Anda di halaman 1dari 14

UJI KOMPETENSI IV

ANALISI PUISI
Disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Semiotika
Dosen Pengampu : Drs. A. Indratmo, M. Hum

Disusun oleh :
Siti Nurjanah
C0111033
Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta
2014

Analisis Geguritan
1. Pendahuluan
Karya sastra adalah karya seni yang menggunakan
bahasa sebagai bahan baku (Wellek, 1990: 14). Akan tetapi,
bahasa di dalam karya sastra tidaklah sama dengan bahasa di
dalam karya ilmiah atau pun bahasa di dalam komunikasi
masyarakat sehari-hari.
Bahasa ilmiah bersifat denotatif, sedangkan bahasa
sastra sifatnya sangat konotatif. Bahasa sastra sangat penuh
dengan ambiguitas dan homonim, serta memiliki kategorikategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga
penuh dengan asosiasi. Selain itu, bahasa sastra memiliki fungsi
ekspresif, menunjukkan nada dan sikap pembicara atau
penulisnya (Wellek, 1990: 15). Sedangkan perbedaan antara
bahasa sastra dan bahasa sehari-hari adalah, bahwa sastra telah
mengubah dan memadatkan bahasa sehari-hari (Eagleton, 1988:
2).
Pemadatan bahasa itu akan paling tampak pada genre
puisi karena puisi pada hakikatnya adalah hasil aktivitas
memadatkan (Rachmat Djoko Pradopo, 1987: 12). Dengan kata

lain dapat dikatakan, bahwa di dalam puisi kata-kata yang


digunakan sesedikit mungkin, tetapi makna yang diungkapkan
seluas mungkin. Oleh karena itulah puisi lalu bersifat segestif
dan asosiatif. Tuntutan akan kepadatan bahasa ini menyebabkan
penyair memilih kata-kata secara cermat dalam menyusun
puisinya. Penyair tidak hanya mengejar arti kata saja,
melainkan juga memperhatikan rasa-kata. Di dalam memilih
kata-kata dengan mempertimbangkan rasa-kata itu tercermin
kemampuan atau cara penyair menyampaikan pikirannya.
Selanjutnya, cara menyampaikan atau melahirkan pikiran akan
memberi gaya kepada bahasa. Oleh karena itu gaya bahasa
termasuk anasir yang terpenting dalam bahasa (Slametmuljana,
tt., h. 20), lebih-lebih dalam bahasa puisi.
Seperti telah disebutkan, bahwa karena kepadatannya,
puisi bersifat sugestif dan asosiatif. Sifat asosiatif ini
menunjukkan, bahwa puisi menyatakan sesuatu secara tidak
langsung, yaitu menyatakan sesuatu hal dan berarti hal lain.
Ketaklangsungan ucapan ini menurut Riffaterre (1978: 2)
disebabkan oleh tiga hal, yakni displacing (penggantian arti),
distorting (penyimpangan arti), dan creating of meaning
(penciptaan arti). Penggantian arti terjadi pada metafora dan
metonimi;

penyimpangan

arti

terjadi

pada

ambiguitas,

kontradiksi, dan nonsense; penciptaan arti terjadi pada

pengorganisasian

ruang

teks,

seperti

homologues,

enjambement, dan tipografi.


Ketaklangsungan

ucapan

dalam

puisi

yang

menyebabkan digunakannya gaya bahasa dan sarana retorika,


dengan demikian menuntut pembaca untuk memahami bahasa,
termasuk gaya bahasa dan sarana retorika, yang terdapat di
dalam puisi yang hendak dikaji.
2. Pembacaan Semiotik
Untuk memahami makna puisi tidaklah cukup hanya
dengan memahami bahasanya karena karya sastra merupakan
sistem semiotik yang lebih tinggi dari sistem bahasa. Barthes
(dalam Hawkes, 1978: 131) menyebut karya sastra sebagai
second-order semiotic system yang ditumpangkan pada
primary semiotic system yang berupa bahasa. Menurutnya,
satuan tanda dan makna dalam sistem semiotik tingkat pertama
hanya menjadi tanda dalam sistem semiotik tingkat kedua.
Berdasarkan kenyataan itu, maka pemahaman makna karya
sastra harus melalui pembacaan semiotik, yakni berupa
pembacaan

heuristik

dan

pembacaan

retroaktif

atau

hermeneutik (Riffaterre, 1978: 5-6). Pembacaan heuristik


adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama,
yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa. Pembacaan

hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan memberikan


tafsiran. Bacaan ini berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat
kedua, yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi
sastra. Dengan pembacaan hermeneutik bukan hanya dipahami
arti

kebahasaannya,

tetapi

juga

makna

(significance)

kesastraannya.
3. Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan ini karya sastra dibaca secara linier,
sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik
tingkat pertama. Puisi Ngembol Tangis menggunakan katakata yang jelas artinya dan susunan kalimat yang cair sehingga
tak ada kesulitan untuk memahami artinya. Meskipun demikian
bilamana perlu kalimatnya diberi sisipan kata dan kata-kata
dikembalikan kepada bentuk morfologinya yang normatif agar
menjadi lebih jelas.

Geguritan 1
Nggembol Tangis
Dakgembol tangisku

tangis amarga ngenam dedosa


dadi klasa gumelar papanku turu
ndilati legine impen saben wengi
nyingkur wektu sowan marang ngarsaNe
kanthi dakgembol tangisku
muga-muga mung dheweke kang ngerti
yen sejatine atiku tansah pengin
cecaketan ngirup arum gandane
mbiyak mega mendhung medhut
jroning pulung ati
kanthi dakgembol tangisku
muga ora ana kang ngerti
yen maneka kanisthan wus daklarung
menyang lerap-leraping banyu kali
sujud iklasku
nrima lelakon apa wae
sauger astaNe tansah nanting
jangkah sikilku
sanajan kanthi nggembol tangis
Pengarang

: Fadjar A. Hidayat

Dikutip dari

: Panjebar Semangat 52/ 2003

Puisi diatas termasuk kedalam puisi Metafisika. Puisi


Metafisika adalah puisi perenungan akan kehidupan dan
Ketuhanan.

Puisi

ini

menggambarkan

seseorang

yang

berkonflik batin dengan dirinya sendiri, dia mempunyai banyak


dosa yang harus ditanggungnya. Padahal dia ingin merasakan
kehidupan yang lebih baik lagi, namun dia menyadari dengan
dosa yang ia perbuat dia hanya bisa pasrah dengan Tuhan. Dia
mencoba menghilangkan semua dosa-dosanya dan berharap
orang lain tidak tahu mengetahuinya .

Dia pasrah dengan

kehidupan yang akan diberikan oleh Tuhan untuknya. Disini


terlihat bagaimana puisi ini bercerita tentang kehidupannya dan
penyesalan terhadap Tuhan. Seperti bait nyingkur wektu
sowan marang ngarsaNe, dan sauger astaNe tansah nanting,
Ne disini menunjuk pada Tuhan. Penyair menggambarkan
bahwa puisi ini sebagai perenungan kita terhadap Tuhan. Disini
terdapat pula penggunaan gaya bahasa atau sering disebut
dengan

majas.

Majas

yang

digunakan

adalah

majas

Personofikasi, yaitu benda mati seolah-olah hidup. Contoh


majas Personifikasi Dakgembol tangisku artinya adalah
mengantongi tangis, padahal tangis tidak bisa dikantongi.
Disini

Dakgembol

tangisku

berarti

menyembunyikan

kesedihan. Contoh majas yang lain adalah majas Metafora yaitu


ndilati legine impen saben wengi, ndilati legine impen wengi

apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah menjilati


manisnya mimpi dimalam hari. Padahal yang dimaksud adalah
berangan-angan.
Secara keseluruhan Ngembol Tangis dapat disebut
sebagai

puisi

naratif

atau

balada,

yakni

puisi

yang

mengungkapkan cerita. Secara utuh pembacaan heuristik puisi


Nggembol Tangis adalah sebagai berikut.
Seseorang memendam sesuatu dan juga menahan
tangisnya (dakgembol tangisku). Tangisan tersebut karena suatu
dosa baginya ( tangis amarga ngenam dedosa). Dosa tersebut
selalu menjadi beben hidupnya disaat dia bangun tidur, seperti
dosa tersebut berada dibawah tempat tidurnya atau kasurnya
(dadi klasa gumelar papanku turu). Hanya menikmati idahnya
mimpi (ndilati legine impen saben wengi). Berlari dari waktu
untuk mempertanggungjawabkan kepada Tuhan (nyingkur
wektu

sowan

marang

ngarsaNe).

Sampai

bisa

menyembunyikan tangis dan sedihku (kanthi dakgembol


tangisku). Berharap hanya kamu yang tahu tentang dosa
besarku (muga-muga mung dheweke kang ngerti). Jika
sesungguhnya hatiku hanya ingin (yen sejatine atiku tansah
pengin). Berdekatan menghirup harum wanginya dirimu
(cecaketan ngirup arum gandane). Membuka kesalahan yang
dahulu (mbiyak mega mendhung medhut). Didalam hati

(jroning pulung ati). Sampai aku menyembunyikan tangisku


(kanthi dakgembol tangisku). Semoga tidak ada yang tahu
(muga ora ana kang ngerti). Jika keburukan bisa aku
sembunyikan atau bahkan aku buang (yen maneka kanisthan
wus daklarung). Pergi jauh kedasar sungai (menyang lerapleraping banyu kali). Sujud iklasku (sujud iklasku). Dan
akhirnya aku menerima semuanya dengan iklas. Meski selalu
berlinangkan air mata (gembol tangis).
4. Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
Setelah mengetahui arti kebahasaan melalui pembacaan
heuristik, maka langkah berikutnya untuk menangkap makna
puisi Nggembol Tangis tersebut adalah dengan pembacaan
retroaktif dan diberi tafsiran (secara hermeneutik) sesuai
dengan konvensi sastra sebagai sistem semiotik tingkat kedua.
Secara lengkap pembacaan retroaktif atau hermeneutik
atas puisi Nggembol Tangis adalah sebagai berikut.
Judul Nggembol Tangis adalah tanda yang mengacu
pada aktivitas seseorang yang sedang menangis. Jika kita
perhatikan seseorang yang sedang menangis, tampaklah bahwa
sambil menagis seseorang akan merasa sedih dan merasa
hancur hatinya. Selalu teringat akan dosanya yang telah dia
lakukan.

Adapun keseluruhan isi puisi Nyanyian Angsa


tersebut adalah sebagai berikut.
Seseorang bersedih hingga ia menangis karena teringat
karena dosa yang telah dia lakukan. Setiap malam ia
menengisinya kesalahan tersebut, didalam kamar ia merasakan
bahwa semua beban dan dosa-dosanya tersebut terkumpul
menjadi satu hingga selalu membayangi dirinya. Dia hanya
ingin seseorang, seseorang yang memahaminya, tempat untuk
bertumpu. Namun, apa daya semuanya hanya sebuah anganangan belaka. Hingga ia merelakannya dan menerima keadaan
semuanya dengan penuh keiklasan meski dengan berlinang air
mata.
Geguritan 2
Pak, endi balku?
embuh ngapa
embuh apa
embuh...
bal bunderku nggembos
iki dudu papan politik pak
kuwi dudu papan saingan mas

simbah
iki piye mbah..?
endi.. endi kawruhmu mbiyen?
tulungi aku...
tumindhake nyasar kabeh, ora dadi tuladha
mumet ora karuwan
kisruh dadi apalan
padu dadi kulinan
tanpa nemu dalan,
endi... endi balku?
jeleh aku krungu
rumangsamu kuwi nggone sapa?
rumangsamu kuwi ki apa?
dudu dolanan
iki Indonesia mas, iki Indonesia pak
Indonesia kuwi siji
kawicaksanan mung kang diarep-arep,
balekno bal ku ...
Pengarang

: Rahmad Fauzi

Dikutip dari

: Panjebar Semangat No.3 21 Januari

2012

Puisi diatas termasuk kedalam puisi deskriptif. Didalam


puisi deskriptif penyair adalah pihak pemberi kesan. Penyair
melihat suatu keadaan yang menarik. Seperti; kritik sosial
( membeberkan ketidaksesuaian penyair terhadap keadaan atau
seseorang ), safire (kurang puas, menyindir menyatakan
sebaliknya).

Puisi ini merupakan kritik sosial kepada

kehidupan Indonesia. Penyair bercerita tentang kehidupan di


Indonesia, dimana di Indonesia sangat banyak mempunyai
budaya atau tata cara hidup yang khas. Indonesia yang ramah,
yang penuh dengan norma-norma kehidupan, negara yang
beragama, negara yang aturan-aturan atau hukum yang berlaku.
Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika yaitu meski berbeda-beda
Indonesia itu satu, satu kesatuan yang utuh yaitu Indonesia
raya. Namun disini terlihat bahwa itu semua tidak ada lagi
dalam diri orang indonesia. Penyair bertanya dimana orang
Indonesia yang seperti itu. Disini terdapat konflik penyair
mencari jati diri orang Indonesia. Penyair mengkritik
kehidupan orang Indonesia lewat puisinya. Bait bal bunderku
nggembos, iki dudu papan politik pak, apabila diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia bola buletku yang kempes, ini bukan
tempat polotik pak. Penyair mempunyai maksud lain, yaitu bola
disini adalah kebobrokan manusia Indonesia. iki piye mbah..?,
endi.. endi kawruhmu mbiyen?, arti dalam bahasa Indonesia

adalah bagaimana ini nenek? dimana, dimana ajaranmu yang


dahulu?. Penyair bertanya-tanya dimana ajaran yang dahulu
diajarkan oleh nenek moyang kita. Bait terahkir Indonesia
kuwi siji, kawicaksanan mung kang diarep-arep, balekno bal ku
..., dalam bahasa Indonesia berarti Indonesia itu satu,
kesejahteraan yang dinanti-nati, kembalikan bolaku. Bola disini
bukan bola tapi Indonesia yang satu, yang ber Bhineka Tunggal
Ika. Sehingga bisa kita analisi seperti berikut:
Mempertanyakan kebenaran yang ada (embuh). Sesuatu
yang benar itu hilang entah kemana, selalu disembunyikan
(nggembos). Merintih akan hilangnya rasa kemanusiaan orangorang, mereka hanya mementingkan politik di atas segalanya.
Dimana harus mengadu dan meminta pertolongan, dimana
ajaran-ajaran agung yag luhur yang dijunjung sejak dahulu
(simbah).

Kelakuannya

sangat

menyimpang

dengan

berjalannya waktu, tidak ada orang yang peduli terhadap


sesama, semuanya hancur (kisruh). Orang-orang jaman
sekarang selalu menuntut harga diri, menyelesaikan masalah
dengan emosi bukan dengan jalan kekeluargaan. Semua
semakin kasar, bertengkar dan berkelahi merupakan hal yang
biasa. Dimana ajaran-ajaran yang ada, jangan diperlakukan
seperti permainan. Ajaran harus ditaati digunakan, bukan untuk

permainan (dudu dolanan). Kembalikan persatuan dan kesatuan


negara kita Indonesia( balekno).
Setelah mengetahui arti kebahasaan melalui pembacaan
heuristik, maka langkah berikutnya untuk menangkap makna
puisi Pak, endi balku? tersebut adalah dengan pembacaan
retroaktif dan diberi tafsiran (secara hermeneutik) sesuai
dengan konvensi sastra sebagai sistem semiotik tingkat kedua.
Secara lengkap pembacaan retroaktif atau hermeneutik
atas puisi Pak, endi balku? adalah sebagai berikut.
Judul Pak, endi balku? adalah tanda yang mengacu
pada aktivitas permintaan akan sesuatu yang diinginkan. Jika
kita perhatikan seseorang yang menginginkan sesuatu, akan
melakukan sebuah perkataan yang mempengaruhi seseorang
untuk

memberikannya.

Seperti

halnya

gegutitan

ini,

mempertanyakan akan sebuah ideologi bangsa Indonesia.


Banyak ucapan-ucapan tentang permainan politik sehingga rasa
kemanusiaan hilang dengan sendirinya. Politik-politik tersebut
tidak mempunyai rasa kesatuan, hanya perpecahan yang
dihasilkan bahkan ideologi bangsa dipermainkan.

Anda mungkin juga menyukai