Anda di halaman 1dari 5

Luka Menganga di Tanah Negara,

Ambang Batas Nyawa di Tangan Yang Mulia Hakim Agung


Mahkamah

Sebuah Resume Yang Diceritakan berdasar fakta mengenai


Keadilan Guna Kepentingan Penegakan Hukum Permasalahan
Tanah di Kelurahan Medokan Semampir, Kecamatan Sukolilo, Kota
Surabaya.

Ayam berkokok Pagi itu sekeras – keras mungkin, diselingi dengan


suara – suara bebek yang memekikkan telinga di lahan warga yang
terbatas pembatas bebatuan. Disisi barat angin bertiup semilir disela
– sela pepohonan pisang yang tumbuh menjuntai sekitar dua
meteran. Di jalan beton sisi kiri arah utara ke selatan sepanjang
ditemuinya pepohonan jeruk nipis yang tipis daun – daunnya, tetapi
tidak setipis nyali dan urat nadi Ratusan Warga di Jalan Medokan
Gang VB dan Medokan Semampir Timur DAM II, Kelurahan
Medokan Semampir, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya.

Bahwa didasari data kependudukan tokoh – tokoh warga setempat


setiap tanah yang diatasnya telah berdiri bangunan, didalamnya ada
tidak lebih dan kurangnya empat sampai dengan lima orang lebih.
Bangunan diatas tanah yang saat ini sedang diuji kebenaran tentang
keabsahan kepemilikannya tersebut sebanyak tak lebih dan
kurangnya seratusan.

Ditengah – tengah jalanan antara Medokan Gang VB dan Medokan


Semampir Timur DAM II memiliki satu musalah yang tiap harinya
digunakan untuk memanjatkan doa – doa kepada Gusti Allah, dan
melantunkan syair – syair pujian Kanjeng Nabi Rasulullah
Muhammad. Badai yang menurut keterangan warga Jalan Medokan
Semampir Timur DAM II bernama Huri itu adalah sekitar Tahun 2023
sekitaran bulan April dirinya tersentak kaget ada petugas dari
lembaga peradilan bernama Juru Sita yang memberikan sepucuk
surat berlembar – lembaran yang dirinya pun tak memahami.

“Jarene teko pengadilan, ngekei surat, emboh surat opo iku, jare aku
yo gak tak terimo, wong aku dudu uwonge’”

dengan logat Madura, yang artinya ada seseorang dari lembaga


peradilan memberikan surat, surat itu menurutnya tidak tahu isinya
apa, dirinya pun tidak menerima surat itu, karena bukan namanya
dirinya. Huri hanya menggelengkan kepala, dan tangannya dengan
jari-jemarinya menolak sebandel berkas surat tersebut.

Asih adalah ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di Jalan


Medokan Semampir Timur DAM II, tubuhnya tidak terlalu besar,
dibalut dikepala dengan kerudung warna merah yang sehari –
harinya sebagai kader. Harapan besar diwajahnya tampak, terlihat
semringah lalu dua alis itu saling beradu seketika, serta keningnya
mengerut, seorang petugas lembaga peradilan juga mendatangi
rumahnya. Dan dirinya pun dengan nada lirih mengatakan

“Surat nopo niki pak, kok kulo disukani surat saking pengadilan,
mboten semerap nopo – nopo kulo?”

ini adalah logat bahasa Jawa, yang Asih sampaikan kepada petugas
lembaga peradilan. Artinya dirinya bertanya surat apakah tersebut,
dirinya tidak tahu menahu, sehingga mendapat surat dari
pengadilan.

Asih dan Huri adalah warga yang hidup hampir puluhan tahun di
tanah yang berasal dari Hak Yasan, yang saat ini berubah kembali
menjadi Tanah Negara. Kepala Kantor Kelurahan setempat
dahulunya mengeluarkan selembaran surat yang disimpan
perwakilan warga yang menerangkan bahwa tempat tinggal dan
dikuasai tanah dan bangunan seratusan warga adalah Tanah
Negara. Hampir lebih dari tujuh puluhan warga mendapati surat dari
lembaga peradilan siang itu ditengah teriknya matahari yang
perlahan – lahan bergeser kepada sore, senja yang pilu mulai
berdatang, geguyub rukunan warga satu dengan yang lain pun
terlihat dari tetangga berkumpul ke salah satu rumah tokoh untuk
saling berbicara.

Pembicaraan tentang hukum yang menguat di tanah yang mereka


tinggali, mereka diami, mereka tidur selama puluhan Tahun tersebut.
Sementara itu, Negara Indonesia sedang bersiap menghadapi pesta
Demokrasi Rakyat yang akan hingar bingar di 14 Pebruari 2024.
Kegelisahan warga ini ditampung didalam rumah yang hanya
bertopang kayu rapuh, dan bebatuan bekas urugan.

“Kumpul kene loh, ngomong – ngomongan piye enak e iki, kok ono
surat kenekan iki, tambah bingung engko, ayo kumpul urun rembug
piye enak e’”

kata Abib, salah seorang pemuda yang dipercaya sebagai


pengkoordinasian warga setempat. Artinya, kumpul disini, berbicara
bagaimana yang terbaik, ada surat seperti ini, nanti tambah
kebingungan, berdiskusi bertukar pikiran bagaimana enaknya.

“Kok yo mesti arep pemilu ono ae cobaane, mesti ono ngene


ngonolah, ono ae masalah, karepe opo, wong kapanane ngirim surat
somasi yo bingung, ono tentara e, mosok ngirim surat somasi
nggowo tentara, kapanane bapak oyo digowo polisi, wes ono ono
ae, saiki ono surat ngene”

Abib ‘Ngedumel’ permasalahan yang terjadi dari tahun ke tahunnya,


masalah ini selalu datang di jelang Pesta Rakyat Demokrasi. Artinya,
Setiap Pemilihan Umum pasti ada saja cobaannya, selalu ada begini
dan begitu masalah, maunya seperti apa, kapan hari saja ada Surat
Teguran Hukum juga bingung, ada oknum tentara, mengirimkan
surat kepada warga dengan oknum tentara, Bapak Oyo dibawa
Oknum Polisi, ada ada saja, sekarang ada surat seperti ini.

Luasan tempat tinggal warga bermacam – macam, ada sebagian


besaran lebar tanah tujuh meter, dengan panjang lima belas
meteran. Lalu, ada pula yang enam meteran dengan panjang lima
belasan yang sama. Cerita warga tersebut juga beraneka
pembicaraan dengan tokoh masing – masing, ada yang hidup
dimulainya dari Tahun 1995an hingg ada yang Tahun 2002an.
Mereka ada yang jejaka dan perawan, hingga menikah, hingga
memiliki anak di tanah tersebut, bahkan ada yang memiliki cucu
hingga kini. Banyak sebagian dari warga berpenghasilan rendah,
dengan mengandalkan pekerjaan serabutan atau seadanya, ada
pula yang bekerja sebagai seseorang yang mengurusi permakaman
di Tempat Pemakaman Umum Keputih Kota Surabaya. Pendidikan
anak – anak warga juga tak kalah hebat dan luar biasa, hingga
mengenyam bangu perkuliahan di beberapa kampus negeri di Kota
Surabaya karena sarana dan prasaran yang memadai oleh
Pemerintahan.

Surat – Menyurat telah didapati beberapa perwakilan warga, dari


Surat beberapa Instansi hingga oknum perseorangan yang
mengatasnamakan kepemilikan tanah tersebut. Surat – menyurat
tersebut sempat membuat kekhawatiran warga. Terapalagi surat
yang tak bertuan dengan diiringi kaidah – kaidah kebutaan akan
hukum. Ratusan warga jelas sudah tak tahu – menahu harus
berbuat apa dan bagaimana menghadapi masalah – masalah
pertanahan ini?

Klaim akan kebutuhan tanah di tempat tinggal yang dikuasai dan


ditinggali masyarakat, Huri, Abib, serta Asih sederhana sekali,
sepetak seukuran lima meteran dikalikan enam belas meteran saja,
cukup untuk makan, minum, serta buang hajat. Kebutuhan akan
tanah ini sudah berpuluhan tahun lamanya, diperjuangkan hingga
ditingkat Pusat. Dari Walikota lama, dari Gubernur lama, hingga
yang terbaru Presiden pun akan segera digantikan tak kunjung
selesai masalah mereka. Badan Pertanahan Nasional Agraria dan
Tata Ruang melalui situs resminya menyatakan tempat tinggal
warga tidaklah ada Nomor Induk Bidang Tanah, warna terkait
klasifikasi penggunaan tanah juga tak terdaftar siapapun dan oleh
apapun itu sebagai Hak Milik.

Pagi ke pagi. Jijah mengenakan kerudung hitamnya, menstater


motor tua terbitan Tahun 1999, dari tempat tinggalnya yang hanya
berbatas kayu – kayu triplek dan berhadapan dengan Kali ke rumah
Asih.

“Bu, ayo ndang budal, telat iki mengko,”

artinya Ayo segera berangkat, nanti terlambat, nada ajakan kepada


Asih dari Jijah, yang rumahnya tak jauh berbeda, jika dikatakan
rumah bukan berbentuk rumah melainkan “Bedeng – Bedeng”.

Harapan dimata Jijah, keluh kesah Asih yang berharap dirinya bisa
memiliki surat dari Kantor Badan Pertanahan Nasional, yang jauh
sebelumnya ditemui oleh Bapak Menteri dan dijanjikannya sesegera
mungkin oknum – oknum Mafia Tanah akan dibumi hanguskan.
Harapan dan secercah cahaya bersinar ini dirinya lalui bersama –
sama sekerumunan warga yang hendak menemui para pejabat di
kantornya. Tampak ikan nila yang melompat – lompat di tambak
yang tak begitu besar, diseberang musalah warga, menjadi saksi –
saksi untuk nafas panjang masalah tanah. Hari itu adalah Jum’at
dimana warga dijanjikan oleh pejabat untuk ditemuinya dan
membahas betapa peliknya persoalan yang dihadapi, dengan
kerutan dikening ditengah – tengah ramadan yang baik.
(Bersambung)

*Nama Tokoh dalam Cerita ini sudah disamarkan

Anda mungkin juga menyukai