Anda di halaman 1dari 15

TERJEMAHAN

MUKHTASHOR

LATHAIFUL MAARIF

PEMBAHASAN
BULAN SHAFAR

WWW.TEDISOBANDI.BLOGSPOT.COM

1
TERJEMAHAN
MUKHTASHOR

LATHAIFUL MAARIF

PEMBAHASAN
BULAN SHAFAR

WWW.TEDISOBANDI.BLOGSPOT.COM

1
Amalan Bulan Shafar
[Iman Kepada Takdir dan Mengambil Sebab-sebab Keselamatan]

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu


Hurairah, dari Nabi, bahwa beliau bersabda,
ّ
،‫ فما بال اإلبل تكون يف الرمل كأنها الظباء‬،‫ يا رسول هللا‬:‫اب‬
‫ فقال أعر ي‬.‫ وال صفر‬،‫ وال هامة‬،‫ال عدوى‬
‫ فمن أعدى األول؟‬:‫البعي األجرب فيجرب ها؟ فقال رسول هللا ﷺ‬ ‫فيخالطها ر‬

"Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada (kepercayaan


reinkarnasi manusia yang meninggal menjadi) burung hantu, dan tidak ada
(kepercayaan terkena sial pada bulan) shafar." Lalu seorang laki-laki Arab
Badui berkata, "Wahai Rasulullah, lalu bagaimana halnya dengan keadaan
unta-unta yang berada di tanah pasir seolah-olah ia adalah rusa (yang
sehat), lalu ia dibaurkan dengan unta yang berpenyakit kudis, maka unta
yang berpenyakit kudis itu membuatnya berpenyakit kudis juga?" Maka
Rasulullah bersabda, "Lalu siapakah yang menularkan penyakit kudis kepada
unta yang pertama? (Jawabnya, tentu atas kehendak Allah),"Diriwayatkan
oleh al-Bukhari, no. 5717 dan Muslim, no. 2220.

Adapun "penyakit menular", maka maknanya adalah bahwa penyakit itu


menular dari penderitanya kepada orang sehat yang berdekatan dengannya
sehingga orang sehat itu menjadi ikut sakit karenanya. Dahulu kala, orang-
orang Arab meyakini hal itu terjadi dalam banyak penyakit, di antaranya
adalah penyakit kudis. Oleh karena itu, laki-laki Arab Badui itu bertanya
tentang unta-unta yang sehat yang dibaurkan dengan unta yang berpenyakit
kudis sehingga unta-unta yang sehat itu menjadi berpenyakit kudis juga,
maka Nabibersabda,

‫فمن أعدى األول؟‬

"Lalu siapakah yang menularkan penyakit kudis kepada unta yang pertama?"

2
Maksud beliau adalah bahwa unta yang pertama tidaklah berpenyakit kudis
karena tertular oleh yang lain, akan tetapi karena ketetapan Qadha` dan
Qadar Allah, maka demikian juga yang kedua dan yang setelahnya.

Ada beberapa hadits yang sulit dipahami oleh banyak orang, hingga
sebagian mereka menganggap bahwa hadits-hadits tersebut adalah
penghapus (nâsikh) sabda beliau, (si v), "Tidak ada penyakit menular
(dengan sendirinya)", seperti hadits yang diriwayatkan dalam Shahih al-
Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda,

.‫ال يورد ممرض عىل مصح‬

"Pemilik unta yang sakit tidak boleh menggiring (masuk untanya yang sakit)
kepada pemilik yang bersama untanya yang sehat."Diriwayatkan oleh al-
Bukhari, no. 5771 dan Muslim, no. 2221.

Maksudnya adalah dilarangnya memasukkan unta yang sakit ke dalam


kumpulan unta yang sehat. Dan seperti sabda Nabi,

.‫فر من المجذوم فرارك من األسد‬

"Larilah dari orang yang terkena penyakit lepra sebagaimana engkau lari dari
singa." Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 9429.

Dan sabda Nabi terkait wabah penyakit rinderpest [Sebuah virus penyakit
akut dari hewan ternak yang menular melalui udara. Ed. T.]

.‫فإذا سمعتم به بأرض فال تدخلوها‬

"Apabila kalian mendengar penyakit rinderpest di suatu negeri, maka


janganlah kalian masuk ke negeri tersebut. " Diriwayatkan oleh al-Bukhari,
no. 5728 dan Muslim, no. 2218.

Makna yang shahih yang dipegang oleh mayoritas para ulama adalah tidak
ada nasakh dalam semua itu, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang
makna sabda Nabi (‫" )ال عدوى‬Tidak ada penyakit menular (dengan
sendirinya)", dan pendapat yang paling zahir di antara pendapat-pendapat

3
yang dikatakan dalam hal itu adalah bahwa hal itu merupakan penafian
terhadap kepercayaan yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah, yaitu bahwa
penyakit-penyakit tersebut menular secara alami, tanpa meyakini adanya
takdir Allah terhadap hal itu, dan ini ditunjukkan oleh sabda Nabi,

‫فمن أعدى األول؟‬

"Lalu siapakah yang menularkan penyakit kudis kepada unta yang pertama?"

Beliau mengisyaratkan bahwa unta yang pertama itu berpenyakit kudis


karena Qadha` dan Qadar Allah. Demikian juga unta yang kedua dan yang
setelahnya.

Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas'ud, beliau
berkata, Rasulullah bersabda,

‫ الثقبة من الجرب تكون بمشفر ر‬،‫ يا رسول هللا‬:‫اب‬


‫البعي أو‬ ‫ فقال أعر ي‬.‫ قالها ثالثا‬،‫شء شيئا‬
‫ال يعدي ي‬
‫ فما أجرب األول؟ ال عدوى وال هامة‬:‫ فقال رسول هللا ﷺ‬،‫بذنبه يف اإلبل العظيمة فتجرب كلها‬
.‫ خلق هللا كل نفس فكتب حياتها ومصيباتها ورزقها‬،‫وال صفر‬

"Sesuatu -yakni hewan yang sakit- tidak dapat menulari sesuatu yang lain -
yakni hewan yang sehat- (dengan sendirinya)." Beliau mengucapkannya
sebanyak tiga kali. Lalu seorang Arab Badui berkata,"Wahai Rasulullah,
(bagaimana halnya dengan) benih awal kudis yang terdapat di bibir atau ekor
unta yang berada dalam sekumpulan unta-unta yang besar, lalu unta-unta
itu menjadi berpenyakit kudis seluruhnya." Maka Rasulullah bersabda, "Lalu
siapakah yang menularkan penyakit kudis kepada unta yang pertama? Tidak
ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada (kepercayaan
reinkarnasi manusia yang meninggal menjadi) burung hantu, dan tidak ada
(kepercayaan terkena sial pada pada bulan) shafar. Allah telah menciptakan
setiap jiwa lalu menuliskan (takdir) kehidupannya dan [musibahnya], serta
rizkinya. " Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 4186 dan at-Tirmidzi, no. 2143.

Lalu Nabi mengabarkan bahwa itu semua terjadi dengan Qadha` dan Qadar
Allah, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah ‫تعال‬

‫ما أصاب من مصيبة يف األرض وال يف أنفسكم إال يف كتب من قبل أن تيأها‬

4
"Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula
menimpa diri kalian sendiri, melainkan semuanya telah tertulis dalam Kitab
(Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya." (Al-Hadid: 22).

Adapun larangan Nabi untuk memasukkan unta yang sakit ke dalam


kumpulan unta yang sehat, perintah beliau untuk lari dari orang yang
terkena penyakit lepra, dan larangan beliau untuk masuk ke daerah endemi
wabah penyakit lepra, maka itu termasuk kategori menjauhi sebab-sebab
yang telah diciptakan oleh Allah dan dijadikanNya sebagai sebab-sebab
kebinasaan atau gangguan. Sementara seorang hamba diperintahkan untuk
menjauhi sebab-sebab bencana apabila dia berada dalam keselamatan
darinya.

Maka sebagaimana dia diperintahkan untuk tidak menceburkan dirinya


sendiri ke dalam air atau api, atau masuk ke dalam reruntuhan dan
semacamnya yang menurut kebiasaan yang berlaku bahwa dia akan binasa
atau tersakiti, maka begitu juga dia diperintahkan untuk menjauhi orang
sakit, seperti; orang yang terkena penyakit lepra atau mendatangi negeri
yang di sana terjadi wabah penyakit rinderpest, karena sesungguhnya ini
semua merupakan sebab-sebab sakit dan kebinasaan, sedangkan Allah
adalah Pencipta sebab dan akibatnya, tidak ada pencipta selainNya, dan
tidak ada yang menakdirkan selainNya.

[Sebab-sebab Itu Ada Dua Macam]

Pertama, sebab-sebab kebaikan, maka yang disyariatkan adalah seseorang


merasa senang dan gembira karenanya, tetapi dia tidak (boleh) merasa
tenang kepadanya, namun kepada Penciptanya dan Dzat Yang
menyebabkannya, karena hal itu sebagai realisasi tawakal kepada Allah dan
iman kepadaNya, sebagaimana Allah & berfirman tentang pemberian bala
bantuan berupa para malaikat,

‫ولتطمي به قلوبكم وما النرص إال من عند هللا‬


‫ر‬ ‫وما جعله هللا إال بشى‬

5
"Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu), melainkan
sebagai kabar gembira dan agar hati kalian menjadi ` tentram karenanya.
Dan tidaklah kemenangan itu kecuali dari sisi Allah." (Al-Anfal: 10).

Kedua, sebab-sebab keburukan, maka ini tidak (boleh) dinisbatkan kecuali


kepada dosa-dosa, karena semua musibah hanya terjadi disebabkan dosa-
dosa, sebagaimana Allah berfirman,

‫وما أصابك من سيئة فمن نفسك‬

"Dan keburukan apa pun yang menimpamu, maka itu dari (kesalahan)
dirimu sendiri." (An-Nisa`: 79).

Dan Allah & juga berfirman,

‫وما أصبكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم‬

"Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu adalah disebabkan
oleh perbuatan tangan kalian sendiri." (Asy-Syura: 30). Maka musibah itu
tidak boleh dinisbatkan kepada suatu sebab dari sebab-sebab yang ada
selain dosa-dosa, seperti penyakit menular atau yang lainnya.

Dan yang disyariatkan adalah menjauhi apa yang nampak darinya dan
menjaga diri darinya dengan kadar yang disebutkan oleh syariat, seperti
menjauhi orang yang terkena penyakit lepra dan orang sakit lainnya, serta
tidak mendatangi daerah endemi wabah penyakit rinderpest.

Adapun apa yang tersembunyi darinya, maka tidak disyariatkan untuk


menjauhi dan menjaga diri darinya, karena hal itu termasuk ke dalam
kategori perbuatan thiyarah yang dilarang.

6
[Larangan Thiyarah]1

Thiyarah termasuk ke dalam perbuatan orang-orang musyrik dan kafir, dan


Allah telah menceritakannya dalam kitabNya tentang kaum Fir'aun, kaum
Nabi Shaleh, dan penduduk negeri yang didatangi oleh para rasul. Telah
diriwayatkan secara shahih dari Nabi, bahwa beliau bersabda,

.‫طية‬
‫ال ر‬

"Tidak ada thiyarah." Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5754 dan Muslim,
no. 2223.

Imam Ahmad dan Abu Dawud telah meriwayatkan dari hadits Urwah bin
Amir al-Qurasyi , dia berkata,

:‫ فإذا رأى أحدكم ما يكره فليقل‬،‫ أحسنها الفأل وال ترد مسلما‬:‫النب ﷺ فقال‬ ‫الطية عند ي‬
‫ذكرت ر‬
.‫يأب بالحسنات إال أنت وال يدفع السيئات إال أنت وال حول وال قوة إال بك‬
‫اللهم ال ي‬

"Thiyarah disebut-sebut di sisi Nabi, maka beliau bersabda, Yang paling baik
darinya adalah sikap optimis, dan thiyarah tersebut tidak boleh
menggagalkan seorang Muslim (dari niatnya). Maka apabila salah seorang di
antara kalian melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka hendaklah dia
mengucapkan, 'Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali
Engkau, dan tidak ada yang menolak keburukan kecuali Engkau, serta tidak
ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolonganMu'. "Diriwayatkan oleh
Abu Dawud, no. 3919.

Dan diriwayatkan dalam Shahih Ibni Hibban, dari Anas, ,beliau bersabda ,‫ﷺ‬
dari Nabi

.‫تطي‬
‫والطية عىل من ر‬
‫ر‬ ،‫طية‬
‫ال ر‬

1
Thiyarah: Merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung,
binatang lainnya atau apa saja. (Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad at-Tamimi,
Jakarta: Darul Haq, th. 2013, hal. 104). Ed.T

7
"Tidak ada perasaan bernasib sial karena sesuatu, dan kesialan itu akan
menimpa orang yang merasa sial dengan sesuatu itu."Diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban, no. 6123.

An-Nakha'i (w. 96 H.) berkata, "Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Perasaan


bernasib sial karena sesuatu itu tidak memudaratkan, kecuali bagi orang
yang mempercayai kesialan itu sendiri'. " Makna hal ini adalah bahwa orang
yang meramal nasib sial dengan cara-cara yang dilarang, yaitu dia
menyandarkan diri kepada sesuatu yang didengar atau dilihatnya dari
sesuatu yang digunakan untuk meramal nasib sial sehingga hal itu mencegah
dirinya untuk melakukan keperluan yang dia kehendaki, maka sesuatu yang
dibencinya itu seringkali menimpanya. Adapun orang yang bertawakal
kepada Allah dan percaya kepadaNya, di mana dia mengaitkan hatinya
kepada Allah dalam rasa takut dan harap, serta dia memutuskan hatinya dari
menengok kepada sebabsebab yang ditakuti ini, dan dia mengucapkan
kalimat-kalimat yang diperintahkan kepadanya ini, dan dia tetap
meneruskan keperluannya, maka hal itu tidak akan memudaratkannya.

Sungguh telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa apabila beliau


mendengar suara burung gagak, maka beliau mengucapkan,

.‫خيك‬
‫خي إال ر‬
‫طيك وال ر‬
‫طي إال ر‬
‫اللهم ال ر‬

"Ya Allah, tidak ada kesialan kecuali kesialan dariMu, dan tidak ada kebaikan
kecuali kebaikanMu."

Demikian juga Nabi memerintahkan pada saat terjadi sebab-sebab azab


langit yang ditakuti, seperti gerhana, untuk melakukan amal-amal kebaikan,
seperti shalat, berdoa, sedekah, dan memerdekakan hamba sahaya, hingga
hal itu dihilangkan dari manusia.

Dan ini semua termasuk di antara dalil yang menunjukkan bahwa sebab-
sebab yang dibenci apabila ia ditemukan ada, maka yang disyariatkan adalah
menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang diharapkan dapat menolak
azab yang ditakuti tersebut, seperti melakukan amal-amal ketaatan, berdoa,
serta merealisasikan tawakal kepada Allah dan percaya kepadaNya, karena
sesungguhnya sebab-sebab ini semuanya adalah yang dituntut (untuk

8
dilakukan) dan bukan yang memastikan, dan ia memiliki beberapa
penghalang yang menghalangi terjadinya. Maka amal-amal kebaikan, takwa,
berdoa, dan bertawakal, termasuk di antara hal yang paling besar yang
digunakan untuk menolaknya.

[Beramal Pada Saat Terjadinya Sebabsebab Azab dan Rahmat]

Adapun keyakinan kaum Muslimin, maka sesungguhnya hanya Allah-lah


semata Yang Maha melakukan apa yang Dia kehendaki, akan tetapi Dia
mengikat beberapa sebab untuk azab dan beberapa sebab untuk rahmat.
Maka sebab-sebab azab digunakan oleh Allah untuk menakuti hamba-
hambaNya agar mereka bertaubat dan tunduk merendahkan diri
kepadaNya, seperti gerhana matahari dan bulan, karena keduanya
merupakan dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah yang dengan
keduanya Allah menakuti hamba-hambaNya, agar Dia melihat siapa yang
bertaubat, maka itu menunjukkan bahwa gerhana keduanya meNrupakan
sebab karenanya yang ditakutkan terjadinya azab.

Nabi telah memerintahkan Aisyah untuk memohon perlindungan dari


keburukan (gerhana) bulan, dan beliau bersabda,

.‫هو الغاسق إذا وقب‬

"Ia adalah malam apabila telah gelap gulita.Diriwayatkan oleh Ahmad, no.
25469 dan at-Tirmidzi, no. 3366.

Dan Allah & telah memerintahkan untuk memohon perlindungan diri dari
keburukan ghasiq apabila telah gelap gulita, maksudnya malam apabila telah
gelap, karena pada saat itu setan-setan dari kalangan jin dan manusia
bertebaran. Yakni dalam Surat al-Falaq ayat 3. Pent.

Dan Nabi memerintahkan apabila angin bertiup kencang agar meminta


kepada Allah kebaikan dari angin tersebut dan kebaikan dari sesuatu yang
dibawanya, serta agar memohon perlindungan kepadaNya dari
keburukannya dan keburukan dari sesuatu yang dibawanya." Diriwayatkan
oleh Muslim, no. 899.

9
Nabi apabila melihat angin atau awan mendung, maka rona wajah beliau
berubah, dan beliau berjalan bolak-balik (karena khawatir jangan-jangan
awan itu adalah hukuman Allah), lalu apabila hujan turun, beliau merasa
senang, dan beliau bersabda,

‫ هذا عارض ممطرنا‬:‫قد عذب قوم بالري ح ورأى قوم السحاب فقالوا‬

"Sungguh suatu kaum telah diazab dengan angin, dan suatu kaum melihat
awan lalu mereka berkata, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan
kepada kita.' (Al-Ahqaf: 24)."Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4829 dan
Muslim, no. 899.

Sedangkan sebab-sebab rahmat digunakan oleh Allah untuk membuat


hamba-hambaNya berharap, seperti awan mendung dan angin yang segar,
serta seperti hujan yang biasa pada saat dibutuhkan. Oleh karena itu,
dikatakan ketika ia turun,

.‫اللهم سقيا رحمة وال سقيا عذاب‬

"Ya Allah, (turunkanlah kepada kami) hujan rahmat, dan bukan hujan azab."

Adapun orang yang menjauhi sebab-sebab kemudaratan setelah terjadinya


dengan sebab-sebab yang dilarang, maka pada umumnya hal itu tidak
mendatangkan manfaat baginya, seperti orang yang dibuat tidak jadi
melakukan keperluannya karena merasa akan bernasib buruk oleh sesuatu,
lalu takut ditimpa oleh suatu musibah yang dia khawatirkan terjadi, maka
sesungguhnya sering kali dia tidak ditimpa musibah yang dia khawatirkan,
sebagaimana hal itu dikatakan oleh Ibnu Mas'ud dan juga ditunjukkan oleh
hadits Anas yang telah berlalu.

[Pembatalan Keyakinan-keyakinan Orang-orang Jahiliyah]

Adapun sabda Nabi, (‫" )وال هامة‬Tidak ada (kepercayaan reinkarnasi manusia
yang meninggal menjadi) burung hantu",

10
maka itu merupakan penafian terhadap apa yang dulu diyakini oleh orang-
orang jahiliyah, yaitu bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka ruh
atau tulangnya akan menjadi hamah, yaitu burung yang terbang.

Ini mirip dengan keyakinan para pengikut kepercayaan reinkarnasi, yaitu


bahwa roh orang-orang mati akan berpindah ke dalam tubuh hewan, tidak
dibangkitkan dan tidak dikumupulkan kembali. Semua ini merupakan
keyakinan yang batil yang mana Islam datang untuk membatalkan dan
mendustakannya.

Sedangkan sabda Nabi, (‫" )وال صفر‬dan tidak ada (kepercayaan terkena sial
pada bulan) shafar", maka terdapat perbedaan pendapat dalam
penafsirannya; banyak di antara kalangan ulama terdahulu mengatakan
bahwa shafar adalah suatu penyakit dalam perut. Ada yang mengatakan
bahwa ia adalah sebuah cacing di dalam perut yang bentuknya besar seperti
ular, dan dahulu orang-orang jahiliyah meyakini bahwa penyakit ini bisa
menular, maka Nabi menafikan hal itu.

Sekelompok ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan


shafar adalah Bulan Shafar, kemudian mereka berbeda pendapat dalam
penafsirannya ke dalam dua pendapat:

Pertama, bahwa maksudnya adalah menafikan apa yang biasa dilakukan


oleh orang-orang jahiliyah terkait penundaan bulan haram, di mana mereka
biasa menjadikan Muharram sebagai bulan halal dan menjadikan Shafar
sebagai bulan haram untuk menggantikan kedudukannya, dan ini adalah
pendapat Imam Malik.

Kedua, maksudnya adalah bahwa orang-orang jahiliyah dulu biasa merasa


sial dengan Bulan Shafar, dan mereka mengatakan bahwa ia adalah bulan
yang penuh kesialan, maka Nabi membatalkan hal itu. Demikian juga orang-
orang jahiliyah merasa sial dengan Bulan Syawal terkait mengadakan
pernikahan di bulan tersebut secara khusus. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa asal muasal keyakinan tersebut adalah bahwa pernah
terjadi wabah rinderpest di Bulan Syawal pada suatu tahun, sehingga banyak
pengantin yang meninggal dunia di bulan itu, maka akhirnya orang-orang
jahiliyah merasa sial dengan hal itu.

11
Syariat telah datang untuk membatalkan keyakinan tersebut; Aisyah &
berkata,

‫مب؟ وكانت عائشة‬


‫ فأي نسائه كان أحظ عنده ي‬،‫تزوجب رسول هللا ﷺ يف شوال وبب يب يف شوال‬
‫ي‬
.‫تستحب أن تدخل نساءها يف شوال‬

"Rasulullah menikahiku pada Bulan Syawal dan membangun rumah tangga


(mengawali pengantin baru) denganku juga di Bulan Syawal; maka siapa di
antara istri-istri beliau yang lebih baik keberuntungannya dariku terhadap
beliau? Dan Aisyah menganjurkan agar kaum perempuan (seperti)nya mulai
didatangi (sebagai pengantin baru) pada Bulan Syawal." Diriwayatkan oleh
Muslim, no. 1423.

(Di dalam hadits lain)

.‫النب ﷺ أم سلمة يف شوال أيضا‬


‫وتزوج ي‬

"Dan Nabi menikahi Ummu Salamah pada Bulan Syawal juga, "Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, no. 1991.

Adapun sabda Nabi,

.‫ يف المرأة والدار والدابة‬:‫ والشؤم يف ثالث‬،‫طية‬


‫ال عدوى وال ر‬

"Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya) dan tidak ada thiyarah,
dan kesialan itu ada pada tiga perkara: pada wanita, rumah, dan hewan
tunggangan," yang diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim dalam Shahih
keduanya dari hadits Ibnu Umar dari Nabi, maka para ulama juga telah
berbeda pendapat mengenai maknanya.

[Makna "Kesialan Itu Ada Dalam Tiga Perkara"]

Berdasarkan pendapat yang benar, hendaklah dikatakan -terkait adanya


kesialan dalam ketiga perkara ini-apa yang telah kami sebutkan tentang
larangan menyatukan orang sakit dengan orang sehat, menjauhi orang yang
berpenyakit kusta dan negeri yang terjangkit wabah penyakit rinderpest;

12
sesungguhnya ketiga perkara ini merupakan sebab-sebab yang mana Allah
& menetapkan dan mengaitkan kesialan dan kemujuran dengan ketiga
perkara tersebut. Oleh karena itu, disyariatkan bagi orang yang ingin
mengambil istri, budak wanita, atau hewan tunggangan agar meminta
kepada Allah & kebaikannya dan kebaikan tabiatnya, serta memohon
perlindungan dari keburukannya dan keburukan tabiatnya. [Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 1918; Abu Dawud, no. 2160; dan an-
Nasa'i dalam al-Kubra, no. 9998 dan 10021. Pent.]

Begitu juga orang yang menempati suatu rumah hendaknya melakukan hal
itu. Dan Rasulullah telah memerintahkan suatu kaum yang menempati
sebuah rumah di mana jumlah mereka sedikit dan harta mereka juga sedikit,
agar mereka meninggalkannya sebagai suatu yang dibenci.

Maka meninggalkan sesuatu di mana seseorang tidak mendapatkan


keberkahan di dalamnya, baik rumah, istri, atau hewan tunggangan, tidaklah
dilarang.

Adapun dikhususkannya kesialan pada suatu waktu tanpa waktu yang lain,
seperti Bulan Shafar atau lainnya, maka hal itu tidaklah benar; karena waktu,
seluruhnya adalah ciptaan Allah, dan di dalamnya terjadi perbuatan-
perbuatan anak-anak Adam. Maka setiap waktu yang seorang Mukmin
disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, maka itu adalah waktu yang
diberkahi, sedangkan setiap waktu yang seorang hamba disibukkan dengan
bermaksiat kepada Allah, maka itu adalah waktu yang sial.

Maka kesialan pada hakikatnya adalah perbuatan maksiat kepada Allah,


sebagaimana Ibnu Mas'ud berkata, "Jika kesialan itu ada pada sesuatu, maka
itu terletak pada sesuatu yang berada di antara kedua tulang rahang."
Maksudnya, lidah.

Secara umum, tidak ada kesialan kecuali dalam perbuatanperbuatan


maksiat dan dosa-dosa, karena hal itu membuat Allah murka. Lalu apabila
Allah telah murka kepada hambaNya, niscaya dia akan celaka di dunia dan
akhirat; sebagaimana apabila Dia telah ridha kepada hambaNya, niscaya dia
akan bahagia di dunia dan akhirat.

13
Demikian juga tempat-tempat maksiat dan hukumanhukumannya harus
dijauhi dan dihindari, karena dikhawatirkan turunnya azab, sebagaimana
Nabi bersabda kepada para sahabat ketika beliau melewati negeri kaum
Tsamud di al-Hijr,

.‫ خشية أن يصيبكم ما أصابهم‬،‫باكي‬


‫المعذبي إال أن تكونوا ر‬
‫ر‬ ‫ال تدخلوا عىل هؤالء‬

"Janganlah kalian mengunjungi orang-orang yang diazab itu, kecuali kalian


dalam keadaan menangis, karena khawatir kalian akan ditimpa azab yang
telah menimpa mereka."Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 433 dan Muslim,
no. 2980.

-------------------

14

Anda mungkin juga menyukai