Anda di halaman 1dari 37

300 Mosalaki Kumpul di Ende

Senin, 11 Agustus 2014 00:18


POS KUPANG.COM, ENDE-- Seekor kerbau jantan dikorbankan pada rangkaian acara
Rapat Koordinasi (Rakor) antara Pemda Ende dengan para mosalaki (tokoh adat,  Red) yang
berlangsung di Museum Tenun Ikat, Ende, Kamis (7/8/2014).
Acara tersebut dihadiri 300 orang mosalaki dari sejumlah persekutuan adat yang ada di
Kabupaten Ende, Jajaran Muspida Kabupaten Ende, Para Camat dan Kepala Desa.
Semua undangan yang hadir dalam acara itu mengenakan pakaian adat Ende-Lio. Seperti
disaksikan Pos Kupang, rangkaian pembukaan rakor ditandai dengan penyembelihan seekor
kerbau yang dilakukan secara simbolis oleh Bupati Ende, Ir Marsel Petu dan Wakil Bupati
Ende, Drs H Djafar Achmad. Bupati memotong di bagian kepala sedangkan wakil bupati di
bagian punggung belakang badan kerbau.
Selain pemotongan kerbau yang dikenal dengan nama Wesa Kamba dalam bahasa daerah
setempat, rakor itu kental dengan nuansa adat mulai dari pakaian yang dikenakan oleh
peserta. Peserta pria mengenakan busana daerah yang dikenal dengan nama ragi dan baju
lengan pendek polos serta wanita mengenakan lawo lambu. Selain itu juga ditandai dengan
tari-tarian adat berupa gawi, do wenggo dan orowoko begitupun dengan makanan.
Bupati Marsel saat pembukaan kegiatan mengatakan kegiatan yang dilaksanakan itu
merupakan suatu bentuk penghargaan dan pengakuan atas eksistensi adat baik secara
kelembagaan maupun struktur yang secara nyata telah ada sejak masa lalu sampai dengan
saat ini. Bahkan sudah ada pengakuan dunia internasional melalui resolusi nomor 49/214
majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menetapkan Hari Masyarakat Adat
Sedunia yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 9 Agustus. Tahun ini merupakan
peringatan yang ke-20.
"Perasaan kita sekalian dari unsur pemerintah dan seluruh kita yang hadir saat ini tentang
kebahagiaan dan kebanggaan yang tak terhingga dari lubuk hati yang paling dalam bisa
bertatap muka pada forum yang bermartabat dengan para pemangku adat (mosalaki) se-
Kabupaten Ende. Mereka menggunakan busana kebesarannya, mencerminkan kekuatan yang
sangat berpengaruh pada kemajuan daerah bahkan bangsa yang majemuk dengan kebhineka
tunggal ika-nya diharapkan akan menjadi perisai dan filter atau penyaring menghadapi
perkembangan zaman di era globalisasi dan modernisasi yang tak terhindarkan ini," kata
Bupati Marsel.

1
Dikatakannya,  kenyataan sosiologis dan sejarah perkembangan adat sampai dengan saat ini 
harus diakui telah menemukan titik konvergensi dengan pemerintah meskipun disadari dalam
proses tersebut sering mengakibatkan kedudukan, peran dan fungsi dari masing -masing
sering bersinggungan.
"Menyikapi realitas ini dan jalinan perjalanan kebersamaan akan satu tujuan yang sama yakni
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, umat dan fai walu ana kalo yang satu dan
sama maka penerapan model segitiga kekuatan bekerja membangun Kabupaten Ende,"
demikian Marsel Petu. (rom)
Editor: benny_dasman
Sumber: Pos Kupang Cetak

2
Jejak-jejak Kerajaan Lio (Flores NTT)
11 April 2010 06:15:00 Diperbarui: 26 Juni 2015 16:51:59 Dibaca : 3,772 Komentar : 2 Nilai : 0 Durasi Baca : 5
menit

Proses pengangkatan figur Pius Rasi Wangge menjadi Raja Lio secara keseluruhan yang
wilayah otoritasnya mencakup Nanga Blo (sebagian wilayah administrasi Kab.
Sikka/Maumere) sampai Nanga Mboa di ujung Barat Kab Ende Flores NTT, terjadi secara
aklamasi (Acclamation). Pada sekitar tahun 1909-1910 pemerintahan Hindia Belanda
memasuki wilayah Lio dan menetap dikitaran wilayah Wolowaru. Pius Rasi Wangge, adalah
sosok yang biasa dan sederhana layaknya lelaki lainya yang ketika itu tinggal bersama
kakaknya Mari Wangge dan Bhoka Logho di wilayah Lise Nggonderia yang sekarang
menjadi desa Watuneso kecamatan Lio Timur Kab. Ende Flores NTT. Pius Rasi Wangge
hadir ditengah keluarga adalah seorang lelaki dari garis keturunan bangsawan didesa Wolo
Lele A (Kec. Lio Timur) yaitu Keluarga Besar Ndori Wangge (Riabewa) yang merupahkan
pertaliah darah yang erat dengan Mari Wangge (Keluarga besar Mosalaki Hebesani
Watuneso).  Pada sekitar tahun 1910, Pius Rasi Wangge di sekolahkan oleh Bhoka Logho di
Sekolah Rakyat (SR) setingkat Sekolah Dasar (SD), jaman Belanda di distrik Lela. Ketika itu
pemerintahan kolonial Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan khususnya laki-
laki untuk mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) tersebut. Kendati demikian usaha
Bhoka Logho untuk menyekolahkan adiknya Pius Rasi Wangge sempat terjadi penolakan
oleh Tua Skebe yang menyeleksi siswa baru karena faktor usia Pius Rasi Wangge yang sudah
mencapai sekitar 30 tahun. Namun Bhoka Logho tidak kehilangan akal, sehingga Bhoka
Logho menyarankan adiknya supaya memanipulasi umur dan rambut serta kumis tebalnya
dicukur hingga botak agar terlihat lebih mudah belia untuk mengecoh perhatian Tua Skebe .
Beberapa hari kemudian, Bhoka Logho dan adiknya Pius Rasi Wangge berangkat lagi ke
Distrik Lela. Sesampainya disana Bhoka Logho membuat pengakuan kepada 'Tua Skebe'
bahwa yang akan didaftarkan itu adalah kembaran dari Pius Sendiri. ("Dengan sebuah
ungkapan" Tua, Ina Aji kai, eo mere mai Ka'e kai !!) Artinya; Pater/Bapa, ini adiknya yang
kemarin Kakaknya. Cara itu terbukti ampuh mengecoh Tua Skebe, sehingga akhirnya
diterima untuk di sekolahkan di Lela. Kemudian sekitar tahun 1914, pemerintahan Hindia
Belanda mempertimbangkan eksistensi administratif pemerintahan yang mempermudah
sistem kerja agar bisa dikontrol dengan menerapkan konsep pemerintahan ala kerajaan
Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wihelmina (Wihelmina Helena Pauline Marie van
Orange Nassau; Lahir 31 agustus 1880 dan mangkat 28 November 1962). Puteri Orange

3
Nassau adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948 dan Ibu Suri dengan sebutan Puteri sejak
tahun 1948-1962. Terkait rencana besar ini, pemerintahan Hindia Belanda mengundang para
Mosalaki Lise Tana Telu Kunu Lima dari Enam ( 6 ) aliran mendatangi Wolowaru, central
koordinasi kolonial untuk wilayah Lio. Perhelatan pemilihan Raja Lio dilakukan ditempat ini.
Seluruh Mosalaki atau perwakilan atas nama Mosalaki datang ke Wolowaru. Sedangkan Laki
Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia Mari Wangge hanya diwakili adiknya seorang tokoh
bernama Bhoka Logho. Pada tahapan  pemilihan dimulai, Tua Skebe sebagai negosiator dari
pemerintah Belanda bertanya kepada para Mosalaki atau perwakilan Mosalaki yang hadir
saat itu dengan kalimat dalam bahasa Lio: (Laki Tana Unggu, Kau fonga Raja leka sai? "Laki
Tana Unggu penu so", Aku fonga, Raja leka du'a neku). Kalau diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia kira-kira seperti ini ucapannya; "Pemangkuh adat tertinggi (klan) tanah 'Unggu',
Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi Raja ? Laki Tana Unggu menjawab; Kehendak
saya, Raja ada pada saya sendiri. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada "Laki Tana
Kune Watu Mara (Kunemara), Laki Tana Nggoro dan seterusnya sampai kepada 'Laki' yang
ke 5 dijawab dengan jawaban yang sama juga. Dan akhirnya, pertanyaan yang sama juga
diajukan oleh Tua Skebe kepada Bhoka Logho, aji ana (Kerabat dekat) sebagai delegasi Laki
Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Karena merasa sudah mengenal, Tua Skebe langsung
menyapa nama Bhoka Logho. ("Boka" !! kau fonga Raja leka sai ?) Artinya; Bhoka !!
Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi raja ? Dengan sedikit terdiam untuk sebuah
pertimbangan, lalu Bhoka Logho menjawab; "Tua, Raja dau leka ata eo sekolah, no'o eo tuli
mbe'o soli basa mbe'o sura ". Artinya; Pater/Bapa!! Seorang Raja itu harus orang yang
berpendidikan (sekolah) dan dapat menulis serta membaca surat. Beberepa saat kemudian,
Tua Skebe bertanya kembali kepada Bhoka Logho dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya
Bhoka Logho menjawab untuk kedua kalinya; Tua, Aku fonga Raja leka aji aku Pius Rasi
Wangge eo nebu ina aku pati sekola gheta Lela ( SR ). Kira-kira diterjemahkan seperti ini;
Pater/Bapa, Menurut kehendak saya, 'Raja' ada pada adik saya Pius Rasi Wangge yang saat
ini saya sekolahkan di Sekolah Rakyat ( SR ) 'Lela' (Di Kab. Sikka). Setelah pendapat logis
ini, Tua Skebe melontarkan kembali kepada semua Mosalaki/Delegasi yang hadir ditempat
itu. (Ngere Emba ? gha Bhoka nosi, raja leka aji kai ngai eo tuli no'o basa mbe'o sura).
artinya; Bagaimana ? Bhoka mengusulkan, Raja ada pada adiknya karena bisa menulis dan
membaca surat. Setelah mendengar pandangan yang logis itu, akhirnya seluruh
Mosalaki/Delegasi yang hadir disitu menjawab; Molo dowa, ngai kai gare do ngere gharu,
kami di sama bu ngere kai gharu. Artinya; Baiklah, Karena Dia sudah mengemukakan
pendapat seperti itu, kami pun sama seperti Dia. Pada akhirnya, semua sepakat dan

4
pemerintahan Kolonial lalu menjadikan keputusan Bhoka Logho itu, sebagai bahan
pertimbangan dan acuan keputusan serta penetapan final nama Pius Rasi Wangge seraya
meminta Bhoka Logho agar secepatnya menjemput adiknya Pius Rasi Wangge dari (SR)
Sekolah Rakyat Lela Maumere yang sedang duduk di bangku kelas 4 (empat) karena pada
waktu itu Pius Rasi Wangge dibesarkan didesa Watuneso oleh Mari Wangge, Bhoka Logho
atau ditengah keluarga Mosalaki Hebesani Lise Nggonderia. Di (sao ria tenda bewa) rumah
adat WoloLele B (Kec. Wolowaru), pemerintahan Hindia Belanda mempersiapkan acara
pengukuhan (Inauguration). Dengan disaksikan oleh para Mosalaki dan Delegasi masyarakat
adat "Lise Tana Telu Kunu Lima" akhirnya Raja Lio dikukuhkan (Inauguration) secara resmi
oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1914 sekaligus memberikan legitimasi
kekuasaan administratif dibawah pemerintahan kerajaan sehingga kekuasaan Raja Lio Pius
Rasi Wangge hanya dalam batasan kekuasaan atas wilayah administratif pemerintahan Hindia
Belanda saja. Sistem Pemerintahan Kerajaan Lio ini sangat sebanding dengan sitem
pemerintahan Hindia Belanda yang pada waktu itu bahkan hingga kini menganut "Monarki
Konstitusional", yang mana kekuasaan raja bersifat terbatas dan secara simbolik saja karena
ada peran lain yang mengatur wilayah kedaulatan dan kekuasaan Raja. Raja Lio, Pius Rasi
Wangge oleh Belanda diberih wewenang untuk mengatur wilayah administratif dari Nanga
Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa ujung barat Kab. Ende dengan tugas yang teramat
berat yaitu menahklukan serta menyatukan seluruh Mosalaki - mosalaki yang mendiami
wilayah itu karena pada masa itu masih sangat rentan dan sesekali timbul konflik horisontal
yang berkepanjangan antara penguasa-penguasa tanah ulayat setempat. Selain itu Raja Pius
Rasi Wangge juga ditugaskan menarik upeti (Pajak) untuk pemerintah Belanda. Raja Lio ini
berkuasa sejak tahun 1914 hingga 1947. Kemudian beliau di beritakan wafat di Kupang,
ditembak mati oleh tentara Belanda karena berkolaborasi dengan pemerintah Jepang.
Sementara itu dari versi sejarah yang berbeda, Raja Pius Rasi Wangge diberitakan diculik
oleh tentara Nipon ke Jepang dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Beberapa waktu yang
lalu juga, ada berita mengenai kemunculan sosok "Sugishima  Takashi" yang mengklaim diri
sebagai keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge dan melakukan penelitian di
Wololele A sebagai garis keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge. Kendati demikian,
pengklaiman tersebut tentu harus dibuktikan secara medis melalui 'tes DNA' agar tidak terjadi
kesimpangsiuran dikemudian hari. Catatan; Masih banyak misteri tentang Kerajaan Lio yang
harus diungkap agar masyarakat Lio, Nasional bahkan Internasional layak tahu yang
sesungguhnya. Hal-hal yang masih misteri itu antara lain, Seperti; 1. Benda - benda
peninggalan Raja Pius Rasi Wangge. 2. Keberadaan Jasad (Makam) Beliau. 3. Surat

5
Keputusan Pengangkatan Raja Lio oleh pemerintahan Belanda (Arsip Museum Nasional
Belanda). 4. Jejak-jejak (Ideologis) masa pemerintahan Raja Lio. Beberapa waktu lalu,
penulis pernah membaca di sebuah domain mengenai batas kedaulatan antara Raja Lio dan
Raja Sikka. Seperti tertulis diatas, Kerajaan Lio (Pius Rasi Wangge) disebutkan berkuasa
dalam batas wilayah yaitu dari Nanga Blo sampai Nanga Mboa sementara penulis
menemukan tulisan yang menyebutkan Raja Sikka (Don Thomas) berkuasa pada wilayah
Kekuasaannya yang meliputi wilayah Larantuka sampai Mole Kelisamba (sekarang wilayah
Lio) hingga ke Wilayah Manggarai. Akan tetapi jika dicermati dari historia sejarah dan fakta
sejarah yang masih terlihat hingga kini, penulis bertanya-tanya; 1. Mengapa Orang Nanga
Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa hingga kini menggunakan Bahasa Lio ? 2. Mengapa,
pola berpakaian, tata cara bahkan struktur adat orang Nanga Blo mencerminkan adat Lio ?
Mungkin ini tugas bersama yang cukup rumit untuk menggali lebih mendalam tentang
sejarah-sejarah yang diukir oleh para pendahulu yang sudah tiada. Tulisan ini tidak
bermaksud untuk menyudutkan atau menyinggung perasaan siapa pun yang membacanya
melainkan hanya semata-mata sebagai dasar pengetahuan bersama dan menjadi bahan acuan
untuk menyingkap fakta sejarah yang belum terkuak agar lebih sinkron antara yang satu
dengan yang lainnya. Ingat !! Bung Karno pernah berkata; Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah (JAS MERAH). Sekian !! Oleh; Marlin Bato Mahasiswa Univ. Bung Karno Fak.
Hukum Jakarta Indonesia Sumber Lisan; Keluarga Besar Mosalaki Hebesani Watuneso Jhony
Logho-Mosalaki Paulus Logho Gatu-Kerabat Wenslaus Tani-Kerabat Kornelis Wiriyawan
Gatu. S.Sos-Kerabat 

6
Sengketa Lahan di Batas Kelimutu: Antara Hak Adat
dan Kawasan Konservasi
September 27, 2016 Ebed de Rosary, Ende Sosial

Andreas Pole namanya, warga Desa Saga yang jaraknya dua puluh tiga kilometer dari kota
Ende. Di desa itu, sebagian terbesar masyarakat hidup sebagai petani. Andreas (68) dan
keluarganya tak berbeda, hidup dari kebun kopi setengah hektar milik keluarganya.

Pandangannya menatap jauh, dia pun mencoba mengingat peristiwa pahit yang pernah
menimpanya sekitar sembilan tahun lalu, tahun 2007.

“Sekitar pukul 15.00 waktu itu saya didatangi petugas jagawana TN Kelimutu, saat itu saya
baru pulang membersihkan kebun kopi saya,” Andreas berkata lirih. “Siapa yang suruh kamu
kerja kebun disini? Tidak boleh ada kebun kopi disini. Nanti kamu kami tangkap semua,”
Andreas coba menirukan perkataan jagawana saat itu.

Kepada petugas, Andrea menjelaskan bahwa kebun kopi miliknya turun-temurun, sudah ada
sebelum disahkannya kawasan konservasi TN Kelimutu. Dia mengaku hanya melanjutkan
pekerjaan orang tua yang membuka kebun kopi pemberian Mosalaki (tetua adat) untuk
digarap.

Katanya, membuka kebun zaman orang-orang tua itu tidak bisa dilakukan sembarangan,
harus lewat upacara Lake Nabe, ritus yang melibatkan Mosalaki.

Cerita tidak selesai. Esoknya Andreas diminta menghadap ke kantor TNK di Ende. Dia tidak
memenuhinya. Dia berkeras sebab sebelumnya tidak ada pemberitahuan kepada warga untuk
tidak memetik kopi di lahan yang katanya masuk dalam kawasan taman.

Walhasil, Andreas pun dijemput polisi dari Polsek Detusoko, dan ditahan di sel polsek
selama tiga malam. Tuduhannya menyerobot lahan di kawasan konservasi TNK. “Saya
dimintai uang Rp2,1 juta dan seekor ayam kampung oleh petugas kepolisian. Semua saya
penuhi karena saya ingin bebas.”

Dia pun bebas sementara. Sehari sebelum pernikahan anaknya, dia kembali dijemput ke
Kejari Ende dan langsung dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan Ende.

7
Sembilan kali menjalani masa persidangan. Andreas dijatuhi hukuman setahun penjara.
Hakim sempat mempermasalahkan mengapa dirinya membawa parang. “Saya katakan parang
dan pacul itu alatnya petani, apalagi parang juga diminta di rumah, buka disita waktu saya di
kebun.” Pertanyaan hakim itu membuatnya bingung.

Tahu ayahnya dipenjara, anak lelaki Andreas, Thomas Tuju (alm) lalu menuntut untuk
ditahan bersama ayahnya. Keduanya mendekam di penjara selama 6 bulan setelah dipotong
masa tahanan.

Andreas Pole dan istrinya Paulina. Andreas dipenjara karena memetik kopi di kebunnya.
Foto: Ebed de Rosary

Sampai sekarang Andreas masih belum mengerti mengapa dia dipenjara. “Kenapa hukum
tidak berlaku adil. Waktu di sidang saya minta hakim turun ke lokasi kebun biar tahu
kebenaran sesungguhnya.”

8
Menurutnya, di Desa Saga ada 76 KK yang memiliki di lahan TNK, jika semua bersalah
mengapa hanya dirinya saja yang ditahan. Dia mengajukan pertanyaan yang tidak terjawab.

Setelah lepas dari masa penjara, Andreas mengaku tetap bekerja memetik kopi untuk
membiayai keluarga. “Saya petik kopi seperti biasa, Kalau tidak kami mau hidup darimana?”

***

Konflik tapal batas kawasan hutan bermula sejak kawasan ini lewat SK Menhut Menhut No.
679/kpts-II/1997, tanggal 10 Oktober 1997 ditetapkan sebagai Taman Nasional Kelimutu
seluas 5.356,50 hektar. Sebelumnya kawasan berstatus cagar alam dan taman wisata alam
sejak tahun 1984.

Sesuai dengan SK Dirjen PKA No.16/Kpts/DJ-V/2001 TNK terbagi menjadi empat zona,
yakni Zona Inti seluas 350.5 hektar dan Zona Rimba seluas 4.351,5 hektar. Selain itu terdapat
Zona Pemanfaatan Intensif seluas 96,5 hektar dan Zona Rehabilitasi seluas 558 hektar.

Sebagai kawasan konservasi, maka ia harus bebas dari siapapun kecuali melalui ijin dan
pengawasan pemerintah. Oleh Kementerian Kehutanan, ditetapkanlah tapal batas kawasan
TNK untuk memudahkan kontrol.

Maksud baik mengkonservasi kawasan Taman Nasional sebagai salah satu keunikan dunia
ternyata berbenturan dengan keberadaan masyarakat adat yang berdiam dan telah puluhan
tahun berladang di kawasan ini. Tak aneh jika tanaman kopi, vanili, kakao dan lainnya telah
ada di sini sejak puluhan tahun lampau.

“Lahan tersebut sudah lama ditanami kopi. Dahulunya lahan ini dipakai menanam bawang
putih serta palawija,” sebut Philipus Kami, Ketua Fopermas (Forum Perjuangan Masyarakat
Adat Saga) yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga
kepada Mongabay Indonesia (02/09).

“Pemerintah mengatakan pengambilalihan tanah sesuai dengan prosedur yang disertai dengan
tanda tangan dari para Mosalaki, namun para Mosalaki tidak pernah menandatangani berita
acara penyerahan tanah.”

9
Menurutnya, lahan kebun kopi masyarakat adat Saga yang dicaplok oleh TNK sekitar 50
sampai 70 hektar dari seluruh lahan perkebunan mencapai sekitar 100 hektar.

Pada tahun 2007, terang Philipus, TNK memang melakukan penertiban besar-besaran.
Masyarakat dilarang memetik dan menanam kopi di areal taman. Saat itu masyarakat protes
dan melawan seluruh keputusan yang dibuat. Akibatnya, berulang kali datang utusan dari
kecamatan, aparat kepolisian dan koramil.

Namun pihak masyarakat bersikeras bahwa kopi yang ditanam adalah milik hak ulayat adat
Saga. Bagi masyarakat, tidak ada haknya pemerintah melarang masyarakat untuk memetik
kopi.

Saat Andreas ditahan, masyarakat pun melakukan aksi demo. Komunikasi dengan pihak
gereja dan pemerintah lalu dibangun. Menurut Philipus, penahanan Andreas Pole tidak wajar.
Pihaknya lalu menghadirkan para Mosalaki untuk bersaksi bahwa tanah yang digarap
Andreas Pole merupakan tanah adat yang diberikan pengelolaannya kepada dia.

Philipus waktu itu memberanikan diri bertemu dengan Bupati Ende dan menyampaikan agar
orang Saga tidak boleh ditahan.

“Sejak tahun 1930-an orang tua kami sudah menanam kopi, kopi yang ada tetap dipetik
karena inilah satu-satunya harapan hidup masyarakat Saga,” ungkapnya.

Namun Andreas Pole tetap dihukum sehingga masyarakat lalu berpikir bahwa negara abai
dalam kewajibannya melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Perlawanan komunitas adat Saga lalu mendapat dukungan dari 20 komunitas adat yang
bermukim di sekitar kawasan TNK. Perlawanan ini menyebabkan pihak Pemda Kabupaten
Ende dan pihak TNK pun dibuat pusing kepala.

“Sudah sejak zaman leluhur, tata ruang sudah ditata menurut peruntukannya: sebagai hutan
adat, permukiman, lahan garapan dan padang penggembalaan. Selain hutan itu, ada tempat-
tempat tertentu yang ditetapkan untuk tidak digarap oleh masyarakat, seperti mata air, lokasi
ritual adat dan pemakaman,” jelas Nikolaus Ruma, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Tiwu
Telu (AMATT).

10
Keberadaan AMATT sendiri merupakan respon atas konflik tapal batas antara komunitas
adat dan Taman Nasional Kelimutu (TNK) dan kasus kriminalisasi terhadap Andreas Pole.

Bagi Ruma sebelum melakukan penetapan tapal batas, pemerintah harusnya melibatkan peran
masyarakat adat.

Masyarakat adat menurut Ruma memiliki pengalaman dan memiliki nilai-nilai sistem
konservasi. Juga masyarakat adat pun telah memiliki kelembagaan adat yang di bawah
otoritas para Mosalaki, yang harusnya didengar pendapatnya. Menurutnya, hingga saat ini
TNK juga turut andil dalam menghilangkan tanah adat Mosalaki Wolomoni.

“Bagi ketiga komunitas adat di wilayah ini, permasalahan yang ada bukanlah permasalahan
Taman Nasional, tetapi permasalahan tanah adat yang mencakup aspek tata kuasa, tata kelola,
tata konsumsi dan tata distribusi,” ungkapnya.

Penahanan Andreas Pole lalu menjadi pemicu masyarakat untuk bersatu. Masyarakat
meminta agar tanah komunitas adat dikembalikan. Hal itu menjadi perhatian pada saat
Kongres AMATT pertama pada tahun 2008 di Saga. Perjuangannya adalah untuk
mengembalikan seluruh lahan penyangga di TNK agar ekonomi masyarakat tidak berhenti.

Utusan dari dua puluh desa di lima kecamatan pun hadir.

“TNK aset dunia tapi pertumbuhan ekonomi daerah penyangga tidak berkembang. Kita
berjuang terus dengan melakukan aksi-aksi besar agar hak-hak masyarakat adat di daerah
penyangga dapat dikembalikan,” sahut Philipus.

Di area wilayah wilayah yang disengketakan, akhirnya pihak Pemda Ende dan TNK melunak.
Mereka membiarkan masyarakat berkebun di dalam kawasan, asalkan masyarakat tidak
melakukan penanaman kembali.

***

Saat itu hari menjelang siang, ketika Mongabay berkunjung ke kantor TN


Kelimutu. Mongabay berjumpa dengan Kepala TNK, Nuryadi, yang didampingi oleh Kepala
Tata Usaha TNK, Endarto.

11
Nuryadi menampik jika dikatakan pihak TNK berseberangan dengan masyarakat.  “Kami
hadir saat pertemuan dengan para pihak, termasuk saat konsultasi dengan Sekjen AMAN,”
tuturnya.

Menurutnya, komunikasi dengan komunitas adat selama ini bertujuan untuk melestarikan aset
TNK, yaitu konservasi kawasan hutan. Baginya, selama belum ada peraturan pengganti maka
masyarakat tetap tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berkebun di dalam areal TNK.

“Kami berpatokan pada UU No.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam. Kalau
undang-undang baru sudah terbentuk maka kami pun akan patuh. Kami bekerja berdasarkan
aturan yang berlaku. Namun, kami akan tetap menghargai komunitas adat,” jelas Endarto
menambahkan.

Endarto melihat seluruh persoalan pasti ada penyelesainnya. Dia mengambil contoh kearifan
Bupati Ende saat itu yang pada akhirnya memberikan kemudahan pada masyarakat untuk
memanfaatkan hasil kopi yang sudah ditanam, selama bukan dari hasil tanaman baru apalagi
membuka lahan kebun didalamnya.

Terpisah saat dijumpai Mongabay, Mas’ud Nur, Sekdin Kehutanan dan Perkebunan


Kabupaten Ende menjelaskan tentang silang sengketa antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurutnya pihaknya sekarang sedang mendata dan mengurus agar pemukiman dan fasilitas
umum yang sudah lama masuk dalam kawasan hutan bisa dikeluarkan dari peta kawasan.

Mas’ud juga menghimbau agar masyarakat yang memiliki kebun di dalam kawasan hutan
dapat terdata dan terdaftar sebagai anggota pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm) atau
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yang saat ini proses pendataan ulang sedang dilakukan oleh
Dishut; sembari menunggu proses dikuatkan lewat peraturan Gubernur.

Sesuai dengan Peraturan Menhut No. 37/2007 jo No 13/2010 tentang HKm dan HTR, kedua
mekanisme ini merupakan koridor legal dimana masyarakat sekitar hutan dapat mengelola
hutan negara sesuai aturan perundangan.

Kegiatan ini dapat dilakukan lewat masa kontrak 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi
selama tidak merubah fungsi hutan yang ada.

12
***

Bagi Philipus, penyelesaian paripurna adalah pada saat pengakuan wilayah adat telah final
definitif. Jika tidak, potensi sengketa dengan pihak seperti TNK akan dapat terulang kembali
dimasa yang akan datang.

Lebih jauh lagi, kriminalisasi dapat terus terjadi bagi anggota masyarakat adat yang totalnya
berjumlah 140 komunitas adat di seluruh di Kabupaten Ende.

Menurutnya, perbedaan cara pandang ini harus diatasi lewat aturan baru yang mengakomodir.
Caranya berjuang mendapat pengakuan tanah ulayat agar diakui sebagai hutan adat.

“Dengan adanya keputusan MK No. 35/2012  dan Peraturan Menteri LHK 32/2015 tentang
hutan hak, kita berharap lahan yang menjadi hak masyarakat adat dikembalikan, didudukan
pada hukum yang benar,” jelas Philipus. Dengan berstatus hutan adat, maka kawasan tersebut
dikeluarkan dari nomenklatur hutan negara.

“[Meski demikian] pemerintah belum pernah turun melakukan sosialisasi terkait keputusan
MK. Mereka selalu katakan ini baru putusan MK, tapi belum ada peraturan turunannya,”
ujarnya.

Sebagai bagian perjuangan menuntut hak, menurut Philipus saat ini AMAN Nusa Bunga
dibantu Fakultas Hukum Universitas Flores Ende sedang menyusun draf rancangan peraturan
daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyaakat Adat (Raperda PPHA).

Adapun yang menjadi dasarnya adalah hasil riset Lapangan yang dilakukan AMAN terhadap
50 komunitas masyarakat adat di tiga suku besar yakni Ende, Lio dan Nage di Kabupaten
Ende.

Hasil kajian menemukan akar persoalan bagi masyarakat adat saat berhadapan dengan negara
adalah masalah tapal batas hutan, penetapan batas wilayah, dan ketidakjelasan wilayah adat
yang menyebakan pihak lain dapat begitu saja mengambil alih hak adat.

Apalagi ditambah saat ini di seluruh Flores dan Lembata telah ada 313 izin eksplorasi
tambang yang berpotensi menambah jumlah konflik yang ada.

13
Sebagai langkah pertama, AMAN telah melakukan konsultasi publik pada tanggal 20
Agustus 2016 untuk RUU dan Perda PPHMA di Aula Desa Saga yang dihadiri oleh utusan
komunitas adat sekabupaten Ende, TNK, dan anggota DPRD Ende.

“Kami berjuang agar Ranperda dan RUU PPHMA bisa dibahas dan ditetapkan menjadi
aturan yang bisa mengakomodir keinginan masyarakat adat yang selama ini diabaikan.”

Hal itu diamini oleh Mosalaki Nuabosi Sido. Menurutnya tanpa ada kejelasan masyarakat
terus takut dikriminalisasi dan dipenjara. Bahkan untuk menebang kayu di dalam hutan untuk
keperluan pembangunan rumah adat saja, masyarakat takut.

“Waktu mau bangun rumah adat ini kami disuruh pak Philipus tebang pohon, sehingga saya
pun berani tebang. Karena bila ada yang melarang maka dia siap bertanggung jawab dan
menjamin kami tidak ditangkap aparat. Akhirnya rumah adat kami bisa diperbaiki setelah
terlantar puluhan tahun,” beber Sido.

Sido harapkan agar negara bisa mengakui hak-hak komunitas adat khususnya yang berdiam
di sekitar kawasan hutan lindung. Kearifan lokal masyarakat adat terkait buka kebun dan
ladang serta menjaga ekosistem hutan yang selama ini dijalani beserta ritual adatnya lama
kelamaan hilang akibat tidak diperbolehkannya masyarakat adat masuk ke dalam kawasan
hutan.

“Kami masyarakat adat tidak merusak lingkungan sebab sejak dahulu kami selalu menjaga
hutan. Kami tidak pernah melakukan kegiatan penebangan pohon untuk dijual. Kami juga
jaga hulu sehingga mata air tidak mengering.”

Andreas Pole sore itu baru pulang dari kebunnya. Seperti biasa dia duduk di depan rumahnya
untuk beristirahat. Dia pun lalu berujar menutup.

“Cukup sudah biar saja saya seorang yang masuk penjara, untuk menebus orang-orang Saga.
Saya harap keadilan akan datang dan berpihak kepada kami, masyarakat adat.”

14
Inilah Kampung Adat Saga Dengan Arsitektur
Rumah dan Budayanya yang Unik
October 5, 2016 Ebed de Rosary, Ende Popular

Pada setiap bulan September, komunitas adat Saga, yang lokasinya berjarak sekitar 23
kilometer arah timur Kota Ende menggelar ritual adat nggua atau pesta syukur paska panen.
Selain adat budaya yang masih kuat dipegang, kampung ini pun memiliki keunikan berupa
rumah-rumah adat tradisionalnya, yang disebut sa’o.

Secara etimologi, Saga memiliki arti suara yang berwibawa, suara terpandang atau suara
terhormat. Dapat juga diartikan bunyi air yang mengalir tidak deras atau keras tetapi
menghanyutkan, atau juga dapat dikatakan suara kesejukan atau suara perdamaian dan suara
keberuntungan.

Dari pengertian diatas dikatakan bahwa sejak dulu hingga saat ini secara implisit
terdapat waka atau martabat  kepemimpinan yang telah diwariskan oleh nenek moyang.

Kampung adat Saga sendiri berada di puncak bukit tertinggi di ujung selatan Desa Saga.
Kampung adat ini dahulunya merupakan perkampungan yang ditinggali banyak penduduk.
Topografi perkampungan ini berbukit-bukit.

“Dulunya kampung ini ramai sekali namun setelah terjadi gempa hebat di Flores tahun 1992,
beberapa rumah mengalami kerusakan. Banyak warga yang mengungsi dan membangun
rumah di bagian bawah bukit, kampung [baru] yang sekarang ada,” ujar Philipus Kami, salah
satu keturunan tetua ada (mosalaki) Saga menjelaskan kepada Mongabay Indonesia. Orang
Saga sendiri termasuk kedalam kelompok etnik Lio.

Sa’o di Saga saat ini masih ada sebanyak  22 rumah yang berdiri utuh. Rumah-rumah ini
dibangun di tanah rata bertingkat dimana bagian pinggirnya disusun bebatuan sebagai
penahan.

Pondasi  rumah ditopang sembilan batu ceper berukuran besar yang ditanam di dalam tanah
sehingga cukup untuk menahan beban rumah sehingga tidak perlu lagi penggalian pondasi.
Tinggi batu tersebut dari permukaan tanah sekitar 60 hingga 100 cm untuk mendukung
struktur rumah berbentuk  panggung.

15
Rumah-rumah adat So’a yang
dibangun mengikuti topografi wilayah yang berbukit. Batu-batu ceper digunakan sebagai
fondasi rumah. Foto: Ebed de Rosary

Adapun batuan berbentuk ceper ditumpuk bersusun disisipkan di celah-celah berbatu yang
berfungsi sebagai anak tangga yang terletak di bagian depan dan belakang persis di pintu.

Sedangkan lantainya tersusun dari papan-papan yang disusun sejajar satu arah. Desain lantai
rumah adat ada dua jenis, yaitu lantai luar dan lantai ruang dalam, kedua lantai ini tidak
dipisahkan oleh dinding melainkan dipisahkan oleh perbedaan tinggi lantai. Lantai ruang luar
dibuat lebih rendah dibandingkan lantai ruang dalam. Di bagian dalam terdapat juga dapur
yang pada saat ritual adat ditempati kaum perempuan.

Sedangkan di bagian teras rumah persis setelah tangga pintu rumah dibiarkan lapang tanpa
kursi sehingga semua orang bisa duduk bersila saat berkumpul. Biasanya, teras bagian depan
digunakan untuk menjamu tamu, baik pada saat hari biasa atau saat ritual adat.

Selain sa’o maka terdapat sa’o nggua, yang diperuntukkan untuk para tetua. Cirinya di depan
sa’o nggua terdapat tubu saga (tiang saga) yang diperuntukkan sebagai tempat persembahan
kepada leluhur atau nenek moyang. Tiang ini terbuat dari batu atau dari kayu tertentu yang
tidak mudah lapuk.

Hanya mosalaki atau tetua adat beserta anggota keluarganya yang boleh tinggal di sa’o
nggua. Hak ahli waris diturunkan secara turun-temurun kepada garis keturunan laki-laki
(patriarkhi).

16
Kubur batu yang disusun dari
batu-batu ceper yang terletak didepan Sa’o. Rumah Sa’o memiliki filosofis yang terambil dari
tubuh manusia. Foto: Ebed de Rosary

Filosofi Rumah Adat

Dari sisi filosofis bentuk bangunan ini menyerupai bagian tubuh manusia. Atap diibaratkan
sebagai kepala, tiang utama diidentikkan dengan leher, kuda-kuda penopang bubungan
diibaratkan sebagai kedua tangan, dinding ibarat rusuk, serta tiang penyangga diibaratkan
sebagai kaki.

Mengikuti filosofi tersebut, maka struktur atap berbentuk kerucut dengan empat sisi dimana
atap terbuat dari ilalang dan diikat memakai ijuk. Tinggi atap bisa mencapai tujuh meter.
Seluruh tiang dan lantai serta dinding rumah adat terbuat dari kayu.

Menurut mosalaki Saga Gregorius Gato, dulunya rumah-rumah adat ini sengaja dibangun


besar karena setiap rumah dapat dihuni hingga belasan kepala keluarga.

Menurutnya, untuk membangun rumah adat sa’o tidak dapat dilakukan sembarangan.


Sebelum pemotongan kayu yang akan digunakan sebagai tiang penopang, harus dilakukan
upacara dan ritual adat khusus.

“Saat kecil saya merasakan tinggal di dalam sa’o. Ada 12 kepala keluarga yang tinggal di
dalamnya dan semua hidup aman dan rukun,” jelas Philipus Kami.

17
Menurutnya sebelum gempa 1992, perkampungan ini sangat ramai, namun saat ini hanya
tersisa puluhan orang saja.

Membawa hasil panen dari rumah


adat atau Sao untuk didoakan. Foto: Ebed de Rosary

Ucapan Syukur

Keunikan lain dari kampung adat ini adalah di tiap bulan September, diselenggarakan pesta
adat untuk mensyukuri keberhasilan panen padi atau yang disebut dengan Nggua.

Ritual nggua terdiri dari tiga urutan yaitu Uta Bue, Uwi-Keu Kana dan Keo. Pesta adat ini
merupakan sebuah rangkaian ritual yang dimulai sejak awal dengan membuka kebun baru
hingga ditutup dengan gawi atau menari bersama saat pesta syukuran.

Seluruh ritual gawi merupakan simbol atau semangat persaudaraan, senasib sepenanggungan


dan luapan rasa syukur dan penghormataan kepada sang Pencipta, leluhur dan alam yang
telah memberikan makanan.

Prose ritual dimulai dengan So Au yaitu menentukan tempat akan dibukanya lahan baru (uma
wolo). Selanjutnya dilakukan Ngeti, Poto ura aje, yaitu membuka huma secara simbolis yang
menandai pembukaan ladang yang diikuti pantangan beberapa waktu selama 1-3 hari, yang
disebut dengan wari atau membiarkan huma yang sudah ditebas untuk beberapa waktu.

Sesudahnya dilakukan Jengi, membakar huma yang sudah kering yang akan dijadikan kebun
yang dilanjutkan dengan sele ago  atau sewu petu, atau reba rango dengan upacara seru

18
fata atau tolak bala dimana tanah dibungkus dengan dahan, ranting dan lainnya lalu ditarik
dari ujung atas kebun menuju arah bawah atau tempat yang lebih rendah (lawo).

Selanjutnya, dilanjutkan dengan tedo atau menanam padi dan tanaman lainnya. Tedo pertama


dilakukan oleh mosalaki pada waktu pagi sekali sebelum orang lain tahu, lalu prosesnya
disusul oleh fai walu ana kalo, atau masyarakat biasa.

Saat tanaman telah berumur sekitar tiga bulan dan mulai matang dilakukan tonda lobo rabhe
rara, yang ditandai dengan nggua uta bue atau memakan kacang-kacangan. Simbol ini adalah
untuk mengingatkan kembali keturunan dan leluhur atau nenek moyang yang datang secara
bersusun, berketurunan. Bue atau kacang-kacangan itu buahnya bersusun  melambangkan
keturunan yang tidak berhenti, melambangkan sistem tangga.

“Setelah padi siap panen dilaksanakan keti pare. Pare (padi) yang di petik itu disimpan selalu
di bhengge  (lumbung). Hasil panen ini kemudian diadakan upacara adat atau ritus yang
disebut dengan makan nasi baru atau nguua keu-uwi (keu atau pinang dan uwi atau ubi),”
jelas Philipus.

“Lalu diikuti makan bersama, keesokan harinya diadakan gawi atau menari bersama.


Waktu gawi pun para mosalaki lebih dahulu baru menyusul warga masyarakat biasa.”

Membawa hasil panen dari


rumah adat ke tempat ritual. Foto: Ebed de Rosary

19
Setelah upacara nggua keu-uwi, diadakan ritual tolak bala (joko ju). Upacara tolak bala ini
dimaksud agar segala penyakit atau bala tidak akan masuk lagi bila membuka kebun
berikutnya. Segala penyakit diusir dari kebun atau ladang tersebut agar hasil panen bisa
mencukupi sesuai harapan.

Ritual ditutup dengan melaksanakan tarian gawi bersama-sama. Sebelum gawi,


mosalaki menuangkan arak (moke) dan memberi makan kepada leluhur di batu ceper yang
berada di tengah lapangan rata di kampung adat tempat di lakukan gawi bersama.

Hampir semua masyarakat Saga hadir dalam kesempatan nggua yang selalu rutin digelar
setahun sekali setiap bulan September.

“Karena tradisi di Saga yang begitu unik ini, kami merekomendasikan agar dapat dilakukan
penataan kembali kampung adat Saga sebagai ikon pariwisata dengan tidak menghilangkan
budaya asli masyarakat adat Saga,” harap Philipus menutup keterangan.

20
Tempat Berkumpulnya Arwah Leluhur di Danau
Kelimutu
Wahyu Setyo Widodo
Redaksi Travel

Ende - Danau Kelimutu menjadi tempat yang disakralkan oleh Suku Lio di Ende, NTT. Mereka
percaya arwah leluhurnya berkumpul di Batu Arwah, sebelum bersemayam di Danau Kelimutu.

Terlepas dari keindahan alamnya, kesan mistis dan sakral memang memenuhi Danau Kelimutu.
Atmosfer itulah yang detikTravel rasakan beberapa waktu yang lalu saat mengikuti acara puncak
prosesi adat Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata yang diselenggarakan pada tanggal 14 Agustus setiap
tahunnya.

Upacara Pati Ka merupakan acara adat tahunan yang diselenggarakan Suku Lio untuk menghormati
arwah para leluhur. Dalam upacara Pati Ka, ada ritual 'memberi makan' roh leluhur di Batu Arwah
sebagai acara puncaknya. Arwah leluhur akan diberi makan sesajen berupa nasi berah merah, lauk se'i
daging babi, tembakau, serta minuman dari kopi, air putih hingga soft drink.

Ritual Pati Ka di sekeliling Batu Arwah didahului dengan pembacaan syair dalam bahasa Lio yang
dilakukan oleh pimpinan Mosalaki. Syair tersebut diiringi dengan gerakan tarian dari para mosalaki
lain yang bergandengan tangan mengelilingi Batu Arwah. Gerakan tari dilakukan dengan seirama,
makin lama temponya makin cepat.

Ritual diakhiri setelah para Mosalaki memakan sebagian sesajen yang dipersembahkan untuk para
leluhur. Setelah para Mosalaki meninggalkan tempat acara, barulah para wisatawan datang mendekat.
Mereka penasaran dengan wujud Batu Arwah yang menjadi pusat para Mosalaki mengadakan ritual
Pati Ka.

21
Wujud Batu Arwah ternyata berupa sebuah batu besar berwarna hitam. Batu ini diletakkan di atas
pondasi yang terbuat dari tumpukan batu berbentuk pipih. Konon, di Batu Arwah inilah masyarakat
Suku Lio percaya arwah leluhur mereka berkumpul sebelum bersemayam di Danau Kelimutu.

Batu Arwah terletak di areal 'feeding ground' yang ada sebelum mencapai puncak Gunung Kelimutu.
Letaknya berada di sebelah kiri jalan, dengan ditandai oleh sebuah papan hijau. Areal ini berupa tanah
tandus dengan vegetasi semak belukar. Jalur untuk menuju ke Batu Arwah dibatasi dengan tali yang
dipasang di tiang-tiang pancang.

Kesakralan Batu Arwah di Danau Kelimutu memang membawa pesona tersendiri. Traveler yang
penasaran bisa berkunjung ke Danau kelimutu di Ende, NTT untuk melihat Batu Arwah serta danau 3
warna yang begitu tersohor itu.

(rdy/Aditya Fajar Indrawan)

22
Ritual Adat Khas Kelimutu Awali Pendakian Willem Sigar
SRI ANINDIATI NURSASTRI
Kompas.com - 26/04/2016, 09:34 WIB

ENDE, KOMPAS.com - Dua Mosalaki memotong ayam dan menaruh darahnya di wadah.
Setelah itu, darah dicampur sirih pinang. Mosalaki adalah pemuka adat Suku Lio di Taman
Nasional Kelimutu, Ende, Nusa Tenggara Timur. 

Mereka melakukan upacara adat Pat Ka Ata Mbupu yang dipercaya akan melancarkan
perjalanan yang dilakukan Willem Sigar Tasiam. Willem tergabung dalam ekspedisi "Jelajah
Tanpa Batas" yang didukung Nissan All New Navara.

Atlet maraton Willem dalam misi "menaklukkan" 50 gunung dalam 40 hari, dari Nusa
Tenggara Timur sampai Sumatera Utara. Rombongan ekspedisi pada Selasa (26/4/2016) pagi,
sekitar pukul 04.00 Wita, berkumpul di kaki Taman Nasional Kelimutu, Flores, NTT.

Kelimutu adalah gunung pertama yang didaki Willem. Sebelum mendaki upacara adat Pati
Ka Ata Mbupu di Pere Konde yang masih masuk dalam kawasan TN Kelimutu.

Selama ritual tersebut, Willem ikut memberikan campuran tembakau ke dalam wadah berisi
darah ayam dan sirih pinang. Mosalaki pun memanjatkan segenap doa agar ekspedisi berjalan
lancar.

Kelar ritual adat, Willem pun memulai maraton menuju puncak Kelimutu. Sekitar pukul
05.00 WITA, Willem berhasil menyaksikan matahari terbit yang indah di Puncak Kelimutu.
Memang, puncak Kelimutu paling tepat "dinikmati" saat matahari terbit. Matahari yang
perlahan muncul membiaskan sinar ke tiga danau warna di puncak kelimutu.

Setelah Kelimutu, Willem siang ini dijadwalkan akan langsung mendaki Gunung Inerie di
Bajawa. Dari TN Kelimutu ke Bajawa diperkirakan akan menemuh waktu perjalanan 6 jam
perjalanan dengan jarak tempuh 185 kilometer.

Ekspedisi ini juga didukung oleh Pertamina dan Eiger. Ikuti kisah perjalanan Willem di
liputan khusus Kompas.com pada laman"Ekspedisi Alam Liar - 50 Gunung 40 Hari". Selama
40 hari, tim Kompas.com akan mengikuti perjalanan Willem mendaki 50 gunung secara lari
maraton dalam 40 hari.

23
Memberi Makan Arwah di Danau Kelimutu
Wahyu Setyo Widodo
Redaksi Travel
Ende - Danau 3 Warna Kelimutu ternyata punya festival unik setiap tahun. Acara utama
festival ini adalah memberi makan arwah yang bersemayam di sana.

Festival Pati Ka Dua'a Bapu Ata Mata, itulah nama lengkap festival tersebut. Tahun lalu,
detikTravel berkesempatan menghadiri ritual adat tahunan ini. Setiap tahunnya, festival ini
diselenggarakan setiap tanggal 14 Agustus.

Upacara Pati Ka merupakan acara adat tahunan yang diselenggarakan Suku Lio untuk
menghormati arwah para leluhur. Acara puncak dalam festival ini adalah 'memberi makan'
roh para leluhur yang dipercaya tinggal di sekitar Danau Kelimutu.

Menurut Suku Lio, arwah para leluhur ini berkumpul di Batu Arwah. Letak Batu Arwah ini
berada di areal Feeding Ground, sebuah areal terbuka tepat sebelum meniti tangga hingga ke
puncak Danau Kelimutu.

Areal feeding ground di Danau kelimutu (Wahyu/detikTravel)

Prosesi Pati Ka diawali dengan pembacaan doa bersama oleh para tetua adat Suku Lio. Doa
ini untuk memberkati makanan dan minuman yang akan dipersembahkan untuk para leluhur
pun disiapkan. Makanan itu diletakkan di atas piring saji yang terbuat dari tanah liat.

Makanannya berupa nasi beras merah dengan lauk daging babi. Untuk minumannya ada air
putih, kopi hingga soft drink. Masing-masing tetua adat atau yang biasa disebut Mosalaki,
membawa 1 piring saji yang berisi makanan untuk para leluhur. Total ada 26 piring
persembahan yang dibawa.

24
Batu Arwah dan makanan persembahan untuk leluhur (Wahyu/detikTravel)

Setelah diberkati, piring sesaji itu dibawa untuk menuju ke Batu Arwah. Tetua adat berada di
barisan paling depan, diikuti oleh para Mosalaki. Sambil membunyikan gong setiap kali
melangkah meniti anak tangga, suasana pun menjadi sangat sakral.

Begitu sampai di Batu Arwah, para tetua adat dan Mosalaki duduk melingkar di sekitar
tempat berkumpulnya arwah tersebut. Rombongan itu langsung memulai ritual dengan
memanjatkan doa untuk para leluhur. Setelah itu, barulah mereka 'memberi makan' roh para
leluhur masyarakat Ende dengan cara meletakkan nasi beras merah dengan lauk daging babi
di atas batu arwah.

Sisa makanan yang masih ada di piring saji akhirnya dimakan bersama oleh para tetua adat.
Sehabis makan bersama, tetua adat mulai berdiri di atas batu arwah. Dia lalu menyanyikan
lagu tradisional dengan bahasa Suku Lio yang disambut dengan Tarian Gawi oleh rombongan
tetua adat lainnya.

Acara makan bersama para tetua adat (Wahyu/detikTravel)

Tarian Gawi inilah yang menandakan bahwa Upacara Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata telah
berlangsung dengan lancar dan tanpa kendala suatu apapun. Itu juga pertanda bahwa

25
persembahan mereka diterima oleh arwah para leluhur yang bersemayam di Danau Kelimutu.

Total prosesi adat ini memakan waktu hingga 3 jam lebih. Setelah prosesi selesai dan tetua
adat meninggalkan lokasi, barulah warga setempat maupun wisatawan ikut makan sesaji yang
ditinggalkan. Beberapa percaya makan sesaji ini akan membawa berkah.

Keunikannya yang tidak bisa ditemukan di tempat lain membuat festival ini selalu ramai oleh
wisatawan setiap tahunnya. Traveler juga jangan mau kalah, tunggu saja festival ini di
tanggal 14 Agustus nanti.

Warga ikut makan sesaji untuk para leluhur (Wahyu/detikTravel) (wsw/fay)

26
Wologai, Kampung Adat Keren yang Telah Berusia
800 Tahun
April 2, 2017 Ebed de Rosary, Ende, Flores Travel

Jika berkunjung ke Kabupaten Ende, jangan lupakan menyempatkan diri datang ke Kampung
Adat Wologai.  Kampung yang terletak di ketinggian sekitar 1.045 mdpl merupakan salah
satu kampung adat tersisa yang masih ada di Flores. Diperkirakan usianya sudah sekitar 800
tahun.

Wologai terletak sekitar 37 kilometer arah timur kota Ende, di Kecamatan Detusoko yang
dapat ditempuh dengan kendaraan umum maupun mobil sewaan dengan harga sekitar 300
ribu rupiah selama sehari.

Di bagian depan sebelah kanan pintu masuk kampung terdapat sebuah pohon beringin yang
diyakini komunitas adat Wologai ditanam oleh leluhur mereka, yang sekaligus konon setara
dengan waktu pendirian kampung adat ini.

Satu hal unik dari Wologai adalah arsitektur bangunannya yang berbentuk kerucut. Rumah-
rumah dibangun melingkar dan ada tiga tingkatan dimana setiap tingkatannya disusun
bebatuan ceper di atas tanah yang sekelilingnya dibangun rumah-rumah. Semakin ke atas,
pelataran semakin sempit menyerupai kerucut.

Deretan rumah panggung di kampung ini dibangun melingkar mengitari Tubu Kanga, sebuah
pelataran yang paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat digelarnya ritual adat. Batu
ceper yang terdapat di tengah digunakan serupa altar untuk meletakan persembahan bagi
leluhur dan sang pencipta.

Rumah panggung ini dibuat dari kayu yang diletakan di atas 16 batu ceper yang disusun
tegak untuk dijadikan tiang dasar penopang bangunan ini. Bangunan dengan panjang sekitar
7 meter dengan lebar sekitar 5 meter ini memiliki atap berbentuk kerucut yang dibuat dari
alang-alang atau ijuk. Tinggi banguan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya sekitar 3
meter.

Karena keunikannya, tak heran saat disambangi Mongabay Indonesia, akhir Maret lalu
terdapat beberapa wisatawan asing sedang memotret di tempat ini.

27
Aloysius Leta salah seorang
komunitas adat Wologai sedang berdiri di depan rumahnya. Ia terkenal piawai membuat
patung ukiran dari kayu. Foto: Ebed de Rosary

Filosofi Bentuk Bangunan

Menurut  Bernadus Leo Wara, mosalaki ria bewa atau juru bicara para tetua adat di kampung
ini, jumlah keseluruhan rumah adat di kampung Wologai adalah 18 rumah adat, 5 rumah suku
dan sebuah rumah besar. Jelasnya, rumah suku dipakai sebagai tempat penyimpanan benda
pusaka atau peninggalan milik suku. Sedangkan rumah besar hanya ditempati saat
berlangsung ritual adat.

“Bentuk atap rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berhubungan dengan
kewibawaan para ketua adat  yang didalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi
dari masyarakat adat biasa,” terangnya.

Mencermati rumah adat di Wologai seyogyanya mirip dengan rumah adat lainnya milik etnis
Lio. Bagian kolong rumah (lewu) dahulunya dipergunakan untuk memelihara ternak seperti
babi dan  ayam. Ruang tengah digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan loteng
difungsikan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang akan digunakan pada saat ritual
adat.

Aloysius Leta seorang pemahat patung yang ditemui Mongabay di pelataran rumah adat
menjelaskan, zaman dahulu leluhurnya adalah kelompok nomaden, hingga akhirnya
memutuskan menetap di Wologai.

“Tiap suku mempunyai bentuk bangunan rumah adat yang sama namun memiliki ciri khas
yang berbeda seperti ukiran yang ada pada tiang kayu bangunannya,” jelas Leta. “Dahulu pun
atap rumah tidak boleh dari ijuk tetapi alang-alang. Tapi sekarang banyak yang
mempergunakan ijuk, sebab jika pakai alang-alang maksimal 3 tahun sekali atapnya harus
diganti. Sementara kalau dengan ijuk bisa bertahan puluhan tahun.”

28
 

Rumah adat Wologai yang


berbentuk kerucut dengan atap ilalang dan ijuk yang didirikan di atas pondasi batu ceper.
Foto: Ebed de Rosary

Menurut Leta, untuk membangun rumah adat tidak boleh sembarang. Perlu didahului dengan
ritual adat Naka Wisu. Yaitu aturan memotong pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang
penyangga rumah. Ritualnya harus dilakukan pukul 12 malam, dengan terlebih dahulu
perlu menyembelih seekor ayam.

Demikian pula dengan keberadaan Kampung Adat Wologai. Leo menjelaskan masyarakat
masih mempertahankan bentuk kampung adat karena tunduk dan taat pada perintah leluhur
yang berpesan untuk selalu menjaga tradisi yang telah dilakukan turun-temurun.

Dalam setahun jelasnya di Kampung Adat terdapat dua ritual besar yakni panen padi, jagung
dan kacang-kacangan (Keti Uta) pada bulan April, dan tumbuk padi (Ta’u Nggua) pada bulan
September. Puncak ritual Ta’u Nggu’a adalah Pire dimana  selama 7 hari masyarakat tidak
menjalankan aktivitas hariannya.

“Selama masa ini seluruh masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktifitas pekerjaan
seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau dan lainnya. Mirip upacara Nyepi di Bali,”
jelasnya.

Setelah melewati berbagai upacara, maka komunitas adat akan menggelar ritual Gawi atau
menari bersama di atas pelataran di sekeliling Tubu Kanga sebagai simbol mengucap
kegembiraan dan kebersamaan.

29
Markus Ghawa Raja: Mr. Wellem Diambil Leluhur
Minggu, 14 Juni 2015 07:55
POS-KUPANG.COM, ENDE --- Mosalaki Ulu Eko (tokoh adat) Kampung Pemo, Desa
Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Markus Ghawa Raja, kepada Pos Kupang di
puncak Gunung Kelimutu, mengisahkan, cerita mistik yang terjadi tahun 1996 silam.
Saat itu, Mr. Wellem masuk ke Danau Kelimutu diam-diam sekitar pukul 03.00 Wita. Saat itu
Wellem bersama istrinya berada di puncak danau yang dikenal sebagai pos pengamatan
Danau Kelimutu.
Suami istri ini masuk Danau Kelimutu melalui jalan pintas tanpa melaporkan diri ke pos
penjagaan yang ada di bawah Danau Kelimutu. Saat berada di puncak pengamatan, Mr.
Wellem berniat masuk ke kawasan Danau Tiwu Ata Mbupu, sedangkan istrinya menunggu di
pos pengamatan. Namun hingga beberapa jam kemudian, Mr. Wellem, tidak kembali. Saat itu
istrinya hanya bisa menangis karena sang suami tak kunjung datang.
Kejadian ini kemudian dilaporkan dan langsung dilakukan upaya pencarian dengan
melibatkan masyarakat setempat, anggota TNI dan Polri. Juga melibatkan pegawai Taman
Nasional Kelimutu dan tim SAR. Pencarian saat itu dilakukan secara manual dan dengan
seremoni adat. Namun hasilnya nihil. Hingga saat ini, keberadaan Mr. Wellem tidak
diketahui rimbanya. Wellem seakan hilang di telan 'rimba' Kelimutu.
Secara mistis, Markus menduga Mr. Wellem, lenyap karena dia masuk ke dalam kawasan
tanpa permisi, tanpa 'ketuk pintu' alias masuk secara ilegal. Apalagi saat itu Mr. Wellem
masuk dini hari, di mana menurut kepercayaan masyarakat setempat, pada waktu dini hari itu
para arwah atau leluhur di Danau Kelimutu sedang istirahat sehingga merasa terusik dengan
kedatangan suami istri yang tanpa 'mengetuk pintu' itu.
"Karena itu jangan pernah coba-coba masuk ke kawasan Danau Kelimutu pada waktu malam
hari. Sebab, di malam hari itu adalah waktu bagi para arwah atau lelehur melakukan berbagai
aktifitas layaknya manusia. Jangan diganggu, mereka bisa 'marah'. Apa yang menurut
manusia itu adalah malam hari, itu adalah waktu siang hari bagi para leluhur. Sebaliknya, apa
yang menurut manusia adalah siang hari, maka itu adalah waktu malam bagi para leluhur,"
kata Markus.
Dari kejadian demi kejadian, lelaki yang berprofesi sebagai pemandu di Kawasan Kelimutu
itu mengatakan, otoritas Taman Nasional Kelimutu akhirnya membatasi pengunjung untuk
masuk ke kawasan Kelimutu dalam waktu tertentu saja, yakni dari subuh hingga pukul 17.00
Wita.

30
Selain Mr. Wellem yang menghilang misterius, ada juga beberapa warga yang menemui
ajalnya di Danau Kelimutu. Sejak tahun 1996-2015, tercatat empat warga yang menemui
ajalnya di kawasan danau itu. Mungkin menurut kacamata orang awam, kematian keempat
orang itu wajar, tapi tidak demikian dari kacamata mistis.
Markus percaya hilangnya Mr. Wellem, 'diambil' oleh leluhur. Dan kini Mr. Wellem telah
menjadi bagian dari kehidupan Danau Kelimutu.
"Dia telah berkumpul bersama para leluhur di Danau Kelimutu," tutur Markus.
Secara kasat mata, ujar Markus, ada yang mengaku sempat melihat Mr Wellem, di Bima-
NTB. "Katanya dia menggunakan payung terbang. Dia meluncur dari Kelimutu hingga ke
NTB," kata Markus.
Obyek wisata Danau Kelimutu tak hanya menawarkan keindahan tiga danau yang warnanya
bisa berlainan di waktu-waktu tertentu. Namun, ada juga keunggulan lain yang bisa Anda
nikmati di sana.
Seperti mata air panas, air terjun dan 140 jenis tumbuhan berkayu, 58 jenis burung, 150 jenis
serangga, 13 jenis mamalia dan 4 jenis reptil. Anda juga bisa nikmati keragaman budaya di
sekitar kawasan Dana Kelimutu berupa 17 komunitas adat Suku Lio.

31
ZAMAN BOLEH BERLALU, MUSIM SILIH BERGANTI “
KAMI TETAP HIDUP DALAM TRADISI BUDAYA
PENINGGALAN LELUHUR KAMI “
AdminOkt 23, 2016Pendidikan0

Nttexpos.com. Liputan Khusus Kampung Tradisional Bena. Bajawa,Oktober 2016.

“ Kampung – kampung lain memiliki


kampung lama, tetapi kampung kami tidak ada kampung lama. Dari dulu sampai sekarang,
kami hidup dikampung ini. Batu-batu Megalit adalah peninggalan leluhur kami sejak seribu
tahun yang lalu. Ngadhu dan Bhaga adalah lambang nenek moyang kami. Kami tetap
lestarikan keberadaan Megalit dan symbol-simbol adat kami dari zaman dulu hingga
sekarang “. Inilah ucapan Mosalaki Deru Solomae, Eman Sebo ( 65 Thn), yang juga adalah
Juru Kunci dan Pengelolah Perkampungan Bena, ketika ditemui wartawan NTT Expos, di
kampung Bena, beberapa waktu lalu.
Eman Sebo, mengatakan, dalam perkampungan Bena terdapat simbol-simbol adat penting,
berupa, Ngadhu, Bhaga, Saka Lobo, Ana Iye, Batu Nabe, makam para leluhur dan bebatuan
besar peninggalan zaman batu yang disebut Batu Megalit.

Eman, menjelaskan, kampung Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u,


Kabupaten Ngada-Flores Nusa Tenggara Timur. Luas lokasi perkampungan ini, panjang 250
meter, lebar 150 meter. Dibagian Selatan dan Timur berbatasanlangsung dengan tebing yang
curam, bagian barat berbatasan dengan tebing lereng Gunung Inerie, sedangkan dibagian
utara berbatasan dengan bebukitan, yang merupakan jalan raya dari arah kota Bajawa. Pintu
masuk ke perkampungan hanyalah dari bagian utara.Jarak kampung Bena dan Ibukota
Kabupaten Ngada yakni Bajawa, sejauh 13 Kilometer, dan bisa ditempuh dengan kendaraan
roda empat maupun roda dua.Jumlah rumah adat yang berada dalam kampung Bena sebanyak

32
40 unit, ada 60 keluarga yang menghuni kampung ini dan jumlah keseluruhan warga Bena
adalah 700 jiwa lebih.
Walau Zaman semakin Moderen, Warga Kampung Bena tetap hidup sesuai adat istiadat
murni peninggalan nenek moyang mereka dari zaman dulu. Mereka masih memegang teguh
filosofi nenek moyang mereka. Berbagai kegiatan hidup dan adat, selalu dilakukan
dengan persembahan-persembahan, antara lain, untuk pendirian rumah baru, penebangan
pohon dihutan, selalu dilakukan dengan persembahan Kerbau. Tujuannya adalah, agar
mendapat restu dari Sang Maha Kuasa, restu dari para leluhur dan terhindar dari amarah sang
pemilik hutan sehingga pepohonan yang ditebang untuk bangunan rumah, bisa bertahan lama
serta nyaman bagi yang menghuni rumah tersebut. Seluruh bangunan rumah-rumah adat
dalam kampung ini, masih sangat tradisional dengan bahan-bahan kayu, atap ilalang dan ijuk
serta bambu-bambu.
Karena memiliki bebatuan Besar dari zaman Megalitikum, maka kampung Bena telah
didaftarkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia ke UNESCO. Kampung ini disebut
Kampung Bena karena yang mula-mula membentuk dan tinggal dalam kampung ini adalah
Suku Bena. Karena Perkawinan dengan suku lain maka melahirkan suku-suku baru yang kini
membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Terjadi demikian karena penduduk
Benamenganut sistem kekerabatan matriarkat.
“ Kami selalu menjalani hidup ini bersama budaya zaman batu yang teringgal sejak 1.200
tahun yang lalu ini. Dalam kampung kami terdapat 9 suku, yaitu: Suku Bena, suku Dizi, suku
Dizi Azi, suku Watho, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solomae, suku Ngada, suku Khopa,
dan suku Ago. Beda antara satu suku dengan suku lain adalah, adanya tingkatan lokasi
kampung sebanyak 9 tingkat. Setiap suku ada dalam satu tingkat ketinggian. Rumah suku
Dan karena Suku Bena yang pertama menghuni di kampung ini, maka, rumah-rumah suku
Bena berada ditengah-tengah lokasi perkampungan. Hal ini untuk menghormati suku tertua
Bena “, ucap Eman dengan nada serius.
Semua bangunan rumah-rumah suku dibuat saling berhadapan dan memanjang dari utara
hingga selatan. Ini pertanda semua suku hidup saling terbuka dan siap bergotong royong
dalam berbagai kegiatan hidup. Setiap rumah Inti Suku terdapat rumah-rumah yang memiliki
ukiran-ukiran khusus yang miliki arti mendalam tentang asal mula keadaan hidup leluhur
kampung Bena. Setiap rumah Inti Suku disebut Sao Saka Meze.

Rumah Inti Nenek Moyang Laki-Laki disebut Sao Saka Lobo, dan rumah Inti Nenek Moyang
Perempuan disebut Sao Saka Pu’u. Diatas bumbungan atap rumah inti Nenek Moyang Laki-

33
Laki terdapat simbol patung orang berbalut Ijuk sambil memegang pedang dan lembing.
Simbol ini disebut Saka Lobo.Sedangkan diatas bumbungan rumah Inti Nenek Moyang
Perempuan, ada rumah kecil, yang disebut Bhaga.
Ditengah-tengah perkampungan, ada area yang luas seperti lapangan, yang disebut Kisanata.
Kisanata adalah tempat adanya bangunan Ngadhu, Bhaga, Bebatuan Megalit, Makam para
leluhur dan Batu Nabe. Lokasi yang disaebut Kisanata ini, juga merupakan tempat
dilaksanakannya upacara-upacara Adat dan upacara-upacara Agama serta upacara-upacara
penting lainnya.
Bangunan Bhaga bentuknya mirip pondok kecil. Bangunan Ngadhu berupa bangunan
bertiang tunggal, beratap ilalang dan serat ijuk. Bentuk bangunan seperti pondok peneduh
atau mirip seperti payung. Tiang Ngadhu dipakai dari jenis kayu khusus dan keras karena
tiang ini menjadi tempat mengikat dan menggantung hewan kurban saat dilakun upacara –
upacara penting dan pesta adat.

Bebatuan Megalitik terletak tegak berdiri berdekatan dengan Ngadhu dan Bhaga. Dalam
kumpulan bebatuan megalit, ada batu Nabe yang berbentuk plat. Dibawah batu Nabe ini
terdapat kuburan-kuburan para leluhur terdahulu mereka.
“ Saat mengurus masalah penting warga Bena, para tokoh adat selalu duduk diatas batu Nabe,
dengan maksud, agar apa yang diputuskan, didengar dan mendapat restu dari para leluhur
kami “, ucap Eman sambil menunjuk ke arah batu Nabe.Pada setiap rumah Inti Suku atau Sao
Saka Meze, terdapat ukiran-ukiran Ayam, Kuda, Tanduk Kerbau dan ukiran-ukiran berbentuk
hewan lainnya. Ukiran Ayam melambangkan keperkasaan dan kemuliaan, sebab kokok ayam
jantan pada setiap subuh untuk membangunkan manusia agar memulai mencari hidup dihari
yang baru. Gambar Kuda melambangkan Kekuatan dan keberanian untuk mencari hidup agar
menjadi lebih baik. Sedangkan Gambar Tanduk Kerbau melambangkan mempu memikul
beban hidup atau tanggungjawab hidupo keluarga serta rela berkorban demi hidup keluarga,
sebab kerbau selalu dipakai untuk memuat barang perkebunan, membajak sawah dan
disembelih menjadi korban upacara-upacara adat mereka.

Zaman Dulu, para leluhur Bena, mengatakan, bahwa di puncak Gunung Inerie,
bersemayamnya Dewa Zeta, yang diyakini sebagai Pelindung mereka. Hal itu sangat
dihormati oleh Generasi Bena. Dewa Zeta dianggap sebagai Penguasa Kehidupan
mereka,yakni Sang Maha Kuasa. Dan kini, mayoritas penduduk Bena menganut Agama
Katolik.

34
Mata pencaharian warga Bena adalah berkebun dan beternak. Dan untuk membentu ekonomi
keluarga, kaum ibu-ibu dan remaja putrid Bena, melakukan tenun ikat. Hasil perkebunan
mereka yang paling banyak adalah, kakao, kemiri, cengkeh. Hasil ternak mereka adalah,
Sapi, Kerbau, Babi, Kambing dan Ayam.

Tenun ikat yang diulakukan kaum perempuan Bena cukup indah, dengan motif kuda, motif
Gunung Inerie dan Garis-garis memanjang yang bersimbolkan, kuda sebagai pekerja keras,
Gunung adalah impian hidup sejahtera dan garis lurus adalah hidup yang lurus, benar dan
jujur. Kain-kain hasil tenunan mereka sangat digemari oleh para wisatawan yang selalu
berkunjung ke kampung Bena. Hasil-hasil ekonomi yang diperoleh digunakan untuk biaya
pendidikan anak-anak mereka.
“ Kami selalu bertenun dari pagi hingga malam. Kain yang kami buat adalah kain dari bahan
Organik, yakni campuran akar dan dedaunan pohon khusus yang bisa menghasilkan warna
kuning, Merah, nila dan hijau. Untuk mendapati warna asli, perlu waktu yang cukup lama.
Empat hari bertenun baru bisa menghasilkan satu kain asli”, ucap

Ny.  Maria Molle ( 50 tahun),


warga asli dari suku Bena.
Ada juga kain-kain yang dibuat dari benang warna jadi ( warna dari bahan kimia), yang
dilakukan untuk membuat selendang dan cendramata buat para pengunjung. Kain tenun
bahan kimia ini lebih cepat dibuat kain sebab warna benang sudah ada dan hanya tinggal di
tenun saja. “ kalau tenun kain dari bahan jadi atau warna bahan kimia, bisa cepat, tetapi kalau
kain asli dari bahan organik memang harus sabar karena lama baru jadi satu kain asli “, ucap
penenun, Mery Nagho ( 50 Tahun) dan Shanty Nagho ( 15 Tahun).

35
Menurut Moses Sabha ( 68 tahun), yang adalah Mosalaki One Woe suku Dizi Azi,
mengatakan, tenun tradisional dan kegiatan tradisi kampung bena akan selalu diwariskan
kepada anak cucu mereka, sehingga walau zaman semakin modern, anak-anak Bena tetap
mengetahui tradisi Bena dan sebagai generasi Bena, mereka akan mampu menjaga tradisi
yang ada.

Kampung Bena ini, juga di sebut Kampung Megalitikum sebab masih terjaganya bebatuan
megalitik yang tegak berdiri dari zaman ke zaman serta tradisi hidup warganya yang masih
tetap tradisional dan tidak tersentuh dengan pengaruh zaman modern ini. Walau warga Bena
sudah banyak yang berpendidikan tinggi, tetapi mereka tidak memiliki niat untuk merobah
tata cara hidup dan tradisi budaya peninggalan leluhur mereka. Bahkan bersama para tua
adat, warga yang sudah berpendidikan tinggi itu, bekerjasama untuk tetap melestarikan adat
dan tradisi yang ada.

Pesta adat yang besar adalah Pesta Reba. Pesta Reba adalah ucapan syukur atas berkat rejeki
yang diberikan Tuhan Maha Kuasa kepada rakyat Bena, selama satu tahun menjalani
kehidupan. Sedangkan upacara dan pesta adat lainnya dilakukan sesuai kebutuhan, seperti
masuk minang, pembuatan rumah adat, jika rumah yang ada sudah rusak.

“ Pada setiap tanggal 27 Desember, kami selalu melakukan pesta Reba. Pesta ini diawali
dengan Misa Syukur secara Katolik, kemudian ritual-ritual adat dilakukan sesuai aturan turun
temurun dari nenek moyang kami”, ucap Eman Sebo.

Kampung Bena, berada tepat di Lereng


Gunung Inerie. Udara wilayah Bena amat sejuk dan selalu dibaluti kabut dingin. Alamnya
sangat subur. Tinggi Gunung Inerie 2.245 meter dari permukaan laut. Jika kita menuju
puncak bukit Manulalu daerah Mangulewa, maka dari ketinggian, kita bisa melihat dengan
jelas keberadaan kampung Bena yang terletak di Lereng Gunung Inerie serta kita bisa melihat
dari kaki hingga puncak gunung Inerie yang berbalut kabut putih. Panorama alam Inerie yang
subur menghijau, dapat dilihat dengan jelkas dari area Home Stay bukit Manulalu

36
Sepanjang perjalanan dari Kota Bajawa, menuju kampung Bena, kita akan melihat panorama
alam yang sejuk, lembah dan ngarai yang membentak serta puncak Gunung Inerie yang
indah. Perjalan menuju kampung Bena berjarak 13 Kilometer dari Terminal Watujaji Bajawa.
Ke Bena dapat ditempuh dengan kendaraan angkutan umum maupun kendaraan
lain.Sesampai di pintu masuk kampung, petugas akan mengalungkan selendang adat dileher
para pengunjung sebagai tanda menyatu dengan tradisi Bena untuk mengunjungi keadaan
hidup orang-orang Bena yang masih sangat Tradisional.

Menurut Pengelolah Perkampungan Bena, Emanuel Sebo ( 65 Tahun), dari bulan januari
sampai Juni, setiap hari, kampung bena dikunjungi oleh 80 lebih orang wisatawan luar negeri.
Sedangkan pada bulan Juli sampai desember, setiap hari dikunjungi oleh 100 lebih orang turis
dari manca Negara, yaitu, Italia, Jerman, Denmark, Belanda dan lain-lainnya.
“ Musim boleh berganti, Zaman boleh berubah, kami tetap selalu menjaga dan melestarikan
tradisi budaya peninggalan leluhur kami “, ucap Eman Sebo, menutup perbincangan dengan
Wartawan NTT Expos. Maria Yessi A.Putri . ( NTTEXPOS.COM)

37

Anda mungkin juga menyukai