Menyentuh Jantung Bahasa
Menyentuh Jantung Bahasa
Pada kesempatan kali ini aku akan mereview buku Menyentuh Jantung Bahasa – Meraih Hati
Puisi karya Hasan Aspahani. Aku di sini pertama-tama akan memaparkan hasil ringkasan dari
esai yang saya pilih dalam buku ini. Lalu, menjelaskan tujuan dan kesimpulan dari buku ini.
Terakhir tanggapanku terhadap buku ini dan lain-lain.
Apa yang dilakukan setelah kita terpikat lagi pada sajak? Sajak berhubungan dengan
bahasa. Penyair yang menguasai alat dan media itu (bahasa) dengan baik tentu lebih
mahir menggunakannya. Linguistik adalah ilmu yang mampu membuat seseorang
menjadi lebih mahir bersastra, justru bukan dengan Ilmu Kesusasteraan. Tidak ada
sastra tanpa bahasa.
Dalam linguistik (Saussure), ada yang disebut parole, yang berarti manifestasi/realisasi
nyata dari pengguna bahasa. Dan langue, yang berarti sistem baku bahasa yang terdapat
di masyarakat. Penyair di sini harus mampu menciptakan parole-nya sendiri, yang
artinya di sini, bahasa berfungsi untuk mengidentikasi diri.
3. Menjadi Unik, Bermain Bahasa
Bahasa adalah sistem yang memadukan dunia bunyi dan dunia makna. Bahasa itu
sistematis, artinya ia bukan unsur yang acak, tapi beraturan. Bahasa juga sistemis, yang
artinya ia terdiri dari tiga subsistem, yaitu fonologi, gramatika, dan leksikon. Ketiga
subsistem ini berpadu dengan dunia bunyi (fonetik) dan dunia makna (semantik).
Namun ada unsur-unsur yang ekstrastruktural, yaitu konteks. Unsur-unsur di luar
struktur itu dalam linguistik disebut “pragmatik”.
Melalui sistem bahasa tersebut, penyair mampu memainkan bahasa tersebut, dengan
mematuhinya ataupun melampaui batasnya. Penyair mampu menciptakan katanya
sendiri, yang mungkin belum ada dalam bahasa tersebut.
Dalam otak terdapat memori semantik dan memori episodik. Memori semantik
berhubungan dengan penyimpanan makna dan pemahaman, dan memori episodik
berhubungan dengan penyimpanan kejadian dan pengalaman. Penyair di sini, dalam
puisinya, mampu menyalurkan tulisannya dengan membawa kedua memori tersebut.
Pembaca puisi, dalam proses kognitifnya, diharapkan mampu merasakan memori
penyair ataupun menggugah kembali memori yang dimiliki pembaca.
Otak bagian korteks serebral, dibagi menjadi bagian kanan dan kiri. Bagian kiri
mengontrol kegiatan berbahasa, bagian kanan mengontrol informasi ruang dan gambar.
Puisi yang baik mampu menyediakan imaji-imaji yang menggoda. Penyair juga harus
mampu memvisualisasikan kata-katanya pada pendengar/pembaca.
Organ rongga mulut disebut sebagai artikulator, atau secara khusus disebut ‘alat ucap’.
Artikulator memiliki dua macam bunyi, bunyi vokal (vokoid) dan bunyi konsonan
(kontoid). Dalam bahasa Indonesia, ada beberapa jenis kontoid, yaitu hambatan
artikulasi letupan (plosive/stop), geseran (fricative), paduan (affricate), sengau (nasal),
getaran (trill), sampingan (lateral), dan hampiran (approximant).
Sebagai penyair, pengetahuan tentang bunyi vokal ini berfungsi untuk menggambarkan
suasana, perasaan, atau makna tertentu dalam bahasa. Misal huruf s dalam bahasa
Jepang, berfungsi untuk menggambarkan kelembutan. Huruf k menggambarkan efek
melankolik.
Penyair sebagai pengguna bahasa mampu menggali sisi unik dari kata-kata, dan akhirnya
mampu menciptakan makna baru dalam bahasa.
Tanggapanku
Buku ini, aku pikir, seakan-akan sebuah keresahan akan terkekangnya bahasa. Bahasa terjebak
pada struktur yang, secara moralis, seakan-akan tidak dapat diganggu gugat kebenarannya. Gini
yang bener, gitu yang salah. Jika tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang tersedia, maka akan
dipinggirkan. Penyair memang dapat dilihat sebagai salah satu orang yang mampu menjebol
dan menciptakan bahasa. Sebagai contoh, pada puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku, terdapat
kata yang paling terkenal yaitu “binatang jalang”. Tidak pernah ada sebelumnya susunan kata
seperti itu, setahuku. Menurut pemaknaanku, binatang yang secara denotatif merujuk pada
makhluk yang bukan manusia, dan jalang yang biasanya merujuk pada pelacur, yang itu
berhubungan pada manusia. Namun, di sini ia menggabungkan kata tersebut. Chairil
mendobrak bahasa. Pada pemikiran dangkalku, binatang jalang aku maknai sebagai kebebasan,
ketidakberaturan, atau mungkin kebencian akan sebuah aturan dan belenggu.
Pendobrakan bahasa ini, secara psikologis, juga menyebabkan disekuilibrium, yang bisa
diartikan sebagai ketidaksesuaian fenomena dengan pengetahuan atau memori yang telah kita
miliki selama ini. Melalui inilah, terciptalah bahasa baru dan berhasillah pendobrakan bahasa.
Meskipun begitu, aku pikir, dari setiap usaha melepaskan bahasa dari sebuah belenggu, kita
tetap akan terjebak pada sebuah belenggu baru. Harus ada suatu teritori. Tanpa pembatasan,
aku pikir, akan menyebabkan suatu kebingungan. Namun aku sadar, bahwa usaha mendobrak
bahasa juga berkorelasi dengan usaha dari melepaskan pembungkaman. Bagi saya,
ketersediaan kata juga berpengaruh pada psikologis, karena bahasa adalah salah satu alat yang
mampu digunakan untuk katarsis.