Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/349462709

Sastra dan Pembelajaran Bahasa Jepang

Conference Paper · May 2016

CITATIONS READS

0 1,228

1 author:

Hiroko Otsuka
Universitas Padjadjaran
21 PUBLICATIONS 2 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Hiroko Otsuka on 20 February 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Sastra dan Pembelajaran Bahasa Jepang1

FIB Unpad
Otsuka Hiroko, M. A.

1. Pendahuluan
Topik seminar ASPBJI Jawa Barat kali ini adalah kontribusi
pembelajaran sastra pada pendidikan/pembelajaran bahasa Jepang.
Namun sulit juga menemukan kontribusi yang efektif untuk
menentukan metode pembelajarannya. Kesulitan itu terutama karena
bentuk karya sastra yang pada umumnya cukup bervolume dan
rangkaian kalimatnya yang rumit sehingga kurang cocok untuk
digunakan pada pengajaran tingkat pemula atau menengah. Ditambah pula keterbatasan waktu jika
ingin menyimak sebuah karya sastra secara keseluruhan pada jam pengajaran, apa lagi kalau tujuan
pembelajaran bukan menyimak karya sastranya. Untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan itu
perlu menemukan kiat untuk memanfaatkan karya sastra pada pengajaran bahasa Jepang.
Topik yang disampaikan pada makalah ini terbagi atas beberapa topik yang berkaitan dengan
bahasa Jepang dengan sastra. Penulis berharap semoga topik-topik tersebut dapat menjadi masukan
yang berguna. Di sini penulis memandang sastra sebagai wujud nyata atau contoh penggunaan nyata
bahasa Jepang (alami) dan dari penggunaan nyata tersebut dapat mengambil manfaatnya untuk
pembelajaran bahasa Jepang.
Membicarakan definisi-definisi sastra seperti misalnya apa
sastra itu atau apa saja genre sastra, dsb., bukan tujuan makalah
presentasi ini. Definisi sastra yang selain berbeda-beda menurut pakar,
definisi sastra dan genre sastra pun dari zaman ke zaman cenderung
menjadi lebih luas. Terdapat pula perbedaan definisi di antara Barat
dengan Jepang. Akhir-akhir ini manga yang zaman dulu tidak
dianggap genre sastra, zaman kini sudah dipandang sebagai jenis
sastra, terutama di Jepang, meskipun tidak semua pakar menyutujuinya.
Yamada (2010) berpendapat bahwa manga dan anime termasuk ke dalam genre sastra dengan
beberapa alasan. Pertama, jika mengingat sebagian huruf kanji berasal
dari piktograf, yaitu sejenis gambar bersifat ikonis. Jika
piktograf/gambar ‘dideretkan’ seperti susunan kalimat, susunan
deretan itu akan dapat menyatakan suatu makna seperti halnya dengan
bahasa sehingga perbedaan di antara gambar dengan huruf menjadi
samar. Kedua, diantara bahasa dengan manga/anime terdapat

1 Disampaikan pada Seminar Nasional ASPBJI Jabar pada 10 Mei 2016.


kesamaaan yaitu keduanya menunjukkan sifat kelinearan (linearty). Kelinearan bahasa adalah suatu
sifat khas bahasa, di mana bahasa terbentuk atas bunyi-bunyi yang diucapkan satu per satu secara
beruntun dalam alur waktu sehingga menjadi deretan bunyi yang bermakna. Manga dan anime juga
memiliki kelinearan karena konteksnya terbentuk seiring dengan majunya panel/kotak gambar kartun,
atau seiring dengan pemutaran film anime. Sifat kelinearan itulah yang membedakan manga/anime
dengan gambar/lukisan. Gambar atau lukisan merupakan wujud yang tetap dan tidak akan berubah
seiring dengan majunya waktu. Dengan demikian Yamada berkesimpulan bahwa manga dan anime
termasuk sastra, tetapi gambar/lukisan tidak termasuk. Selanjutnya akan diuraikan beberapa hal yang
berhubungan dengan kolaborasi gambar dan teks termasuk teks sastra.

2. Intertekstualitas dan Intersubjektivitas


Manga yang terdiri atas gambar dan teks membantu memahami perasaan dan makna ucapan
tokoh dan situasi/peristiwa lebih jelas dan mendalam. Sastra Jepang memiliki contoh kolaborasi antar
bahasa dengan gambar selain manga, yaitu monogatari emaki yang muncul sekitar pada zaman
Heian. Satu contohnya lagi adalah haiga, yaitu gambar yang disertakan
pada haiku. Fungsi gambar pada monogatari emaki dengan haiga
berbeda. Gambar pada monogatari emaki berfungsi untuk memberi
gambaran yang lebih konkret mengenai isi cerita, meskipun terdapat
monogatari emaki tanpa teks.
Haiga merupakan opsi tambahan pada haiku, berbeda dengan
kigo yang hampir selalu terdapat pada haiku. Dengan tambahan
kehadiran haiga pada benak pembaca lebih mudah tercipta image atau
terbangkit pengertian mengenai nuansa alam tertentu atau budaya yang
berkaitan dengan musim. Pengertian tersebut bukan baru muncul ketika
mambaca haiku melainkan sudah ada pada dalam diri masing-masing
anggota masyarakat Jepang sebagai pengetahuan bersama (common
sense) mengenai budayanya. Melalui kigo dan haiga pula pembaca lebih menyelami perasaan atau isi
hati penyair seolah-olah pembaca ikut merasakan perasaan penyair saat membuat haiku. Pengetahuan
bersama di antara penutur/penulis dengan pembaca mengenai latar belakang ‘teks’ tersebut disebut
‘intertekstualitas’. Sedangkan sikap mental pembaca yang ikut merasakan perasaan penutur disebut
‘intersubjektivitas’. Keduanya merupakan unsur penting dalam mengenal sastra dan mengenal
karakteristik bahasa Jepang.

3. Makna informatif dan makna emotif


Emoticon atau emoji yang sering digunakan dalam chatting berfungsi membantu
pemahaman arti perkataan. Emoji dapat digunakan sebagai pengganti koma atau titik kalimat. Pada
kalimat (1a) hanya terdapat partikel akhir ‘yo’, dan sebagai variasi pada (1b) kata ‘dame’ ditulis
dengan katakana yang di sini menandakan nuansa pengucapan yang berbeda dengan (1a). Pada
kalimat (2a) dan (2b) terdapat penambahan emoji yang berbeda. (2b) terdapat pula penambahan huruf
‘お (o)’ kecil setelah partikel ‘yo’. Emoji dapat mengisi kekurangan ekspresi emotif pada bahasa
tertulis. Pertikel akhir (終助詞) ‘yo’ dapat menyatakan sisi makna emotif di samping menyatakan sisi
makna informatif. Fungsi emoticon/emoji khusus menyatakan makna emotif.

(1) a ケーキ、全部食べちゃだめですよ。
b ケーキ、全部食べちゃダメですよ。
(2) a ケーキ、全部食べちゃだめですよ
b ケーキ、全部食べちゃだめですよぉ

Sebagai bahasa tulis makna informatif pada (1a), (1b), (2a) dan (2b) adalah sama, yaitu
kira-kira bermakna “Kuenya jangan dimakan semua lho”. Emoji pada (2a) dan (2b) menandakan
sikap pembicara saat pengucapan. (2a) dengan sikap lembut mempersilakan makan kuenya sambil
menekankan harus menyisakannya. (2b) pembicara tahu pendengar biasanya rakus makan kue, maka
dengan sikap sedikit sinis mengingatkan kuenya jangan dihabiskan semuanya. Huruf ‘お(o)’ kecil di
belakang ‘yo’ ikut membantu nuansa makna perkataannya. Emoji dapat berfungsi juga sebagai
strategi politeness seperti jenis positive face dan negative face (Kataoka:2008). Emoji yang berfungsi
sebagai negative face adalah seperti pada contoh (2b).
Seperti diuraikan di atas bahasa dan gambar berkolaborasi untuk saling menunjang fungsi
komunikasi dalam komunikasi informatif dan emotif. Kolaborasi dalam komunikasi seperti itu dapat
berhasil jika terjamin adanya dasar intertekstualitas dan intersubjektivitas di antara
pembicara/pengirim dengan lawan bicara/penerima. Jika terdapat
gap/kesenjangan pengertian makna emoji di antara pengirim dengan
penerima, dapat menimbulkan miskomunikasi. Sebuah hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan emoji di antara gadget/platform yang
berbeda berpotensi menyebabkan miskomunikasi (Miller dkk. 2016).
Sebuah emoji dengan ‘wajah tertawa dengan memperlihatkan gigi’ pada
platform Apple, jika diterima di platform lain muncul sebagai emoji
yang ekspresi mukanya berbeda-beda (kanan atas). Wajah tertawa di
gadget Apple yang umumnya diinterpretasikan bernuansa sedikit
negatif tersebut, jika diterima di gadget lain dapat diinterpretasikan
sebagai nuansa positif. Perbedaan gadget itu bagaikan perbedaan
budaya di mana intertekstualitas dan intersubjektivitasnya berbeda,
sehingga ucapan tertulis yang disertai gambar pun berpotensi
diinterpretasikan sebagai makna yang berbeda (kanan bawah).
Di dunia aplikasi chatting terdapat pula satu jenis gambar lain, yaitu LINE STAMP (stiker)
yang semakin banyak pemakainya di Jepang dan negara-negara di Asia. LINE STAMP bahkan kini
merupakan daya tarik khas bagi pengguna LINE. Stamp berbeda dengan emoji, yaitu tidak dapat
digunakan di posisi koma atau titik kalimat seperti emoji, tetapi stamp dapat digunakan secara
tersendiri sebagai message tanpa disertai pesan teks. Dengan kata lain
dapat chatting hanya dengan berkirim stamp saja. Jenis stamp LINE yang
tersedia berbeda-beda di antara negara. Stamp di Jepang lebih banyak
yang disertai ucapan atau onomatope bahasa Jepang untuk
menyampaikan nuansa hati atau sikap pembicara secara lebih spesifik.
Menurut satu survei pada tahun 2014 Stamp produk pencipta perorangan
yang menduduki ranking atas dari jumlah yang diunduh, di Jepang stamp
karakter binatang yang menjadi favorit (kanan tengah), sedangkan di
empat negara Asia termasuk Indonesia rata-rata karakter gadis (kanan
bawah) yang menduduki ranking atas.
Dalam hal berkirim stamp terdapat pula fungsi lain, yaitu fungsi
mengirim ‘message’ yang berkaitan dengan intertekstualitas dan
intersubjektivitas. Misalnya setelah seorang menerima stamp yang
karakternya ada di adegan tertentu dari suatu anime, dan kemudian dia
membalasnya dengan menggunakan stamp yang karakternya sama berarti
ia telah mengirim ‘message’ bahwa ia pun punya stamp yang sama
karena menyukai anime itu dan mengetahui juga adegan tersebut 2 ,
sehingga di antara pengirim dengan penerima terbentuk sejenis rasa
kesekawanan.

4. Bahasa dan ‘pemandangan’ dunia

Sastra merupakan satu bentuk komunikasi, yaitu komunikasi diantara penulis/penutur dengan
pembaca/pendengar. Bahasa sering disebut sebagai alat komunikasi. Namun tanpa mengetahui
hakekat bahasa target (= bahasa kedua) tidak akan berhasil komunikasi tersebut. Hakekat atau
karakteristik bahasa Jepang terletak pada cara penutur memandang
dan memahami dunia. Telah banyak pakar bahasa Jepang 3
menegaskan bahwa penutur asli bahasa Jepang mengungkapkan
peristiwa seolah-olah ia sedang memandang4 dunia sekelilingnya
dari posisinya yang berada di tengah-tengah situasi tersebut.
Berbeda bahasa berbeda pula cara memandang dan memahami
dunia. Penelitian Akita dkk. (2010)5 memperlihatkan perbedaan
pengungkapan di antara penutur bahasa Inggris dengan penutur bahasa Jepang dalam cara

2 Lihat http://blog.livedoor.jp/minoriphone2015/archives/38225397.html
3 Lihat Ikegami (2000,2003,2004,2006), Nakamura, Kondou & Himeno(2012) dan banyak yang lainnya
4 Seorang penutur tentu memahami dunia luar melalui panca inderanya. Namun di sini dibatasi pada indera
penglihatan.
5 Dalam Kondou &Himeno (eds) (2012)
meggambarkan peristiwa yang dipertontonkan video seperti pada (3) dan (4).

(3) 男性がカギの音をさせながらこちらに歩いてきた。
(4) A guy holding his keys walked down the road toward the camera and passed it.

Kalimat (3) menunjukkan cara penutur bahasa Jepang yang mengungkapkan situasi
seolah-olah tokoh yang memegang kunci itu datang melangkah ke arah penutur. Kalimat (4)
menunjukkan cara pengungkapan penutur bahasa Inggris yang mana penutur tetap berada di luar
dunia film karena ia menyebut laki-laki dalam film itu melangkah ke arah kamera.
Mengenai perbedaan cara ungkapan seperti tersebut, Ikegami (2000:239) mengutip episode
yang menarik dari essai Tada (1977). Pada episode itu tertulis seorang pembelajar bahasa Jepang asal
Argentina mengalami kesulitan untuk menginterpretasikan kalimat pembuka pada karya “Nagareru”,
karya Kouda Aya. Kalimat pembuka tersebut berbunyi sebagai berikut.
そうい かってぐち

(5) このうちに相違ないが、どこからはいっていいか、勝手口がなかった。

Kemudian Ikegami sendiri terkejut ketika ia menceritakan episode tersebut kepada para
mahasiswa pascanya di Jepang dan seorang mahasiswa S3 asal Jerman yang sudah fasih berbahasa
Jepang seperti penutur asli bahasa Jepang datang dan mengatakan kepadanya bahwa ia terpukul
karena ia pun tidak mengerti arti kalimat pembuka tersebut. Menurut Ikegami kesulitan interpretasi
seperti itu disebabkan oleh kecenderungan penutur bahasa Barat yang selalu mencari subjek kalimat.
Kemudian mereka juga sulit menentukan siapa yang menjadi pembicara pada kalimat bagian tengah,
dan siapa yang ingin masuk ke rumah itu.
Situasi yang digambarkan kalimat pembuka di atas diungkapkan seolah-olah penutur sendiri
yang turun ke jalan di depan rumah yang ia tuju (barangkali feelingnya mirip saat melihat street view
di aplikasi peta) dan sedang mencari-cari pintu masuk. Ungkapan yang serupa sering ditemui di
dalam karya sastra berbahasa Jepang6, maka penting sekali pembelajar bahasa Jepang mengetahui
cara penutur bahasa Jepang yang memandang dunia seperti itu. Sehingga sering muncul pula pola
monolog7 seperti pada kalimat bagian pertama dan bagian tengah pada (5) yang bersifat narasi.
Jodoushi ‘ta’ pada (5) tidak menunjukkan kala lampau, melainkan menyatakan saat berujar tokoh
mengalami kebingungan. Demikian karakteristik bahasa Jepang di mana forma/bentuk linguisitis
sangat erat berkaitan dengan cara penutur memandang dunia.

6 Kalimat yang sering dicontohkan untuk fenomena tersebut adalah kalimat pembuka “Yukiguni”, karya Kawabata
Yasunari yang berbunyi 「トンネルを抜けると雪国であった。夜の底が白くなった。信号所に汽車が止ま
った。」Kalimat bahasa Jepang itu mengungkapkan situasi seolah-olah penutur yang berada di dalam kereta
sedang atau baru saja mengalaminya.
7 Monolog terdapat juga pada dialog. Menurut Moriya (2008) dialog bahasa Jepang sering menggunakan gaya
monolog untuk memciptakan co-subjectivity di antara pembicara dengan lawan bicara.
5. ‘Arah’ dalam budaya dan sastra
Di atas telah diuraikan mengenai cara penutur bahasa Jepang
memandang dan memahami dunia sekelilingnya serta cara
membahasakannya yang diperlukan pembelajar untuk memahami
karya sastra. Selain yang telah diuraikan tersebut di atas masih
terdapat karekteristik yang menonjol dalam budaya Jepang, yaitu
tradisi ‘arah’ yaitu melihat sesuatu dari kanan ke kiri yang masih
berlaku di bidang sastra. Sampai saat ini kalimat buku sastra bahasa
Jepang tertulis secara vertikal dan sampul bukunya dibuka dari kanan.
Kumakura (1990) menulis bahwa mata orang Barat melihat sesuatu dari arah kiri ke arah
kanan, sedangkan mata orang Jepang (terutama generasi yang belum banyak terpengaruh budaya
Barat) melihat sesuatu dari arah kanan ke kiri. Tradisi arah melihat ala Jepang seperti itu terlihat pada
monogatari emaki di mana gulungan emaki mulai dibuka dari ujung kanan untuk dibaca dan
ceritanya bergulir maju ke arah kiri. Ketika ada pameran Jepang di negara Barat, di mana route
pengungjung di tempat pameran diatur supaya dapat melihat dari kiri ke kanan, pengunjung orang
Barat mulai melihat emakimono yang sudah terhampar dari arah kiri ke
arah kanan yang berarti terbalik dengan arah majunya cerita.
Selain buku manga Jepang yang ceritanya maju dari halaman
kanan ke halaman kiri, tradisi maju dari kanan ke kiri masih kuat
terlihat pada cara susunan panel/kotak-kotak serta tata letak tokoh dan
barang dalam satu penel/kotak dalam manga Jepang. Cara susunan
panel/kotak manga mengikuti urutan gerakan mata (lihat slide). Dalam
satu panel/kotak pun terdapat urutan gerakan mata dari kanan ke kiri seperti nomor ①, ② dan ③
pada panel pertama (lihat slide). Pada gambar panel pertama tokoh Kiritsubo yang melangkah ke
kamar kaisar dirasakan datang memasuki ‘panggung’ yang sedang ditonton.
Sebaliknya mata orang Barat terbiasa melihat sesuatu dari kiri ke
kanan. Misalnya pengunjung pameran melihat lukisan Mona Lisa
orijinal yang menghadap ke kiri merasa ‘disambut’ ramah oleh lukisan
Monalisa, tetapi jika arah Mona Lisa dibalikkan akan terasa seolah-olah
Mona Lisa membelakangi pengunjung dan senyum pun menjadi tidak
ramah. Sedangkan pada lukisan Adam dan Hawa yang diusir dari surga
digambarkan maju ke arah kanan, yang bagi mata orang Barat berarti meninggalkan tempat yang
sekarang atau pergi meninggalkan ‘panggung’ yang sedang ditonton. (Kumakura 1990:2)8. Dari
perbedaan cara melihat tersebut, gambar manga datang Kiritsubo, oleh mata orang Barat dapat saja
diartikan sebagai Kiritsubo yang pergi meninggalkan suatu tempat (Kumakura 1990:167).

8 Kumakura (1990) memberi contoh lain seperti putaran balap kuda di Jepang yang berputar ke arah jarum jam
(ada pula yang berputar ke arah berlawanan jarum jam), sedangkan di negara Barat berputar ke berlawanan arah
dengan arah jarum jam, demikian pula arah putar pemukul base ball atau arah putar bidang atletik dsb.
Tradisi melihat ala Jepang tersebut tercermin pada film dan
anime pada zaman dulu. Pada film yang lama, yaitu Tokyo Monogatari
(1953), kedua tokoh menghadap ke kiri (kanan atas). Tata letak itu
dapat dianggap menyongsong masa depan. Pada anime Doraemon,
pulang ke rumah lebih terasa nyaman jika menuju ke kanan, dan adegan
pergi lebih nyaman menuju ke arah kiri. Menurut Kumakura, tradisi
melihat seperti itu kian pudar pada masyarakat Jepang.
Namun penulis melihat masih adanya bidang yang
memperhatikan tradisi seperti itu. Bidang tersebut adalah dunia
panggung dan dunia pembuatan Stamp. Sedangkan dunia video game
tidak mengikuti tradisi itu. Menurut tradisi pembuatan film tokoh
pengacau datang dari kiri, tetapi pada tokoh utama game Mario selalu
maju dari kiri ke kanan. Beberapa blog yang mengajarkan kiat
pembuatan stamp LINE menekankan harus memperhatikan arah
gambar. Misalnya stamp kelinci harus dirancang dengan memperhatikan kondisi saat muncul di layar
penerima supaya kelihatan datang dari kiri ke kanan yang dapat diartikan penerima bahwa
pengirimnya mau datang menolong ke tempat penerima (kanan tengah).

6. Memanfaatkan materi sastra untuk pembelajaran bahasa Jepang


Pada bagian-bagian di atas telah diuraikan hubungan di antara
bahasa dan gambar dengan sastra dan budaya Jepang. Pada bagian
akhir makalah ini penulis mencoba mengusulkan 3 buah cara untuk
memanfaatkan materi-materi sastra untuk pembelajaran bahasa Jepang.
Dua di antaranya merupakan aktivitas pembelajaran ‘praktek sastra’
dan satu lagi adalah aktivitas meningkatkan kemampuan
menyampaikan pendapat dengan materi sastra. Berikut ini akan diuraikan satu per satu. Pertama,
praktek ‘berkarya haiku dan kegiatan kukai’ dengan memanfaatkan batasan-batasan haiku itu sendiri.
Kedua, latihan interview dan diskusi dengan memanfaatkan fasilitas situs Arasuji dan situs Reading
Tutor. Ketiga, praktek ‘berkarya sastra (cerita pendek)’ dengan memanfaatkan aplikasi manga. Ketiga
jenis aktivitas pembelajaran tersebut dapat membantu meningkatkan kemampuan bahasa Jepang
sambil memperdalam pengetahuan dan pengertian mengenai bahasa dan sastra Jepang.

6.1 Praktek kegiatan ‘berkarya haiku dan kegiatan kukai’ dengan memanfaatkan
batasan-batasan pembuatan haiku
Terdapat kegiatan kukai (句会), yaitu sejenis pertemuan membuat haiku dan bedah haiku.
Biasanya haiku terasa sulit karena ada batasan huruf yang harus terbagi 3 bait masing-masing 5-7-5
huruf, dan keharusan memakai kigo. Aktivitas kukai dilakukan kurang lebih seperti ini. Pertama
kepada peserta diberikan tema/odai (お題) pada kukai itu. Odai bukan kigo, boleh mengenai apa saja,
maka pembuat haiku dapat berimajinasi macam-macam situasi yang tepat untuk odai itu sambil
memilih kigo yang tepat untuk membuat haiku. Haiku yang telah dibuat peserta dikumpulkan,
kemudian oleh seseorang haiku perserta dicatat/disalin di atas kertas lain (supaya dari tulisan tangan
tidak diketahui siapa pembuat haiku masing-masing) karena akan diedarkan di antara peserta. Lalu
masing-masing peserta memilih satu haiku orang lain yang ia sukai dan memberi suara (nama
pemilih tertulis).
Hasil suara diumumkan dan untuk haiku yang mendapat banyak suara, para pemilihnya
diminta menjelaskan alasan memilih dan interpretasinya. Menarik pula saat mengetahui ada orang
yang memilih haiku yang sama, yang mungkin mempunyai feelingnya yang sama. Dan paling
menarik dari aktivitas tersebut adalah mendengar interpretasi orang lain yang sering berbeda dengan
yang dirinya. Lebih menarik bagi pembuat haiku jika interpretasi orang lain atas haiku dirinya
berbeda dengan apa yang dimaksud pembuat. Justru hal itu yang memperluas wawasan para peserta
haiku9. Dengan melakukan aktivitas pembelajaran yang meniru kukai pembelajar dapat memperoleh
dua manfaat, yaitu pertama adalah kesempatan latihan menggunakan bahasa Jepang dalam
batasan-batasan yang sebenarnya bukan kendala bagi pembuat haiku melainkan faktor yang
membantu pembuatan haiku supaya lebih leluasa berimajinasi. Kedua, dengan mendengar
interpretasi yang berbeda dengan yang dirinya dapat memperluas wawasan apresiasi sastra.

6.2Latihan interview dan diskusi dengan memanfaatkan fasilitas situs arasuji karya sastra
dan situs Reading Tutor
Di internet terdapat situs arasuji karya sastra modern dan semi
modern. Ada yang jumlah hurufnya berkisar 600-700 huruf10, ada pula
yang di bawah 300 huruf11. Ada pula situs arasuji buku cerita anak-anak12.
Arasuji ini dapat dimanfaatkan sebagai materi latihan pola percakapan
interview atau latihan pola ungkapan happyou mengenai karya sastra.
Untuk kedua aktivitas perlu ada dua persiapan. Persiapan pertama adalah
mengajarkan dan melakukan latihan pola13 percakapan interview, diskusi atau happyou mengenai isi,
kesan dan pendapat mengenai karya sastra. Persiapan kedua dilakukan oleh pembelajar sendiri
dengan memahami isi arasuji yang diperoleh dari situs, kemudian melakukan latihan berdasarkan
pola percakapan/pola happyou yang diajarkan.

9 Uraian ini berdasarkan referensi pendapat Kishimoto Youko pada siaran acara televisi NHK,Shiten-Ronten,
2016-4-11
10 「あらすじ図書館」memuat arasuji 30 karya sastra Jepang

arasuzitosyokan.web.fc2.com/index/rashoumon.html
11 「あらすじ 300 文字」で味わう日本の名作文学 Situs ini memuat arasuji pendek sekitar 12 karya sastra
Jepang. Jumlah huruf sebuah arasuji berkisar 600-700 huruf.
http://matome.naver.jp/odai/2135252524944807001?page=2
12 Situs ini memuat arasuji pendek sekitar 16 cerita anak-anak luar negeri dalam bahasa Jepang

http://matome.naver.jp/odai/2135252933045272601
13 Oikawa dalam komunikasi pribadi dengan penulis memberi contoh pola ‘menyampaikan pendapat’ (lihat 参考

資料 pada halaman akhir makalah ini)


Untuk memahami arasuji, dapat menggunakan pula fasilitas
situs internet Japanese Language Reading Tutorial System “Reading
Tutor”14. Teks arasuji di internet dapat dicopy dan paste pada kotak di
halaman situs, atau dari Tool box (dougubako) pun dapat dilakukan hal
yang sama (kanan atas). Kemudian jika ingin mengetahui level kata
atau level kanji pada teks yang dimasukkan, memilih level checker
goi/vocabulary atau kanji, akan muncul tampilan seperti di kanan
tengah. Untuk mengetahui makna kata dan cara bacanya memilih
Jisho (dictionary tool) dan akan muncul tampilan seperti di kanan
bawah.
Tujuan penggunaan fasilitas situs arasuji dan situs Reading
Tutor adalah supaya pembelajar lebih dapat fokus pada latihan pola
dan isi percakapan diskusi serta happyounya dengan menghemat
tenaga untuk mencari makna kata. Untuk percakapan diskusi anggota
berjumlah 3 orang lebih efektif, dan masing-masing membaca dan
memahami isi arasuji dan satu orang di antaranya memimpin acara
diskusi. Pola percakapan diskusi maupun happyou tidak perlu panjang
karena arasuji sendiri tidak panjang. Pembelajar pasti merasa cukup
repot karena harus mengolah bahasa tulis ke bahasa cakapan yang
dapat digunakan dalam interview, diskusi atau happyou. Dalam percakapan diskusi atau interview
penanya tidak boleh langsung melanjutkan pertanyaan berikut setelah mendapat jawaban dari lawan
bicara, tetapi harus memuji atau memberi feed back sepatah dua katah yang berisikan penilaian
positif dulu agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara15

6.3 Praktek ‘berkarya sastra (cerita pendek)’ dengan memanfaatkan aplikasi manga di
smart phone
Sebagian besar pembelajar telah mempunyai alat komunikasi seperti smart phone atau tablet
yang bisa dimanfaatkan untuk menggunakan aplikasi manga seperti
Comico. Manga di aplikasi tersebut semuanya manga yang dibuat secara
amatir yang mencari kesempatan menerbitkan karya manganya pada
media cetak 16 jika telah banyak mendapat pembacanya di aplikasi.
Episode baru setiap minggu diunggah ke aplikasi. Ada manga yang
terdiri atas banyak episode, ada pula yang sedikit jumlah episodenya.
Aplikasi tersebut tidak memerlukan biaya unduh sehingga mudah diperoleh sebagi materi ajar.
14 日本語読解学習支援システム リーディングチュウ太
http://language.tiu.ac.jp/
15 Menurut Oikawa dalam komunikasi pribadi.
16 Pada aplikasi ini manga dibaca secara scroll ke bawah, tetapi jika diterbitkan diedit sesuai dengan buku manga
biasa.
Aktivitas pembelajaran yang penulis usulkan dengan menggunakan manga aplikasi seperti ini
adalah aktivitas membuat cerita pendek dalam bahasa Jepang berdasarkan isi manga. Seperti telah
diuraikan di atas, manga merupakan karya sastra hasil kolaborasi gambar dengan teks, sehingga
terdapat banyak hal yang tidak dibahasakan (diverbalisasikan) yang
harus dapat dipahami dari seni penggambaran. Cukup banyak terdapat
pula onomatope. Dalam membuat cerita pendek, pembelajar ditugaskan
membuat teks narasinya sambil di dalamnya menempatkan teks
percakapan secara efektif. Onomatope pun tidak bisa begitu saja
digunakan, tetapi harus digunakan sebagai bentuk kalimat. Nuansa
musim dan nuansa hati para tokoh pun harus dibahasakan. Cerita yang
cocok untuk aktivitas pembelajaran ‘menulis cerita pendek dalam bahasa Jepang’ ini adalah misalnya
manga yang berjudul “Bokura no Jikan” yang menceritakan episode-episode beberapa tokoh anak
semasa SD dengan penuh nuansa kejenakaan dan nostalgis, dan hanya 1-2 episode untuk satu orang
tokoh, sehingga mudah dicerna oleh pembelajar. Judul manga ini cocok pula untuk tugas kelompok.
Dalam menentukan judul manga, jumlah follower masing-masing judul manga juga dapat
digunakan sebagai salah satu tolok ukur menarik tidaknya isi manga tersebut. Bagi pembelajar hal
yang perlu diperhatikan dalam aktivitas menulis cerita pendek tersebut adalah menentukan tokoh
fokus (biasanya tokoh utama). Karena karakteristik bahasa Jepang yang seperti telah diuraikan di atas
peristiwa-perisiwa dalam cerita harus diungkapkan melalui perspektif tokoh fokus tersebut.
Aplikasi comico juga sedang merintis novel model baru, yaitu
Comoco Novel yang penampilan di layarnya mirip layar chatting LINE,
yaitu bagian percakapan ditulis seperti bergaya chatting, meskipun
sebenarnya percakapan dilakukan secara langsung di antara tokoh.
Comico Novel ini tidak dapat dijadikan acuan aktivitas menulis cerita
pendek seperti tersebut di atas, karena bagian percakapan muncul begitu
saja seperti chatting tanpa tanda kutip dan tanpa disertai kata ‘〇○は~
~と言った’ dan sebagainya.
Demikian uraian mengenai ketiga cara pengaplikasian materi sastra dalam pembelajaran
bahasa Jepang yang penulis usulkan. Ketiga pengaplikasian tersebut semuanya memerlukan
pengertian dasar mengenai hakekat dan karakteristik bahasa dan budaya Jepang yang disampaikan
sebelumnya. Penulis berharap semoga informasi-informasi pada makalah ini dapat bermanfaat bagi
pengajaran bahasa Jepang di Indonesia.

Daftar referensi
池上嘉彦 2000 『
「日本語論」への招待』講談社
池上嘉彦 2003,2004「言語におけるく主観性〉と〈主観性〉の指標(1)(2)」『認知言語学論考』
第 3・4 号ひつじ書房
池上嘉彦 2006「
〈主観的把握〉とは何か」『言語』5 月号大修館書店
片岡邦好 2008 「口語的手紙文における事態と絵文字の指標的特性:その特殊性と普遍性について」
(https://www.lang.nagoya-u.ac.jp/nichigen/0-kyouiku/seminar/2008sympo/11.pdf)
近藤安月子・姫野伴子編著 2012『日本語文法の論点 43:「日本語らしさ」のナゾが氷解する』
研究社
Miller, Hannah et.al. 2016. “Blissfully happy” or “ready to fight”: Varying Interpretations of Emoji. Group
Lens Research, University of Minnesota. Minneapolis, MN 55455, USA
(grouplens.org/site-content/uploads/Emoji_Interpretation.pdf)
Miller, Hannah. 2016. Investigating the Potential for Miscommunication Using Emoji.
(grouplens.org/blog/investigating-the-potential-for-miscommunication-using-emoji/)
守屋三千代 2008. 日本語における〈共同主観的〉特徴と文法現象: 認知言語学の観点より
(Some Co-subjective Features and Grammar in Japanese from a Viewpoint of Cognitive Linguistic).
Nihongo Nihonbungaku. No.18. 2008-03. Soka University. pp.37-48.
中村芳久 2009 「認知モードの射程」坪本他編『
「内」と「外」の言語学』
山田利博 2010「文学としてのマンガ:文学の新しい定義について」
『研究論文集』第 3 巻第 2 号
(https://nuk.repo.nii.ac.jp/index.php?action=pages_view_main&active_action=repository_action_commo
n_download&item_id=110&item_no=1&attribute_id=22&file_no=1&page_id=13&block_id=17)

参考資料:
Contoh pola ‘menyampaikan pendapat’ diajarkan oleh Oikawa di Universitas di Tiongkok

「型」というのは、たとば、

「この文章を読み、複数の要点があると感じました。その中から、
わたしは〇○にポイントを絞って自分の見解を述べていきます。」

「では、なぜ、このようなことが起こったのでしょうか。わたしは以下のように
分析しました。まず~~だからです。次に、~~だからです。
最後に、~~だからです」

「そして、今後、どのようになっていくのか、わたしは以下のように
予想をしてみました。まず、~~になるでしょう。次に、~~になるでしょう。
最後 に、~~になるでしょう」

「最後に、わたしは容疑者本人ではなく、その家族の立場に立って考えてみました。
すると以下のようなことが考えられます。まず、~~。次に~~。最後に~~。

というような型です。

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai