Anda di halaman 1dari 8

Nama: Muhammad Naufal Baihaqi

NIM: 225070507111018
Kelas/Kelompok: Farmasi B/B2

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Subjective

Pasien mengalami lemas pada hari pertama pemeriksaan yang mungkin


disebabkan oleh karena pasien memiliki riwayat penyakit PJK-IMA yang mana
pasokan darah berkurang akibat penyempitan arteri koroner karena adanya
aterosklerosis atau sumbatan arteri oleh emboli atau thrombus secara total yang
dapat membuat suplai oksigen ke jantung tidak sesuai (Smeltzer dan Bare, 2010).
Pasien mengalami sesak napas dan batuk bedahak yang mana hal tersebut
merupakan gejala dari PPOK, pasien mengalami sesak napas karena adanya
obstruksi pada saluran pernapasan, pasien mengalami mengi yang mungkin dapat
terjadi pada saat beraktivitas dan ekserbasi (Medscape, 2022).

Pasien mengeluhkan adanya sesak napas sejak subuh dikarenakan biasanya


suhu pada waktu subuh relatif lebih rendah yang merujuk pada ekserbasi akut yang
hilang timbul dan sering terjadi pada musim dingin/suhu yang rendah (GOLD,
2024).

Objective

Pada awal masuk IGD suhu tubuh pasien sempat berada di atas batas normal
yaitu 38oC yang mungkin disebabkan oleh adanya kekambuhan pada PPOK yang
dapat mengindikasi adanya infeksi bakteri, virus atau patogen. Pada pemeriksaan
laboratorium pasien terlihat bahwa adanya kenaikan leukosit pada tanggal 18 Mei
yang mana hal tersebut dapat mengindikasi adanya infeksi yang diakibatkan oleh
bakteri dan kemudian kembali normal pada tanggal 20 Mei, Pasien mengalami
asidosis respiratorik akut akibat PPOK yang terjadi karena adanya kegagalan
ventilasi secara tiba tiba, sehingga tingkat pCO2 nya menjadi lebih tinggi dari nilai
normal yang dikompensasi dengan pemberian masker O2 dan nebulizer
Combivent® untuk mengatasi sesak yang dapat dilihat dari peningkatan O2 pada
pemeriksaan data laboratorium (Medscape, 2023). Pada hasil spirometer
menunjukan FEV1 = 54% dan FEV1/FVC = 66%, nilai tersebut berada pada rentang
50% - 70% yang mendakan bahwa pasien berada dalam kondisi PPOK
sedang/moderate (GOLD, 2024).

Assessment

1. Profil Pengambilan Obat

a. Ceftriaxone (Cephalosphorin) : Memiliki indikasi terapi pada infeksi


bakteri penyebab gangguan pernapasan dengan efek terapi mengatasi
infeksi oleh bakteri sehingga dapat menurunkan demam dan
peningkatan leukosit. Cefritaxone bersifat sensitif dan mungkin dapat
memicu beberapa reaksi hipersensitivitas seperti anafilaksis, demam,
ruam kulit, nefritis granulositopenia dan anemia hemolitik (Katzung,
2012).

b. Levofloxacine (Fluoroquinolon) : Mengatasi infeksi bakteri pada


saluran pernapasan, sehingga menurunkan demam, dengan mekanisme
kerja menghambat aktivitas DNA girase, yang mana pada masanya akan
memutus untai DNA (Medscape, 2022). Levofloxacine mungkin dapat
menyebabkan beberapa komplikasi seperti mual, diare, konstipasi, sakit
kepala dan reaksi alergi (Katzung, 2012).

c. Ciprofloxacine (Quinolon) : Mengatasi Infeksi bakteri pada saluran


pernapasan dengan mekanisme Menghambat replikasi DNA dengan
mengikat pada DNA gyrase dan topoisomerase IV (Katzung, 2012).
Ciprofloxacine juga dapat mengakibatkan mual, muntah, ruam pada
kulit dan diare.

d. Gliseril guaiakolat (Ekspektoran) : Meredakan batuk dan dapat


melancarkan pengeluaran dahak pada saluran napas dengan mekanisme
mengurangi viskositas sekret dengan meningkatkan jumlah cairan
pernapasan dan mengiritasi mukosa lambung (Medscape, 2022).
Gliseril guaiakolat juga dapat menyebabkan ganguang pada saluran
pencernaan dikarenakan memiliki mekanisme mengiritasi mukosa
lambung (Medscape, 2022).
e. Combivent® (Albuterol/Ipratromium) : Memiliki mekanisme aksi
antagonis nonselektif pada reseptor M dan selektif β2 agonis, memiliki
efek bronkodilator untuk meredakan sesak napas pada pasien namun
kombinasi obat ini dapat menyebabkan efek samping seperti takikardi
(Katzung, 2012).

f. Budesonide (Kortikosteroid) : Obat inhalasi kortikosteroid yang dapat


mengurangi permeabilitas kapiler untuk menurunkan mukus,
menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit dan dapat
menghambat prostaglandin yang dapat digunakan untuk terapi dari
sesak napas (Dipiro et al., 2015)

g. N-asetil sistein (Mukolitik) : Menurunkan viskositas lendir dari sekresi


paru-paru dengan memberikan aktivitas mukolitik melalui gugus
sulfihidril yang akan membuka ikatan disulfida dalam mukoprotein,
digunakan untuk terapi batuk berahak. Obat ini dapat juga dapat
menyebabkan efek seperti penyempitan saluran napas, bronkospasme,
mual dan muntah (Medscape, 2022).

h. Aminofilin (Bronkodilator) : Memiliki efek bronkodilator dengan


mekanisme relaksasi otot polos pada saluran pernapasan dan menekan
respon saluran pernapasan terhadap rangsangan, dapat menyebabkan
takikardi, aritmia dan palpitasi (Dipiro et al., 2015).

i. Ranitidin (Antihistamin) : Menurunkan sekresi asam lambung dengan


menghambat reseptor histamin H2, digunakan untuk terapi efek
samping dari obat antibiotik yang dapat mengiritasi lambung (Katzung,
2012).

j. Metoklopramid (Antiemetik) : Mengatasi mual melalui penghambatan


reseptor dopamin, memperkuat peristaltik dan mempercepat
pengosongan lambung, dapat menyebabkan pusing, sakit kepala, dan
mengantuk (Katzung, 2012).

2. Form Asuhan Kefarmasian


a. Terdapat indikasi, namun belum terdapat terapi: (18/05/2021) pasien
mengeluhkan sesak napas sejak subuh dengan kondisi umum pasien
lemah, sesak napas, demam dan hipertensi. Pasien mengalami demam
dan peningkatan leukosit yang menandakan adanya infeksi bakteri
sehingga diberikan terapi Ceftriaxon dan Levofloxacin yang merupakan
antibiotik, kemudian diberikan ranitidin untuk meringankan efek
samping dari antibiotik tersebut. Pemberian obat antihipertensi dan obat
mukolitik untuk terapi batuk berdahak sebaiknya dilakukan.
b. Pemilihan Obat: (18/05/21) Pasien diberikan masker O2 dan nebulizer
Combivent® untuk mengatasi sesak, pemberian Combivent® sempat
dihentikan pada tanggal 21 dikarenakan adanya kenaikan tekanan darah
akibat efek samping dari Combivent® yang kemudian pemberian
dilanjutkan kembali pada tanggal 22 setelah tekanan darah mulai
menurun. Tindakan tersebut tepat dikarenakan Combivent® memiliki
kombinasi dari beta-2-agonis dan antikolinergik yang dapan digunakan
untuk terapi sesak napas pada pasien PPOK. Pemberian masker O2 juga
mengatasi asidosis respiratorik akibat tekanan CO2 yang meningkat.
c. Penghentian Obat: (21/05/21) Pemberian Gliseril guaiakolat sempat
diberhentikan, namun pasien masih batuk berdahak. Sebaiknya
pemberian tetap dilanjutkan supaya terapi batuk berdahak tetap
berlanjut.
d. Penghentian Obat: (25/05/21) Ranitidin sempat diberhentikan. Perlu
dilakukan konsultasi dengan dokter mengapa ranitdin diberhentikan
karena obat Budesonide dan Gliseril guaiakolat dapat menyebabkan
gangguan sistem pencernaan.
e. Penghentian Obat: (27/05/21) Pemberian Combivent® dan Budesonide
masih dilanjutkan padahal pasien sudah tidak sesak napas. Sebaiknya
pemberian Combivent® diberhentikan dikarenakan pasien sudah tidak
mengalami sesak napas dan untuk mencegah adanya kenaikan tekanan
darah kembali.
Plan

• Terapi non-farmakologis:
1. Menghindari asap dan gas berbahaya seperti asap rokok, asap kendaraan
dan gas yang lainnya yang dapat memperparah PPOK.
2. Memakai baju tebal dan selimut ketika cuaca sedang dingin.
3. Tidak melakukan aktivitas terlalu berat yang dapat membebani kinerja
paru-paru dan jantung.
• Monitoring
1. Sesak napas: Monitoring sesak untuk mencegah PPOK agar tidak
semakin parah.
2. Leukosit: Memantau jumlah kenaikan leukosit untuk mengetahui
adanya infeksi bakteri/virus ketika leukosit berada diatas batas normal.
3. Batuk berdahak: Monitoring batuk berdahak untuk dilakukan terapi dari
obat batuk berdahak.
4. Mual dan muntah: Memantau efek samping dari obat yang digunakan
dan memberikan obat untuk meredakan efek samping tersebut.
5. Tekanan darah: Memantau tekanan darah akibat riwayat penyakit
maupun efek samping dari obat yang digunakan untuk menjaga tekanan
darah agar tetap normal.
6. Oksigen: Memantau kadar oksigen pasien agar pasien dipastikan
memiliki oksigen yang cukup untuk menghindari adanya kekurangan
oksigen.
• Lembar Konseling
1. Pasien: Memberikan penjelasan aturan pemakaian obat yaitu puyer 3
kali sehari diminum setiap 8 jam, memberikan informasi terkait
antibiotik bahwa antibiotik harus diminum sampai habis, Mengedukasi
bahaya paparan asap rokok, asap kendaraan dan asap lainnya, serta
menyarankan untuk memakai masker ketika sedang beraktivitas diluar
ruangan.
2. Keluarga Pasien: Memberi edukasi terkait penggunaan obat dan
memantau perkembangan dan penggunaan obat dari pasien serta
memantau aktivitas pasien agar pasien tidak melakukan aktivitas yang
terlalu berat dan mengingatkan untuk memakai masker ketika berada
diluar rumah.
3. Perawat: Memantau perkembangan kondisi kesehatan dari pasien.

Preparasi Obat Injeksi

1. Ceftriaxone: Bubuk steril seberat 250 mg di larutkan dalam 2,4 mL normal


salin, 15% dextrose dalam air, 5% dextrose dalam normal saline, atau 5%
dextrose dalam setengah normal saline untuk penyuntikan. Pemberian dosis
tunggal dilakukan setiap 24 jam, dan dapat diberikan setiap 12 jam
tergantung pada keparahan infeksi. Obat stabil pada suhu 25ºC dengan
catatan tidak terpapar cahaya langsung (Gahart et al., 2017).
2. Levofloxacine: Untuk dosis tunggal, setiap vial berisi 10mL harus
diencerkan dengan minimal 40mL larutan normal saline, larutan dextrose
5% dalam air, larutan dextrose 5% dalam larutan normal saline, larutan
dextrose 5% dalam setengah normal saline, dengan tambahan 0,15% KCl
atau seperenam natrium laktat. Dalam dosis 250-500 mg, distribusi obat
harus merata di tubuh dalam waktu 60 menit. Sementara itu, untuk dosis
750 mg, distribusi obat harus merata di tubuh dalam waktu 90 menit. Stabil
pada suhu 25ºC dengan tidak terpapar cahaya langsung (Gahart et al., 2017).
3. Ciprofloxacine: Pada infeksi saluran pernapasan bawah ringan/sedang
mengandung 400 mg IV setiap 12jam selama 7-14 hari. Suntikkan 1-2
mg/mL (dilarutkan dalam D5W atau NS) ke dalam vena besar selama 60
menit. Stabil dalam konsentrasi 0.5-2 mg/mL dalam D5W atau NS selama
14 hari pada suhu ruang (25ºC) (Medscape, 2022).
4. Ranitidin: Setiap vial yang berisi 50 mg (2 mL) harus diencerkan dengan 18
mL NS atau larutan infus yang kompatibel lainnya untuk suntikan (D5W,
D10W, LR, 5% natrium bikarbonat). Konsentrasi larutan tidak boleh lebih
dari 2,5 mg/mL. Suntikan 50mg (2mL) setiap 6-8 jam dengan kecepatan
infus kurang dari 4mL per menit untuk larutan yang sudah diencerkan
(20mL selama 5 menit). Stabil pada suhu ruang (25ºC) selama 48 jam
dengan tidak terpapar cahaya langsung (Gahart et al., 2017).
5. Metoklopramid: Dapat diberikan tanpa diencerkan jika dosis tidak melebihi
10 mg. Untuk dosis yang melebihi 10 mg, larutkan dalam setidaknya 50 mL
D5W, NS, D5/1/2NS, R, atau LR, dan berikan sebagai infus. Berikan 10 mg
atau bagian yang sesuai selama 2 menit. Kurangi kecepatan injeksi pada
pasien anak. Larutan encer stabil dalam 24 jam pada cahaya normal, 48 jam
jika terlindungi dari cahaya. Larutan dalam NS jangan didinginkan (Gahart
et al., 2017).
Daftar Pustaka

Dipiro, C.V., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L. & Wells, B.G. 2015.
Pharmacotherapy Handbook, 9th Edition., McGraw-Hill Education, United
States.

Gahart, B.L., Nazzareno, A.R., Ortega, M.Q. 2017. Gahart’s 2018 Intravenous
Medications: A Handbook for Nurses and Health Professionals. 34th
edition., Elsevier, Korea.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2024. Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.

Katzung, B. G. dkk., 2012. Basic and Clinical Pharmacology., McGraw Hill, New
York.

Medscape. 2022, Drug & Diseases, Terdapat di: https://reference.medscape.com


[Diakses pada Februari 14, 2024].

Smeltzer, S.C, Bare, B.G. 2010.Text Book of Medical Surgical Nursing 11th
edition., Philadelpnia.

Anda mungkin juga menyukai