Logika Kelompok 3 Fix
Logika Kelompok 3 Fix
MENTRANSFORMASIKAN NARSISME
I. Identitas Buku
Judul Buku : Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad
ke-21
Penulis : Emanuel Gerrit Singgih, Ph. D.
Penerbit : Kanisius
Kota terbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 1997
Tebal Buku : 223
1
mengecam/mengkritik teologi jenis ini. Salah satu orang itu yang Gerrit munculkan disini
ialah Ir. Herlianto, M. Th, dalam bukunya ”Teologi sukses: Antara Allah dan mamon.”
Herlianto mengemukakan ada 3 poin pokok-pokok pemikiran teologi sukses yang
kemudian selanjutnya akan dikritiknya, yaitu:
Para tokoh teologi sukses yang dijuluki Herlianto sebagai nabi-nabi sukses, mengajarkan
Tuhan itu sebagai kekuatan dan sumber daya pikir yang positif yang membuat manusia
bergerak maju menuju kemampuan yang lebih tinggi. Kemudian daya itu dimanfaatkan
oleh manusia melalui doa atau pembacaan ayat-ayat Alkitab (Yoh. 10:10.,2Kor. 8:9).
Kesuksesan seseorang yang disebut Kristen harus dapat dibuktikan melalui tindakan
konkritnya, antara lain besarnya jumlah persembahan persepuluhan didalam suatu gereja.
Karena mereka menyimpulkan semakin banyak memberi, semakin banyak menerima.
Jika mau mendapat banyak/sukses banyaklah memberi. Melalui tindakan konkrit itulah
seorang kristen memberikan kesan bona fide (jujur atau memberikan kesan dapat
dipercayai), tidak terkecuali ditampakkan dalam gereja juga.
Kepercayaan kepada Tuhan menolong kita mengatasi masalah apapun. Segala hal yang
membuat senang seperti uang, pengaruh, kuasa, jangan dianggap sebagai sesuatu yang
negatif. Sebaliknya yang tidak membuat senang, salah satunya kemiskinan justru
digambarkan sesuatu yang tidak baik. Kemiskinan merupakan suatu masalah, saat
percaya kepada Tuhan masalah dapat diselesaikan, jika berada dalam kemiskinan,
kesimpulannya berarti orang tersebut tidak memahami siapa Tuhan atau tidak percaya
pada Tuhan.
Adapun kritik/kecaman yang diberikan oleh Herlianto terhadap pokok teologi sukses di
atas yaitu;
2
orang kaya, karena harta dan uang memang dapat membuat manusia tidak mengandalkan
Tuhan, serta kemiskinan atau tidak takut menderita seperti yang murid-murid Yesus
lakukan, menggambarkan kerelaan, kesungguhan mereka dalam menyampaikan injil.
Begitulah pokok serta kecaman yang dicantumkan Gerrit melalui pendapat Herlianto
dalam bukunya Teologi sukses:antara Allah dan mamon. Saat memahami kecaman yang
diberikan Herlianto, kami sempat menyetujui dan memang benar apa yang ia kecam itu.
Sampai, Gerrit memberikan tambahan melalui perspektifnya mengenai teologi sukses ini.
Herlianto yang hanya menunjukkan bahwa teologi sukses ini kurang baik dengan berdasar
pada sudut ajaran/doktrin protestan ortodoks yang biasanya berbunyi ”Alkitab mengatakan...”
Karna hanya berpijak pada satu sumber, kemudian Gerrit melalui perspektif yang lain
menemukan hal yang kurang diperhatikan Herlianto yakni meninjaunya dari segi konteks dan
dari segi pastoral. Selaku pengajar teolog yang mengkontekstualisasikan segalanya tentulah
Gerrit langsung mendapat sudut pandang ini, ia mengatakan ”Konteks berhubungan dengan
masalah”.1 Teologi sukses yang yang di kecam dan dianggap masalah ini tentunya lahir dari
suatu konteks. Mengapa teologi ini muncul dan sampai mempengaruhi warga gereja? Gerrit
mengatakan, jika hanya melihatnya dari ajaran-ajaran Alkitab yang konteksnya berbeda dari
konteks kita sekarang, pastinya warga gereja merasa bahwa kita belum menjawab pertanyaan
mereka secara relevan dengan jawaban “Alkitab mengatakan…” Maka perlunya memahami
dari berbagai perspektif serta mentransformasikannya.
Kristanto dalam bukunya “Injil bagi orang kaya?” Juga mengemukakan pendapat
kedua tokoh di atas dalamnya. Herlianto yang menunjukkan perspektif evangelical dan
konservatif sehingga tampak nuansa apologetisnya, sedangkan Gerrit pada umumnya setuju
dengan bentuk kecaman Herlianto tapi ia menemukan titik kekurangan yang dilupakan
Herlianto dalam mengecam teologi ini, yakni meninjaunya dari segi konteks dan pastoral.
Kami melihat, Kristanto juga setuju mengenai pendapat Gerrit, dimana ia
menggunakan konteks untuk melihat mengapa teologi jenis ini muncul. Yang menjadi latar
belakang munculnya teologi ini yang dilihat Kristanto ialah pergumulan penghayat teologi
kemakmuran di Indonesia, yakni kebanyakan dari etnis Tionghoa dalam bidang bisnis.
Kristanto menggunakan pendekatan “Teologi Rakyat” dalam berteologi dengan tujuan agar
Gerakan karismatik khususnya penganut teologi kemakmuran secara lebih berimbang namun
memperhatikan aspek dan konteks yang terkait.2
1
Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi masa depan: berteologi dalam konteks di awal Milenium III, cet. 1,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 56
2
Rony Chandra Kristanto, Injil untuk orang kaya?Teologi Kemakmuran sebagai teologi Rakyat, (Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 2010), h. 2-3
3
Kami menyimpulkan dari pendapat beberapa penulis di atas kami memberi
kesimpulan singkat bahwasanya sesuatu itu jangan langsung dianggap buruk dan langsung
dikecam tanpa melihatnya dari perspektif yang berbeda termasuk yang terutama konteks
masalahnya.
4
yang Narsistik.
Adapun ciri-ciri pribadi yang narsistik yaitu:
1. Penentangan terhadap yang dituntut oleh orang lain darinya
2. Kehidupan emosional yang dangkal untuk melindungi diri sendiri dari keperihan
emosional
3. Manipulasi kesan-kesan yang diperoleh orang lain darinya
4. Ketidakmampuan mengakui keterbatasan/kefanaan diri sendiri
Dalam pandangan Kohut ciri-ciri di atas adalah ciri-ciri narsisme primitif, dan
menurutnya narsisme ini dapat diubah dan ditransformasikan. Berpijak pada pandangan
Kohut, Capss memanfaatkan pandangannya dengan berkata ”Melalui narsisme yang sudah
ditransformasikan, hal yang sakral tetap bertahan dan juga dapat menyediakan pondasi
kesejahteraan spritual secara realistik, ditengah dunia yang sangat sekuler.”
5
ini, kita harus berhati-hati dengan ungkapan “menyangkal dunia” tetapi makna
sebenarnya yang dilakukan adalah “menyangkal Allah.”
Aloysius Pieris yang judul bukunya sama dengan Herlianto yakni
antara Allah dan mamon mengatakan bahwa kekayaan itu bukan lawan dari kemiskinan,
melainkan bentuk dari yang namanya kerakusan. Kerakusan atau kecenderungan
akuisistif merupakan perwujudan dari grandiose self dari narsisme primitif.
Di bagian akhir, Gerrit mengajak agar semua orang yang
mengambil bagian dalam pelayanan baik spiritual maupun sosial, agar pelayanan itu
didasarkan pada kebahagian diri. Kebahagian diri itu tidak sekunder, yang menyebabkan
pemendaman terhadap kebahagian diri. Pemendaman ini akan mengakibatkan orang akan
mencari para penjaja kebahagiaan.
III. Kesimpulan
Berdasarkan hasil resensi diatas, ada beberapa kesimpulan yang kami buat, yaitu:
Pada dasarnya uang hanyalah benda mati, tetapi itu akan bersifat baik ataupun jahat jika
sudah digerakkan atau dimiliki manusia yang hidup. Jadi Tuhan bukannya anti terhadap
uang atau harta (mamon) tetapi pada manusia yang mengelolanya, yang membuat
6
manusia itu menjadi jahat/buruk, menjadi tergantung pada kekayaan tersebut dan
menjadi tidak mengandalkan Tuhan lagi.
Mencintai diri sendiri lebih utama daripada mencintai orang lain, bukan berarti
mencintai orang yang di luar diri kita itu tidak baik, tetapi bagaimana kita dapat cinta
pada orang lain tetapi tak dapat mewujudkannya terutama dalam diri kita.
Narsisme/cinta diri bukan sifat yang buruk atau negatif apabila sudah ditransformasikan
menjadi narsisme yang lebih dewasa yang kesannya positif.
Ilmu psikologi membantu pelayanan sosial atau spritual dalam menemukan alasan serta
cara mentransformasi narsisme.
7
DAFTAR PUSTAKA
Herlianto. 1993. Teologi sukses: antara Allah dan mamon, cet. 2, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Kristanto, Rony Chandra. 2010. Injil untuk orang kaya?Teologi Kemakmuran sebagai
teologi Rakyat. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
Singgih, Emanuel Gerrit. 2004. Mengantisipasi masa depan: berteologi dalam konteks di
awal Milenium III, cet. 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Singgih, Emanuel Gerrit. 1997. Reformasi dan tranformasi pelayanan gereja. Yogyakarta:
Kanisius.