Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Hasybi Rabbani

NIM : 190501062
Unit/Waktu : 01/Kamis, 09:30-11:10
Semester : IV (Empat)

Asal Usul Samadua


Cerita Rakyat Kabupaten Aceh Selatan

Terkisah pada suatu masa, seorang pemuda pergi berlayar dari tanah kelahirannya di
Minangkabau menuju arah utara Pulau Sumatera. Hingga ia tiba di suatu tempat, dimana
ombak dipantai tersebut sangat tenang, pegunungan dan hutan masih rindang. Ia merasa
bahwa tempat yang masih belum banyak dijamah oleh manusia itu adalah tempat yang cocok
untuk ia membangun perantauannya.

Ia turun dari perahu nya, berjalan hingga terlihatlah sebuah air terjun yang persis
berada ditepian pantai. Pemuda ini merasa bahwa tempat tersebut sangat cocok untuk ia
membangun sebuah gubuk sebagai tempat tingga, karena letaknya yang dekat dengan hutan,
aliran air tawar dan juga pantai.

Segera pemuda itu bergegas menyusuri hutan dan belantara mencari berbagai bahan
dan alat untuk membangun gubuk. Satu persatu batang pohon, ranting, dedaunan dan akar
panjang mulai dikumpulkan. Perlahan namun pasti, segala macam benda yang diperlukan
telah tersedia. Pemuda tersebut mencoba memulai untuk membangun pondasi tiang-tiang
pancang untuk membangun gubuknya.

Waktu terus berlalu hingga siang menjelang, gubuk tersebut hampir selesai
disiapkan. Namun rasa lelah yang manusiawi mulai menghampiri si pemuda ini. Lelah, lapar
dan rasa ingin beristirahat lalu menghantui nya, hingga ia memutuskan untuk berhenti
sejenak dan pergi untuk memancing beberapa ekor ikan di sungai untuk makan siang nya.

Tak lama kemudian, si pemuda kembali ke area gubuknya dengan membawa


beberapa ekor ikan dan beberapa sesayuran yang dapat dikonsumsi. Pemuda tersebut mulai
menghidupkan api, memanggang ikannya dan memasak beberapa jenis sayuran yang bisa
direbus didalam wadah bambu. Setelah beberapa waktu menunggu hidangan matang sembari
beristitahat, makanan pun siap untuk disantap. Rasa makanan yang dimakan setelah bekerja
keras memiliki rasa dan kenikmatan tersendiri, walaupun si pemuda hanya memakan
beberapa ekor ikan yang dibakar dan sayur yang direbus, namun kenikmatan rasa dari
makanan tersebut sampai-sampai membuat si pemuda ini mengantuk. Si pemuda kemudian
memutuskan untuk tidur sejenak di atas batu besar yang berada didekat air terjun tersebut.

Selang beberapa waktu, pemuda tersebut secara terkejut dibangunkan oleh seorang
pemuda yang tak dikenal. Pemuda ini terlihat seperti penduduk lokal yang mungkin sedang
pergi berladang, lantas pemuda yang merasa heran dengan kehadiran seorang pemuda
ditempat yang tidak ada orang nya ini lalu bertanya, “Soe nan kah?” (Siapa nama kamu?).
Tidak paham apa yang dikatakan oleh pemuda ini, lantas membuat pemuda Minang kembali
bertanya “Sia namo ang?” (Siapa nama kamu?). merasa terheran-heran dengan bahasa yang
baru ia dengar, pemuda tersebut kembali mengulang pertanyaannya dan pemuda tersebut juga
menjawab dengan mengulang kembali pertanyaannya. Hal ini terus terjadi berulang-ulang
hingga kedua pemuda ini merasa kesal dan saling menghunuskan kedua pedangnya.

Karena terus melontarkan pertanyaan yang sama tanpa mendapatkan jawaban, pada
akhirnya kedua pemuda ini terlibat dalam adu pedang mereka. Hingga hari menjelang malam,
tiba-tiba datang seorang wanita yang tidak dikenal menghampiri mereka berdua. Wanita
berbaju putih ini pun lantas bertanya kepada mereka, “Untuk apa kalian bertengkar!?”,
“Untuk apa kalian berdua saling menghunuskan pedang!?”, “Apakah jika salah seorang dari
kalian terbunuh akan membuat kalian senang!?”, “Apakah kalian tidak bisa berdamai dan
saling memahami diantara kalian!?”. Kedua pemuda ini tidak mengerti wanita tersebut
berbicara dengan bahasa apa, namun kedua pemuda ini saling paham dengan apa yang
dikatakan si wanita ini.

Kedua pemuda yang pada awalnya saling bermusuhan, akhirnya saling merenungkan
kata-kata yang diberikan oleh wanita tersebut. Lalu wanita tersebut kembali berkata sambil
mengarahkan tangannya ke arah sebuah batang pohon, “Coba kalian pohon itu! Perhatikan
bagaimana kedua ekor burung itu saling membantu dalam membuat sarang mereka”. Mereka
pun akhirnya paham mengapa mereka saling bertengkar, mereka melepaskan kedua pedang
masing-masing dan memutuskan untuk berbaikan dan saling bekerja sama. Saat kembali
mengahadap ke arah wanita tersebut, mereka tidak lagi melihat dimana wanita tersebut
berada.

Keesokan harinya, mereka bertemu kembali dan saling berbicara menggunakan


bahasa yang mereka pahami. Mereka akhirnya saling bekerja sama dalam membangun tempat
tinggalnya. Mereka mulai membuka ladang, sawah dan pelabuhan untuk berlabuhnya perahu
mereka. Lama kelamaan akhirnya daerah ini mulai dikunjungi dan ditempati oleh orang-
orang yang datang dari luar. Dengan sumber dan hasil alam yang melimpah, banyak dari
mereka yang juga memabawa kerabatnnya untuk tinggal disini, bukan hanya sebagai tempat
perantauan semata.

Kemudian hari daerah ini diberi nama Samadua yang menggambarkan tentang
bagaimana rasa persaudaraan dan kerja sama dapat membuat perubahan besar, walaupun
pada awalnya terdapat konflik. Hingga sampai hari ini, para penduduk di Kecamatan
Samadua tetap memakai kedua bahasa ini, Bahasa Aceh dan Bahasa Minang sebagai bahasa
pengantar mereka sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai