Anda di halaman 1dari 7

37 – 071711233053 – Lintang Bening – UTS Globalisasi dan Masyarakat

Informasi

1. Bahwa masyarakat informasi bukanlah kelanjutan dari masyarakat


pasca-industri.

Masyarakat informasi memang bukan merupakan kelanjutan dari masyarakat


pasca-industri, karena sejatinya masyarakat informasi telah terintegrasi dalam
masyarakat industri sejak lama. Masyarakat pasca-industri memang memiliki
beberapa kemiripan dengan masyarakat informasi, misalnya mereka sama-sama
mendorong perkembangan sektor information-based economy. Information-
based economy ini, berbeda dari era industri, lebih menekankan pada
penggunaan jasa, ilmu pengetahuan, atau hal-hal lain yang abstrak. Artinya,
masyarakat pasca-industri adalah masyarakat yang mulai mengekonomisasi
informasi. Akan tetapi, nyatanya masyarakat informasi bukanlah sesuatu yang
baru saja muncul di masa sekarang. Masyarakat informasi telah muncul sejak
society itu muncul. Hanya saja, informasi ini tidak bisa diekonomisasi sebaik
sekarang.

Hal ini berkaitan dengan informasi itu sendiri. Informasi merupakan sesuatu
yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Informasi merupakan
setiap hal yang dirasakan oleh panca indra manusia, lalu diolah oleh otak
manusia menjadi rentetan stimulus yang membuat manusia merespon hal
tersebut. Hal ini, pada awalnya, hanya digunakan manusia untuk bertahan
hidup. Misalnya, manusia purba pada awalnya hanya makan tanaman yang tidak
beracun, mudah dicerna tubuh, dan memperkuat tubuh. Untuk dapat
mengiddentifikasi hal tersebut, manusia tentu saja harus memakan banyak
sekali tanaman, barulah setelah itu mereka dapat menentukan mana tanaman
yang layak untuk dimakan dan mana yang tidak. Setelah itu, manusia mulai
belajar untuk berburu dan memakan daging buruan. Mungkin secara mentah
sampai akhirnya mereka menemukan api. Dari situ manusia mulai belajar untuk
memasak daging buruan dan tanaman tersebut. Dilanjutkan dengan menanam
37 – 071711233053 – Lintang Bening – UTS Globalisasi dan Masyarakat
Informasi

tanaman yang bisa dimakan untuk dijadikan persediaan. Hal ini merupakan
bentuk dari pengolahan informasi yang paling dasar, dan hal ini telah dilakukan
oleh manusia sejak lama.

Hanya saja, pengolahan informasi sejenis ini sangatlah lambat dan


membutuhkan waktu ribuan tahun untuk berevolusi. Karena itulah, masyarakat
pada awalnya terbatas pada bertani dan bercocok tanam. Teknologi pun
biasanya tidak difokuskan untuk mempercepat pengolahan informasi, dan
biasanya difokuskan untuk militer, arsitektur, dan lain sebagainya. Informasi ini
kemudian baru menjadi fokus ekonomisasi setelah Revolusi Industri Ketiga.
Informasi tidak lagi menjadi bagian dari pre-pengolahan bahan industri, tetapi
juga sebagai komoditas utama dari industri itu sendiri. Penemuan internet,
telepon genggam, dan lain sebagainya mendorong masyarakat untuk
mengekonomisasikan informasi tersebut. Munculnya media baru selain koran
dan radio membuat industri media menjadi semakin besar. Berita terkadang
bukan lagi cerminan apa yang sebetulnya terjadi, tetapi bisa juga merupakan
bentukan dari imajinasi dan kejadian riil yang dibuat sedemikian rupa sehingga
masyarakat mau untuk “membeli” informasi tersebut. Hal ini tidak hanya
mengubah lanskap ekonomi, tetapi juga lanskap politik. Faksi yang menguasai
informasi akan lebih mudah untuk menggiring pemahaman masyarakat
mengenai hal-hal tertentu.

Maka dari itu, tidak aneh jika masyarakat informasi dianggap sebagai
kelanjutan dari masyarakat industri. Pasalnya, industrialisasi dan ekonomisasi
informasi ini biasanya dilakukan oleh negara-negara maju dan pihak-pihak
kapitalis. Pada intinya, akses informasi biasanya akan dikuasai oleh mereka
yang memiliki kapital, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam aspek akses
informasi. Contoh nyatanya adalah bahwa masyarakat kelas bawah akan
cenderung tidak mampu untuk mengakses internet, ataupun mengakses
37 – 071711233053 – Lintang Bening – UTS Globalisasi dan Masyarakat
Informasi

informasi yang lain. Orang-orang di wilayah terpencil akan lebih sulit untuk
mendapatkan akses informasi dan komunikasi dibandingkan dengan orang-
orang yang tinggal di daerah perkotaan. Lebih lagi, perlu kapital yang sangat
tinggi untuk dapat membangun sarana prasarana yang cukup untuk
mempercepat akses teknologi, yang sekali lagi mengindikasikan perlunya
pemasukan yang tinggi dari hasil industri. Meskipun begitu, hal ini tidak dapat
menutupi fakta bahwa masyarakat informasi bukanlah kelanjutan dari
masyarakat pra-industri. Dalam kasus ini, masyarakat pra-industri merupakan
penyelaras dari masyarakat informasi. Namun, masyarakat informasi telah ada
sejak lama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia.

2. Bahwa fenomena sosial-climbing atau panjat-sosial yang marak


dewasa ini bekerja lebih dalam kerangka spectacularization ketimbang
simulacra masyarakat informasi.

Dalam kasus ini, fenomena panjat sosial memang lebih dapat dimasukan
sebagai hasil dari spectacularization. Akan tetapi, spectacularization sendiri
merupakan sesuatu yang muncul dalam simulacra masyarakat informasi. Orang-
orang yang melakukan panjat-sosial merupakan orang-orang yang berusaha
untuk dapat diidentifikasikan dan diterima oleh orang-orang yang berada dalam
strata sosial lebih tinggi. Dapat dikatakan, orang-orang ini berusaha untuk
membenamkan (immerse) diri mereka dalam “khayalan” bahwa mereka adalah
bagian dari orang-orang dengan strata lebih tinggi dari mereka. Mereka akan
menggunakan segala cara untuk dapat menunjukkan “fakta” bahwa diri mereka
juga memiliki dan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang dengan
strata yang lebih tinggi.

Tidak sedikit apa yang mereka tunjukkan dalam media sosial menjadi realitas
baru bagi diri mereka, dan ketika mereka harus kembali pada realitas yang
37 – 071711233053 – Lintang Bening – UTS Globalisasi dan Masyarakat
Informasi

sesungguhnya, mereka akan menolak hal itu. Dari pandangan orang yang
melakukan panjat sosial, fenomena ini telah dapat dimasukkan dalam simulacra
masyarakat informasi. Hal yang lebih menarik adalah bahwa banyak orang yang
menggunakan kesempatan ini untuk mengekonomisasi “keinginan panjat-
sosial” tersebut. Tidak jarang orang-orang membuat sebuah studio foto atau
bangunan megah dan mewah lalu menawarkan jasa “foto seperti orang kaya
raya” untuk mewujudkan impian para social-climbers ini. Hal ini semakin
mendorong keinginan orang-orang untuk mencoba “hidup seperti orang kaya”
atau “hidup seperti selebriti”.

Di sisi lain, masyarakat yang menjadi bagian dari spektator juga menikmati hal-
hal seperti ini. Mereka, bahkan saya, terkadang sering kepo (ingin tahu)
mengenai keseharian para “crazy rich” atau keseharian selebriti. Apakah
mereka memiliki kehidupan yang sama dengan rakyat jelata seperti saya?
Apakah makanan yang mereka konsumsi sama? Semua itu menjadi suatu hal
yang menarik untuk masyarakat informasi. Terlebih lagi, kami suka keributan,
maksudnya melihat bagaimana para social-climbers ini terus berusaha untuk
mencapai tujuan mereka. Termasuk juga ketika mereka jatuh, terkena skandal,
dan lain sebagainya. Bagi banyak orang, kehidupan dalam media sosial adalah
sebuah drama. Drama yang juga merupakan setengah realita, karena itu banyak
spektator yang mengikuti drama ini, karena drama ini adalah drama sungguhan
yang terjadi di dunia nyata, yang dampaknya terlihat secara jelas.

Tentu saja, tidak hanya para penonton yang menyukai hal-hal seperti ini, tetapi
juga industri media. Dengan merebaknya fenomena spectacularization, media
menjadi lebih fokus untuk mencari berita yang “WAH”, yang menarik untuk
dilihat dan dibaca oleh orang-orang, bukan berita yang sebenarnya. Melebih-
lebihkan fakta kemudian menjadi suatu hal yang lumrah, dan semakin dilebih-
lebihkan, semakin tinggi pula ekspektasi masyarakat, saat hasil dari berita
37 – 071711233053 – Lintang Bening – UTS Globalisasi dan Masyarakat
Informasi

tersebut keluar, kepuasan para penikmatnya juga semakin besar. Dengan begitu,
lebih banyak orang akan berusaha untuk mencari hal yang memberikan
kepuasan yang sama, dan di era masyarakat informasi, fenomena seperti ini
dapat menjadi sumber uang yang besar bagi industri media maupun industri
yang lain. Bagaimanapun, social-climbers pun butuh mengeluarkan modal
untuk menunjukkan gaya hidup mereka dan seringkali modal tersebut tidak
sedikit.

Maka dari itu, menurut saya, fenomena seperti ini lebih mengarah pada hasil
dari fenomena simulacra bagi para social-climbers dan hasil dari fenomena
spectacularization. Keduanya tidak dapat dipisahkan, terutama ketika
masyarakat menjadi semakin mudah untuk mencari informasi dan semakin kepo
dengan hal-hal yang tidak mereka ketahui. Para social-climbers membutuhkan
para spektator untuk menjustifikasi gaya hidup virtual mereka, sementara para
spektator membutuhkan social-climbers untuk memberikan mereka hiburan.

3. Bahwa ketimbang berkembang dalam kerangka panopticon, dinamika


surveillance dalam masyarakat informasi lebih berkembang dalam
kerangka synopticon.

Benar. Dalam kasus ini, kita dapat langsung merujuk pada keseharian kita.
Dalam Google Play Store misalnya, kita dapat memilih informasi mana saja
yang dapat kita berikan pada aplikasi yang akan kita download, apakah aplikasi
tersebut dapat mengakses kamera, atau membuat panggilan telepon, mengganti
data dalam sistem, dan sebagainya. Tornberg dan Uitermark (2020)
mendefinisikan Synopticon sebagai “Obedience achieved "not by coercion, but
through enticement and seduction“- producing human modelling themselves
into capitalist society to televised ideas.” Artinya, kepatuhan kita untuk
memberikan data untuk surveillance itu dicapai melalui persuasi. Dengan cara
apa? Dengan membiarkan kita memilih data apa yang bisa kita berikan. Tidak
37 – 071711233053 – Lintang Bening – UTS Globalisasi dan Masyarakat
Informasi

hanya itu, dalam banyak game dan aplikasi, tentu saja kita harus setuju pada
Terms and Conditions yang sudah ditetapkan oleh developer. Sebelum kita
memainkan atau menggunakan aplikasi tersebut, kita diwajibkan untuk setuju
pada Terms and condition yang mereka buat. Seringkali kita tidak membaca
semua isi T&C tersebut, dan langsung memencet setuju karena kita ingin segera
menggunakan aplikasi tersebut. Bukankah hal ini dapat dikatakan merupakan
contoh nyata dari synopticon?

Perkembangan ini bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Pasar tidak muncul
secara spontan; itu harus dibangun. Persaingan dan kebebasan pasar dengan
demikian tidak muncul secara alami, dan terus menerus harus dipantau dan
tunduk pada "kendali, kendala, dan paksaan" pemerintah (Polanyi 1944 dalam
Foucault 2008, 6). Neoliberalisasi tidak berarti bahwa negara mundur tetapi
teknik kontrolnya mengambil bentuk pasar. Kontrol di era platform digital
diekspresikan bukan melalui perintah top-down, tetapi melalui dorongan tak
terlihat dan pembentukan perilaku lokal: ia tertanam dalam aturan interaksi; apa
yang kita sebut sebagai kontrol kompleks. Platform digital jauh dari
disintermediasi: mereka dibentuk oleh jalinan aturan dan prosedur untuk
menyortir informasi, mendorong dan mengawasi, dengan tujuan akhir
menguntungkan pemiliknya (Weinmann et al. 2016; Marres 2017 di Törnberg
dan Uitermark 2020, 6) .

Perkembangan ini didorong oleh tendensi manusia yang tidak ingin dikontrol
terlalu ketat. Meskipun begitu, manusia tidak bisa dan tidak boleh sepenuhnya
dibiarkan begitu saja tanpa ada aturan. Maka dari itu kemudian bentuk
synopticon ini dirasa paling cocok untuk diterapkan. Selain pihak-pihak
pembuat peraturan masih mampu untuk mengontrol dan menjalankan
surveillence, masyarakat tidak akan terasa seperti di kontrol. Mereka akan
menganggap kontrol tersebut sebagai sesuatu yang memang lumrah dan sudah
37 – 071711233053 – Lintang Bening – UTS Globalisasi dan Masyarakat
Informasi

aturan mainnya. Kontrol yang awalnya harus dilaksanakan secara paksa


perlahan-lahan akan dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang memang
harus ditaati. Lebih lagi, masyarakat akan dengan sukarela untuk mengikuti
aturan tersebut. Contoh yang telah diberikan penulis di atas sangat cukup untuk
menunjukkan bagaimana manusia dengan mudahnya membolehkan kontrol ini
terjadi.

Anda mungkin juga menyukai