Anda di halaman 1dari 36

DAFTAR ISI

BAB I GEREJA KATOLIK INDONESIA ZAMAN PORTUGIS


A. AWAL KEKUASAAN PORTUGIS.......................................................................................1
B. LATAR BELAKANG KEDATANGAN AGAMA KATOLIK............................................2
C. SANTO FRANSISKUS XAVERIUS DAN GEREJA KATOLIK DI MALUKU (1534-
1666).................................................................................................................................................5
D. GEREJA KATOLIK DI WILAYAH NUSANTARA SEBELUM DIUSIR OLEH VOC
(sampai akhir abad XVII)...............................................................................................................9
BAB II GEREJA KATOLIK INDONESIA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
A. MASA VOC-MASA GELAP (Abad ke-17 dan abad ke-18).................................................13
B. KEBANGKITAN KEMBALI UMAT KATOLIK.................................................................14
C. PERKEMBANGAN PESAT....................................................................................................21
BAB III GEREJA KATOLIK DALAM NEGARA INDONESIA
A. JALAN PANJANG MENUJU KEMERDEKAAN.............................................................27
B. GEREJA DI ZAMAN REVOLUSI......................................................................................30
C. GEREJA KATOLIK INDONESIA DI ZAMAN ORDE BARU........................................33

i
BAB I
GEREJA KATOLIK INDONESIA ZAMAN PORTUGIS

A. AWAL KEKUASAAN PORTUGIS


1. Tujuan pendirian Tarekat Kristus
Pada tahun 1317 raja Portugal Dionisius mendirikan organisasi yang dinamakan
“Tarekat Kristus” tarekat ini didirikan dengan tujuan:
 Membela iman kristiani
 Memerangi islam
 Memperluas kerajaan Portugal.
Tugas yang ketiga ini sering dianggap sama dengan memperluas Gereja Katolik. Akibat
dari kegiatan terekat ini, maka wilayah Portugal sudah jauh lebih dahulu merdeka dari
kekuasaan islam (Bangsa Arab dan suku Berber dari Afrika Utara) daripada Spanyol. Tarekat
Kristus dipimpin oleh Henrique yang berjasa mengurus armada Portugis yang kemudian
dijuluki ‘pelaut’. Walaupun ia sendiri tidak pernah naik kapal sebagai peserta ekspedisi hanya
sekedar mempersiapkan dan mengurus ekspedisi itu saja. Agaknya para pelaut naik kapal
dengan campuran berbagai motivasi.

2. Ekspedisi Portugis
Karena memandang uskup Roma sebagai penguasa tertinggi maka sejak semula
pemerintah Portugal berusaha mendapat restu dan persetujuan dari paus. Mula-mula paus
Calixtus (1455-1458) menyerahkan seluruh wewenang yurudiksi di wilayah yang dikuasai
Portugal kepada pemimpin besar tarekat. Akan tetapi setelah Henrique meninggal, wewenang
itu diambil alih oleh raja Portugal sendiri. Paus diam saja.
Ekspedisis Portugal dalam tahun 1486-1487 di bawah pimpinan Bertolomeus Diaz
berhasil mencapai ujung selatan Afrika, yang dinamakan Tanjung Topan, yang oleh raja
diubah menjadi ‘Tanjung Harapana’. Dalam tahun 1498 armada Portugis di bawah Vasco
da Gama mendarat di India. Pada tahun 1510 kota Goa ditaklukkan oleh Portugis dan
menjadi tempat kediaman raja muda Alfonso d’Albuquerque.
Dalam tahun 1511 kota Malaka yang telah menjadi pusat perdagangan yang ramai,
ditaklukkan Portugal. Perebutan kota Malaka dirayakan dengan pesta meriah sebab
dipandang sebagai suatu kemenangan yang gilang gemilang terhadap orang islam. Dalam
tahun 1512 untuk pertama kali orang Maluku kedatangan orang Portugis dan menjual
rempah-rempah langsung kepada mereka.

1
3. Portugal dan Spanyol Beradu kuasa
Dalam tahun 1439 raja Spanyol dan permaisuri, Ferdinan dan Isabella, meminta
kepada paus Alexander IV (1492-1503) yang adalah seorang Spanyol, agar wewenang
tertinggi atas semua wilayah yang baru saja ditemukan disebalah barat Eropa (benua
Amerika) diserahkan kepada kerajaan Spanyol. Permohonan itu disetujui oleh paus. Tindakan
paus bagaikan mengambil sebuah peta lalu menarik garis lurus dairi kutub utara ke selatan
melalui samudera Atlantik (Garis ini lebih dikenal dengan garis Alexander). Beliau
menyerahkan seluruh kawasan sejauh kira-kira 500 kilometer di sebelah barat kepulauan
Azores dan Tanjung Verde kepada raja Spanyol.
Keputusan ini ditentang oleh raja Portugis, terutama dalam kaitan dengan Brasil yang
dikuasai Portugal. Sesudah terjadi tawar menawar akhirnya terjadilah suatu kompromi yang
ditetapkan dalam perjanjian ‘Tordesillas’ pada tahun 1494. Menurut perjanjian itu raja
Portugal mengakui hak raja Spanyol di semua wilayah yang letaknya di sebelah barat Eropa,
akan tetapi ‘garis Alexander’ di geser sedikit ke barat; ke garis 370 mil dari Tanjung Verde,
sehingga Brasil tetap menjadi milik Portugal.
Wewenang tertinggi yang diberikan paus kepada raja Spanyol dan raja Portugal di
sebut ‘Hak Padroado’. Dalam garis besar hak padroado tersebut mewajibkan kedua raja
bersangkutan untuk:
1. Menyebarkan agama kristiani.
2. Menanggung para misionaris baik secara material meupun finansial.
3. Menunjuk calon uskup yang akan diangkat oleh paus.
Jika lebih diperinci lagi, maka hak Padroado menyangkut kewajiban berikut ini:
1. Merawat serta memperbaiki gedung seperti gereja, kapela, biara dan tempat gerejani
lainnya.
2. Menyediakan segala keperluan lembaga gereja beserta segala kebutuhan untuk kebaktian.
3. Memberi nafkah kepada semua petugas gerejani baik rohaniwan maupun awam.
4. Membangun gedung gereja yang baru seperlunya.
5. Mengangkat rohaniwan secukupnya guna pelaksanaan segala tugas pelayanan yang suci.

B. LATAR BELAKANG KEDATANGAN AGAMA KATOLIK


Bagian barat dari perjalanan perdagangan Asia Timur Eropa mengalami kerusakan
sejak permulaan abad XV. Suku-suku bangsa Turki menguasai Asia Barat dan sangat
mengganggu lancarnya perdagangan dengan memungut bea tinggi. Mereka terus berperang
sehingga jalan untuk kafilah-kafilah kurang aman lagi. Maka harga barang-barang mentah

2
dan rempah-rempah dari Asia itu membumbung tinggi dan di lain pihak permintaan semakin
meningkat.
Di ujung paling berat benua Eropa, suatu bangsa kecil, kurang lebih satu juta penduduk
pada pertengahan abad XIII baru mencapai kemerdekaannya yang penuh. Mereka sudah
dijajah selama ratus tahun oleh suku-suku Moor yaitu Arab dan Berber (Dari Afrika Utara).
Akibat perjuangan kemerdekaan itu timbullah semangat kepercayaan diri yang amat besar.
Bangsa Portugis, tidak mau tiggal miskin lagi, tetapi ingin mengambil bagian dalam
perdagangan yang dimonopoli sultan-sultan Ottoman dan kota-kota Italia Utara. Jalan melalui
daratan ditutup oleh kaum penjajah lama, sehingga mereka terpaksa mencari jalan lain. Kapal
laut yang kuat dan mampu berlayar jauh. Dengan rajin mereka mencari-cari jalan ke Asia
lewat benua Afrika. Pada tahun 1498 empat kapal Portugis di bawah pimpinan Vasco Da
Gama berhasil untuk pertama kalinya berlayar sampai ke kota Kalikut di India. Mereka
gembira ketika melihat kota pelabuhan itu penuh dengan barang-barang yang diinginkan.
Akan tetapi pedagang-pedagang Portugis menyadari dengan cepat, bahwa sebagian besar
perdagangan dipegang oleh saudagar-saudagar Arab, bangsa yang sudah lama menjajah
mereka.
Maka rasa permusuhan sejak dulu antara dua bangsa itu dipanaskan lagi oleh
persaingan untuk menguasai pusat-pusat perdagangan. Sebab perdagangan merupakan dasar
ekonomis dari kekuatan politis.
Kapal mereka lebih berdaya daripada perahu-perahu Arab dan India, dan siasat mereka
jauh lebih maju. Oleh karena itu, orang-orang Portugis dengan hanya berjumlah kecil berhasil
mendirikan benteng-benteng yang menguasai beberapa pelabuhan yang strategis letaknya.
Tak pernah mereka bermaksud atau mencoba menduduki suatu wilayah yang luas. Bagi
mereka yang penting adalah tempat tinggal dan gudang aman, pelabuhan dan pasar ramai.
Tetapi politik ini mau tidak mau mendapat tantangan yang hebat dari pihak yang
sampai sekarang mengontrol perdagangan: para saudagar dan sultan muslim dari berbagai
negara. Sebab, jalan niaga kuno yang lewat Laut Merah, Arabia atau Teluk Persia dan
berakhir di Laut Tengah itu dibelokkan oleh pelaut Portugis ke selatan yaitu lewat Afrika
Selatan dan Samudera Atlantik langsung ke Portugal. Maka Mesir bersama dengan beberapa
kesultanan lain dengan bantuan dari Republik Vinezia di Italia bersekutu untuk menyapu
bersih kapal-kapal Portugis dari Samudera Hindia. Tetapi armada kaum sekutu itu dikalahkan
di muka pantai Gujarat (Diu) pada tahun 1509. Sesudah itu Portugis merajai samudera-
samudera sampai mereka dikalahkan oleh Belanda dan Inggris dalam abad XVII.

3
Setelah Portugis menduduki beberapa pelabuhan di India dan mendirikan pusatnya di
Bandar Goa (1510) mereka mengutus kapal-kapal ke kota Malaka, supaya lebih dekat lagi
dengan sumber bahan yang dicari. Akibat pertentangan dengan sultannya, Malaka diserang,
diduduki (1511) dan dijadikan pusat perdagangan dan pangkal kekuatan Portugis. Banteng
“A Famosa” di Malaka diserang 25 kali dengan sia-sia oleh sultan-sultan Bintang, Johor,
Jepara dan Aceh dengan bantuan tentara alteri dari Turki. Sebab dari Malaka itu sebagain dari
perdagangan antar nusa dapat dikuasai dan dengan demikian mendatangkan kekayaan besar.
Hubungan antara Portugis dan kesultanan Sumatera, Jawa Utara, Maluku dan Melayu
sering tegang, karena rebutan pasar dan rempah-rempah. Peperangan-peperangan itu
beralasan ekonomis dan politis. Agama-agama mereka yang berbeda itu dicampuradukkan
dengan kepentingan duniawi. Hal itu jelas dari hubungan baik antara beberapa raja Hindu dan
sultan dengan Portugis. Jika perdagangan meskipun untuk sementara saja menguntungkan
kedua belah pihak, seperti hubungan Portugis dengan sultan-sultan Ternate (1513-1570),
Brunei (1524), Manten (1545), dan Tidore (1575).
Pertentangan ekonomi sering panas dengan mengobarkan perasaan keagamaan.
Sebenarnya yang saling bertentangan bukan dua umat beragama, tetapi dua golongan
pedagang yang kebetulan berlainan agama.
Meski pun demikian, perasaan keduabelah pihak sangat pelik. Banyak umat muslim
baru saja masuk agama itu dan dan orang Portugis belum lama membebaskan diri dari
penjajahan Arab. Tetapi sering pula terjadi, bahwa orang-orang dari suatu agama yang saling
menyerang dan bersekutu dengan kekuatan agama lain. Sultan Tidore misalnya mengundang
Spanyol yang beragama Katolik karena kecewa terhadap Portugis yang bersekutu dengan
musuhnya yaitu sultan Ternate. Belanda dengan bantuan sultan Johor mengusir Portugis dari
Malaka (1641).
Seperti pertentangan-pertentangan tersebut terutama tidak berdasar pada alasan-alasan
kebangsaan: raja Hindu Jawa dan suku-suku Batak mencari bantuan Portugis untuk melawan
sultan-sultan muslim dari bangsa yang sama. Demikian pula kerajaan Pajajaran mengundang
Portugis ke Sunda kelapa (1522) untuk membuat benteng dan membuka gudang. Akan tetapi
waktu Portugis datang kembali pada tahun 1527 sudah terlambat. Tempat pada muara
Ciliwung sudah diduduki oleh sultan dari Banten dan sesudahnya disebutkan Yacatra.
Kerajaan Pajajaran akhirnya dihancurkan total (1579) oleh sultan Penembahan Yusup dari
Banten yang membunuh seluruh keluarga raja Hindu. Hampir sama halnya dengan kerajaan
Hindu Panarukan di Jawa Timur.

4
Pelaut dan saudagar Portugis belum puas dengam menguasai Malaka, karena kota ini
pun bukan negeri asal barang-barang yang ingin mereka beli. Maka kapal-kapal dikirim ke
arah timur lagi yaitu ke Muangthai (1511-1512) dan akhirnya ke Macao-Tiongkok (1557).
Pada akhir tahun 1511 beberapa kapal Portugis membeli cengkeh dan buah pala dari pulau
Banda. Tahun sesudahnya sultan-sultan dari Ternate dan Tidore di Maluku menjual banyak
rempah-rempah kepada Portugis dan mengijinkan mereka mendirikan gudang di pulau-pulau
tersebut. Kedua sultan itu merupakan kepala dari dua macam persekutuan pulau-pulau yang
bermusuhan. Sultan Ternate memberikan monopoli pada Portugis, maka Tidore (antara 1521-
1545) mulai bersekutu dengan Spanyol yang datang melalui Samudera Pasifik. Di Ternate
(dan pulau di Ambon 1525 yang pada waktu itu tergantung dari sultan Ternate) Portugis
mendirikan banteng yang kuat (1522) yang dinamakan ‘SAO PAULO’.
Sebelum agama islam dan Katolik mulai muncul di pulau-pulau Nusantara ini, sudah
terdapat umat Kristen di kota Barus di pantai barat Sumatera yang oleh musafir Syeik Abu
Saleh al Amin dalam abad XII mengarang sebuah buku tentang gereja-gereja dan biara-biara
di benua Afrika dan Asia. Tentang Indonesia ia mencatatat: “FANSHUR” adalah kota yang
terkenal karena kapur barus yang datang dari situ; kapur barus ini mericik dari pohon. Di sana
terdapat banyak gereja, satu di antaranya adalah gereja bernama St. Maria Perawan Yang
Murni (Saidat al Adhar al Thaharat Martamiryam); seluruh jemaat Kristiani di sana masuk
Gereja Nestorian. Itulah umat Kristen yang tertua di Indonesia. Pada waktu itu kota Kedah,
Malaya, sudah terdapat pula umat Kristen Nestorian di bawah seorang uskup setempat. Pada
abad pertengahan beberapa misionaris Fransiskan dalam perjalanan ke daerah misi di
Mongolia dan Tiongkok singgah dan berdiam untuk sementara di pulau Sumatera dan
mempermandikan beberapa orang di daerah pesisir.

C. SANTO FRANSISKUS XAVERIUS DAN GEREJA KATOLIK DI MALUKU


(1534-1666)
Pada akhir bulan September 1545 penduduk Malaka dengan ramai berbondong-
bondong ke pantai. Dengan meriah dan gembira rakyat menyambut “Padre yang suci”.
Perbuatan-perbuatan baik dan ajaib yang dilakukan di India sudah tersebar sampai Malaka.
Fransiskus Xaverius, itulah nama padre termaksud itu hanya bermaksud singgah di Malaka
untuk mencari kapal yang dapat membawanya ke Makassar. Sebab di India ia mendengar
(1545) dari tiga pemuda Makassar dan dari seorang pastor yang membawa mereka ke India
itu, bawa daerah ini dapat ditobatkan dan memeluk agama Katolik jika seorang imam diutus
ke sana.

5
Selama tiga bulan di Malaka, Fransiskus menggunakan waktu untuk menyegarkan
akhlak dan kehidupan perkawinan penduduk-penduduk Malaka, yang sangat rendah akibat
kekayaan yang berlimpah-limpah. Dengan ramahnya Fransiskus menjadi sahabat Portugis
maupun rakyat Melayu yang menghormatinya sebagai orang saleh. Fransiskus berkotbah dan
dengan rajin mengajar orang-orang yang sudah lama tidak mendapat pemeliharaan jiwa yang
baik. Untuk mempersiapkan misinya, ia belajar bahasa Melayu dan menterjemahkan dengan
susah doa-doa penting dengan menambah keterangan sedikit-sedikit seperti doa Aku Percaya,
Doa Tobat, Bapa Kami, Salam Maria dan Sepuluh Perintah Allah.
Akhir Desember Fransiskus menerima kabar buruk dari Makassar, sehingga ia
mengubah rencana semula. Tentang kesulitan itu Fransiskus menyurati kawan-kawan se-
Serikat Yesuit di Goa-India.: “Dari Makassar kami menerima kabar yang tidak baik seperti
diharapkan. Maka saya tidak jadi pergi ke sana. Sekarang saya mempersiapkan perjalanan ke
Ambon. Di pulau itu sudah banyak orang Kristen dan ada harapan baik untuk bertambah lagi.
Kalau saya sudah sampai, saya akan menulis lagi: tentang pengalaman saya di Tanjung
Comorin dan Goa, Puji Tuhan- tentang Ambon dan kepulauan Maluku, tentang bagaimana
Allah dapat diabdi dengan paling tepat dan bagaimana agama kita berkembang di daerah
itu.....”
Pada hari pertama tahun 1546 Fransiskus berangkat dengan kapal dagang yang berlayar
melalui pulau Banda ke Ambon. Di pulau ini sudah terdapat beberapa kampung Kristen, yang
dikunjungi oleh Fransiskus. Fransiskus mempermandikan kira-kira 1.000 orang Ambon dan
mempersiapkan kedatangan imam-imam baru. Lalu ia berangkat ke Tarsus Ternate (Juli
1546).
Ternate pada waktu itu merupakan tempat karyanya, dengan penduduk asli dan orang
Portugis yang cepat panas hati dan rajin menikmati makanan, minuman, uang dan perempuan
seenak mungkin. Gubernur Antonio Galvao (1536-1540) untuk sementara saja berhasil
membangun administrasi yang adil dan lancar. Tapi pada waktu Fransiskus mendarat,
keadaan sudah memburuk lagi, tetapi ia tidak putus asa. Seperti biasa ia mengumpulkan
anak-anak, dan dengan ramah-tamah mendekati orangtua mereka yang tak berdaya melawan
kebaikan hatinya. Sultan Hairun dengan puluhan istrinya pun mengagumi orang saleh itu.
Beberapa orang dari keluarga sultan dan orang-orang bangsawan dipermandikan oleh
Fransiskus.
Setiap pagi Fransiskus berkotbah kepada saudagar-saudagar yang seluruh pikirannya
berpusat pada rempah-rempah dan wanita. Malam hari ia mengumpulkan orang-orang yang

6
berbahasa Melayu, dan mereka inilah yang dilatihnya baik-baik: mengerti dan menghafal
doa-doa, menyanyi dan cerita-cerita Kitab Suci.
Pada waktu panen cengkeh (8, 9, 1546) Fransiskus berlayar dengan sebuah perahu ke
pantai Halmahera dan pulau Morotai. Di pulau-pulau ini lebih dari 10 tahun sebelumnya,
beberapa kepala suku dengan 5.000 pengikut sudah dipermandikan oleh P. Simon Vaz OFM,
yang beberapa tahun kemudian 1235 dibunuh sebagai saksi iman. Situasi pulau ini sangat
gawat, akibat pertentangan antara kaum islam dan golongan yang tidak suka masuk islam dan
mencari perlindungan pada Portugis. Meskipun Fransiskus diminta dengan sengat untuk tidak
berlayar ke tempat berbahaya itu, namun ia tidak takut, karena terdorong oleh rasa kasih
sayang pada orang-orang Kristen yang terpencil. Anak-anak buahnya dari suku Melayu yang
berlayar dengan Fransiskus ikut mengajar penduduk pulau-pulau itu yang masih primitif.
Waktu misa pada hari raya Malaikat Agung Mikael (29 September) terjadi gempa bumi
besar yang hampir membalikkan altar. Sebelum Fransiskus pulang ke Ternate ia membawa
beberapa Katekis dan guru agama untuk meneruskan kerasulan, mempermandikan ribuan
orang dan membangkitkan kembali semangat umat Katolik yang sudah lama tidak dikunjungi
seorang imam.
Kembali dari perjalanan ini, Fransiskus masih bekerja keras di Ternate sampai sesudah
Paskah tahun 1547, ia mengarang sebuah buku Katekismus kecil dalam bahasa Melayu dan
membuka sekolah untuk anak-anak Portugis dan Pribumi.
Pada perjalanan kembali ke Malaka Fransiskus singgah lagi di pulau Ambon,
mendirikan gereja kecil, menobatkan banyak orang berdosa. Di kapal Fransiskus memelihara
orang-orang sakit dan mempermandikan pelaut-pelaut yang suka bertengkar. Waktu
Fransiskus mendarat di Malaka (Juli 1547), ia dijemput oleh tiga anggota Serikat Yesuit (SJ),
satu di antaranya Nikolaus Nunes, SJ yang masih muda dan belum ditahbiskan,
mengorbankan seluruh hidupnya untuk bekerja di pulau Moor; yang kedua ialah Ribero, SJ,
yang beberapa tahun kemudian di Ambon akan diracuni oleh orang-orang yang membenci
agama Katolik. Fransiskus terpaksa pulang ke Goa untuk mengurus kedatangan misionaris-
misionaris supaya Gereja yang muda itu dapat berkembang terus.
Situasi Gereja di pulau-pulau Maluku tak pernah tenang. Sultan Haerun dari Ternate di
satu pihak berhubungan dagang lancar dengan Portugis, di lain pihak membenci umat Katolik
asli maupun Portugis. Ia bermaksud mendirikan kesultanan, yang luas berdasarkan satu
agama saja, yaitu agama islam. Demi kekompakan itu ia merusakkan kampung-kampung
Katolik di mana-mana. Latar belakang peristiwa-peristiwa itu adalah permusuhan dengan
sultan Tidore yang jauh lebih toleran. Pada tanggal 1 Januari 1558 P. Alfonso de Castro, SJ,

7
dibunuh dengan kejam di pulau Hiri: 5 (lima) hari lamanya ia diikat pada haluan sebuah
kapal yang berlayar tanpa diberi makan dan minum. Selain itu, antara pelaut dan tentara
Portugis terdapat banyak orang jahat, yang dibuang dari tanah airnya. Mereka bertindak
sewenang-wenang Fransiskus sering mengeluh kepada raja Portugal dan mengancam orang-
orang yang sangat merugikan karya misi itu.
Pada suatu hari pedagang Portugis bertengkar mengenai cengkeh dengan sultan Haerun.
Lalu sultan dibunuh oleh komandan Diego Lopez (1570). Diego dihukum oleh raja Portugis,
supaya diserahkan kepada pengadilan rakyat Ternate. Meskipun demikian sultan baru, yaitu
Babullah menyerang banteng Sao Paulo, yang diserahkan sesudah dikurung selama lima
tahun (1575). Itulah permulaan mundurnya kekuasaan Portugis. Umat-umat Katolik di
seluruh kepulauan Maluku diserang, banyak yang dibunuh dan diusir. Meskipun berasama
dengan sultan Tidore dan Spanyol, Portugis masih berperang (sampai 1666), tak mungkin
lagi bagi misionaris memelihara umat secara teratur. Khususnya sejak VOC muncul di
Maluku (sejak 1605) umat Katolik didesak sampai tak diberi hak hidup lagi.
Di pulau Ambon perkembangan Gereja pada permulaannya maju dengan cepat, tetapi
akhinya dirusakkan dengan kekerasan pula. Pada tahun 1547 P. Ribero, SJ, mulai
melanjutkan karya Fransiskus dengan sukses besar. Tapi hasil yang baik itu membangkitkan
iri hati pengikut-pengikut sultan Ternate. Setelah mereka gagal membunuh imam itu dengan
membakar rumahnya pada malam hari, mereka mencampuri racun dalam makanannya. Pada
pagi hari tanggal 16 Agustus 1549 Pater Ribero merasakan racun dalam tubuhnya. Ia sadar
bahwa ia harus mati. Meskipun demikian, ia berkeliling selama tujuh hari dengan susah
payah dan akhirnya perlu dibawa dari desa ke desa. Imam yang sudah setengah mati itu
menguatkan orang-orang Katolik dan mempersiapkan mereka supaya bertahan dalam
penganiayaan yang akan datang. Dengan sangat menderita ia meninggal pada tanggal 23
Agustus dan dimakamkan dalam gereja Sta. Perawan Maria, yang didirikannya dengan susah
payah besar. Karena kebaikan hatinya, Pater Robero dicintai orang banyak dan ia berhasil
mempermandikan 2.000 orang dalam waktu dua tahun.
Sesudah perbuatan kejam itu (1549) umat di Ambon menderita sekali, karena sering
dianiaya oleh kaum islam yang bersekutu dengan Ternate dan Jepara (Jawa). Walaupun
demikian imam-imam bekerja dengan penuh semangat dan pengabdian besar, sehingga
berhasil mengumpulkan umat di Ambon dan pulau-pulau sekitar: Buru, Seram, Saparua, dan
Nusa Laut yang mencapai angka kurang lebih 30.000 anggota.
Akan tetapi di Ambon pun Gereja Katolik mengalami masa gelap. Pada tahun 1605
benteng Portugis di Lei Timor diserahkan ke Belanda, yang dibantu oleh kaum islam dari

8
Hitu (Bagian utara Ambon). Mesikipun Laksamana Belanda Steve vd. Hagnen secara tertulis
menjamin kebebasan agama, namun sesudah dua bulan imam-imam Katolik diusir semua.
Mereka terpaksa meninggalkan umat, gereja-geraja dan rumah sakit. Gereja-gereja dibongkar
olah oknum-oknum VOC, dan agama dibiarkan runtuh saja. Lama-kelamaan orang Katolik
terpaksa masuk Gereja Protestan, karena VOC tidak mengijinkan Gereja Katolik bergerak di
daerah kekuasaannya.

D. GEREJA KATOLIK DI WILAYAH NUSANTARA SEBELUM DIUSIR OLEH


VOC (sampai akhir abad XVII)
Meskipun kebencian sultan Ternate, kekejaman tentara Portugis dan kekerasa VOC di
banyak tempat menghambat perkembangan umat Katolik dan menjebol yang sudah ditanam
dengan cucuran keringat dan korban jiwa, namun dengan tak henti-hentinya mucul dan
bertumbuh jemaat-jemaat baru di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di pulau-pulau Solor,
Flores, Timor, juga Minahasa, Sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan, tak mungkin
menyebut sejarah Gereja di semua tempat itu secara terperinci. Hanyalah garis besar yang
akan digambarkan:
1. Nusa Tenggara
Dua kali setahun kapal-kapal Portugis dari Malaka berlayar ke pulau Solor untuk
membeli kayu cendana. Pada tahun 1559 beberapa orang awam berhasil mempermandikan
raja Solor dengan seluruh keluarga dan bangsawannya. Raja ini mengutus delegasi ke Malaka
untuk meminta kedatangan imam-imam dan putranya disuruh belajar di sekolah Serikat
Yesuit di Malaka. Tiga tahun sesudahnya datanglah tiga imam dari ordo Dominikan. Mereka
mendirikan biara, dua gereja dan sebuah seminari. Sesudah Portugis mendirikan benteng di
Solor umat bertambah besar, sehingga sekitar tahun 1606 mencapai kurang lebih 50.000
anggota.
Bagian timur pulau Flores juga dikunjungi imam-imam Dominikan, sehingga
Larantuka menjadi pusat umat Katolik. Kadang-kadang seperti dalam tahun 1565-1566 dan
1570 bajak laut dari pulau Jawa menyerang kampung-kampung Kristen dengan mendadak,
membakar, membunuh dan merampas. Pada tahun 1565 P. Pestana, OP, dibunuh dengan
kejam oleh mereka itu.
Akhirnya pada abad ke-16 tentara Portugis bertindak seenaknya, melakukan siksaan
dan memaksa rakyat Solor untuk kerja rodi. Pemuka-pemuka Solor telah bersepakat untuk
melampiaskan dendamnya atas perlakuan yang sangat tidak adil itu. Pada tanggal 12 Agustus

9
1598 pertumpahan darah terjadi: Bruder Melkhior gugur sebagai korban pertama. Orang-
orang lain melarikan diri.
Pemberontakan di Solor menjalar juga ke Timor dan Flores. Gereja Webalun dibakar,
imamnya dapat melarikan diri ke Solor. Akhirnya pemberontakan dapat dipatahkan dalam
tahuan 1599.
Tahun 1602 menyuramkan suasana si Flores lagi. Seorang putra Flores Amaquira
sangat loba kekuasaan. Ia berangkat ke sultan Goa/ Makassar, lalu menawarkan pulau-pulau
sekitar Flores, sultan bersedia mengirimkan satu angkatan laut dan Amaquira sendiri diangkat
menjadi raja muda. Usul itu diterima. Dengan segera diberangkatkan satu angkatan laut di
bawah pimpinan seorang murtad, bernama Don Juan. Perjalanan di arahkan ke Solor. Don
Juan tidak berani langsung menyerang, oleh karena pihak lawan terlalu kuat. Lalu dengan
anak buahnya ia berlayar menuju Sikka.
Di sana mereka menuntut kepada penduduk, agar menyerahkan imamnya beserta segala
orang-orang Portugis, dan juga supaya mereka membayar upeti, akan tetapi tidak bersedia
untuk menyerahkan imamnya. Lalu Don Juan mengusulkan agar mereka menjauhkan imam
itu dari kampungnya dan membakar gedung gerejanya. Usul ini pun ditolak. Sikka tidak
bersedia. Dengan gigih penduduk kerajaan ini mempertahankan iman serta kepercayaannya.
Pada tahun 1613 orang-orang Belanda mengusir Portugis dari Solor dan 1650 dari
Flores. Banyak umat Katolik mengusir ke Larantuka dan ke sebelah timur pulau Timor. Dari
tempat ini imam-imam Dominikan dan sekulir secara rahasia dan tidak tetap mengunjungi
dan memelihara umat, khususnya di daerah Larantuka dan Ende sampai pertengahan abad ke-
19. Di pulau Timor, raja Lifao dipermandikan (1641) dan pada tahun 1705 keuskupan
Malaka dipindahkan ke tempat itu juga.

2. Sulawesi
Di Makassar agama Kristen diperkenalkan oleh dua orang pemuda bangsawan
Makassar yang dipermandikan 1537 di Ternate. Sesudah pulang mereka dengan giat
memaklumkan Injil. Sejak pertengahan abad ke-16 umat Katolik berkembang dengan baik
dan mencapai jumlah 2.000 orang. Banyak gereja didirikan di kota Makassar dan juga di
pantai barat Sulawesi. Pada tahun 1661 sultan dari Makassar dipaksa oleh VOC untuk
mengusir semua orang Portugis, termasuk para imam. Banyak orang mengungsi ke Macao,
Flores dan Timor.
Di Sulawesi Utara Gereja Katolik mulai berkembang di Manado sejak tahun 1563. Di
daerah Minahasa, Bolaang, dan khususnya di pulau Siau dan Sangihe Besar umat Katolik

10
semakin besar, sehingga pada waktu imam Spanyol diusir VOC kurang lebih 29 persen dari
semua penduduk sudah menganut agama Katolik, termasuk raja-raja dari Manado dan Siau.
Rakyat Sulawesi Utara mencari perlindungan pada pihak Portugis dan Spanyol, yang
bermarkas di Filipina terhadap ancaman sultan Ternate (1563) dan VOC. Sebab, mereka tidak
mau menjadi islam. Selain itu mereka takut terhadap orang-orang Belanda, yang mau
memindahkan penduduk Siau secara paksa ke pulau Banda, supaya monopoli cengkeh dapat
diawasi dengan lebih ketat. Kurang lebih pada tahun 1680 karya misi terpaksa dihentikan
sama sekali. Tiga orang Yesuit ditangkap dan dibawa sebagai tahanan VOC ke Jakarta.

3. Sumatera
Di Sumatera kadang-kadang untuk sementara seorang imam berhasil berkotbah dan
mempermandikan beberapa ratus orang. Akan tetapi pengaruh kesultanan Aceh dan
kemudian kekuasaan VOC menghindari tumbuhnya suatu umat yang tetap. Pada tahun 1638
dua imam Fransiskan dan dua anggota ordo Karmel mengikuti suatu misi diplomatik dari
Malaka kepada sultan Aceh. Mereka semua dengan beberapa orang Portugis, langsung
dibunuh karena tidak mau murtad. Dua di antara mereka, yaitu Pater Dionisius, yang
bertahun-tahun bekerja sebagai ahli ilmu menggambar peta laut untuk raja Prancis dan
Bruder Redemptus dari ordo Karmel dinyatakan orang kudus oleh Bapa Suci pada tahun
1900. Pesta mereka dirayakan oleh umat Katolik Indonesia pada setiap tanggal 29 November.

4. Jawa
Di bagian timur pulau Jawa agama Hindu dapat bertahan lebih lama dari pada di bagian
lain pulau Jawa. Pada tahun 1579 tiga imam Yesuit mendarat di Jepara, yang satu berjalan
terus ke Penarukan Jawa Timur. Dua imam tinggal di kota pelabuhan dibunuh bersama
dengan semua awak kapal; yang ketiga disambut oleh raja Panarukan yang langsung
menghadiahkan tempat untuk mendirikan gedung gereja. Dengan suatu delegasi dari raja
Blambangan-Banyuwangi Pater Ferrari (nama imam yang berhasil lolos itu) pulang ke
Malaka untuk meminta misionaris, antara tahun 1585-1598 imam-imam Fransiskan bekerja
di Blambangan dan Panarukan dengan sukses yang memuaskan. Banyak anggota kraton
dipermandikan, pun juga seorang pendeta Hindu berkasta tinggi. Misi itu itu terpaksa
berhenti akibat serangan sultan Pasuruan yang menghancurkan tempat-tempat ibadah, lalu
seluruh daerah itu diislamkan.
Meskipun dalam abad ke-16 dan ke-17 agama Katolik disambut baik dan rela oleh
banyak suku di Indonesia khususnya di Indonesia Timur, Gereja diberi kesempatan untuk

11
berkembang secara aman tenteram. Suatu persekutuan yang aneh menghambat usaha
misionaris yang bekerja mati-matian untuk memuaskan hasrat rakyat yang sering memanggil
mereka. Persekutuan itu terdiri dari tiga unsur dari sultan-sultan islam mencurigai umat
Katolik sebagai sekutu Portugis, yang lebih mementingkan uang dan gila akan kekuasaan dari
pada memberi teladan yang baik sebagai orang Kristen awam sejati dan dari VOC yang
mengusahakan monopoli perniagaan dan agama. Akan tetapi korban-korban besar, termasuk
korban jiwa banyak imam dan umat tidak sia-sia. Pada saat kebebasan agama dijamin banyak
rakyat Indonesia menganut agama Katolik.

Rangkuman
Tarekat Kristus yang didirikan di Portugal dimaksudkan antara lain untuk memperluas
kerajaan Portugal, yang sering dianggap sama dengan memperluas Gereja Katolik. Dengan
armadanya yang kuat Portugis menjalankan ekspedisinya sampai Malaka. Malaka merupakan
tempat berpijak Portugis untuk menguasai pusat rempah-rempah dunia, yaitu Indonesia.
Dengan maksud untuk berdagang dan memperluas kekristenan Portugis mulai masuk
Indonesia. St. Fransiskus Xaverius merupakan tokoh penting dalam menumbuhkan Gereja di
Indonesia khususnya di sekitat kepulauan Maluku. Portugis berhasil memperkenalkan
kekristenan dan mengembangkan Gereja di Indonesia, bukan hanya di sekitar kepulauan
Maluku, tetapi juga dipelbagai pelosok Nusantara. Pertumbuhan Gereja menjadi semakin
surut ketika Belanda dalam hal ini VOC berhasil mengalahkan Portugis.

12
BAB II
GEREJA KATOLIK INDONESIA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

A. MASA VOC-MASA GELAP (Abad ke-17 dan abad ke-18)


Pada abad pertengahan urusan politik dan agama tak tak terpisahakan dengan jelas satu
sama lain. Bahkan urusan perdagangan dicampuri dengan agama, sampai agama dihambat
pada kepentingan niaga. Di Indonesia jalan niaga sekaligus merupakan jalan perambatan
agama-agama. Pada abad ke-17 Tuhan Yang Maha Tinggi sering dijadikan perlindungan
perniagaan, selama Ia berguna.
Gejala ini sudah kita jumpai dalam tingkahlaku beberapa sultan islam dan panglima
Portugis. VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), juga berbuat demikian sebagai
kekuatan yang ketiga. Sejak permulaan abad ke-17, VOC langkah demi langkah merebut
pengawasan atas seluruh perairan Nusantara. Compagnie atau serikat niaga itu bertindak
seakan-akan memiliki kedaulatan: mengurus hukum, perjanjian Internasional dengan raja dan
sultan, melaksanakan perang dan mencetak uang. Bahkan dalam bidang agama VOC
menganggap dirinya berwenang untuk “melarang” dan “mengijinkan” segala aktifitas
keagamaan sesuai dengan keuntungan perdagangan.
Karena saingan musuh utamanya adalah Portugis dan Spanyol, dua negara Katolik,
maka VOC yang dikontrol oleh saudagar-saudagar Belanda yang beragama Protestan,
melarang segala bentuk ibadah dan pelajaran agama Katolik. Para imam yang sudah bekerja
di wilayah-wilayah yang direbut VOC itu diusir, yang baru masuk diancam akan
dipenjarakan bahkan dihukum mati. Orang-orang Katolik Belanda tidak diijinkan beribadat
bersama atau menjabat posisi-posisi yang tinggi.
Seperti sudah diuraikan di atas VOC berhasil merebut pulau demi pulau dari Portugis.
Banteng demi banteng jatuh ke dalam tangan Belanda: Ambon (1605), Malaka (1641), Solor
(1646), Makassar (1667), Ternate (1683), kekalahan dan pengungsian orang Portugis
menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Katolik pribumi: Mereka takut akan tindakan
VOC dan sultan-sultan islam. Ketakutan itu memang beralasan: Pegawai VOC di mana-mana
mematikan karya-karya misi dan banyak sekali orang Katolik pribumi mencucurkan darah
akibat serangan-serangan kejam dari sultan-sultan.
Dari bagian Timor yang tetap di bawah kekuasaan Portugis mereka sesekali
mengunjungi dan menguatkan umat di Nusa Tenggara.

13
B. KEBANGKITAN KEMBALI UMAT KATOLIK
1. Perjuangan Demi Kebebasan Beragama (1807-1859)
Permulaan abad ke-19 membawa perubahan besar untuk Gereja Katolik di Indonesia.
VOC dibubarkan dan pemerintah Hindia-Belanda akhirnya mengakui kebebasan beragama
(1800). Gubernur H. W. Daendels (1808-1811) menerima instruksi (yang dikeluarkan oleh
raja Louis pada tanggal 09-02-1807), agar beliau mengusahakan supaya semua golongan
bebas untuk mengamalkan agama dan dapat menjalankan ibadat dengan teratur.
Undang-undang yang baru itu dikeluarkan sebagai akibat perubahan yang disebabkan
oleh Revolusi Prancis (1789). Keadaan itu menimbulkan harapan besar akan perbaikan nasib
umat Katolik. Dua abad penuh penganiayaan dan larangan yang baru lalu itu sangat
merugikan perkembangan Gereja. Namun, benih-benih yang ditanam dalam abad ke-17 tidak
mati seluruhnya.
Pembangunan kembali susah dan berjalan pelan, karena banyak halangan, halangan
terbesar adalah kecilnya jumlah imam. Sampai pertengahan abad ke-19 hampir tak pernah
lebih dari tujuh imam yang tersedia untuk seluruh wilayah Indonesia. Selain itu “kebebasan
beragama” yang baru itu belum bararti kebebasan penuh. Tergantungnya dari pemerintah
sangat kuat. Memang pemerintah menggaji beberapa imam; tetapi justru oleh karena itu
pemerintah menganggap dirinya berwenang untuk mengangkat, memindahkan dan
menghentikan para imam, seakan-akan mereka pegawai pemerintah belaka. Keadaan seperti
itu tidak sehat dan mau tak mau akan menimbulkan clash.
Pada tanggal 4 April 1808 dua imam Praja tiba di Jakarta dengan ijin pemerintah untuk
bekerja di antara orang-orang Katolik, yaitu pastor Nelissen dan pastor Prinzen pada hari
Minggu tanggal 10 April untuk pertama kalinya dirayakan Misa Kudus secara bebas dan
tanpa rasa takut akan hukuman.
Pada akhir tahun 1808 itu pastor Prinzen membuka paroki di Semarang, dua tahun
kemudian menyusul Surabaya. Untuk masing-masing kota, dengan daerah luas hanya satu
imam saja.
Kesulitan-kesulitan tersebut diperbesar oleh pendirian pemerintah Hindia-Belanda yang
hendak mengawasi setiap tindakan Gereja. Pada tahun 1830 kebebasan beragama dan
beribadah dijamin oleh pemerintah, “asal pelaksanaannya tidak mengancam ketenangan dan
ketertiban umum”. Anak kalimat dapat ditafsir seenaknya saja.
Clash pertama terjadi antara pastor J. H. Scholten yang menjabat Prefek Apostolik dan
pejabat Gubernur I. C. Baud. Pastor Scholten tidak setuju dan memang menurut hukum
Gereja, tak boleh membiarkan orang Katolik menjadi anggota perkumpulan Freemason dan

14
melakukan perkawinan campur tanpa memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Gereja.
Pastor Scholten mau menggugat Gubernur dipengadilan dan dibuang dari wilayah Hindia-
Belanda, karena ia bersikap “Kurang bekerja sama”. Akibat kejadian tersebut banyak
pegawai bersikap menentang kegiatan merasul para Imam.
Untuk mencari sebuah keputusan damai, maka pastor Scholten berangkat ke Roma dan
Belanda. Hasil pembicaraan adalah persepakatan antara Paus dan Raja Belanda, bahwa
daerah Indonesia dilepaskan dari Gereja di Belanda dan mendapat kepala tersendiri yang
berpangkat Vikaris Apostolik dan ditahbiskan Uskup. Sebagai Vikaris Apostolik yang
pertama dipilih: J. Groof yang mendapat tempat di Jakarta pada tanggal 19-04-1845.
Bersama dengan Mgr. Groof datang tiga imam baru yang mulai bekerja di Jakarta,
Semarang dan Surabaya. Di antara imam yang lama ada tiga orang yang berperilaku jelek,
maka uskup baru terpaksa menjatuhkan suspense (Tindakan mengnonaktifkan atau
membebastugaskan) dan menyuruh pastor-pastor baru supaya mengambil oper tugas mereka
untuk sementara. Kebijakasanaan Mgr. Groof ini ditentang keras oleh Gubernur, yang
menekan lagi bahwa pemerintah saja, yang berhak mengangkat dan membebastugaskan para
imam. Uskup berpegang teguh pada prinsip, bahwa uskuplah yang memiliki wewenang itu
dan sama sekali bukan Gubernur. Oleh karena itu Mgr. Groof dicap anti colonial, suka
merampas hak pemerintah colonial dengan menentukan tugas para imam dan akhirnya
bermaksud “membebaskan Gereja sama sekali dari kontrol pemerintah”. Memang, uskup
menentang “hak” pemerintah untuk mencampuri urusan internal Gereja. Situasi menjadi
semakin panas.
Pada bulan Januari 1846 Mgr. Groof dilarang melaksanakan tugasnya sebagai uskup
dan memerintahkan untuk meninggalkan Hindia-Belanda bersama dengan empat imamnya
yang setia itu dalam waktu dua minggu. Uskup menjelaskan semua urusan, tetapi tidak
menarik kembali suspensasi terhadap tiga pastor yang tingkalakunya kurang baik, meskipun
pemerintah menugaskan mereka untuk bekerja terus. Akibatnya: di seluruh pulau Jawa tak
ada seorang imam pun lagi yang bekerja dengan sah. Hanya di Padang, pastor Staal masih
sempat bekerja satu tahun sebelum ia dibunuh pelayannya. Jadi pada tahun 1847 seluruh
Indonesia kosong sama sekali dari imam.
Perjuangan Mgr. Groof tidak sia-sia: pada tahun 1847 tercapai kesepakatan resmi
antara Paus dan Pemerintah Belanda yang pada pokoknya berisi: Para imam diangkat oleh
uskup, yang sebelumnya dirundingkan dahulu dengan Gubernur, apakah orang yang
bersangkutan itu berbahaya untuk “ketenangan dan keterlibatan” (rust en orde) setempat
atau tidak. Kalau Gubernur menganggap orang itu baik, maka mendapat gaji dari pemerintah.

15
Lalu, hanya uskuplah yang mengontrol keuangan Gereja. Sejak waktu ini Gereja Katolik di
Indonesia terpisah dan bebas dari pemerintah secara administrasi. Gereja berdaulat untuk
mengatur kehendaknya sendiri. Hanya beberapa usaha diberikan sudsidi oleh pemerintah.
Atas kebebasan yang kokoh itu berlangsunglah perkembangan selanjutnya.
Pada permulaan tahun 1848 Vikaris Apostolik yang baru, Mgr. P. M. Vrancken, mulai
membangun kembali organisasi Gereja. Ia dibantu oleh lima imam praja yang ditempatkan di
Jakarta, Semarang dan Padang. Pada waktu itu terdapat kurang lebih 9.000 orang Katolik
yang dibagi-bagi atas wilayah Indonesia yang luas sekali. Maka beberapa pastor sering
berkeliling untuk mengunjungi umat yang berpencar, khususnya di daerah Malaku,
Minahasa, Kalimantan dan Sumatera.
Makin lama makin jelas, bahwa Gereja tak dapat berkembang baik, kalau tenaga-tenaga
rohaniwan tetap kecil; Mgr. Vrancken berangkat ke Roma dan ke negri Belanda untuk
mencari sumber tenaga baru dan tetap. Maksud ini berhasil baik dan sangat mempercepat
perkembangan Gereja: Pada tahun 1856 datang tujuh suster Ursulin (OSU) dan mendirikan
Biara yang tertua di Indonesia: Susteran S. Ursula di Jl. Nusantara-Jakarta. Empat tahun
kemudian (1859) mendapat dua pater Yesuit (SJ) untuk mengambil oper Paroki Surabaya
(yang pada tahun 1923 diserahkan kepada para imam lasaris).
Pembantu-pembantu dari golongan rohaniwan itu diperbesar dengan kedatangan empat
bruder pertama (1862), yaitu konggregasi St. Aloysius (Van Oundenbosch). Mereka
membuka sekolah untuk anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan. Kelak bersama dengan
ratusan bruder dan suster dari konggregasi-konggregasi lain, mereka semua itu membangun
sistem sekolah dan rumah sakit Katolik, yang bermutu tinggi dan merupakan sumbangan
amat berharga untuk perkembangan bangsa dan Gereja.
Dengan kedatangan pembantu-pembantu tersebut telah diletakkan dasar yang kokoh
kuat untuk perambatan Gereja Katolik yang pesat. Pada saat Konsili Vatikan I (1870)
berakhir, Gereja Katolik di Indonesia sudah siap untuk memulai babak baru: meluas ke
seluruh kepulauan Nusantara. Pada waktu itu yang bekerja hanya 15 imam (di antaranya 10
Yesuit), telah dibangun sembilan gereja, 4 sekolah Susteran serta 1 sekolah Bruderan.
2. Umat Katolik Berkembang Cepat
Perjuangan sengit demi kebebasan bergerak, berakhir dengan diletakkannya landasan
sehat untuk perkembangan Gereja dalam masa mendatang. Dengan bertambahnya tenaga,
para misionaris mampu membawa Wahyu Illahi kepada daerah, pulau dan suku yang belum
mengenal Almasih dan Kabar Gembira mengenai Cinta Kasih Allah Bapa. Dalam
menjalankan usaha penginjilan itu dapat dibedakan dua tahap:

16
a. Nusantara merintis jalan ke segala penjuru (dari Aceh ke Irian Barat)
Upaya agama Katolik di Nusantara mengalami banyak hambatan antara lain sulitnya
medan, terbasnya transportasi dan berkembangnya banyak penyakit. Di samping itu juga iri
hati dari golongan lain, acuh-tak acuh dari golongan Katolik dan sikap pemerintah yang lebih
mengutamakan kepentingan dagang yang sering kali menghalangi kemajuan Gereja.
Suatu alat yang digunakan pemerintah untuk menyempitkan kebebasan bergerak dari
Gereja adalah pasal 123 dari “Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch-
Indie” yang ditetapkan pada tahun 1854. Atas dasar pasal tersebut (juga ditetapkan pada
tahun 1925 menjadi pasal 177 dari Indische Staatsregelling”) Gereja Katolik sering dihalang-
halangi untuk memberi pelayanan tetap pada putra-putranya di daerah, yang dianggap milik
Zending atau agama lain (Misalnya agama Hindu-Bali). Pemerintah dan sementara golongan
tidak tahu kalau dalam daerah yang sama terdapat dua umat Kristen berkembang, karena
takut “rust en orde” akan diganggu.
Tiga puluh tahun terakhir dalam abad ke-19 itu penuh dengan usaha mencari tanah
subur untuk benih Sabda Ilahi. Ada usaha yang gagal, ada yang harus dihentikan untuk
sementara, dan ada pula memberi harapan kelak. Akhir abad yang lalu bagi Gereja di
Indonesia merupakan masa mencari pulau dan suku mana yang siap dan rela menerima Injil.
Jalan masih gelap, tenaga sangat terbatas apalagi wilayah sangat luas.
b. Pembagian Kerja
Dalam tahun 1875 seluruh wilayah Nusantara diserahkan kepada Serikat Yesuit (SJ)
sebagai daerah kerasulan. Meskipun tenaga-tenaga Serikat Yesuit bertambah dengan cepat
sejak tahu 1859, sehingga pada tahun 1884 sudah sampai 29 imam serta 6 bruder, namun
belum memadai. Sebab umat-umat baru yang memerlukan seorang imam tumbuh lebih cepat
dari abad ke-19, telah didirikan lagi beberapa paroki tetap, yakni di Makassar (1892),
Tomohon-Sulaweisi Utara (1890-an) dan di pulau Jawa di kota Madiun, Malang serta
Muntilan (1897).
Banyak orang Jawa menganut agama Katolik secara besar-besaran. Ladang yang sangat
subur itu menuntut banyak tenaga penabur. Di tempat-tempat yang berjauhan satu sama lain,
timbullah umat baru yang mengharapkan gedung ibadat, sekolah dan pemeliharaan badan
serta jiwa. Maka tidak mengherankan, bahwa Serikat Yesuit dan Uskup Jakarta meminta
pembantu-pembantu dari serikat dan Ordo lain, supaya seluruh umat dapat dilayani dengan
labih teratur.
Karena perkembangan pesat iru, untuk sementara beberapa stasi dan paroki terpaksa
ditinggalkan atau ditutup: untuk 5 tahun, Laora di Sumba untuk 31 tahun, Tanjung Sakti

17
untuk 3 tahun, Singkawang untuk 9 tahun, Nanga Sacaram untuk 7 tahun, Makassar 3 tahun.
Maka kedatangan pembantu-pembantu baru disambut dengan baik:
1) Pada tanggal 1 Januari 1904 seorang imam Yesuit di desa Langgur, Kei menyerahkan
seluruh parokinya yaitu kepulauan Halmahera, Seram, Ambon, Kei, Aru, dan Tanimbar
bersama dengan seluruh Irian Barat kepada imam-imam dari Konggregasi Misionaris Hati
Kudus (MSC). Dengan bantuan banyak pulau Kei dan Tanimbar, pada tahun 1914 di
kepulauan Kei umat Katolik mencapai 4.298 anggota.
Peraturan: berdasarkan pasal 123 (177) dari pemerintah yang mementingkan momok “rust
en orde”. Para Misonaris Hati Kudus sampai tahun1927 hanya boleh bekerja di bagian
selatan Irian Barat. Sejak tahun 1937 putra-putra St. Fransiskus (OFM) membantu mereka
menuai panen yang berlimpah itu. Jumlah umat Katolik pada tahun 1940, mencapai
120.000 anggota, artinya sepuluh kali lipat lebih.
Sekarang yang mulai dengan sangat sederhana ini, meliputi keuskupan Amboina dengan
pusat di Tual/ Kei dan keuskupan Agung Merauke (1950 MSC), dengan tiga keuskupan
anggota, yaitu: Jayapura (1949 Fransiskan/ OFM), Manokwari (Agustin/ OSA), dan
Agats (1969, Ordo Salib Suci/ OSC).
2) Pembagian kedua terjadi satu tahun sesudahnya: seluruh Kalimantan diserahkan kepada
Ordo Saudara-saudara Dina Kapusin. Pada waktu itu (1905) hanya 300 0rang Katolik di
bagian Barat.
Para Misionaris mulai bergerak dari kota-kota pantai dan muara-muara sungai besar.
Penduduk kota biasanya orang Melayu yang beragama islam dan orang Tionghoa yang
sebagian suku menganut agama Katolik. Banyak anggota suku yang tinggal jauh dari
pantai dan sukar dikunjungi itu, meganut agama Katolik. Maka 25 tahun kemudian daerah
itu perlu dibagikan lagi dengan menyerahkan wilayah Kalimantan Selatan dan Timur
kepada Misionaris-misionaris Keluarga Kudus (MSF). Sekarang di Kalimantan terdapat
Keuskupan Agung Pontianak (1905, OFM Cap) dengan keuskupan-keuskupan
Banjarmasin (1938, MSF), Sintang (1948, Serikat Maria Monfortan, SMM), Ketapang
(1954, Konggregasi Pasionis, CP), Samarinda (1955, MSF), dan Prefektur Apostolik
Sekadau (1968, CP).
3) Pembagian wilayah kerja berjalan terus: tahun 1911 seluruh pulau Sumatera dengan
kepulauan Riau, Bangka dan Belitung diambil alih oleh imam-imam Kapusin juga.
Mereka menduduki paroki Padang, Pante-Pira/ Aceh, Medan, Tanjung Sakti serta Sungai-
selatan dan semua imam Yesuit ditarik kembali ke pulau Jawa.

18
sejak tahun 1831 penyebar-penyebar Injil Protestan bekerja dengan hasil baik di daerah
suku Batak, satu-satunya suku Sumatera yang belum di islamkan seluruhnya, bahkan
sebagian besar menolak menganut agama itu, karena didesak oleh suku Aceh dari Utara
dan suku Minangkabau dari selatan, dua suku yang benar-benar islam. Selain dari suku
Batak terdapat banyak orang Katolik di Sumatera dari suku Nias, Jawa, Tionghoa, Flores
dan Timor. Sekarang pulau harapan itu merupakan sebuah keuskupan Agung yakni
Medang (1911, OFM Cap), dengan 5 keuskupan, yaitu: Palembang (1923, Imam-imam
Hati Kudus Yesus, SCY), Yesus dan Maria, SS, CC yang bekerja di Bangka Belitung
serta kepulauan Riau), Padang (1952, Konggregasi St. Fransiskus Xaverius untum
perkembangan iman, SX), Tanjung Karang (1952 SCY), dan Sibolga (1959, OFM Cap).
4) Pada tahun 1909 Serikat Sabda Allah (SVD) meminta, supaya diberikan wilayah kerja.
Tiga tahun kemudian diserahkannya, seluruh Nusa Tenggara, kecuali Flores yang diambil
oper baru pada tahun 1914. Dengan demikian bagian yang paling subur dengan jumlah
umat dan sekolah Katolik yang paling banyak itu diserahkan kepada serikat yang baru itu.
Bagi imam-imam yang sudah lama bekerja di antara umat yang semakin banyak
berkembang itu, meninggalkan Flores merupakan suatu pengorbanan yang besar. Akan
tetapi Serikat Sabda Allah memiliki banyak tengga untuk menunjukkan perkembangan
yang sudah siap itu. Sejak waktu itu umat Katolik di pulau-pulau tersebut bertambah
jumlahnya dari hampi 35.000 orang sekarang ini menjadi lebih dari 1 juta.
Vikaris Apostolik Sunda Keil, yang didirikan 1913 berkembang cepat, sehingga sekarang
menjadi suatu Keuskupan Agung, yaitu Ende dengan 6 keuskupan yaitu: Atambua
(1936), Denpasar (1950), Ruteng (1951), Larantuka (1951), Wetabula (1959), serta
Kupang (1967). Semua keuskupan itu diselenggarakan oleh Serikat Sabda Allah kecuali
keuskupan Wetabula (wilayah Sumba dan Sumbawa) yang sejak 1957 dipelihara oleh
Konggregasi Penebus Yang Maha Kudus (C.SS.R).
5) Selain pulau Jawa hanya Sulawesi saja yang masih termasuk Keuskupan Induk Jakarta.
Tapi di bagian utara pulau itu perkembangan umat maju dengan cepat, sehingga perlu
dijadikan suatu wilayah tersendiri pula. Pada tahun 1919 tiga imam Yesuit menyerahkan
paroki Makassar, Manado, Tomohon, Woloan dan Taratara kepada Misionaris Hati
Kudus (MSC). Oleh karena di bagian selatan setelah perang dunia II umat Katolik
wilayah Toraja berkembang makin hari makin banyak, maka diadakanlah pembagian lagi:
Keuskupan Agung Makassar (1937, Konggregasi Hati Maria Yang Tak Bernoda/ CICM)
untuk propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara dan Keuskupan Manado (1919, MSC)
untuk Sulawesi Utara dan Tenggara.

19
6) Akhirnya tinggal pulau Jawa saja sebagai wilayah keuskupan Jakarta. Tetapi pulau itu
masih terlalu luas. Pada banyak tempat masih terdapat banyak umat Katolik, sehingga
perlu pembagian kerja dan banyak tenaga baru. Selain Konggregasi-konggregasi dengan
anggota dari dalam maupun luar negri, timbullah barisan baru, yaitu imam-imam praja
atau sekulir. Keuskupan semakin besar sehingga dapat mengambil oper banyak paroki,
jabatan-jabatan pusat rohani dan tugas-tugas lain. Dengan demikian tercapailah taraf
perkembangan yang sudah dinanti-nantikan dari permulaan dan semestinya terjadi. Di
pulau Jawa sekarang ini terdapat 63 imam praja, khususnya Keuskupan Agung Semarang
yang sejak tahun 1964 dipimpin oleh Uskup Agung Yustinus Darmoyumoyo, Pr., yang
diangkat Paus Paulus VI sebagai Kardinal Indonesia pertama pada tahun 1967. Tapi
sudah mendahulukan hal-hal yan belum terjadi pada dua puluhan abad:
Pada tahun 1927 bagian paling timur dipercayakan kepada Paderi-paderi Karmelit
(O.Carm) yang berpusat di Malang. Satu tahun kemudian (1928) diadakan wilayah baru
yang berdiri sendiri yaitu Surabaya yang sejak tahun itu dikerjakan oleh Konggregasi
Misi (CM). Dua keuskupan tersebut sekarang melayani umat Katolik di Jawa Timur. Di
Jawa Tengah Misionaris-misionaris Hati Kudus sejak tahun 1928 bekerja di Purwokerto,
Tegal dan Purworejo. Pada tahun 1932 daerah itu dilepaskan dari Jakarta menjadi wilayah
tersendiri. Di Jawa Barat diadakan pula pembagian, sehingga sekarang terdapat
keuskupan Bandung (1932, OSC) dan Bogor (dulu Sukabumi: 1948, OFM).
Akhirnya wilayah Keuskupan Jakarta meliputi hanya daerah kota dan sebagian dari Jawa
Tengah. Akan tetapi sebelum Perang Dunia II, karena hubungan antara dua bagian sulit,
Semarang pada tahun 1940 diberikan Uskup tersendiri, yaitu Mgr. A. Soegijapranata, SJ
(1940-1963), uskup asli dari Indonesia yang pertama. Kejadian ini amat penting bagi
umat Katolik dalam mengatasi kesulitan-kesulitan waktu pendudukkan Jepang dan
Perjuangan Kemerdekaan 1945.
Meski wilayah Jakarta menjadi semakin kecil perkembangan umat, sistem pendidikan dan
organisasi Katolik tidak kalah dengan daerah lain. Pada tahun 1965 hanya terdapat 2.115
orang Katolik di Jakarta dan sebagian besar mereka pegawai dan tentara Belanda. Pada
tahun 1828 dibangun gereja pertama yang runtuh pada tahun 1890, sehingga harus
dibangun sebuah Katedral baru (1901) yang sekarang masih merupakan gereja tertinggi di
ibu kota. Pada tahun 1920 didirikan paroki kedua, yang gerejanya diberkati setahun
sesudahnya, yaitu gereja Hati Yesus Yang Maha Kudus di Kramat. Paroki ini dengan
rumah yatim piatu Vincentius dan beberapa sekolah Katolik yang besar diserahkan
kepada imam-imam Fransiskan (OFM). Pembagian itu berjalan terus, sehingga sekarang

20
ini terdapat 22 paroki yang dikerjakan oleh imam dari 8 Konggregasi (Yesuit sejak 1879,
Fransiskan sejak 1931, Kapusin sejak 1966, CICM sejak 1968, MSF sejak 1969, dan
Xaverian sejak 1970).

C. PERKEMBANGAN PESAT
Sesudah Gereja Katolik memperoleh kebebasan bergerak, mengadakan konsolidasi dan
menyusun organisasinya sendiri, perkembangan berjalan semakin cepat. Usaha manusia,
kerelaan untuk mendengar Kabar Gembira diberkati Allah dengan Anugerah yang berlimpah-
limpah dan bimbingan penyelenggaraan-Nya.
1. Flores Pulau Katolik
Daerah yang diambil oper oleh Serikat Sabda Allah (SVD) pada tahun 1912-1914
meliputi pulau Flores, Solor, Adonara, Lembata, dan Belu di pulau Timor. Daerah-daerah
lain khususnya Bali, Lombok dan Sumbawa atas dasar “pasal 123” merupakan wilayah
terlarang sampai tahun tiga puluhan abad ini. Sampai akhir Perang Dunia I tenaga dan
fasilitas Serikat Sabda Allah masih kurang, sehingga beberapa imam Yesuit meneruskan
kerasulan di pulau Flores (sampai 1920). Baru sesudah itu permintaan umat yang setiap tahun
bertambah di banyak tempat dapat dipenuhi, yaitu dengan mendapatkan seorang imam tetap
di tengah-tengah mereka. 29 misionaris Jerman, yang terpaksa meninggalkan Afrika akibat
Perang Dunia I mulai bekerja di Nusa Tenggara. Pusat misi dipindahkan dari Larantuka ke
Ende, Flores Tengah, supaya daerah tengah dan barat dapat dikerjakan dengan lebih baik.
Stasi demi stasi dibuka, khususnya bila mana sebuah sekolah sudah merintis jalan.
Jumlah sekolah yang diselenggarakan oleh Gereja bertambah dengan cepat, sehingga
pemerintah, yang tidak mampu mengerjakan system itu menyerahkan kepada Gereja. Dalam
jangka 4 tahun (1915-1919) angka sekolah (35 menjadi 70), guru (70 menjadi 158) dan murid
(3.000 menjadi 6.300) berlipat kali dua. Pada tahun 1924 di kota Ende didirikan sekolah
pertukangan St. Yosef dan tahun berikutnya ditambah dengan cabang, yang sampai sekarang
ini terkenal dengan nama Percetakan Arnoldus. Pada tahun 1929 didirikan rumah sakit
Katolik di Lela, yang diselenggarakan oleh para Suster Abdi Roh Kudus, yang mengurus juga
rumah sakit di Ende (1930).
Penduduk Nusa Tenggara siap dan rela untuk menerima Sabda Ilahi asal mereka bebas,
tampak jelas dari kemajuan yang tercapai pada perayaan pesta perak misi SVD pada tahun
1938: umat berlipat ganda menjadi 10 kali dari 30.000 menjadi 300.000, jumlah imam naik
dari 5 menjadi 107. Perkembangan ini sungguh luar biasa. Pada bulan Agustus 1929 dibuka
sebuah paroki di pulau Sumba, setelah pemerintah menghalanginya selama puluhan tahun.

21
Gereja sudah begitu berakar dalam hati, sehingga kesukaran waktu pendudukan Jepang tak
dapat menggoyahkannya.
2. Jawa Tengah Mulai Berakarnya Gereja
Permulaan misi di Jawa Tengah mengalami kegagalan. Jalan-jalan Allah memang lain
daripada pikiran manusia. Pada tahun 1882 Paroki Semarang mulai diurus oleh imam-imam
Yesuit. Jumlah orang Jawa yang sudah beragama Katolik kecil sekali. Atas dorongan seorang
pendeta Protestan dari Ambarawa beberapa orang katekis bersama dengan sejumlah orang
desa berganti agama menjadi Katolik (1894). Akan tetapi sebagian besar katekis-katekis itu
kurang jujur dan terpaksa dipecat. Akibatnya, bersama dengan pengikut-pengikutnya mereka
meniggalkan agama (1897). Peristiwa yang mengecewakan itu mempunyai akibat penting.
Terdorong oleh harapan, bahwa gerakan tersebut dapat merupakan permulaan
perkembangan yang sudah lama dinantikan, tiga imam dengan rajin mulai mempelajari
bahasa Jawa. Di antara mereka itu terdapat: P. Fransiskus Van Lith (1863-1926), yang pada
tahun 1896 mendarat di Indonesia. Pada tahun 1897 ia membeli rumah dengan tanah luas di
Muntilan dan tinggal di sana di antara orang-orang Jawa. Baru pada tahun 1903 Uskup dari
Jakarta dapat memberikan Sakramen Penguatan kepada 90 orang Muntilan.
Pada tahun 1904, Rm. Fransiskus Van Lith menerima tamu utusan penduduk daerah
pegunungan Kali Bawang. Para tamu memohon agar room sudi memberi pelajaran agama di
desa-desa mereka. Romo sanggup lalu diantar dari desa ke desa. Dari keramahan Romo Van
Lith, dari kesudiannya menerima jamuan dengan lahap dan dari tutur sapanya, dia segera
memperoleh simpatik dari penduduk, 168 di antaranya dipermandikan, setelah cukup
menerima pelajaran agama. Untuk menyambut peristiwa besar itu dipilihlah suatu tempat
keramat. Di daerah itu terdapat “Sumber Suci”. Tempat orang Jawa bersemedi. Di sanalah
mereka dibawa dan dipermandikan (15 Desember 1904). Dengan demikian dua hal sekaligus
terpenuhi: menyucikan 168 orang dan menguduskan tempat keramat itu. Kelak tempat itu
dipersembahkan kepada St. Perawan Maria dan menjadi tempat ziarah serupa Lourdes.
Sementara itu, beberapa orang dari Kali Bawang pindah ke daerah Jember. Mereka
mempertahankan agama yang dianut itu dengan baik, meskipun hampir 20 tahun lamanya
tidak bertemu dengan seorang imam (1925). Demikianlah mereka menjadi inti suatu umat
yang baru dan luas di Jawa Timur.
Sejak tahun 1904 dibuka beberapa sekolah Pendidikan Guru, maksud Romo Van Lith
adalah untuk membina guru yang sungguh-sungguh beragama Katolik dan mampu mengajar
dengan baik di sekolah negri, supaya mereka di tengah-tengah lingkungan bukan Katolik
bergerak sebagai perintis Injil. Tujuan pendidikan itu: manusia yang berkepribadian Katolik,

22
bersemangat merasul dan memberikan teladan hidup yang baik dan memiliki pengetahuan
yang bermutu. Sekolah-sekolah di Muntilan berhasil mendidik rasul-rasul awam yang tahan
uji dalam menghadapi masa yang sulit.
Pada tahun 1911 sesudah lebih daripada 10 tahun berusaha keras di seluruh Jawa
Tengah baru terdapat 1.130 orang Katolik, 650 dari antara mereka tinggal di Muntilan. Pada
tahun itu juga 4 siswa lulus ujian tamat sekolah guru. Dua di antaranya mereka itu diminta
supaya boleh menjadi imam. Mereka mendapat pelajaran bahasa Latin secara diam-diam,
sesudah selesai mengajar di sekolah, karena biasanya ijinkan menjadi imam. Baru dalam
tahun 1913 dibuka Seminari Menengah secara resmi. Dari 6 siswa yang masuk antara tahun
1911-1914 dua meninggal dan tiga menjadi imam yaitu: Romo F. Santiman (1926), A. Joyo
Saputro, serta A. Prawiropratomo berangkat ke Eropa untuk melajutkan studi. Tahun
berikutnya mereka masuk novisiat Serikat Yesus. Suatu hasil yang betul-betuk cepat!
Sebelum romo Van Lith meninggalkan Muntilan (1921) sudah banyak inisiatif yang
lahir di kota itu: tahun 1914 didirikan “Katolik Wandawa sebuah perhimpunan sosial, empat
tahun kemudian terbit mingguan “Swara Tama” dalam bahasa Jawa. Pada tahun yang sama
itu diadakan pula konggregasi Maria untuk siswa-siswa dan juga Yayasan Kanisius untuk
mengurus ratusan sekolah. Pada tahun 1915 dari Muntilan diselenggarakan pewartaan Injil ke
Yogyakarta, yang sampai pada waktu itu hanya mempunyai kurang dari 100 orang Katolik
Jawa. Tiga tahun kemudian dibuka Gereja tersendiri untuk orang-orang berbahasa Jawa.
Muntilan memberi banyak sumbangan kepada Gereja Indonesia: ratusan guru Katolik,
bapa-bapa yang mendirikan keluarga-keluarga Katolik (sering dengan putri bekas murud
susteran Mendut) yang banyak menyerahkan anak mereka kepada seminari dan novisiat-
novisiat. Meskipun gedung-gedung Muntilan dibakar pada tahun 1948, “semangat Muntilan”
tetap berkobar dalam banyak hati rasul awam dan rohaniwan.
3. Umat Katolik Keturunan Tionghoa
Di seluruh kepulauan Nusantara, khususnya di kota-kota besar, telah lama terdapat
orang-orang keturunan Tionghoa. Berlainan dengan orang-orang keturunan Arab, yang
memang peranan kuat dalam agama dan masyarakat sejak kedatangannya di Indonesia,
golongan keturunan Tionghoa berangsur-angsur memeluk agama Kristen baik Protestan
maupun Katolik. Karena Gereja Katolik tidak mengenal pembagian umat menurut suku atau
bangsa, maka mereka diintegrasikan sama sekali ke dalam struktur organisasi Gereja yang
biasa.
Sekolah-sekolah misi itu mengakibatkan jumlah umat Katolik di antaranya masyarakat
Tionghoa di Padang maju dengan pesat: Pada tahun 1921 terdapat kurang lebih 60 orang

23
Katolik, dua puluh tahun kemudian hampir 1.500 (di antara 7.200). Selain sekolah terdapat
juga organisasi-organisasi Katolik seperti Konggregasi Maria, Chinees Katholik Bond (CKB)
untuk pemuda (1930), Pemudi (1933), dan orang dewasa (1937) dengan seksi olah raga dan
drama. Di seluruh pulau Jawa khususnya di kota-kota besar terdapat orang-orang keturunan
Tionghoa. Di antara mereka terdapat banyak penganut agama Katolik. Paroki Kebun Dalem
di Semarang (sejak 1937) dengan sistem sekolah yang lengkap dati taman Kanak-kanak
sampai SMA, dengan suster-suster Konggregasi Penyelenggaraan Ilahi dan dengan asrama
puteri menjadi pusat kegiatan agama di antara masyarakat Katolik Tionghoa. Demikian juga
di Jakarta-Kota: sejak tahun 1956 paroki Toasebio, yang didirikan dan diusahakan oleh
imam-imam Yesuit yang diusir dari tanah Tiongkok oleh Komunis (sejak tahun 1970 Imam-
imam Serikat Xaverius), menyebarkan Injil di kalangan Tionghoa peranakan maupun totok,
dari paroki ini P. Leitenbauer, SJ (± 1968) menghidupkan kembali misi di antara Tionghoa
totok antara tahun 1891-1921 berpusat di “Toko Tiga”. Di Pontianak, Makassar, Bangka
Belitung, dan beberapa kota lain di seluruh Indonesia banyak orang Katolik keturunan
Tionghoa melaksanakan perjuangan melawan organisasi sekolah dan infiltirasi haluan Peking
sewaktu Nasakkom sedang menggila (1963-1965).
4. Tanah Batak Ladang Amat Subur Bagi Sabda Allah
Gereja Katolik di Batak baru diijikan pemerintah Kolonial pada tahun 1934. Persis 100
tahun sebelumnya dua pewarta Injil kebangsaan Amerika yang masuk tanah suku-suku Batak,
dibunuh orang kafir lalu dimakan habis (pada batu peringatan yang didirikan tahun 1909 di
Lobu Pining kata “aufgefressen”=dimakan, dihapus karena dianggap menjelekkan nama
leluhur). Maka tak mengherankan, bahwa pada saat Gereja Katolik mulai berkembang, sudah
terdapat umat Protestan yang besar jumlahnya, lengkap dengan banyak pendeta, katekis,
sekolah dan lembaga sosial. Gereja Protestan sudah bertahun-tahun (secara sistematis sejak
kedatangan I. J. Nommensen pada tahun 1864 di daerah Silidung) berjuang dengan sepuluh
tenaga melawan adat kekafiran mendidik pendeta-pendeta serta kaum awam. Dengan
demikian mereka berhasil menembus dan membuka isolasi masyarakat Batak yang telah
berabad-abad lamanya sebagai akibat pendudukan daerah pantai oleh suku Aceh dan Melayu.
Sejak tahun 1922 instansi Gereja Katolik di Jakarta dan Padang banyak menerima surat,
yang meminta agar imam-imam diutus ke tanah Batak. Surat itu ditulis atas nama puluhan
kepala keluarga dari Taruntung, Sibolga, serta Sipirok. Oleh karena imam-imam dilarang
pemerintah Belanda untuk bekerja di tanah Batak (atas artikel 123 (177); maka orang-orang
Batak mau memprotesnya di Jakarta dan di Den Haag, akhirnya seorang imam diperbolehkan
menetap di Sibolga (1929) dan suster-suster Belas Kasih diijinkan membuka sekolah HCS

24
(1930) dan HIS (1932) di tempat itu. Sesudah jalan terang bahwa Gereja Katolik sama sekali
tidak menggangu “rust en orde” dan bahwa ada keinginan besar di antaranya orang-orang
pribumi terdapat agama Katolik, maka seluruh wilayah Tapanuli dibuka untuk misi (1933).
Demikianlah agama Katolik mulai masuk ke daerah Batak dari selatan juga agama
Protestan 100 tahun sebelumnya. Akan tetapi jalan yang sudah dirintis manusia lain dari pada
jalan yang direncanakan Allah. kemajuan agama Katolik tidak melalui selatan melainkan
lewat utara:
Sejak permulaan abad ini masyarakat Batak mulai terbuka dan bergerak maju dengan
gairah hidup. Suku Batak Toba meninggalkan daerahnya yang padat penduduknya. Mereka
pindah ke timur laut, ke wilayah Batak Simalungun dan terus ke pantai timur di sekitar kota
Medan. Khususnya sejak tahun1950 daerah perkebunan Deli diduduki petani-petani dari
pedalaman. Mereka berpendapat, bahwa tanah itu adalah milik mereka, yang dulu dirampas
oleh sultan-sultan pesisir dan dijual kepada “onderneming”. Akibat transmigrasi itu paroki-
paroki Katolik di Medan sejak tahun 1920-an sudah dihuni oleh orang-orang Batak, yang
keluar dari daerah pedalaman untuk mencari pengalaman baru.
Pada tahun 1926 di Medan telah dipermandikan puluhan orang Batak, yang
menghubungi pastor atas inisiatif mereka sendiri. Tahun berikutnya dibuka sekolah HIS dan
asrama untuk anak-anak Batak yang semakin banyak jumalahnya. Karena desakan orang
Batak untuk masuk Katolik semakin banyak dan kuat, maka dibukalah sebuah paroki khusus
untuk mereka (1932). Dengan demikian landasan perkembangan Gereja Katolik di antara
suku-suku Batak telah diletakkan.
Dari Medan orang Katolik eks-siswa sekolah Katolik pulang ke kampung asalnya di
pedalaman. Mereka menyebarkan kabar tentang agama baru yang dilarang masuk ke tanah
Batak dan di curigai oleh zending itu. Akan tetapi hal itu justru menimbulkan rasa ingin tahu
orang Batak yang bersifat kritis itu. Maka larangan pemerintah serta pengkambinghitaman
malahan merupakan “blessing in disguse” bagi Gereja.
Ketika seorang pastor menetap di wilayah Batak Simalungun, yaitu di Pematang
Siantar pada pertengahan tahun 1931, pastorannya dari pagi sampai malam dikerumuni oleh
banyak orang yang ingin tahu. Itu terjadi karena pastor belum diperbolehkan pergi mengajar
di luar kota. Kepada orang-orang yang datang itu pastor membagi-bagikan buku-buku kecil
yang menjawab serangan-serangan terhadap agama Katolik. Bahkan itu menjadi pokok
pembicaraan di seluruh Batak. Waktu paroki Pematang Siantar dibuka (1931) hanya terdapat
19 orang Batak Katolik, yang telah dipermandikan di Medan (selain itu 174 orang-orang
Eropa, 5 orang Jawa dan 5 orang Tionghoa). Lima tahun sesudahnya umat Katolik Batak

25
menjadi 1.500 dan masih ditambah 1.200 calon permandian yang sedang mengikuti pelajaran
agama. Karena itu sedemikian suburnya, maka pada tahun 1936 didirikan paroki kedua. Kini
terdapat 4 paroki dengan kurang lebih 30.000 Katolik.
Pada awal tahun 1933 para misionaris diijinkan untuk menjelajahi seluruh wilayah
Simalungun dan mengunjungi orang-orang yang memanggil mereka. Setahun kemudian
segala larangan pemerintah dihapus dan Gereja dapat bergerak dengan bebas. Perjuangan
tujuh belas tahun lamanya akhirnya berhasil.
Tepat waktu pembukaan wilayah yang subur timbullah rintangan baru: Krisis ekonomi
dunia sangat mencekik keuangan Gereja juga. Pemerintah menarik kembali subsidi untuk
sekolah-sekolah, yang justru pada waktu itu diminta oleh rakyat desa untuk makin
diperbanyak. Sedangkan pada saat itu zending Protestan sudah menduduki kota penting,
menyelenggarakan lembaga-lembaga yang kuat keuangannya dan telah mempunyai tradisi.
Gereja Katolik terpaksa mulai karyanya dengan sederhana dan dengan tenaga yang sangat
kurang di daerah pedesaan yang masih terbelakang itu. Tetapi ada juga faktor yang
menguntungkan: Propaganda anti Katolik dari pemerintah, freemasonry dan zending justru
menarik rasa ingin tahu dari orang-orang yang bersifat kritis. Tenaga-tenaga inti Gereja
Katolik (khususnya imam, bruder dan suster) memiliki pendidikan tinggi, yang sangat
dihargai oleh orang Batak. Para misionaris Kapusin pada umumnya bersifat ramah tamah,
terbuka terhadap adat istiadat Batak, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan agama Katolik.
Mereka bergaul, turut menyanyi serta menari dalam pesta-pesta adat Batak.

Rangkuman
Pada abad pertengahan urusan politik, ekonomi dan agama tidak terpisahkan dengan
jelas. Ketika Portugis yang Katolik dikalahkan oleh Belanda yang Protestan, maka mulailah
terjadi penghambatan terhadap orang Katolik di Indonesia. Kebebasan beragama baru dapat
dinikmati ketika raja Louis dari Prancis, yang pada waktu itu menguasai Belanda juga,
mengeluarkan instruksi mengenai kebebasan beragama. Instruksi itu juga ditetapkan di
wilayah jajahan Belanda, termasuk Indonesia. Setelah Gereja mendapat kebebasannya, maka
kini Gereja mulai giat mewartakan Injil ke segala penjuru Nusantara dengan hasil yang
menggembirakan, sehingga memerlukan banyak tenaga dan pembagian tugas yang lebih baik
agar semua orang dapat dilayani. Dalam abad 20 Gereja Katolik Indonesia mengalami
perkembangan yang amat pesat. Perkembangan itu terutama terjadi di Flores dan Jawa
Tengah, dan di berbagai daerah lainnya.

26
BAB III
GEREJA KATOLIK DALAM NEGARA INDONESIA

Pendahuluan
Gereja Katolik Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Suka duka yang dialami bangsa ini juga menjadi bagian dari Gereja Katolik di Indonesia.
Semboyan untuk Gereja dan tanah air telah dibuktikan oleh keterlibatan Gereja secara utuh
dalam proses lahir dan berkembangnya bangsa Indonesia. Banyak putra-putri terbaik yang
mendarmabaktikan hidupnya untuk kejayaan bangsa dan negara Indonesai. Namun hal ini
tidak mudah karena selalu saja ada tantangan yang karus dihadapi Gereja.

A. JALAN PANJANG MENUJU KEMERDEKAAN


1. Lahirnya Nasionalisme
Pemikiran baru tentang kebebasan dan hak asasi manusia sebagaimana diungkapkan
dalam semboyan revolusi Prancis: “Leberte, Egalite, Fraternite” (kebebasan, kesamaan dan
Persaudaraan) semakin menggema, termasuk dalam bangsa-bangsa di belahan selatan yang
mendambakan kemerdekaan. Dalam abad 20 bangsa belahan selatan menyaksikan banyak
kejadian yang menunjukkan bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk berdikari sebagai
bangsa yang merdeka, kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 mengobarkan
semangat dan kesadaran nasional bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Kesadaran nasionalisme ini juga muncul di kalangan bangsa Indonesia. Kelompok
reformasi muncul di kalangan kaum muda islam. Mereka giat di bidang politik dalam negeri
dengan menuntut kemerdekaan. Selaku pribumi mereka memandang diri sebagai nasionalis
sejati. Ada sekelompok mahasiswa yang belajar di Belanda. Mereka mendapat inspirasi dari
pengalaman mereka di negeri Belanda yang telah terlebih dahulu membebaskan dirinya dari
kekuasaan Spanyol dan semakin mencita-citakan tanah air merdeka. Mereka mendirikan
“Perhimpunan Indonesia”, anggotanya antara lain: M. Hatta, Sutan Syahrif, Tan Malaka, dan
Tjipto Mangunkusumo.
Sementara di Indonesia sendiri nasionalisme telah berkembang dalam hati banyak
orang yang semakin sadar akan adanya kebudayaan mereka sendiri yang asli. Pada tahun
1908 di kalangan priyayi telah muncul “Budi Utomo”, organisasi yang mau mempelajari
kebudayaan yang asli dan memperjuangkan agar sekolah Belanda menerima lebih banyak
pribumi. Pada tahun 1915 dari gerakan itu lahirlah “Trikoro Dharmo”, yakni pemuda-pemuda
Jawa yang mau mempersatukan mahasiswa dan memperdalam pengetahuan tentang

27
kebudayaan asli. Juga muncul Serikat islam yang didirikan oleh H. O. S. Tjokroaminoto,
anggotanya terutama dari kalangan pedagang dan petani besar di Surakarta. Organisasi ini
bersikap anti Cina, anti Belanda dan anti orang luar serta bercita-cita membangkitkan
kembali agama islam. Di Yogyakarta orang membentuk “Muhammadiyah” yang bergerak di
bidang sosial dan pendidikan, bukan di bidang polotik. Baik Serikat islam maupun
Muhammadiyah sebagai banteng melawan penjajah.
Kesadaran akan nasionalisme memuncak pada tanggal 28 Oktober diadakan konggres
pemuda di mana berkumandanglah semboyan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” yang
dicatat sejarah sebagai “Sumpah Pemuda”. Pada tahun 1929 di Surakarta diadakan
Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesai (PPKI) di mana Serikat islam,
Budi Utomo dan Persatuan Politik Katolik Jawa bersatu di bawah pemimpin PNI.
2. Kegiatan Politik Orang Belanda Katolik di Jawa
Di Jawa antara tahun 1910-1920 orang asing yang Katolik berjumlah sepuluh kali lebih
banyak dari pada orang Jawa, jadi kurang lebih tiga puluh ribu orang. Mereka membentuk
“Voorlopig Katholiek Comite voor Politike Actie” (Persatuan Katolik Sementara untuk Aksi
Katolik) yang pada tahun 1917 menjadi “Katholieke Vereniging voor Pilitike Actie”
(Persatuan Katolik untuk Aksi Katolik) dan pada tahun berikutnya diubah lagi menjadi
“Indische Katholieke Partij” (Partai Katolik Hindia) yang mendapat kursi di “Volksraad”;
kursi itu diduduki oleh seorang tokoh Belanda. Sudah lebih dahulu sejumlah orang Jawa yang
Katolik menjadi anggota Bidu Utomo. Romo Van Lith juga menjadi anggota komisi yang
didirikan oleh pemerintah Belanda, di mana komisi ini bertugas meninjau kembali asas-asas
sistem kenegaraan.
3. Orang Jawa Katolik Mulai Berperan
Dalam sebuah brosur pastor Van Lith meminta dukungan dari orang Jawa, katanya
bahwa andaikan nanti terjadi perpecahan, pasti misionaris akan memihak pribumi. Dengan
demikian sudah lebih dahulu dia mencegah supaya Gereja Katolik, nanti dituduh memihak
penguasa kolonial. Brosur itu menggoyahkan masyarakat Belanda. Anggota Katolik
“Volksraad” pun tidak menyetujuinya. Akan tetapi orang Katolik Jawa mengerti maksud
pastor mereka. Sejak tahun 1923 orang Jawa yang anggota Gereja Katolik membentuk
persatuan politik mereka sendiri. Mula-mula kursi mereka di Volksraad masih digabung
dengan kursi Indische Katholieke Partij, tetapi sejak tahun 1925 mereka mempunyai kursinya
sendiri. Pada tahun 1931 Ignatius Kasimo mulai mewakili Persatuan Politik Katolik Jawa
(PPKJ) di dalam Volksraad. Pada tahun 1936 bersama lima tokoh lainnya yang mewakili
Parindra, Ignatius Kasimo mengusulkan sebuh konfrensi mengenai rencana kerja sama

28
Indonesia-Belanda dalam rangka otonomi bangsa Indonesia di masa depan. Tetapi hal itu
tidak disetujui oleh wakil Indische Katholieke Partij maupun pihak pemerintah. Sebagai
reaksi maka pada tahun 1939 terbentuklah federasi nasional GAPI (Gabungan Politik
Indonesia) atas prakarsa Parindra menggantikan PPPKI. Persatuan Politik Katolik Jawa pun
menjadi anggotanya dengan memakai nama baru yakni PPKI (Persatuan Politik Katolik
Indonesia) sehingga lebih cocok untuk mencakup anggota yang bukan orang Jawa. Pada
tahun 1940 PPKI sudah memiliki empat puluh satu cabang, antara lain di Medan dan
Makassar.
4. Gereja Katolik Dalam Masa Penjajahan Jepang
Perang Dunia II mengakibatkan perubahan besar dalam percaturan politik. Dalam
waktu singkat Belanda dapat dikalahkan Jepang. Banyak orang Belanda ditangkap serta
ditawan. Kekalahan Belanda dari Jepang menimbulkan kesadaran baru dalam diri orang
Indonesia bahwa mereka pun sanggup melawan Belanda.
Walaupun mula-mula banyak orang senang atas kedatangan Jepang yang telah
membebaskan mereka dari penjajahan Belanda selama kurang lebih 350 tahun. Tetapi hal itu
tidak berlangsung lama karena Jepang memperlakukan orang Indonesia dengan cara yang
lebih kejam dari tawanan Belanda. Banyak korban karena kekejaman Jepang. Salah satu
korban kekejaman Jepang terhadap Gereja Katolik adalah dengan ditembaknya Vikaris
Apostolik Y. Aerts bersama lima pastor dan delapan bruder di kepulauan Kei, karena mereka
dituduh sebagai mata-mata Belanda.
Secara tidak langsung Jepang ikut memupuk kesadaran nasional penduduk, yakni
dengan menimbulkan reaksi melawan tindak tanduk mereka yang sewenang-wenang. Di
samping itu secara langsung pula orang Jepang mendukung aspirasi nasional yang hidup pada
kelompok tertentu untuk memperoleh imbalan berupa persahabatan dan bantuan. Akan tetapi
mereka tidak mengikutsertakan seluruh rakyat dalam gerakan kemerdekaan.
5. Misionaris Ditawan, Pribumi Tampil
Sekitar tahun 1940 jumlah orang Katolik di Indonesia sudah mencapai kurang lebih
sekitar satu juta orang, tiga ratus delapan puluh ribu di antaranya tinggal di Nusa Tenggara,
sedangkan di Jawa masih sangat sedikit. Ketika semua misionaris diinternir oleh orang
Jepang mendadak Gereja Katolik di Indonesia hampir semua imamnya. Banyak jemaat yang
terpencil sudah biasa menggereja tanpa imam, tetapi di kota-kota tidak demikian. Dalam
situasi seperti ini di mana-mana awam tampil dan membuktikan bahwa mereka mampu
mengurus jemaat dengan baik.

29
Sejak tanggal 1 Agustus 1940 Albertus Soegijapranata diangkat sebagai Vikaris
Apostolik Semarang, walaupun pada saat itu setengah dari orang Katolik dalam
keuskupannya masih asing. Untuk sedikit mengisi kekurangan imam, maka dua puluh lima
mahasiswa teologi di Jawa dan Flores ditahbiskan imam sebelum menamatkan studi mereka.
Di samping itu uskup dan beberapa imam Jepang datang berkarya di Indonesia. Uskup
Jepang yang pernah berkarya di Indonesia adalah Yamaguci.

B. GEREJA DI ZAMAN REVOLUSI


1. Kolonialisme Menghadapi Ajalnya
Perang di Asia Timur berakhir dengan dijatuhkannya bom atom di kota Nagasaki dan
Hirosima, pada tanggal 6 dan 9 agustus 1945. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, maka
satu demi satu negara bekas jajahan Jepang di Asia Tenggah mulai menerima atau merebut
kemerdekaannya. Nasionalisme bangsa Asia Tenggara mempercepat proses demokrasi.
Gereja Katolik Roma yang dulu berpihak pada kolonialisme kini mengubah sikapnya seperti
dinyatakan oleh Paus Pius XII: ‘Pada saat kebebasan yang lebih adil dan progresif tidak boleh
ditolak kepada bangsa-bangsa itu’.
Menjelang prokalamasi kemerdekaan, banyak kelompok masyarakat yang masih
menyaksikan sikap nasionalisme dari orang Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Banyak
orang memandang bahwa orang Kristiani sebagai kaki tangan Belanda. Salah satu faktor
yang menimbulkan rasa curiga terhadap jemaat Katolik adalah sikap Nederlandse Katholieke
Volkspartij (Partai Rakyat Katolik Belanda) di Belanda yang menentang kemerdekaan
Indonesia.
2. Proklamasi Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 UUD diumumkan tanda adanya
piagam Jakarta. Tidak dicantumkan piagam Jakarta ini menimbulkan ketidakpuasan dari
golongan islam, sehingga menjadi sebab terus bergolaknya golongan islam, sehingga menjadi
sebab terus bergolaknya golongan islam dalam Negara Republik Indonesia. Pada tanggal 19
Agustus 1945 Seokarno memaklumkan bahwa PNI adalah satu-satunya partai politik.
Pendirian Kementrian Agama ditolak beliau. Tetapi tak lama kemudian atas desakan M.
Hatta dan Syahrir dkk. Soekarno mengakui lebih banyak partai yakni: PKI, Parkindo,
Masyumi dan juga Partai Katolik yang didirikan pada tanggal 8 Desember 1945. Bahkan
pada tanggal 3 Januari 1946 Soekarno menyerahkan desakan dan mengizinkan pendirian
Kementrian Agama.

30
3. Peran Golongan Kristiani
Ada beberapa peranan yang dimainkan oleh golongan Kristiani, yang memberi
sumbangan besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Peranan itu antara lain:
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Vikaris Apostolik Semarang, A. Soegijapranata
menyatakan syukur atas pendirian Republik Indonesia dan menjanjikan kerja sama yang
positif.
I. Kasimo menjadi anggota Komite Nasional Indonesia. Beliau mengetahui partai
Katolik yang ikut aktif mempertahankan Republik dan memperkukuh dasarnya terutama di
Jawa dan Sumatera. Pada waktu diadakan Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November
1946 I Kasimo meminta agar KVP di Belanda beriktiar mencegah terjadinya konflik
bersenjata antara Indonesia dengan Belanda. Beberapa kali I Kasimo duduk dalam kabinet
sebagai menteri dan mengambil bagian dalam perang gerilya. Agustinus Adisoetjipto yang
Katolik tewas dalam pertempuran udara yang namanya diabadikan sebagai nama lapangan
terbang di Yogyakarta. Juga Slamet Riyadi yang tewas sebagai komandan tentara angkatan
laut Ambon.
Pada waktu Soekarno dipenjara pada akhir 1948 sampai 1949, Uskup Soegijapranata
menjaga anak istri Soekarno. Juga di luar Jawa orang Katolik memainkan peranan yang
penting terutama di tingkat daerah.
Dari pihak Protestan tokoh yang berperan penting dalam politik sekitar revolusi adalah:
J. Leimena, TB. Simatupang, B. Probowinoto, Sam Ratulangi, AM. Tambunan, dsb.
4. Bahaya Perpecahan dan Konggres Jemaat Katolik
Pada tahun 1949 diadakan Konferansi Meja Bundar, di mana dalam konfrensi itu pihak
nasional berhasil mempertahankan pendiriannya mengenai kebebasan beragama dan
konstitusi proklamasi yang menetapkan bahwa semua orang mempunyai hak akan kebebasan
beragama, hati nurani dan pikiran serta kebebasan untuk menyatakan keyakinan agamanya
dan mengajarkannya. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari golongan islam, maka mereka
mulai melancarkan pemberontakan, antara lain: pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan.
Dalam tahun 1949 itu juga jemaat Katolik mengadakan konggresnya yang pertama di
Yogyakarta. Di sini semua orang Katolik dari pelosok Indonesia berkumpul di bawah
pimpinan A. Soegijapranata dan I. Kasimo. Dalam konggres itu diambil keputusan
mempertahankan satu Partai Katolik dan di samping itu mendirikan juga beberapa organisasi
Katolik yakni satu untuk kaum buruh, datu untuk kaum muda, dan satu untuk kaum wanita.

31
Dalam perjuangan selanjutnya organisasi itu, seperti juga persekolahan Katolik dipandang
sebagai anak partai Katolik.
5. Gereja Katolik Indonesia Berdayung di Tengah Ombak
Bulan September 1953 Kementrian Agama mengumumkan bahwa misionaris Belanda
tidak diberi ijin lagi untuk masuk berkarya di Indonesia. Sebenarnya tindakan itu
dimaksudkan sebagai tindakan anti Belanda karena konferensi Indonesia dengan Belanda
menyangkut masalah Irian Barat. Misionaris asing yang sedang berkarya di Indonesia tidak
diganggu, bahkan di sana-sini jemaat Katolik berhasil mendapat bantuan misionaris asing
bukan Belanda. Misalnya: dari Belgia, Polandia dan Italia. Sementara itu jemaat Katolik tetap
setia kepada pemerintah RI tidak diganggu.
Pada tahun 1954 Vikaris Apostolik Semarang A. Soegijapranata mengatakan bahwa
Pancasila cocok dengan kesepuluh Perintah Allah, dan mengajak orang Katolik memilih
Partai Katolik dalam pemilihan umum. Pada waktu itu konggres umat Katolik seluruh
Indonesia yang diadakan di Semarang memutuskan mempersatukan semua aksi sosial di
bawah panji Pancasila dengan maksud untuk membendung pengaruh komunisme di kalangan
orang kecil. Pada tahun 1955 para Uskup seluruh Indonesia bertemu. Mereka mengajak orang
Katolik bersikap waspada baik terhadap komunisme yang mengambil bentuk kolonialisme
baru maupun terhadap nasiolisme yang berlebih-lebihan. Para waligereja pun menekankan
persatuan aksi sosial hendaknya memperlihatkan wajah Gereja yang sebenarnya kepada
seluruh masyarakat.
6. Pendirian Hirarki Indonesia
Paus Pius XI sangat menaruh perhatian besar dalam Gereja. Hal itu dengan berani dia
nampakkan dengan mentahbiskan 6 uskup dari Cina. Semangat pempribumian Gereja Katolik
menggema dalam Gereja Katolik di Indonesia.
Pada tanggal 3 Januari 1961 Uskup Roma mendirikan hirarki dengan menetapkan enam
propinsi gerejani yakni: Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa Barat, Jawa Timur dan
Jawa Tengah, serta Sulawesi-Maluku. Pada tahun 1966 hirarki didirikan di Irian Barat dengan
Merauke sebagai Keuskupan Agung.
7. Politik Soekarno di Mata Orang Katolik
Pada tahu 1963 Uskup A. Soegijapranata meniggal. Atas perintah Soekarno, jenasah
beliau dimakamkan secara kenegaraan dan sebuah tugu peringatan didirikan, serta pakaian
kebesarannya disimpan di Museum Nasional. Pada umumnya walaupun tokoh besar, juru
bicara jemaat Katolik yang penting itu, telah meniggal, orang Katolik tetap ikut mendukung
politik Soekarno. Memang beliau pandai mengambil hati orang. Apa lagi hal yang masih

32
dianggap penting jemaat Katolik ialah misionaris diperkenankan bekerja terus. Bahkan waktu
mengalami kesulitan mengimpor anggur misa, Gereja Katolik memperolehnya sebagai hadiah
dari Pemimpin Besar Revolusi.
Yang kurang menyetujui politik dan tingkah laku Soekarno ialah Uskup Jakarta
Djajasapoetra (1953-1970). Redaksi majalah Basis ikut menandatangani Manifes Kultural
para seniman dan pengarang yang menolak adanya orang yang berkepentingan politik
campur tangan dalam hal kebudayaan. Karena itu majalah tersebut dilarang terbit.

C. GEREJA KATOLIK INDONESIA DI ZAMAN ORDE BARU


1. Gereja dan Orde Baru
Pada bulan Maret 1966 Soekarno menyerahkan wewenangnya sebagai presiden kepada
Suharto. Setelah menjalani tahanan rumah selama empat tahun, beliau meninggal dalam
kesepian tahun 1970. Dalam Konferensi tahun 1966 di Girisonta para Wali Gereja Katolik di
Indonesia menyatakan mendukung Orde Baru, tetapi di samping itu mengkritik banyak
korupsi. Salah satu sumbangan jemaat Katolik kepada orde baru adalah karya sosialnya,
khususnya tiga Ikatan Pancasila yang terbuka untuk siapa saja yang mendukung Pancasila
dan Ajaran Sosial Gereja Katolik. Pada tahun 1967 anggota ketiga organisasi ikatan itu sudah
banyak yakni: Ikatan Tani Pancasila, sejuta orang. Ikatan Buruh Pancasila, tiga ratus ribu
orang. Dan Ikatan Nelayan Pancasila, dua puluh lima ribu anggota. Kira-kira delapan puluh
persen dari seluruh anggota itu bukan orang Katolik. Ikatan sosial yang tidak bergerak di
bidang politik itu diakui oleh pemerintah.
Sementara itu anggota petani islam tetap dipinggirkan dari percaturan politik. Hal ini
membuat mereka terus bergerak di berbagai bidang lain. Mereka sebagian tidak lagi
memaksakan untuk mendirikan negara islam, melainkan suatu masyarakat yang diresapi
dengan ajaran islam. Mereka menjalankan rencananya ini secara sistematis dan sangat rapi.
Diberbagai tempat sering terjadi gesekan antara agama Kristen dan islam. Perbedaan iman
dan agama ini sering dipolitisir. Hal lain yang membuat orang islam kurang senang ialah
tindak-tindak misionaris yang menanamkan banyak uang asing dalam karya Kristiani secara
mencolok melalui karya-karya kemasyarakatannya seperti rumah sakit dan sekolah. Pengaruh
itu sering ditafsirkan sebagai non-kolonialisme yang subyektif, atau kristenisasi. Akhinya
pertambahan jumlah orang Katolik diberbagai tempat khususnya Jawa yang sangat fantastis
sesudah pemberontakan G-30-S PKI amat menyinggung hati sejumlah tokoh islam.
2. Gereja Kristiani dan Identitas Nasional

33
pada tahun 1967 Mgr. Darmayuwana diangkat menjadi Kardinal Indonesia yang
pertama. Pengangkatan itu boleh dilihat sebagai tanda penghargaan Uskup Roma, bukan
hanya terhadap jemaat Katolik melainkan juga terhadap seluruh bangsa Indonesia.
Salah satu sumbangan jemaat Kristiani pada pembentukan identitas sosial yaitu
bersatunya segala macam suku bangsa dan golongan masyarakat menjadi satu jemaat atas
dasar Injil. Khususnya juga jemaat Kristiani menarik orang Cina untuk masuk menjadi
anggota sangat membantu cita-cita persatuan nasional. Suatu sumbangan lain kritiknya
terhadap harapan yang berlebih-lebihan terhadap orde baru. Para uskup dengan berani
mengkritik kebijaksanaan pemerintah yang salah, atau kurang manusiawi, misalnya soal
tahanan politik.
Tentu saja persekolahan Katolik membangunan bangsa dan negara. Di bidang pers
jemaat Katolik berjasa dengan beberapa penerbitan yang penting, yakni surat kabar Kompas
yang terbit sejak tahun 1965 atas usaha empat wartawan mantan redaktur mejalah Penabur.
Sanggar Prativi yang beroperasi sejak 1966 berjasa dengan memasukkan prinsip elit-moral
yang manusiawi ke dalam pemerataan drama radio dan televisi. Di bidang ilmu dan kesenian
juga banyak tokoh Katolik yang menonjol yang ikut memberi warna dalam pembangunan
bangsa dan negara di bidang ilmu, teknologi dan kebudayaan.

Rangkuman
Kemenangan Jepang atas Rusia dalam tahun 1905 ikut membangkitkan rasa
nasionalisme di kawasan Asia. Mereka menjadi sadar akan kemampuannya untuk bersaing
dengan penjajah. Di Indonesia rasa Nasionalisme ini digalang baik oleh mahasiswa yang
belajar di luar negri maupun dalam gerakan-gerakan di Indonesia, yang memuncak dalam
peristiwa 28 Oktober 1928. Perubahan sikap Gereja Roma terhadap kolonialisme
memberikan angin segar untuk perjuangan Gereja di tanah terjajah, temasuk Indonesia.
Gerakan orang Katolik baik Belanda maupun pribumi mempunyai andil dalam perjuangan
memperoleh kebebasan. Ketika Jepang datang banyak imam Belanda yang ditawan atau
dibunuh. Dalam situasi sulit ini awam Katolik muncul untuk mengisi kekosongan imam di
mana-mana. Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, dan perjuangan melawan
Belanda berlangsung, Gereja banyak memberikan putera-puteri terbaiknya untuk membela
kemerdekaan Indonesia. Dalam Gereja Katolik kita mengenal dua orang tokoh yan mampu
menjadi juru bicara Gereja di masa revolusi, mereka adalah Ignatius Kasimo dan Mgr. A.
Soegijopranata. Ketika gerakan orde baru muncul di Indonesia, Gereja Katolik Indonesia
menyatakan dukungannya, tetapi tetap bersikap kritis dengan berani mengkritik benyak

34
kepincangan dan ketidakadilan. Sumbangan nyata Gereja Katolik kepada orde baru adalah
Ikatan Pancasilanya yang bersifat terbuka, yaitu Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Nelayan
Pancasila, dan Ikatan Tani Pancasil.

35

Anda mungkin juga menyukai