,94 72,06 14,09 73,77
71-SULAWESI UTARA 6,43 77,27 5,64 78,67
72-SULAWESI TENGAH 6,25 84,31 5,61 84,32
73-SULAWESI SELATAN 5,2 83,69 5,31 83,4
74-SULAWESI TENGGARA 5,94 85,28 5,3 86,14
75-GORONTALO 4,65 80,64 2,46 80,18
76-SULAWESI BARAT 2,16 86,8 2,15 87,56
81-MALUKU 6,5 79,48 7,29 79
82-MALUKU UTARA 7,36 82,73 6,63 83,65
91-PAPUA 14,5 71,27 13,35 72,09
94-PAPUA BARAT 8,85 82,12 8,47 83,05
INDONESIA 9,64 80,07 9,27 80,1
Sumber: Susenas KOR (diolah)
Tabel 2.2 memperlihatkan perbandingan persentase rumah tangga yang tinggal di
rumah sewa kontrak dengan yang tinggal di rumah milik sendiri, gambaran persentase
rumah tangga yang tinggal di rumah sewa kontrak ini menarik untuk analisa ekonomi
rumah tangga dari bisnis sewa dan kontrak rumah. Rumah tangga yang sewa kontrak
ini tidak berarti rumah tangga tersebut tidak memiliki rumah, namun mereka sewa dan
kontrak rumah mungkin untuk mendekatkan pada pekerjaan mereka dikota lainnya
JAKARTA SELATAN
KOTA BANDUNG
BUKITTINGGI
KOTA BEKASI
KAB SLEMAN
KOTA TANGERANG
JAYAPURA
SURABAYA
BALIKPAPAN
BANDA ACEH
PADANG
JAKARTA PUSAT
TANGERANG SELATAN
PONTIANAK
SIBOLGA
PADANG PANJANG
PEKANBARU
BATAM
JAKARTA TIMUR
JAKARTA BARAT
JAKARTA UTARA
DEPOK
YOGYAKARTA
DENPASAR
MATARAM
BANJARMASIN
Jumlah
Provinsi 6-8
a < 2 Juta 2 - 4 Juta 4 - 6 Juta > 8 Juta SewaKontrak
Juta
Jumlah Backlog dalam perspektif memiliki selama periode 2018 sd 2020, tercatat
sebesar 12.170.031 pada tahun 2018, kemudian menurun sedikit menjadi 12.148.099
dan pada tahun 2020 naik menjadi 12.750.172.
Gambaran sebaran rumah tangga menurut status kepemilikan dapat dilihat pada tabel
2.6 dibawah ini.
Tabel 2.6 Jumlah Rumah Tangga menurut Status Kepemilikan Rumah 2018-2020
2018 2019 2020
Belum Belum Belum
Provinsi
Memiliki Memiliki Memiliki Memiliki Memiliki Memiliki
Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah
11-ACEH 210.572 1.056.075 228.647 1.068.656 228.836 1.102.908
12-SUMATERA UTARA 1.034.428 2.444.902 1.047.184 2.512.588 1.025.084 2.602.183
13-SUMATERA BARAT 338.440 964.805 338.451 993.272 349.765 1.000.423
14-RIAU 453.120 1.232.838 452.009 1.275.519 482.838 1.317.903
15-JAMBI 132.346 799.928 149.207 810.456 129.240 840.150
16-SUMATERA SELATAN 373.530 1.738.037 355.022 1.786.805 358.264 1.819.409
17-BENGKULU 77.190 445.254 80.117 449.728 81.273 468.147
18-LAMPUNG 237.620 1.982.237 233.013 2.017.156 240.419 2.031.071
19-KEP BANGKA BELITUNG 47.120 340.248 47.829 356.794 50.877 361.906
21-KEPULAUAN RIAU 157.232 425.337 174.125 425.852 188.485 438.976
31-DKI JAKARTA 1.270.456 1.605.513 1.327.574 1.669.231 1.498.954 1.570.540
32-JAWA BARAT 2.674.921 10.780.908 2.648.019 11.130.248 2.816.412 11.170.854
33-JAWA TENGAH 997.166 8.458.175 913.676 8.631.399 937.892 8.733.944
34-DI. YOGYAKARTA 221.618 923.549 250.575 928.687 265.482 927.021
35-JAWA TIMUR 1.189.322 9.964.612 1.155.172 10.069.750 1.267.187 10.096.425
36-BANTEN 523.181 2.624.369 533.602 2.711.433 524.557 2.778.743
51-BALI 227.650 927.736 224.297 940.096 267.532 912.531
52-NTB 182.180 1.240.137 151.758 1.283.886 161.100 1.325.667
53-NTT 140.941 1.033.854 131.729 1.070.018 135.221 1.102.377
61-KALIMANTAN BARAT 111.394 1.095.140 116.332 1.114.075 118.752 1.154.872
62-KALIMANTAN TENGAH 138.685 569.651 134.973 586.783 125.898 625.751
63-KALIMANTAN SELATAN 223.830 938.974 235.071 955.985 227.418 972.641
64-KALIMANTAN TIMUR 221.218 706.020 237.348 725.168 265.905 742.464
65-KALIMANTAN UTARA 43.605 126.858 39.077 138.831 38.235 145.658
71-SULAWESI UTARA 115.862 532.576 123.710 532.104 115.875 558.448
72-SULAWESI TENGAH 99.880 660.908 86.495 669.642 100.637 678.867
73-SULAWESI SELATAN 282.304 1.810.415 288.420 1.832.806 304.268 1.858.085
74-SULAWESI TENGGARA 85.963 537.998 78.877 556.601 74.621 580.983
75-GORONTALO 53.361 240.069 51.968 251.517 52.019 258.390
76-SULAWESI BARAT 34.450 285.672 34.817 298.054 34.196 302.521
81-MALUKU 59.363 314.345 59.835 324.621 68.103 329.920
82-MALUKU UTARA 32.337 233.639 37.826 237.597 39.425 249.469
91-PAPUA 50.716 167.684 47.487 175.123 50.313 181.203
94-PAPUA BARAT 128.012 723.681 133.841 759.689 125.073 801.649
INDONESIA 12.170.031 57.932.163 12.148.099 59.290.189 12.750.172 60.042.113
Sumber: Susenas KOR diolah
Berdasarkan tabel 2.6 di Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,
Jawa tengah, Banten tercatat jumlah Backlog yang terbesar, sedangkan provinsi pada
level berikutnya adalah Provinsi Sumatera selatan, Lampung, Yogyakarta, Sulawesi
Selatan dan Kalimantan Timur.
Bebas Jumlah
PROVINSI Dinas Kontrak/Sewa
Sewa Ruta
Berdasarkan tabel 2.7 Jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah dan berstatus
tempat tinggal yang terbesar adalah di Jawa Barat sebesar 1.317.720, kemudian Provinsi
DKI Jakarta sebesar 1.013.720 dan selanjutnya Jawa Timur, Sumatera Utara, Banten, Riau,
Jawa tengah dan Denpasar.
Hal yang menarik ternyata di Provinsi Riau status penghunian di rumah dinas adalah yang
terbesar yaitu sebesar 112.806 rumah tanggga dan provinsi yang terbesar menempati
rumah dinas berikutnya adalah Provinsi Sumatera Utara sebesar 93.171 rumah tangga
Backlog
Kabupaten/Kota
2018 2019 2019
. JAKARTA SELATAN 273.263 280.223 333.145
JAKARTA TIMUR 322.782 363.962 367.544
JAKARTA PUSAT 128.502 139.508 161.801
JAKARTA BARAT 326.304 311.983 374.970
JAKARTA UTARA 218.774 231.242 260.745
Total 1.269.625 1.326.918 1.498.205
KAB BOGOR 291.483 252.795 278.077
KAB BEKASI 205.088 184.514 261.126
KOTA BOGOR 73.319 89.357 93.885
KOTA BEKASI 216.873 259.125 252.336
KOTA DEPOK 166.614 204.962 204.709
Total 953.377 990.753 1.090.133
% Backlog terhadap Provinsi 35,64 37,41 38,71
KAB TANGERANG 151.453 124.571 130.331
KOTA TANGERANG 201.342 211.620 195.994
KOTA TANGERANG SELATAN 78.949 85.521 96.394
Total 431.744 421.712 422.719
% Backlog terhadap Provinsi 82,52 79,03 80,59
Sumber: Susenas (diolah)
Apabila diperhatikan pada Tabel 2.8 untuk kawasan Bodetabek, Persentase Backlog di
Kawasan Kab Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangsel mencapai 80an persen
terhadap backlog provinsi Banten. Sedangkan kawasan Bodebek persentase terhadap
total backlog Provinsi jawa Barat sebesar 35,64% pada tahun 2018 dan di Tahun 2020
sebesar 38,71%. Angka Backlog absolut untuk kawasan Bodebek mencapai 1.090.133
pada tahun 2020 ini dan kawasan Tangerang dan sekitarnya sebesar 422.719 pada tahun
2020.
Backlog di Provinsi DKI, hampir secara merata tersebar di Seluruh Kotamadya di Jakarta
kecuali Kabupaten P. Seribu, dan Backlog total di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2020
Backlog
Kabupaten/Kota
2018 2019 2020
3204-KABUPATEN BANDUNG 236.630 199.527 230.079
3217-KABUPATEN BANDUNG BARAT 64.901 70.723 65.614
3273-KOTA BANDUNG 258.661 291.077 320.785
3277-KOTA CIMAHI 69.563 62.906 76.033
Total 631.773 626.252 694.531
% Backlog terhadap Provinsi 23,62 23,65 24,66
Sumber: Susenas diolah
Backlog untuk kawasan Bandung dan sekitarnya disajikan pada tabel 2.9, backlog
terbesar tercatat di Kota Bandung dan diikuti dengan Kab.Bandung keduanya masuk zona
merah. Sedangkan untuk Kabupaten Bandung Barat tahun 2018 dan 2020 ada di zona
kuning, hal sebaliknya untuk Kota Cimahi pada 2 tahun 2018 dan 2020 masuk zona
merah. Persentase total terhadap backlog Provinsi Jawa Barat mencapai 23,62 % tahun
2018, 23,65 % tahun 2019 dan 24,66 % tahun 2020. Dengan demikian total backlog
kawasan Bodebek dan kawasan Bandung Raya mencapai 63,73 % terhadap backlog
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2020.
Gambaran sebaran backlog untuk kawasan Semarang dan sekitarnya disajikan pada
tabel 2.10 dibawah ini.
Backlog
Kabupaten/Kota
2018 2019 2020
3321-KABUPATEN DEMAK 12.992 15.572 14.112
3322-KABUPATEN SEMARANG 19.250 21.236 25.097
3324-KABUPATEN KENDAL 23.604 18.914 26.471
3373-KOTA SALATIGA 17.001 14.792 15.314
3374-KOTA SEMARANG 145.815 137.879 112.191
Total 218.662 208.393 193.185
Kawasan Semarang dan sekitarnya ini mencakup Kab Demak, Kab Semarang, Kab
Kendal, Kota Salatiga dan Kota Semarang. Backlog terbesar di kawasan Semarang Raya
ini ada di Kota Semarang. Total persentase backlog kawasan Semarang dan sekitarnya
terhadap Backlog Provinsi Jateng adalah sebesar 21,93% tahun 2018, 22,81% tahun
2019 dan 20,60 % di tahun 2020.
Baclog
Kabupaten/Kota
2018 2019 2020
KAB SIDOARJO 84.908 86.691 97.971
KAB MOJOKERTO 13.163 22.644 23.036
KAB GRESIK 48.870 32.951 42.048
KAB LAMONGAN 19.140 14.782 17.044
KAB BANGKALAN 6.900 4.206 11.386
KOTA SURABAYA 266.826 304.544 312.444
Total 439.807 465.818 503.929
% Backlog terhadap Provinsi 36,98 40,32 39,77
Sumber: Susenas diolah
Untuk Kawasan Surabaya dan sekitarnya yang meliputi Kab Sidoarjo, Kab Mojokerto, Kab
Gresik, Kab bangkalan, Kota Mojokerto dan Kota Surabaya (Tabel 2.11) tercatat backlog
terbesar ada di Kota Surabaya pada tahun 2020 mencapai 312.444 dan pada posisi
berikutnya ada di Kab Sidoarjo dengan backlog sebesar 97.971. Secara total persentase
backlog di kawasan Surabaya dan sekitarnya terhadap backlog Provinsi Jawa Timur
adalah sebesar 36,98 % tahun 2018, kemudian 40,32 % di tahun 2019 dan sebesar 39,77
% tahun 2020.
Backlog
Kabupaten/Kota
2018 2019 2020
KABUPATEN SLEMAN 76.737 115.562 114.708
KOTA YOGYAKARTA 75.680 79.177 77.306
Total 152.417 194.739 192.014
% Backlog terhadap Provinsi 68,77 77,72 72,33
Sumber: Susenas Diolah
Backlog untuk D.I. Yogyakarta (lihat Tabel 2.12) menarik dibahas disini dikarenakan
berdasarkan zona wilayah backlog Provinsi Yogyakarta masih zona putih yang berarti
jumlah backlognya masih dibawah rata-rata Provinsi, Total backlog Provinsi D.I
Yogyakarta pada tahun 2020 sebesar 265.482, sebelumnya tahun 2019 sebesar 250.575.
Di Prov D.I Yogyakarta, backlog tertinggi pada tahun 2020 tercatat di Kab Sleman sebesar
114.708 dan berikutnya tercatat di Kota Yogyakarta sebesar 77.306.Bila dibandingkan
dengan rata-rata Kabupaten/Kota Backlog Kabupaten Sleman dan Kota Yogya masuk
pada zona merah.
Persentase Backlog Kota Yogya dan Kabupaten Sleman terhadap Backlog Provinsi DI
Yogyakarta mencapai 68,77 % pada tahun 2018, 77,72% tahun 2019 dan pada tahun
2020 persentasenya mencapai 72,33 %.
Backlog
Kabupaten/Kota
2018 2019 2020
1. KABUPATEN DELI SERDANG 155.195 143.984 153.486
2-KABUPATEN LANGKAT 62.005 63.425 49.478
3-KABUPATEN SERDANG BEDAGAI 39.955 36.206 33.947
4-KOTA MEDAN 227.761 262.307 206.171
5-KOTA BINJAI 18.049 18.651 20.488
Total 502.965 524.573 463.570
% Backlog terhadap Provinsi 48,62 50,09 45,22
Sumber: Susenas (diolah)
Untuk kawasan Medan dan sekitarnya, tercatat Kabupaten Deli serdang dan Kota Medan
yang Backlognya masuk kategori ews, sedangkan Kabupaten Langkat dan Kabupaten
Serdang Bedagai masuk zona Kuning dan Kota Binjai masuk zona putih. Adapun
persentase backlog kawasan Medan dan sekitarnya terhadap Backlog Provinsi Sumatera
Utara tahun 2018 sebesar 48,62 %, Tahun 2019 sebesar 50,09 % dan tahun 2020 sebesar
Rumah tangga yang belum memiliki rumah dengan kepala rumah tangga generasi
Milenial atau gen Y dan rumahtangga dengan KRT gen x merupakan kelompok rumah
Tabel 2.15 memperlihatkan sebaran backlog menurut jenis kelamin KRT, dimana KRT
laki-laki lebih dominan sebesar 10.891.337 rumah tangga dan KRT perempuan berjumlah
1.858.835 rumah tangga.
Non-
PROVINSI Formal Jumlah Ruta
Formal
Namun demikian saat ini juga telah diinisiasi agar program pembiayaan perumhan juga
menjangkau rumah tangga yang bekerja di sector non formal.
36-BANTEN
16-SUMATERA SELATAN
17-BENGKULU
75-GORONTALO
18-LAMPUNG
21-KEPULAUAN RIAU
64-KALIMANTAN TIMUR
11-ACEH
61-KALIMANTAN BARAT
62-KALIMANTAN TENGAH
65-KALIMANTAN UTARA
14-RIAU
31-DKI JAKARTA
71-SULAWESI UTARA
74-SULAWESI TENGGARA
76-SULAWESI BARAT
12-SUMATERA UTARA
34-DI. YOGYAKARTA
81-MALUKU
82-MALUKU UTARA
91-PAPUA
INDONESIA
13-SUMATERA BARAT
35-JAWA TIMUR
63-KALIMANTAN SELATAN
72-SULAWESI TENGAH
15-JAMBI
32-JAWA BARAT
33-JAWA TENGAH
51-BALI
73-SULAWESI SELATAN
94-PAPUA BARAT
Formal Non Formal
Perbandingan persentase rumah tangga backlog menurut status pekerjaan KRT secara
lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.3 diatas. Provinsi-provinsi dengan persentase
rumah tangga backlog yang bekerja di sektor formal jauh lebih besar persentasenya
adalah Povinsi Riau, Kep Bangka Belitung, Kep Riau, DKI Jakarta, Banten, baliKalteng
dan Kaltim. Sedangkan provinsi dengan persentase KRT yang bekerja di sector non
formal jauh lebih besar adalah Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, LampungD.I
Yogyakarta, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Maluku Utara. Sedangkan
provinsi lainnya berimbang antara yang bekerja di sector formal dan non formal.
Untuk KRT yang bekerja di lapangan usaha Industri dan Pertambangan serta
Perdagangan& jasa merupakan Lapangan pekerjaan yang dominan (Tabel 2.17).
Jumlah rumah tangga backlog yang bekerja dilapangan usaha perdagangan & jasa
sebesar 6.691.087 rumah tangga, sedangkan jumlh rumah tangga backlog yang bekerja
di lapangan usaha industry & pertambangan berjumlh 3.006.771 rumah tangga.
Profil pekerjaan rumah tangga backlog ini yang sebagian terbesar bekerja di lapangan
usaha bukan di sector pertanian ini menunjukkan bahwasanya rumah tangga backlog ini
sebagian besar ada di daerah perkotaan atau wilayah aglomerasi kota. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.17 diatas.
Jumlah rumah tangga backlog dengan KRT laki-laki yang bekerja di sector formal sebesar
6.006.496 rumah tangga dan yang bekerja di sector non formal sebesar 4.884.842 rumah
tangga. Hal sebaliknya untuk KRT perempuan yang terbanyak bekerja di sector non
formal yaitu sebesar 1.203.581 rumah tangga dan yang bekerja di sector formal hanya
separuhnya yaitu sebesar 655.254 rumh tangga. Untuk lebi jelasnya dapat dilihat pada
tabel 2.18 diatas.
Tabel 2.19 dan Tabel 2.20 menggambarkan jumlah rumah tangga backlog yang bekerja
di sector Formal dan non formal menurut kelompok umur. Profil rumah tangga menurut
kelompok umur ini dan status pekerjaan ini dapat menggambarkan status pekerjaan bagi
usia produktif dan non produktif ini umumnya bekerja.
Pada status pekerjaan rumah tangga backlog ini, KRT pada kelompok umur produktif yaitu
kelompok Gen milenial dan Gen X, jumlah yang bekerja di sector formal lebih banyak dari
pada yang bekerja di sector non formal. Pada Tabel 2.19 kelompok usia milenial yang
bekerja di sector formal adalah sebesar 3.531.566 rumah tangga dan pada gen X yang
bekerja di sector formal adalah sebesar 2.265.790. Sedangkan yang bekerja di sector non
formal (tabel 2.20) untuk kelompok umur gen milenial adalah sebesar 2.031.144 rumah
tangga dan pada kelompok umur gen X yang bekerja di sector non formal adalah sebesar
2.079.019 rumah tangga.
Hal sebaliknya diperlihatkan pada usia non produktip yaitu kelompok usia KRT <= 25
7ahun, 55< usia<= 65 tahun dan kelompok umur > 65 tahun, mereka lebih banyak yang
bekerja di sector non-Formal dari pada yang bekerja di sector Formal.
Jumlah rumah tangga backlog yang bekerja di sector formal pada kelompok umur <= 25
tahun sebesar 373.258, pada kelompok umur 55 sd 65 tahun sebesar 392.238 dan pada
kelompok umur > 65 tahun sebesar 98.895 rumah tangga (tabel 2.19).
Jumlah rumah tangga backlog yang bekerja di sector Non formal adalah pada kelompok
umur <=25 tahun sebesar 551.291, lalu pada kelompok umur 55 sd 65 tahun sebesar
785.262 dan pada kelompok umur > 65 tahun adalah sebesar 641.701 (lihat tabel 2.20 ).
Dalam sudut pandang pengembang, kategori ini merupakan pangsa pasar yang harus
ditangkap dan diatur kebijakannya oleh pemerintah dalam bentuk pengadaan perumahan
(housing supply). Secara skematis, hubungan housing demand dan housing supply
digambarkan oleh Tranghanda (2015) pada Gambar 3.1. dibawah ini.
Secara rinci dapat dijelaskan bahwa populasi (rumah tangga) seringkali diwakili dengan
kepala keluarga dalam kaitannya dengan statusnya menempati perumahan dikategorikan
menjadi dua kelompok besar, yaitu owner (pemilik) dan renter (penyewa). Owner (pemilik)
adalah bagian dari populasi (rumah tangga) atau kepala keluarga yang sudah memiliki
hunia/tempat tinggal. Renter (penyewa) adalah bagian dari populasi (rumah tangga) atau
kepala keluarga yang belum mempunyai hunian/ tempat tinggal, dalam menghuni
perumahan tersebut dapat bersifat menyewa/mengontrak, tinggal di rumah dinas,
menumpang, atau overcrowded.
Renter (penyewa) yang berkemampuan atau memiliki daya beli, daya cicil, atau tingkat
pengeluaran merupakan rumah tangga yang dapat dikatagorikan sebagai housing
demand.Oleh sebab itu, jika rumah tangga berkemampuan secara swadaya, bersama
pemerintah, atau swasta mampu memperoleh perumahan yang ditawarkan (housing
supply) maka dikategorikan sebagai rumah tangga dengan target perolehan perumahan
non public housing (rumah tangga dengan tingkat kemampuan/daya beli sesuai dengan
harga rumah yang ditawarkan). Di sisi lain, renter yang tidak berkemampuan (tidak
berdaya beli), maka perolehan perumahannya dimungkinkan menggunakan skema
public housing yaitu perumahan yang diadakan oleh pemerintah (wujud dari subsidi
kesejahteraan).
Gambar 3.2 Bagan Housing Need menurut Kelompok Pendapatan
Gambaran rumah tangga yang belum memiliki rumah tahun 2020, yang dirinci menurut
provinsi dan kelompok pengeluaran ruta/penghasilan ruta dapat dlihat pada tabel 3.1
dibawah ini. Kelompok rumah tangga dengan pengeluaran ruta > 2 juta rupiah masuk
pada rumah tangga yang ber daya beli. Jumlah rumah tangga backlog yang tidak berdaya
beli adalah sebesar 1.973.311 rumah tangga, sedangkan yang berdaya beli terbagi atas
3 kelompok yaitu kelompok pra MBR dengan pengeluaran rumah tangga > 2 juta sd <= 4
juta, kelompok MBR dengan pengeluaran rumah tangga > 4 juta sd <= 8 juta dan
kelompok diatas MBR (menengah dan atas) dengan pengeluaran rumah tangga > 8 juta.
Jumlah rumah tangga tidak memiliki rumah dan berdaya beli adalah sebesar 10.776.862
rumah tangga, yang meliputi kelompok pra MBR sebesar 5.596.351 rumah tangga,
kelompok MBR sebesar 4.210.068 rumah tangga dan kelompok > MBR berjumlah
970.440 rumah tangga.
Pada kelompok pengeluaran rumah tangga <=2 juta, 2 sd 4 juta dan 4 sd 6 juta rupiah
jumlah rumah tangga backlog terbanyak adalah di Provinsi Jawa Barat, sedangkan pada
kelompok pengeluaran rumah tangga >= 6 juta rupiah jumlah terbesar ada di Provinsi DKI
Jakarta.
Untuk jelasnya gambaran rumah tangga backlog menurut kelompok pengeluaran rumah
tangga dapat dilihat pada tabel 3.1 dibawah ini.
Gambaran potensi demand menurut provinsi dan kelompok umur kepala rumh tangganya
disajikan pada tabel 3.2 berikut ini.
Sebagian besar jumlah potensi demand tercatat pada kelompok umur milenial dan
kelompok umur gen X. Jumlah rumah tangga kelompok umur milenial sebesar 4.866.236
rumah tangga dan pada kelompok umur gen X sebesar 3.838.891.
Jumlah rumah tangga potensi demand pada kelompok umur < 25 tahun sebesar 768.966
rumah tangga, kemudian kelompok usia 56 sd 65 tahun sebesar 922.246 rumah tangga
dan kelompok usia > 65 tahun ebesar 380.513 rumah tangga.
Rincian rumah tangga potensi demand menurut provinsi dan kelompok pengeluaran
rumah tangga dapat dilihat pada tabel 3.2 diatas.
Pada tabel 3.3 rumah tangga yang belum memiliki rumah dikelompokkan pada dua
kelompok pengeluaran rumah tangga yaitu kelompok tidak berdaya beli dan kelompok
yang berdaya beli masing-masing dirinci menurut KRT laki-laki dan KRT provinsi.
Kelompok rumah tangga backlog yang tidak berdaya beli (Social Housing) terdiri dari
rumah tangga dengan KRT laki-laki sebesar 1.396.808 rumahtangga dan KRT perempuan
sebesar 576.502 rumah tangga. Sedangkan pada rumah tangga backlog yang berdaya
beli terdiri dari rumah tangga dengan KRT laki-laki sebesar 9.494.526 rumah tangga dan
untuk rumah tangga dengan KRT perempuan sebanyak 1.282.331 rumah tangga.
Untuk sebaran per provinsi lebih jelas dapat dilihat pada tabel 3.3 diatas.
Tabel 3.4 Rumah Tangga Menurut Umur dan Status Pekerjaan KRT, Tahun 2020
Jumlah Ruta Backlog 2.913.013 2.683.320 2.451.604 1.758.426 601.181 369.238 5.965.798 4.810.984 12.750.072
Sumber: Susenas KOR (diolah)
Untuk kelompok pengeluaran kategori MBR yang bekerja di sector formal sebanyak
2.451.604 rumah tangga yang terdiri dari rumah tangga dengan KRT laki-laki sebanyak
2.275.614 rumah tangga, dan rumah tangga dengan KRT perempuan sebanyak 175.990
rumah tangga. Sedangkan pada rumah tangga yang bekerja dengan status non formal
jumlahnya 1.758.426 rumah tangga, yang terdiri dari KRT laki-laki sebesar 1.517.763
rumah tangga dan KRT perempuan sebesar 240.663 rumah tangga.
Jumlah rumah tangga menurut kelompok umur baik KRT laki-laki maupun perempuan
yang terbanyak pada kelompok umur produktif yaitu kelompok umur milenial dan gen X.
Untuk melihat secara rinci rumah tangga menurut status pekerjaan, kelompok umur, KRT
laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel 3.4
Tabel 3.5 Rumah Tangga Belum Memiliki Rumah Menurut Kelompok Pengeluaran,
Status, dan Sex KRT, 2020
Rincian rumah tangga backlog menurut kelompok pengeluaran rumah tangga, status
pekerjaan dan Sex KRT selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3.5 diatas.
Pada tabel 3.6 disajikan data rumah tangga backlog menurut kelompok pengekuaran
rumah tangga dan lapangan pekerjaan KRT. Jumlah rumah tangga backlog yang bekerja
di sector Perdagangan dan Jasa sebesar 6.691.086, kemudian yang bekerja di sector
Pertambangan dan industry sebesar 3.006.771, di sector Pertanian sebesar 1.710.111
dan lainnya sebesar 1.342.198 rumah tangga.
Jumlah rumah tangga backlog yang bekerja di sector Pertanian yang terbanyak jumlahnya
adalah yang masuk kelompok pengeluaran rt > 2 juta sd 4 juta yaitu sebesar 851.466
rumah tangga dan yang paling sedikit jumlahnya yang pengeluaran rumahtangganya > 8
juta yaitu sebesar 33.376 rumahtangga.
Jumlah rumah tangga dengan pengeluaran rumah tangga > 2 juta sd <= 4 juta merupakan
jumlah yang terbesar baik di sector Pertambangan & industry, sector perdagangan & jasa
dan sector lainnya. Untuk rincian kelompok pengeluaran rumah tangga lainnya dapat
dilihat pada tabel 3.6 diatas.
Tabel 3.7 menyajikan data sebaran per provinsi rumah tangga potensi demand dan social
housing yang bekerja di sector formal dan informal. Pada kelompok rumah tangga social
housing terbanyak bekerja di sector non formal, sedangkan untuk yang berdaya beli atau
potensi demand terbanyak bekerja di sector formal.
Rumah tangga potensi demand terbesar ada di Provinsi Jawa Barat sebesar 1.320.060
rumah tangga yang bekerja di sector formal dan sebesar 990.494 rumah tangga.
Selanjutnya pada urutan kedua terbesar ada di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar
908.547 rumah tangga yang bekerja di sector formal dan sebesar 537.593 rumah tangga
yang bekerja di sector non formal. Di urutan ke tiga jumlah potensi demand terbesar
adalah Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 489.041 bekerja di sektor formal dan sebesar
442.973 bekerja di sektor non formal.
Provinsi Sumatera Utara ternyata melebihi Jawa Tengah dalam jumlah backlog, sehingga
jumlah potensi demand pun lebih besar Provinsi Sumatera Utara dari pada Provinsi Jawa
Tengah. Jumlah potensi demand di Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 486.027
bekerja di sector formal dan sebesar 436.898 bekerja di sektor non formal.
Beberapa prrovinsi tercatat dengan jumlah potensi demand yang bekerja di sektor non
formal melebihi yang bekerja di sektor formal yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jambi,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, D.I Yogyakarta, Nusa Tenggara barat, Nusa
tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara
dan Gorontalo, serta propinsi-provinsi di Maluku dan Papua.
Untuk selanjutnya rincian yang lebih detil dapat dilihat pada Tabel 3.7 diatas.
Rumah tangga potensi demand menurut kelompok strata potensi demand yaitu pra MBR,
MBR dan > MBR dan status pekerjaan KRT per provinsi disajikan pada tabel 3.8 berikut
ini. Secara umum di setiap strata pengeluaran rumah tangga, KRT yang bekerja di sector
formal lebih besar dari pada KRT yang bekerja di sektor non formal.
Jumlah rumah tangga potensi demand menurut lapangan pekerjaan per provinsi disajikan
pada tabel 3.9 dibawah ini.
Provinsi-provinsi dengan jumlah potensi demand yang besar seperti Provinsi Sumatera
Utara, DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa tengah, Banten dan Riau lapangan pekerjaan
terbesar adalah pada sector perdagangan & Jasa, kemudian pada sector Industri &
pertambangan, kecuali di Provinsi Sumatera Utara dan Riau lapangan pekerjaan
berikutnya setelah sector perdagangan & jasa, adalah pada sector pertanian.
Secara lebih jelas untuk provinsi-provinsi lainnya dapat dilihat pada tabel 3.9 dibawah ini.
Gambar 3.3 diatas merupakan bagan alur dari mulai rumah tangga yang berkebutuhan
rumah (Need), yang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang berdaya beli dan yang
tidak berdaya beli. Yang selanjutnya rumah tangga yang belum memiliki rumah namun
berdaya beli (pendapatannya > Garis miskin ) kemudian disebut sebagai Demand
Potensi. Kelompok Demand potensi inipun dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu yang
berniat membeli rumah dalam waktu dekat dan kelompok yang belum berniat untuk
membeli rumah. Kelompok yang berniat akan membeli rumah/memiliki rumah dalam
waktu dekat disebut sebagai kelompok Demand efektif.
a. Demand Effektif
Penelusuran sampai dengan konsep demand efektif ini, kebutuhan datanya diperoleh dari
Susenas KOR, Susenas KP yang setiap tahun dilakukan survey oleh BPS pada setiap
bulan Maret, khususnya data untuk melihat Potensi Demand. Kemudian dari survey
Susenas MKP, yang dilakukan pencacahannya pada bulan September setiap tiga tahun
Jumlah rumah tangga demand efektif, atau yang berniat membeli rumah menurut wilayah
dan kelompok umur KRT disajikan pada tabel 3.12 dibawah ini.
Dari total demand effektif sebesar 2.086.703 rumah tangga, yang tinggal di wilayah
perkotaan berjumlah 1.985.049 dan yang tinggal di wilayah perdesaan berjumlah 101.654.
Tabel 3.12 Jumlah rumah Tangga Backlog yang berniat membeli rumah menurut
Wilayah dan Kelompok Umur Tahun 2019
KRT atau pasangan berencana untuk membeli atau membangun rumah sendiri
membangun Rumah
Daerah/Kelompok Umur
membeli angsuran angsuran Demand rumah Tidak ada tangga
tunai KPR non KPR effektif sendiri rencana Baclog
Perkotaan
Generation Z (<=23 th) 62.952 46.768 5.531 115.251 115.363 800.752 1.031.366
Milenial (24 - 39 th) 470.795 579.285 43.592 1.093.672 1.387.585 2.222.739 4.703.996
Generation X (40 - 55 th) 349.515 261.755 35.140 646.410 794.050 1.725.984 3.166.444
Babby Boomer (56 - 74 th) 71.892 43.457 9.008 124.357 158.683 610.230 893.270
Pada Tabel 3.13 dibawah ini disajikan data rumah tangga demand efektif menurut Sex
dan kelompok umur kepala rumah tangga.
Tabel 3.13 Jumlah rumah Tangga Backlog yang berniat membeli rumah menurut
Sex dan Kelompok Umur Tahun 2019
KRT atau pasangan berencana untuk membeli atau membangun rumah
Rumah
Kelompok Umur /Jenis
membeli angsuran Demand membangun Tidak ada tangga
Kelamin KRT angsuran
tunai non KPR effective rumah rencana Baclog
KPR
Laki-laki
Secara konsepsi sebagaimana yang digambarkan pada gambar 3.3, maka rumah tangga
yang masuk kategori antre rumah/housing queue adalah pada kelompok demand efektif,
Selain itu kelompok demand efektif ada juga berniat untuk membeli tunai, atau
membangun sendiri. Tentunya alasan utama bila belum merealisasikan membeli tunai
atau membangun sendiri, lebih banyak pada factor ekonomi, ataupun selera dalam
Selama ini data yang terkait dengan realisasi demand/ Housing Queue adalah data yang
ada pada aplikasi Sikasep, yaitu data yang mendaftar sebagai pemohon rumah subsidi,
dan pemohon perbaikan rumah dalam aplikasi eRTLH. Data lain untuk yang mendaftar
rumah komersil, maupun mendaftar pada developer belum tersedia datanya. Data
tentang realisasi program sejuta rumah tersaji pada Tabel 3.14 diatas
Pelaku pembangunan perumahan ini meliputi Pemerintah Pusat yaitu PUPR dan
Kementrian lainnya, serta Pemda, Pengembang, masyarakat dan CSR. Adapun dari sisi
peruntukannya sebagian besar untuk MBR sebanyak 69,36% pada tahun 2018 dan pada
tahun 2019 sebanyak 75,14%.
Dari sisi pelaku pembangunan persentase terbesar dilaksanakan oleh pengembang yaitu
untuk MBR sebanyak 447.364 unit pada tahun 2018 dan 514.864 unit pada tahun 2019.
Untuk non MBR Pengembang membangun 290.656 unit pada tahun 2018 dan 309.082
unit pada tahun 2019. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.15. diatas.
Pada tabel 3.16 dibawah ini disajikan data – data potensi demand, demand efektif dan
real demand dari program sejuta rumah per provinsi. Dengan demikian terdapat benang
merah hubungan antara data hasil survey Susenas MKP 2019 dengan real demand
program sejuta rumah. Data Susenas MKP dapat dijadikan landasan makro untuk data
awal rancangan pembiayaan dari program sejuta rumah.
Perumahan dan permukiman yang layak merupakan salah satu kebutuhan dasar seperti halnya
pendidikan dan kesehatan yang pemenuhannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal
28(h). Komitmen terhadap pemenuhan kebutuhan dasar tersebut juga sejalan dengan Agenda
Global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (Sustainable Development Goals) atau yang
dikenal dengan SDGs, terutama Goals 6.1.1 (akses air minum); Goals 6.2.1 (akses sanitasi); dan Goals
11.1.1 (akses rumah layak huni). Wujud komitmen Pemerintah Indonesia kemudian ditetapkan dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang mengamanatkan perlunya sinergi SDGs dengan rencana
pembangunan jangka menengah nasional dan daerah.Dengan mengacu pada SDGs diatas ,
maka perlu dilakukan pergeseran sasaran dan indicator pembangunan perumahan dan
pemukiman dari berbasis output seperti produksi rumah menjadi sasaran berbasis hasil
(outcome ), yaitu akses terhadap rumah layak, aman dan terjangkau. Pengertian ini kemudian
diterjemahkan ke dalam indicator utama dan indicator tambahan. Indikator utama adalah
persentase rumah tangga yang mampu mengakses dan tinggal di rumah layak, berdasarkan (1)
ketahanan konstruksi; (2) akses air minum; (3) akses sanitasi; dan (4) Kecukupan luas tempat tinggal.
Sedangkan indikator tambahan meliputi (1) permukiman kumuh; (2) angka kepemilikan rumah; (3)
keterjangkauan dan (4) keamanan bermukim.
Salah satu indikator dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-11 adalah
proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau.
Mengacu pada definisi nasional dan global, hunian layak memiliki 4 (empat) kriteria,
meliputi: kecukupan luas tempat tinggal (sufficient living space) minimal 7,2 m2 per kapita,
memiliki akses air minum (access to improved water), memiliki akses sanitasi layak
(access to adequate sanitation), dan memenuhi syarat ketahanan bangunan (durable
housing) yaitu bahan bangunan utama atap rumah terluas bukan jerami/ijuk/daun-
daunan/rumbia/lainnya, bahan bangunan utama lantai terluas bukan berupa tanah atau
lainnya, serta bahan bangunan utama dinding rumah terluas bukan berupa bambu atau
lainnya. Indikator ini dapat digunakan untuk memantau peningkatan rumah tangga yang
tinggal di hunian layak dan terjangkau, sebagai upaya pengurangan penduduk yang
Indikator rumah layak huni dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan
masyarakat. Semakin tinggi persentase rumah tangga yang tinggal di rumah layak huni
semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini mengindikasikan semakin
terpenuhi kebutuhan dasar perumahannya.
Sejak tahun 2019 konsep penetapan rumah tidak layak huni menggunakan kriteria 4
komponen penyusun status kelayak hunian rumah:
Ketahanan Bangunan: dilihat berdasarkan jenis atap, dinding, lantai yang
digunakan.
Akses air minum.
Akses sanitasi.
Luas lantai per kapita
Proses penghitungan Rumah layak huni mengacu pada kesepakatan konsep yang
tersebut dalam surat Bappenas No: 661/Dt 2.4/01/2019 mengenai Meta Data SDGs . Hasil
perhitungan dengan menggunakan kriteria yang baru maka persentase rumah tangga
yang mempunyai akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau, tercatat
sebagaimana gambar 4.1 dibawah ini
40
30
20
Berdasarkan RPJMN 2019 – 2024, target pencapaian persentase rumah tangga yang
mempunyai akses terhadap hunian layak dan terjangkau , pada tahun 2024 sebesar 70%.
Hasil perhitungan dengan menggunakan komponen baru pada tahun 2019 dan 2020,
persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap rumah hunian layak dan
terjangkau telah mencapai 56,51 % pada tahun 2019 dan 59,54 % pada tahun 2020.
Gambar 4.1 menggambarkan persentase rumah layak huni sejak tahun 2015, yang mana
angka 2015 sd 2018 dihitung mundur dengan menggunakan kriteria sebagaimana tercatat
dalam metadata SDGs.
50
40
30
20
10
Sumber: BPS
Besaran nilai persentase rumah tangga yang memiliki akses layak berdasarkan 4 (empat )
komponen yang didasarkan pada kriteria dalam metadata SDGs, di visualisasikan pada
gambar 4.2 diatas.
Secara umum persentase rumah tangga yang tinggal di rumah layak huni dan terjangkau
di daerah perkotaan lebih tinggi persentasenya dari pada di perdesaan. Ditinjau dari sisi
kelompok umur maka kelompok umur gen X , gen baby boomer dan pre boomer lebih tinggi
persentase yang tinggal di rumah layak huni dibandingkan dengan gen Milenial dan gen Z.
Di daerah perkotaan , rumah tangga gen Z yang tinggal di rumah layak huni lebih tinggi
persentasenya dari pada gen Milenial. Namun sebaliknya untuk daerah pedesaan , rumah
tangga yang tinggal di rumah layak huni kelompok gen Z , lebih rendah persentasenya dari
pada kelompok gen Milenial.
Rincian detilnya dapat dilihat pada gambar 4.3 dibawah ini.
Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau
pada tahun 2019 sebesar 56,51 persen, dan sebaran untuk daerah perkotaan sebesar
61,09 persen, sedangkan daerah pedesaan sebesar 50,67 persen.
Grafik 4.4 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Hunian
Perdesaan
Perkotaan
Perkotaan+Perdesaan
Sumber: BPS
Tabel 4.1 memperlihatkan sebaran persentase rumah tangga yang dapat mengakses
rumah layak huni dan terjangkau sampai dengan level provinsi.. Pada wilayah Sumatera ,
provinsi-provinsi yang persentase rumah tangganya mengakses rumah layak huni dibawah
rata-rata nasional adalah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, Kep Bangka Belitung dan Kep Riau.Tercatat yang terendah adalah Provinsi Kep.
Bangka Belitung baru mencapai 26,16 persen pada tahun 2019, kemudian pada tahun 2020
naik menjadi sebesar 30,64 persen.Selanjutnya Provinsi Bengkulu dan Kep.Riau pada
tahun 2020 baru mencapai 47,94 persen dan 48,19 persen.
Provinsi Jawa Barat menempati urutan berikutnya yang persentasenya terendah yaitu
sebesar 49,29 persen pada tahun 2019 kemudian sedikit naik persentasenya menjadi 52,28
persen pada tahun 2020. Provinsi Jawa barat ini termasuk daerah tujuan para migran
karena alasan ekonomi, selain Jakarta. Mereka umumnya menjadikan padat wilayah-
wilayah Bodebek, bahkan migran tujuan Jakarta akhirnyapun pindah ke wilayah Bodebek
karena mahalnya akses rumah di Jakarta baik untuk sewa ataupun memiliki rumah sendiri.
Terkait dengan imbas kedatangan migran karena alasan ekonomi adalah Provinsi Banten
yaitu di wilayah Kab. Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, yang juga
menjadi limpahan penduduk asal Jakarta , yang mencari perumahan yang layak dan
terjangkau. Provinsi banten tercatat persentase rumah tangga yang mengakses rumah
layak huni dibawah rata-rata nasional. Wilayah Bali, Nusatenggara dan wilayah timur
lainnya yang tercatat persentase rumah layak huninya rendah adalah Provinsi NTT,
Maluku, Papua dan Papua Barat. Sedangkan di wilayah Kalimantan persentase terendah
di Provinsi Kalbar, Kalteng dan Kalimantan Selatan. Kemudian untuk wilayah Sulawesi,
Provinsi yang persentase rumah tangga mengakses rumah layak huni terendah adalah
Provinsi Sulawesi Barat. Untuk lebih jelasnya sebaran persentase rumah tangga
mengakses rumah layak huni per provinsi dapatdilihat pada Tabel 4.1 diatas.
Secara rata-rata pada tahun 2020, rumah tangga di Indonesia yang menempati rumah
layak huni (RLH) adalah sebesar 59,54 persen. Persentase terbesar rumah tangga yang
menempati RLH adalah di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 86,19 persen, kemudian di
Provinsi Bali sebesar 77,05 persen dan pada urutan ketiga adalah Provinsi Kalimantan
Timur sebesar 70,80 persen. Provinsi yang terendah adalah Provinsi Papua sebesar 28,56
persen, diatasnya sedikit adalah Provinsi Kep Bangka Belitung sebesar 30,64 persen dan
diatasnya lagi Provinsi DKI Jakarta sebesar 33,18 persen.
Tinjauan Rumah layak huni di Pulau sumatera menunjukkan bahwa yang terbesar akses
menempati RLH adalah di Provinsi Riau, kemudian diikuti Provinsi Sumatera Utara,
sedangkan yang terendah akses RLH di Sumatera setelah Bangka Belitung adalah Provinsi
Tabel 4.2 menyajikan persentase rumah tangga yang memiliki akses menempati RLH dan
terjangkau per provinsi dan kelompok umur KRT disajikan pada Tabel 4.2 dibawah ini
Tabel 4.2 Rumah Tangga yang menempati Rumah Layak huni (RLH) menurut
kelompok umur KRT dan Provinsi tahun 2020
Harga penawaran adalah harga rumah yang ditawarkan oleh penjual individual
maupun perusahaan property dan disajikan di iklan baik melalui situs iklan seperti
rumah123 dan harga penawaran dan penilaian yang berasal dari Mappi..
Harga penilaian adalah harga rumah hasil penilaian oleh lembaga yang kompeten
seperti MAPPI. atas pesanan lembaga tertentu sepert bank atau perusahaan
property.
Harga transaksi adalah harga yang terjadi hasil transaksi antara penjual dan
pembeli baik untuk pembelian tunai maupun pembelian melalui kredit bank.
Posisi Harga penawaran akan sama atau lebih besar dari harga penilaian.
Sedangkan posisi harga transaksi biasanya akan sama atau lebih rendah dari
harga penilaian. sama dengan harga penilaian bila pembelian melalui kredit bank,
sedikit lebih rendah dari harga penilaian bila pembelian secara tunai.
Arah kebijakan pembiayaan perumahan dapat ditinjau dari arah kebijakan pembangunan
perumahan nasional berdasarkan RPJMN 2020-2024. Kebijakan ini diarahkan untuk
meningkatkan akses masyarakat secara bertahap terhadap perumahan dan permukiman
layak, aman, dan terjangkau untuk mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Strategi
dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yakni pendekatan dari sisi permintaan (demand
side), dari sisi pasokan (supply side), dan lingkungan yang mendukung (enabling
environment). Strategi yang terkait dengan pembiayaan perumahan dilakukan melalui:
Tinjauan harga rumah tapak meliputi 2 macam tipe harga yaitu harga rumah subsidi
(harga ketetapan pemerintah) dan harga rumah komersil (harga rumah berdasarkan
harga pasar bebas)
Rumah bersubsidi mengikuti harga patokan dari pemerintah untuk kalangan masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR). Mereka bisa membeli menggunakan KPR bersubsidi
fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Rumah bersubsidi untuk kalangan
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Mereka bisa membeli menggunakan KPR
bersubsidi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Menurut Dirjen Pembiayaan
Infrastruktur Kementerian PUPR Eko Djoeli Heripoerwanto, patokan harga baru untuk
rumah bersubsidi ini telah ditetapkan sejak tahun lalu melalui Keputusan Menteri PUPR
No. 535/KPTS/M/2019 yang mengatur patokan harga di lima wilayah. Adapun batasan
wilayah Jawa,( kecuali Jabodetek ), Sumatera ,(kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung,
dan Kepulauan Mentawai). Wilayah Kalimantan, (kecuali Kabupaten Murung Raya dan
Kabupaten Mahakam Ulu) . Wilayah Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai,
dan Kepulauan Riau (kecuali Kepualaun Anambas). Wilayah Maluku, Maluku Utara, Bali,
dan Nusa Tenggara, Jabodetabek, Kepulauan Anambas, Kabupaten Murung Raya, dan
Mahakam Ulu serta Papua dan Papua Barat.
Perbandingan harga rumah subsidi tahun 2019 dan 2020 dapat dilihat pada tabel 5.1
diatas. Data harga rumah subsidi tersebut diatas menggambarkan harga per provinsi
dengan pengecualian Wilayah Jabodetabek, Kepulauan Anambas, Kabupaten Murung
Raya, dan Mahakam Ulu harganya sama dengan provinsi DKI Jakarta, Provinsi di nusa
Tenggara dan Provinsi di Maluku.
Harga rumah komersil, data tahun 2020 diperoleh dari hasil crawling dan harga rumah
mappi. Harga rumah hasil crawling dibedakan menurut tipe bangunannya yaitu tipe <= 36
M2 disebut tipe kecil, tipe rumah > 36 M2 sd 70 M2 disebut tipe sedang dan tipe > 70 M2
disebut Tipe Besar. Pada harga Mappi tipe besar dipecah 2 kelompok yaitu kelompok tipe
LB >70 M2 sd 200 M2 disebut tipe besar dan LB > 200 M2 disebut tipe sangat besar.
Gambaran data harga rumah menurut tipe berdasarkan hasil crawling disajikan pada tabel
5.2 diatas. Harga tertinggi rumah komersil baik tipe kecil, sedang maupun besar tercatat
di Provinsi DKI Jakarta dan Papua.
Gambaran harga rumah komersil menurut tipenya dari harga Mappi disajikan pada tabel
5.3 dibawah ini. Harga rumah komersil berbagai tipe dari Mappi yang tertinggi tercatat di
DKI Jakarta. Untuk harga tipe kecil, Harga mappi umumnya lebih rendah dari harga tipe
kecil. Harga mappi umumnya lebih rendah dari harga tipe kecil hasil crawling, kecuali
harga di Provinsi DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa Timur, Banten, Bali, dan Kalimantan
Utara.
Tinjauan indeks harga rumah meliputi Indeks harga property dari Bank Indonesia dan
Indeks keterjangkauan harga rumah yang dihitung oleh Hreis.
300,00
100,00
50,00
0,00
2016 2017 2018 2019 2020 2021
2,00
1,50
1,35
1,00 0,97
0,79
0,77
0,68
0,50 0,55 0,50
0,37 0,38
0,27 0,23
0,22
0,16
0,10 0,12
0,00 0,06
0,04
2016 2017 2018 2019 2020 2021
Sumber: Bank Indonesia
Bila diperhatikan grafik 5.2 diatas maka terlihat bahwa dari ketiga tipe properti tersebut
pertumbuhan Indeks harga properti tidak menunjukkan gerakan yang selaras terutama
pada pertumbuhan dari tahun 2016 ke 2017.
Periumbuhan indeks harga properti trw II 2016 ke trw II 2017 untuk rumah tipe kecil
tumbuh sebesar 2,61, pada tipe menengah malahan tumbuh melambat menjadi 0,55 dan
pada tipe besar semula pada tahun 2016 tumbuh sebesar 0,37 kemudian pada tahun
2017 naik sedikit menjadi 0,38
Pada rumah tipe kecil setelah tumbuh meningkat pada tahun 2017, kemudian
pertumbuhannya setiap tahunnya melambat yaitu pada tahun 2018 menjadi 1,35
kemudian pada tahun 2019 menjadi 0,97; tahun 2020 menjadi 0,50 dan tahun 2021
menjadi 0,12 .
Sebaliknya untuk rumah tipe menengah pada tahun 2018 pertumbuhannya meningkat
menjadi 0,68 kemudian tumbuh melambat pada tahun 2019 menjadi 0,16. Pada tahun
2020 pertumbuhannya meningkat tapi kemudian melambat lagi menjadi 0,06 pada tahun
2021.
Pada rumah tipe besar pertumbuhannya tahun 2018 sedikit melambat menjadi sebesar
0,27, menurun lagi pertumbuhannya pada tahun 2019 menjadi 0,10 kemudian sedikit
meningkat pertumbuhannya pada tahun 2020 menjadi 0,23 tapi kemudian melambat lagi
pertumbuhannya pada tahun 2021 menjadi 0,04.
Gambaran indeks harga properti tahun 2020 – 2021 menurut tipe dan 18 kota disajikan
pada tabel 5.4; tabel 5.5 ; tabel 5.6 dan tabel 5.7 dibawah ini
2020 2021
KOTA
QI QII QIII QIV QI QII*
Tabel 5.4 diatas menyajikan indeks harga properti rata-rata semua tipe tahun 2020 – 2021
dengan tahun dasar tahun 2002=100, makin tinggi angka indeks menunjukkan bahwa di
kota tersebut perkembangan harganya lebih cepat bila dibandingkan harga pada tahun
dasar.
Sampai dengan triwulan II tahun 2021, angka indeks tertinggi tercatat di Kota Surabaya
yaitu sebesar 356,55, kemudian kota Makasar sebesar 342,00, selanjutnya kota Manado
di urutan berikutnya yaitu sebesar 337,85 dan urutan ke empat adalah kota Bandung
sebesar 283,22.
Perkembangan indeks harga property residensial untuk tipe kecil disajikan pada tabel 5.5
, perkembangan indeks harga property tipe kecil lebih cepat dibandingkan dengan tipe
lainnya. Perkembangan tertinggi tercatat di kota Makasar dengan indeks pada triwulan II
tahun 2021 sebesar 481,71 kemudian diikuti urutan berikutnya di kota Surabaya dengan
indeks sebesar 391,72 , selanjutnya di kota Medan sebesar 362,45 dan pada urutan
keempat tercatat di kota Manado dengan indeks sebesar 342,53.
Untuk gambaran indeks harga property tipe menengah/sedang disajikan pada tabel 5.6
diatas. Perkembangan indeks tercepat pada rumah tipe menengah masih dibawah rumah
tipe kecil. Hal ini ditunjukkan oleh indeks harga properti tipe menengah triwulan II tertinggi
sebesar 410,73 yang tercatat di kota Manado. Selanjutnya diurutan berikutnya indeks
harga rumah tipe menengah tertinggi ada di kota Surabaya dengan indeks sebesar 359,44
kemudian di kota Makasar dengan indeks sebesar 357,24 dan di kota Bandung sebesar
328,13.
Perkembangan Indeks Harga property residensial tipe besar tahun 2020 – 2021 dapat
dilihat pada tabel 5.7 berikut ini.
Perkembangan indeks harga properti tipe besar ini bila dibandingkan dengan indeks harga
rumah tipe kecil dan tipe menengah lebih landai, hali ini disebabkan karena pasar rumah
tipe kecil dan menengah lebih ramai dari pada pasar rumah tipe besar. Artinya lebih
banyak transaksi rumah pada tipe yang lebih kecil.
Perkembangan indeks harga properti tipe besar pada triwulan II tahun 2021 yang tertinggi
tercatat di kota Surabaya dengan indeks sebesar 317,56, kemudian diurutan berikutnya
tercatat di kota Manado dengan indeks sebesar 259,63. Pada urutan ke tiga indeks harga
property teringgi sebesar 252, 18, sedangkan pada urutan ke empat kota dengan indeks
harga property tipe besar tertinggi tercatat di kota Makasar dengan indeks sebesar 228,84
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
BENGKULU
BANTEN
JAMBI
LAMPUNG
BALI
SUM UTARA
KEP BABEL
KEP RIAU
DKI JAKARTA
NTB
KAL SELATAN
NTT
SUL UTARA
SUL TENGAH
SUL TENGGARA
GORONTALO
KAL TIMUR
SUL SELATAN
SUL BARAT
ACEH
SUM BARAT
RIAU
SUM SELATAN
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
KAL UTARA
JAWA BARAT
KAL BARAT
KAL TENGAH
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA
PAPUA BARAT
Provinsi
2019 2020
Indeks keterjangkauan untuk rumah subsidi disajikan pada gambar 5.3 diatas . Untuk
harga rumah subsidi diperbandingkan pada harga tahun 2019 dan tahun 2020.
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
BENGKULU
BANTEN
JAMBI
LAMPUNG
BALI
SUM UTARA
KEP BABEL
KEP RIAU
DKI JAKARTA
NTB
KAL SELATAN
SUL TENGGARA
GORONTALO
NTT
SUL UTARA
SUL TENGAH
KAL TIMUR
SUL SELATAN
SUL BARAT
ACEH
SUM BARAT
RIAU
SUM SELATAN
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
KAL UTARA
JAWA BARAT
KAL BARAT
KAL TENGAH
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA
PAPUA BARAT
Provinsi
Indeks keterjangkauan harga rumah komersil disajikan menurut harga rumah hasil
crawling dan harga rumah Mappi sebagaimana disajikan pada grafik gambar 5.4 dan
gambar 5.5.
Gambaran indeks harga rumah komersil hasil crawling secara umum khususnya tipe kecil
lebih tinggi dari indeks keterjangkauan harga rumah subsidi, dengan kisaran indeks
tertinggi sekitar angka 5 dan 6.
Provinsi dengan indeks keterjangkauan harga rumah tipe kecil diatas 4 tercatat di Provinsi
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogya, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan dan
Papua.
BENGKULU
BANTEN
JAMBI
LAMPUNG
BALI
SUL TENGGARA
GORONTALO
SUM UTARA
KEP BABEL
KEP RIAU
DKI JAKARTA
NTB
KAL SELATAN
NTT
SUL UTARA
SUL TENGAH
KAL TIMUR
SUL SELATAN
SUL BARAT
ACEH
SUM BARAT
RIAU
SUM SELATAN
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
KAL UTARA
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA
JAWA BARAT
KAL BARAT
KAL TENGAH
PAPUA BARAT
Provinsi
Indeks keterjangkauan harga rumah komersil (Mappi) yang dikelompokan dalam 4 tipe
rumah disajikan pada grafik gambar 5.5 diatas.
Untuk perbandingan dengan indeks keterjangkauan harga rumah subsidi dan indeks
harga rumah hasil crawling, maka perlu diperhatikan besaran indeks keterjangkauan
harga Mappi yang tipe kecil.
Secara umum di sebagian besar provinsi besaran indeks keterjangkauan harga rumah
mappi tipe kecil ini, lebih rendah dari indeks keterjangkauan harga rumah hasil crawling
dan harga rumah subsidi.
Namun untuk beberapa provinsi indeks keterjangkauan harga rumah Mappi tipe kecil lebih
tinggi dari indeks keterjangkauan harga rumah hasil crawling dan rumah subsidi. Indeks
keterjangkauan harga rumah tipe kecil Mappi beberapa provinsi yang tertinggi tercatat di
Provinsi DKI Jakarta sebesar 6,28 , kemudian Jawa Timur sebesar 5,77 dan Kalimantan
Utara sebesar 5,06.
Saat ini Pemerintah mempunyai program Sejuta Rumah ( PSR). Program Sejuta Rumah
merupakan program strategis nasional pemerintah yangmenggerakkan para pemangku
kepentingan bidang perumahan, dalam rangka percepatanpenyediaan hunian layak bagi
Tabel 5.8 Realisasi Program Sejuta Rumah menurut MBR dan Non MBR
JUMLAH (UNIT) Persentase
PERUNTUKAN PELAKU PEMBANGUNAN
2018 2019 2018 2019
PUPR 217.064 346.188 19,16 27,52
PEMERINTAH PUSAT K/L
50.002
LAIN - 0,00 3,98
MBR PEMDA 111.821 26.936 9,87 2,14
PENGEMBANG 447.364 514.864 39,50 40,93
MASYARAKAT 8.934 6.582 0,79 0,52
CSR 458 589 0,04 0,05
JUMLAH MBR 785.641 945.161 69,36 75,14
PENGEMBANG 290.656 309.082 25,66 24,57
NON MBR
MASYARAKAT 56.324 3.609 4,97 0,29
JUMLAH NON MBR 346.980 312.691 30,64 24,86
TOTAL 1.132.621 1.257.852 100,00 100,00
Sumber: Dit RUK PUPR
Berdasarkan tabel 5.8 jumlah unit realisasi program perumahan untuk MBR tahun 2018
sebesar 785.541 unit dan pada tahun 2019 tercatat sebesar 945.161. sedangkan untuk
peruntukan non MBR realisasi unit transaksi sebesar 346.980 unit pada tahun2018 dan
tahun 2019 sebesar 312.691 unit. Sehingga total transaksi tahun 2018 sebesar 1.132.621
unit dan tahun 2019 sebesar 1.257.852 unit.
Realisasi program sejuta rumah per provinsi tahun 2018 – 2019 dapat dilihat lebih jelas
pada tabel 5.9 dibawah ini.
Provinsi Jawa Barat tercatat realisasi program sejuta rumah menduduki posisi teratas,
kemudian diikuti Provinsi Jawa tengah, Sumatera Utara dn Provinsi Jawa Timur
Gambaran pembiayaan perumahan yang tercatat di Bank Indonesia pada periode triwulan
IV tahun 2019 sampai Triwulan I Tahun 2021, yang dirinci menurut program pembiayaan
KPR dan KPA dapat dilihat pada gambar 5.6 dibawah ini. Pertumbuhan YoY pada trw IV
tahun 2019 sebesar 7,99, menurun pada trw I tahun 2020 menjadi 4,34 dan terus menurun
Pertumbuhan kredit perumahan KPR dan KPA q to q pada trw IV tahun 2019 sebesar
1,01, kemudian menurun pada trw I 2020 menjadi 0,51 dan selanjutnya menurun lagi pada
trw II tahun 2020, dan mulai naik pada trw III dan trw IV menjadi 2,37, namun pada trw I
2021 sedikit menurun menjadi 1,40.
Berdasarkan gambaran mulai trw IV tahun 2019, tercatat pertumbuhan YoY mulai trw IV
2019 selalu meningkat, sehingga mencapai puncak pada trw II tahun 2020 sebesar 169,17
%. Kemudian pada trw III menurun menjadi 45,19 % dan menurun lagi pada trw IV 2020
menjadi 33,10 % dan pertumbuhan pada trw I 2021 terhadap trw I 2020 menurun menjadi
– 18,89 %
Berdasarkan gambar 5.7 diatas juga tercatat perkembangan FLPP dalam nilai nominal,
pada trw IV tahun 2019 tercatat sebesar 1.315 miliar rupiah, kemudian meningkat pada
trw I 2020 menjadi 2.822 miliar rupiah, kemudian naik signifikan pada trw II 2020 menjadi
4.544 miliar rupiah.
Setelah itu pada trw III 2020 menurun lagi menjadi 2.114 miliar, dan menurun lagi pada
trw IV 2020 menjadi 1.751 miliar rupiah, kemudian pada trw ! 2021 meningkat menjadi
2.289 miliar rupiah.
membeli
membeli membangun
membeli dengan Demand Tidak ada
dengan rumah
tunai angsuran non effektif rencana
angsuran KPR sendiri
KPR
Total 8,21 7,67 0,81 16,68 30,42 52,89
Usia > 56 0,62 0,35 0,07 1,05 1,91 7,29
Gen X 2,95 2,19 0,28 5,42 9,18 16,60
Gen Milenial 4,10 4,73 0,41 9,25 17,82 22,07
Generation Z 0,53 0,39 0,04 0,97 1,51 6,93