Anda di halaman 1dari 25

METODE PENELITIAN ANTROPOLOGI PSIKOLOGI

Seperti halnya penelitian antropologi pada umumnya, cara pengumpulan data yang
dipergunakan ilmu antropologi psikologi pada dasarnya juag metode pengumpulan etnografis,
yakni yang bersifat wawancara dan pengamatan. Namun karena yang dicari bukan terbatas pada
kebudayaan yang mudah dilihat saja (overt), melainkan juga yang terselubung (covert) seperti
nilai-nilai atau dinamika dari suatu perilaku dan sebagainya; maka metode etnografis yang
pertanyaannya bersifat terlalu langsung itu, seringkali tidak mendapat tanggapan yang benar
langsung secara jujur. Oleh karenanya perlu dipinjam metode penelitian dari ilmu sosial lainnya
seperti yang telah dikembangkan oleh ilmu psikologi klinik. Metode tersebut berupa test
proyeksi seperti : Test Rorschach, test thematic apperception test dan lain-lain. Selai itu juga
mengumpulkan riwayat hidup (life story) para responden dari suatu masyarakat yang hendak kita
teliti dan juga pengumpulan mimpi dan folklor dari para responden untuk diinterprestasikan.

A. Metode-Metode Etnografis
Metode yang sejak awal dipergunakan para etnograf pada masa awal perkembangan ilmu
antropologi hingga kini, adalah metode wawancara (interview) dan pengamatan (observation).

(1) Metode Wawancara


Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu
kepada seorang responden. Caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka. Teknik
bertanya dalam wawancara dapat dikategorikan ke dalam dua golongn besar, yakni : (a)
Wawancara berencara (standardized interview), dan (2) Wawancara tanpa rencana
(unstandardized interview).
Untuk melakukan wawancara berencana seorang peneliti, sebelum terjun ke lapangan,
harus menyusun dahulu suatu daftar pertanyaan. Kepada semua responden yang telah dipilih
untuk ditanya dan akan diajukan pertanyaan yang seragam; dengan bahasa dan tata urut yang
seragam pula. Bila tidak demikian ada kemungkinan besar respons yang diperoleh tidak
mempunyai nilai seragam, sehingga sukar untuk diperbandingkan satu sama lain. Wawancara
berencana, dalam prakteknya, sama dengan kuesioner yang diajukan kepada respon secara lisan
. wawancara semacam ini banyak dipergunakan oleh peneliti psikologi. Tujuannya adalah untuk
mengukur pendapat umum, atau peneliti sosiologi yang mempunyai tujuan komparatif
(Koentjaraningrat, 1977b: 162-174). Data hasil wawancara semacam ini sudah tentu termasuk
metode kuantitatif.
Untuk melakukan wawancara tanpa berencana. Seorang peneliti tidak perlu menyusun
suatu daftar pertanyaan yang ketat. Meski demikian, bukan berarti peneliti tidak mempunyai
pengetahuan mengenai cara dan aturan wawancara tertentu. Bahkan ada suatu metode
wawancara tanpa rencana yang mempunyai struktur yang cukup rumit seperti metode wawancara
psikoanalisa atau wawancara untuk mengumpulkan data pengalaman hidup individu (life
history), atau genealogis dari WHR Rivers. Oleh karena itu, metode wawancara tanpa berencana
ini dapat pula dikategorikan dalam dua sub golongan : (a) Metode wawancara berstruktur
(structured interview atau active interview) dan (b) metode wawancara tanpa struktur
(unstructured interview) atau passive interview (Koentjaraningrat, 1977: 174).
Selanjutnya wawancara tanpa struktur dapat pula dibedakan secara lebih khusus lagi ke
dalam dua golongan yakni : (a) wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas
free interview, unguided atau nondirective interview). Wawancara yang terfokus biasanya terdiri
dari pertanyaan yang tak mempunyai struktur tertentu, namun selalu terpusat pada satu pokok
tertentu. Sedangkan suatu wawancara bebas tidak mempunyai pusat, sehingga pertanyaan dapat
beralih dari suatu pokok ke pokok yang lain. Akibatnya, datanya terkumpul dari suatu
wawancara bebas yang bersifat beraneka ragam (Koentajaraningrat, 1977b:175). Selain itu masih
ada satu macam wawancara lagi yakni wawancara sambil lalu (casual interview). Wawancara
sambil lalu ini sebenarnya termasuk wawancara tanpa rencana, tetapi bedanya ialah orang-orang
yang diwawancarai tidak diseleksi terlebih dahulu secra teliti. Mereka ditemukan secara
kebetulan dan sambil lalu di suatu tempat, seperti di warung atau di gardu siskamling. Cara
wawancaranya dilakukan menurut keadaan, sehingga dapat berbentuk berstruktur, berfokus,
maupun bebas.
Adapun dilihat dari sudut bentuk pertanyaannya semua bentuk wawancara tersebut di
atas dapat dibagi lagi ke dalam dua golongan, yakni (a) wawancara tertutup (closed interview),
dan (b) wawancara terbuka (open interview). Jenis wawancara yang pertama terdiri dari
pertanyaan, yang bentuknya sedemikian rupa sehingga kemungkinan menjawab dari responden
atau informan amat terbatas. Bahkan adakalanya hanya menjawab yang berbentuk “ya” atau
“tidak” saja. Sedangkan bentuk pertanyaan terbuka memerlukan jawaban yang tidak terbatas
(Koentjaraningrat, 1977b: 175-176). Secara lebih jelas dapat dilihat dalam skema berikut ini :
1. W. Berencana
W. Berstruktur W. Tertutup
2. W. Tanpa Berencana W. Berfokus
W. Tanpa Berstruktur W. Terbuka
3. W. sambil Lalu W. Bebas

Metode wawancara yang paling banyak dipergunakan dalam penelitian antropologi


psikologi sudah tentu metode wawancara berencana. Hal ini disebabkan karena tujuan penelitian
antropologi psikologi memang untuk mengukur pendapat umum, atau pendapat mayoritas
anggota suatu kolektif. Terutama mengenai nilai budaya pandangan hidup etos, struktur
kepribadian dasar, struktur kepribadian rata-rata yang dianggap dianut oleh suatu kolektif
tertentu.

(2) Metode Pengamatan


Pada permulaan masa perkembangan ilmu antropologi, metode pengamatan obeservasi,
terutama yang disertai dengan partisipasi merupakan teknik pengumpulan data yang paling
diutamakan. Di dalam buku Notes and Queries on Anthropology misalnya dikatakan bahwa
pengumpulan data kebudayaan apa saja, harus dikumpulkan dengan cara 1. Pengamatan
langsung (direct observation), dan 2. Pengamatan tidak langsung (indirect observation).
Pengamatan langsung ditambah lagi dengan interogasi segera immediate interrogation dinilai
sebagai cara yang paling ideal Notes and Queries Anthropology, 1954: 36. Walaupun pada masa
kini metode pengamatan yang disertai dengan partisispasi sudah dianggap tidak begitu mutlak
lagi bagi ilmu antropologi, namun metode tersebut tetap sangat penting artinya Vredenbregt,
1979: 68, karena ia sebagian dari dasar sebagian penelitian lapangan fieldwork, yang dengan
sendirinya harus dilakukan.
Metode pengamatan dapat dibagi kedalam beberapa golongan berdasarkan bentuknya,
dan sifat interaksinya. Berdasakan bentuknya, pengamatan dapat dibagi menjadi (1) pengamatan
berstruktur, dan (2) pengamatan tidak berstruktur. Bentuk yang pertama seringkali juga disebut
sebagai pengamatan formal, dan bentuk kedua disebut juga pengamatan informal. Pengamatan
yang tak berstruktur atau informal ini juga terkenal dengan nama observasi terlibat (participant
observation) (Vredenbregt, 1978: 68)
Berdasarkan sifatnya interaksinya dengan informan atau responden, metode pengamatan
dapat juga dibedakan menjadi dua golongan yakni : (1) pengamatan terlibat (observasi
partisipasi), dan (2) pengamatan saja. Perbedaan kedua golongan pengamatan terletak pada ada
atau tidak adanya interaksi peneliti dan informan atau respondennya. Pada pengamatan golongan
pertama ada interaksi, sedangkan pada pengamatan golongan kedua tidak ada (Vredenbregt,
1978: 68).
Seperti halnya dengan semua penelitian dilapangan (fieldwork) perlu dipupuk dahulu
hubungan baik serta mendalam dengan para responden atau informan yang hendak diteliti. Dan
hubungan baik dan mendalam sehingga timbul percaya-mempercayai di sebut raport (rapport).
Metode pengamatan yang paling berguna bagi para peneliti antropologi psikologi sudah
tentu adalah pengamatan dari bentuk yang informal dan terlibat. Hal ini disebabkan karena data
yang hendak dikumpulkan oleh mereka bersifat sensitif dan sangat pribadi. Hal itu baru dapat
dilakukan apabila ia sudah terjun ke dalam masyarakat yang hendak diteliti dan baru dapat
bekerja dengan efektif apabila sudah timbul raport antara peneliti dan masyarakat yang
bersangkutan. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa seorang peneliti baru dapat
memperoleh data yang sensitif serta sangat pribadi, apabila ia melakukan metode wawancara
informal yang terlibat; karena dengan cara itu ia akan diterima oleh respondennya tanpa dicurigai
lagi. Dan keterangan-keterangan yang diperoleh sejak itu, baru bersifat benar. Keadaan tersebut
saya alami sendiri sewaktu mengadakan penelitian mengenai agama orang Trunyan di Bali.
Semua data yang diberikan penduduk pada bulan pertama saya berada disana, semua tidak benar.
Antara lain misalnya menurut keterangan mereka dewa-dewa yang mereka puja adalah dewa
Hindu dari India. Namun, setelah timbul raport lambat laun keterangan yang mereka berikan
berubah, karena ternyata para dewa yang mereka puja kebanyak bukan dari India, seperti
Brahma, Whisnu, dan Shiwa, melainkan roh-roh leluhur mereka sendiri, yang telah mereka
hindunisasikan dengan memberi gelar-gelar dewa Hindu spert Dewa, Betara dan sebagainya.
Panjangnya proses pengamatan yang harus di lalui, maka menggunakan mata sebagai alat
untuk mengamati berbagai macam gejala-gejala social menjadi tidak cukup memadai. Apalagi
jika telah melalui proses penyaringan pada fikiran kita yang sudah terikat oleh maral
kebudayaan, ditambah lagi dengan adanya proses interpelasi, maka gambar yang tetinggal di
benak kita sudah tidak tepat dan tidak objektif lagi seperti aslinya.
Kelemahan mata sebagai alat pengamatan, sudah tentu dapat digantikan dengan bantuan
kamera ataupun kamera video. Hal ini disebabkan karena kamera sebagai alat perekam visual
bersifat lebih objektif daripada mata manusia. Ia lebih jujur dan tidak seperti mata kita yang
memiliki bercak buta (blind spot), yang hanya mau merekam apa yang berkenan dalam hati kita
secara sadar atau tidak sadar. Dan karena kamera adalah mesin, maka ia tidak terpengaruh oleh
keletihan, seperti yang sering dialami organ mata kita (Danandjajaja, 1984: 44-45).
Walaupun demikian alat yang secara relatif lebih baik dari mata kita ini, tidak akan
berdaya apabila dipergunakan oleh peneliti, yang tidak mahir bukan saja dalam teknik
pemotretan, melainkan juga tidak mempunyai pengetahuan mengenai apa yang harus di
abadikan, momen mana yang paling tepat dan sebagainya. Semua ini tergantung dari daya
pengamatan terlatih dari si pengguna alat canggih itu.
Gambar-gambar yang diabadikan oleh seorang ahli fotografi, walaupun indah dan jelas,
belum tentuk berguna untuk diterbitkan sebagai buku etnografi bergambar yang baik, bukan
terbatas pada pengambilan foto-foto, slide-slide, atau gambar hidup yang bagus saja, melainkan
juga yang dapat bercerita sendiri, tanpa banyak mempergunakan deskripsi berupa teks tertulis
atau keterangan lisan. Persyaratan ini menjadi penting apabila buku yang akan diterbitkan dari
hasil penelitian ini, akan berupa karya dengan pendekatan antropologi visual.
Untuk memenuhi syarat itu seorang peneliti yang hendak mempergunakan pengamatan
dengan antropologi visual, harus mempersiapkan diri dahulu sebelum terjun ke lapangan.
Sehingga ia dibekali pengetahuan bukan saja mengambil foto atau gambar hidup dengan tajam,
sinar yang tepat dan dengan sudut yang tepat pula, melainkan juga objek-objek apa yang relevan
dengan tema yang hendak diteliti, serta beruhubangan dengan latar belakang etnografisnya.
Seperti umpamanya merekam cara pengasuhan anak, ia harus mengetahui siapa dalam suatu
keluarga dalam masyarakat yang hendak ia teliti itu, yang berperan utama dalam pengasuhan
anak: apakah ibunya saja, apa juga ayahnya, bahkan juga kakek dan nenek si anak: dan mereka
itu adalah kakek dan nenek dari pihak mana: ibu atau ayah si anak. Jadi harus diketahui juga
sistem kekerabatannya; tempat tinggal setelah kawin orang yang hendak ditelitinya dan
sebagainya. Selain itu juga bagaimana kepercayaan mereka. Di desa Trunyan misalnya seorang
anak kecil dianggap sebagai Dewa, sedapat mungkin jangan digalaki, karna jika digalaki rohnya
akan tidak betah berdiam di dalam badan kasarnya. Akibatnya anak-anak kecil sangat dimanja di
sana. Anak bayi yang berusia tiga bulan, rohnya dianggap masih belum permanen mau menetap
didalam tubuh kasarnya, sehingga ia diperlakukan hati-hati sekali, bahkan seringkali dengan cara
yang bertentangan dengan adat orang Jawa misalnya, yaitu sejak lahir sampai dengan usia tiga
bulan seorang anak bayi Trunyan tidak boleh dikenakan pakaian baru, melainkan pakaian bekas
yang rombeng, karena menurut kepercayaan, jika diberi pakaian baru, roh si anak akan salah
sangka bahwa ia sudah tidak di ingin lagi keberadaanya di keluarga itu. Hal ini disebabkan
karena di sana, jenazah orang mati diberi pakaian baru, sehingga roh si anak akan menyangka
bahwa ia sudah mau di-aben, dalam arti mau dibebaskan dari tubuh kasarnya. Akhirnya ia tidak
akan lagi mempunya gairah untuk hidup lebih lama lagi dengan keluarganya yang baru ini.(
Danandjaja, 1980: 470-471). Dalam rangka membuat buku dengan pendekatan antropologi
visual harus juga dikumpulkan gambar-gambar, atau gambar hidup dari upacara-upacara
lingkaran hidup kolektif yang kita teliti, seperti yang telah saya lakukan untuk kebudayaan orang
Bali Trunyan. Lihat Danandjaja, 1985a.
Metode pendekatan antropologi visual adalah suatu cara, yang terutama mempergunakan
alat-alat perekam visual, seperti kamera dalam metode penelitiannya, untuk mengumpulkan
bahan-bahan penelitian etnografis, yang lebih bersifat visual ketimbang lisan atau tulisan.
Dari definisi tersebut diatas, kamera sebagai alat pengamat bukan sebagai alat pengamat
bukan sekedar bersifat sampiran, melainkan utama. Manfaat gambar-gambar yang dihasilkan
bukan sekedar ilustrasi dari deskripsi tulisan atau lisan saja, melainkan dipergunakan sebagai
bahan utama dalam suatu ceramah dengan mempertunjukkan slides (latern show), atau dalam
suatu penerbitan berupa buku bergambar (picture books); atau jika merupakan film gambar
hidup dan video tape, maka dapat dipergunakan sebagai pertunjukkan film etnografi.
Pada pertunjukkan atau presentasi semacam mini, fungsi Bahasa lisan maupun tulisan
berubah kedudukannya menjadi yang sekunder. Walaupun penting tetapi bahasa lisan atau
tulisan itu hanya berperan sebagai pendukung saja dari serangkaian gambar-gambar, yang
merupakan suatu seri bertema dan dapat bercerita walaupun tidak diberi banyak penjelasan
secara lisan maupun tulisan.
Berhubung gambar-gambar adalah bahan utama didalam sajian kita maka seperti halnya
membuat suatu film gambar pengambil foto atau film. Skenario itu menjadi pedoman dalam
pengambilan foto atau film. Skenario yang cermat akan menghasilkan gambar-gambar serial
yang baik. Selain itu dengan adanya scenario kita dapat menghemat pemakaian film, karena
dapat menghindari pengambilan foto-foto yang tidak relefan.
Oleh karena itu, untuk menerapkan metode pendekatan antropologi visual tersebut
seorang peneliti harus mengadakan persiapan secara cermat sebebelum betul-betul terjun ke
dalam lapangan. Artinya ia harus terlebih dahulu memeriksa keterangan mengenai objek yang
hendak di teliti. Jadi ia harus juga mlalui tahap-tahap penmelitian permulaan, sperti mengadakan
penelitian perpustakaan dan penelitian penjagagan (survei) agar ia sedikit banyak telah
mempunyai gambaran tentang objek penelitian serta konteks kebudayaannya.
Penelitian dengan pendekatan antropologi visual ini sudah lama diterapkan orang di
dalam dunia ilmu antropologi. Contoh yang paling klasik adalah yang telah dilakukan oleh para
Antropolog Psikologi AS Margaret Mead, G. Bateson, dan F.C. MacGregor tentang adat istiadat,
pola dan cara pengasuhan anak di desa Bayung Gede di Bali. Di dalam penelitian mereka ini alat
potret malahan tidak hanya menjadi alat yang penting, bahkan menjadi alat utama dari metode
penelitian mereka. Hal itu disebabkan karena para peneliti membutuhkan detail yang mendalam
mengenai segala gerak gerik, perilaku serta mimik dari anak di Bayung Gede yang sedang
tumbuh kembang itu, dan juga para pengasuhnya. Bahan keterangan detail seperti itu, memang
sangat penting untuk analisa secara psikologi, yang berdasarkan teori bahwa keperibadian
seorang yang tampak pada waktu dewasa sebenarnya sudah mulai terbentuk pada waktu ia masih
kanak-kanak. Atau dengan perkataan lain, dapat diketahui melalui cara pengasuhan anak
kolektifnya.
Hasil penelitian mereka itu kemudian diterbitkan dalam dua buku, yang mengandung
beratus-ratus foto hitam putih, mengenai cara anak-anak di Bayung Gede di asuh oleh ibu, ayah,
dan anggota keluarga luasnya. Semua objeknya berada dalam keadaan spontan, tidak kaku,
persis seperti dalam kehidupan sebenarnya. Buku yang pertama adalah dari G. Bateson dan
Margaret Mead (1942), dan buku yang kedua adalah dari F.C. MacGregor dan M.Mead (1951).
Selain itu dari hasil penelitian mereka pada tahun-tahun 1936-1938, Bateson dan Mead juga telah
menghasilkan sebuah film gambar hidup sepanjang 17 menit berjudul Childhood Rivarly in Bali
and New Guinea (1952).
Contoh lain di mana kamera menjadi alat utama dalam suatu penelitian, adalah seperti
yang telah dilakukan di Irian Jaya dalam tahun 1961-1962, yang dibiayai Harvard University
Peabody Museum, dan dilakukan antara lain oleh R. Gardner dan K.G. Heider. Yang luar biasa
dari penelitian tersebut adalah bahwa para peneliti telah berhasil merekam secara lengkap suatu
pertempuran yang sangat spontan, bukan diatur atau disandiwarakan antara dua federasi desa
orang Dani di Lembah Balim. Film luar biasa buatan R. Gardner itu kemudian diberi judul Death
Birds (1963). Dan selain itu, Gardner dan Heider juga menerbitkan buku yang berjudul Gardens
Of War (1966). Buku bergambar ini mengandung berates-ratus foto hitam putih maupun
berwarna tentang bermacam-macam segi kehidupan orang Dani, yang dilakukan secara massal,
seperti gotong-royong di kebun, dalam upacara-upacara kematian, pertempuran dan sebagainya.
Seperti telah di singgung di muka, selama mengadakan penelitian cara pengasuhan amak
orang Trunyan di Bali, kami juga telah menyediakan hampir semua kejadian di dalam kehidupan
orang Trunyan setahun lebih. Dan hasilnya adalah beribu-ribu slides berwarna.dan karena
pengambilannya dilakukan secara sitematik, maka kemudian dapat kami edit dalam beberapa
buku dengan beberapa tema khusus seperti: Upaara Lingkaran Hidup, Pantomime Duci Betara
Berutuk, Upacara kanak-kanak, Upacara Kelahiran Anak Kembar Buncing dan lain-lain. Untuk
kedua tema telah berhasil kami terbitkan berupa buku bergambar dengan pendekatan antropologi
visual (Danandjaja; 1985 dan 1985a). kendala dari metrode pengamatan dengan kamera ini
bukan saja mahal, tetapi juga susah sekali untuk mencari penerbit, yang bersedia untuk
menerbitkannya. Para penerbit pada umumnya tidak bersedia untuk menerbitkan buku ilmiah
yang banyak mengandung foto, apalagi jika fotonya berwarna lagi. Saya termasuk yang
beruntung, karena setelah bertahun-tahun menjajahi naskah saya, kemudian ada PN Balai
Pustaka yang bersedia untuk mengambil risiko untuk menerbitkan dua buku, masing-masing
berisikan 100 gambar berwarna.

B. Metode Ilmu Sosial Lainnya


Metode penelitian social lainnya yang paling banyak digunakan para ahli antropologi
psikologi adalah : (1) Metode pengumpulan data riwayat hidup individual (2) Metode
penggunaan test-test proyektif (projective test ) (3) Metode pencatatan dan penginterpretasian
mimpi, (4) Metode survey lintas budaya 9cross cultural survey) dan (5) Metode pengumpulan
dan penginterpretasian folklore.
(1) Metode Pengumpulan Data Riwayat hidup Individual
Metode penelitian lainnya yang juga banyak dipergunakan oleh para antropolog
psikologi adalah pengumpulan dan penganalisaan “data pengalaman individu” yang dilakukan
oleh para sejarawan dan sosiolog disebut dengan istilah riwayat hidup individu (individual life
story). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah semua ketarangan mengenai apa yang
pernah di alami individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang
menjadi objek penelitian (Blumer, 1939:29 dikutip dari Koentjaraningrat, 1984): 156).
Didalam ilmu sosial lainnya sperti ilmu sejarah, metode ini telah lama dipergunakan
orang. Pada zaman dahulu metode ini pernah digunakan oleh sejarawan Yunani kuno, dan juga
sejarawan islam seperti Ibnu Khaldun. Pada masa kini metode ini masih tetap dipergunakan oleh
para sejarawan, atau bahkan juga oleh tokoh-tokoh sejarah sendiri dengan cara menulis
otobiografi adalah memoir dari de Lafayette,atau memoir moh Hatta, dan biografi-biografi dari
Soekarne oleh E.Dahm (Koenjatiningrat, 1977; 199). Selanjutnya buku-buku yang ditulis dengan
metode riwayat hidup yang paling terkenal adalah karya dari psikiater dari aliran Neo-Freudian
bernama Erik H. Erikson. Judul-judul buku-bukunya adalah: Young Man Luther (1958), dan
Gandhi’s Truth (1969). dalam ilmu antropologi psikologi metode pengumpulan riwayat hidup
individu ini sudah banyak dilakukan orang. Tujuan dari penelitian semacam ini adalah untuk
mencapai suatu pengertian tentang suatu masyarakat, kebudayaan dan tipe kepribadian suatu
bangsa atau suku bangsa, melalui pandangan mata individu-individu yang merupakan warga
dalam masyarakat bersangkutan.
Di AS minat tersebut bangkit karena adanya karangan-karangan mengenai riwayat hidup
dari tokoh-tokoh beberapa suku bangsa Indian Amerika dari zaman akhir perang Indian, pada
paruh abad ke-19. Karangan-karangan yang pada mulanya tidak dianggap penting itu, kemudian
menjadi berharga setelah banyak dari suku-suku bangsa Indian, yang mulai kandas. Sehingga
mereka tidak dianggap berharga lagi melain sesuatu yang eksotis. Dan buku-buku ini di tulis
dalam bentuk buku-buku roman mengenai riwayat hidup berapa took Indian yang yang
terkemuka. Dan karena di tulis dengan gaya bahasa susastra sehingga menjadi bacaan menarik
juga bagi orang awam. Buku-buku menarik tersebut antara lain adalah dari Edward S. Ellis yang
berjudul The Life of The Pontiac, The Conspirator, Chief of The Ottawa (1861); dan dari dari
George A. Foster yang berjudul Sequoyah: A Complete Biographi of The Greatest of Redmin
(1885); atau buku-bukun yang disusun oleh S.M. Marrett berjudul Life of Black Hawk, Dictated
by Himself (1943) dan Geronimo’s Story of His Life (1906). Para pengarang buku-buku tersebut
pada umumnya mengaku bahwa mereka kenal baik dengan toko Indian itu, bahkan ada juga yang
mengatakan bahwa mereka memperoleh bahan-bahan hidup mereka dari mulu bersangkutan
sendiri (Koentjaraningrat, 1977; 200).
Kendati telah adanya orang-orang yang pernah menghasilkan buku-buku semacam itu,
namun antropolog pertama yang mempergunakannya dengan penuh kesaradaran akan
kegunaannya untuk memperkuat penganalisaan bahan etnografinya, adalah A.L. Kroeber.
Kroeber pada sewaktu masih muda dalam rangka untuk mengumpulkan bahan penulisan buku
etnografi tentang suku bangsa Gros Ventre di daerah Stepa Utara dari negara bagian Montana di
AS, telah pula mengumpulkan riwayat hidup tokoh-tokoh suku bangsa tersebut. Namun, orang
pertama kali mempergunakan metode riwayat hidup secara sistematik untuk memperdalam
pengertian tentang suatu masyarakat yang sedang di teliti, adalah antropolog Paul Radin. Buku
yang dihasilkan Radin dengan metode pengumpulan data riwayat hidup adalah Crashing
Thunder (1913, 1920, 1926). Buku tersebut adalah mengenai seotrang tokoh suku bangsa Winne
Bago dari negara bagian Wisconsin di AS (Koentjaraningrat, 1977; 200-201).
Sejak itu buku-buku yang dihasilkan dengan cara metode riwayat hidup semakin banyak
diterbitkan orang. Bahkan ada yang mngumpulkan banyak sekali riwayat hidup dari individu-
individu untuk kemudian di terbitkan dalam 1 buku khusus dengan tema tertentu. Buku-buku
tersebut antara lain adalah dari Ruth Landes tentang kehidupan golongan wanita dalam
amsyarakat suku bangsa Indian Ojibwa yang berdiam di tepi danau superior di negara bagian
Wisconsin, AS (1938); juga buku M.Opler tentang masyarakat suku bangsa Indian Apache di
negara bagian Arizona, AS (1941); buku G. Gorer mengenai suku bangsa Lepcha di Sikkim, di
pegunungan Himalaya (1938). contoh lain lagi mengenai buku-buku antropologi psikologi yang
di tulis dengan metode riwayat hidup ini masih banyak lagi, seperti dari Ruth Underhill (1936)
tentang riwayat hidup seorang wanita dari suku bangsa Papago yang hidup di Arizona, AS ; buku
dari Clellan Forde (1941) tentang riwayat hidup dari seorang kepala suku bangsa Indian
Kwakiutle yang hidup di kepulauan yang berhadapan dengan pantai Barat Kanada; buku Forde
juga yang berjudul Su Chief (1942), seorang kepala desa Indian Hopi di Arizona. Adapun buku-
buku yang bukan mengenai orang Indian Amerika antara lain adalah dari R. Barton tentang
riwayat hidup tiga orang Ifugao dari pegunungan Luzon, Filiphina Utara (1938); dan buku dari
Ernest dan Pearl Beaglehole tentang riwayat hidup singkatan dari seorang penduduk kepulauan
Puka-puka di Pulanesia (1939).
Tujuan dari penelitian antropologi psikologi dengan menggunakan metode tersebut
adalah untuk memperdalam pengertian dari peneliti terhadap di mana tokoh-tokoh atau individu-
individu itu hidup, dan yang lebih penting lagi melalui pengakuan yang berupa riwayat hidup ini,
seorang individu akan banyak mengungkapkan motivasinya, aspirasinya, ambisinya mengenai
kehidupan masyarakatnya. Wawancara dalam bentuk meminta informan menceritakan riwayat
hidup seseorang adalah yang paling mudah diperoleh. Hal ini disebabkan orang pada umumnya
senang sekali menceritakan kisah mengenai dirinya sendiri. Sudah tentu ada juga individu yang
menolak untuk mengungkapkan riwayat hidupnya. Biasanya orang yang demikian memiliki
masalah kejiwaan yang menghambatnya. Namun, setelah timbul rapport “dinding penghalang”
itu akan runtuh dengan sendirinya.
Andanya gejala kejiwaan tersebut terakhir, maka tujuan penelitian bukan terbatas pada
pengertian masyarakat di mana responden kita hidup, melainkan sudah bertambah lagi dengan
masalah pengaruh sosial dan tekanan adat-istiadat terhadap responder kita. Tema-tema yang
menjadi pusat perhatian dari penelitian-penelitian serupa itu adalah berkisar pada : (1) masalah
individu yang suka berlaku menyimpang dari perilaku yang dominant dalam masyarakat (the
deviant individual); (2) sebagai lanjutan dari itu, masalah pengaruh yang menyebabkan orang-
orang menyimpang mencapai sukses untuk menjadi sumber dari gagasan-gagasan baru dalam
masyarakat; (3) juga erat bersangkutan dengan masalah di atas mengenai para individu
penyimpang yang terjepit dalam masyarakat dan masalah penyakit jiwa yang merupakan akibat
dari keadaan serupa itu dan akhirnya suatu tema yang agak berlebihan, ialah (4) masalah
pengaruh kemiskinan terhadap kehidupan individu dalam masyarakat.
Metode analisa riwayat hidup individu sangat berguna bagi penelitian antropologi
psikologi karena manurut Koentjaraningrat misalnya fungsinya antara lain adalah sebagai berikut
:
1. data riwayat hidup individu penting bagi peneliti, untuk memperoleh pandangan dari dalam
mengenai gejala-gejala social dalam suatu masyarakat melalui pandangan dari para warga
sebagai partisipan dari masyarakat yang bersangkutan.
2. data riwayat hidup individu penting bagi si peneliti untuk mencapai pengertian mengenai
masalah individu masyarakat yang suka berkelakuan lain (menyimpang dari yang biasa) dan
masalah peranan para individu penyimpang gagasan baru dan perubahan dalam masyarakat
dan kebudayaan.
3. data riwayat hidup individu penting bagi peneliti untuk memperoleh pengertian mendalam
tentang hal-hal psikologis yang tak mudah dapat diamati dari luar, atau dengan metode
wawancara berdasarkan pertanyaan langsung. Hal itu biasanya sudah mengenai pengaruh
lingkungan kebudayaan terhadap jiwa individu dan data serupa itu secara praktis penting
dalam penelitian psikiatri, psikologi dan penelitian kesehatan jiwa (mental health research).
4. Data riwayat hidup penting bagi peneliti untuk mendapatkan gambaran yang lebih
mendalam mengenai detail dari hal yang tidak mudah akan diceritakan orang dengan metode
wawancara berdasarkan pertanyaan langsung.
Metode utama yang dipergunakan untuk mengumpulkan data riwayat hidup individu,
sudah tentu adalah metode wawancara. Wawancara ini baru dapat dilakukan dengan spontan dan
jujur apabila peneliti telah menjalin hubungan raport dengan respondennya.
Berbagai penelitian yang mempergunakan data riwayat hidup individu berpusat pada
salah-satu dari tema tersebut; atau pada tema pertama dan kedua dalam hubungan dengan
masalah perubahan kebudayaan. Contoh dari penelitian yang paling penting di antaranya adalah:
penelitian dari H.C. Barnet (1960) terhadap riwayat hidup dari beberapa individu dalam
penyimpang dalam masyarakat penduduk pulau Palau di Micronesia Barat; penelitian oleh R.F.
Mahct (1961) terhadap riwayat hidup dari seorang penyimpang, Tommy Kabu, yang dapat
mencapai sukses dalam hal mengintroduksikan gagasan-gagasan baru dalam masyarakatnya,
ialah masyarak Purau di Irian Timur; penelitian dari Indian oleh bangsa Micmac di Semenanjung
New Brunswick di Kanada Timur, yang dapat tekanan adat-istiadat kunonya terhadap jiwanya;
dan penelitian oleh S.M. Mintz (1960) terhadap riwayat hidup dari seorang buruh perkebunan di
Puerto Rico.
Contoh penelitian riwayat hidup individu yang bertemakan kemiskinan, adalah buku-
buku dari antropolog terkenal Oscar Lewis. Buku-bukunya itu antara lain adalah: Five Families
(1959), yakni riwayat hidup dari lima keluarga miskin di Mexico City; The Childern of Sanchezz
(1960) mengenai riwayat hidup dari suatu keluarga buruh restoran yang miskin; dan buku Pedro
Martinez (1961), yakni riwayat hidup seorang buruh miskin, bertemakan masalah pengaruh
kemiskinan terhadap kehidupan individu. Dalam buku-buku itu kemiskinan digambarkan secara
realis dan nyata tanpa terlampau didramatisasikan. Buku-buku Lewis ditulis dalam bahasa
susastra yang tinggi.
Selain buku-buku tersebut Oscar Lewis masih menulis sebuah bukun lagi yang berjudul
La Vida (1969). Buku yang terakhir ini mempunyai keistimewaan sendiri. Dalam buku ini di
lukiskan riwayat hidup rumah tangga dari lima anggota keluarga Rios, ialah dari ibunya
Fernande Rios, dan dua putrinya yang telah menikah Soledad dan Felicita, di daerah kumuh kota
San Juan di Puerto Rico, dan rumah tangga dari anak laki-laki Simpliio Rios dan anak
perempuannya Cruz, yang hidup di New York. Keistimewaanya adalah bahwa dalam riwayat
kehidupan dari suatu rumah tangga Rios ada banyak kejadian dan peristiwa yang menyangkut
kehidupan dari rumah-rumah tangga Rios yang lain. Demikianlah semua tokoh dari rumah-
rumah tangga Rios tadi dipandang dari penglihatan banyak individu lain yang berbeda-beda dan
Saling bertentangan satu dengan lain. (Konetjaraningrat, 1977: 202-205).

(2) Metode Penggunaan Tes-Tes Proyektif


Sebagaimana telah diruaikan bahwa banyak data-data yang ingin dikumpulkan para
antropologi psikologi terdiri dari kebudayaan, yang terselubung (covert) dan bersifat sangat
pribadi, dan sering kali tidak disadari oleh pendukungnya sendiri atau bahkan secara tidak sadar
atau sadar ingin dirahasiakan. Oleh karenanya untuk menggalinya tidak cukup dipergunakan
metode etnografi klasik (wawancara langsung dan pengamatan) saja. Untuk itu penelitian
antropologi psikologi harus meminjam metode yang telah di kembangkan para psikolog,
psikiater, dan psikoanalisis.
Test proyektif (projective test) adalah situasi yang secara relative tidak berstruktur,
namun bersifat standar, dimana orang yang di uji diminta untuk memberikan tanggapan secara
sebebas mungkin, tanpa diberi sugesti. Tanggapan (respons) terhadapa material test biasanya
dianalisa untuk karakteristik kepribadian, namun tanggapan tersebut dapat juga membuka tabir
dan modus kognisi tertentu. Untuk dapat melakukan interpretasi tanggapan-tanggapan material
test proyeksi memerlukan latihan yang banyak (English and English, 1959: 413).
Istilah proyeksi berasal dari ilmu psikoanalisa, dalam ilmu itu proyeksi termasuk dalam
salah satu bentuk dari mekanismie melindungi diri (defence mechanism). Menurut Sigmund
Freud (1924), mekanisme perlindungan diri ini adalah yang dipergunakan oleh penderita
paranoid untuk menghindari diri dari menyalahkan diri sendiri (self reproach) atau tidak percaya
pada diri sendiri (self distrust) dengan cara mengalamatkan (directing) kecenderungan-
kecenderungan itu pada orang lain.
Mekanisme symptom-formation dalam paranoia memerlukan agar persepsi-persepsi
dalam (inner perception) digantikan oleh persepsi luar (external perceptions). Akibatnya dalil
“saya benci dia” di ubah menjadi proyeksi yang lain yakni “dia benci” (hendak menghukum)
saya, yang menyebabkan saya patut membenci dia”. Sehingga mendorong perasaan tidak sadar
membuat penampilannya seakan-akan adalah sebagai dari persepsi luar “ saya tidak
mencintainya-saya membencinya, karena ia menghukum saya”. (Freud, 1958).
Terdapat banyak tes-tes proyeksi, dan pada umumnya menurut Gardner Lindzey dapat
digolongkan ke dalam lima kelompok besar, yakni :
1. Teknik-teknik asosiasi (association techniques yang termasuk dalam kelompok ini adalah
test Roscharch; gambar-gambar mega (cloud picture); dan teknik proyektif (auditory
apperception test).
2. Teknik-teknik membangun (contruction test); yang termasuk dalam kelompok ini adalah test
apersepsi tematik (thematic apperception tests) dan gambar-gambar Blacky (the blacky
pictures).
3. Teknik-teknik melengkapi (completion techniques) termasuk dalam kelompok ini adalah tes
melengkapi kalimat (the sentence completion test); dan kajian gambar frustasi (the picture-
frustation study)
4. Teknik-teknik pemilihan atau pengaturan (choice anda ordering techniques), yang termasuk
dalam kelomppok ini adalah: test Shondi (the Zsondy test); dari test penataan gambar (the
picture arragementest).
5. Teknik-teknik pengungkapan (expressive techniques), yang termasuk dalam kelompok ini
adalah taknik permainan (play techniques); teknik-teknik menggambar dan melukis
(drawing and painting techniques); dan psikodrama dan permainan watak (psychodrama
and role playing).
Ada beberapa test proyektif yang pernah dipergunakan para antropologi psikologi,
namun yang paling umu dipergunakan adalah Rorschach test dan thematic apperception test.

a. Tes Rorschach
Test ini disebut juga inkblot test karena gambar-gambar dari test ini memakai tinta. Cara
membuat tes ini adalah dengan cara meneteskan tinta tepat di garis lipatan secarik kertas. Yang
kemudian ditekan setelah dilipat kembali. Hasilnya adalah bentuk gambar yang simetris
bentuknya.
Pencipta test ini adalah seorang psikiater berkebangsaan Swiss, yang lahir pada tahun
1884 dan meninggal 1922. Ia termasuk seorang jenius yang meninggal dalam usia muda.
Ciptaannya ini kemudian diterbitkan sebagai buku, yang terbit dengan judul Psychodiagnostics:
a Diagnostic Tes Based ono Peception (1942) aslinya dalam bahasa Jerman diterbitkan pertama
kali pada 1921).
Test Rorschach mempergunakan sepuluh lembar kartu yang bergambarkan gambar
simetris dan noda tinta. Lima kartu diantaranya mempunyai gambar noda tintan berwarna hitam
dan abu-abu saja. Dua kartu lagi mendapat warna tambahan merah terang dan tiga kartu
selebihnya mempunyai gambar beraneka warna pastel.
Responden atau pasien psikiatri atau psikologi yang diperlihatkan kartu tersebut,
dimohon untuk menceritakan apa yang dipersentasikan pada atau oleh masing-masing kartu.
Selain mencatat semua keterangan yang diberikan secara lisan oleh responden, peneliti juga
diharuskan untuk mencatat waktu reaksi dan waktu total yang dipergunakan responden untuk
menaggapi suatu kartu. Sehingga untuk itu perlu dipergunakan arloji pencatat kecepatan waktu
(stop watch). Selain itu juga mencatat posisi dari kartu yang dipegang oleh seorang responden,
dan juga komentar spontannya, ekspresi emosionalnya, dan perilaku-perilaku insidental lainnya
yang dipertunjukkan responden, sewaktu menjalani tes tersebut.
Tes Rorschach juga dipergunakan dalam penelitian lintas budaya (cross cultural study)
hal ini disebabkan karena beberapa hal yakni :
1. Test Rorschach tidak mempersyaratkan bahwa responde harus melek huruf;
2. Test Rorschach tidak bersifat terikat oleh suatu kebudayaan (culture bound) karena tinta
tidak menggambarkan sesuatu yang tetap.
3. Test Rorschach dapat dipergunakan kepada responden dari segala usia.
Namun kesukarannya adalah bahwa : (1) untuk mengambil test Rorschach , pengetset
harus menguasai bahasa dari responde; (2) Untuk mengetes seorang responden, ia harus di
pisahkan dari orang lain, dan ini merupakan kendala bagi responden yang memiliki sifat pemalu.
Akhirnya perlu diingat bahwa seorang antropolog psikologi tidak dapat hanya bergantung
pada suatu test saja seperti test Rorschach, melainkan hasil penelitiannya harus juga ditunjang
oleh suatu metode penelitian lainnya, seperti informasi etnografis, pengamatan dan perilaku
responden yang sedang diteliti, data riwayat hidup responden dan juga mempergunakan tes-tes
proyeksi lainnya seperti thematic Apperception test dan sebagainya.

b. Test Apersepsi Tematik


Test Apersepsi Tematik (Thematic Aperception Test) atau yang biasa disingkat TAT
adalah tes proyektif yang diciptakan oleh Henry A. Murray, M.D dan staf dari klinik psikologi
Universitas Harvard. Tes aslinya terdiri dari 19 katu bergambar dan satu kartu blangko. Sebagian
dari gambar-gambar tersebut berasal dari reproduksi lukisan, dan sebagian lagi reproduksi dari
ilustrasi majalah. Beberapa gambar khsusus hanya diperuntukkan bagi responden laki-laki
beberapa gambar khusus untuk responden wanita, dan beberapa lagi khusus untuk responden
anak-anak.
Cara yang tradisional adalah mempertunjukkan seluruh 20 kartu TAT kepada seorang
responden yang kemudian diminta untuk mengarang 20 cerita bagi setiap gambar yang
dilihatnya (termasuk juga kartu blangko); yaitu apa yang terjadi dalam gambar tersebut. Selai itu
juga apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam gambar, dan apa akhir cerita.
Selain itu ada juga penelitian yang hanya mempergunakan beberapa saja, berdasarkan keperluan
penelitinya.
Kelemahan dari test ini adalah karena bersifat terikat oleh suatu kebudayaan (culture
bound), yakni kebudayaan barat. Hal ini disebabkan karena gambar yang dlukiskan di dalam
kartu-kartu adalah mengenai manusia dan kebudayaan barat. Sehingga tes ini tidak dapat
dipergunakan kepada responden yang tidak terpengaruh oleh kebudayaan secara intensif.

c. Tes Proyeksi Untuk Penelitian Antropologi Psikologi


Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tes-tes psikologi yang
asalnya diciptakan untuk keperluan di klinik, pada akhirnya juga di minati oleh peneliti ilmu
sosial lainnya seperti Antropologi Psikologi. Tentu saja bukan untuk tujuan penyembuhan atau
untuk mengatahui karakteristik suatu kelompok yang mempunyai kebudayaan yang sama. Jadi
yang ingin diketahui adalah struktur kepribadian dasar (basic personality structure) atau struktur
kepribadian rata-rata (modal personality structure). Jika kita mengingat kembali pada sejarah
perkembangan antropologi psikologi, maka tes-tes proyeksi telah pernah dicoba di lapangan
oleh antropologi seperti Cora DuBois pada saat mengadakan penelitian di Pulau Alor pada
tahun-tahun 1937-1939 (DuBois, 1961).
Dari kedua tes proyeksi tersebut yang lebih cocok untuk dipergunakan dalam penelitian
lintas budaya (cross cultural study), adalah test Rorschach. Hal itu disebabkan karena sifatnya
yang tidak terikat oleh suatu kebudyaaan khusus (cultural bound), sedangkan test TAT bersifat
culture bound.
Tes Rorschach dianggap sangat mudah untuk dipakai dalam menganalisa budaya, karena
tanggapan dapat diskoring dan hasil skorinya dapat dikuantitatifkan. Antropologi psikologi
Amerika George Wallace telah menganalisa protocol Rorschach dan orang-orang Indian
(Tuscarora dan South Carolina, AS 9wallace, 1952), untuk sampai pada modal personality dari
suku bangsa tersebut. Caranya dengan menggunakan test-test proyeksi untk keperluan tersebut
dengan jalan memilih suatu sample yang dianggap dapat mewakili kelompok yang akan diteliti.
Setiap individu dalam sampel diteliti satu per satu dengan menggunakan proyeksi yang telah
dipilih dan dengan mempergunakan prosedur pengambilan yang telah ditentukan untuk tes
tersebut.
Tes TAT dapat juga dipergunakan dalam penelitian lintas budaya, namun karena sifatnya
yang culture bound, maka perlu diadakan modifikasi-modifikasi atau adaptasi-adaptasi
mengenai gambar-gambarnya sehingga dapat dihayati oleh anggota-anggota suku bangsa yang
bukan berasal dari kebudayaan barat.
Menurut IA Hallowel (1956 dikutip dari Sadeli. (1977: 297-298) apabila test-test
proyeksi ingin digunakan untuk keperluan penelitian perbandingan lintas budaya, maka harus
ada beberapa persyaratan dasar yang harus dipenuhi, seperti :
1. Berdasarkan pertimbangan teoritis dan praktis stimuli test tersebut harus tidak dibatasi oleh
perbedaan kebudayaan (culture bound).
2. Tes tersebut harus dapat digunakan secara praktis dan dapat juga diperguanakan untuk orang-
orang yang secara teknologi dan ekonomi terbelakang. Hal ini berhungan dengan kondisi
pemeriksaaan yang tidak dapat dilaksanakan secara ketat seperti di dalam laboratorium
psikologis ataudi dalam klinik.
3. Test harus diambil dengan cara seragam, sehingga hasil yang diperoleh dari bermacam-
macam masyarakat diperbandingkan.
4. Tes harus dapat digunakan baik untuk orang dewasa maupun untuk anak-anak, sehingga
informasi mengenai pola-pola perkembangan kepribadian di salam bermacam-macam
masyarakat dapat diperbandingkan.
5. tes harus dapat menghasikan bata yang selain mencerminkan karakteristik kelompok, juga
menunjukkan variasi pola-pola kepribadian di dalam kelompok.

(3) Metode Mencatat Mimpi


Menurut john J. Honigman (1954: 119-120) ada dua alasan penting yang mendasari
pengumpulan mimpi seorang dalam penelitian ilmu Antropologi psikologi, yakni : (1) asumsi
bahwa mimpi-mimpi menggambarkan perilaku standar dari suatu masyarakat, yakni mimpi
seorang informan sebagian ditentukan oleh komunitas di mana ia menjadi anggotanya sehingga
merupakan bagian dari kebudyaanya; (2) Mimpi mengungkapkan gagasan-gagasan, perasaan-
perasaan dan keadaan-keadaan motivasi (motivationalk states) yang sukar diungkapkan secara
verbal oleh orang-orang karena keadaan-keadaan tersebut secara relative tidak disadari oleh
mereka yang memilikinya. Apabila keadaan-keadaan terselubung (covert states) tersebut juga
berpola kemasyarakatan, maka kesimpulan adalah bahwa mimpi-mimpi adalah pintu gerbang
penting untuk mengetahui seluk beluk dari kepribadian rata-rata suatu kolektif tertentu.
Untuk keperluan penginterpretasian mimpi-mimpi yang telah dicatat, perlu disertai
dengan keterangan asosiasi dari para informan yang kita kumpulkan mimpi-mimpinya
(dreamer’s as sociations). Bahan-bahan menenai asosiasi-asosiasi mimpi tersebut dapat
diperoleh dengan metode wawancara aktif maupun pasif.
Menurut Honigman (1954: 157-159) para psikolog biasanya memandangnya sebagai
lambang-lambang dari pola kepribadian terselubung (cover personality patterns) seperti angan-
angan, gagasan-gagasan atau perasaan-perasaan yang sukar diverbalisasikan oleh seorang
individu. Mimpi-mimpi dapat juga dinterpretasikan sebagai petunjuk mengenai pola-pola
kegiatan nyata (covert action patterns) yang bersifat karakteristik dari orang yang bermimpi.
Oleh karena itu, asosiasi pada mimpi (atau pengetahuan peneliti mengenai kejadian-kehjadian
yang berlangsung sebelum mimpi itu terjadi) dapat memberikan bantuan berharga pada
penginterpretasiannya. Walaupun demikian masih ada suatu maslaha yang tertinggal, yakni
bagaimana agar kita dapat mengetahui dengan tepat apakah penginterpretasian suatu mimpi itu
benar adanya ?.
Suatu program yang mengetes secara ilmiah menganai valuiditas dari interpretasi mimpi-
mimpi merupakan suatu pekerjaan yang rumit. Hal ini menjadi lebih sukar lagi karena karya-
karya semacam itu masih sedikit dihasilkan orang. Dua fase dan masalah tersebut sudah segera
dapat diketahui, yakni fase individu dan fase suatu kelompok. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa pola terselubung yang (melalui penginterpretasian) di kaitkan pada mimpi tertentu (atau
sebagian dari suatu mimpi) harus diuji seperti halnya konsep apa saja, dengan
mempostulasikannya. Mimpi-mimpi dapat dianggap merefleksikan cara-cara (modes) karakter
dan kegiatan yang dapat diamati, yang dapat dibuktikan dengan melihat apakah perilaku nyata
(overt behavior) itu benar-benar terjadi.
Tiga langkah dapat dibedakan dalam ,melakukan verifikasi terhadap mimpi :
1. Apabila ada beberapa bentuk menonjol (feature) dan mimpi seseorang informan
diinterpretasikan sebagai pengembalian pada suatu keadaan, yang relative diterima
(postulate) dan suatu motivasi, maka kesahihan dan interpretasinya memerlukan ramalan
yang benar mengenai akibat nyata (overt consequence) dari postulate tersebut.
2. Suatu interpretasi akan menjadi sahih bagi dua atau lebih individu dari komunitas yang sama,
apabila bentuk menonjol dari mimpi yang sama, dapat dihubungkan pada konsep yang sama
dengan jalan postulasi, yang selanjutnya mempunyai akibat-akibat sama yang dapat diamati
di dalam setiap individu.
3. Suatu investasi akan menjadi sulit bagi dua atau lebih komunitas sehingga dapat mendekati
kesahihan universal apabila bentuk menonjol dari suatu mimpi dapat dihubungkan pada
konsep yang sama, dengan jalan mempostulasikannya pada setiap komunitas. Konsep dari
postulasi tersbut selanjutnya dihubungkan dengan akbat-akibat sama yang dapat
diperkirakan dan diamati di dalam setiap komunitas.

(4) Metode Survei Lintas Budaya


Metode survey lintas budaya (cross-cultural survey) berhubungan erat dengan kajian-
kajian korelasi (correlation studies). Penelitian yang mempergunakan metode semacam ini,
pada mulanya tidak mempergunakan penelitian di lapangan (fieldwork). Hal ini disebabkan
karena data-data yang dikumpulkan diambil dari Human Relation Area Files (HRAF) dan kadang
ditambah dengan data-data dari sumber lain. Tetapi kemudian ada juga yang sama sekali tidak
mempergunakan HRAF lagi. Hal ini karena data-data yang berada dalam HRAF sudah kuno
serta ada yang tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi secara ilmiah cara pengumpulannya.
HRAF yang dikembangkan oleh The Yale Cross-Cultural Survey, dibawah bimbingan
George Peter Murdock, adalah sebuah system kartu (archive) yang luas sekali. HRAF
mengandung data-data etnografi dan beberapa ratus masyarakat dari daerah kebudayaan (culture
area) yang berbeda. Sistem kartu tersebut disusun sedemikian baik sehingga orang dengan cepat
mencari data yang diingini setelah mempelajari system kodenya, yaitu bagi mereka yang ingin
mencari teknik perikanan dan suku-suku bangsa Yurok, Tikopia, dan Ainu, maka ia dapat
mencari file ketiga suku bangsa itu, yang khsusu mengenai perikanan.
Cara ini lebih mudah dan prtaktis dari pada penelitian di perpustakaan. Hal ini
disebabkan karena HRAF mengabstraksikan bahan-bahan keterangan dari buku-buku atau
karya-karya etnografi dari bermacam-macam kebudayaan. Namun untuk memperoleh
kesimpulannya, orang harus menariknya dengan mempergunakan suatu metode perhitungan
statistik.
Sistem kartu ini memudahkan seseorang mencari korelasi hubungan yang acap kali
timbul di antara beberap unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa di dunia. Misalnya
matrilineal dengan kekuasaan paman (avunculusi). Ide ini dikembangkan oleh George Peter
Murdock berdasarkan konsep adhesion (melekat) dari E>B. Tylor. Konsep tersebut meliputi
beberapa hal : (a) ada hubungan reta secara organik maupun fungsional di antara dua unsur sosial
(social traits); (b) Kecenderungan adanya hubungan dua unsur (traits) kebudayaan fungsi.
Dengan perkataan lain jika ada unsur dalam satu kompleks kebudayaan, maka unsur yang laun
juga ada.
Penelitian yang tergantung pada HRAF saja, sudah tentu ada kelemahannya dan ini
seudah disadari oleh para antropologi psikologi yang meneliti cara pengasuhan anak dengan
cara survey lintas budaya. Oleh sebab itu, maka john W.M. Whiting, Irvin S. Child, dan William
W. Lambert, masing-masing dari universitas-universitas Harvard, Yale, dan Cornell, telah
mengadakan proyek gabungan dari tiga universitas mereka untuk mengadakan penelitian cara
pengasuhan anak secara lintas budaya. Namun bukan dengan cara mencari data di HRAF,
melainkan langsung di lapangan. Proyek penelitian mereka itu di biayai oleh Social Research
Council, sebuayh divide ilmu perilaku dari Ford Foundation dan United States Public Grant.
(Whiting, B.B., 1964: v)
Untuk maksud tersebut telah diadakan penelitian mengenai kolektif-kolektif dari enam
daerah di dunia, yaitu :
1. Nyangsongo, suatu komunirtas Gussi di Negara Kenya, yang dilaksanakan oleh suami istri
Robert A, dan Barbara S. Le Vine.
2. Suku Rajput dari Khalapur di India, yang dilaksanakan oleh Leight Minturn dan John T.
Hitchock.
3. Orang Desa Taira dari Okinawa, yang dilaksanakan oleh suami istri Thomas W dan Hatsumi
Maretzki.
4. Orang Mixtecans dari Juxtlahuaca di Mexico, yang dilakukan oleh suami istri Kimbalt dan
Romaine Romney.
5. Orang Desa Tarong di Filipina, yang dilaksanakan oleh sepasang suami istri William F dan
Corime Nydegger.
6. Orang New England dari Kota Orchard Town AS, yang dilaksanakan oleh suami istri John L.
dan Ann Fischer.
Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian cara pengasuhan anak di keenam
kebudayaan tersebut, adalah apa yang disebut sebagai sepuluh “system” tingkah laku (System” of
behavior) dari John Whiting, Irvin S. Child dan kawan-kawan, yang duiterbitkan dalam buku
mereka yang berjudul Field Guide for a Study Socialization, (1966: 9-11, 78-81). Adapun system
kelakuan tersebut antara lain :
1. Tingklah laku yang bersifat selalu minta dilayani (succorancei).
2. Tingkah laku yang bersifat suka mengunkapkan perasaan (expressiveness).
3. Tingkah laku yang bersifat suka bergantung pada kemampuan diri sendiri (self reliancei).
4. Tingkah laku yang bersifat mempunyai rasa tanggung jawab (responsibility).
5. Tingkah laku yang bersifat ingin mencapai sesuatu yang lebih baik (achievement-oriented
behavior).
6. Tingkah laku yang bersifat patuh pada orang tua atau pemimpin (obedience).
7. Tingkah laku yang bersifat gemar menolong orang lain, yang sedang mengalami kesukaran
(nuture).
8. Tingkah laku yang ingin menguasai orang lain (dominance).
9. Tingkah laku yang bersifat keramahan di dalam pergaulan (sociability).
10. Tingkah laku yang bersifat suka menyerang (aggression), baik sebagai akibat ancaman dari
luar (threat aggression) maupun yang bersifat menurut kesempatan (opportunity aggression).
Metode penelitian yang dikembangkan oleh Whiting Child dan kawan-kawan, kemudian
juga diterapkan di Indonesia oleh james Dananjaja (1980) ketika meneliti cara pengasuhan anak
di Desa Trunyan, di Pulau Bali untuk penulisan disertasinya.

(5) Metode Mempergunakan Folklor Sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi

Untuk kepentingan ilmu Antropologi Psikologi Indonesia, yang hendak mempergunakan


bahan-bahan folklore dalam penelitiannya, maka yang harus difokuskan adalah aspek tata
kelakuan manusia yang secara kongkrit berupa cita-cita, norma-norma, pandangan-pandangan,
hukun-hukum, aturan-aturan, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap dan sebagainya.
Keterangan mengenai tata kelakuan suku-suku bangsa itu dapat berupa yang formal
tertulis, maupun informal tidak tertulis, maka cara penelitian pun dapat berbeda. Untuk bahan
yang tertulis dapat langsung kita teliti dari naskah-naskah tertulis sehingga secara relative lebih
mudah. Tetapi untuk bahan yang tidak tertulis, prosesnya lebih sukar karena harus kita korek
langsung dari warga suku bangsa bersangkutan. Prosesnya menjadi semakin sukar karena
banyak diantara tata kelakuan yang “terselubung” (covert) dan tidak “terbuka” (covert). Keadan
ini terutama berlaku pada tata kelakuan yang berbentuk cita-cita, pandangan hidup, keyakinan,
nilai budaya dan sebagainya, yang sering kali tidak dapat dirumuskan dengan jernih oleh
pendukungnya sendiri melainkan harus dirumuskan oleh penelitinya. Hal itu dilakukan dengan
mempergunakan metode analisa yang dikembangkan oleh para ahli psikologi atau psikoanalisa
yang berupa tes-tes proyeksi dan sebagainya.
Objek-objek yang dapat digunakan sebagai bahan analisa untuk mengetahui tata kelakuan
itu macam-macam, namun salaah satu yang paling sahih adalah bentuk-bentuk folklore dari
suku-suku bangsa atau kolektif yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena folklor
mengunkapkan kepada kita secara terselubung (seperti dalam dongeng) atau secara gambling
(seperti pada peribahasa), bagaimana folknya berfikir. Selain itu juga melalui folklore suatu
kolektif yang mengabadikan atau mengungkapkan apa yang dirasakan penting baginya pada
suatu masa. Hal ini berbeda sekali dengan etnografi, karena suatu etnografi lebih merupakan
hasil rekonstruksi dari budaya suatu suku bangsa oleh openelitinya. Sehingga apa yang dijadikan
atau diungkapkan sebenarnya adalah bukan yang dirasakan penting untuk ditonjolkan dan
disajikan pendukung budaya (Dananjaja, 1984: 17, catatan kaki nomor 14).
Folklor yang dimaksud di sini adalah bagian kebudayaan dari berbagai kolektif di dunia
pada umumnya dan pada khususnya Indonesia, yang disebarkan turun-temurun di atara kolektif-
kolektif bersangkutan, baik bdalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Dananjaja, 1984: 2).
Bagian dari kebudayaan yang disebut folklore itu dapat berupa bahasa rakyat; ungkapan
tradisional (peribahasa, pepatah dan lain-lain), teka-teki; cerita prosa rakyat seperti mite, legenda
dan dongeng (termasuk lelucon dan anekdot); nyanyian rakyat; teater rakyat; permainan rakyat;
kepercayaan /keyakinan rakyat; arsitektur rakyat; seni rupa dan seni lukis rakyat; musik rakyat,
gerak isyarat (gesture) dan sebagainya.
Bentuk-bentuk folklore tersebut dapat dijadikan bahan untuk penganalisaan tata
kelakuan kolektif pendukungnya, karena mereka masing-masing mempunyai beberapa fungsi,
yang menurut William R. bascom ada empat : (1) sebagai system proyeksi, (2) sebagai alat
pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pedagogic, dan (4) sebagai alat pemaksa berlakunya
norma masyarakat dan pengendalian masyarakat (Bascom, 1965).
Sebagai sistem proyeksi, contohnya di Indonesia adalah dongeng “bawang Putih dan
bawang Merah” dari Jakarta dan dongeng “Joko Kendil” dari Jawa Tengah dan Jawa Timur,
yang sebenarnya menurut penganut psikoanalisa adalah proyeksi angan-angan terpendam para
remaja dari kalangan rakyat jelata yang miskin, untuk dapat hidup senang melalui pernikahan
dengan keluarga bangsawan atau kaya raya.
Dalam menganalisa suatu folklore, untuk mencari tata kelakuan penduduknya, kita tidak
dapat melepaskannya dari konteks kebudayaannya serta pendapat penduduknyayakni antara lain
pendapat mereka mengenai baik buruknya folklore tersebut (oral literaty criticm).
Penggunaan bahan folklore untuk penelitian antropologi psikologi ada kelemahannya
apabila bahan-bahan tersebut dipergunakan terlepas dari konteksnya. Hal ini pernah dikonstantir
oleh pendukung antropologi psikologi AS Victor Barnouw (1967: 303-306). Menurut Barnouw
ada tiga keberatan yang dapat diajukan dalam rangka penggunaan bahan-bahan folklore untuk
memepelajari tata kelakuan suatu kolektif. Pertama adalah bahwa folklore dapat mencerminkan
pola kebudyaan dan opola kepribadian dari tahap permulaan perkembangan sejarah suatu
masyarakat, dan bukan dari masa kini. Kedua adalah bahwa folklore dapat tersebar (diffuse)
secara luas dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain. Ketiga adalah bahwa orang tidak
dapat mengatakan dengan pasti apakah suatu tema atau motif cerita tersebut mengungkapkan
pola karakteristik dari dalam suatu kebudayaan, atau ia hanya membayangkan unsur-unsur
keinginan (wish elements), atau perilaku yang bertolak belakang dengan kecenderungan tak sadar
yang kuat (reaction formations) belaka.
Mengenai yang pertama, yakni bahwa folklore dapat mencerminkan pola kebudayaan
dan pola kepribadian, dari tahap permulaan sejarah perkembangan suatu masyarakat, dan bukan
dari masa kini adalah misalnya dongeng: “ Ande-Ande Lumut” tersebut di atas. Dongeng
tersebut ada kemungkinan besar mencerminkan pola kebudayaan serta pola kepribadian orang
Jawa kebanyakan, dari zaman sebelum perang dunia kedua dan bukan dari masa kini setelah
kemerdekaan RI.
Mengenai yang kedua, yakni bahwa folklore dapat tersebar dari suatu masyarakat ke
masyarakat lain. Dalam arti bukan merupakan pribumi. Contohnya di Indonesia, dongeng Sam
Pek Eng Tay yang merupakan repertoar popular dari teater rakyat ketoprak Jawa (lihat Dandjaja,
1983: 80-89). Dari judul dongeng tersebut sudah terang bahwa ia berasal dari negeri Cina.
Mengenai yang ketiga, yakni orang tak dapat mengatakan dengan pasti, apakah suatu tema atau
motif tertentu mengungkapkan pola khas dari dalam suatu kebudayaan atau hanya
membayangkan unsur-unsur keinginan (wish element) perilaku yang bertolak belakang dengan
kecenderungan tak sadar yang kuat (reaction formation)adalah misalnya legenda ‘sang Kuriang”
atau “Tangkuban Perahu”, yang tokohnya melakukan kawin sumbang (incest) dengan ibu
kandungnya sendiri, sudah tentu bukan pola karakteristik orang Sunda, melainkan suatu unsure
keinginan terpendam yang bertipe-ceritakan (tale-type) Oedipus Complex.

Sumber :
James Danandjaja (1988) Antropologi Psikologi (hal 101-169), Jakarta, Rajawali Press.

Anda mungkin juga menyukai