Anda di halaman 1dari 3

KESETIAAN (AMSAL 20:6)

Dalam (Galatia 5:22-23 Buah Roh ke-7 yaitu kesetiaan. adalah pistis.
Walaupun kata ini bisa mengandung arti “iman” (lihat KJV), tetapi, sesuai
konteks yang ada, pistis sebaiknya dipahami sebagai kesetiaan (lihat
mayoritas versi).
Hari ini kita akan mengupas tentang kesetiaan dari sebuah ayat di
Perjanjian Lama, yaitu Amsal 20:6. Teks ini berbunyi: “Banyak orang
menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?”
(LAI:TB). Ayat ini mengontraskan dua tipikal orang (lihat kata sambung “tetapi”
dan pengulangan kata “orang” di ayat ini): yang tidak setia dan yang setia.

Ada tiga poin penting tentang keselamatan yang akan kita cermati dalam
ayat ini.

1. KESETIAAN ITU JARANG DITEMUKAN


Struktur kalimat Ibrani di ayat 6a sedikit membingungkan. Kata pertama
yang muncul berbentuk jamak “banyak orang” (rāb ’ādām), tetapi kata-kata
selanjutnya dari teks ini berbentuk tunggal. Kerancuan ini tercermin dalam
beragam versi Inggris, misalnya KJV “Most men will proclaim everyone his own
goodness” atau NIV “Many a man claims to have unfailing love”).
Walaupun dari sisi terjemahan hurufiah terlihat agak janggal, makna di
baliknya sebenarnya cukup jelas. Maksud penulis kitab Amsal dapat
diungkapkan melalui terjemahan agak bebas berikut ini: “[Sebagaimana
dengan] banyak orang, setiap orang menyebutkan kebaikannya sendiri.” Jadi,
subyek dari ayat 6a adalah tunggal, namun ia mewakili mayoritas.
Melalui pengkalimatan seperti di atas, penulis kitab Amsal sedang
melaporkan sebuah observasi dalam kehidupan banyak orang. Dia sering
menemukan orang yang menyebutkan kebaikannya mereka. Persoalannya,
kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa orang yang setia sangat sulit
untuk didapatkan. Pertanyaan “siapakah yang menemukannya?” merupakan
sebuah pertanyaan retoris yang mengharapkan jawaban “tidak ada” atau “sulit
didapat” (bdk. Pkt 7:24).
Observasi ini menunjukkan betapa buruknya natur manusia yang
berdosa. Secara khusus penulis kitab Amsal beberapa kali menyinggung
tentang hati manusia. Hati manusia susah ditebak, kecuali oleh orang yang
bijaksana (Ams 20:5, 8). Hati mereka begitu kotor, sehingga mereka sendiri
tidak mampu membersihkannya (Ams 20:9).
Penyucian hati hanya dimungkinkan oleh Allah. Pengorbanan darah
Kristus yang sempurna di atas kayu salib membersihkan hati nurani manusia
yang berdosa (Ibr 9:14). Hati yang sudah disucikan ini selanjutnya dipimpin
oleh Roh Kudus (Kis 15:8-9). Transformasi hati oleh Allah inilah yang
memampukan manusia untuk setia, dan tidak kalah oleh kondisi mayoritas.

2. KESETIAAN ITU LEBIH BERHARGA DARIPADA IKATAN KASIH


Amsal 20:6 menyebutkan dua kata yang maknanya berdekatan, yaitu
khesed (LAI:TB “baik hati”) dan ’emûnâ (LAI:TB “setia”). Kata khesed memiliki
jangkauan arti yang cukup luas. Dalam LAI:TB kata ini berkali-kali
diterjemahkan dengan “kasih setia.” Pilihan penerjemah LAI:TB ini bukan
tanpa alasan. Walaupun khesed bisa merujuk pada kasih atau kebaikan yang
biasa, tetapi kata ini seringkali muncul dalam konteks perjanjian (misalnya Kel
20:6; Ul 5:10; 2 Sam 22:51; 1 Raj 3:6). Dalam ungkapan yang lain, kata
khesed mengarah pada kasih di antara dua (atau lebih) pihak yang
berkomitmen untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian. Semua pihak
bersumpah untuk saling menjaga dan membantu serta melakukan tanggung-
jawab masing-masing. Itulah esensi dari sebuah perjanjian kuno.
Sayangnya, tidak semua memegang teguh sebuah perjanjian. Tatkala
bahaya dan kesusahan datang, banyak orang memilih untuk mengadakan
perjanjian dengan pihak lain lagi yang lebih menguntungkan. Tidak banyak
orang yang mau memilih kemiskinan demi kesetiaan (Ams 19:22). Ikatan kasih
tidak selalu benar-benar mengikat seseorang!
Tidak sulit mencari bukti bagi pernyataan di atas. Maraknya perceraian
di kalangan orang-orang Kristen menunjukkan bahwa sebagian orang telah
mengabaikan janji pernikahan di hadapan Tuhan dan jemaat. Banyak orang
meulapakan sebuah pelajaran penting bahwa kehebatan sebuah pernikahan
tidak dinilai dari kemesraan di fase awal, melainkan kesetiaan di fase akhir.
Di tengah dunia yang semakin merendahkan ikatan kasih sinilah
diperlukan kesetiaan (’emûnâ). Kesetiaan untuk berpaut walau dalam situasi
yang carut-marut. Kesetiaan untuk berpegang walau penderitaan
menghadang.
Kontras yang paling kentara dalam hal ini adalah TUHAN dan umat-Nya.
Bagi TUHAN, ikatan kasih diwujudkan melalui kesetiaan. Ia memiliki kasih
setia (Kej 24:27) dan berpegang pada perjanjian-Nya (1 Raj 8:23; 2 Taw 6:14).
Bahkan tatkala bangsa Israel menyimpang dari perjanjian, TUHAN tetap
menunjukkan kesetiaan-Nya (Mzm 130:7-8). Kesetiaan adalah bagian dari
sifat ilahi, sehingga Paulus dengan lugas berani berkata: “Jika kita tidak setia,
Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2 Tim 2:13).

3. KESETIAAN ITU PERLU DIBUKTIKAN


Terjemahan LAI:TB “menyebut diri” di bagian ini tidak sejelas kata Ibrani
qārā’ yang digunakan oleh penulis kitab Amsal. Kata ini lebih tepat
diterjemahkan “memproklamasikan” (mayoritas versi Inggris “proclaim”, kecuali
NIV “claim”). Maksudnya, qārā’ lebih mengarah pada pernyataan di depan
publik. Ini bukan hanya tentang perasaan atau penilaian seseorang terhadap
dirinya, tetapi perasaan atau penilaian yang diungkapkan di depan orang lain.
Makna ini sesuai dengan konteks perjanjian yang biasanya dilakukan secara
terbuka di depan para saksi.
Mengucapkan sumpah setia adalah satu hal. Melakukannya adalah hal
yang berbeda. Mengucapkan sumpah dilakukan di awal, menunjukkan
kesetiaan dilakukan dari awal sampai akhir. Pengakuan dan kenyataan
seringkali tidak sama. Janji dan realisasi seringkali tidak berteman.
Mengucapkan sebuah janji memang mudah, membuktikannya adalah
perkara yang sukar. Orang Amerika memiliki sebuah ungkapan yang bagus:
Talk is cheap (lit. “berbicara itu murah”). Tidak ada harga yang perlu dibayar.
Walk is expensive (lit. “melakukan itu mahal”). Diperlukan usaha. Ada harga.
Karena itu, kita perlu belajar untuk melakukan apa yang kita ucapkan (Walk
the talk).
Allah tidak hanya menuntut, tetapi juga menuntun. Ia tidak hanya
memberikan perintah, tetapi Ia juga melangkah. Ia melakukan apa yang Ia
perintahkan.
Pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib merupakan bukti
kesetiaan yang terbesar dalam sejarah. Ia datang ke dalam dunia dengan
sebuah misi ilahi, yaitu menyelamatkan orang-orang pilihan (Ef 1:4-5). Harga
mahal perlu dibayar untuk menuntaskan proyek ini. Kerendahhatian yang
ekstrim: dari surga yang mulia dan sempurna menuju salib yang begitu hina
dan nista. Kesusahan yang ekstrim: dari penderitaan jasmani (pukulan dan
cambukan) dan batiniah (dihina, diolok-olok, ditinggalkan murid-murid-Nya)
sampai rohani (ditinggalkan oleh Bapa-Nya). Kesetiaan yang ekstrim: setia
menanggung derita bagi orang-orang yang sudah terbukti tidak setia.
Berapa banyak janji yang sudah keluar dari mulut kita? Berapa banyak
yang sudah kita realisasikan? Kiranya kita dimampukan oleh Roh Kudus untuk
meneladani sifat Allah yang setia. Soli Deo Gloria.

Anda mungkin juga menyukai