Luka Menganga Di Tanah Negara Ambang Batas Nyawa Di Tangan Yang Mulia Hakim Agung Mahkamah
Luka Menganga Di Tanah Negara Ambang Batas Nyawa Di Tangan Yang Mulia Hakim Agung Mahkamah
“Jarene teko pengadilan, ngekei surat, emboh surat opo iku, jare aku
yo gak tak terimo, wong aku dudu uwonge’”
“Surat nopo niki pak, kok kulo disukani surat saking pengadilan,
mboten semerap nopo – nopo kulo?”
ini adalah logat bahasa Jawa, yang Asih sampaikan kepada petugas
lembaga peradilan. Artinya dirinya bertanya surat apakah tersebut,
dirinya tidak tahu menahu, sehingga mendapat surat dari
pengadilan.
Asih dan Huri adalah warga yang hidup hampir puluhan tahun di
tanah yang berasal dari Hak Yasan, yang saat ini berubah kembali
menjadi Tanah Negara. Kepala Kantor Kelurahan setempat
dahulunya mengeluarkan selembaran surat yang disimpan
perwakilan warga yang menerangkan bahwa tempat tinggal dan
dikuasai tanah dan bangunan seratusan warga adalah Tanah
Negara. Hampir lebih dari tujuh puluhan warga mendapati surat dari
lembaga peradilan siang itu ditengah teriknya matahari yang
perlahan – lahan bergeser kepada sore, senja yang pilu mulai
berdatang, geguyub rukunan warga satu dengan yang lain pun
terlihat dari tetangga berkumpul ke salah satu rumah tokoh untuk
saling berbicara.
“Kumpul kene loh, ngomong – ngomongan piye enak e iki, kok ono
surat kenekan iki, tambah bingung engko, ayo kumpul urun rembug
piye enak e’”
Harapan dimata Jijah, keluh kesah Asih yang berharap dirinya bisa
memiliki surat dari Kantor Badan Pertanahan Nasional, yang jauh
sebelumnya ditemui oleh Bapak Menteri dan dijanjikannya sesegera
mungkin oknum – oknum Mafia Tanah akan dibumi hanguskan.
Harapan dan secercah cahaya bersinar ini dirinya lalui bersama –
sama sekerumunan warga yang hendak menemui para pejabat di
kantornya. Tampak ikan nila yang melompat – lompat di tambak
yang tak begitu besar, diseberang musalah warga, menjadi saksi –
saksi untuk nafas panjang masalah tanah. Hari itu adalah Jum’at
dimana warga dijanjikan oleh pejabat untuk ditemuinya dan
membahas betapa peliknya persoalan yang dihadapi, dengan
kerutan dikening ditengah – tengah ramadan yang baik.
(Bersambung)