4 (2019): 818-833
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Marten Bunga *
Abstract
This study aims to analyze the model formation of regional regulations in the
implementation of regional autonomy. This research method used is included in the
type of normative legal research that uses secondary data obtained from library
materials in the form of primary legal material. The results of the study indicate that
regional regulations in the implementation of regional autonomy are a policy
instrument in the implementation of the regional government. Establishment of
regional regulations that are in accordance with the interests of the community must
implement the principles of regional autonomy and the content of regional regulations
must not conflict with higher laws and regulations. The ideal model of regional
regulation in the implementation of regional autonomy is the principle of openness
and community participation and the harmonization of laws and regulations that
regulate it so that the regulations do not overlap.
Keywords: Model, Regulations, Regional Autonomy.
Abstrak
I. PENDAHULUAN
1
Syarif Hidayat, “Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society
Relation”, Jurnal Poelitik, Vol.1, No. 1, 2008, hal. 6.
2
Wasisto Raharjo Jati, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema
Sentralisasi Atau Desentralisasi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 4, Desember 2012.hal. 748
3
Septi Nur Wijayanti, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014”, Jurnal Media Hukum, Vol. 23, No. 2,
2016, hal. 195.
4
Budiyono, Muhtadi & Ade Arif Firmansyah, “Dekonstruksi Urusan Pemerintahan Konkuren
Dalam Undangundang Pemerintahan Daerah”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 17, No.3, Desember
2016, hal. 425
5
Faisal Akbar Nasution, “Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah Pasca Reformasi”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol.18, No.2, Juli 2011, hal. 384.
820 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
6
Kardin M. Simanjuntak, “Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan Di Indonesia”,
Jurnal Bina Praja, Vol.7, No.2, Juni 2015, hal. 114
7
Ainur Rofieq, “Pilihan Politik Pemilih Pemula Pada Pemilu Legislatif 2014 (Survey Pada
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam “45” Bekasi Angkatan
2013/2014)”, Kybernan (Jurnal Ilmu Pemerintahan), Vol.7, No.1, 2016, hal. 4.
8
Abdul Halim & Syukriy Abdullah, “Hubungan Dan Masalah Keagenan Di Pemerintah Daerah:
Sebuah Peluang Penelitian Anggaran Dan Akuntansi”, Jurnal Akuntansi Pemerintahan, Vol.2, No.1,
2006, hal. 1
9
Agussalim Andi Gadjong, “Analisis Filosofis Pemerintahan Daerah Dalam Pergantian
(Perubahan) Kaidah Hukum Dasar Negara”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol.41, No.1, Januari-
Maret 2011, hal. 152
10
Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung
Otonomi Daerah”, DIH Jurnal Ilmu Hukum, Vol.10, No.9, Pebruari 2014, hal. 21.
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 821
II. PEMBAHASAN
11
Jazim Hamidi, “Paradigma Baru Pembentukan dan Analisis Peraturan Daerah1 (Studi Atas
Perda Pelayanan Publik dan Perda Keterbukaan Informasi Publik)”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol.8,
No.3, Juli 2011, hal. 359
12
Shinta Tomuka, “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Pelayanan Publik Di
Kecamatan Girian Kota Bitung (Studi Tentang Pelayanan Akte Jual Beli)”, Jurnal Eksekutif, Vol.2,
No.1, 2013, hal. 11
13
Juanda Nawawi, “Membangun Kepercayaan Dalam Mewujudkan Good Governance”, Jurnal
Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol.1, No.3, Juni 2012, hal. 20
14
Ismet Sulila, Implementasi Dimensi Pelayanan Publik Dalam Konteks Otonomi Daerah,
(Yogyakarta, Deepublish, 2012), hal. 90
822 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
15
Putra Astomo. “Penerapan Prinsip-Prinsip Pemerintahan Yang Baik Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol.16, No.3, Desember 2014, hal. 407
16
Tedi Sudrajat, “Perwujudan Good Governance Melalui Format Reformasi Birokrasi Publik
Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.9, No.2, Mei 2009,
hal.120
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 823
kebijakan tidak hanya pada tataran implementasi, seperti yang selama ini terjadi, tetapi
mulai dari formulasi, evaluasi, sampai pada implementasi.
Unsur kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses-proses
pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan
interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Sektor pemerintah diharapkan tidak
terlampau banyak terjun secara langsung pada sektor ekonomi, karena akan dapat
menimbulkan distorsi mekanisme pasar. Unsur ketiga, yaitu tata pemerintahan bidang
administratif adalah berisi implementasi proses kebijakan yang telah diputuskan oleh
institusi politik.
Menurut A. Muin Fahmal, bahwa ada tiga unsur utama keterbukaan pemerintah,
termasuk pemerintah Daerah yang memungkinkan peran serta masyarakat, yaitu:
a. Mengetahui proses pengambilan keputusan atau perencanaan.
b. Memikirkan bersama pemerintah dan bersifat terbuka mengenai keputusan atau
perencanan yang dilakukan pemerintah.
c. Memutuskan bersama pemerintah.
Selanjutnya keterbukaan pemerintah meliputi keterbukaan rapat, informasi,
register, dan peran serta, antara lain:
a. Rapat-rapat yang terbuka, rapat-rapat badan perwakilan rakyat pada dasarnya
bersifat terbuka kecuali hal-hal khusus rapat dinyatakan tertutup.
b. Informasi yang terbuka, keterbukaan informasi berisi keterbukaan dokumen,
prosedur yang terbuka, baik prosedur mengambil keputusan maupun prosedur
menyusun rencana harus bersifat terbuka.
c. Keterbukaan registrasi. Registrasi merupakan kegiatan pemerintah. Registrasi
berisi fakta hukum, seperti catatan sipil, buku tanah dan lain-lain. Registrasi
seperti itu memiliki sifat terbuka, artinya siapa saja berhak mengetahui fakta
hukum dalam registrasi tersebut. Keterbukaan registrasi merupakan bentuk
informasi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup,
asas keterbukaan prosedur hendaknya menjadi prinsip dalam perizinan.
d. Peran serta. Dengan adanya keterbukaan masyarakat dapat berperanserta dalam
pelaksanaan pemerintahan. Peran serta merupakan suatu pengertian yang
seringkali dipertukarkan dengan istilah partisipasi. Dengan demikian yang
termasuk unsur-unsur peran serta, adalah sebagai berikut:
1. Tersedianya suatu kesempatan bagi masyarakat untuk mengemukakan
pendapat dan pemikirannya terhadap pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah;
2. Dengan demikian adanya kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan
diskusi dengan pemerintah dan perencanaan;
3. Dalam batas-batas yang wajar diharapkan, bahwa hasil diskusi tersebut dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan. Peranserta merupakan hal untuk ikut
memutus. Dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi masyarakat, peranserta
merupakan bentuk perlindungan hukum.
Keterbukaan lebih jelas dari sekedar transparan, karena keterbukaan secara
harfiah mengandung makna tanpa bungkus, wujudkan maka orang tahu dan
mengetahui, sehingga mengambil bagian (peran) yang menjadi konsep dasar
pemerintahan yang baik, karena demokrasi adalah peranserta dan peranserta adalah
pemerintahan yang baik. Peranserta cikal bakalnya adalah transparan yang berarti
terbuka kesempatan, mengetahui dan sekedar tembus pandang.
Keputusan administrasi sebagai salah satu wujud fungsi pemerintahan harus ikut
mendorong untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), yaitu
pemerintahan yang bersih (clean), pemerintahan yang terbuka (transparant),
terkontrol (controllable), pemerintahan yang bertanggung jawab (responsibility and
accountability), pemerintahan yang demikian hanya mungkin dalam sistem
824 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
dapat diperoleh, yaitu akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut
pandang politis semata. Hal itu, merupakan antitesa sistem akuntabilitas dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yaitu penilian terhadap laporan pertanggung
jawaban kepala daerah oleh DPRD sering tidak berdasar pada indikator-indikator yang
tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,
laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyai dampak
politis ditolak atau diterima. Dengan demikian, stabilitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
17
Tomy M Saragih, “Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan”, Jurnal Sasi, Vol.17, No.3, Juli-September 2011, hal.11
18
Armen Yasir & Zulkarnain Ridlwan, “Perumusan Kebijakan dan Peraturan Daerah Dengan
Mekanisme Konsultasi Publik”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol.6, No.2, Mei-Agustus 2012, hal.1
19
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi & Anak Agung Sri Utari, “Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Kertha Patrika, Vol.33, No.1, Januari 2008, hal.1.
826 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
20
Sad Dian Utomo, “Penanganan Pengaduan Masyarakat Mengenai Pelayanan Publik, Bisnis &
Birokrasi”, Jurnal Ilmu Administrasi Dan Organisasi, Vol.15, No.3, 2008, hal. 163
21
Sunarno Danusastro, “Penyusunan Program Legislasi Daerah yang Partisipatif”, Jurnal
Konstitusi, Vol.9, No.4, Desember 2012, hal. 648.
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 827
22
Yusnani Hasjimzum, “Model Demokrasi Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik
(Studi Otonomi Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Reformasi”, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol.14, No.3, September 2014, hal. 447.
828 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
Selama ini, ternyata tidak ada pendelegasian kewenangan pembatalan Perda kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah pusat di daerah. Pada hal, jika Gubernur diberikan
kewenangan untuk memangkas Perda yang bermasalah, maka setidaknya dapat
memperpendek rentang kendali (span of control) terutama mekanisme birokrasi dalam
penyelesaian konflik Perda yang timbul. Ketidak patuhan pemerintah daerah dalam
menyampaikan setiap Perda maupun menyetor beberapa Ranperda yang masuk
kategori khusus kepada pemerintah pusat, akan makin menyulitkan proses pengawasan
represif dan preventif. Terlebih selama ini, tidak ada sanksi yang jelas dan tegas bagi
pemerintah daerah tersebut.27
Ambivalensi pengaturan mekanisme executive review menunjukkan, bahwa para
pengambil kebijakan di tingkat pusat terutama dilini eksekutif terkesan labil, dan
bertindak sporadis dalam mengimplementasikan instruksi UU Nomor 32 Tahun 2004.
Pada prinsipnya aspek hukum pengujian peraturan daerah menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 beserta peraturan derivasinya, dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri
Dalam Negeri dengan memperhatikan pertimbangan dari menteri lain di bidang
sektoral terkait, dan Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan
prosedur masing-masing.
Tindak lanjut dari proses klarifikasi terhadap setiap peraturan daerah dan proses
evaluasi terbatas atas rancangan peraturan daerah (Ranperda) khususnya Perda tentang
APBD, perubahan APBD, Pajak daerah, Retribusi daerah dan tata ruang wilayah
daerah, guna memastikan apakah Perda tersebut bertentangan atau tidak dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan
terhadap Perda dengan alasan kontras dengan kepentingan umum dan atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, menggunakan tiga instrumen hukum, yakni
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Gubernur sesuai
dengan tingkatan masing-masing yang walaupun secara de facto pembatalan Perda
selama ini, menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri.28
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tidak mengatur aspek
hukum pengujian atas Perda oleh Mahkamah Agung, melalui mekanisme Judicial
review, seperti yang ditafsirkan selama ini. Upaya hukum keberatan yang bisa
dilanjutkan oleh pemerintah daerah kepada Mahkamah Agung terkait pembatalan
sebuah Perda bukanlah upaya pengujian terhadap peraturan daerah (Perda), akan tetapi
bentuk pengujian atas instrumen hukum berupa Peraturan Presiden, Peraturan Menteri
dan peraturan Gubernur.
Kewenangan pengujian legalitas beserta prosedur judical review atas Perda
diatur secara detail dalam Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009 Junto Pasal 31 UU No. 5
Tahun 2004 jo Pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009 dan Perma Nomor 1 Tahun 2011.
Pengujian Perda oleh pemerintah masih menyisahkan sejumlah problematika hukum.
Terjadinya inkonsistensi dan disparitas penggunaan instrumen hukum pembatalan
Perda. Secara de jure pembatalan sebuah Perda mastinya menggunakan Perpres,
Permendagri, dan peraturan Gubernur sesuai dengan tingkatan masing-masing, jika
mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 junto PP No. 79 Tahun 2005 dan
Permendagri No. 53 Tahun 2011. Secara de facto, pembatalan perda selama ini, justru
menggunakan Kepmendagri yang sama sekali tidak memiliki pijakan hukum yang
masuk dalam rumpun peraturan (regelling) dapat dibatalkan oleh Kepmendagri yang
masuk dalam rumpun keputusan administratif (beschikking).
27
E. Prajwalita Widiati & Haidar Adam, “Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala Daerah”,
Jurnal Yuridika, Vol. 27, No.1, 2012, hal. 78.
28
Novira Maharani Sukma, “Analisis Yuridis Pembatalan Perda Oleh Menteri Dalam Negeri”,
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol.5, No.1, 2017, hal. 11.
830 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
Dalam Perma No.1 Tahun 2011 tidak diatur secara jelas adanya limitasi waktu
yang diperlukan dalam proses penetapan dimulainya waktu sidang, atau penunjukan
majelis hakim agung dan sampai kapan putusan diambil oleh majelis hakim agung
dalam memutus perkara tersebut. Dalam perkara permohonan judicial review atas
Perda tidak dimungkinkan adanya persidangan jarak jauh sebagaiman dikenal dalam
persidangan pengujian di Mahkamh Konstitusi. Pada hal, mekanisme persidangan
jarak jauh setidaknya dapat mempermudah para pihak dan terutama pemerintah daerah
dalam mengajukan perkara pengujian judicial review atas Perda tersebut.
Dalam rangka mensinkronisasi peraturan-peraturan baik di Pusat dan Daerah
dibentuklah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang menjadi dasar utama dalam semua penyusunan produk hukum
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah,29 maka tidak ada lagi aturan hukum mengenai
peraturan daerah yang tidak sinkron, karena sudah jelas diatur dalam kedua undang-
undang tersebut, mudah-mudahan masa yang akan datang tidak lagi ada aturan yang
tidak sinkron.
Kewenangan pembentukan peraturan daerah dipertegas dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu dalam Pasal 236 ayat (2)
yang menegaskan bahwa Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah. Dengan demikian, kewenangan pembentukan peraturan
daerah provinsi berada pada DPRD provinsi dengan persetujuan Gubernur,
kewenangan pembentukan Peraturan Daerah kabupaten bersama pada DPRD
kabupaten dengan persetujuan Bupati, sedangkan kewenangan pembentukan peraturan
daerah kota berada pada DPRD kota dengan persetujuan Walikota.
III. PENUTUP
Pembentukan peraturan daerah yang ideal adalah peraturan daerah yang sesuai
dengan kepentingan masyarakat dan dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
otonomi daerah serta materi muatan peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi. Model peraturan
daerah yang ideal dalam penyelenggaraan otonomi daerah, adalah prinsip keterbukaan
dan partisipasi masyarakat serta adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya agar tidak saling tumpah tindih peraturan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
29
Ronald M. M. Goni, “Kewenangan Gubernur Dalam Pembentukan Peraturan Daerah sebagai
Implementasi Pemberlakuan Otonomi Daerah”, Lex Administratum, Vol.3, No.4, 2015, hal. 20
832 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019