Anda di halaman 1dari 9

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................1

A. PENDAHULUAN....................................................................................2
1. Latar Belakang Masalah.......................................................................2
2. Rumusan Masalah.................................................................................2
3. Tujuan Penulisan...................................................................................2
B. PEMBAHASAN.......................................................................................3
1. Ruang Virtual Produksi Budaya...........................................................3
2. Informasi sebagai Komoditas...............................................................5
C. PENUTUP................................................................................................8
1. Kesimpulan...........................................................................................8
2. Saran.....................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................9

1
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Komodifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan
suatu perubahan fungsi suatu benda, jasa, atau entitas lain yang umumnya
tidak dipandang sebagai produk komersial menjadi komoditas. 1 Komoditas
sendiri yaitu suatu hal yang utama dan memiliki nilai ekonomi. Informasi
adalah hasil proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah
mengolah atau memproses stimulus yang masuk dalam diri individu
melalui pancaindera, kemudian diteruskan ke otak atau pusat syaraf untuk
diolah atau diproses dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman
yang dimiliki seseorang. Setelah mengalami pemrosesan, stimulus itu
dapat dimengerti sebagai informasi. Informasi ini bisa diingat di otak, bila
dikomunikasikan kepada individu atau khalayak maka akan menjadi
pesan.2 Era digital adalah dimana zaman internet menjadi gaya hidup.
Informasi pada era digital telah menjadi suatu kebutuhan utama dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga manusia disebut sebagai masyarakat
informasi. Internet sebagai ruang virtual memberikan arah untuk menilai
bagaimana proses komodifikasi itu terjadi.

2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana ruang virtual produksi budaya?
b) Mengapa informasi sebagai komoditas?

3. Tujuan Penulisan
Mengetahui dan memahami bagaimana ruang virtual produksi budaya
itu serta mengapa informasi disebut sebagai komoditas, dan tujuan dari
pembuatan makalah ini merupakan suatu tugas untuk memenuhi mata
kuliah Komunikasi Antar Budaya.

1
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V
2
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Grasindo, 2004), Hlm. 29

2
B. PEMBAHASAN
1. Ruang Virtual Produksi Budaya
Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan ruang dimana kultur
yang terjadi itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana
sifat dasar perspektif ini yang mengaburkan kelas-kelas sebagai sebuah strata
yang ada di tengah masyarakat, cultural studies memberikan semacam
perlawanan dari satu kemapanan strukturasi kelas sosial. “Akhir sosial” juga
ditandai oleh transparansi sosial, yaitu satu kondisi lenyapnya kategori sosial,
batas sosial, hierarki sosial yang sebelumnya menjadi struktur masyarakat.
Batas-batas sosial antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa lenyap
melalui akses yang mudah ke pornografi internet; batas antara proletariat dan
borjois lenyap di dalam arena virtualisme konsumsi (konsumerisme); batas
antara penguasa dan teroris lenyap di tangan terorisme virtual; batas antara
bencana ekonomi dan rekayasa ekonomi lenyap di dalam bencana ekonomi
virtual, batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan virtualitas
media dan informasi, ini semua karena lahirnya teknologi virtual di tengah
masyarakat kita.3
Pendekatan cultural studies dalam melihat budaya siber yang ada di
internet memberikan arah untuk melihat bagaimana proses komodifikasi itu
terjadi di ruang virtual. McQuail menegaskan bahwa ada hubungan antara
politik ekonomi dan budaya di media. Aspek politik ekonomi memainkan
peran dari pengaturan produksi budaya yang terjadi di industri media massa
sebagai “industri dengan kesadaran”. Media pada dasarnya merupakan
institusi yang disetir oleh logika ekonomi sampai pada perubahan budaya.
Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, Mosco memformulasikan
tiga bentuk komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak dan
komodifikasi pekerja. Pertama komodifikasi isi (content) menjelaskan
bagaimana konten atau isi media yang diproduksi merupakan komoditas yang
ditawarkan. Proses komodifikasi ini berawal dengan mengubah data-data

3
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium ke
Tiga dan Matinya Posmodernisme, (Bandung: Mizan, 1999), Hlm. 73.

3
menjadi sistem makna oleh pelaku media menjadi sebuah produk yang akan
dijual kepada konsumen, khalayak maupun perusahaan pengiklan. Artinya,
media tidak hanya berhenti pada proses pembentukan kultur semata melalui
konten yang didistribusikan, melainkan juga menjadikan budaya itu sebagai
sebuah komoditas yang bisa dijual. Industri budaya pada dasarnya juga
menjelaskan bagaimana budaya menjadi sesuatu yang memanupulasi
kesadaran manusia.
Kedua, komodifikasi khalayak. Dengan memakai wacana yang
dipopulerkan oleh smythe (1977) dalam the audience commodity,
komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana sebenarnya khalayak tidak
secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya yang
didistribusikan melalui media. Khalayak pada dasarnya merupakan entitas
komoditi itu sendiri yang bisa dijual. Sebagai misal, dalam industri media
massa saat ini, dicontohkan Smythe dengan berbagai program acara di
industri pertelevisian, ada tiga entitas yang saling memengaruhi yakni
perusahaan media, pengiklan, dan khalayak itu sendiri. Khalayak
mendapatkan program tayangan yang dapat menghibur hingga memberikan
informasi secara gratis dari perusahaan televisi. Perusahaan media membuat
program untuk disaksikan oleh khalayak dan selanjutnya jumlah khalayak
yang menonton dan juga waktu yang disediakan untuk menonton inilah yang
dijual kepada pihak pengiklan. Sementara pengiklan membayar biaya iklan
produk mereka dan menayangkan melalui media dengan harapan
mendapatkan perhatian khalayak yang pada akhirnya khalayak akan
menggunakan produk tersebut.
Ketiga, komodifikasi pekerja (labour). Bahwa perusahaan media massa
pada kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak
hanya memproduksi konten dan mendapatkan penghargaan terhadap upaya
menyenangkan khalayak melalui konten tersebut, melainkan juga
menciptakan khalayak sebagai pekerja yang terlibat dalam mendistribusikan
konten sebagai sebuah komoditas (Mosco, 1996:158). Kemajuan teknologi
informasi merupakan salah satu contoh bagaimana tanpa sadar khalayak juga

4
mentransformasikan dirinya tidak sekedar menjadi konsumen atau objek
komoditas kepada pengiklan, melainkan juga sudah menjadi produsen dalam
industri budaya. Fenomena user content generated di internet menjelaskan
bagaimana khalayak memproduksi konten media dan sekligus
mendistribusikan serta menjadi konsumen dari konten tersebut. Misalnya,
kehadiran informasi pengguna seperti status, foto dan sebagainya yang ada
social media seperti facebook atau Twitter. Informasi inilah yang
didistribusikan dan bisa dikonsumsi oleh khalayak yang terkoneksi ke social
media tersebut dan pada akhirnya melalui simulasi jejaring khalayak yang
pada mulanya menjadi konsumen perlahan berubah menjadi produsen.

2. Informasi sebagai komoditas


Teoris cyberculture seperti Manuel Castells menegaskan bahwa
perkembangan teknologi internet pada dasarnya melahirkan apa yang disebut
sebagai “informational capitalism”. Bahwa teknologi dan entitas yang berada
di dalamnya seperti produsen (perangkat keras maupun lunak), distributor,
pengiklan, maupun pengguna merupakan model ekonomi baru yang
melandaskan produk atau komoditasnya pada informasi. Sejak ditemukannya
komputer beberapa dasawarsa yang lalu, perkembangan teknologi informasi
menjadi luar biasa pesatnya. Perkembangan ini juga didukung oleh
perkembangan teknologi telekomunikasi, sehingga pemanfaatan komputer
menjadi sangat luas dalam aspek kehidupan manusia dengan
mentransformasikan masyarakat tradisional menjadi masyarakat informasi. 4
Bagi Castells perkembangan teknologi baru memberikan paradigma baru
pula terhadap bentuk-bentuk ekonomi baru. Namun patut dicatat, bagi
Castells teknologi informasi tidaklah serta merta merubah kultur yang ada di
tengah masyarakat dan jika ada perubahan kultur pun dikarenakan oleh
interaksi yang terjadi antara keduanya. Teknologi informasi jika dipandang
sebagai sebuah mesin memberikan kemudahan terhadap transformasi
4
Kasiyanto Kasemin, Agresi Perkembangan Teknologi Informasi, (Jakarta: Kencana, 2015), Hlm.
9.

5
informasi itu sendiri menjadi produk (komoditi) dari sebuah proses produksi
“the products of new information technology industries are information
producing devices or information processing itself”. Informasi menjadi
komoditas yang diperebutkan baik oleh pekeja, pemilik perusahaan, maupun
melibatkan negara. Dengan kata lain, siapa yang bisa menguasai cum
memanipulasi informasi, maka akan dianggap memenangi persaingan global
sebagaimana yang disebut Castells sebagai “dot.com businesses”. Juga,
individu sebagai entitas secara otomatis memosisikan dan diposisikan sebagai
pekerja yang telah terprogram atau “self programmable”.
Individu sebagai sebuah entitas di media internet juga menjelma tidak
hanya sebagai konsumen melainkan juga sebagai produsen, bahkan dalam
beberapa kasus entitas itu sekaligus menjadi konsumen/produsen. Misalnya,
ketika individu membuka situs citizen journalism di internet, maka saat itu
pula kondisi konsumen/produsen terjadi. Individu menjadi konsumen saat ia
menggunkan media citizen journalism atau membaca konten. Berbarengan
dengan itu, saat individu menulis serta mempublikasikan konten di media
citizen journalism, pada dasarnya indivindu tersebut tengah memproduksi
informasi sebagai sebuah komoditas. Juga entitas yang ada di internet
merupakan bagian dari proses produksi dan juga sebagai sumber dari apa
yang diproduksi tersebut, maka pencitraan diri di dunia virtual merupakan
upaya yang dilakukan individu untuk mendapatkan balasan (reward), baik
secara ekonomi maupun politik.
Bagi McQuail media baru dan budaya yang muncul didalamnya telah
mengaburkan “lembaga media”. Artinya media baru memberikan kebebasan
kepada khalayak (user) untuk memublikasikan konten tanpa perlu
pengawasan yang ketat. Implikasi dari kebebasan tersebut, memakai
prespektif politik ekonomi, bisa saja media baru dimanfaatkan oleh khalayak
untuk memublikasikan konten(komoditas) demi kepentingan materi(value).
Perhatian Miller tentang informasi diri yang didistribusikan melalui media
baru dan aktifitas blogging. Konten yang dihasilkan oleh individu pada
dasarnya memuat informasi tentang dirinya dan informasi itu menjelma

6
sebagai komoditas yang digunakan untuk membangun dan merawat
hubungan dengan individu lain. Konsep produksi informasi diri tersebut bagi
Miller merupakan salah satu karakteristik dari entitas dalam jejaring,
sebagaimana dijelaskan oleh Castells (2000,2006), dan menjadi semacam
“database”, dalam pandangan Manovich (2001), yang bisa dikonsumsi oleh
entitas lainnya.
Inilah mengapa di internet invidu menjadi entitas yang selain
mengonsumsi juga menghasilkan produk. Sebagaimana telah diterangkan
oleh Castells, sifat internet yang menghubungkan antar-entitas melalui
perantaraan perangkat komputer pada akhirnya menciptakan perangkat
tersebut sebagai pabrik dalam memproduksi produk informasi; proses ini
disebut Boellstroff sebagai “creationist capitalism” (2008:206), informasi
atau konten yang ada di dunia virtual pada dasarnya merupakan produk
kreatif dari entitas itu sendiri.

7
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam perspektif cultural studies, internet merupakan ruang dimana kultur
yang terjadi itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Pendekatan
cultural studies dalam melihat budaya siber yang ada di internet memberikan
arah untuk melihat bagaimana proses komodifikasi itu terjadi di ruang virtual.
Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, Mosco memformulasikan
tiga bentuk komodifikasi, yakni komodifikasi isi, komodifikasi khalayak dan
komodifikasi pekerja. Namun patut dicatat, bagi Castells teknologi informasi
tidaklah serta merta merubah kultur yang ada di tengah masyarakat dan jika
ada perubahan kultur pun dikarenakan oleh interaksi yang terjadi antara
keduanya. Teknologi informasi jika dipandang sebagai sebuah mesin
memberikan kemudahan terhadap transformasi informasi itu sendiri menjadi
produk (komoditi) dari sebuah proses produksi

2. Saran
Diharapkan setelah mempelajari materi dari makalah ini kita dapat
memanfaatkan informasi sebaik mungkin yang mana telah menjadi suatu
komoditas dalam kehidupan, dan diharapkan pembaca untuk memberikan
masukan atau kritik yang membangun mengenai judul makalah ini demi
perbaikan untuk masa yang akan datang.

8
DAFTAR PUSTAKA

Amir Piliang, Yasraf. 1999. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium ke Tiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V
Kasemin, Kasiyanto. 2015. Agresi Perkembangan Teknologi Informasi. Jakarta:
Kencana.
Nasrullah, Ruli. 2012. Komunikasi AntarBudaya. Jakarta: Kencana.

Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai