Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENGEMBANGAN KURIKULUM RATIONAL MODEL


RALPH TYLER DAN HILDA TABA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum


Dosen Pengampu Niam Wahzudik, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
1. Ferlynda El Haq (1102422002)
2. Rahmat Abdilah (1102422003)
3. Satria Ridho Damara (1102422012)
4. Nabila Nur Rizqi L. (1102422019)
5. Handayani Agustina (1102422022)
6. Ester Theresia Manurung (1102422024)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara,
karena pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Proses pendidikan di sekolah-sekolah telah
mengalami perkembangan pesat, terutama dalam hal kurikulum (Moto 2019, 46).
Kurikulum merupakan panduan dalam merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran.
Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kurikulum, karena kurikulum adalah program
yang direncanakan dan dijalankan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Konsep kurikulum telah berkembang dari sekedar kumpulan mata
pelajaran menjadi kumpulan semua kegiatan atau pengalaman belajar yang diberikan
kepada siswa untuk mencapai tujuan pendidikan (Hermawan, Juliani, dan Widodo 2020,
38). Ini menunjukkan bahwa kurikulum terus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Pengembangan kurikulum adalah proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor, termasuk cara berpikir, sistem nilai (baik nilai moral, keagamaan, politik,
budaya, dan sosial), proses pengembangan, kebutuhan peserta didik, kebutuhan
masyarakat, serta arah program pendidikan. Penting untuk memperhatikan tujuan dari
pengembangan kurikulum, yang mencakup tujuan institusional (tujuan lembaga atau satuan
pendidikan), tujuan kurikuler (tujuan dalam bidang studi tertentu), dan tujuan instruksional
(tujuan pembelajaran). Semua faktor ini harus dipertimbangkan dalam proses
pengembangan kurikulum (Bahri 2017, 31).
Model pengembangan kurikulum adalah suatu metode atau prosedur yang digunakan
dalam perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum. Oleh karena itu, model
pengembangan kurikulum harus memiliki kemampuan untuk menggambarkan suatu sistem
perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar
keberhasilan pendidikan, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik (Ramdhan
2019, 46).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa itu model kurikulum rational?
2. Apa itu model pengembangan Tyler?
3. Apa itu model pengembangan Taba?
4. Apa persamaan dan perbedaan dari model pengembangan kurikulum model Tyler dan
model Taba?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah dapat diambil beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui model kurikulum rational !
2. Untuk mengetahui model terhadap pengembangan kurikulum Tyler !
3. Untuk mengetahui model terhadap pengembangan kurikulum Taba !
4. Untuk menjelaskan tentang persamaan dan perbedaan dari kurikulum model Tyler dan
Taba !
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Kurikulum Rational


Model kurikulum rasional atau disebut juga dengan model Tyler dapat ditemukan
dalam buku klasik yang sampai sekarang banyak dijadikan rujukan dalam proses
pengembangan kurikulum yang berjudul Basic Principles of Curriculum and Instruction.
Model ini lebih bersifat bagaimana merancang suatu kurikulum, sesuai dengan tujuan dan
misi suatu institusi pendidikan. Dengan demikian model ini tidak menguraikan
pengembangan kurikulum dalam bentuk langkah-langkah konkrit atau tahapan-tahapan
secara rinci. Tyler hanya memberikan dasar-dasar pengembangannya saja.
Anih (2015) menyebutkan bahwa model Tyler merupakan model yang paling dikenal
bagi perkembangan kurikulum dengan perhatian khusus pada fase perencanaan, ini terdapat
dalam buku Basic Principles of Curriculum and Instruction. The Tyler Rationale, yakni
proses pemilihan tujuan suatu pendidikan, yang dikenal luas dan dipraktekkan dalam
lingkungan kurikulum. Meskipun Tyler menawarkan suatu model yang komprehensif bagi
perkembangan kurikulum, bagian pertama dari model Tyler, pemilihan tujuan, mendapat
banyak perhatian dari pendidik lain.

2.2 Model Pengembangan Tyler


A. Profil Ralph Tyler
Ralph W. Tyler (1902-1994) adalah seorang pendidik Amerika yang berkontribusi
dalam bidang penilaian dan evaluasi. Dia menjadi penasihat sejumlah badan yang
menetapkan pedoman pengeluaran dana federal di bidang pendidikan. Tyler juga
berkontribusi pada lembaga pendidikan seperti National Science Board, Research and
Development Panel of the US Office of Education, National Advisory Council on
Disadvantaged Children, Social Science Research Foundation, Armed Forces Institute,
dan American Association for the the Advancement of Science. Tyler sangat erat
kaitannya dengan teori dan pengembangan kurikulum serta penilaian dan evaluasi
pendidikan Ia dikenal sebagai pengembang Model Tyler dalam pengembangan
kurikulum, yang merupakan pendekatan sistematis dan linier terhadap pengembangan
kurikulum yang menekankan pada pendefinisian tujuan, mengidentifikasi pengalaman
belajar yang sesuai, mengorganisasikan pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam
urutan yang logis, dan menilai efektivitas kurikulum dalam mencapai tujuan.
B. Pengertian model Tyler
Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles curriculum and Instruction (1949).
Model pengembangan kurikulum Tyler ini lebih bersifat pada bagaimana merancang
suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Dengan
demikian, model ini tidak menguraikan pengembangan kurikulum dalam bentuk
Langkah atau tahapan secara rinci. Tyler hanya memberikan dasar-dasar
pengembangannya saja.
terdapat empat tahapan dalam memngembangkan kurikulum dalam Model
Ralph Tyler , yaitu:

objectives

Selecting Learning experience

Organizing Learning Experience

Evaluation

Model Ralph Tyler menekankan pada empat pertanyaan yang dianggap


fundamental untuk mengembangkan kurikulum, yaitu:
1. What educational purposes should the school seek to attain? (Apa tujuan
pendidikan yang hendak dicapai oleh sekolah?) (objectives).
2. What educational experiences are likely to attain these
objectives?(Pengalaman pendidikan seperti apa yang memungkinkan untuk
mencapai tujuan ini?) (instructional strategic and content).
3. How can these educational experiences be organized effectively?
(Bagaimana pengalaman pendidikan ini dapat diatur secara efektif?)
(organizing learning experiences).
4. How can we determine whether these purposes are being attain? (Bagaimana
kita dapat menentukan apakah tujuan ini tercapai?) (assessment and
evaluation).
a. Menentukan Tujuan
Dalam menyusun suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah
pertama dan utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau
sasaran pendidikan. Tyler tidak menjelaskan secara detail tentang sumber
tujuan. “Similarly, some writers have argued that Tyler doesn’t adequately
explain the source of objectives” (Skilbeck, 1976: Kliebard, 1970). Namun
demikian, Tyler menjelaskan bahwa sumber perumusan tujuan berasal dari
siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilmu, filosofis, dan psikologi belajar.
Merumuskan tujuan kurikulum sangat tergantung dari teori dan filsafat
pendidikan serta model kurikulum apa yang dianut. Bagi pengembang
kurikulum subjek akademis, penguasaan berbagai konsep dan teori seperti yang
tergambar dalam disiplin ilmu adalah sumber tujuan utama. Kurikulum yang
bersifat “discipline oriented” berbeda dengan pengembang kurikulum model
humanistik yang lebih bersifat “childish centered”, yaitu kurikulum yang lebih
berpusat pada pengembangan pribadi siswa, maka yang menjadi sumber utama
dalam perumusan tujuan tentu adalah siswa itu sendiri, baik itu yang
berhubungan dengan pengembangan minat dan bakat serta kebutuhan untuk
membekali hidupnya nanti. Berbeda dengan kurikulum rekonstruksi sosial.
Kurikulum yang lebih bersifat “society centered” ini memposisikan kurikulum
sekolah sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, maka
kebutuhan dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan merupakan sumber
tujuan utama kurikulum ini.
Walaupun secara teoritis tampak ada pertentangan antara kurikulum yang
bersumber dari disiplin akademik, bersumber dari kebutuhan pribadi dan
kebutuhan masyarakat, akan tetapi dalam praktiknya tidak seperti yang terlihat
dalam teori. Anak adalah organisme yang unik, yang memiliki berbagai
perbedaan satu sama lain. Selain itu anak juga adalah makhluk sosial yang
berasal dan akan kembali pada masyarakat, oleh karena itulah tujuan kurikulum
apapun bentuk dan modelnya pada dasarnya harus mempertimbangkan berbagai
sumber untuk kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
b. Menentukan Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan
bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Tyler (1990: 41)
mengemukakan bahwa Pengalaman belajar menunjuk pada aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran. Dengan demikian yang harus dipertanyakan dalam
pengalaman ini adalah “apa yang akan atau telah dikerjakan oleh siswa” bukan
“ apa yang akan atau telah diperbuat oleh guru”. Untuk itu guru sebagai
pengembang kurikulum mesti memahami apa minat siswa, serta bagaimana
latar belakangnya. Dengan pemahaman tersebut, guru akan lebih mudah
mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa dalam memperoleh
pengalaman belajar yang lebih baik. Ada beberapa prinsip dalam menentukan
pengalaman belajar siswa.

1. Pengalaman siswa haruslah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.


Setiap tujuan akan menentukan pengalaman dalam pembelajaran.
2. Setiap pengalaman belajar harus dapat memuaskan rasa ingin tahu siswa.
3. Setiap rancangan pengalaman siswa sebaiknya melibatkan siswa itu sendiri.
4. Ada kemungkinan bahwa dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai
tujuan yang berbeda.

Terdapat beberapa bentuk pengalaman belajar yang dapat dikembangkan


oleh guru, misalkan pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan
berpikir siswa, pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam
mengumpulkan sejumlah informasi, pengalaman belajar untuk membantu
mengembangkan sikap sosial, dan pengalaman belajar untuk membantu
mengembangkan minat siswa.
c. Mengorganisasi Pengalaman Belajar
Langkah pengorganisasian sangat penting, sebab dengan pengorganisasian
yang jelas akan memberikan arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran
sehingga dapat menjadi pengalaman belajar yang nyata bagi siswa.

Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar yaitu:

1. Pengorganisasian secara vertikal adalah apabila menghubungkan


pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang
berbeda. Misalkan, pengorganisasian pengalaman belajar yang
menghubungkan antara bidang geografi di kelas lima dan geografi kelas
enam.
2. Pengorganisasian secara horizontal adalah jika kita menghubungkan
pengalaman belajar dalam bidang geografi dan sejarah pada tingkat yang
sama. Kedua hubungan ini sangat penting dalam proses mengorganisasikan
pengalaman belajar. Misalkan, hubungan vertikal akan memungkinkan
siswa memiliki pengalaman belajar yang semakin luas dalam kajian yang
sama, sedangkan hubungan horizontal antara pengalaman belajar yang satu
dan yang lain akan saling mengisi dan memberikan penguatan.

Menurut Tyler (1950: 55) terdapat 3 prinsip dalam mengorganisasi pengalaman


belajar, yaitu sebagai berikut.

1. Prinsip kontinuitas bersifat vertikal, artinya bahwa pengalaman belajar yang


diberikan harus memiliki kesinambungan yang diperlukan untuk
mengembangkan pengalaman belajar selanjutnya. Contohnya, apabila anak
diberikan pengalaman belajar tentang pengembangan kemampuan membaca
bahan-bahan pelajaran studi sosial, maka harus diyakini bahwa pengalaman
belajar tersebut akan dibutuhkan untuk mengembangkan keterampilan
berikutnya, contohnya seperti keterampilan memecahkan masalah-masalah
sosial.
2. Prinsip kontinuitas bersifat horizontal artinya bahwa suatu pengalaman yang
diberikan pada siswa harus memiliki fungsi dan bermanfaat untuk
memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lain. Contohnya adalah
pengalaman belajar dalam bidang aritmatika harus dapat membantu untuk
memperoleh pengalaman belajar dalam bidang ekonomi maupun dalam
bidang IPA.
3. Prinsip urutan isi/relevansi, prinsip ini sebenarnya berhubungan erat dengan
kontinuitas, hanya saja perbedaannya terletak pada tingkat kesulitan dan
keluasan bahasan. Artinya bahwa setiap pengalaman belajar yang diberikan
kepada siswa harus memperhatikan tingkat perkembangan siswa tersebut.
Contohnya, pengalaman belajar yang diberikan di kelas lima tentunya harus
berbeda dengan pengalaman pada tingkat selanjutnya.

d. Evaluasi
Proses evaluasi merupakan langkah untuk mendapatkan informasi tentang
ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan evaluasi kita dapat
menentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh sekolah atau belum. Di dalam model Objectives Tyler
memandang evaluasi kurikulum sebagai pengukuran performa / penampilan
siswa terhadap tujuan perilaku yang sudah dirumuskan sebelumnya. Terdapat
dua aspek yang perlu diperhatikan dalam evaluasi.

1. Evaluasi harus mampu menilai apakah telah terjadi perubahan tingkah laku
siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dibuat.
2. Evaluasi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu
waktu tertentu. Karena penilaian suatu program tidak mungkin hanya
mengandalkan hasil tes siswa di akhir proses pembelajaran. Penilaian
dilakukan dengan membandingkan hasil antara penilaian awal sebelum
melakukan program dan sesudah melakukan program. Dari perbandingan
inilah nantinya akan terlihat ada atau tidaknya perubahan tingkah laku yang
diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan.

Ada dua fungsi dalam evaluasi yaitu sebagai berikut :

1. Fungsi sumatif : Memperoleh data tentang ketercapaian tujuan oleh peserta


didik. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana tingkat pencapaian
atau tingkat penguasaan isi kurikulum oleh para siswa.
2. Fungsi formatif : Melihat efektivitas proses pembelajaran. Maksudnya
apakah program yang disusun telah dianggap sempurna atau justru perlu
perbaikan.

2.3 Model Pengembangan Taba


Hilda Taba lahir di kota Kooraste, Estonia, pada 7 Desember 1902. meninggal pada 6
Juli 1967, Burlingame, California, AS), pendidik berkebangsaan Estonia-Amerika, yang
dianggap sebagai salah satu kontributor paling signifikan dalam bidang pendidikan antar
kelompok dan desain kurikulum. Ayahnya adalah seorang pendidik bernama Robert Taba
dan banyak saudara, sampai-sampai Taba adalah anak tertua dari sembilan bersaudara.
Sewaktu Kecil, Taba bersekolah di sekolah dasar di mana ayahnya menjadi kepala
sekolah. Setelah menyelesaikan studi sarjana pada tahun 1926 di Universitas Tartu di
Estonia, di mana ia mengambil jurusan sejarah dan pendidikan, Taba pindah ke Amerika
Serikat dan memulai studi pascasarjana di Bryn Mawr College, di mana ia meraih gelar
M.A. pada tahun 1927. Pada tahun 1932, ia mendapatkan gelar doktor di Teachers College,
Universitas Columbia, di mana William H. Kilpatrick mengawasi penelitiannya. Dia juga
belajar dengan filsuf John Dewey, pemikirannya memengaruhi karya-karyanya kemudian.
Di Estonia, dia tidak mendapatkan pekerjaan sehingga Taba menjadi guru bahasa
Jerman pada tahun 1933 di Dalton School, di Kota New York. Pada saat itu, Dalton School
terlibat dalam Eight-Year Study, sebuah penelitian tentang kurikulum alternatif dan
praktik-praktik baru dalam bidang seperti pengujian siswa dan pengembangan guru.
Partisipasi Taba membawanya bekerja sama dengan direktur penelitian studi tersebut,
Ralph Tyler, yang mempekerjakannya sebagai bagian dari tim penelitiannya di Universitas
Negara Bagian Ohio. Pada tahun 1939, ia menjadi direktur laboratorium kurikulum di
Universitas Chicago, yang dipegangnya hingga tahun 1945.
Dalam bukunya Curriculum Development : Theory and Practice (1962), hilda taba
mengungkapkan pendekatannya untuk proses pengembangan kurikulum. Model Taba
merupakan modifikasi dari model Tyler. Modifikasi tersebut penekanannya terutama pada
pemusatan perhatian guru. Taba mempercayai bahwa guru merupakan faktor utama dalam
usaha pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang dilakukan guru dan
memposisikan guru sebagai inovator dalam pengembangan kurikulum merupakan
karakteristik dalam model pengembangan Taba.
Langkah-langkah dalam proses pengembangan kurikulum menurut Taba:
a. Diagnosis Kebutuhan
Agar kurikulum menjadi berguna pada pengalaman belajar murid, Taba
berpendapat bahwa sangatlah penting mendiagnosis berbagai kebutuhan pendidik.
Hal ini merupakan langkah penting pertama dari Taba tentang apa yang anak didik
inginkan dan perlukan untuk belajar. Karena latar belakang peserta didik yang
beragam, maka diperlukannya diagnosis tentang gaps, berbagai kekurangan,
(deficiencies), dan perbedaan latar belakang peserta didik (variations in these
background).
b. Formulasi Pokok-pokok (Merumuskan tujuan pendidikan)
Formulasi yang jelas dan tujuan-tujuan yang komprehensif untuk membentuk
dasar pengembangan elemen-elemen berikutnya. Secara jelas, taba berpendapat
bahwa hakikat tujuan akan menentukan jenis pelajaran yang perlu untuk diikuti.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan, ada empat area yang perlu diperhatikan,
pertama, konsep atau ide yang akan dipelajari (concepts or ideas to be learned).
Kedua, sikap, sensitivitas, dan perasaan yang akan dikembangkan (attitudes,
sensitivities, and feeling to be developed). Ketiga, pola pikir yang akan ditekankan,
dikuatkan, atau dimulai/dirumuskan (ways of thinking to be reinforced,
strengthened, or initiated). Keempat, kebiasaan dan kemampuan yang akan
dikuasai (habits and skills to be mastered)
c. Seleksi Isi
Menurut Taba, isi (materi) yang akan diajarkan kepada peserta didik adalah
1) Harus Valid dan signifikan,
2) Isi Harus relevan dengan kenyataan sosial,
3) Isi hasus mengandung keseimbangan antara keluasan dan kedalaman.
4) Isi harus mencakup beberapa tujuan,
5) Isi harus dapat disesuaikan dengan kemampuan peserta didik untuk
mempelajarinya, dan bisa dihubungkan dengan pengalaman mereka.
d. Organisasi isi
Dalam menyusun kurikulum, terutama terkait dengan bentuk penyajian bahan
pelajaran/isi atau organisasi kurikulum/isi, ada dua organisasi kurikulum yang bisa
menjadi pilihan, yaitu kurikulum berdasarkan mata pelajaran dan kurikulum
terpadu.
e. Seleksi pengalaman belajar
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam seleksi pengalaman belajar
peserta didik.
1) Pengalaman peserta didik harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Sebab, setiap tujuan akan menentukan pengalaman pembelajaran.
2) Setiap pengalaman belajar harus memuaskan peserta didik
3) Setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan peserta didik,
4) Dalam satu pengalaman belajar kemungkinan dapat mencapai tujuan yang
berbeda.
f. Organisasi Pengalaman belajar
Mengutip pendapatnya Tyler, terdapat tiga prinsip dalam mengorganisasi
pengalaman belajar, yaitu kontinuitas, urutan isi dan integrasi. Kontinuitas berarti
bahwa, pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki kesinambungan yang
diperlukan untuk pengembangan belajar selanjutnya dan untuk memperoleh
pengalaman belajar dalam bidang lain. Adapun urutan isi, artinya setiap
pengalaman belajar yang diberikan kepada peserta didik harus memperhatikan
tingkat perkembangan mereka.
g. Penentuan tentang apa yang harus dievaluasi dan cara untuk melakukannya.
Dalam melakukan evaluasi, Taba menganjurkan beberapa hal :
1) Menetapkan kriteria penilaian
2) Menyusun program evaluasi yang komprehensif
3) Menerapkan teknik pengumpulan data
4) Melakukan interpretasi data evaluasi
5) Menerjemahkan evaluasi ke dalam kurikulum.
2.4 Persamaan dan Perbedaan antara Model Tyler dan Model Taba
A. Perbedaan
Model pengembangan kurikulum Tyler ini lebih bersifat pada bagaimana
merancang suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan dan misi suatu institusi
pendidikan. model ini tidak menguraikan pengembangan kurikulum dalam bentuk
Langkah atau tahapan secara rinci. Tyler hanya memberikan dasar-dasar
pengembangannya saja, sedangkan model pengembangan kurikulum Taba proses
penekanannya lebih ke arah pada pemusatan perhatian guru atau modifikasinya dari
Tyler.
Taba mempercayai bahwa guru merupakan faktor utama dalam usaha
pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh guru dan
memposisikan guru sebagai inovator dalam pengembangan kurikulum. Model Tyler
lebih menekankan pada perumusan tujuan yang spesifik dan terukur, sedangkan Model
Taba lebih menekankan pada proses berkelanjutan dan refleksi dalam pengembangan
kurikulum. Selain itu, Model Tyler cenderung lebih tradisional dalam pendekatannya,
sementara Model Taba lebih cenderung mendukung pengalaman belajar yang berpusat
pada siswa.
B. Persamaan
Persamaan dari kedua pengembangan kurikulum pada model Tyler dan Taba ini
memiliki rational Model yang logis strukturnya, menjadikan sebagai dasar yang
berguna dalam perencanaan dan pemikiran kurikulum. Model ini telah menghindari
kebingungan, sebuah tugas yang susah dari perspektif kebanyakan pengembang
kurikulum. Para pendidik dan para pengembang kurikulum yang bekerja dibawah
model rasional (rational model) memberikan suatu jalan yang tidak berbelit-belit dan
mempunyai pendekatan waktu yang efisien. Dalam mengevaluasi proses kurikulum,
satu hal yang dapat diargumenkan adalah tyler dan taba telah mendapatkan sesuatu
yang sifatnya rasional, yang menyokong pembangunan kurikulum setidaknya dari
perspektif rasional.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengembangan kurikulum adalah proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor, termasuk cara berpikir, sistem nilai (baik nilai moral, keagamaan, politik,
budaya, dan sosial), proses pengembangan, kebutuhan peserta didik, kebutuhan
masyarakat, serta arah program pendidikan. Model pengembangan kurikulum adalah suatu
metode atau prosedur yang digunakan dalam perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi
kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus memiliki kemampuan
untuk menggambarkan suatu sistem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi
berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan pendidikan, sehingga tujuan pendidikan
dapat tercapai dengan baik (Ramdhan 2019, 46).
Model Tyler dalam pengembangan kurikulum, yang merupakan pendekatan sistematis
dan linier terhadap pengembangan kurikulum yang menekankan pada pendefinisian
tujuan, mengidentifikasi pengalaman belajar yang sesuai, mengorganisasikan
pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam urutan yang logis, dan menilai efektivitas
kurikulum dalam mencapai tujuan.
Hilda taba mengungkapkan pendekatannya untuk proses pengembangan kurikulum.
Model Taba merupakan modifikasi dari model Tyler. Modifikasi tersebut penekanannya
terutama pada pemusatan perhatian guru. Taba mempercayai bahwa guru merupakan
faktor utama dalam usaha pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum yang
dilakukan guru dan memposisikan guru sebagai inovator dalam pengembangan kurikulum
merupakan karakteristik dalam model pengembangan Taba.
DAFTAR PUSTAKA

Admin Idmadilkus. (2011). MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM.Diambil


dari Internet.https://imadiklus.or.id/model-model-pengembangan-kurikulum/.

Anih, E. (2015). Manajemen implementasi kebijakan pengembangan kurikulum di perguruan


tinggi berbasis kompetensi. Judika (Jurnal Pendidikan Unsika), 3(1).
Almu’tasim, Amru. (2018). “Menakar Model Pengembangan Kurikulum Di Madrasah.”
Jurnalstudikeislaman.
Bahri, Syamsul. (2017). “Pengembangan Kurikulum Dasar Dan Tujuannya.” Jurnal Ilmiah
Islam Futura, (1), 11.
Hermawan, Yudi Candra, Wikanti Iffah Juliani, Dan Hendro Widodo. (2020). “Konsep
Kurikulum Dan Kurikulum Pendidikan Islam.” Jurnal Mudarrisuna: Media Kajian
Pendidikan Agama Islam.
Moto, Maklonia Meling. (2019). “Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran Dalam Dunia
Pendidikan.” Indonesian Journal Of Primary Education, 3, 1.
Ramdhan, Tri Wahyudi. (2019). “Model Pengembangan Kurikulum Multikultural.” Al-
Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman, 2, 5.
Sudarman, S. P. BUKU AJAR PENGEMBANGAN KURIKULUM.

Anda mungkin juga menyukai