Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No.

4 (2019): 818-833
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

MODEL PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG IDEAL DALAM


PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

Marten Bunga *

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Gorontalo


Korespondensi: marten_bunga@yahoo.co.id
Naskah dikirim: 10 Desember 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 14 Maret 2019

Abstract

This study aims to analyze the model formation of regional regulations in the
implementation of regional autonomy. This research method used is included in the
type of normative legal research that uses secondary data obtained from library
materials in the form of primary legal material. The results of the study indicate that
regional regulations in the implementation of regional autonomy are a policy
instrument in the implementation of the regional government. Establishment of
regional regulations that are in accordance with the interests of the community must
implement the principles of regional autonomy and the content of regional regulations
must not conflict with higher laws and regulations. The ideal model of regional
regulation in the implementation of regional autonomy is the principle of openness
and community participation and the harmonization of laws and regulations that
regulate it so that the regulations do not overlap.
Keywords: Model, Regulations, Regional Autonomy.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis model pembentukan peraturan daerah


dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Metode penelitian ini yang digunakan
termasuk dalam tipe peneltian hukum normatif yang menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari bahan pustaka berupa bahan hukum primer. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peraturan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah
sebagai instrumen kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pembentukan peraturan daerah yang sesuai dengan kepentingan masyarakat harus
melaksanakan prinsip-prinsip otonomi daerah serta materi muatan peraturan daerah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Model peraturan daerah yang ideal dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah
prinsip keterbukaan dan partisipasi masyarakat serta adanya harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya agar tidak saling tumpang tindih peraturan
tersebut.
Kata Kunci: Model, Peraturan Daerah, Otonomi Daerah.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no4.2342
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 819

I. PENDAHULUAN

Penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan prinsip kerakyatan yang


dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kerakyatan,
adalah paham demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Dalam pemerintahan daerah, pemerintah daerah harus diselenggarakan oleh rakyat
daerah setempat berdasarkan aspirasi dan kepentingannya.1 Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan, artinya bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan
demokrasi tersebut, harus berdasarkan kearifan, yaitu segala tindakan yang
menghasilkan kedamaian. Dalam musyawarah, artinya bahwa sistem demokrasi dalam
pemerintahan daerah dapat diselenggarakan dalam permusyawaratan langsung, seperti
di desa yang menyelenggarakan demokrasi langsung maupun dalam sistem perwakilan
dalam satuan pemerintahan yang lebih kompleks, seperti pemerintahan Provinsi,
Kabupaten maupun kota. Pemerintahan daerah yang ideal, adalah bagaimana
membangun sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, agar terjalin
suatu kesatuan dalam bernegara.2
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Clarke dan Stewart membagi tiga
model hubungan pusat dan daerah, yaitu model otonomi relatif, model agen dan model
interaksi. Model relatif merupakan model yang dapat memberikan kebebasan pada
pemerintah daerah, dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas negara dan
bangsa, Penekanannya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada
pemerintah daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah
ditentukan.3
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat meningkatkan dari
penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi relatif, pemerintah
daerah dapat membuat kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Model agensi
merupakan model pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah berfungsi sebagai
agen pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi
yang terperinci dalam peraturan, perkembangan peraturan dan pengawasan. 4 Model
interaksi merupakan model yang sulit untuk menentukan ruang lingkup kegiatan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena mereka terlibat dalam pola hubungan
yang rumit, yang penekanannya pada pengaruh yang menguntungkan saja. Proses
politik pemerintah pusat dan daerah dilakukan melalui mandat ganda, yang sering
dipecahkan dengan diskusi bersama. Petugas pada kedua tingkat terlibat dalam diskusi
bersama tentang projek dan perencanaan. Pada model ini, sulit ditentukan tanggung
jawab masing-masing otoritas, karena penekanannya adalah kerja sama. Keuangan
pemerintah daerah terdiri atas pajak dan dana, Akan tetapi pajak dapat dibagi,
sementara tingkat dana dibatasi.5
Dalam batasan tertentu, model hubungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, akan melahirkan suatu partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan

1
Syarif Hidayat, “Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society
Relation”, Jurnal Poelitik, Vol.1, No. 1, 2008, hal. 6.
2
Wasisto Raharjo Jati, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema
Sentralisasi Atau Desentralisasi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 4, Desember 2012.hal. 748
3
Septi Nur Wijayanti, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014”, Jurnal Media Hukum, Vol. 23, No. 2,
2016, hal. 195.
4
Budiyono, Muhtadi & Ade Arif Firmansyah, “Dekonstruksi Urusan Pemerintahan Konkuren
Dalam Undangundang Pemerintahan Daerah”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 17, No.3, Desember
2016, hal. 425
5
Faisal Akbar Nasution, “Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah Pasca Reformasi”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol.18, No.2, Juli 2011, hal. 384.
820 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

pemerintahan dan masyarakat lebih mempunyai kebebasan untuk menentukan nasib


sendiri, karena ada peluang untuk mempengaruhi kebijakan. Akan tetapi jika terjadi
kolaborasi antara pemerintah pusat dengan daerah, namun cenderung menguntungkan
pemerintah pusat, maka posisi masyarakat tidak sebaik pada model otonomi relatif.6
Model yang sama juga dikemukakan oleh Dennis Kavanagh yang berpendapat
bahwa ada dua model utama dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, dimana sudut tinjauannya dikaitkan dengan kedudukan pemerintah daerah
terhadap pemerintahan pusat. Kedua model tersebut, ialah model pelaksanaan dan
model kemitraan. 7 Pada model pelaksanaan, pemerintah daerah dipandang oleh
pemerintah pusat hanya sebagai pelaksana belaka. Wewenang yang dimiliki oleh
pemerintah daerah sangat terbatas. Seluruh kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah
pusat dibuat tanpa perlu mengikut sertakan pemerintah daerah dalam perumusannya.
Pemerintah daerah berkewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dengan
kekuasaan sangat kecil, dan tanpa hak pusat dapat membebaskan pemerintah daerah,
serta dapat mencabut hak dan wewenangnya.
Pada model kemitraan, pemerintah daerah memiliki suatu tingkat kebebasan
tertentu untuk melakukan pilihan-pilihan tindakan tertentu. Beberapa cirinya antara
lain, pemerintah daerah memiliki kekuasaan politik, keuangan, sumber daya dan juga
memiliki kewenangan secara formal dan keseimbangan kekuasaan antara pusat dan
daerah. 8 Pada model ini, pemerintah daerah tidak lagi dipandang hanya pelaksana
semata, tetapi oleh pemerintah pusat sebagai mitra kerja. Walaupun demikian,
hubungan kemitraan tersebut tidak dengan serta merta memberikan posisi duduk sama
rendah dan berdiri sama tinggi. Dalam paham hubungan kemitraan, pemerintah daerah
tetap berada dalam posisi subordinasi terhadap pemerintah pusat. Pemerintah daerah
diakui sebagai legitimasi politik tersendiri, dan berwenang menguasai sumber daya
yang terpisah serta mempunyai kewenangan tertentu di bidang perundang-undangan.
Kewenangan pemerintahan daerah yang didelegasikan, bisa meliputi
kewenangan zelfwetgeving dan zeljbestuur yang mengakomodir kepentingan rakyat
dalam penyelenggaraan pemerintahan secara demokratis.9
Dalam hal kewenangan perundang-undangan, Pemerintah daerah memiliki
Kewenangan pembentukan Perda merupakan salah satu wujud kemandirian daerah
dalam mengatur urusan rumah tangga daerah atau urusan pemerintahan daerah. Perda
merupakan instrumen yang strategis sebagai sarana mencapai tujuan desentralisasi.
Dalam konteks otonomi daerah, keberadaan Perda pada prinsipnya berperan
mendorong desentralisasi secara maksimal.10 Kewenangan Pemerintah daerah dalam
membentuk Perda merupakan hak, karena instrumen kebijakan hukum pemerintahan
daerah dalam menampung aspirasi masyarakat, mengatasi berbagai masalah yang
timbul baik yang sudah ada, atau kemungkinan akan ada di masa yang akan datang
dalam rangka otonomi daerah. Peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan

6
Kardin M. Simanjuntak, “Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan Di Indonesia”,
Jurnal Bina Praja, Vol.7, No.2, Juni 2015, hal. 114
7
Ainur Rofieq, “Pilihan Politik Pemilih Pemula Pada Pemilu Legislatif 2014 (Survey Pada
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Islam “45” Bekasi Angkatan
2013/2014)”, Kybernan (Jurnal Ilmu Pemerintahan), Vol.7, No.1, 2016, hal. 4.
8
Abdul Halim & Syukriy Abdullah, “Hubungan Dan Masalah Keagenan Di Pemerintah Daerah:
Sebuah Peluang Penelitian Anggaran Dan Akuntansi”, Jurnal Akuntansi Pemerintahan, Vol.2, No.1,
2006, hal. 1
9
Agussalim Andi Gadjong, “Analisis Filosofis Pemerintahan Daerah Dalam Pergantian
(Perubahan) Kaidah Hukum Dasar Negara”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol.41, No.1, Januari-
Maret 2011, hal. 152
10
Muhammad Suharjono, “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam Mendukung
Otonomi Daerah”, DIH Jurnal Ilmu Hukum, Vol.10, No.9, Pebruari 2014, hal. 21.
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 821

perundang-undangan di Indonesia. Hal ini termuat dalam Undang-undang No.10


Tahun 2004, yang kemudian diganti dengan Undang-undang No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang merupakan landasan
yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun
daerah. Undang-undang ini, memuat secara lengkap pengaturan baik menyangkut
sistem, asas, jenis dan materi muatan proses pembentukan yang dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik, penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan.
Berdasarkan uraian tersebut, menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih jauh
tentang Model Pembentukan Peraturan Daerah Yang Ideal Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah.

II. PEMBAHASAN

1. Perinsip Keterbukaan Pembentukan Peraturan Daerah


Asas keterbukaan merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan
yang baik, dan keterbukaan informasi publik menjadi sebuah keniscayaan. 11
Keterbukaan adalah setiap pembentukan peraturan daerah diperlukan adanya
keterbukaan bagi masyarakat, baik itu akademisi maupun praktisi untuk berpartisipasi
dalam proses perencanaan, persiapan dan penyusunan untuk memberikan masukan
atau perimbangan secara lisan atau tertulis sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Proses keterbukaan memberikan kepada masyakat suatu informasi tentang
akan ditetapkannya suatu kebijakan, dan peluang bagi masyarakat untuk memberikan
masukan dan pengawasan terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses
pengambilan keputusan, adalah bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk dapat memberikan masukan, dan pertimbangan kepada pemerintah
secara langsung. Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas antara
pemerintah dan non pemerintah.12
Seiring dengan perubahan paradigma tersebut, muncul gerakan baru yang
dinamakan Gerakan Masyarakat Sipil (civil society movement). Inti gerakan ini, adalah
membuat masyarakat menjadi lebih mampu dan mandiri untuk memenuhi sebagian
besar kepentingannya sendiri. Konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat sipil,
adalah semakin rampingnya bangunan birokrasi, karena sebagian pekerjaan
pemerintah dapat dijalankan sendiri oleh masyarakat, ataupun dilaksanakan melalui
pola kemitraan dalam rangka privatisasi.13 Oleh karena itu, tidak salah apabila Savas
menyatakan bahwa privatisasi merupakan kunci menuju pemerintahan yang lebih baik.
Dengan demikian, ketergantungannya kepada institusi birokrasi pemerintah menjadi
semakin terbatas, dalam arti tercipta ketidak tergantungan relatif (independency
relative) masyarakat terhadap pemerintah.14
Berkaitan dengan hal tersebut, World Bank dan United Nation Development
Program (UNDP) mengembangkan istilah baru, yaitu governance sebagai
pandamping kata Government. Istilah tersebut, kini sangat populer di kalangan

11
Jazim Hamidi, “Paradigma Baru Pembentukan dan Analisis Peraturan Daerah1 (Studi Atas
Perda Pelayanan Publik dan Perda Keterbukaan Informasi Publik)”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol.8,
No.3, Juli 2011, hal. 359
12
Shinta Tomuka, “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Pelayanan Publik Di
Kecamatan Girian Kota Bitung (Studi Tentang Pelayanan Akte Jual Beli)”, Jurnal Eksekutif, Vol.2,
No.1, 2013, hal. 11
13
Juanda Nawawi, “Membangun Kepercayaan Dalam Mewujudkan Good Governance”, Jurnal
Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol.1, No.3, Juni 2012, hal. 20
14
Ismet Sulila, Implementasi Dimensi Pelayanan Publik Dalam Konteks Otonomi Daerah,
(Yogyakarta, Deepublish, 2012), hal. 90
822 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

akademisi ataupun masyarakat luas. Governance diterjemahkan ke dalam bahasa


Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menerjemahkan menjadi tata pemerintahan
dan ada juga yang menerjemahkan Kepemerintahan.15
Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan mengubah secara
mendasar praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Perubahannya mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi struktural, dimensi
fungsional dan dimensi kultural. Perubahan struktural berkaitan dengan struktur
hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, struktur hubungan
antara eksekutif dan legislatif, ataupun struktur hubungan antara pemerintah dengan
masyarakat.
Perubahan fungsional berkaitan dengan perubahan fungsi-fungsi yang dijalankan
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun masyarakat. Adapun perubahan
kultural berkaitan dengan perubahan pada tata nilai, dan budaya yang melandasi
hubungan kerja intra-organisasi, antar organisasi, ataupun ekstra organisasi. Di antara
ketiga dimensi tersebut, yang dianggap paling sulit berubah adalah dimensi kultur,
karena memerlukan waktu dan perjuangan yang terus-menerus. Perubahan kultural
berkaitan erat dengan perubahan tata nilai, pola pikir dan pola tindak yang telah
tertanam sejak awal. Untuk mengendalikan perubahan kultural, diperlukan
kepemimpinan yang kuat dan memiliki visi (visionary leader).
Adanya keterbukaan, maka menurut World Bank bahwa tata pemerintahan dapat
diartikan sebagai “the way state power is used in managing economic anda social
resources for development society”. Pengertian ini menggambarkan, bahwa tata
pemerintahan adalah cara kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumber daya
ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat. Cara ini lebih menunjukkan pada
hal-hal yang bersifat teknis. Sejalan dengan pendapat World Bank tersebut UNDP
mengemukakan definisi bahwa tata pemerintahan sebagai the exercise of political,
economi and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels.16 Kata
tata Pemerintahan berarti penggunaan atau pelaksanaan, yaitu penggunaan
kewenangan politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola masalah-masalah
nasional pada semua tingkatan. Disini titik tekannya pada kewenangan, kekuasaan
yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengertian tata pemerintahan lebih
menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi, untuk
kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan pengertian yang dikemukakan oleh
UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administrasi dalam
pengelolaan negara. Politik tata pemerintahan mengacu pada proses pembuatan
kebijakan (policy/strategy formulation). Economy gevernance mengacu pada proses
pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan,
penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup. Adapun administratif tata
pemerintahan mengacu pada sistem implementasi kebijakan.
Jika demikian halnya, maka tata pemerintahan didukung oleh tiga unsur penting,
yaitu politik, ekonomi dan administrasi. Unsur pertama, adalah tata pemerintahan di
bidang politik dimaksudkan sebagai proses-proses pembuatan keputusan untuk
formulasi kebijakan publik, baik dilakukan oleh birokrasi sendiri maupun oleh
birokrasi bersama-sama politisi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan

15
Putra Astomo. “Penerapan Prinsip-Prinsip Pemerintahan Yang Baik Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol.16, No.3, Desember 2014, hal. 407
16
Tedi Sudrajat, “Perwujudan Good Governance Melalui Format Reformasi Birokrasi Publik
Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.9, No.2, Mei 2009,
hal.120
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 823

kebijakan tidak hanya pada tataran implementasi, seperti yang selama ini terjadi, tetapi
mulai dari formulasi, evaluasi, sampai pada implementasi.
Unsur kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses-proses
pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan
interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Sektor pemerintah diharapkan tidak
terlampau banyak terjun secara langsung pada sektor ekonomi, karena akan dapat
menimbulkan distorsi mekanisme pasar. Unsur ketiga, yaitu tata pemerintahan bidang
administratif adalah berisi implementasi proses kebijakan yang telah diputuskan oleh
institusi politik.
Menurut A. Muin Fahmal, bahwa ada tiga unsur utama keterbukaan pemerintah,
termasuk pemerintah Daerah yang memungkinkan peran serta masyarakat, yaitu:
a. Mengetahui proses pengambilan keputusan atau perencanaan.
b. Memikirkan bersama pemerintah dan bersifat terbuka mengenai keputusan atau
perencanan yang dilakukan pemerintah.
c. Memutuskan bersama pemerintah.
Selanjutnya keterbukaan pemerintah meliputi keterbukaan rapat, informasi,
register, dan peran serta, antara lain:
a. Rapat-rapat yang terbuka, rapat-rapat badan perwakilan rakyat pada dasarnya
bersifat terbuka kecuali hal-hal khusus rapat dinyatakan tertutup.
b. Informasi yang terbuka, keterbukaan informasi berisi keterbukaan dokumen,
prosedur yang terbuka, baik prosedur mengambil keputusan maupun prosedur
menyusun rencana harus bersifat terbuka.
c. Keterbukaan registrasi. Registrasi merupakan kegiatan pemerintah. Registrasi
berisi fakta hukum, seperti catatan sipil, buku tanah dan lain-lain. Registrasi
seperti itu memiliki sifat terbuka, artinya siapa saja berhak mengetahui fakta
hukum dalam registrasi tersebut. Keterbukaan registrasi merupakan bentuk
informasi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup,
asas keterbukaan prosedur hendaknya menjadi prinsip dalam perizinan.
d. Peran serta. Dengan adanya keterbukaan masyarakat dapat berperanserta dalam
pelaksanaan pemerintahan. Peran serta merupakan suatu pengertian yang
seringkali dipertukarkan dengan istilah partisipasi. Dengan demikian yang
termasuk unsur-unsur peran serta, adalah sebagai berikut:
1. Tersedianya suatu kesempatan bagi masyarakat untuk mengemukakan
pendapat dan pemikirannya terhadap pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah;
2. Dengan demikian adanya kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan
diskusi dengan pemerintah dan perencanaan;
3. Dalam batas-batas yang wajar diharapkan, bahwa hasil diskusi tersebut dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan. Peranserta merupakan hal untuk ikut
memutus. Dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi masyarakat, peranserta
merupakan bentuk perlindungan hukum.
Keterbukaan lebih jelas dari sekedar transparan, karena keterbukaan secara
harfiah mengandung makna tanpa bungkus, wujudkan maka orang tahu dan
mengetahui, sehingga mengambil bagian (peran) yang menjadi konsep dasar
pemerintahan yang baik, karena demokrasi adalah peranserta dan peranserta adalah
pemerintahan yang baik. Peranserta cikal bakalnya adalah transparan yang berarti
terbuka kesempatan, mengetahui dan sekedar tembus pandang.
Keputusan administrasi sebagai salah satu wujud fungsi pemerintahan harus ikut
mendorong untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), yaitu
pemerintahan yang bersih (clean), pemerintahan yang terbuka (transparant),
terkontrol (controllable), pemerintahan yang bertanggung jawab (responsibility and
accountability), pemerintahan yang demikian hanya mungkin dalam sistem
824 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

pengelolaan terbuka dan demokratis. Pemerintahan yang baik berorientasi pada


pertama orientasi ideal yang diarahkan kepada pencapaian tujuan; kedua pemerintah
yang berfungsi secara ideal yang secara efektif dan efisien melakukan upaya mencapai
tujuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka pemerintah daerah dituntut untuk menerapkan
prinsi-prinsip pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena
prinsip tersebut telah menjadi paradigma baru dalam penyelenggaraan kepemerintahan
yang digunakan secara universal. Masyarakat di daerah yang telah memahami konsep
Pemerintahan yang baik secara politis, ataupun moral akan mendesak Pemerintah
Daerah untuk menjalankan prinsip tersebut. Pada sisi lain, pemerintah pusat memiliki
kewajiban untuk menyebarluaskan konsep pemerintahan yang baik (good governance)
kepada seluruh jajaran pemerintahan, karena konsep tersebut menjadi salah satu
ukuran keberhasilan birokrasi pemerintahan.
Terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) merupakan
prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam
mencapai tujuan serta cita-cita berbangsa dan bernegara. Untuk itu, diperlukan
pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan
legitimate, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berdaya
guna, berhasil guna, bersih dan tanggung jawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Tuntutan agar penyelenggraan pemerintahan diselenggarakan secara
transparan, dan terbuka mendorong pada pemantapan sikap untuk menerapkan prinsip-
prinsip akuntabilitas terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan.
Berkaitan dengan upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah astu
instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata
pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal itu, dapat
dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi.
Untuk penegakan hukum dalam keterbukaan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi
para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan
penyimpangan. Penyidikan terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak lagi
dapat dihambat oleh alasan belum adanya persetujuan Presiden. Pasal 90 ayat (2)
menyebutkan bahwa apabila persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Presiden dalam
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan,
proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Demikian pula, halnya dengan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menegaskan bahwa upaya
penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilanjutkan apabila dalam waktu 60 (enam
puluh) hari tidak ada persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden bagi anggota DPRD Provinsi dan dari Gubernur atau nama Menteri Dalam
Negeri bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota. Bahkan pada kasus-kasus tertentu proses
hukum dapat dilaksanakan, tanpa menunggu persetujuan dari Presiden, yaitu
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau disangka telah melakukan
tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan
tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Sementara itu, upaya mewujudkan trasparansi dalam penyelenggaraan
pemerintahan diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, yang
menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban kepada
daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat. Dengan sistem akuntabilitas semacam ini, terdapat keuntungan yang
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 825

dapat diperoleh, yaitu akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut
pandang politis semata. Hal itu, merupakan antitesa sistem akuntabilitas dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yaitu penilian terhadap laporan pertanggung
jawaban kepala daerah oleh DPRD sering tidak berdasar pada indikator-indikator yang
tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,
laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyai dampak
politis ditolak atau diterima. Dengan demikian, stabilitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat lebih terjaga.

2. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah


Partisipasi masyarakat (public participation) pada tatanan pemerintahan yang
demokratis menghendaki adanya keterlibatan publik dalam proses pengambilan
keputusan (decision-making process) yang semakin penting di era otonomi daerah.17
Partisipasi dimaksudkan untuk mendorong terciptanya komunikasi publik dalam
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan
pemerintah dan keterbukaan informasi pemerintah yang lebih baik, untuk kemudian
menyediakan gagasan baru dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap
suatu isu. Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya konflik dalam penerapkan
suatu keputusan dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta mendorong publik
untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah. Partisipasi publik tercermin
dalam kesempatan untuk melakukan kajian terhadap rancangan keputusan.
Kesempatan untuk memberikan masukan dan tanggapan terhadap masukan publik dari
pengambil keputusan dalam hal ini pemerintah.
Pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan telah menjadi diskursus
intensif dalam pengelolaan pemerintahan dewasa ini. Pelibatan ini dimaksudkan untuk
membentuk sinergi kemitraan antara pemerintah dan publik dalam penyusunan
kebijakan publik sekaligus menjalankan prinsip demokratisasi dalam proses formulasi
kebijakan publik. Keterlibatan publik tersebut terutama dalam fase perumusan
kebijakan, sebab yang terpenting dalam proses kebijakan publik adalah formulasi
(perumusan) kebijakan. 18 Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan
daerah, merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan
prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, di antaranya keterlibatan masyarakat,
akuntabilitas dan transparansi. 19 Selain itu, dengan adanya partisipasi masyarakat,
maka peraturan daerah yang dihasilkan dapat mencerminkan kenyataan sosial yang
berlaku secara umum dalam masyarakat. Pada dasarnya urgensi partisipasi masyarakat
dalam pembentukan peraturan daerah, adalah:
a. Menjaring pengetahuan, keahlian atau pengalaman masyarakat sehingga peraturan
daerah yang dibuat benar-benar memenuhi syarat peraturan daerah yang baik.
b. Menjamin peraturan daerah sesuai dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat,
menumbuhkan rasa memiliki, rasa bertanggung jawab dan akuntabilitas Peraturan
Daerah.
c. Menumbuhkan adanya kepercayaan penghargaan dan pengakuan masyarakat
terhadap pemerintah yang daerah.

17
Tomy M Saragih, “Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan”, Jurnal Sasi, Vol.17, No.3, Juli-September 2011, hal.11
18
Armen Yasir & Zulkarnain Ridlwan, “Perumusan Kebijakan dan Peraturan Daerah Dengan
Mekanisme Konsultasi Publik”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol.6, No.2, Mei-Agustus 2012, hal.1
19
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi & Anak Agung Sri Utari, “Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Kertha Patrika, Vol.33, No.1, Januari 2008, hal.1.
826 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

Sherry Arnstein mengemukakan pula bahwa partisipasi masyarakat dalam


pembentukan suatu peraturan daerah merupakan suatu kekuatan masyarakat untuk
mempengaruhi hasil akhir kebijakan pemerintah, yaitu manipulasi, terapi,
penginformasian, konsultasi, peredaman, kemitraan, delegasi kekuasaan dan kendali
masyarakat.20 Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan daerah dapat dikategorikan sebagai tidak adanya partisipasi,
yakni tingkat yang disebut manipulasi dan terapi. Selanjutnya yang dikategorikan
sebagai partisipasi semu, yakni tingkat yang disebut peredaman, konsultasi dan
informasi. Pada tingkatan ini, masyarakat didengarkan dan diperkenankan berpendapat,
tetapi tidak memiliki kemampuan dan tidak ada jaminan bahwa pandangan mereka
akan dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh penentu kebijakan. Dengan
demikian, kategori ketiga adalah sebagai kekuasaan masyarakat, yakni tingkat
kemitraan delegasi kekuasaan dan kendali masyarakat. Dalam tingkat ini, masyarakat
memiliki pengaruh dalam proses penentuan kebijakan.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah secara yuridis telah
diatur dalam Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:
a. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
b. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dilakukan melalui rapat dengar pendapat
umum, kunjungan kerja. sosialisasi, seminar, lokakarya dan/atau diskusi.21
Sehubungan dengan itu, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis kepada DPRD dalam rangka penyiapan, atau pembahasan rancangan
peraturan perundang-undangan dan rancangan peraturan daerah. Masukan secara
tertulis disampaikan kepada Pimpinan DPRD dengan menyebutkan identitas yang
jelas, kemudian pimpinan DPRD meneruskan kepada alat kelengkapan DPRD, yang
menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari. Dalam hal memberikan masukan dilakukan secara pertemuan dan jumlah orang
yang diundang dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu, dapat dilakukan
pelaksanaannya dalam bentuk rapat dengar pendapat umum. Pertemuan dengan
pimpinan alat kelengkapan, atau pertemuan dengan pimpinan alat kelengkapan
didampingi oleh beberapa orang anggota yang terlibat dalam penyiapan Rancangan
Peraturan Daerah. Hasil pertemuan menjadi bahan masukan terhadap rancangan
peraturan daerah yang sedang dipersiapkan.
Adapun masukan yang disampaikan dalam bentuk tertulis ditujukan kepada alat
kelengkapan yang bertugas membahas rancangan peraturan daerah dengan tembusan
kepada pimpinan DPRD. Hasil pertemuan dan masukan tertulis menjadi bahan
masukan terhadap rancangan yang sedang dibahas bersama DPRD dengan Gubernur
atau Bupati/Walikota. Untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, kegiatan yang
dilakukan dapat berupa rapat dengan pendapat umum, seminar atau kegiatan sejenis
dan kunjungan. Kegiatan tersebut, dilakukan dengan memperhatikan jadwal kegiatan
DPRD dan anggaran yang disediakan.
Disamping itu, undang-undang menegaskan bahwa otonomi daerah dilaksanakan
dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan
dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Hal lain,
yang juga sangat penting adalah bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah

20
Sad Dian Utomo, “Penanganan Pengaduan Masyarakat Mengenai Pelayanan Publik, Bisnis &
Birokrasi”, Jurnal Ilmu Administrasi Dan Organisasi, Vol.15, No.3, 2008, hal. 163
21
Sunarno Danusastro, “Penyusunan Program Legislasi Daerah yang Partisipatif”, Jurnal
Konstitusi, Vol.9, No.4, Desember 2012, hal. 648.
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 827

bersifat utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan,


pelaksanaan, pengawasan, pengendalian sampai dengan evaluasi.22
Sebagai konsekuensi dari kebijakan otonomi daerah yang luas, maka aparatur
Pemerintah Pusat yang ada di daerah, terkecuali lima bidang kewenangan yang tetap
dimiliki pemerintah, kemudian diintegrasikan menjadi bagian pemerintah daerah
menjadi sangat besar karena bisa bertambah. Bertambahnya kewenangan dan jumlah
pegawai pemerintah daerah ini di sebagian daerah, kemudian juga menimbulkan
pembesaran struktur oraganisasi yang ada kalanya kurang memperhatikan aspek-aspek
manajemen yang baku, sehingga membuka peluang inefisiensi.
Bertambah besarnya kewenangan daerah dan juga bertambah banyaknya
pegawai, dan dana yang dikelola pemerintah daerah tentu akan menyebabkan
pengelolaannya semakin sulit. Tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan
daerah, dan pengelolaan pegawai dan sumber daya daerah yang lain tentu saja,
merupakan tanggung jawab kepala daerah masing-masing. Oleh karena itu, beban
pekerjaan dan tanggung jawab Bupati dan Walikota sangatlah besar, karena harus
dapat mengelola sumber daya insani, maupun dana dan sarana yang dimiliki agar bisa
didayagunakan secara optimal untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki, guna
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan bagi semua masyarakat.
Berangkat dari besar dan beratnya tanggung jawab pekerjaan yang diemban oleh
Bupati dan Walikota tersebut, tentunya menjadi kewajiban bersama untuk membangun
suatu prosedur dan mekanisme yang bisa melahirkan pemimpin pemerintahan yang
handal, yang bukan saja mempunyai kapabilitas dan integritas yang tinggi, tetapi juga
komitmen untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan
demokrasi. Dalam hubungan ini, maka semua komponen, baik dalam supra struktur
maupun infra struktur, harus bekerjasama dalam membangun daerah yang luas yang
sekaligus menjadi dambaan seluruh rakyat Indonesia.
Paradigma baru pemerintahan daerah, otonomi daerah tidak bergeser lebih
kepada aspek ekonomi. Pemerintah daerah, adalah sebuah organisasi yang dipilih
secara demokrasi di bawah negara yang berkuasa di suatu wilayah atau daerah
(provinsi atau daerah) yang menyediakan pelayanan publik bagi penduduk yang
tinggal di wilayahnya. Dalam pandangan tersebut, fungsi pemerintah daerah yang
terutama adalah meningkatkan kesejahteraannya.
Dalam wacana teoritis terdapat dua kubu pandangan yang berbeda yaitu;
pertama berpandangan bahwa fungsi pemerintahan haruslah dibatasi sedemikian rupa,
sehingga apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat, maka pemerintah tidak perlu ikut
campur. Yang kedua justru sebaliknya, dimana kehadiran pemerintah dalam berbagai
kegiatan justru sangat diperlukan untuk menjamin ketertiban dan keadilan dalam
masyarakat.
Terlepas dari perdebatan teoritik mengenai fungsi pemerintahan, dewasa ini
fungsi pemerintah yang utama juga mengalami perkembangan yang signifikan.
Semula pemerintah hanya mempunyai fungsi mengatur dan menjaga keamanan serta
ketentraman rakyatnya. Namun sekarang ini, fungsi pemerintah ditambah dengan
fungsi lain, yaitu memberikan pelayanan publik dan memberdayakan masyarakat.
Fungsi pemerintah menurut Riyas Rasyid adalah:
a. Menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar dan
menjaga agar tidak terjadi pemberontakan di dalam negeri yang dapat
menggulingkan pemerintahan yang sah sengan cara kekerasan.

22
Yusnani Hasjimzum, “Model Demokrasi Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik
(Studi Otonomi Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pasca Reformasi”, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol.14, No.3, September 2014, hal. 447.
828 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

b. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya konflik di antara warga


masyarakat
c. Menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat
tanpa membedakan status atau latar belakang apapun.
d. Melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang yang tidak
mungkin dilakukan oleh lembaga non-pemerintah atau yang lebih baik apabila
dilakukan oleh pemerintah.
e. Melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, memelihara
anak yatim, membantu fakir miskin, orang cacat dan lain-lain
f. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, seperti
mengendalikan laju inflasi, menciptakan lapangan kerja dan lain-lain
g. Menerapkan kebijakan untuk melestarikan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
3.
Harmonisasi Hukum Dalam Pembetukan Peraturan Daerah
Pendekatan harmonisasi ini biasanya digunakan karena kemungkinan negara
tidak siap untuk menyetujui satu aturan bersama untuk satu isu tertentu, sehingga tidak
sepatutnya untuk mengembangkan satu teks seragam, tetapi cukup membuat
seperangkat prinsip-prinsip atau rekomendasi dan memberikan beberapa solusi
alternatif dengan variasinya.23 Kaitan dengan hal tersebut, sebelum Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dicabut dan diganti,24 maka secara yuridis banyak aturan yang
mengatur tentang peraturan daerah seperti PP No.79 Tahun 2005, Permendagri Nomor
53 Tahun 2011 meletakkan kompotensi yuridis pengujian legitimasi atas peraturan
daerah, sepenuhnya menjadi kewenangan lembaga eksekutif (pemerintah) melalui
mekanisme executive review.25
Jika berpijak pada Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juncto UU No 5
Tahun 2004 junto UU No. 48 Tahun 2009 juncto UU No.3 Tahun 2009, Mahkamah
Agung selaku lembaga yudikatif mempunyai kompotensi mutlak secara yuridis untuk
melakukan pengujian legalitas atas sebuah Perda yang dianggap bermasalah melalui
mekanisme judicial review. Dalam konteks executive review terdapat keterkaitan yang
erat dan signifikan antara pengujian Perda dengan sistem pengawasan pusat terhadap
produk hukum daerah. Kenyataan menunjukkan pengujian terhadap Perda, merupakan
implikasi dari sistem pengawasan praventif dan represif yang dianut oleh UU Nomor
32 Tahun 2004 dalam spektrum era reformasi dan otonomi daerah dewasa ini.
Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menguji dan membatalkan
peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Pengujian terhadap suatu Perda
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dalam rangka pengawasan dan
pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah.26 Pengujian atas Perda sebagai implikasi
dari sistem pengawasan represif dan preventif tersebut, masih menyisahkan beberapa
problematika mendasar. Banyaknya satuan pemerintah daerah mulai level provinsi,
hingga level kabupaten dan kota yang tersebar di seluruh Indonesia, menjadi kendala
tersendiri bagi implementasi pengawasan represif dan preventif yang dimaksud.
23
Subianta Mandala, “Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang
Dan Model Pendekatannya”, Jurnal Bina Hukum Mulia, Vol.1, No.2, September 2016, hal. 60.
24
Topo Santoso, “Prospek Dan Urgensi Uji Materiil UU No 32 Tahun 2004”, Jurnal Hukum &
Pembangunan, Vol.34, No.3, Juli-September 2004, hal. 259
25
Nafiatul Munawaroh & Maryam Nur Hidayati, “Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan Hukum Indonesia”, Jurnal Ius Quia
Iustum, Vo.22, No.2, April 2015, hal. 258
26
Yuri Sulistyo, Antikowati, & Rosita Indrayati, “Pengawasan Pemerintah Terhadap Produk
Hukum Daerah (Peraturan Daerah) Melalui Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”, Journal Lentera Hukum,
Vol.1, No.1, April 2014, hal. 3.
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 829

Selama ini, ternyata tidak ada pendelegasian kewenangan pembatalan Perda kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah pusat di daerah. Pada hal, jika Gubernur diberikan
kewenangan untuk memangkas Perda yang bermasalah, maka setidaknya dapat
memperpendek rentang kendali (span of control) terutama mekanisme birokrasi dalam
penyelesaian konflik Perda yang timbul. Ketidak patuhan pemerintah daerah dalam
menyampaikan setiap Perda maupun menyetor beberapa Ranperda yang masuk
kategori khusus kepada pemerintah pusat, akan makin menyulitkan proses pengawasan
represif dan preventif. Terlebih selama ini, tidak ada sanksi yang jelas dan tegas bagi
pemerintah daerah tersebut.27
Ambivalensi pengaturan mekanisme executive review menunjukkan, bahwa para
pengambil kebijakan di tingkat pusat terutama dilini eksekutif terkesan labil, dan
bertindak sporadis dalam mengimplementasikan instruksi UU Nomor 32 Tahun 2004.
Pada prinsipnya aspek hukum pengujian peraturan daerah menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 beserta peraturan derivasinya, dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri
Dalam Negeri dengan memperhatikan pertimbangan dari menteri lain di bidang
sektoral terkait, dan Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai dengan
prosedur masing-masing.
Tindak lanjut dari proses klarifikasi terhadap setiap peraturan daerah dan proses
evaluasi terbatas atas rancangan peraturan daerah (Ranperda) khususnya Perda tentang
APBD, perubahan APBD, Pajak daerah, Retribusi daerah dan tata ruang wilayah
daerah, guna memastikan apakah Perda tersebut bertentangan atau tidak dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan
terhadap Perda dengan alasan kontras dengan kepentingan umum dan atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, menggunakan tiga instrumen hukum, yakni
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Gubernur sesuai
dengan tingkatan masing-masing yang walaupun secara de facto pembatalan Perda
selama ini, menggunakan Keputusan Menteri Dalam Negeri.28
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tidak mengatur aspek
hukum pengujian atas Perda oleh Mahkamah Agung, melalui mekanisme Judicial
review, seperti yang ditafsirkan selama ini. Upaya hukum keberatan yang bisa
dilanjutkan oleh pemerintah daerah kepada Mahkamah Agung terkait pembatalan
sebuah Perda bukanlah upaya pengujian terhadap peraturan daerah (Perda), akan tetapi
bentuk pengujian atas instrumen hukum berupa Peraturan Presiden, Peraturan Menteri
dan peraturan Gubernur.
Kewenangan pengujian legalitas beserta prosedur judical review atas Perda
diatur secara detail dalam Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009 Junto Pasal 31 UU No. 5
Tahun 2004 jo Pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009 dan Perma Nomor 1 Tahun 2011.
Pengujian Perda oleh pemerintah masih menyisahkan sejumlah problematika hukum.
Terjadinya inkonsistensi dan disparitas penggunaan instrumen hukum pembatalan
Perda. Secara de jure pembatalan sebuah Perda mastinya menggunakan Perpres,
Permendagri, dan peraturan Gubernur sesuai dengan tingkatan masing-masing, jika
mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 junto PP No. 79 Tahun 2005 dan
Permendagri No. 53 Tahun 2011. Secara de facto, pembatalan perda selama ini, justru
menggunakan Kepmendagri yang sama sekali tidak memiliki pijakan hukum yang
masuk dalam rumpun peraturan (regelling) dapat dibatalkan oleh Kepmendagri yang
masuk dalam rumpun keputusan administratif (beschikking).

27
E. Prajwalita Widiati & Haidar Adam, “Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala Daerah”,
Jurnal Yuridika, Vol. 27, No.1, 2012, hal. 78.
28
Novira Maharani Sukma, “Analisis Yuridis Pembatalan Perda Oleh Menteri Dalam Negeri”,
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol.5, No.1, 2017, hal. 11.
830 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

Pembatalan Perda dengan Kepmendagri justru tidak memberikan ruang


pemerintah daerah untuk mengajukan upaya keberatan hukum kepada Mahkamah
Agung. Pada hal produk hukum pembatalan Perda yang dapat dijadikan sebagai objek
sengketa di Mahkamah Agung hanyalah dalam bentuk Perpres. Permendagri atau
Peraturan Gubernur. Kepmendagri tidak bisa dijadikan sebagai objek sengketa di
Mahkamah Agung, oleh karena tidak diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 junto
PP Nomor 79 Tahun 2005 dan Permendagri 53 Tahun 2011 maupun dalam UU No. 23
Tahun 2014.
Pembatalan Perda yang hanya menggunakan Kepmendagri praktis secara tidak
langsung telah terjadi polarisasi dan pergeseran lokus kewenangan pembatalan Perda
yang bertumpu pada Menteri Dalam Negeri sebagai satu-satunya pejabat pemerintah
yang berwenang secara mutlak (kompotensi absolut) untuk melakukan pembatalan
terhadap Perda, jika ditemukan bermasalah. Hal itu justru bertolak belakang dengan
ketentuan perundang-undangan sebagaimana pada point a di atas.
Undang-Undang 32 Tahun 2004 jo UU No. 23 Tahun 2014 beserta produk
hukum derivasinya, sama sekali tidak mengatur sanksi yuridis bagi pemerintah
(eksekutif), apabila tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung tentang
pencabutan atas produk hukum Pembatalan Perda. Jika faktanya, upaya hukum
keberatan diajukan oleh pemerintah daerah kepada Mahkamah Agung dikabulkan,
namun pemerintah (pihak eksekutif) tetap pada pendiriannya untuk tidak
melaksanakan putusan Mahkamah Agung, maka upaya hukum yang ditempuh oleh
pemerintah daerah tersebut, dapat dikatakan menjadi sia-sia dan tidak berguna.
Dengan demikian, dalam pengujian atas Perda hanyalah aspek materil dari substansi
Perda itu. Aspek formil atau tata cara pembentukan sebuah Perda sama sekali tidak
dijadikan pertimbangan. Standar pengujian Perda oleh pemerintah berbeda dengan
standar pengujian Perda yang digunakan oleh Mahkamah Agung. Dimasukkannya
unsur materil berupa aspek “kepentingan umum” sebagai standar normatif dalam
pengujian Perda oleh pemerintah justru menimbulkan persoalan hukum tersendiri.
Tolok ukur kepentingan umum hingga saat ini masih sangat kabur, karena tidak
didefenisikan secara jelas dalam ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU No. 23
Tahun 2014 beserta peraturan derivasinya. Pada kenyataannya, tidak jarang tafsiran
kepentingan umum ini lebih berorientasi, atau mewakili kepentingan penguasa
ketimbang kepentingan rakyat yang sebenarnya.
Di sisi lain, pengaturan pengujian Perda oleh Mahkamah Agung juga masih
menimbulkan sejumlah problematika. Terdapat inkonsistensi atau kontradiksi
pengaturan terkait standar normatif judicial review atas Perda oleh Mahkamah Agung,
yaitu antara UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 31 A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun
2009 dengan Perma Nomor 1 Tahun 2004 dan terakhir Perma Nomor 1 Tahun 2011.
Kehadiran Perma Nomor 1 Tahun 2011 selaku lex spesialis, justru mengesampingkan
syarat formil sebagai salah satu standar normatif dalam pengujian Perda. Hal ini secara
normatif, kontras dengan isyarat kedua undang-undang di atas, yang menegaskan
bahwa selain syarat materil, syarat formil juga harus dijadikan tolok ukur dalam
pengujian sebuah Perda.
Mengenai upaya hukum dalam judicial review juga terdapat kotradiktif dalam
pengaturannya. UU Nomor 48 Tahun 2009 junto UU Nomor 5 Tahun 2004 dan UU
Nomor 3 Tahun 2009, mengenal dua model mekanisme judicial review, yakni bisa
melalui pengujian gugatan atau melalui permohonan keberatan secara langsung pada
Mahkamah Agung. Ironisnya Perma No.1 Tahun 2004 justru menganulir prosedur atau
mekanisme “gugatan judicial review” terhadap peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, sehingga praktis yang diatur hanyalah upaya permohonan
keberatan pada Mahkamah Agung.
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 831

Dalam Perma No.1 Tahun 2011 tidak diatur secara jelas adanya limitasi waktu
yang diperlukan dalam proses penetapan dimulainya waktu sidang, atau penunjukan
majelis hakim agung dan sampai kapan putusan diambil oleh majelis hakim agung
dalam memutus perkara tersebut. Dalam perkara permohonan judicial review atas
Perda tidak dimungkinkan adanya persidangan jarak jauh sebagaiman dikenal dalam
persidangan pengujian di Mahkamh Konstitusi. Pada hal, mekanisme persidangan
jarak jauh setidaknya dapat mempermudah para pihak dan terutama pemerintah daerah
dalam mengajukan perkara pengujian judicial review atas Perda tersebut.
Dalam rangka mensinkronisasi peraturan-peraturan baik di Pusat dan Daerah
dibentuklah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang menjadi dasar utama dalam semua penyusunan produk hukum
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah,29 maka tidak ada lagi aturan hukum mengenai
peraturan daerah yang tidak sinkron, karena sudah jelas diatur dalam kedua undang-
undang tersebut, mudah-mudahan masa yang akan datang tidak lagi ada aturan yang
tidak sinkron.
Kewenangan pembentukan peraturan daerah dipertegas dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu dalam Pasal 236 ayat (2)
yang menegaskan bahwa Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah. Dengan demikian, kewenangan pembentukan peraturan
daerah provinsi berada pada DPRD provinsi dengan persetujuan Gubernur,
kewenangan pembentukan Peraturan Daerah kabupaten bersama pada DPRD
kabupaten dengan persetujuan Bupati, sedangkan kewenangan pembentukan peraturan
daerah kota berada pada DPRD kota dengan persetujuan Walikota.

III. PENUTUP
Pembentukan peraturan daerah yang ideal adalah peraturan daerah yang sesuai
dengan kepentingan masyarakat dan dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
otonomi daerah serta materi muatan peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan perundang-undangan yang lebih tinggi. Model peraturan
daerah yang ideal dalam penyelenggaraan otonomi daerah, adalah prinsip keterbukaan
dan partisipasi masyarakat serta adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya agar tidak saling tumpah tindih peraturan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal dan Karya Tulis Lain


Astomo, Putra. “Penerapan Prinsip-Prinsip Pemerintahan Yang Baik Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol.16, No.3,
Desember 2014, 401-420:407.
Danusastro, Sunarno. “Penyusunan Program Legislasi Daerah yang Partisipatif”,
Jurnal Konstitusi, Vol.9, No.4, Desember 2012, 643-660:648.
Gadjong, Agussalim Andi. “Analisis Filosofis Pemerintahan Daerah Dalam Pergantian
(Perubahan) Kaidah Hukum Dasar Negara”, Jurnal Hukum & Pembangunan,
Vol. 41, No.1, Januari-Maret 2011, 150-185:152

29
Ronald M. M. Goni, “Kewenangan Gubernur Dalam Pembentukan Peraturan Daerah sebagai
Implementasi Pemberlakuan Otonomi Daerah”, Lex Administratum, Vol.3, No.4, 2015, hal. 20
832 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

Goni, Ronald M.M. “Kewenangan Gubernur Dalam Pembentukan Peraturan


Daerahsebagai Implementasi Pemberlakuan Otonomi Daerah”, Lex
Administratum, Vol. 3, No. 4, 2015, 20-29: 20.
Griadhi, Ni Made Ari Yuliartini & Anak Agung Sri Utari, “Partisipasi Masyarakat
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Kertha Patrika, Vol. 33, No. 1,
33 (1), Januari 2008, 1-5:1.
Hasjimzum, Yusnani. “Model Demokrasi Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan
Publik (Studi Otonomi Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Pasca Reformasi”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 3, 14 (3), September
2014, 445-457:447.
Hidayat, Syarif. “Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society
Relation”, Jurnal Poelitik, Vol. 1, No. 1, 2008, 1-28:6.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah, “Hubungan Dan Masalah Keagenan Di
Pemerintah Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran Dan Akuntansi”,
Jurnal Akuntansi Pemerintahan, Vol. 2, No. 1, 2006, 1-12:1.
Hamidi, Jazim “Paradigma Baru Pembentukan dan Analisis Peraturan Daerah 1 (Studi
Atas Perda Pelayanan Publik dan Perda Keterbukaan Informasi Publik)”, Jurnal
Ius Quia Iustum, Vol. 18, No. 3, Juli 2011, 336-363:359.
Jati, Wasisto Raharjo. “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah Di Indonesia:
Dilema Sentralisasi Atau Desentralisasi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 4,
Desember 2012, 743-773:748
Mandala, Subianta. “Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar
Belakang Dan Model Pendekatannya”, Jurnal Bina Hukum Mulia, Vol. 1, No. 1,
September 2016, 53-61:60
Muhtadi, Budiyono & Ade Arif Firmansyah, “Dekonstruksi Urusan Pemerintahan
Konkuren Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah”, Kanun Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 17, No. 3, Desember 2015, 419-432:425.
Munawaroh, Nafiatul & Maryam Nur Hidayati, “Integrasi Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya Pembangunan
Hukum Indonesia”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol. 22, No. 2, April 2015, 255-
268:258.
Nasution, Faisal Akbar “Kebijakan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah Pasca Reformasi”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol. 18, No. 3, Juli 2011,
381-404:384.
Nawawi, Juanda. “Membangun Kepercayaan Dalam Mewujudkan Good Governance”,
Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 3, Juni 2012, 19-29:20.
Saragih, Tomy M. “Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan
Daerah Rencana Detail Tata Ruang Dan Kawasan”, Jurnal Sasi, Vol. 17, No. 3,
Juli-September 2011, 11-20:11.
Santoso, Topo. “Prospek Dan Urgensi Uji Materiil UU No 32 Tahun 2004”, Jurnal
Hukum & Pembangunan, Vol. 34, No. 3, Juli-September 2004, 258-267:259.
Simanjuntak, Kardin M. “Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan Di
Indonesia”, Jurnal Bina Praja, Vol. 7, No. 2, Juni 2015, 111-130:114.
Sudrajat, Tedi. “Perwujudan Good Governance Melalui Format Reformasi Birokrasi
Publik Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara”, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 9, No. 2, Mei 2009, 118-125:120.
Suharjono, Muhammad. “Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Dalam
Mendukung Otonomi Daerah”, DIH Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 9,
Pebruari 2014, 21-37:21
Sulila, Ismet Implementasi Dimensi Pelayanan Publik Dalam Konteks Otonomi
Daerah, Yogyakarta: Deepublish, 2012.
Model Pembentukan Peraturan Daerah, Marten Bunga 833

Sulistyo, Yuri, Antikowati, & Rosita Indrayati, “Pengawasan Pemerintah Terhadap


Produk Hukum Daerah (Peraturan Daerah) Melalui Mekanisme Pembatalan
Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah”, Journal Lentera Hukum, Vol. 1, No. 1, April 2014, 1-
12:3.
Tomuka, Shinta. “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam Pelayanan
Publik Di Kecamatan Girian Kota Bitung (Studi Tentang Pelayanan Akte Jual
Beli)”, Jurnal Eksekutif, Vol. 2, No. 1, 2013, 1-15:11
Utomo, Sad Dian. “Penanganan Pengaduan Masyarakat Mengenai Pelayanan Publik,
Bisnis & Birokrasi”, Jurnal Ilmu Administrasi Dan Organisasi, Vol. 15, No. 3,
September-Desember 2008, 161-167:163
Widiati E. Prajwalita & Haidar Adam, “Pengawasan Terhadap Peraturan Kepala
Daerah”, Jurnal Yuridika, Vol. 27, No. 1, Januari-April 2012, 77-95:78.
Wijayanti, Septi Nur. “Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014”,
Jurnal Media Hukum, Vol. 23, No. 2, Desember 2016, 186-199:195.
Yasir, Armen & Zulkarnain Ridlwan, (2012). Perumusan Kebijakan dan Peraturan
Daerah Dengan Mekanisme Konsultasi Publik, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum,
6 (2) Mei-Agutsus 2012, 1-15:1

Peraturan dan Putusan


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai