Anda di halaman 1dari 8

WUJUD KEBERAGAMAN ETNIK

PADA EKSPRESI KAMPUNG KOTA TUA AMPENAN

Ni Ketut Agusintadewi
Program Studi Arsitektur Universitas Udayana
nkadewi@unud.ac.id

ABSTRACT
Coastal community in the Ampenan Old Town easily adjust themselves, without difficulties, to the new culture that
are brought by the migrants. People from various ethnic backgrounds: Chinese, Arabic, Bugis, and Malays,
interface with local community, or the Sasak. They live around harbour and along beach. As an old port city, the
town has a peculiarity with various forms of mixed-cultures. The diversity gives colour to the architectural
expression in the villages in the town. This paper describes various kinds of village expressions as a form of
ethnic diversity that has principles of dynamic interaction and heterogeneity with cultural similarities with the local.
This paper explores Kampung Tionghoa (Chinese), Kampung Arab, and Kampung Melayu Bangsal as the
majority ethnic groups in the town mixed with the Dutch colonial culture as a ruler in the past. Lastly, what is
expressed in the Ampenan Old Town shows that culture of the coastal community is a multi-ethnic culture that
articulates regarding to architectural order.
Keywords: architectural expressions, multi-ethnic culture, old town, the urban villages

ABSTRAK
Sebagaimana masyarakat kota pesisir, masyarakat Kawasan Kota Tua Ampenan sangat terbuka terhadap
terbentuknya budaya baru yang dibawa oleh para pendatang. Masyarakat dari beragam etnik: Cina, Arab, Bugis,
dan Melayu, berbaur dengan masyarakat lokal, yaitu etnis Sasak. Mereka tinggal di perkampungan-
perkampungan di sekitar pelabuhan dan di sepanjang Pantai Ampenan. Sebagai kota pelabuhan lama di ujung
Barat Kota Mataram, Kota Tua Ampenan memiliki kekhasan dengan beragam wujud percampuran budaya
masyarakat pesisir sebagai pendatang. Keberagaman etnik tersebut memberikan warna terhadap ekspresi
arsitektur di perkampungan di kawasan Kota Tua Ampenan. Tulisan ini memaparkan berbagai ragam eskpresi
kampung di kota tersebut sebagai wujud dari keberagaman etnik yang memiliki prinsip interaksi dinamis dan
heterogenitas dengan adanya kemiripan kultural dengan masyarakat setempat. Tulisan ini mengeksplorasi
Kampung Tionghoa (Cina), Kampung Arab, dan Kampung Melayu Bangsal sebagai etnik mayoritas di Kota Tua
Ampenan yang bercampur dengan budaya kolonial Hindia Belanda sebagai penguasa pada masa lalu. Pada
akhirnya, apa yang terekspresi pada kampung Kota Tua Ampenan menunjukkan bahwa budaya masyarakat kota
pesisir merupakan perpaduan antara multi etnik dengan budaya penguasa yang membentuk arsitektur
perkampungannya.
Kata Kunci: ekspresi arsitektur; kampung kota, keberagaman etnik; kota tua

KOTA TUA AMPENAN: dari Kota Pelabuhan ke Kota Pusaka

Adanya keberagaman arsitektur di Nusantara menunjukkan bahwa telah lama terjadi percampuran
budaya (akulturasi) antara budaya setempat dengan budaya luar. Hal ini dapat ditelusuri dari catatan
maupun peninggalan-peninggalan bersejarah yang menyimpan cerita tentang percampuran budaya
tersebut. Proses akulturasi budaya ini selalu diawali dengan masuknya para pendatang yang
membawa budaya berbeda melalui pelabuhan-pelabuhan yang menyebar di sepanjang pesisir
wilayah Nusantara, kemudian pendatang tersebut beradaptasi dengan budaya setempat dari waktu ke
waktu.

Sebagaimana umumnya kota-kota pesisir di Nusantara, Kota Ampenan awalnya dibangun oleh
Belanda pada tahun 1924 sebagai kota pelabuhan yang memiliki kawasan perdagangan tersendiri
untuk mengimbangi kekuatan kerajaan-kerajaan di Bali. Kata ampenan berasal dari kata amben,
dalam Bahasa Sasak artinya persinggahan. Dengan demikian, nama ini sangat tepat untuk Kota
Ampenan sebagai kota pelabuhan yang menjadi persinggahan berbagai suku bangsa pada masa itu.

Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan 149
Sebagai kota pelabuhan, Kota Ampenan mengundang banyak pendatang dari segala suku bangsa
yang akhirnya menetap menjadi perkampungan di sekitar pelabuhan, seperti Kampung Melayu,
Kampung Tionghoa (Cina), Kampung Arab, Kampung Bali, Kampung Jawa, Kampung Banjar, hingga
Kampung Bugis. Pada masa tersebut, percampuran unsur-unsur budaya yang dibawa oleh pendatang
dengan dengan budaya setempat mulai terjadi, sehingga membentuk cikal bakal budaya pesisir di
Kota Ampenan. Percampuran budaya tersebut terjadi melalui kegiatan berdagang. Percampuran
budaya kolonial Belanda, budaya Tionghoa, budaya Arab, dan budaya Melayu memberikan pengaruh
yang paling dominan pada ekspresi arsitektural Kota Ampenan, terutama pada bentuk bangunan,
ragam arsitektur, pola ruang, dan tatanannya.

Gambar 1. Kota Tua Ampenan dan pelabuhannya (arah jarum jam dari kiri atas)
(1) Salah satu bangunan tua peninggalan kolonial Hindia Belanda yang difungsikan untuk toko
(2) Pintu masuk menuju Pelabuhan Ampenan
(3) Deretan gudang barang ketika Kota Tua Ampenan masih difungsikan sebagai kota pelabuhan
(4) Reruntuhan dermaga Pelabuhan Ampenan
Sumber foto: Agusintadewi, Mei 2019

Pada akhir tahun 1973, aktivitas Pelabuhan Ampenan dipindahkan ke Pelabuhan Lembar karena
Lembar dinilai lebih aman dan lebih memungkinkan pengembangan kawasan di masa depan. Sebagai
kota pelabuhan lama, Kota Ampenan meninggalkan berbagai bangunan kuno berupa kantor dan
gudang peninggalan Belanda. Pemindahan pelabuhan juga mempengaruhi pada kegiatan ekonomi
masyarakatnya yang semakin menurun. Masyarakat pesisir yang tinggal di Kampung Arab dan
Kampung Tionghoa lebih banyak berprofesi sebagai pedagang, sedangkan masyarakat pesisir yang
berasal dari Suku Melayu menjadi nelayan.

Sampai saat ini, beberapa bangunan lama di Kota Tua Ampenan difungsikan sebagai pertokoan,
perkantoran, dan rumah tinggal. Karena kekayaan nilai kesejarahannya, pada Juni 2013 Kota Tua
Ampenan resmi menjadi salah satu dari 43 kota dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).
Berbagai bangunan dengan gaya art deco peninggalan Belanda meninggalkan cerita kejayaan kota ini
di masa lalu. Kehidupan multi etnik menjadi salah satu ciri khas kota tua ini.

Tulisan ini memaparkan berbagai ragam eskpresi kampung di kota tersebut sebagai wujud dari
keberagaman etnik yang memiliki prinsip interaksi dinamis dan heterogenitas, namun secara
arsitektural memiliki kemiripan karena adanya pengaruh kolonial Hindia Belanda sebagai penguasa
pada masa itu. Tulisan ini mengeksplorasi Kampung Tionghoa (Cina), Kampung Arab, dan Kampung
Melayu Bangsal sebagai etnik mayoritas di Kota Tua Ampenan. Ekspresi pada ketiga kampung di

150 Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan
Kota Tua Ampenan ini menunjukkan bahwa budaya masyarakat kota pesisir merupakan wujud dari
perpaduan keberagaman etnik masyarakat dan penguasanya di masa lalu.

BUDAYA PESISIR DAN ARSITEKTUR: Sebuah Perpaduan Interaksi Kultural

Kerterbukaan masyarakat kota pesisir membuka kemungkinan terjadinya budaya baru melalui proses
pencampuran budaya pendatang dengan masyarakat lokal. Budaya pesisir yang terbentuk ini
merupakan wujud dari kehidupan sosial masyarakat pesisir yang membentuk arsitektur kota pesisir
(Fauzy, 2012). Karakteristik spesifik arsitektur kota pesisir dapat dikenali dari berbagai paduan wujud
percampuran budaya pendatang dengan budaya setempat (pesisir).

Pada awalnya terdapat dua pendapat tentang kebudayaan dominan yang mempengaruhi Asia
Tenggara (Sriyanto, 2010). Pertama, Asia Tenggara adalah wilayah yang ter-India-kan atau ter-China-
kan. Kedua, Asia Tenggara berkembang dari perdagangan maritim yang mengikat pulau-pulau dan
daerah di kawasan tersebut (Reid, 1992). Vickers (2009) berpendapat budaya pesisir merupakan
peradaban pluralistis yang dalam proses penyebaran dan interaksinya dapat memasukan unsur dan
orang dari luar. Penganut Islam, Hindu, Budha, hingga penganut Kristen dan animisme juga ikut serta
dalam pertunjukan budaya pesisir tersebut.

Selanjutnya Vickers menegaskan, peradaban pesisir memiliki ragam budaya dengan kedinamisan
interaksi dan heterogenitas kultural tentang hubungan perdagangan, pergaulan sosial, hubungan
politik, termasuk juga interaksi kesusastraan dan kesenian. Kota Tua Ampenan merefleksikan
pandangan Vickers tersebut. Kampung-kampung pesisir di kota tua tersebut merupakan lingkungan
binaan yang terwujud melalui proses percampuran berbagai budaya, atau disebut juga dengan
akulturasi budaya. Budaya pendatang, seperti Cina, Belanda, Arab, dan Melayu, mempengaruhi
terbentuknya arsitektur masyarakat pesisir di Kota Tua Ampenan. Hal ini terlihat dari masuknya nilai-
nilai asing yang terekspresi pada ruang dan perkampungannya. Komunitas Cina, Arab, dan Melayu
menempati koridor-koridor tersendiri di wilayah kota ini. Sebagai pusat kota pelabuhan, kota ini
memiliki corak arsitektural yang sarat dengan ekspresi keragamannya.

Lokasi Kota Tua Ampenan, Kecamatan Ampenan


Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat
Luas wilayah 946 ha
Penduduk 93.651 jiwa
Iklim Tropis
Panjang garis pantai 11 km
Suhu 180C (terendah) 340C (tertinggi)

Jarak Kota Tua Ampenan dengan Kota Mataram 6 km


(ke arah Barat)
Waktu tempuh 20 menit

Batas Wilayah:
Sebelah Barat Selat Lombok
Sebelah Timur Kecamatan Selaparang
Sebelah Utara Kec. Gunung Sari, Lombok Barat
Sebelah Selatan Kecamatan Sekarbela

Gambar 1. Peta wilayah administrasi Kecamatan Ampenan


Sumber: https://kecamatanampenan.blogspot.com/2012/06/profil-kecamatan.html, diakses 24 Mei 2019

KAMPUNG CINA AMPENAN: Inti Kota Tua


Pada awalnya, Kampung Cina (Kawasan Pecinan, atau diberbagai negara disebut China Town) di
Indonesia dikhususkan untuk permukiman masyarakat etnis Tionghoa. Bangsa Tiongkok, asal mula
etnis Tionghoa, dikenal sebagai perantau (umumnya berdagang) untuk mencari penghidupan yang
lebih baik. Sejak akhir kejatuhan dinasti China yang terakhir, Dinasti Qing, tahun 1912, jumlah orang
Tiongkok yang meninggalkan negaranya semakin banyak.
Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan 151
Sekitar abad ke-7, Bangsa Tiongkok datang ke Indonesia dan mulai menetap sekitar abad ke-11.
Sebenarnya, Indonesia bukanlah tujuan utama dari penjelajahan bangsa Tiongkok. Akan tetapi, letak
Indonesia yang strategis dalam jalur perdagangan dunia, menjadikan Indonesia sebagai Negara yang
memiliki posisi penting. Kemudian Abad ke-14, aktivitas perdagangan mendorong warga Tiongkok
untuk menjelajah lebih dalam ke berbagai wilayah baru, hingga akhirnya bermigrasi ke pulau Jawa,
seperti pada Gambar 3. Pada abad-abad selanjutnya, mulai terbentuk kawasan wilayah (basis) yang
penduduknya didominasi oleh etnis Tionghoa. Kawasan ini berada di daerah pantai utara Jawa,
Palembang dan Surabaya. Para perantau ini biasanya datang untuk mencari pelabuhan.

Perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai puncaknya pada pada awal tahun 1900-
an. Bangsa Tiongkok tidak hanya datang untuk berdagang, tetapi juga menetap, memiliki keturunan,
bahkan menikah dengan masyarakat lokal. Perkembangan jumlah masyarakat Tionghoa yang pesat
dan mulai mendominasi perdagangan menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda menertibkan
keberadaan masyarakat ini.

Untuk memudahkan pengaturan dan pengawasan, Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu
mengatur penduduk dengan mengelompokkan berdasarkan ras. Tidak hanya ras Tionghoa, tetapi
juga ras yang lain, seperti ras orang kulit putih dari Eropa dan ras pribumi. Kawasan-kawasan khusus
masyarakat Tionghoa mulai dibangun untuk mengkonsentrasikan masyarakat ini. Peraturan ini
mengharuskan warga Tionghoa (beserta keturunannya) untuk ditempatkan di suatu wilayah yang
sama. Selain itu, kawasan-kawasan Pecinan ini sengaja dikembangkan untuk memperluas jalur
distribusi hasil bumi dan mencegah agar masyarakat Tionghoa tidak berinteraksi dengan masyarakat
pribumi dalam melakukan tindakan makar terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Inilah cikal bakal
berkembangnya Kampung Cina atau Pecinan di berbagai kota di Indonesia.

Gambar 3. Jalur perdagangan historis Tiongkok-Asia Tenggara


Sumber: Blusse (dalam Kustedja, 2012:105)

Sebagaimana kelompok etnis lainnya, masyarakat Tionghoa lebih merasakan keamanan dan
kenyamanan ketika bermukim dengan komunitas yang berlatarbelakangkan budaya dan bahasa yang
sama. Kondisi menimbulkan kesan masyarakat Tionghoa bersifat tertutup, eksklusif, solid, dan
homogen (Kustedja, 2012:110), bahkan terkesan tidak membaur dengan masyarakat lokal. Namun
demikian, kondisi ini sebenarnya juga terjadi pada kelompok-kelompok etnis lainnya, misalnya pada
Kampung India.

Kehadiran Kampung Cina Ampenan juga tidak terlepas dari asal-usul dan perkembangan kampung-
kampung Cina di Jawa. Masyarakat Tionghoa pada awalnya datang ke Kota Ampenan untuk
berdagang, sehingga mereka mencari Pelabuhan Ampenan untuk melakukan aktivitasnya. Lohanda
(2005:58-76) mengemukakan bahwa Provinsi Fujian dan Goangdung merupakan daerah asal
sebagian besar imigran Tionghoa di Indonesia. Imigran Tionghoa ini membawa budaya asalnya,
seperti linguistik (speech-group). Kelompok terbesar yang bermukim di Nusantara adalah Kelompok
Hokkian yang berasal dari daerah perdagangan di Fujian Selatan. Kelompok Hokkian ini juga yang
bermukim di Kampung Cina Ampenan dan mengembangkan usaha perdagangan di kota tua ini.

152 Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan
Pemerintah Hindia Belanda ketika itu melokasikan komunitas ini pada koridor-koridor utama Kota
Ampenan, seperti Jalan Niaga, Jalan Yos Sudarso, Jalan Pabean, dan Jalan Koperasi. Kampung Cina
Ampenan ini berkembang menjadi pusat perdagangan dan perekonomian.

Gambar 4. Kampung Cina Ampenan dengan keragaman ekspresi keruangannya (arah jarum jam dari kiri atas)
(1) Deretan rumah toko bergaya kolonial di koridor Jalan Niaga
(2) Pintu masuk menuju Pelabuhan Ampenan
(3) Koridor Jalan Yos Sudarso berkembang menjadi kawasan perdagangan sejak jaman Kolonial Hindia
Belanda
(4) Simpang Lima Ampenan merupakan titik pusat aktivitas kota
Sumber foto: Agusintadewi, Januari 2019

Gambar 5. Gedung pertemuan etnis Hokkian Ampenan atau Hokkian Kong Hwee (kiri) dan Pemakaman
Bintaro (Kuburan Cina), pemakaman khusus komunitas Cina Ampenan
Sumber foto: Agusintadewi, Mei 2019 (kiri); Malagina, 2014 (kanan)

Deretan bangunan pertokoaan dua lantai di sepanjang koridor jalan utama menjadi ciri-ciri hunian
Kampung Cina Ampenan. Hunian ini berfungsi tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga tempat
berdagang. Bagian belakang atau lantai atas berfungsi untuk tempat tinggal (ruko horisontal atau
vertikal). Komunitas Tionghoa Ampenan ini memiliki Klenteng Po Hwa Kong (Vihara Bodhi Dharma)
yang terletak di Jalan Pabean sebagai tempat beribadah dan beraktivitas sosial dan budaya. Klenteng
ini menjadi identitas kawasan Kampung Cina Ampenan. Tampilan klenteng ini berlanggam arsitektur
yang mirip dengan bangunan di tempat asalnya di Tiongkok, sehingga klenteng ini terlihat sangat
artistik dan berbeda dengan bangunan di sekitarnya.

Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan 153
Pusat aktivitas Kota Tua Ampenan terletak di Kawasan Simpang Lima. Kawasan ini padat oleh
permukiman Tionghoa dan memiliki sejumlah bangunan tua berlanggam art deco dan Melayu. Kota
tua ini juga masih mempertahankan sebuah gedung perkumpulan etnis Hokkian (Fujian) yang cukup
megah di Jalan Koperasi. Gedung ini bernama Hokkian Kong Hwee (Fujian Gonghui). Selain itu, etnis
ini juga memiliki Pemakaman Bintaro (atau Kuburan Cina) seluas 12 hektar di Jalan Saleh Sungkar.
Selain nisan bergaya Tiongkok, kuburan ini juga memiliki sejumlah nisan bergaya Eropa (Malagina,
2014).

Gambar 6. Klenteng Po Hwa Kong (Vihara Bodhi Dharma) sebagai focal point identitas kawasan
Sumber foto: Agusintadewi, Mei 2019

KAMPUNG ARAB DAN KAMPUNG MELAYU BANGSAL: Kehidupan Multi Etnik


Perkembangan Kampung Arab Ampenan juga dipengaruhi oleh penguasa kolonial Hindia Belanda.
Ekspresi Kampung Arab Ampenan sesuai dengan ciri-ciri Kampung Arab pada umumnya yang
dikemukakan oleh Ariestadi (1995). Hunian di kawasan Kampung Arab ini umumnya bangunan lama
berlanggam kolonial. Hunian terdiri atas serambi depan, ruang tamu, ruang tengah atau ruang
keluarga, ruang–ruang tidur dan serambi belakang. Sebagaimana Kampung Cina Ampenan, hunian
Kampung Arab yang berada di sepanjang koridor Jalan Pabean mengikuti style art deco.

Pola lingkungan kawasan Kampung Arab umumnya dibedakan atas: lingkungan hunian yang terletak
di tengah kawasan dengan akses khusus dan lingkungan rumah tinggal di tepi jalan (Risbiyanto, dkk.,
2008). Kondisi lingkungan hunian di Kampung Arab Ampenan membentuk pola jalan lingkungan yang
berakhir pada akses ke lingkungan hunian di tengah kawasan atau membentuk pola cul-de-sac.
Selain sebagai ruang hunian, di tengah kawasan hunian tersebut juga terdapat ruang-ruang produksi
kain sarung dan kopiah sebagai industri rumah tangga.

154 Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan
Gambar 7. Ekspresi arsitektural hunian Kampung Arab Ampenan (arah jarum jam dari kiri atas)
(1)(2)(3) Deretan rumah toko bergaya kolonial di sepanjang koridor Jalan Pabean dan Jalan Yos Sudarso
(4) Jalan lingkungan di tengah kawasan permukiman
Sumber foto: Agusintadewi, Mei 2019

Sementara itu, Kampung Melayu Bangsal terdapat di sepanjang tepi Pantai Ampenan, di sekitar Depo
Pertamina. Sebagian besar perkampungan ini berbaur dengan perkampungan masyarakat lokal
(Kampung Sasak). Sejumlah kelompok pada komunitas Kampung Melayu Bangsal ini hidup
berdampingan secara damai telah mengalami akulturasi dan asimilasi. Masyarakat kampung Melayu
mengalami suatu proses sosial yang ditandai dengan semakin berkurangnya perbedaan individu dan
antar kelompok serta semakin eratnya kebersamaan.

Gambar 8. Jalan masuk ke salah satu koridor permukiman Kampung Melayu Bangsal (kiri)
dan deretan rumah pada perkampungan nelayan Suku Sasak (kanan)
Sumber foto: Agusintadewi, Mei 2019

Kehadiran Belanda sebagai penguasa di Kota Ampenan mempengaruhi gaya hidup serta bentuk
bangunan hunian. Pengaruh gaya Indis pada artefak arsitektur rumah hunian di Kampung Melayu
Bangsal tercermin dari kelengkapan perabot yang digunakan penghuninya, seperti meja, kursi, lemari.
Hal ini relevan dengan Madiasworo (2009) yang menyatakan bahwa penggunaan perabot pada
hunian baru dikenal setelah bangsa Eropa datang ke Nusantara. Pada hunian Kampung Melayu yang
membaur dengan Kampung Arab Ampenan, bentuk rumah tidak jauh berbeda mengikuti gaya
arsitektur kolonial. Konstruksi atap menggunakan atap dengan konstruksi mansard dengan bahan

Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan 155
penutup menggunakan genteng atau seng. Bentuk atap mansard ini merupakan pengaruh dari
arsitektur kolonial. Bentuk ini mulai digunakan pada abad ke 17 dan ke 18 ketika bangsa Belanda
mulai mengembangkan kekuasaannya dan mendirikan bangunan bangunan bercirikan arsitektur
Belanda.

SIMPULAN
Posisi Indonesia yang strategis di Kawasan Asia Tenggara sebagai lalu lintas perdagangan dunia di
masa lampau, menghasilkan produk budaya pesisir yang terlahir dari budaya tradisi Indonesia,
berakulturasi dan berasimilasi dengan tradisi budaya pendatang. Komunitas pendatang umumnya
masih menjaga kultur dan budaya nenek moyang mereka meski telah lama menetap di suatu wilayah.
Bahkan budaya tersebut kerap kali berasimilasi dengan tradisi budaya setempat. Di Indonesia,
akulturasi budaya terjadi antara masyarakat pesisir dengan etnis dari Tionghoa, Arab, Melayu,
Belanda, dan India. Ini sesuai dengan pendapat Vickers (2009), ciri budaya pesisir adalah kehidupan
pluralistik, heterogenitas, percampuran budaya antara pendatang dan masyarakat lokal (pesisir).

Sebagai kota pelabuhan peninggalan kolonial Hindia Belanda, Kota Tua Ampenan menjadi refleksi
dari pendapat Vickers. Keberagaman etnik, percampuran antara budaya Tionghoa, Arab, dan Melayu
sebagai masyarakat yang berakulturasi dan menetap di Kota Pelabuhan Ampenan. Ekspresi
perkampungan komunitas etnis ini menunjukkan bahwa budaya masyarakat kota pesisir merupakan
wujud dari perpaduan keberagaman etnik masyarakat dan penguasanya di masa lalu. Berbagai
ekspresi arsitektural pada kampungnya menjadi nilai sejarah tak ternilai yang perlu dikonservasi
sebagai tinggalan kota masa lalu yang dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata kota tua di
Kota Mataram.

REFERENSI

Ariestadi, D. (1995). Kajian Pola Spasial dan Arsitektural Kampung Arab Gresik, Thesis Pasca
Sarjana Arsitektur Universitas Gajah Mada.
Fauzy, B., Antariksa, Salura, P. (2012). Memahami Relasi Konsep Fungsi, Bentuk dan Makna
Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Kota Pesisir Utara di Kawasan Jawa Timur, Kasus Studi:
Rumah Tinggal di Pecinan Kampung Karangturi dan Kampung Jawa Sumber Girang, Lasem.
Prosiding Seminar Nasional Towards Emphatic Architecture-Menuju Arsitektur yang Berempati,
Universitas Kristen Petra Surabaya, 4-5 Mei 2012.
Kustedja, S. (2012). Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung. Jurnal
Sosioteknologi, 26(11), Agustus 2012, 105-128.
Lohanda, M. (2005). The passen-en wijkenstelsel. Dutch practice of restriction policy on the Chinese.
Jurnal Sejarah. Juni 2005, 58-76.
Madiasworo, T. (2009). Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kampung Melayu Semarang dalam
Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Local Wisdom, Nopember 2009, 1(1), 10-18.
Malagina, A. (2014). Pecinan Lawas Ampenan Nan Eksotis.
https://travel.kompas.com/read/2014/07/18/142347627/, diakses 24 Mei 2019.
Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1, Tanah di bawah Angin.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Risbiyanto, E., Antariksa, Hariyani, S. (2008). Pelestarian Kampung Arab Malik Ibrahim di Kota Gresik.
Arsitektur e-Journal, 1(1), Maret 2008, 24-38.
Sriyanto, N. (2010). Tinjauan Buku: Cerita Panji dan Peradaban Pesisir yang Pluralistik. Jurnal
Masyarakat dan Budaya, 12(1), 173-179
Vickers, A. (2009). Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka
Larasan, Udayana University Press.

156 Ni Ketut Agusintadewi-Wujud Keberagaman Etnik pada Ekpresi Kampung Kota Tua Ampenan

Anda mungkin juga menyukai