Setiap individu atau suatu bangsa pasti memiliki kenangan masa lampaunya. Akan tetapi manakala
masa lampau itu tidak diketahuinya, maka individu atau bangsa itu akan berusaha untuk
mengungkapnya. Buku ini lahir dari penelusuran jejak masa lampau itu tentang tumbuh dan
berkembangnya suatu jemaat Kristen di Korompeeli.
PENDAHULUAN
Mengungkap sejarah masa lampau cukup sulit manakala para pelaku sejarah, saksi sejarah atau
orang yang mengetahui sejarah itu telah tiada (meninggal dunia). Lebih sulit lagi ketika fakta sejarah
itu tidak ada peninggalan dalam bentuk tertulis. Bahkan untuk sejarah purba Suku Impo-Mori dan
suku-suku bangsa lain di Wita Mori hampir pasti tidak bisa akan diungkap karena tidak ada
peninggalan
prasasti atau batu tertulis sebab Orang Mori tidak memiliki aksara. Menyangkut sejarah masa
lampau, maka sumber tertulis harus dipadukan dengan sumber tertulis lainnya kemudian dikaji dan
dirumuskan agar tidak terjadi pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini karena sumber-
sumber tertulis tentang masa lampau baru ditulis setelah suku-suku Bangsa Mori mempelajari
aksara pada sekolah-sekolah Belanda.
Untuk mengungkapkan sejarah kehidupan dan pertumbuhan Jemaat Hermon Korompeeli, tidak bisa
dipisahkan dari sejarah Suku Impo pada umumnya (termasuk Korowalelo dan Koromatantu) dan
Suku Impo Korompeeli pada khususnya. Dimulai bagaimana kehidupan Suku Impo, tanah leluhur lalu
kemudian pada masa Suku Impo meninggalkan Gunung Impo dan Lembah Impo (Torukuno Impo ka
Lembo Impo) serta legenda penyebabnya di balik eksodus tersebut. Kisah selanjutnya adalah
bagaimana mereka mendapatkan dan membentuk pemukiman baru yang sekarang dikenal dengan
Desa Korowalelo, Desa Kommatantu dan Desa Kommpeeli. Kemudian bagaimana penduduk Desa
Korompeeli mulai mendengar Kabar Baik (Injil) dan generasi mudanya mulai mengikuti pendidikan
pada Sekolah Belanda serta bagaimana sebuah Jemaat Kristen mulai terbentuk. Selanjutnya dapat
dibaca pertumbuhan jemaatnya dan masa-masa yang penuh dinamika. Bagian akhir adalah
pelayanan dan harapan masa depan.
Suku Impo ( Orang Impo-To Impo) merupakan salah satu kelompok etnik pribumi asli Suku Mori
(Orang Mori To Mori-Mia Mori). Di masa lampau mereka mendiami bagian barat laut pegunungan
Mori yang di sebelah selatannya berdiam secara berturut-turut To Molongkuni dan To Ulu Uwoi
yang berbatasan dengan wilayah Matano di Selatan. Tempat itu disebut Lembo lmpo dan Torukuno
Impo. Dalam masa damai mereka hidup terpencar untuk bercocok tanam dan menggembalakan
ternak kerbau di Lembo Impo. Bila ada bahaya musuh, mereka berkumpul di perkampungan induk di
Torukuno Impo. Torukuno Impo (Gunung Impo) adalah sebuah bukit batu yang luas tetapi sangat
terjal sehingga musuh sangat sulit mencapai tempat di atasnya. Di tempat tersebut mereka
membuat pertahanan dan menyediakan bahan makanan serta air. Alat pertahanan mereka selain
pedang dan tombak, mereka menyediakan batang-batang kayu dan batu-batu besar yang siap
digulingkan bila musuh mendekat dan berusaha mendaki ke atas perkampungan.
fOrang Impo hidup dalam kekerabatan yang sangat dekat satu dengan yang lainnya. Bila Orang Impo
bertemu sesamanya yang tidak sekampung, dalam setiap perbincangan pasti ada pertanyaan : "Apa
fam anda” (apa marga reanda) atau dalam Bahasa To Impo : Isea Tineke Miu. Lalu mereka dengan
cepat menentukan seberapa dekat hubungan kekeluargaan mereka. Perkawinan menurut Adat
Impo, tidak hanya mempersatukan dua orang tetapi juga mempersatukan dua keluarga dan lebih
mempererat hubungan persaudaraan.
Tidak diketahui secara pasti pada kurun waktu mana Orang Impo meninggalkan tanah leluhurnya.
Tetapi diperkirakan pada dekade 1860 -1870. Pada masa itu, Perang Ensa Ondau 22 Juni 1856, 1)
telah beberapa tahun berakhir dan Benteng Bukit Ensa Ondau telah dikosongkan. Legenda dibalik
eksodus tersebut adalah; terjadinya banjir besar (Bahasa To Impo : Lolowi) yang menutupi Lembo
Impo. Banjir besar ini terjadi akibat orang-orang menertawakan seekor kambing yang masuk ke
bawah tudung (boru-tudung yang terbuat dari daun pandan hutan) yang sedang dijemur dan
berjalan kesana kemari membawa tudung tersebut ( Bahasa To Impo : Mo’alo Use).
Orang Impo mempunyai kepercayaan animisme. Mereka menyembah Roh yang disebut dan
percaya pada tahyul.
Dalam hal demikian di beberapa tempat ada legenda tentang kampung-kampung yang
tenggelam dalam tanah. Sebab dari peristiwa ini selalu timbul dari motif yang sama yaitu
menertawakan seekor binatang yang pada umumnya adalah seekor kucing atau seekor
kambing. Misalnya ; tenggelamnya Ligisa (sekarang Danau Tiu), tenggelamnya Kampung To
Wionggo di Watu Api, tenggelamnya To Oahinga bersama kampungnya dan tenggelamnya
Kampung Weula di dataran Malili. Perjalanan eksodus To Impo dipimpin oleh Tadulako
Tengko (sebagai Tadulako Mpu’u = Tadulako Utama) dengan para pemimpin kelompok yaitu
Tadulako Tampodinggo, Tadulako Welahi dan Tadulako Luamba. Mereka turun sampai di
dataran Lembobelala lalu mereka mencari tempat pemukiman baru. Tetapi beberapa waktu
kemudian mereka meneruskan perjalanan dan singgah bermukim di
Lebani dekat hutan sagu ( Tambunga ) di antara Wawopada dan Tingkea’o. 2) Setelah
beberapa lama bermukim di Tete Lebani, Tadulako Tengko bermaksud pindah ke wilayah
Sampalowo dan memerintahkan orang untuk mencari tempat bermukim yang baik dan
mendapat tempat di Wawonsalaki di sebelah selatan Onepute-Sampalowo. Sementara
ituTadulako Luamba menyuruh orang lain dari satu kelompok untuk mencari tempat
bermukim baru dan mendapat tempat di sekitar muara sungai kecil ( sekarang Sungai
Tinompo ) ke Sungai Tambalako. Kelompok Tadulako Tampodinggo dan Tadulako Welahi
berpindah ke Wawonsalaki sedangkan kelompok Tadulako Luamba masih tinggal di Tete
Lebani. Beberapa waktu kemudian,kelompok Tadulako Luamba meninggalkan Tete Lebani
dan mengilir dengan rakit ke Sungai Tambalako dan tiba di tempat yang sekarang menjadi
Desa Korompeeli.
Pada tanggal 1 Agustus 1917 dibuka Sekolah Zending (Sekolah Rakyat Tiga Tahunan) di
Moleono/Tinompo. Disusul
kemudian dengan pembukaan sekolah di Wawopada, Sampalowo, Mohoni dan beberapa
tahun kemudian dibuka lagi sekolah di Korololama, Tiu, Korowou,Dolupo dan Taende.
Di Kolonodale dibuka Sekolah Gubernemen (Pemerintah Hindia Belanda) dan Sekolah v.v.s
(Sekolah sambungan dari Sekolah Rakyat 3 Tahunan dan 4 Tahunan) yang Lamanya 2 tahun.
Sekolah sekolah tersebut diperuntukan juga bagi anak-anak dari kampung lain di sekitar
kampung dimana sekolah itu didirikan.
Seiring dengan kegiatan penginjilan, di setiap desa didirikan pos-pos kebaktian, sehingga
setiap hari sabtu malam diadakan kegiatan ibadah (Bahasa Mori = Mo’agama). Di
Korompeeli kegiatan mo’agama ini diperkirakan dimulai pada awal dekade . Selain mengikuti
kegiatan mo'agama yang diisi dengan ibadah (belajar nyanyian dan cerita-cerita Alkitab)
banyak anak-anak dari Korompeeli yang bersekolah di Tinompo yang selain mengajarkan
membaca, menulis dan berhitung juga mengajarkan, cerita-cerita Alkitab dan nyanyian
rohani.
Pada tahun 1924 Pendeta Karel Riedel dari Basler Mission Sodety (BMS) Jerman ditempatkan
di Korowalelo. Menurut Michiel Hegener ; Seiak tahun 1921 jadilah "pertobatan massal”, di
tahun 1928 sebagian besar penduduk Mori sudah menjadj Kristen dan di sekitar tahun 1935
dapatlah dikatakan bahwa mori seluruhnya sudah dikristenkan. Keadaan ini teristimewa
hasil usaha Penginjil Jerman Karel Riedel yang sejak tahun 1924 berbuat banyak untuk
mempercepat penginjilan di kerajaan kecil ini. Dengan demikian benih injil itu telah
menancap akarnya, bertumbuh menjadi besar dan berbuah. Buah Penginjilan itu di
korompeeli dan bagaimana jemaat di sini mulai terbentuk dapat dilihat pada daftar
"DJAMAAT KOROMPEELI" sampai dengan tahun 1935 terdapat 97 anggota
Baptisan sebagai berikut:
Kegiatan mo’agama pada masa ini dipimpin oleh guru-guru sekolah dari Tinompo yang
ditunjuk oleh Pendeta Zending yang berkedudukan di Korowalelo; Sampai tahun 1948
kegiatan mo’agama berlangsung di sebuah Rumah Ibadah sederhana yang terletak di
sebelah timur dari Balai Desa dan Kantor Desa sekarang. Sementara itu Rumah ibadah baru
dengan konstruksi balok kayu yang kuat di bangun di atas bukit dekat kaki gunung Ensa
Ondau di manm Rumah Ibadah sekarang berada. Rumah Ibadah ini bertahan Cukup lama
tetapi pada tahun 1970-an Rumah Ibadah ini kemudian dirombak dan dibangun baru dengan
Ronstruksi baIok kayu berdinding beton dan lantai beton beratap seng.
V
Pada masa pelayanan Pendeta Ny. AF. Rompas, pembangunan Rumah Ibadah yang lebih
representative dixmcanakan. Panitia pembangunan dibentuk dan anggaran biaya disusun
serta partisipasi anggota-anggota jemaat diminta. Pembangunan rumah ibadah baru dimulai
dengan peletakan batu pertama pada tanggal 17 Desember gg§ yang dilakukan' oleh para
Tua-Tua Iemaat dan Gembala Jemaat secara berturut-turut; Kepala Desa Th. Koleba,
Ramonta Lelewana, Madjsah' Lelewana, Yunius Mbatono dan Pdt. Ny. A. F. Rompas. Namuh
demildan kemajuan pembangunan mengalami pasang surut terutama oleh sebab konflik dari
dalam (internal) sehingga sebagian anggota jemaat memisahkan diri membentuk jemaat
baru (Lihat Bab IV-2). Setelah mengalami pasang surut pembangunan dalam periode lebih
dari satu dekade,
Rumah Ibadah Jemaat Hermon Korompeeli ditahbiskan pada tanggaL 21 September Tahun
2011.
Ha] lain yang perlu dicatat bahwa sesuai perkembangan Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST) dan berhubungan pula dengan pembangunan Rumah Ibadah baru, maka Rapat
jemaat pada
Februari 1999 t ' ' ' ' . w w Iemaa 1m diben nama . IEMAAT HERMON KORO