Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah : Logika

Dosen Pengampu : Dr. Sahat Lumban Tobing, M. Th.

Tugas : Resensi Buku

Nama/NIM : Immanuel Marpaung/2210203, Jelly Pridayani Saragih/2210205,


Yulita Sitohang/2210230, Zefanya Rajagukguk/2210233

MENTRANSFORMASIKAN NARSISME

Tinjauan Kritis atas Gejala ”Teologi Sukses”

I. Identitas Buku
Judul Buku : Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad
ke-21
Penulis : Emanuel Gerrit Singgih, Ph. D.
Penerbit : Kanisius
Kota terbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 1997
Tebal Buku : 223

Secara keseluruhan buku ”Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja” karya


Emanuel Gerrit Singgih ini menjelaskan bagaimana pentingnya reformasi dan tranformasi
dalam gereja ditengah kemajuan zaman. Beliau menekankan agar gereja selalu terus menerus
memperbarui cara berpikir, beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan budaya, serta
sekaligus memperhatikan nilai-nilai sosial yang berdampak pada pelayanan gereja.
Singkatnya, Gerrit mengatakan bahwa gereja sangat perlu mengalami perubahan agar dapat
memberikan kontribusi yang positif dan relevan dalam menjawab tantangan zaman yang
terus berkembang. Didalam salah satu babnya, ”Mentransformasi Narsisme: Tinjauan
kritis atas gejala Teologi sukses” Gerrit membagi bab tersebut kedalam 5 bagian yaitu;

1. Gambaran tertentu mengenai Yesus dan kecaman terhadap gambaran ini


Dibagian ini selain mendeskripsikan Yesus seperti pada umumnya, yakni sosok yang
lemah-lembut, tidak pernah marah, dan lain sebagainya. Yesus yang digambarkan oleh
Gerrit dibagian ini adalah tokoh atau sosok yang hanya memberi keuntungan atau sebagai
pemberi kesenangan-kesenangan saja. Pernyataan itulah yang disebutkan sebagi teologi
sukses atau teologi kemakmuran. Akan tetapi ternyata sudah banyak orang yang

1
mengecam/mengkritik teologi jenis ini. Salah satu orang itu yang Gerrit munculkan disini
ialah Ir. Herlianto, M. Th, dalam bukunya ”Teologi sukses: Antara Allah dan mamon.”
Herlianto mengemukakan ada 3 poin pokok-pokok pemikiran teologi sukses yang
kemudian selanjutnya akan dikritiknya, yaitu:
 Para tokoh teologi sukses yang dijuluki Herlianto sebagai nabi-nabi sukses, mengajarkan
Tuhan itu sebagai kekuatan dan sumber daya pikir yang positif yang membuat manusia
bergerak maju menuju kemampuan yang lebih tinggi. Kemudian daya itu dimanfaatkan
oleh manusia melalui doa atau pembacaan ayat-ayat Alkitab (Yoh. 10:10.,2Kor. 8:9).
 Kesuksesan seseorang yang disebut Kristen harus dapat dibuktikan melalui tindakan
konkritnya, antara lain besarnya jumlah persembahan persepuluhan didalam suatu gereja.
Karena mereka menyimpulkan semakin banyak memberi, semakin banyak menerima.
Jika mau mendapat banyak/sukses banyaklah memberi. Melalui tindakan konkrit itulah
seorang kristen memberikan kesan bona fide (jujur atau memberikan kesan dapat
dipercayai), tidak terkecuali ditampakkan dalam gereja juga.
 Kepercayaan kepada Tuhan menolong kita mengatasi masalah apapun. Segala hal yang
membuat senang seperti uang, pengaruh, kuasa, jangan dianggap sebagai sesuatu yang
negatif. Sebaliknya yang tidak membuat senang, salah satunya kemiskinan justru
digambarkan sesuatu yang tidak baik. Kemiskinan merupakan suatu masalah, saat
percaya kepada Tuhan masalah dapat diselesaikan, jika berada dalam kemiskinan,
kesimpulannya berarti orang tersebut tidak memahami siapa Tuhan atau tidak percaya
pada Tuhan.

Adapun kritik/kecaman yang diberikan oleh Herlianto terhadap pokok teologi sukses di
atas yaitu;

 Tuhan itu bukan impersonal sifatnya. Ia bukan pesuruh manusia.


 Konteks persembahan persepuluhan dalam pokok teologi sukses sudah berbeda dengan
konteks sekarang. Bukan sebagai bahan sogokan kepada Tuhan untuk melakukan apa
yang kita mau, melainkan bentuk rasa syukur kita.
 Mengenai penampilan yang bona fide, bagi Tuhan yang penting itu manusianya bukan
apa yang dimiliki manusia itu. Jadi bona fide itu seharusnya bukan pada gereja dalam
bentuk gedung atau bangunan, melainkan pada orang atau umatnya sendiri.
 Tuhan sebenarnya bukan anti terhadap harta dan uang, dan kemiskinan juga bukan
selamanya menjadi prasyarat bagi seorang murid-Nya. Tuhan selalu memperingatkan

2
orang kaya, karena harta dan uang memang dapat membuat manusia tidak mengandalkan
Tuhan, serta kemiskinan atau tidak takut menderita seperti yang murid-murid Yesus
lakukan, menggambarkan kerelaan, kesungguhan mereka dalam menyampaikan injil.

Begitulah pokok serta kecaman yang dicantumkan Gerrit melalui pendapat Herlianto
dalam bukunya Teologi sukses:antara Allah dan mamon. Saat memahami kecaman yang
diberikan Herlianto, kami sempat menyetujui dan memang benar apa yang ia kecam itu.
Sampai, Gerrit memberikan tambahan melalui perspektifnya mengenai teologi sukses ini.
Herlianto yang hanya menunjukkan bahwa teologi sukses ini kurang baik dengan berdasar
pada sudut ajaran/doktrin protestan ortodoks yang biasanya berbunyi ”Alkitab mengatakan...”
Karna hanya berpijak pada satu sumber, kemudian Gerrit melalui perspektif yang lain
menemukan hal yang kurang diperhatikan Herlianto yakni meninjaunya dari segi konteks dan
dari segi pastoral. Selaku pengajar teolog yang mengkontekstualisasikan segalanya tentulah
Gerrit langsung mendapat sudut pandang ini, ia mengatakan ”Konteks berhubungan dengan
masalah”.1 Teologi sukses yang yang di kecam dan dianggap masalah ini tentunya lahir dari
suatu konteks. Mengapa teologi ini muncul dan sampai mempengaruhi warga gereja? Gerrit
mengatakan, jika hanya melihatnya dari ajaran-ajaran Alkitab yang konteksnya berbeda dari
konteks kita sekarang, pastinya warga gereja merasa bahwa kita belum menjawab pertanyaan
mereka secara relevan dengan jawaban “Alkitab mengatakan…” Maka perlunya memahami
dari berbagai perspektif serta mentransformasikannya.
Kristanto dalam bukunya “Injil bagi orang kaya?” Juga mengemukakan pendapat
kedua tokoh di atas dalamnya. Herlianto yang menunjukkan perspektif evangelical dan
konservatif sehingga tampak nuansa apologetisnya, sedangkan Gerrit pada umumnya setuju
dengan bentuk kecaman Herlianto tapi ia menemukan titik kekurangan yang dilupakan
Herlianto dalam mengecam teologi ini, yakni meninjaunya dari segi konteks dan pastoral.
Kami melihat, Kristanto juga setuju mengenai pendapat Gerrit, dimana ia
menggunakan konteks untuk melihat mengapa teologi jenis ini muncul. Yang menjadi latar
belakang munculnya teologi ini yang dilihat Kristanto ialah pergumulan penghayat teologi
kemakmuran di Indonesia, yakni kebanyakan dari etnis Tionghoa dalam bidang bisnis.
Kristanto menggunakan pendekatan “Teologi Rakyat” dalam berteologi dengan tujuan agar
Gerakan karismatik khususnya penganut teologi kemakmuran secara lebih berimbang namun
memperhatikan aspek dan konteks yang terkait.2
1
Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi masa depan: berteologi dalam konteks di awal Milenium III, cet. 1,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 56
2
Rony Chandra Kristanto, Injil untuk orang kaya?Teologi Kemakmuran sebagai teologi Rakyat, (Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 2010), h. 2-3

3
Kami menyimpulkan dari pendapat beberapa penulis di atas kami memberi
kesimpulan singkat bahwasanya sesuatu itu jangan langsung dianggap buruk dan langsung
dikecam tanpa melihatnya dari perspektif yang berbeda termasuk yang terutama konteks
masalahnya.

2. Konteks Pergumulan Teologis yang melahirkan pemahaman teologi sukses


Dalam membahas latar belakang munculnya teologi ini, kami lebih menggunakan
acuan dari buku Herlianto. Beliau mengatakan perkembangan teologi sukses ini tidak
terlepas dari pengaruh perkembangan dunia yang semakin materialistis dan bermewah-
mewah dimana uang dan materi (mamon) dikejar, bahkan dipuja-puja orang.
Ada 2 situasi negara yang menjadi asal perkembangan teologi ini:
1. Negara Amerika yang maju pesat karena dipacu oleh perang pada saat itu melibatkan
negara itu. Kemenangan atas peperangan yang dilakukan, mengakibatkan kemajuan
yang semakin maju termasuk kemakmuran serta kelimpahan masyarakatnya secara
materi. Dalam situasi yang materialisme itu, kekosongan rohani yang luar biasa tidak
dapat dihindari.3
2. Negara korea mengalami penderitaan akibat perang dunia ke-2 serta ditambah
dengan perang sesama korea yang semakin menambah penderitaan. Setelah pasca
perang dan keadaan perekonomian mulai bertumbuh, disitulah orang-orang korea
berlomba-lomba mengejar kemakmuran secara materi, tak terkecuali dengan umat
kristen. Bahkan pada saat itu sudah hal biasa bagi para penginjil memadukan ajaran
perdukunan ”shamanisme” Korea dan kekristenan guna mengembangkan ajaran
sukses atau kemakmuran.4 Hal ini juga tidak terlepas dari konteks salah seorang
pentolan teologi sukses, Paul Yonggi-Cho. Situasi-situasi yang pernah ia saksikan
baik itu penderitaan, kemiskinan, kelaparan, sakit penyakit serta kesulitan dalam
hidup, membuatnya menanamkan sikap menolak segala bentuk penderitaan seperti
kemiskinan dan penyakit.5
3. Mentransformasikan Narsisme
Narsisme atau cinta diri unsur yang fundamental dalam seseorang yang diabaikan atau
tidak diperhatikan oleh Lembaga keagamaan. Dalam bagian ini, Gerrit menampilkan
pandangan Heinz Kohut dalam tulisannya ”Forms and Transformations of Narcissism”
yang menemukan bahwa Grandiose self merupakan sifat yang menjadi inti dari pribadi
3
Herlianto, Teologi sukses: antara Allah dan mamon, cet. 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 7
4
Herlianto, Teologi sukses: antara Allah dan mamon, cet. 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 9
5
Herlianto, Teologi sukses: antara Allah dan mamon, cet. 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 22

4
yang Narsistik.
Adapun ciri-ciri pribadi yang narsistik yaitu:
1. Penentangan terhadap yang dituntut oleh orang lain darinya
2. Kehidupan emosional yang dangkal untuk melindungi diri sendiri dari keperihan
emosional
3. Manipulasi kesan-kesan yang diperoleh orang lain darinya
4. Ketidakmampuan mengakui keterbatasan/kefanaan diri sendiri

Dalam pandangan Kohut ciri-ciri di atas adalah ciri-ciri narsisme primitif, dan
menurutnya narsisme ini dapat diubah dan ditransformasikan. Berpijak pada pandangan
Kohut, Capss memanfaatkan pandangannya dengan berkata ”Melalui narsisme yang sudah
ditransformasikan, hal yang sakral tetap bertahan dan juga dapat menyediakan pondasi
kesejahteraan spritual secara realistik, ditengah dunia yang sangat sekuler.”

4. Membuat keseimbangan antara cinta diri dan cinta sesama


Cinta diri sering dianggap bentuk cinta yang lebih rendah daripada cinta sesama.
Cinta diri atau narsistik ini pada dasarnya menginginkan dirinya untuk didukung,
dikagumi, dihargai. Hal ini tidak tampak baik jika melalui sifat narsisme yang primitiF
serta fantasi yang grandiose, melainkan melalui narsisme yang lebih dewasa atau yang
sudah ditransformasikan. Ada beberapa bentuk narsisme yang telah ditransformasikan
yang mungkin sering kita jumpai dan sudah mengetahuinya yakni: Kreatifitas pribadi,
empati, menerima diri di dalam keterbatasan, kemampuan untuk humor, dan
kebijaksanaan.
5. Narsisme transformatif dan lembaga-lembaga keagamaan
Dalam bagian ini Gerrit mengatakan bahwasannya kekurangan dalam kritik serta
kevakuman teologi di isi dengan ilmu yang lain yaitu Psikologi. Dan memang agar tetap
relevan dan aktual teologi itu harus dapat berdialog dengan disiplin ilmu pengetahuan
modern lainnya termasuk psikologi tadi. Penemuan dari bidang psikologi sendiri,
narsisme merupakan kecenderungan naluriah setiap orang. Kecenderungan itulah yang
seharusnya di transformasikan dari narsisme primitif ke narsisme kosmik yang sifatnya
positif bukan malah memendamnya. Dalam memanfaatkan penemuan tersebut, pertama-
tama kita hendaknya menyingkirkan kecenderungan meremehkan cinta diri dan
menggantikannya dengan cinta sesama.
Pada saat ini sudah banyak muncul teologi yang lebih baru, kita pastinya tidak
asing dengan hal itu, dan penekanan akan Kerajaan Allah meliputi dunia yang sekarang

5
ini, kita harus berhati-hati dengan ungkapan “menyangkal dunia” tetapi makna
sebenarnya yang dilakukan adalah “menyangkal Allah.”
Aloysius Pieris yang judul bukunya sama dengan Herlianto yakni
antara Allah dan mamon mengatakan bahwa kekayaan itu bukan lawan dari kemiskinan,
melainkan bentuk dari yang namanya kerakusan. Kerakusan atau kecenderungan
akuisistif merupakan perwujudan dari grandiose self dari narsisme primitif.
Di bagian akhir, Gerrit mengajak agar semua orang yang
mengambil bagian dalam pelayanan baik spiritual maupun sosial, agar pelayanan itu
didasarkan pada kebahagian diri. Kebahagian diri itu tidak sekunder, yang menyebabkan
pemendaman terhadap kebahagian diri. Pemendaman ini akan mengakibatkan orang akan
mencari para penjaja kebahagiaan.

II. Tanggapan kelompok terhadap buku

Menurut kami Buku ini terkhususnya pada bagian bab 6 ”Mentransformasi


Narsisme” Gerrit kenyataannya menggunakan pandangan-pandangan para penulis lain,
kemudian membacanya dari perspektif yang lain, sehingga pada akhirnya ia menemukan
sesuatu yang kurang diperhatikan. Buku ini menurut kami disuguhkan dengan bahasa yang
cukup mudah pada beberapa bagian akan tetapi ada buku yang kami gunakan agar lebih
mudah memahami yakni salah satu refrensi yang digunakan oleh Gerrit sendiri yakni Teologi
sukses: antara Allah dan mamon, karya Herliyanto. Walaupun buku Gerrit ini agaknya sudah
tergolong tua, akan tetapi seiring berkembangnya zaman buku ini semakin relevan dengan
zaman yang semakin maju. Kebutuhan manusia semakin banyak, tuntutan zaman yang
mewajibkan segala sesuatu butuh uang atau materi untuk bertahan hidup. Buku ini juga
memberikan kita perspektif yang baru melalui perspektif Gerrit Singgih, yang selalu
mengutamakan, melihat serta menyimpulkannya berdasarkan konteks.

III. Kesimpulan

Berdasarkan hasil resensi diatas, ada beberapa kesimpulan yang kami buat, yaitu:

 Pada dasarnya uang hanyalah benda mati, tetapi itu akan bersifat baik ataupun jahat jika
sudah digerakkan atau dimiliki manusia yang hidup. Jadi Tuhan bukannya anti terhadap
uang atau harta (mamon) tetapi pada manusia yang mengelolanya, yang membuat

6
manusia itu menjadi jahat/buruk, menjadi tergantung pada kekayaan tersebut dan
menjadi tidak mengandalkan Tuhan lagi.
 Mencintai diri sendiri lebih utama daripada mencintai orang lain, bukan berarti
mencintai orang yang di luar diri kita itu tidak baik, tetapi bagaimana kita dapat cinta
pada orang lain tetapi tak dapat mewujudkannya terutama dalam diri kita.
 Narsisme/cinta diri bukan sifat yang buruk atau negatif apabila sudah ditransformasikan
menjadi narsisme yang lebih dewasa yang kesannya positif.
 Ilmu psikologi membantu pelayanan sosial atau spritual dalam menemukan alasan serta
cara mentransformasi narsisme.

7
DAFTAR PUSTAKA

Herlianto. 1993. Teologi sukses: antara Allah dan mamon, cet. 2, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Kristanto, Rony Chandra. 2010. Injil untuk orang kaya?Teologi Kemakmuran sebagai
teologi Rakyat. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
Singgih, Emanuel Gerrit. 2004. Mengantisipasi masa depan: berteologi dalam konteks di
awal Milenium III, cet. 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Singgih, Emanuel Gerrit. 1997. Reformasi dan tranformasi pelayanan gereja. Yogyakarta:
Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai