Anda di halaman 1dari 5

MENYENTUH JANTUNG BAHASA – MERAIH HATI PUISI

Karya: Hasan Aspahani

Pada kesempatan kali ini aku akan mereview buku Menyentuh Jantung Bahasa – Meraih Hati
Puisi karya Hasan Aspahani. Aku di sini pertama-tama akan memaparkan hasil ringkasan dari
esai yang saya pilih dalam buku ini. Lalu, menjelaskan tujuan dan kesimpulan dari buku ini.
Terakhir tanggapanku terhadap buku ini dan lain-lain.

1. Setelah Terpikat, Apa Hendak Dibuat?


Bersajak (menulis atau menikmati) adalah suatu hal yang sudah manusia miliki sejak
lahir. Pertanyaannya, mengapa tidak semua orang bersajak (berpuisi)? Menurutnya,
seseorang tidak bersajak karena hasrat untuk bersajak ini sedang tertidur (hiatus). Joko
Pinurbo memiliki pengalaman yang senada dengan gagasan tersebut, “Lupa persisnya
(kapan). Mungkin terjadi di bawah sadar. Tapi antara lain karena tergetar oleh baris
sajak Sapardi: “masih terdengar sampai di sini/dukaMu abadi”. Gila betul kekuatan
bahasa puisi.” Sapardi Djoko Damono sendiri juga memiliki pengalaman yang kurang
mengenakkan, karena dianggap tulisannya “tidak masuk akal” oleh redaktur. Namun,
Sapardi tetap lanjut menulis dengan ketidakmasuk-akalannya.

Apa yang dilakukan setelah kita terpikat lagi pada sajak? Sajak berhubungan dengan
bahasa. Penyair yang menguasai alat dan media itu (bahasa) dengan baik tentu lebih
mahir menggunakannya. Linguistik adalah ilmu yang mampu membuat seseorang
menjadi lebih mahir bersastra, justru bukan dengan Ilmu Kesusasteraan. Tidak ada
sastra tanpa bahasa.

2. Kesepakatan Bahasa dan Parole Penyair


Ilmu bahasa atau linguistik menetapkan, bahwa bahasa adalah sistem bunyi dan sistem
tanda untuk berkomunikasi, bekerjasama, dan mengidentifikasi diri. Penyair di sini
memiliki hak khusus yang disebut liscensia poetarum (hak seorang penyair). Penyair
diizinkan untuk mendobrak sistem tanda yang telah ada di masyarakat -jelas, dengan
sebuah pertanggungjawaban.

Dalam linguistik (Saussure), ada yang disebut parole, yang berarti manifestasi/realisasi
nyata dari pengguna bahasa. Dan langue, yang berarti sistem baku bahasa yang terdapat
di masyarakat. Penyair di sini harus mampu menciptakan parole-nya sendiri, yang
artinya di sini, bahasa berfungsi untuk mengidentikasi diri.
3. Menjadi Unik, Bermain Bahasa
Bahasa adalah sistem yang memadukan dunia bunyi dan dunia makna. Bahasa itu
sistematis, artinya ia bukan unsur yang acak, tapi beraturan. Bahasa juga sistemis, yang
artinya ia terdiri dari tiga subsistem, yaitu fonologi, gramatika, dan leksikon. Ketiga
subsistem ini berpadu dengan dunia bunyi (fonetik) dan dunia makna (semantik).
Namun ada unsur-unsur yang ekstrastruktural, yaitu konteks. Unsur-unsur di luar
struktur itu dalam linguistik disebut “pragmatik”.

Melalui sistem bahasa tersebut, penyair mampu memainkan bahasa tersebut, dengan
mematuhinya ataupun melampaui batasnya. Penyair mampu menciptakan katanya
sendiri, yang mungkin belum ada dalam bahasa tersebut.

4. Puisi, dari Otak Kiri ke Otak Kanan


Bahasa sebagai alat komunikasi, artinya ia harus mampu menyampaikan pesan. Penyair
di sini, dalam puisinya, dapat digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan.
Komunikasi mensyaratkan dua subjek, pengirim pesan dan penerima pesan. Proses
menciptakan atau memahami pesan berhubungan dengan proses kognitif.

Dalam otak terdapat memori semantik dan memori episodik. Memori semantik
berhubungan dengan penyimpanan makna dan pemahaman, dan memori episodik
berhubungan dengan penyimpanan kejadian dan pengalaman. Penyair di sini, dalam
puisinya, mampu menyalurkan tulisannya dengan membawa kedua memori tersebut.
Pembaca puisi, dalam proses kognitifnya, diharapkan mampu merasakan memori
penyair ataupun menggugah kembali memori yang dimiliki pembaca.

Otak bagian korteks serebral, dibagi menjadi bagian kanan dan kiri. Bagian kiri
mengontrol kegiatan berbahasa, bagian kanan mengontrol informasi ruang dan gambar.
Puisi yang baik mampu menyediakan imaji-imaji yang menggoda. Penyair juga harus
mampu memvisualisasikan kata-katanya pada pendengar/pembaca.

5. Dari Mnemonik hingga Penjebol Kebekuan


Puisi dapat digunakan sebagai mnemonik. Penyair di sini artinya mampu menuliskan
suatu peristiwa yang membuat pembacanya mengingat sesuatu. Puisi sebagai arsip
sejarah. Puisi bukan sekedar menuliskan rekaman peristiwa, namun juga mengolah
peristiwa dengan berbagai jurus puitika.
Bahasa sebagai alat komunikasi. Peristiwa komunikasi memberagamkan bahasa dapat
melalui tiga hal ini, medan (field), suasana (tenor), dan cara (mode). Dengan
mempermainkan tiga hal ini, penyair mampu membuat bahasa menjadi tidak
beku/kaku.

6. Vokal, Konsonan, dan Hakikat Bunyi


Bahasa adalah tanda bunyi. Maka, ada baiknya seorang penyair untuk memahami
tentang bagaimana proses produksi bunyi. Ada tiga sumber bunyi pada tubuh manusia,
yaitu rongga mulut, tenggorokan, dan rongga badan. Melalui tiga organ tersebut, bunyi
dihasilkan melalui empat proses: proses pembunyian (phonation process), proses aliran
udara (airstream process), proses artikulasi (articulation process), dan proses oronasal
(oronasal process).

Organ rongga mulut disebut sebagai artikulator, atau secara khusus disebut ‘alat ucap’.
Artikulator memiliki dua macam bunyi, bunyi vokal (vokoid) dan bunyi konsonan
(kontoid). Dalam bahasa Indonesia, ada beberapa jenis kontoid, yaitu hambatan
artikulasi letupan (plosive/stop), geseran (fricative), paduan (affricate), sengau (nasal),
getaran (trill), sampingan (lateral), dan hampiran (approximant).

Sebagai penyair, pengetahuan tentang bunyi vokal ini berfungsi untuk menggambarkan
suasana, perasaan, atau makna tertentu dalam bahasa. Misal huruf s dalam bahasa
Jepang, berfungsi untuk menggambarkan kelembutan. Huruf k menggambarkan efek
melankolik.

7. Jurus-jurus Teks, Bersilat Wacana


Wacana merupakan kesatuan makna antarbagian di dalam suatu bangunan bahasa.
Menurut fungsi bahasa, wacana terdiri atas: wacana ekspresif, wacana fatis, wacana
informasial, wacana direktif. Pusi tergolong dalam wacana estetis, yaitu wacana dengan
muatan pesan dan penekanan keindahan. Wacana berhubungan dengan konteks. Teks
puisi yang baik memungkinkan untuk pembaca memaknai teks dengan konteksnya
sendiri.

8. Tuntutan dari Wilayah Pengetahuan Bersama


Kepaduan teks puisi dapat dilihat dari kepaduan unsur pada teks itu sendiri dan
hubungan teks dengan yang di luar teks tersebut. Horatio menulis buku “Ars Poetica”
pada tahun 14 SM. Ia mengatakan tolok ukur sastra ialah dulce atau nikmat, dan utile
atau manfaat. Ini menjadi perdebatan, manakah yang menjadi lebih penting dari sebuah
puisi.
9. Yang Takrif, Yang Taktakrif dan Yang Generik

10. Mengepaskan Makna, Melepaskan Makna


Pemaknaan suatu bahasa berhubungan pada memori. Dalam teori yang dianut oleh
pengkaji bahasa dalam memahami misteri makna adalah teori semantik segitiga.
Bayangkan ada segitiga dengan alas yang terputus2. Sebagai contoh, untuk memahami
kata pohon, dalam segitiga tersebut, konsep pohon berada di puncak segitiga. Sudut
alas kanan pohon adalah objek rujukan yang disebut pohon. Sudut kiri bawah adalah
lambang atau kata pohon. Keterhubungan antara kata dan objek itu digambarkan
terputus2, yang artinya ada proses mental yang menjembatani proses makna ini.

Penyair sebagai pengguna bahasa mampu menggali sisi unik dari kata-kata, dan akhirnya
mampu menciptakan makna baru dalam bahasa.

11. Intikata, Misterikata, Namakata


12. Menyaksamai Jejak-jejak Aksara
13. Sebermula adalah Kata, Lalu Frasa, Klausa, dan Kalimat
Kesimpulan Buku
Buku yang ditulis Hasan, bila dipahami secara sempit, bertujuan sebagai memperkenalkan
linguistik dasar untuk pemulia puisi. Namun, dapat dilihat, secara garis besar, buku ini
bertujuan untuk membebaskan bahasa dari belenggu kamus, penjajahan gramatika, dan beban
moral kata, yang di mana gagasan ini diambil dari kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri. Penyair
di sini diposisikan sebagai pendobrak dan yang mampu membebaskan dari belenggu bahasa
yang positivistik. Tapi, yang harus diingat bahwa buku ini bukanlah kajian ilmiah yang serius.

Tanggapanku
Buku ini, aku pikir, seakan-akan sebuah keresahan akan terkekangnya bahasa. Bahasa terjebak
pada struktur yang, secara moralis, seakan-akan tidak dapat diganggu gugat kebenarannya. Gini
yang bener, gitu yang salah. Jika tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang tersedia, maka akan
dipinggirkan. Penyair memang dapat dilihat sebagai salah satu orang yang mampu menjebol
dan menciptakan bahasa. Sebagai contoh, pada puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku, terdapat
kata yang paling terkenal yaitu “binatang jalang”. Tidak pernah ada sebelumnya susunan kata
seperti itu, setahuku. Menurut pemaknaanku, binatang yang secara denotatif merujuk pada
makhluk yang bukan manusia, dan jalang yang biasanya merujuk pada pelacur, yang itu
berhubungan pada manusia. Namun, di sini ia menggabungkan kata tersebut. Chairil
mendobrak bahasa. Pada pemikiran dangkalku, binatang jalang aku maknai sebagai kebebasan,
ketidakberaturan, atau mungkin kebencian akan sebuah aturan dan belenggu.
Pendobrakan bahasa ini, secara psikologis, juga menyebabkan disekuilibrium, yang bisa
diartikan sebagai ketidaksesuaian fenomena dengan pengetahuan atau memori yang telah kita
miliki selama ini. Melalui inilah, terciptalah bahasa baru dan berhasillah pendobrakan bahasa.
Meskipun begitu, aku pikir, dari setiap usaha melepaskan bahasa dari sebuah belenggu, kita
tetap akan terjebak pada sebuah belenggu baru. Harus ada suatu teritori. Tanpa pembatasan,
aku pikir, akan menyebabkan suatu kebingungan. Namun aku sadar, bahwa usaha mendobrak
bahasa juga berkorelasi dengan usaha dari melepaskan pembungkaman. Bagi saya,
ketersediaan kata juga berpengaruh pada psikologis, karena bahasa adalah salah satu alat yang
mampu digunakan untuk katarsis.

Anda mungkin juga menyukai