Anda di halaman 1dari 35

Psikologi adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari

mengenai perilaku dan fungsi mentalmanusia secara ilmiah[1]. Para praktisi dalam bidang psikologi
disebut para psikolog. Para psikolog berusaha mempelajari peran fungsi mental dalam perilaku
individu maupun kelompok, selain juga mempelajari tentang proses fisiologis danneurobiologis yang
mendasari perilaku.

Etimologi[sunting | sunting sumber]


Menurut asal katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno: "" (Psych yang berarti jiwa)
dan "-" (-logia yang artinya ilmu, sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan
dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa.

Sejarah psikologi[sunting | sunting sumber]


Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Konsep
psikologi dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Psikologi memiliki akar dari bidang
ilmu filosofi yang diprakarsai sejak zaman Aristoteles sebagai ilmu jiwa, yaitu ilmu untuk kekuatan
hidup (levens beginsel). Aristoteles memandang ilmu jiwa sebagai ilmu yang mempelajari gejala -
gejala kehidupan. Jiwa adalah unsur kehidupan (Anima), karena itu tiap - tiap makhluk hidup
mempunyai jiwa.[2] Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan
intelektual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika. [3]

Psikologi sebagai ilmu pengetahuan[sunting | sunting sumber]


Walaupun sejak dulu telah ada pemikiran tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun
waktu bersamaan dengan adanya pemikiran tentang ilmu yang mempelajari alam, akan tetapi
karena kerumitan dan kedinamisan manusia untuk dipahami, maka psikologi baru tercipta sebagai
ilmu sejak akhir 1800-an yaitu sewaktu Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama
didunia.

Laboratorium Wundt

Pada tahun 1879 Wilhem Wundt mendirikan laboratorium Psikologi pertama di University of
Leipzig, Jerman. Ditandai oleh berdirinya laboratorium ini, maka metode ilmiah untuk lebih
memahami manusia telah ditemukan walau tidak terlalu memadai. dengan berdirinya laboratorium
ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya
laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan.

Metode psikologi[sunting | sunting sumber]


Beberapa metodologi dalam psikologi, di antaranya sebagai berikut :

1. Metodologi Eksperimental
Cara ini dilakukan biasanya di dalam laboratorium dengan mengadakan berbagai
eksperimen.[4] Peneliti mempunyai kontrol sepenuhnya terhadap jalannya suatu eksperimen.
Yaitu menentukan akan melakukan apa pada sesuatu yang akan ditelitinya, kapan akan
melakukan penelitian, seberapa sering melakukan penelitiannya, dan sebagainya. Pada
metode eksperimental, maka sifat subjektivitas dari metode introspeksi akan dapat diatasi.
Pada metode instrospeksi murni hanya diri peneliti yang menjadi objek. Tetapi pada
instrospeksi eksperimental jumlah subjek banyak, yaitu orang - orang yang dieksperimentasi
itu. Dengan luasnya atau banyaknya subjek penelitian maka hasil yang didapatkan akan
lebih objektif[2]. Metode penelitian umumnya dimulai dengan hipotesis yakni
prediksi/peramalan, percabangan dari teori, diuraikan dan dirumuskan sehingga bisa
diujicobakan[5]
2. Observasi Ilmiah

Pada pengamatan ilmiah, suatu hal pada situasi-situasi yang ditimbulkan tidak dengan
sengaja. Melainkan dengan proses ilmiah dan secara spontan. Observasi alamiah ini dapat
diterapkan pula pada tingkah laku yang lain, misalnya saja : tingkah laku orang-orang yang
berada di toko serba ada, tingkah laku pengendara kendaraan bermotor dijalan raya, tingkah
laku anak yang sedang bermain, perilaku orang dalam bencana alam, dan sebagainya.
3. Sejarah Kehidupan (metode biografi)

Sejarah kehidupan seseorang dapat merupakan sumber data yang penting untuk lebih
mengetahui jiwa orang yang bersangkutan, misalnya dari cerita ibunya, seorang anak yang
tidak naik kelas mungkin diketahui bahwa dia bukannya kurang pandai tetapi minatnya sejak
kecil memang dibidang musik sehingga dia tidak cukup serius untuk mengikuti pendidikan di
sekolahnya.[4] Dalam metode ini orang menguraikan tentang keadaaan, sikap - sikap
ataupun sifat lain mengenai orang yang bersangkutan [2]. Pada metode ini disamping
mempunyai keuntungan juga mempunyai kelemahan, yaitu tidak jarang metode ini bersifat
subjektif [2]. Sejarah kehidupan dapat disusun melalui 2 cara yaitu: pembuatan buku harian
dan rekonstruksi biografi[6]
4. Wawancara

Wawancara merupakan tanya jawab si pemeriksa dan orang yang diperiksa. Agar orang
diperiksa itu dapat menemukan isi hatinya itu sendiri, pandangan-pandangannya,
pendapatnya dan lain-lain sedemikian rupa sehingga orang yang mewawancarai dapat
menggali semua informasi yang dibutuhkan.Baik angket atau interview keduanya
mempunyai persamaan, tetapi berbeda dalam cara penyajiannya. Keuntungan interview
dibandingkan dengan angket [2] yaitu:

1. Pada interview apabila terdapat hal yang kurang jelas maka dapat diperjelas
2. interviwer(penanya) dapat menyesuaikan dengan suasana hati interviwee
( responden yang ditanyai)

3. Terdapat interaksi langsung berupa face to face sehingga diharapkan dapat


membina hubungan yang baik saat proses interview dilakukan.

ada beberapa teknik wawancara yaitu: wawancara bebas, wawancara terarah, wawancara terbuka
dan wawancara tertutup[7]

1. Angket

Angket merupakan wawancara dalam bentuk tertulis. Semua pertanyaan telah di susun
secara tertulis pada lembar-lembar pertanyaan itu, dan orang yang diwawancarai tinggal
membaca pertanyaan yang diajukan, lalu menjawabnya secara tertulis pula. Jawaban-
jawabannya akan dianalisis untuk mengetahui hal-hal yang diselidiki. Angket ini juga
terdapat keuntungan dan kelemahannya.[7]
2. Pemeriksaan Psikologi

Dalam bahasa populernya pemeriksaan psikologi disebut juga dengan psikotes Metode ini
menggunakan alat-alat psikodiagnostik tertentu yang hanya dapat digunakan oleh para ahli
yang benar-benar sudah terlatih. alat-alat itu dapat dipergunakan unntuk mengukur dan
untuk mengetahui taraf kecerdasan seseorang, arah minat seseorang, sikap seseorang,
struktur kepribadian seeorang, dan lain-lain dari orang yang diperiksa itu. [4] Metode
pemeriksaan psikologis lain yang bersifat individual adalah tes proyektif kepribadian yakni
seseorang diperlihatkan stimuli ambigu dan ia diminta untuk menceritakannya [7]
3. Metode Analisis Karya

Dilakukan dengan cara menganalisis hasil karya seperti gambar - gambar, buku harian atau
karangan yang telah dibuat. Hal ini karena karya dapat dianggap sebagai pencetus dari
keadaan jiwa seseorang [2].
4. Metode Statistik

Umumnya digunakan dengan cara mengumpulkan data atau materi dalam penelitian lalu
mengadakan penganalisaan terhadap hasil; yang telah didapat [2].

Metode Psikologi Perkembangan[sunting | sunting sumber]


Pada Metode Psikologi Perkembangan memiliki 2 metode, yaitu metode umum dan metode khusus.
pada metode umum ini pendekatan yang dipakai dengan pendekatan longitudinal, transversal, dan
lintas budaya. Dari pendekatan ini terlihat adanya data yang diperoleh secara keseluruhan
perkembangan atau hanya beberapa aspek saja dan bisa juga melihat dengan berbagai faktor dari
bawaan dan lingkungan khususnya kebudayaan. [8] Sedangkan pada metode khusus merupakan
suatu metode yang akan diselidiki dengan suatu proses alat atau perhitungan yang cermat dan
pasti. Dalam pendekatan ini dapat digunakan dengan pendekatan eksperimen dan pengamatan. [8]

Psikologi kontemporer[sunting | sunting sumber]


Diawali pada abad ke 19, di mana saat itu berkembang 2 teori dalam menjelaskan tingkah laku,
yaitu:

Psikologi Fakultas
Psikologi fakultas adalah doktrin abad 19 tentang adanya kekuatan mental bawaan, menurut
teori ini, kemampuan psikologi terkotak-kotak dalam beberapa fakultas yang meliputi
berpikir, merasa, dan berkeinginan. Fakultas ini terbagi lagi menjadi beberapa subfakultas.
Kita mengingat melalui subfakultas memori, pembayangan melalui subfakultas imaginer, dan
sebagainya.
Psikologi Asosiasi
Bagian dari psikologi kontemporer abad 19 yang mempercayai bahwa proses psikologi pada
dasarnya adalah asosiasi ide yaitu bahwa ide masuk melalui alat indera dan diasosiasikan
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu seperti kemiripan, kontras, dan kedekatan.

Fungsi psikologi sebagai ilmu[sunting | sunting sumber]


Psikologi memiliki tiga fungsi sebagai ilmu yaitu:

Menjelaskan, yaitu mampu menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu
terjadi. Hasilnya penjelasan berupa deskripsi atau bahasan yang bersifat deskriptif

Memprediksikan, Yaitu mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan


mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasil prediksi berupa prognosa, prediksi atauestimasi

Pengendalian, Yaitu mengendalikan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan.


Perwujudannya berupa tindakan yang sifatnya preventif atau
pencegahan, intervensi atautreatment serta rehabilitasi atau perawatan.
Pendekatan perilaku[sunting | sunting sumber]
Pendekatan perilaku, pada dasarnya tingkah laku adalah respon atas stimulus yang datang.
Secara sederhana dapat digambarkan dalam model S - R atau suatu kaitan Stimulus -
Respon. Ini berarti tingkah laku itu seperti reflek tanpa kerja mental sama sekali.

Pendekatan kognitif[sunting | sunting sumber]


Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, di
mana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan
menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu menerima stimulus lalu
melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.

Pendekatan psikoanalisa[sunting | sunting sumber]

pendekatan Psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmund Freud

Semenjak tahun 1890an sampai kematiannya di 1939, dokter


berkebangsaan Austria bernama Sigmund Freud mengembangkan metode psikoterapi yang
dikenal dengan nama psikoanalisis. Pemahaman Freud tentang pikiran didasarkan pada
metode penafsiran, introspeksi, dan pengamatan klinis, serta terfokus pada menyelesaikan
konflik alam bawah sadar, ketegangan mental, dan gangguan psikis lainnya. Sigmund
Freud meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar.
Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan,
impuls, atau dorongan.

Teori tentang Psikoanalisa selain sangat terkenal, juga sangat kontroversial. Hal ini
terutama dikarenakan teorinya menyinggung topik-topik seperti seksualitas dan alam bawah
sadar. Topik-topik tersebut masih dianggap sangat tabu pada masa itu, dan Freud
memberikan katalis untuk mendiskusikan topik tersebut secara terbuka di masyarakat
beradab. Selain itu banyak pula orang yang menolak teorinya yang dianggap merendahkan
martabat manusia.

Pendekatan fenomenologi[sunting | sunting sumber]


Pendekatan fenomenologi ini lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif individu
karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan
dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang
menyangkutkesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang
selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.

Kajian psikologi[sunting | sunting sumber]


Psikologi adalah ilmu yang luas dan ambisius, dilengkapi oleh biologi dan ilmu saraf pada
perbatasannya dengan ilmu alam dan dilengkapi oleh sosiologi dan anthropologi pada
perbatasannya dengan ilmu sosial. Beberapa kajian ilmu psikologi diantaranya adalah:

Psikologi perkembangan[sunting | sunting sumber]


Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari perkembangan manusia dan faktor-faktor
yang membentuk prilaku seseorang sejak lahir sampai lanjut usia. Psikologi perkembangan
berkaitan erat dengan psikologi sosial, karena sebagian besar perkembangan terjadi dalam
konteks adanya interaksi sosial. Dan juga berkaitan erat denganpsikologi kepribadian,
karena perkembangan individu dapat membentuk kepribadian khas dari individu tersebut

Psikologi sosial[sunting | sunting sumber]


Bidang ini mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu :

studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya : studi


tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi (sifat)

studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku
meniru dan lain-lain

studi tentang interaksi kelompok, misalnya kepemimpinan, komunikasi hubungan


kekuasaan, kerjasama dalam kelompok, dan persaingan.
Psikologi kepribadian[sunting | sunting sumber]
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, psikologi kepribadian berkaitan erat
dengan psikologi perkembangan dan psikologi sosial, karena kepribadian adalah hasil
dari perkembangan individu sejak masih kecil dan bagaimana cara individu itu sendiri
dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya.

Psikologi kognitif[sunting | sunting sumber]


Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari kemampuan kognisi, seperti: Persepsi,
proses belajar, kemampuan memori, atensi, kemampuan bahasa dan emosi.
Wilayah terapan psikologi[sunting | sunting sumber]
Wilayah terapan psikologi adalah wilayah-wilayah di mana kajian psikologi dapat
diterapkan. walaupun demikian, belum terbiasanya orang-
orang Indonesia dengan spesialisasimembuat wilayah terapan ini rancu, misalnya,
seorang ahli psikologi pendidikan mungkin saja bekerja pada HRD sebuah perusahaan,
atau sebaliknya.

Psikologi pendidikan[sunting | sunting sumber]


Psikologi pendidikan berusaha menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik
dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, dan emosi. Yang bertujuan
untuk membentuk mind set anak

Psikologi industri dan organisasi[sunting | sunting sumber]


Psikologi industri memfokuskan pada menggembangan, mengevaluasi dan
memprediksi kinerja suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh individu, sedangkan psikologi
organisasimempelajari bagaimana suatu organisasi memengaruhi dan berinteraksi
dengan anggota-anggotanya

Psikologi kerekayasaan[sunting | sunting sumber]


Penerapan psikologi yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dan mesin untuk
meminimalisasikan kesalahan manusia ketika berhubungan dengan mesin (human
error)

Psikologi klinis[sunting | sunting sumber]


Adalah bidang studi psikologi dan juga penerapan psikologi dalam memahami,
mencegah dan memulihkan keadaan psikologis individu ke ambang normal.

Kritik psikologi[sunting | sunting sumber]


Berdasarkan pengertian di atas kita diharuskan mengetahui perbedaan budaya kita
dengan budaya pada saat psikologi muncul sebagai ilmu pengetahuan. Apakah kajian
ilmu tersebut sesuai dengan kebudayaan kita ataukah ada berbedaan di dalamnya.
Misalkan, ketika kita adalah suku pedalaman yang masih menggunakan cara berburu
dalam kehidupan sehari-hari maka berburu bisa menjadi tolak ukur kecerdasan kita
sebagai masyarakat pedalaman, bukan dilihat dari bagaimana kecerdasan itu diukur
dari bisa dan tidaknya kita menghitung matematika, menjawab soal-soal ujian,
menjawab serangkaian tes kecerdasan dan lain-lain. Kesesuaian teori psikologi dengan
kebudayaan kita itulah yang benar-benar harus kita pahami, sehingga teori-teori
tersebut adalah teori yang benar-benar relevan dengan kebudayaan dan diri kita
sebagai manusia.[9]
https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi

Sekolah Diminta Antisipasi Kesalahan Teknis


UN CBT
DPRD Surabaya mengingatkan sekolah yang akan melaksanakan ujian nasional (UN) secara online
atau menggunakan computer base test (CBT), agar melakukan persiapan semaksimal mungkin.
Terutama kesiapan secara teknis. Seperti ketersediaan komputer yang masih sehat dan lainnya.
Permintaan wakil rakyat ini bukan tanpa alasan. Jika persiapan teknis tidak matang, pada waktu
pelaksanaan kemungkinan muncul gangguan teknis.

Di antaranya kesalahan formulir data peserta, komputer yang loading lama, bahkan aliran listrik
yang sewaktu-waktu bisa mati. Kalau listriknya mati, maka ini gangguan yang cukup fatal, waktu
pengerjaan soal-soal akan tersita, ujar Wakil Ketua DPRD Surabaya, Masduki Toha.

Politisi asal fraksi PKB ini menerangkan, di Surabaya ada sekitar 54 sekolah yang mengaku siap
melaksanakan UN melalui sistem CBT. Meski begitu, Masduki merasa, pelaksanaan UN secara
online cukup berat. Karena bisa jadi, ada kendala teknis yang terjadi sewaktu-waktu yang akan
mengganggu mental perserta UN.

Masduki menegaskan, pelaksanaan UN secara online membawa dampak psikologis terhadap


siswa. Mental siswa menjadi taruhan utama dalam pelaksanaan UN. Selama ini, UN secara manual
sudah cukup membuat psikologis anak terganggu. Apalagi saat ini harus mengerjakan secara
online.
Kejadian yang paling ironis, ada anak yang ketika masuk ruangan mentalnya langsung down, lah
sekarang pakai online, apa ndak tambah drop. Makanya sering terjadi nilai anak yang mengikuti
ujian dari rumah sakit dan di penjara nilainya lebih bagus, karena tekanan mentalnya tidak seberat
mengerjakan di kelas, tuturnya.

Dia memandang, pelaksanaan UN tahun ini seperti perang. Perang mental dalam mempersiapkan
siswa mengikutinya. Karena itu, Masduki meminta para guru dan wali murid memberi pengertian.
Bahwa murid-murid itu wajib diberi pengertian, jangan ditakut-takuti, mereka harus ditenangkan
dulu supaya ketika mengikuti UN bisa rileks, jelasnya.

Wakil Ketua Komisi D, Junaedi meminta pihak sekolah tidak memaksakan diri menyelenggarakan
UN secara online jika tidak benar-benar siap. Junaedi menyarankan para guru berkonsentrasi pada
hasil yang akan dicapai oleh siswa dalam UN 2015. Untuk apa hanya disibukkan oleh persiapan
dan kesiapan penyelenggaraan UN online, jika ternyata hasil siswanya jeblok.
Sesuatu yang dipaksakan tentu akan berakibat tidak baik dalam segala hal, terangnya.

Kekhawatiran Junaedi bukan tanpa alasan. Hasil inspeksi mendadak (sidak) Komisi D, beberapa
sekolah masih memaksakan diri untuk menyelenggarakan UN online. Persoalan ini memang
menimbulkan dikotomi di antara sekolah, saya hanya khawatir ada beberapa sekolah yang
memaksakan diri hanya karena faktor gengsi, sementara persiapan dan kesiapan penunjangnya
belum memadai. Saya mendapatkan info jika ada sekolah di Bandung yang akhirnya mengundurkan
diri lantaran merasa tidak benar-benar siap, jelasnya.

Komisi yang membidangi kesejahteraan masyarakat (kesra) ini meminta agar Dinas Pendidikan
(Dindik) Surabaya membentuk tim khusus untuk verifikasi kesiapan dan persiapan sekolah. UN
online pertama kali dilaksanakan, keberadaan tim khusus ini penting untuk melakukan antisipasi.
Jika tidak, saya menangkap adanya kesan lempar tanggung jawab jika terjadi sesuatu karena
sekolah yang tanggung jawab. Lantas dimana peran Dindik? tegasnya.

Namun Komisi D akan tetap konsisten mendorong seluruh sekolah di Surabaya agar siap
menggelar. Komisi D juga akan melakukan evaluasi terhadap UN online pasca pelaksanaan nanti.
Kriteria sekolah yang bisa menyelenggarakan UN online harus mempunyai perangkat yang sesuai
dengan ketentuan. Di antaranya, central processing unit (CPU) atau prosesornya minimal dual core
dengan speed 2,4 GHz, RAM minimal 4 Gb, HDD SATA minimal 40 GB, 2 port ethernet card.
Sementara untuk server software, menggunakan sistem operasi Edubuntu 14.04, LTSP Enable dan
tanpa root password. (adv/arn)
http://www.beritametro.co.id/advertorial/sekolah-diminta-antisipasi-kesalahan-
teknis-un-cbt

Ujian Nasional: Fakta, Permasalahan, dan Dampaknya Tingkat NasionalPosted on10 March,
2015byadminOleh: Pusat Kajian Pendidikan Indonesia,Kementrian Pendidikan BEM REMA UPI
2015Tanggal Kajian: 4 Maret 2015

Fakta-Fakta Ujian NasionalUjian Nasional atau ujian negara pertama kali diadakan pada sekitar
tahun 1965, ujian ini dulu dijadikan patokan kelulusan. Seiring berjalannya waktu pada tahun 1980
ujian ini lebih dikenaldengan nama EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Sedangkan
pada tahun 2000, ujian ini berganti nama lagi menjadi UAN (Ujian Akhir Nasional), namun sekarang
kita mengenal ujian tingkat nasional ini dengan nama UN (Ujian Nasional).Ujian Nasional
merupakan alat evaluasi untuk mengetahui kemampuan kognitif siswa di seluruh Indonesia dari
jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan sederajat. Tujuan pemerintah
melaksanakan program evaluasitingkat nasional ini adalah agar Indonesia memiliki standar penilaian
yang bertaraf nasional karena dipandang Indonesia adalah Negara besar yang terdiri dari beberapa
kepulauan maka seyogyanya memiliki standar penilaian setingkat nasional.Jika melihat tujuan
pemerintah yang seperti itu maka penyaji sepakat dan setuju dengan diselenggarakannya ujian
nasional. Namun pada kenyataannya, ujian nasional kinidiwarnai oleh kepentingan politik semata.
Penerapan ujian nasional tidak semulus tujuan yang dimaksudkan oleh pemerintah.Pemerintah
menjadikan ujian nasional ini sebagai syarat kelulusan sekolah di masing-masing jenjang
pendidikan. Namun kembali mengingat bahwa ujian nasional hanya menilai kemampuan kognitif.
Relevankah jika ujian nasional dijadikan standar penilaian yang menilai salah satu aspek
kemampuan siswa saja? Padahal di dalam diri siswa masih ada kemampuan afektif dan psikomotor
yang belum ternilai hanya dengan ujian nasional.Bukankah dalam Undang-Undang SISDIKNAS
pasal 65 dan 66 menyebutkan yang pada intinya menyatakan bahwa yang berhak menilai dan
menentukan kelulusan adalah pihak sekolah? Karena pihak sekolah lah yang setiap hari berinteraksi
dengan siswa otomatis mereka mengetahui kemempuan yang dimiliki peserta didiknya.Fakta lain
mengenai ujian nasional 2015 yaitu munculnya isu bahwa hasil Ujian Nasional dijadikan salah satu
syarat masuk perguruan tinggi. Lalu bagaimana dengan masalah kesetaraan?Dan lagi muncul alat
evaluasi baru tingkat nasionalnon paperatau yang dikenal dengan CBT (Computer Based Test). CBT
adalah bentuk terobosan baru pemerintah untuk membuat perubahan dalam bidang pendidikan agar
berbasis komputer. Ada yang mengatakan CBT ini merupakan ujian nasionalonlineyang
pelaksanaanya membutuhkan jaringan internet. Namun ada pula yang mengatakan CBT ini sama
seperti ujian nasional sebelumnya, bedanya adalah media untuk mengerjakan soal ujian dilakukan
dengan perangkat komputer. CBT ini juga dimaksudkan untuk menekan tingkat kecurangan yang
sering kali terjadi di kala musim ujian nasional tiba seperti kebocoran soal maupun jual beli kunci
jawaban.Permasalahan Terkait Ujian NasionalBerangkat dari pemaparan fakta-fakta di atas maka
sudah terlihat jelas muncul beberapa permasalahan terkait ujian nasional. Saat menghadapi
ujiannasional, siswa dituntut untuk menyelesaikan berbagai tipe soal dari materi kelas satu hingga
kelas tiga. Dan semua materi itu harus dikuasai siswa pada saat semester awal duduk di kelas 3.
Siswa tidak akan mampu memahami ilmu yang diberikan mereka hanya berorientasi menyelesaikan
soaldan mendapatkan akreditasi lulus. Oleh karena itu, semua cara dihalalkan untuk mendapatkan
akreditasi Lulus tersebut. Dimulai dari permainan oknum yang tidak bertanggungjawab seperti jual
beli kunci jawaban dan juga pembocoran soal. Disini, moral dan psikologis siswa yang
dipermasalahkan.Selain itu, permasalahan ujian nasional muncul ditahun 2013, terkait penggunaan
ber code, hampir semua nilai matematika di Kota Tasik, mendapatkan nilaiyang rendah. Hal ini
dikarenakanbarcode LJK dan barcode soal tidak sepaket.Keputusan pemerintah yang menjadikan
ujian nasional menjadi syarat kelulusan atau syarat masuk perguruan tinggi juga menuai
permasalahan dari segi non formal khususnya segi kesetaraan. Keseteraan adalah yang
menampung siswa-siswa yang tidak lulus sekolah, dan berenti sekolah, kemudian ingin
melanjutkannya. Apabila syarat kelulusan ujian nasional dijadikan syarat masuk perguruan tinggi,
siswa yang belum masuk perguruan tinggi di tahun yang seharusnya ia melamar menjadi
mahasiswa apakah ia harus mengikuti ujian nasional lagi?Dampak Ujian NasionalDengan hadirnya
hajat terbesar yakni bentuk evaluasi hasil belajar tingkat nasional (ujian nasional), memberikan
dampak begitu beragam bagi semua kalangan mulai dari siswa, guru, orang tua, dan bahkan
masyarakat.Dampak-dampak ujian nasional antara lain adanya psikologis siswa terganggu karena
siswa terlalu dituntut menyelesaikan soal bukan memahami soal sehingga muncul persaingan tidak
sehat antarsiswa. Agar siswa mampu menyelesaikan semua beban ujian nasional tersebut, siswa
haru merelakan waktu bermain mereka harus dikurangi, alhasil kejenuhan belajar pun terjadi. Dari
segi orang tua, pada sebagian mereka juga akan menekan anak-anaknya agar lulus ujian nasional
tanpa mengetahui keadaan psikologis anaknya, Sedangkan dari segi sekolah, maka anatar sekolah
akan berlomba-lomba untuk mendapatkan pencitraan yang baik. Karena hasil kelulusan ujian
nasional dari masing-masing sekolah akan mencerminkan nama baik sekolah tersebut dalam
pandangan masyarakat.Sebenarnya dengan dilaksanakan ujian nasional ini tidak hanya memebawa
dampak negatif. Ujian nasional hadir dengan tujuan mulia, sistem evaluasi ini juga membawa
dampak positif seperti menjadikan tolak ukur pencapaian target pembelajaran yang datanya dapat
digunakan oleh sekolah untuk memperbaiki model pembelajaran yang selama ini dilakukan. Selain
itu bagi pemerintah, data hasil ujian nasional dapat dijadikan alat diagonosis pemerintah, dan guru
dapat meningkatkan kompetensi keguruannya.Berikut juga akan dipaparkan mengenai dampak
sistem ujian nasional baru dari pemerintah yang dikenal dengan CBT.Computer Based Testini
menggunakan perangkat komputer unutuk menjawab soal-soal ujian sehingga meningkatkango
green. Karenasoal disajikan dalam perangkat computer, maka system ini diharapkan mampu
meminimalisasi keterlamabatansoal dibandingkan dengan ujian nasional manual. Mengingat Negara
Indonesia yang begitu luas. Namun ternyata, CBT ini tidak hadir dengan kesempurnaan. Masih
banyak dampak negatif yang menyertainya seperti masih banyak daerah yang kesulitan akan
koneksi jaringan internet dan juga biaya yang dikeluarkan lebih besar.KesimpulanUjian nasional
masih baik bentuk dan tujuannya. Oleh karena itu, penyaji masih mendukung pemerintah untuk
menyelenggarakan ujian nasional dengan syarat berbagaimasalah yang telah disebutkan diatasi
satu per satu. Dimulai dari segi nomenklatur ujian nasional yang jangan dijadikan satu-satunya
syarat kelulusan dan juga diberi porsi yang pas bagi guru untuk menentukan keulusan juga karena
guru lah yang setiap hari berinteraksi dengan siswa. Untuk maslaha yang dijadikan salah satu syarat
masuk perguruan tinggi, semoga pemerintah mengkaji lagi sehingga lebih memeperhatikan segi
kesetaraan.Kebanyakan tujuan ujian nasional yang mulia itu dirusak pada segi implementasinya,
sehingga moral di segala aspek pun harus diperbaiki agar ujian nasional dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya. Ketegasan hukum juga diperlukan disini terlebih bagi para pencurangi
ujian nasional dari mulai pihak percetakan, maupun oknum yang menjual-belikan kunci jawaban.
Memperbaiki garis koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun perlu dilakukan
agar pengawsan dari pusat dapat sampai ke tingkat daerah.Dan hal yang paling ditekankan oleh
penyaji adalah adanya tindak lanjut pemerintah setelahpelaksanaan ujian nasional, baik kepada
tenaga pendidiknya, maupun siswanya.

Sumber:
http://bem.rema.upi.edu//ujian-nasional-fakta-permasalaha/

Dampak Ujian Nasional dari segi Kacamata Siswa


Kata Ujian nasional sudah tampak tak asing lagi oleh kita, apalagi kebijakan menteri pendidikan ini sudah
menjadi indikator kelulusan suatau sekolah dan menjadi penentu kualitas suatu sekolah. Meskipun
begitu, tetap saja setiap hal pasti ada positif dan negatifnya.

Dampak Positifnya ialah :

1. Ujian nasional bisa menjadi peningkat mutu siswa dalam proses pembelajaran untuk menjadi SDM
yang bermutu, mungkin dalam proses belajar siswa tidak serius dalam menerima pembelajaran, tetapi
setelah mendengar kata Ujian Nasional siswa akan serius belajar, apalagi UN juga sebagai penentu
siswa untuk memasuki sekolah negeri pilihan.

2. Ujian Nasional juga membuat siswa untuk belajar serius, mungkin dalam keseharian belajar para siswa
kurang serius, tetapi bila mendengar kata UN sudah di depan mata, mereka akan belajar lebih semangat
dan bersungguh-sungguh guna menyenangkan hati orang tua mereka.

3. Ujian Nasional juga bisa sebagai indikator untuk siswa sudah sampai manakah siswa sudah belajar
serius untuk menghadapi masa depan mereka. Dengan nilai hasil ujian siswa, mereka bisa mengetahui
apakah mereka sudah maksimal atau belum, bila belum, perlu dimaksimalkan.
4. Siswa juga diajarkan untuk tidak curang seperti menyontek karena pengawasan yang super ketat dan
pengawasnya pun bukan dari guru asal sekolah mereka. Bila ada yang mencurigakan para guru tidak
segan-segan akan mencatat mereka dan melaporkannya pada panitia ujian guna menentukan hasil
akhirnya.

5. Menjadikan siswa juga tidak terlalu bergantung pada guru. Dengan begitu, murid akan mencari bimbel
untuk persiapan UN atau mereka akan mempelajari soal UN tahun lalu guna mempersiapkan untuk UN
tahun sekarang.

6. Dengan adanya UN, akan menciptakan generasi-generasi bangsa kita yang berkompeten. UN telah
menyumbang kontribusi dalam rangka penyamaan mutu pendidikan terhadap dunia internasional.

7. Peraturan dan pelaksaan UN dapat memacu daya kreativitas dan cara berfikir murid sehingga menjadi
generasi yang kreatif

Meskipun hanya mendapat 7 segi postif dari Ujian Nasional, tetap saja semua hal pasti ada segi negatif
karena tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan.

Dampak Negatifnya antara lain adalah :

1. Dampak ujian nasional bagi siswa adalah timbulnya pemahaman yang keliru terhadap makna bejalar di
sekolah/madrasah. Tujuan studi (belajar) yang mestinya dalam rangka mencari ilmu (thalab al- ilmi),
kecerdasan dan akhlak yang mulia (akhlak al-Karimah) berubah menjadi sekedar meraih elulusan ujian
nasional untuk tuga mapel UN. Akibatnya, mapel-mapel yang tidak di- UN- kan akhirnya menjadi
dinomorduakan, termasuk gurunya. Kondisi demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan UN-
nya tidak jujur. Setiap kali ada pelaksanaan UN hampir pasti muncul aroma yang cukup tajam bahwa ada
beberapa sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan UN- nya tidak fair-play alias tidak jujur. Artinya,
dalam pelaksanaan UN di tingkat sekolah/madrasah itu panitianya dan tentu dengan restu kepalanya
secara langsung atau tidak langsung membantu siswa supaya lulus UN, misalnya dengan cara memberi
kunci jawaban kepada peserta UN, dan juga bisa dengan cara menggunakan siswa pandai untuk
dicontoh oleh siswa yang memang lemah.

2. UN telah berlaku tidak adil terhadap siswa yang menjalani proses pendidikan di sekolah yang masih
tertinggal, miskin sarana prasarana, ketiadaan guru yang profesional, proses belajar-mengajar seadanya,
dan keterbatasan akses terhadap sumber belajar. Mereka dipaksa untuk bisa menghasilkan nilai yang
sama dengan siswa dari sekolah yang sudah maju, fasilitas lengkap, guru memadai, dan punya akses
yang luas terhadap resources. Input dan proses yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda
pula. Siswa dengan latar belakang ekonomi keluarga kuat akan mampu membayar bimbingan belajar di
luar sekolah dan mampu menyediakan buku serta bahan ajar yang memadai sehingga kemungkinan
untuk lulus UN menjadi lebih besar. Sementara itu, siswa dari keluarga miskin akan mengalami kesulitan
membayar bujet ekstra untuk bimbingan belajar di luar sekolah dan tidak mampu menyediakan buku dan
bahan ajar lainnya. Karena itu, kemungkinan lulus menjadi lebih kecil. Hasil UN telah mendiskriminasi
siswa yang tidak lulus untuk masuk pada pendidikan yang bagus pada jenjang berikutnya. Siswa SLTA
yang ikut jalur UNPK mengalami masalahnya sendiri, karena Perguruan Tinggi Negeri tidak bersedia
menerima Ijazah persamaan paket C, demikian juga dengan siswa SLTP yang ikut jalur UNPK paket B
mereka juga tidak bisa masuk sekolah SMA yang bagus. Disamping itu juga terjadi stigmatisasi siswa
yang tidak lulus sebagai kelompok siswa yang gagal dan 'bodoh', mereka akan menangggung beban
psikologis dan sosial yang cukup berat. Tidak mengherankan ketika hasil UN diumumkan, terjadi
beberapa kasus bunuh diri di kalangan siswa yang tidak lulus

3. Jika hasil UN itu dijadikan indikator untuk memotret kelemahan para siswa dalam praksis pendidikan,
hasil UN bisa menjadi efektif dan sangat dibutuhkan untuk bahan perencanaan dalam mengambil
kebijakan menyusun langkah-langkah strategis upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.
Dengan demikian, gap mutu yang masih terjadi selama ini bisa diperkecil.Tampaknya, walaupun UN telah
dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu, hasil UN yang memberikan indikasi kondisi nyata pendidikan
tidak banyak ditindaklanjuti. Nyatanya, sekolah yang lima tahun lalu terbelakang tetap saja semakin
terpinggirkan dan tetap tidak mampu meluluskan siswanya dalam UN tahun ini.

4. Dampaknya UN pun bisa dilihat bagi yang tidak lulus. Pasti akan berdampak pada psikis. Entah
dengan berbagai cara seperti kabur dari rumah, bunuh diri dan lain-lain. Itu dikarenakan mereka tidak
ingin mengecewakan orang tua mereka.

5. Siswa pun dibuat tidak percaya diri yang pada akhirnya mereka akan membeli soal atau kunci jawaban
dari guru atau oknum lain jadi bisa merugikan siswa dan juga oknum yang menyelenggarakan seperti
guru.

6. Merupakan bentuk pelecehan karena, misalnya murid SMP yang sudah belajar selama 3 tahun hanya
3 hari Ujian Nasional dilaksanakan, bagaimana kalau sikap mereka berakhlak yang buruk dan nilai
UNnya bagus, pasti akan banyak oknum yang menentangnya.

7. Semua sekolah pun belum tentu kurikulumnya sama dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Bila
Ujian nasional dilaksanakan dengan kurikulum yang berbeda, maka para murid akan bingung dan
mendapat hasil UN yang kurang maksimal.

8. Ujian Nasional hanya mengujikan mata pelajaran yang rata-rata harus dikuasai siswa seperti
matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan bahasa inggris. Bagaimana dengan kesenian. Negara ini tidak
maju karena yang mereka hasilkan hanyalah tenaga kerja yang bersifat material, sedangkan SDM luar
negeri lebih berkualitas materialnya sehingga menjadikan orang pribumi kita yang menguasai material
menjadi pengangguran. Kalau kesenian, hanya bangsa kita yang mempunyai seni yang beragam seperti
batik. Bila pemerintah menggunakan kesenian sebagai hal yang harus dikuatkan, maka akan banyak hal
yang baru dibuat di negara kita yang bisa memajukan martabat bangsa kita.

9. Siswa pun bisa kalah sebelum bertanding karena stress yang tinggi memikirkan standar nilai yang
harus dicapai yang bisa berakibat fatal.

10. Satndar Nilainya pun cepat naik dari tahun ke tahun sehingga siswa susah untuk beradaptasi kepada
standar nilai Ujian Nasional tersebut.

11. Sebagian kebijakan UN bisa melumpuhkan motivasi anak karena mereka melihat ada yang belajar
bermalasan dan tidak berprestasi bisa lulus karena faktor uang.

Kebijakan UN telah menimbulkan lebih banyak dampak negatif ketimbang dampak positif. Sepatutnya
pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan pelaksanaan UN dengan mengevaluasi secara jujur
dan jernih serta berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan yang sesungguhnya. Akan lebih adil jika
kewajiban pemerintah terlebih dahulu dilaksanakan dengan membenahi dulu kondisi real pendidikan dan
mempersempit disparitas kualitas pendidikan yang ada sebelum memaksa siswa dan guru memenuhi
kewajiban untuk mencapai nilai UN yang dikehendaki.

dampak ujian nasional terhadap psikologi


siswa

Landasan Kependidikan dan Problematika


Pendidikan
Dampak ujian Nasional Terhadap Psikologi Siswa

I. PENDAHULUAN
Untuk menjamin mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah dan Departemen Pendidikan
telah menetapkan keputusan yang di tuangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
diadakannya Ujian Nasional bagi siswa menjelang tingkat akhir setiap jenjang pendidikan yang
dilaluinya. Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh
pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan.
Pemerintah dan Departemen Pendidikan secara resmi telah mencanangkan bahwa Ujian
Nasional akan dilaksanakan menjelang tingkat akhir setiap jenjang pendidikan. Dengan adanya
keputusan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan, karena ujian nasional sebagai
pemicu semangat belajar bangsa Indonesia yang akan berjuang pada peningkatan mutu
pendidikan.
Setiap menjelang Ujian Nasional (UN) sebagian besar siswa SD, SMP, SMA sibuk
mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Siswa-siswi terkadang mengalami rasa cemas
karena mereka akan menghadapi bermacam-macam ujian, mulai dari ujian tertulis, ujian praktek,
sampai ujian nasional yang paling membuat mereka cemas. Kecemasan tersebut timbul, karena
mereka merasa takut dan terlalu memikirkan hasil ujiannya kelak padahal mereka belum
berusaha.
Kecemasan dapat memecah belah pemikiran seseorang, membagi dua pikiran sesorang
menjadi niat yang baik dan pemikiran-pemikiran yang buruk. Terkadang seseorang dapat merasa
pesimis karena kecemasan. Kegagalan yang paling mereka pikirkan.
Terkadang juga seseorang yang sesungguhnya mempunyai otak yang cerdas dan
kenyataan ini telah dibuktikan dengan nilai-nilai Ujian Sekolah yang dicapainya dalam pelajaran.
Tetapi, saat ia mengikuti Ujian Nasional ternyata ia mengalami kegagalan. Penyebabnya ialah
goncangan mental yang dialaminya. Inilah bukti bahwa kecemasan dapat menghancurkan nilai-
nilai pelajaran bagi siswa. Sehingga, kecemasan ini harus diatasi agar tidak berpengaruh buruk.
Tak jarang juga, Ujian Nasional yang semakin dekat membuat para siswa mengalami
depresi. Depresi yang dialami siswa bermacam-macam, mulai dari depresi tingkat rendah,
sedang, hingga depresi tingkat tinggi. Apalagi standar kelulusan setiap tahun selalu ditambah.
maka dari itu tingkat ketakutan atau depresi siswa semakin tinggi, karena ketakutan mereka akan
tidak berhasilnya dalam mengikuti Ujian Nasional.
Dalam keadaan depresi manusia cenderung melakukan hal-hal yang negatif. Pikiran yang
kacau dan perasaan takut yang juga dapat menjadi salah satu pemicu penyebab depresi. Siswa
yang mengalami depresi kebanyakan disebabkan oleh rasa takut tidak lulus dalam Ujian
Nasional. Sebab, jika mereka tidak lulus, mereka akan malu bersosialisasi dengan teman-
temannya yang lulus, gengsi dan takut dimarahi orang tua. Pengaruh orang tua sangat
menentukan dibandingkan faktor yang lain seperti gengsi. Biasanya, orang tua akan marah jika
mendengar anaknya tidak lulus. Inilah yang menyebabkan anak menjadi semakin stres dan
akhirnya memilih jalan pintas. Maka hal ini akan berpengaruh terhadap psikologi mereka.
Berdasarkan pernyataan diatas maka penulis ingin mengetahui lebih jauh lagi tentang
Dampak Ujian Nasional Terhadap Psikologi Siswa dan bagaimana cara mengatasinya.
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian ujian nasional
1. Ujian Nasional adalah salah satu jenis evaluasi yang dilakukan pada dunia pendidikan
dan disesuaikan dengan standar pencapaian hasil secara nasional. UAN merupakan penilaian
pada akhir proses pembelajaran di sekolah ( Vanny, 2012).
2. Ujian Nasional, dapat diartikan sebagai hasil menguji mutu suatu kepandaian untuk
memperoleh hasil belajar yang dilakukan pada akhir jenjang pendidikan yang bersifat nasional.
3. Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik
pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka menilai pencapaian standar nasional pendidikan ( al- Hafizh, 2013).
4. Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS adalah sistem evaluasi standar pendidikan
dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang
dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Astuti, 2012 ).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ujian nasional adalah kegiatan yang
dilakukan pada setiap akhir tingkat pendidikan untuk mengukur kemampuan siswa dan sebagai
penentu mutu pendidikan serta persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan
oleh pusat penilaian pendidikan.
2. Tujuan Diadakan Ujian Nasional (UN)
Tujuan diadakan Ujian Nasional (UN) Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 153/U/2003 Tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 bahwa tujuan dan
fungsi ujian nasional seperti yang tercantum dalam SK Mendiknas 153/U/2003 yaitu:
Tujuan Ujian Nasional (Pasal 2):
1. Mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
2. Mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan
sekolah/madrasah.
3. Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, propinsi,
kabupaten/kota, sekolah/madrasah, dan kepada masyarakat.
Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 77 tahun 2008 tanggal 5
Desember 2008 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA)
Tahun Pelajaran 2008/2009 tujuan Ujian Nasional (UN) adalah untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Pengertian psikologi
Ada banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang pengertian psikologi, diantaranya:
1. Pengertian psikologi menurut Dalyono (2010), psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga
memahami bagaimana makhluk tersebut berfikir dan berperasaan.
2. Pengertian psikologi menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku manusia
dalam hubungannya dengan lingkungannya.
3. Pengertian psikologi menurut Djamarah (2008), psikologi adalah ilmu mengenai
kehidupan mental, pikiran dan tingkah laku.
4. Pengertian psikologi menurut Muhibbin Syah (2001), psikologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun
kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku
yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain
sebagainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan
lain sebagainya.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian psikologi adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan mental, pikiran dan tingkah laku manusia, baik
sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut
berupa tingkah laku terbuka dan tertutup, Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat
psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebagainya, sedangkan
tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya.
4. Pengertian Siswa
Siswa adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam
proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan, siswa dapat ditinjau dari berbagai pendekatan,
antara lain: pendekatan social, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/paedagogis.
1. Pendekatan sosial, siswa adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi
anggota masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada dalam lingkungan
keluarga, masyarakat sekitarnya, dan masyarakat yang lebih luas. siswa perlu disiapkan agar
pada waktunya mampu melaksanakan perannya dalam dunia kerja dan dapat menyesuaikan diri
dari masyarakat. Kehidupan bermasyarakat itu dimulai dari lingkungan keluarga dan dilanjutkan
di dalam lingkungan masyarakat sekolah. Dalam konteks inilah, siswa melakukan interaksi
dengan rekan sesamanya, guru-guru, dan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah. Dalam
situasi inilah nilai-nilai social yang terbaik dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses
pembelajaran dan pengalaman langsung.
2. Pendekatan Psikologis, siswa adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang.
siswa memiliki berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, minat, kebutuhan, social-emosional-
personal, dan kemampuan jasmaniah. Potensi-potensi itu perlu dikembangkan melalui proses
pendidikan dan pembelajaran di sekolah, sehingga terjadi perkembangan secara menyeluruh
menjadi manusia seutuhnya. Perkembangan menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas
dalam diri seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan efisiensi.
Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan intelegensi, sosial, emosional,
spiritual, yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
3. Pendekatan edukatif/paedagogis, pendekatan pendidikan menempatkan siswa sebagai unsur
penting, yang memiliki hak dan kewajiban dalam rangka sistem pendidikan menyeluruh dan
terpadu.
Pengertian Siswa Menurut Wikipedia Siswa adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan
formal maupun pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa siswa adalah salah satu dari komponen
pendidikan yang memiliki potensi-potensi yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, agar
menjadi manusia yang dapat bermanfaat bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat.

5. faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan psikologi anak


Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna,
dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus
berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik,dalam arti menggabung berbagai
kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakatan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa
yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang
bersifat internal maupun eksternal ( Ummah, 2012 ). Termasuk pada faktor internal adalah :
1. Kecakapan dan keterampilan seorang anak.
Seorang anak yang cakap dan terampil akan lebih mudah dalam mengembangkan
potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya: seorang anak yang pandai bergaul, akan
lebih mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.
2. Harga diri.
Seorang anak yang dapat menghargai dirinya sendiri dengan baik tidak akan mengalami
kesulitan dalam menghadapi berbagai hal yang dihadapinya.
3. Persepsi seseorang anak mengenai diri sendiri.
Pandangan seorang anak terhadap dirinya dapat mempengaruhi dalam perkembangan
konatifnya. Seorang anak yang memandang dirinya buruk akan lebih sulit dalam
mengembangkan potensi dalam dirinya. Contoh: seorang anak yang kurang percaya diri akan
merasa malu untuk menunjukkan kemampuannya.
4. Keinginan.
Anak yang memiliki keinginan dipastikan memiliki motivasi yang tinggi untuk meraih
keinginannya.

Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :


1. Adanya orang terdekat yang dapat dipercaya.
Dengan adanya orang-orang yang mempunyai hubungan erat/dekat dan orang tersebut
dapat memberikan kepercayaa sehingga melalui orang-orang terdekatnya itu perkembangan
konatif anak dapat meningkat karena adanya dorongan dari orang-orang yang tersayang.
Contohnya: sahabat, orang tua, kakak, dan adik.
2. Cara orang tua mendidik dan membina anak.
Orang tua yang mendidik anak dengan cara bertahap dalam menjelaskan sesuatu hal, dan
mendidik anak dengan penuh kasih sayang, biasanya anak-anak mereka memiliki kepercayaan
diri yang tinggi dan mereka akan mudah dalam mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Contohnya: orang tua mengajarkan tentang kepercayaan diri kepada seorang anak
disertai dengan memberikan dorongan kepada anak.
3. Jenis dan sifat pergaulan.
Pergaulan seorang anak dalam lingkungannya akan berpengaruh terhadap motivasi yang
dimunculkan dalam dirinya.
4. Kelompok bermain dimana seseorang anak bergabung.
Kelompok bermain yang diikuti oleh seorang anak berpengaruh dalam pengembangan potensi
seorang anak.
6. Dampak ujian nasional bagi siswa
Ujian nasional dapat memberikan dampak yang baik maupun dampak yang buruk pada
psikologi siswa, yang menjadi masalah adalah dampak negatifnya. Salah satunya adalah dapat
menimbulkan kecemasan dan ketakutan.
Sedangkan menurut Syahril dalam Sonariah (2009) UN merupakan momok yang telah
membuat tingginya tingkat stres. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa, tingginya
tingkat stres merupakan bagian dari tekanan fisik dan mental yang sangat luar biasa yang dialami
secara merata oleh semua orang yang menempuh pendidikan.

Menurut wibowo (2012) Gejala perilaku siswa yang mengalami kecemasan atau
ketakutan dalam menghadapi ujian nasional, antara lain gejala phisik, gejala psikis, dan gejala
sosial. Gejala phisik meliputi peningkatan detak jantung, perubahan pernafasan (nadi dan
pernafasan meningkat), keluar keringat, gemetar, kepala pusing, mual, lemah, ngeri, sering buang
air besar dan kencing, nafsu makan menurun, tekanan darah ujung jari terasa dingin, dan lelah.
Gejala psikis meliputi perasaan akan adanya bahaya, kurang percaya diri, kurang tenaga/tidak
berdaya, khawatir, rendah diri, tegang, tidak bisa konsentrasi, kesempitan jiwa, ketakutan ,
kegelisahan, berkeluh kesah, kepanikan, tidur tidak nyenyak, berdosa, terancam,
dan kebingungan/linglung. Gejala sosial meliputi mencari bocoran soal, mencari kunci jawaban,
menyontek, menyalahkan soalnya sulit, dan menyalahkan gurunya belum pernah mengajarkan
materi yang diujikan.
Kecemasan merupakan kondisi psikologis dan bagian dari kehidupan manusia. Setiap
manusia pernah mengalami kondisi psikologis ini. Kecemasan sering muncul pada orang yang
dianggap normal, meskipun kecemasan merupakan simtom semua psikopathologi terutama
neurotik. Kecemasan dan ketakutan biasa merasuki manusia, baik secara individual maupun
komunal, sejak mereka memiliki kesadaran, kecuali orang yang dikasihi Allah dan diberi nikmat
keimanan.
Menurut Freud (Schultz & Schultz, 2005) dalam Herdi dan komalasari (2011) kecemasan
adalah komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang
individu.
Spielberger et al. (1977) menganggap kecemasan sebagai salah satu faktor penghambat
dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti kesulitan
untuk berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah.
Jadi dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah kondisi psikologis
dari kehidupan manusia. Kecemasan merupakan salah satu factor penghambat dalam belajar
yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti kesulitan untuk
berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah.
Kondisi psikologis dalam bentuk kecemasan akan terus meningkat seiring dengan
pesatnya kemajuan peradaban material serta jauhnya manusia dari pemahaman dan pengamalan
ajaran-ajaran Allah swt.
Sedangkan factor lain yang mengganggu psikologi siswa yaitu stress saat menghadapi
ujian. Menurut Ansori (2011) definisi stress bagi setiap orang berbeda, namun secara umum
stress didefinisikan sebagai pola respon yang ditimbulkan seseorang karena peristiwa atau hal
yang mengganggu keseimbangan psikologisnya (Duffy & Atwater, 1990).
Selama ini, stress dianggap selalu memberikan efek negatif terhadap individu- nya namun
ternyata ada juga stress yang membawa efek positif bagi individu. Stress yang menimbulkan efek
negatif bagi individu disebut distress, yang selalu dialami oleh siswa ketika menghadapi ujian.
Sedangkan stress yang justru bermanfaat untuk individu adalah eustress. Eustress sangat
bermanfaat bagi pengembangan diri kita karena ia membuat kita menjadi lebih fokus dan
waspada, mempersiapkan diri lebih baik, serta sadar pada hal-hal yang masih kurang. Eustresslah
yang memicu semangat kita dalam melakukan sesuatu secara baik dan benar (Lubis, 2007).
Dalam menghadapi ujian, tipe stress inilah yang lebih dapat berperan penting dalam
mempersiapkan kondisi psikologis siswa.
Menurut kartika (2011) Ujian Nasional juga memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi
positif dari ujian nasional salah satunya adalah cara belajar. Dengan adanya ujian nasional ini,
siswa akan semangat untuk belajar. Siswa akan mulai bersaing dengan murid yang lain untuk
mendapatkan nilai ujian nasional yang lebih tinggi. Sedangkan sisi negatif dari ujian nasional
adalah : Siswa harus menyiapkan tenaga ekstra untuk mengikuti les atau bimbingan belajar
dan siswa kehilangan waktu untuk bermain.
Sedangkan menurut Wibowo (2012) Siswa yang dinamika psikisnya baik, tidak
mengalami kecemasan atau ketakutan dalam menghadapi Ujian Nasional, dimungkinkan karena :
1. sudah menguasai materi pembelajaran yang akan di Uji Nasional-kan;
2. penuh percaya diri, penuh rasa kemenangan, dan keberhasilan, serta siap menghadapi
kenyataan.
3. sugesti diri yang positif akan keberhasilan dalam menghadapi Ujian Nasional.
4. memiliki kesiapan mental dan phisik dalam menghadapi Ujian Nasional.
5. menganggap bahwa ujian adalah merupakan hal yang biasa dan harus dilalui dalam
proses pembelajaran.
6. menganggap bahwa lulus atau gagal adalah merupakan yang wajar dalam menghadapi
Ujian Nasional.
7. ingin membuktikan kemampuan yang dimiliki apa sudah bisa mencapai standar
kompetensi lulusan secara nasional yang ditetapkan dalam Ujian Nasional.
Sedangkan siswa yang dinamika psikisnya tidak baik akan mengalami kecemasan atau
ketakutan dalam menghadapi Ujian Nasional,dimungkinkan karena:
1. tidak menguasai materi pembelajaran yang akan di Uji Nasional-kan.
2. tidak percaya diri,dan tidak siap dan biasa menghadapi kenyataan.
3. tidak memiliki kesiapan mental dan phisik dalam menghadapi Ujian Nasional.
4. menganggap bahwa ujian (Ujian Nasional) adalah merupakan hal yang menakutkan.
5. menganggap Ujian Nasional harus lulus dan jika tidak lulus adalah tabu karena disekolah
setiap ujian pasti lulus.
6. pembelajaran disekolah dianggap belum mencukupi untuk membekali dirinya dalam
menghadapi Ujian Nasional.
7. proses pembelajaran di sekolah tidak menerapkan sistem evaluasi/ujian yang obyektif,
berkeadilan,dan akuntabel.
8. hasil Ujian Nasional akan menentukan kelulusan pada akhir masa studi.
Berdasarkan hasil penelitian Djemari Mardapi dan Badrun Kartowagiranonal (2009),
ujian nasional memiliki dampak positif terhadap siswa antara lain: 81% siswa dari sekolah
kategori tinggi dan 65% siswa dari sekolah kategori rendah menambah jam belajar. Sebagian
besar dari mereka menambah jam belajar sekitar 10 jam/minggu dengan cara mengikuti les di
sekolah dan guru berpendapat bahwa dengan danya UN siswa termotivasi untuk belajar.
Sedangkan dampak negatif dari UN pada siswa, ada 41% siswa SMP kategori rendah
dan 41% siswa SMP kategori tinggi merasa adanya kelelahan fisik. Sementara itu, 47% guru dari
SMP kategori tinggi dan 66% guru SMP kategori rendah mengatakan bahwa UN menimbulkan
kelelahan fisik siswa. Selain itu, 34% guru SMP kategori tinggi dan 53% guru SMP rendah
mengatakan bahwa UN menimbulkan stress pada siswa.
Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat di atas menunjukkan bahwah ujian nasional
memiliki dampak positif dan dampak negative bagi siswa, dari hasil penelitian diatas
menunjukkan bahwa lebih besar dampak positifnya dari pada dampak negatifnya.
Adapun dampak positifnya adalah :
1. siswa akan semangat untuk belajar.
2. Siswa akan mulai bersaing dengan murid yang lain untuk mendapatkan nilai ujian
nasional yang lebih tinggi.
Sedangkan dampak negatif dari ujian nasional adalah :
1. Siswa harus menyiapkan tenaga ekstra untuk mengikuti les atau bimbingan belajar.
2. Sisi negatifnya yang lainnya adalah, siswa kehilangan waktu untuk bermain.
7. Cara mengatasi rasa cemas atau dampak negatif bagi siswa dalam menghadapi Ujian
Nasional.
Cara mengatasi kecemasan pada siswa, dalam menghadapi ujian nasional yaitu dengan
pendekatan social, pendekatan psikologi dan pendekatan edukatif.
1. Pendekatan social ( peran orang tua )
Menurut ansori (2011), untuk membantu anak-anak mengelola kondisi psikologisnya ketika
akan menghadapi ujian, orang tua dapat melakukan beberapa hal di bawah ini:
1. Tidak berlebihan menekan anak saat belajar adalah salah satu upaya yang dapat
dilakukan agar anak tidak semakin takut dan tegang ketika mempersiapkan ujian. Ini yang
disebut dengan meniadakan stressor.
2. Mengajak anak berpikir: Ini sulit, tapi mungkin daripada Ini mungkin, tapi sulit.
3. Membantu anak untuk berpikir bahwa ujian adalah hal yang penting tapi bukan tidak
mungkin dapat dilewati. Pemikiran anak yang berlebihan terhadap ujian adalah salah satu
penyebab anak merasa grogi atau tegang sehingga pelajaran yang semula dipahami hilang tiba
tiba saat berada di ruang ujian.
4. Berikan dukungan sosial pada anak dan tanamkan pemikiran positif pada anak bahwa ia
dapat menghadapi ujian dengan baik tanpa harus merasa khawatir berlebihan.
5. Mengajak anak untuk beribadah dan berdoa bersama agar semakin tenang ketika
mendekati masa-masa ujian.Ketika waktu belajar pun, orang tua dapat mengajarkan dan
melantunkan doa sebelum belajar bersama dengan anak.
2. Pendekatan psikologi
Menurut Wibowo (2012) ada sepuluh jurus kesiapan menghadapi ujian nasional, agar
tidak cemas, takut dan stress yaitu :
1. Penguasaan Materi Pembelajaran
2. Meningkatkan Rasa Percaya Diri
3. Meningkatkan Konsentrasi Belajar
4. Mengembangkan Disiplin Diri Dalam Belajar
5. Hidup Teratur Agar Berhasil Dalam Menghadapi Ujian Nasional
6. Mengelola Waktu Belajar Secara Efektif dan Efisien
7. Meningkatkan Produktivitas Belajar dalam menghadapi Ujian Nasional
8. Ketekunan Dalam Belajar
9. Motivasi Diri untuk Berhasil Ujian Nasional
10. Bersikap Positif Terhadap Ujian Nasional

3. Pendekatan edukatif
Menurut Yudhawati dan Haryanto (2011), cara untuk mencegah dan mengurangi kecemasan
siswa yaitu :
1. Mencipkan suasana pembelajaran yang menyenangkan
2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyannya dapat mengembangkan sense of
humor dirinya maupun para siswanya.
3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi game atau ice break tertentu, terutama
dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.
4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas, sehingga
dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.
5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat (tidak
terlalu mudah).
6. Menggunakan pendekatan humanistic dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat
mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan,
baik dengan guru maupun dengan sesame siswa.
7. Guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir
sebagai sosoknyang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani, bukan
menjadi sumber ketakutan.
8. Mengembangkan system penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan penilaian diri ( self assessment ) atas tugas dan pekerjaan yang
telah dilakukannya.
9. Pengembangan manajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana pokok
yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa
10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling disekolah
Dari keempat pendapat diatas, dapat disimpulakn bahwa banyak cara yang dapat
digunakan untuk mencegah dan menghilangkan kecemasan, ketakutan dan steres yang
menyebabkan psikologi siswa jadi terganggu yaitu dengan tiga pendekatan. Adapun tiga
pendekatan itu yaitu pendekatan social ( Peran orang tua ), pendekatan psikologi ( dalam diri
siswa sendiri ), dan pendekatan edukatif ( peran sekolah ).
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ujian nasional adalah kegiatan yang dilakukan pada setiap akhir tingkat pendidikan untuk
mengukur kemampuan siswa dan sebagai penentu mutu pendidikan serta persamaan mutu
tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan.
Ujian nasional mempunyai dampak positif dan dampak negatif bagi psikologi siswa, adapun
dampak positif dan dampak negatifnya yaitu :
a. Dampak positif dari ujian nasional bagi siswa
1. Siswa akan semangat untuk belajar.
2. Siswa akan mulai bersaing dengan murid yang lain untuk mendapatkan nilai ujian nasional yang
lebih tinggi.
b. Dampak negatif dari ujian nasional bagi siswa
1. Siswa harus menyiapkan tenaga ekstra untuk mengikuti les atau bimbingan belajar.
2. Sisi negatifnya yang lainnya adalah, siswa kehilangan waktu untuk bermain.
Dampak negative dari ujian nasional harus segera diatasi karena dapat mengganggu siswa
dalam mencapai prestasi belajar dan kehatan fisik atau mental siswa, maka perlu adanya upaya-
upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa yaitu :
1. Pendekatan social ( peran orang tua )
Menurut ansori (2011), untuk membantu anak-anak mengelola kondisi psikologisnya ketika
akan menghadapi ujian, orang tua dapat melakukan beberapa hal di bawah ini:
1. Tidak berlebihan menekan anak saat belajar adalah salah satu upaya yang dapat
dilakukan agar anak tidak semakin takut dan tegang ketika mempersiapkan ujian. Ini yang
disebut dengan meniadakan stressor.
2. Mengajak anak berpikir: Ini sulit, tapi mungkin daripada Ini mungkin, tapi sulit.
3. Membantu anak untuk berpikir bahwa ujian adalah hal yang penting tapi bukan tidak
mungkin dapat dilewati. Pemikiran anak yang berlebihan terhadap ujian adalah salah satu
penyebab anak merasa grogi atau tegang sehingga pelajaran yang semula dipahami hilang tiba
tiba saat berada di ruang ujian.
4. Berikan dukungan sosial pada anak dan tanamkan pemikiran positif pada anak bahwa ia
dapat menghadapi ujian dengan baik tanpa harus merasa khawatir berlebihan.
5. Mengajak anak untuk beribadah dan berdoa bersama agar semakin tenang ketika
mendekati masa-masa ujian.Ketika waktu belajar pun, orang tua dapat mengajarkan dan
melantunkan doa sebelum belajar bersama dengan anak.
2. Pendekatan psikologi
Menurut Wibowo (2012) ada sepuluh jurus kesiapan menghadapi ujian nasional, agar tidak
cemas, takut dan stress yaitu :
1. Penguasaan Materi Pembelajaran
2. Meningkatkan Rasa Percaya Diri
3. Meningkatkan Konsentrasi Belajar
4. Mengembangkan Disiplin Diri Dalam Belajar
5. Hidup Teratur Agar Berhasil Dalam Menghadapi Ujian Nasional
6. Mengelola Waktu Belajar Secara Efektif dan Efisien
7. Meningkatkan Produktivitas Belajar dalam menghadapi Ujian Nasional
8. Ketekunan Dalam Belajar
9. Motivasi Diri untuk Berhasil Ujian Nasional
10. Bersikap Positif Terhadap Ujian Nasional

3. Pendekatan edukatif
Menurut Yudhawati dan Haryanto (2011), cara untuk mencegah dan mengurangi
kecemasan siswa yaitu :
1. Mencipkan suasana pembelajaran yang menyenangkan
2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyannya dapat mengembangkan
sense of humor dirinya maupun para siswanya.
3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi game atau ice break tertentu,
terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.
4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas,
sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.
5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat
(tidak terlalu mudah).
6. Menggunakan pendekatan humanistic dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat
mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan,
baik dengan guru maupun dengan sesame siswa.
7. Guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan
hadir sebagai sosoknyang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani,
bukan menjadi sumber ketakutan.
8. Mengembangkan system penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan penilaian diri ( self assessment ) atas tugas dan pekerjaan yang
telah dilakukannya.
9. Pengembangan manajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana
pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa
10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling disekolah

B. SARAN
1. Hendaknya siswa dapat mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk menghadapi
ujian nasional, agar mendapat hasil seperti yang diharapkan
2. Hendaknya orang tua dapat memotivasi anaknya, supaya rajin belajar dan menciptakan
kondisi yang senyaman-nyamannya di rumah.
3. Hendaknya guru dan sekolah dapat mencipkan suasana yang aman, damai dan
pembelajaran yang kondusif supaya siswa dapat mencapai tujuan akhir seperti yang diharapkan.
http://oktoferiana.blogspot.co.id/2013/10/dampak-ujian-nasional-terhadap.html

Dampak Ujian Nasional Terhadap Siswa, Guru,


dan Sekolah

Praktik tak jujur yang dilakukan 16 guru SMA Negeri Lubuk Pakam 2 di hari
kedua Ujian Nasional 2008 yang lalu merupakan satu dari sekian dampak buruk
penerapan ujian yang distandardkan dan tersentralisasi secara nasional.
Keenam belas guru tersebut tertangkap basah sedang membetulkan jawaban
siswa untuk bidang studi bahasa Inggris yang hari itu diujikan (Kompas, 24
April 2008).

Kecurangan yang terjadi di kabupaten Deli Serdang itu bukan satu-satunya yang
terjadi semenjak ujian nasional diberlakukan di Indonesia sebagai penentu
kelulusan. Tahun 2007 lalu kecurangan serupa terjadi di Medan Sumatera Utara,
yang kemudian mendorong lahirnya kelompok Air mata guru. Demikian juga
dengan apa yang terjadi di Garut Jawa Barat di tahun yang sama. Isu-isu
kebocoran soal di beberapa daerah pun santer diberitakan di media masa.

Pertanyaannya, mengapa kecurangan terus terjadi? Setidaknya, ada dua alasan


mendasar yang bisa menjelaskan. Pertama, penekanan yang berlebihan pada
hasil, dan bukan pada proses belajar. Akibatnya, hasil menjadi tujuan utama.
Ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses, segala cara pun dihalalkan
demi memperoleh nilai tinggi. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang
mengajarkan cara pandang seperti itu melalui ujian nasional. Di satu sisi, ujian
nasional seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan siswa tanpa
mempertimbangkan riwayat belajar mereka. Di sisi lain, ujian nasional berisi
soal-soal pilihan ganda yang bersifat sangat otoriter, seolah-olah hanya ada satu
jawaban benar. Siswa tidak pernah bisa mengajukan argumentasinya mengapa
mereka bisa sampai pada pilihan jawaban tertentu. Pembuat soal juga tidak
pernah bisa mempertanggungjawabkan mengapa pilihan A, B, C, D, atau E
menjadi jawaban benar untuk sebuah soal tertentu. Di sinilah letak
persoalannya: bagaimana jika jawaban untuk sebuah soal masih bisa
diperdebatkan? Kepada siapa siswa harus mengajukan argumentasi seandainya
terdapat soal yang menurut mereka memiliki lebih dari satu jawaban benar?
Pembelajaran seharusnya ditempuh melalui proses pengajaran yang benar,
melalui tanya-jawab dan diskusi yang mendalam, serta kegiatan yang
merangsang siswa untuk berpkir pada level yang tinggi, dan bukan sekadar
memilih-milih alternatif-alternatif jawaban.

Kedua, hasil ujian nasional berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah,
termasuk di dalamnya kepala sekolah dan para guru, di mata masyarakat
umum. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhan, segala cara untuk
mempertahankannya seolah-olah sah untuk dilakukan. Lebih-lebih jika yang
dipertaruhkan adalah reputasi kepala sekolah yang terancam dimutasi Kepala
Dinas Pendidikan. Di Kalimantan Timur, misalnya, Kepala Dinas Pendidikan
Samarinda mengancam memutasi kepala sekolah SMA/SMK yang tak berhasil
melebihi target kelulusan siswa 75 persen (Kompas, 23 April 2008).

Masyarakat terlanjur beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat kelulusan siswa


di sebuah sekolah semakin baik sekolah tersebut. Jika tingkat ketidaklulusan
sebuah sekolah tinggi, jatuhlah reputasi sekolah tersebut. Masyarakat tidak
bisa sepenuhnya disalahkan karena pandangan mereka itu, sebab pemerintah
sendiri secara tidak langsung menanamkan cara pandang itu ke dalam benak
masyarakat. Pemerintah pernah menggunakan hasil ujian nasional (dulu disebut
EBTANAS) untuk menentukan peringkat sekolah (dan seolah-olah kualitas
sekolah) secara nasional, lepas dari proses belajar yang terjadi di sebuah
sekolah. Dari sinilah logika yang salah kaprah itu berawal. Masyarakat lalu tidak
peduli lagi apakah skor tinggi ujian akhir di sebuah sekolah merupakan hasil
dari proses belajar yang benar, atau hasil dari dril mekanis soal-soal pilihan
ganda yang sejak awal diberikan oleh guru mereka atau oleh lembaga-lembaga
bimbingan belajar. Jika tingkat kelulusannya tinggi, kualitas sekolah tersebut
juga tinggi. Jika tingkat kelulusannya rendah, kualitasnya pun rendah.
Demikianlah anggapan masyarakat. Tingkat kelulusan di sebuah sekolah
akhirnya akan berdampak pada jumlah calon siswa yang mendaftar di sekolah
tersebut untuk tahun ajaran yang baru. Jumlah calon siswa yang mendaftar,
dan akhirnya diterima sebagai siswa, tentu juga berpengaruh pada
keberlangsungan sekolah. Alhasil, segala cara pun dilakukan agar sekolah tetap
mempunyai nama baik di masyarakat, dan bertahan hidup.

Kekhawatiran dan keprihatinan akan dampak buruk ujian yang distandardkan


dan tersentralisasi telah banyak disuarakan oleh para pemerhati pendidikan.
Rupa-rupanya, dampak buruk ujian yang distandardkan juga disadari dan
teramati di negara seperti Cina, misalnya. Yong Zhao, seorang profesor bidang
pendidikan di Michigan State University, dalam artikelnya China and the
Whole Child yang dimuat dalam majalah Educational Leadership (Mei 2007),
mengulas tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan yang dihadapi Cina.
Menurut Yong Zhao persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan Negeri Tirai
Bambu itu bersumber pada satu hal, yakni pemberlakuan sistem ujian yang
distandardkan (standardized testing) secara nasional, yang kemudian
menghasilkan praktik pendidikan yang berorientasi pada tes (test-oriented
education).

Dalam sebuah dokumen tahun 1997, Komisi Pendidikan Nasional (sekarang


Kementrian Pendidikan Cina) menyebutkan beberapa akibat buruk dari praktik
pendidikan semacam itu: penekanan berlebihan pada persiapan menghadapi
tes; kurangnya pendidikan moral, sosial, emosional, dan fisik; model
pembelajaran yang mengandalkan hafalan dan dril soal mekanis, minimnya
keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar; dan hilangnya kreatifitas.
Banyaknya tes, ujian, dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan siswa juga
ditengarai menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh siswa akibat praktik
pendidikan tak sehat yang hanya mengejar tingkat keberhasilan setinggi-
tingginya dalam ujian nasional yang diselenggarakan oleh biro pendidikan
nasional.

Kendati artikel tulisan Yong Zhao tersebut sama sekali tidak menyinggung
perihal praktik tak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional sebagaimana terjadi
di Indonesia, dampak-dampak buruk tersebut di atas mengisyaratkan bahwa
para guru di Cina juga mengalami kekhawatiran dan ketakutan yang sama
dengan para guru di Indonesia terkait dengan tingkat kelulusan para siswa,
sebab ujian nasional di Cina juga menentukan kelulusan siswa. Inilah yang
menjadi pangkal segala persoalan pendidikan di Cina.
Praktik pendidikan berusia seribu tahun yang menjadikan tes sebagai tujuan
utama tersebut, menurut Yong Zhao, mengutip Menteri Pendidikan Cina, telah
melanggar undang-undang pendidikan Cina, yang menyebutkan bahwa tujuan
utama pendidikan di Cina adalah menghasilkan anak-anak dan remaja yang
utuh dan seimbang dalam hal moralitas, intelektual, dan fisik.

Kesadaran untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang diamanatkan undang-


undang pendidikan Cina muncul tahun 1993 ketika Komite Pusat Partai Komunis
Cina bersama dengan Dewan Negara Cina mengeluarkan Kerangka Kerja
Reformasi dan Pengembangan Pendidikan di Cina, yang menuntut agar sekolah-
sekolah dasar dan menengah meninggalkan praktik pendidikan berorientasi tes,
dan mengadopsi pendidikan yang mengembangkan kualitas-kualitas siswa dalam
aspek moral dan etika, budaya dan sains, kesehatan fisik, kapasitas emosional
dan psikologis (Yong Zhao, 2007).

Kesadaran itu ditegaskan lagi tahun 1999 saat pemerintah Cina menerbitkan
sebuah dokumen kebijakan yang mendorong sekolah-sekolah dasar dan
menengah untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan ujian yang
dibuat oleh biro pendidikan negara, serta melarang pemerintah daerah
menggunakan jumlah siswa yang diterima di jenjang pendidikan lebih tingi
sebagai ukuran untuk menentukan kualitas sekolah.

Di negara maju seperti Amerika Serikat pun, pemberlakuan ujian yang


distandardkan juga banyak ditentang sebab dianggap tidak adil, mengabaikan
keragaman siswa, serta merugikan minoritas dari ekonomi kelas bawah yang
mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan sumber-sumber belajar. Dalam
disertasinya, Dale E. Margheim (2001), seorang mahasiswa program doktoral
di Virginia Polytechnic Institute and State University mengungkapkan sebuah
contoh dampak buruk standardized tests yang barangkali juga terjadi di
Indonesia, dan negara-negara lain yang menerapkannya. Natalie J. Martinez,
seorang siswi kelas XII SMA San Antonio, Texas, yang memiliki talenta musik
gagal mendapatkan ijazah hanya karena menemui kesulitan melakukan
perhitungan matematis dengan bilangan pecahan, meskipun Natalie telah
dinyatakan menerima beasiswa untuk belajar musik di Universitas Incarnate
Word. Alhasil, siswi bersuara sopran itu pun tak diterima belajar di universitas
Katolik tersebut. Padahal, bilangan pecahan hampir pasti tak akan pernah
digunakannya untuk belajar musik! Inilah yang disebut ketidakadilan. Bagian
kecil dari matematika yang disebut bilangan pecahan itu telah merobek-robek
jaring impian dan cita-citanya dan memupuskan harapannya.

Dale E. Margheim (2001) juga menunjukkan satu bentuk ketidakadilan lain yang
disebabkan oleh ujian yang distandardkan. McDonnell, McLaughlin, and Morison
(1997), yang ia kutip dalam bagian disertasinya, menyebutkan bahwa sebagian
besar ujian yang dikategorikan beresiko tinggi (high-stake test), termasuk di
dalamnya ujian yang distandardkan, didasarkan pada premis bahwa semua
siswa mampu mencapai standard akademik tinggi meskipun presmis tersebut
sama sekali tidak didasarkan pada hasil riset. Dengan kata lain semua siswa
diperlakukan seolah-olah sama. Faktanya, mereka sangat beragam dalam
kemampuan intelektual, daya serap, muatan akademis, latar belakang
ekonomi, kondisi keluarga, dan lain sebagainya. Belum lagi keberagaman
fasilitas sekolah tempat mereka belajar, akses terhadap teknologi dan
informasi, maupun kemampuan metodologis guru-guru mereka. Siswa yang
bersekolah di kota tentu mempunyai kesempatan lebih besar untuk
mendapatkan sumber-sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang
ekonomi kuat mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah
dengan fasilitas belajar yang baik, dan oleh karena itu memiliki peluang lebih
besar untuk berprestasi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah di pinggiran,
pedesaan, apalagi daerah pedalaman. Bagaimana mungkin siswa-siswa yang
sangat beragam ini diukur prestasi akademik dan kelulusannya dengan standard
yang sama? Sungguh tidak adil!

Sebuah penelitian lain di Amerika Serikat yang secara langsung berkaitan


dengan hasil studi McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997) di atas dilakukan
oleh Lomax, Richard G, West, Mary Maxwell, Harmon, Maryellen C, Viator,
Katherine A, Madaus, George F. (1995), yang menyebutkan bahwa ujian yang
distandardkan merugikan dan mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai
keterbatasan ekonomi dan akses terhadap pendidikan sebab ujian yang
distandardkan selalu merefleksikan kultur mayoritas. Akibatnya, hasil ujian
mereka tidak bisa dianggap sebagai representasi yang adil dan memadai dari
apa yang sungguh-sungguh mereka ketahui dan mampu lakukan.
Lebih jauh, mengutip Smith dan Rottenberg (1991), Lomax dan kawan-kawan
menyebutkan dalam bagian introduksi laporan penelitian mereka 3 dampak
serius ujian yang distandardkan dan tersentralisasi: 1) berkurangnya waktu
untuk pengajaran, 2) diabaikannya materi kurikulum yang tidak diujikan, dan 3)
meningkatnya pemakaian materi persiapan yang mirip dengan tes.

Tiga kesimpulan riset di atas persis sama dengan apa yang diungkapkan Yong
Zhao dalam artikelnya itu. Akibat yang bisa diduga dari praktik ruang kelas
semacam itu adalah menyempitnya kurikulum sebab materi-materi yang
seharusnya diajarkan tidak diberikan kepada siswa karena materi-materi itu tak
banyak keluar di ujian. Orientasi mengajar guru berubah. Kelas yang mestinya
menjadi ajang pencerdasan dan tempat untuk mengajarkan keterampilan
berpikir berubah menjadi tempat pelatihan menghadapi tes tak ubahnya
lembaga bimbingan tes.

Melengkapi temuan Yong Zhao di Cina serta hasil riset para ahli pendidikan
Amerika Serikat, hasil studi yang dilakukan Iwan Syahril, seorang mahasiswa
pasca sarjana di Teachers College, Universitas Columbia pada tahun 2007
menyebutkan dampak-dampak buruk UAN di Indonesia terhadap siswa dan guru.
Pertama, siswa menderita masalah psikologis yang serius. Banyak siswa
mengalami kecemasan saat ujian, dan banyak yang merasa frustasi karena
gagal ujian. Kondisi psikologis siswa saat menempuh ujian tidaklah sama satu
dengan yang lain. Kecemasan tentunya mempengaruhi performa peserta ujian,
yang pada gilirannya berimbas pada hasil ujian. Tekanan psikologis inilah yang
rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara ujian nasional. Ujian yang
distandardkan, menurut Iwan Syahril mengutip Oak dan Lipton (2007), selalu
mengasumsikan bahwa peserta ujian mengerjakan tes di bawah kondisi yang
sama. Siapa bisa menjamin para peserta berada dalam kondisi psikologis yang
sama? Bahkan beberapa siswa yang biasanya menduduki rangking atas di
sekolah mereka mengalami tekanan psikologis yang berat dan mengalami
kegagalan (Iwan Syahril, 2007). Temuan Iwan Syahril ini sama dengan yang
diungkapkan oleh Michael Phillips (2007) bahwa tes yang distandardkan
menyebabkan kecemasan pada peserta ujian.

Kedua, guru kehilangan energi kreatif mereka dalam mengajar. Guru-guru


merasa bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif dan inovatif
karena materi itu tidak akan diujikan. Hasil studi ini persis sama dengan hasil
penelitian Smith dan Rottenberg (1991) di atas. Akibatnya, guru mengajar
semata-mata demi tes. Materi yang diajarkan hanya materi yang keluar di
ujian. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari proses belajarmengajar yang salah
semacam ini? Tujuan pendidikan tidak sesempit itu.

Dalam konteks inilah pemerintah terkesan tidak konsisten dengan kebijakan


pendidikan nasionalnya sendiri. Di satu sisi, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang sebenarnya memberi ruang gerak yang
lebih luas bagi guru untuk merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran yang
kreatif dan atraktif, memberi kesempatan kepada guru untuk mengajarkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan mengembangkan model pendidikan
yang lebih holistik. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 bab
II pasal 3 dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Artinya, undang-undang menghendaki agar pendidikan
sungguh-sungguh mampu membekali siswa dengan kecerdasan intelektual,
spiritual, dan emosi. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah secara tidak sadar
telah menghambat tujuan pendidikan yang mulia tersebut melalui
pemberlakuan ujian yang distandardkan dan tersentralisasi itu. Kalau akhirnya
nasib siswa ditentukan hanya oleh ujian tiga hari dan pada saat yang sama
reputasi sekolah dipertaruhkan, adalah masuk akal jika guru lalu berpikir, untuk
apa repot-repot mempersiapkan kegiatan pembelajaran yang kreatif dan
atraktif? Bukankah latihan-latihan soal pilihan ganda lebih bermanfaat untuk
masa depan mereka?

Disadari atau tidak, ujian nasional telah menyebabkan guru dan seluruh
komunitas sekolah mengarahkan perhatian mereka pada ujian penentu
kelulusan itu. Lalu, praktik-praktik keseharian di sekolah dan di ruang kelas
akan mengikuti arah ini. Di sekolah tempat penulis mengajar, misalnya, ada
kewajiban bagi guru untuk menyertakan soal pilihan ganda sebesar 40% pada
ujian semester maupun tengah semester dengan alasan agar siswa terbiasa
mengerjakan tes pilihan ganda dalam ujian nasional. Masalahnya, tidak semua
kompetensi dasar (KD) dalam tiap mata pelajaran bisa diujikan dengan model
soal seperti itu. Tidak menutup kemungkinan praktik-praktik serupa juga
terjadi di sekolah-sekolah lain.

Kalau pemerintah komunis Cina mendorong sekolah-sekolah dasar dan


menengahnya untuk menyelenggarakan ujian kelulusan sendiri, dan mengakhiri
tirani ujian nasional, pemerintah Indonesia justru berusaha mati-matian untuk
melestarikannya. Tampaknya, keputusan untuk terus menyelenggarakan ujian
nasional didukung oleh hasil kajian Universitas Negeri Yogyakarta (2004) dan
Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (2005) yang menunjukkan bahwa ujian
nasional, sebagai bentuk ujian yang distandardkan, mempunyai pengaruh
positif, yaitu 1) siswa lebih giat belajar, 2) guru lebih giat mengajar, dan 3)
orangtua lebih memperhatikan proses pembelajaran anak (Kompas, 4 Februari
2008).

Persoalannya adalah, apakah siswa giat belajar sekadar karena takut gagal
ujian, atau karena secara sadar ingin berkembang secara intelektual? Apakah
guru giat mengajar karena khawatir banyak siswanya tidak lulus ujian, sehingga
mengancam reputasi karir dan sekolahnya, atau karena secara sadar ingin
mengoptimalkan potensi intelektual siswa-siswanya? Apakah layak disebut
belajar kalau yang dikerjakan hanya menghafal materi dan berlatih menjawab
soal-soal? Apakah pantas disebut mengajar jika yang dilakukan guru hanya
memberi soal-soal latihan pilihan ganda?

Temuan Yong Zhao (2007), Iwan Syahril (2007), maupun Smith dan Rottenberg
(1991) menegaskan bahwa ujian yang distandardkan hanya menghasilkan siswa
dan guru paranoid yang takut dan cemas menghadapi ujian. Ujian yang
distandardkan menghasilkan siswa yang giat belajar atau guru yang giat
mengajar semata-mata demi nilai. Kecurangan-kecurangan yang terjadi di
beberapa daerah selama pelaksanaan UAN juga menjadi indikasi bahwa ujian
yang distandardkan dan tersentralisasi telah menyebabkan siswa dan guru
melupakan tujuan hakiki pendidikan. Pendidikan telah diperlakukan tak
ubahnya seperti kegiatan mekanis untuk mencapai tujuan jangka pendek.
Bukankah pendidikan semestinya diarahkan untuk mewujudkan cita-cita
idealnya, yakni menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang secara
intelektual, emosional, dan sosial, sebagaimana diamanatkan undang-undang,
dan bukan semata-mata demi skor UAN?
Mempertimbangkan dampak-dampak serius dari penerapan ujian nasional
sebagaimana diuraikan di atas, dan bercermin pada pemerintah Cina,
pemerintah Indonesia seyogyanya mempertimbangkan kembali kebijakan untuk
menerapkan UAN sebagai alat penentu kelulusan siswa, setidaknya untuk tahun
depan karena beberapa alasan. Pertama, UAN telah menyeret siswa dan guru
kepada praktik-praktik yang mereduksi makna hakiki pendidikan. Kedua, UAN
justru menghambat pencapaian cita-cita luhur pendidikan untuk menghasilkan
pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang. Ketiga, ujian yang distandardkan dan
tersentralisasi melanggar prinsip keadilan. Pencapaian belajar siswa selama
tiga tahun telah dinilai dan diukur dengan tes yang hanya berlangsung selama
tiga hari. Apalagi, UAN telah dipakai untuk menentukan kelulusan siswa.
Keempat, penentu kebijakan negeri ini telah mengabaikan keberagaman
sekolah-sekolah dan siswa-siswanya di Indonesia dalam hal fasilitas, akses
terhadap sumber belajar, dan sumber daya manusia.

Keputusan pemerintah Cina menyerahkan penyelenggaraan ujian kelulusan


kepada sekolah patut ditiru. Yang berhak menguji siswa adalah sekolah sendiri
sebagai satu-satunya lembaga yang tahu betul konteks siswa yang diasuhnya.
Artinya, sekolah tahu kemampuan siswa-siswanya, muatan akademis mereka,
latar belakang keluarga dan ekonomi mereka, serta seberapa dalam kompetensi
tertentu telah dikuasai siswa. Penyelenggara ujian nasional tidak pernah
bertemu dengan para siswa, apalagi mengajar mereka, dan oleh karena itu
tidak berhak menguji dan menentukan kelulusan mereka.

Asumsi pemerintah yang menyatakan bahwa UAN akan mendorong siswa dan
guru bekerja lebih giat sehingga berprestasi lebih baik sungguh tidak bisa
diterima. Apakah betul ada korelasi positif antara pemberlakuan ujian yang
distandardkan secara nasional dengan prestasi siswa? Sebuah studi yang
dilakukan Sharon L. Nicols, Gene V. Glass, dan David C. Berliner terhadap data
tes NAEP (the National Assessment of Educational Progress) di 25 negara bagian
di Amerika Serikat (Techniques, 2006) justru menyangkal premis tersebut,
sebab hasil studi tersebut tidak menemukan bukti kuat yang menunjukkan
bahwa tekanan ujian yang dipakai untuk mengukur keberhasilan siswa dan
sekolah benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa. Artinya, ujian
nasional bukanlah faktor penting yang secara signifikan mampu mendorong
siswa untuk berprestasi.
Ujian yang distandardkan seyogyanya digunakan hanya sebagai alat evaluasi
(Michael Phillips, 2007), dan bukan sebagai alat penentu kelulusan. Pemerintah
mengatakan bahwa salah satu fungsi ujian nasional adalah untuk memetakan
kualitas pendidikan di Indonesia, dan menjamin mutu pendidikan nasional.
Fungsi inilah yang mestinya lebih ditekankan. Pemerintah bisa membuat
kebijakan-kebijakan maupun program-program pendidikan yang didasarkan
pada hasil pemetaan tersebut. Apabila fungsi ini berjalan dengan baik, niscaya
peringkat pendidikan Indonesia tidak akan berada di posisi paling bawah di
ASEAN.

(Oleh Benedictus Widi Nugroho. Dipublikasikan di Majalah BASIS Edisi Juli-


Agustus 2008)

Anda mungkin juga menyukai