Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS KARAKTER PHOSPHOPHYLITE DALAM SERIAL LAND

OF THE LUSTROUS KARYA ICHIKAWA HARUKO

SARAH NAJELINA ANDIRA


2020110144

BAHASA DAN KEBUDAYAAN JEPANG


METODOLOGI PENELITIAN & SEMINAR KESUSASTRAAN
PROF. DR. ALBERTINE MINDEROP, MA
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
JAKARTA 2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Ichikawa Haruko, lahir pada tanggal 22 November 1980, adalah seorang
komikus asal Jepang. Antara tahun 2007 dan 2011, ia menerbitkan enam cerita
pendek lainnya di majalah manga Monthly Afternoon, yang kemudian dikompilasi
menjadi dua buku terpisah dalam Haruko Ichikawa Works Collection ( 市川春子
作品集, Ichikawa Haruko Sakuhinshū), yang berjudul Mushi to Uta, dan 25-ji no
Vacances. Salah satu karyanya yang ingin saya bahas adalah manga yang Land of
the Lustrous (宝石の国, Hōseki no Kuni).
Manga ini berlatarkan di masa depan dimana bumi telah hancur enam kali
oleh meteor. Semua daratan yang tersisa hanya menyisakan satu pesisir pantai dan
semua kehidupan organik telah hancur. Beberapa waktu yang sangat lama
kemudian, ras kehidupan yang baru muncul, yaitu ras permata humanoid yang
abadi. Para permata ini tinggal bersama guru mereka yang mereka panggil
“Kongo-sensei” di sebuah sekolah/kuil, dimana masing-masing memiliki tugas
mereka sendiri. Setiap harinya, para permata ini mengalami ancaman dari ras
manusia bulan, “Lunarians” yang memburu mereka dan menjadikan potongan
tubuh mereka untuk berbagai kebutuhan seperti perhiasan atau senjata.
Tokoh utama dari manga ini merupakan Phosphophyllite (Phos), seorang
permata muda yang naif dan berambisi. Phos berkeinginan untuk membantu
permata lain dalam bertarung melawan para Lunarian. Namun karena tubuhnya
yang lebih rapuh dibandingkan permata lain, Kongo-sensei menugaskan Phos
untuk membuat ensyclopedia tentang berbagai hal di sekelilingnya. Phos
keberatan, namun akhirnya menerima tugas ini dengan berat hati. Phos kemudian
bertemu dengan seorang permata bernama Cinnabar. Cinnabar memiliki tingkat
kekerasan lebih rendah daripada Phos dan tubuhnya menghasilkan merkuri yang
dapat merusak tubuh permata lain, sehingga ia hanya ditugaskan untuk berpatroli
di malam hari dan terisolasi dari permata lainnya. Melihat keadaan Cinnabar, Phos
berjanji untuk menemukan tugas yang akan mereka berdua sukai.

1
Alur dari Land of the Lustrous mengikuti usaha Phos dalam keinginanya
menjadi lebih berguna untuk para permata lain, melindungi mereka dan menjaga
janjinya kepada Cinnabar. Seiring dalam usahanya, Phos menemukan banyak
hubungan mencurigakan antara Kongo-sensei dan para Lunarian. Hal ini menjadi
katalis utama dari konflik yang terjadi di series ini.

1.2. Tinjauan Pustaka


Berdasarkan Latar Belakang Masalah di atas, saya menggunakan tinjauan
pustaka yang terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer yang saya
akan gunakan adalah manga yang berjudul “Land of the Lustrous ( 宝 石 の 国 ,
Hōseki no Kuni)” karya Ichikawa Haruko. Sumber sekunder yang saya akan
gunakan adalah buku-buku dan artikel yang berisi tentang landasan teori dan
literatur pendukung lainnya, seperti: An Intelligent Life, dan buku teori lainnya
terkait dengan topik penelitian. Selain itu digunakan pula jurnal atau beberapa
hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan topik ini.

1.3. Identifikasi Masalah


Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam identifikasi masalah terdapat
penegasan masalah dan asumsi saya kelak akan dibuktikan secara metodologis.
Dengan demikian, identifikasi masalah berdasarkan latar belakang masalah di
atas, saya mengidentifikasikan masalah: Phosphophyllite, karakter yang didorong
oleh rasa ketidakberdayaan dalam masyarakat yang mengutamakan kegunaan,
dimanipulasi oleh Aechmea untuk menjadi pseudo-manusia demi membebaskan
jiwa-jiwa Lunarians. Asumsi tema dari manga ini adalah cerminan dari konsep
makna kehidupan dan identitas diri yang dapat diteliti melalui unsur-unsur
filosofi, sastra dan psikologi.

1.4. Pembatasan Masalah


Untuk membatasi masalah dan teori yang digunakan, saya tetap berpegang
pada judul dan asumsi yaitu: Analisis Karakter Phosphophylite dalam Serial Land

2
of The Lustrous Karya Ichikawa Haruko. Berdasarkan identifikasi masalah di atas,
saya membatasi masalah penelitian pada telaah penderitaan dan pengalaman tokoh
Phos dan perubahan yang terdapat pada identitas Phos. Teori dan konsep yang
digunakan adalah melalui pendekatan sastra - metode sudut pandang, perwatakan,
simbol dan tema. Melalui pendekatan sastra, filosofi dan psikologi, saya
menggunakan konsep-konsep makna kehidupan dan identitas diri.

1.5. Perumusan Masalah


Berdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan masalah penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perwatakan tokoh Phos dan metode pendekatan yang
digunakan?
2. Bagaimana fungsi alur dan latar dalam mendukung tema?
3. Bagaimana penerapan konsep makna kehidupan dan identitas diri untuk
mendukung tema?

1.6. Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah
menunjukkan bahawa tema dari manga ini adalah Analisis Karakter
Phosphophylite dalam Serial Land of The Lustrous Karya Ichikawa Haruko.
Untuk mencapai tujuan ini dilakukan tahapan penelitian sebagai berikut.
1. Menggunakan metode sudut pandang dramatik untuk menganalisis
perwatakan dan simbol.
2. Menganalisis perwatakan dan simbol dapat memperlihatkan konsep rasa
bersalah, rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri dan naluri
kematian
3. Menunjukkan bahwa tema dari manga ini adalah Analisis Karakter
Phosphophylite dalam Serial Land of The Lustrous Karya Ichikawa
Haruko dapat dibangun melalui analisis perwatakan, konsep rasa bersalah,
dan naluri kematian.

3
1.7. Landasan Teori
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, teori dan konsep yang digunakan
tercakup dalam bidang sastra, psikologi dan filosofi. Teori sastra yang digunakan
adalah sebagai berikut:

1.7.1. Karya Sastra


Menurut Soedjarwo (2007:65), kata sastra dahulu ditulis sebagai ``sastera'',
namun seiring berkembangnya bahasa, kemudian ditulis menjadi ``sastra''. Kata
sastra berasal dari bahasa Sansekerta dan berasal dari kata dasar cas dan
tambahan -tra. Kata cas berarti "mengajar" dan akhiran -tra berarti "alat". Kastra
berarti “alat untuk mengajar”. Esten (1978:9) berpendapat bahwa sastra adalah
ekspresi kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya, dengan
menggunakan bahasa sebagai media untuk mengungkapkan fakta secara artistik
dan imajinatif, serta mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia.
Diantara jenis karya sastra adalah fiksi. Salah satu jenis karya fiksi yang akan
dibahas adalah manga.

1.7.2. Unsur Intrinksik


Unsur intrinksik merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra.
Unsur-unsur tersebut selanjutnya memiliki kepaduan dan akhirnya membangun
inti cerita (Nurgiyantoro, 1998). Dengan demkian, saya akan menggambil
beberapa unsur intinsik dalam penelitian ini, yaitu tokoh dan perwatakan, metode
perwatakan, tema, alur, serta latar.

1.7.2.1. Tokoh dan Perwatakan


Menurut Aminuddin (dalam Milawasri, 2017: 89) tokoh merupakan pelaku
yang membawakan peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu
menjalin suatu cerita secara utuh, peran penting terdapat pada fungsi tokoh yang
memainkan suatu peran tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Perwatakan

4
sendiri merupakan kualitas nalar dan perasaan para tokoh di dalam suatu karya
fiksi yang dapat mencakup tidak saja tingkah laku atau tabiat dan kebiasaan, tetapi
juga penampilan (Minderop, 2013:95). Berdasarkan perannya, tokoh dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu: tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tirtagonis.

1.7.2.2. Metode Perwatakan


Pengarang sering menggunakan dua pendekatan dalam karya mereka untuk
menampilkan dan menentukan watak karakter, yaitu metode langsung (telling)
dan metode tidak langsung (showing) (Minderop, 2013:6). Metode telling
bergantung pada keterangan langsung dari pengarang dan penjelasan karakter,
sedangkan metode showing menggambarkan penulis yang menempatkan diri
diluar alur cerita untuk menampilkan karakter melalui dialog dan aksi. (Pickering
dan Hoeper dalam Minderop, 2013:6).
Berdasarkan dua jenis metode yang dijelaskan di atas, pada penelitian ini saya
akan menggunakan metode tidak langsung (showing).

1.7.2.3. Metode Tidak Langsung (Showing)


Metode tidak langsung yang digabungkan dengan metode damatik merupakan
metode yang meniadakan kehadiran pengarang, sehingga memungkinkan karakter
dalam karya sastra untuk mengungkapkan dirinya secara langsung melalui
perilaku mereka. Dengan ini, pembaca dapat secara langsung menganalisis
karakteristik tokoh (Minderop, 2013:22).

1.7.2.3.1. Karakterisasi Melalui Dialog


Karaterisasi melaui dialog dapat dibagi menjadi beberapa bagian sebagai
berikut: Apa yang dikatkan Penutur, Jatidiri Penutur, Lokasi dan Situasi
Percakapan, Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh Penutur, Kualitas Mental Para Tokoh,
Nada Suara, Penekanan Dialek, dan Kosa Kata Para Tokoh (Minderop, 2013:22-
23).

5
a. Apa yang dikatkan Penutur
Menurut Pickering dan Hoeper di halaman 32, pembaca harus terlebih
dahulu menganalisis isi wacana. Apakah dialognya sangat penting bagi
perkembangan alur cerita, atau sebaliknya (Minderop, 2013:23).
Lebih dari satu contoh harus diberikan untuk membuktikan bahwa
seorang tokoh memiliki watak tertentu, karena penyertaan beberapa bukti dalam
bentuk kutipan memberikan keyakinan kepada pembaca bahwa tokoh yang
dimaksud memang demikian adanya (Minderop, 2013:25).

b. Jatidiri Penutur
Jatidiri penutur di sini maksudya adalah tuturan yang disampaikan oleh
tokoh protagonis (tokoh sentral) harus dianggap lebih penting daripada apa yang
diucapkan oleh tokoh bawahan (tokoh minor), meskipun percakapan karakter
bawahan sering kali memberikan informasi krusial yang tersembunyi tentang
karakter tokoh lain (Minderop, 2013:25).

1.7.2.3.2. Lokasi dan Situasi Percakapan


Dalam kehidupan nyata, percakapan pribadi sering kali lebih serius dan lebih
jelas daripada percakapan di tempat umum. Ruang duduk keluarga dan
percakapan di jalan lebih penting daripada percakapan di teater atau teater. Hal ini
terbukti dalam cerita fiksi, di mana penulis sering menampilkan percakapan di
lokasi-lokasi ini, yang sangat penting untuk bercerita (Pickering dan Hoeper
dalam Minderop, 2013:28).
a. Lokasi Percakapan
Percakapan antara pelayan keluarga Mannon terjadi di luar rumah, yang
memiliki dua pintu masuk dari jalan. Rumah ini dihiasi dengan warna-warna yang
kontradiktif, termasuk hitam, putih, abu-abu, dan hijau. Sebuah bangku taman
terlindung, dan serambi yang ditopang oleh pilar-pilar menyembunyikan
keburukan dan nuansa kusam. Lokasi ini mengungkapkan misteri dan sifat buruk
penghuni rumah yang disembunyikan (Minderop, 2013:28-29):

6
Scene. Exterior of the Mannon house on a late afternoon in April 1865. In front in the drive
which leads up to the house from the two entrances on the street Behind the drive the white
Grecian temple portico with it six tall columns extends across the stage. A big pine tree is on
the lawn at the edge of the drive before the right corner of the house. Its trunk is a black
column in striking contrast with the white columns of the portico. By the edge of the drive, left
front, is a dense clump of lilacs and syringas. A bench is placed on the lawn in front of this
shrubbery which partly screens anyone sitting on it from being seen from the front of the
house.
It shortly before sunset and the soft light of the declining sun shines directly on the front of the
house, shimmering in a luminous mist on the white portico and grey stone behind. intensifying
the whiteness of the columns, the sombre greyness of the wall, the green of the open shutters
the green of the lawn and shrubbery, the black and green of the pine tree. The white columns
cast black bars of shadow on the grey wall behind them. The windows of the lower storey
reflect the sun's rays in resentful glare The temple portico is like an incongruous white mask
fixed on the house to hide its sombre grey ugliness (O'Neill dalam Minderop, 2013:29).

b. Situasi Percakapan
Percakapan antara Seth, Ames, Louisa, dan Minnie terjadi di sebuah pesta di
rumah keluarga Mannon, yang diwarnai dengan musik yang meriah, penyanyi,
dan minuman keras. Para karakter bergosip tentang ketidakhadiran Jenderal
Mannon, menyoroti sifat mereka yang suka bergunjing (Minderop, 2013:30):
In the distance, from the town, a band is heard playing “John Brown Body.”Borne on
the light puffs of wond this music is at times quite loud, then sinks into faintness as the
wind dies. From the left rear, a man`s voice is heard singing the chanty “Senandoah”—
a song that more than any other holds in it the brooding rhythm of the sea. The voice
soon sound nearer. It is thin and aged, the wraith of what must once have been a good
baritone.
“Oh, Shenandoah, I long to hear you
Away my rolling river.
Oh, Shenandoah, I can`t get near you
Way – ay, I`m bound away
Across the wide Missouri” (O`Neill dalam Minderop, 2013:30)

7
1.7.2.3.3. Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh Penutur
Penutur di sini berarti tuturan yang disampaikan tokoh dalam ceritera;
maksudnya tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang tokoh lainnya
(Minderop, 2013:31). Contoh berikuti ini merupakan ucapan salah seorang tokoh
tentang watak tokoh Mr. Hooper yang digambarkan debagai seorang pendeta
misterius yang tampak mengerika karena selalu menutupi wajahnya dengan cadar
hitam (Minderop, 2013:32):
“How strange,” said a lady, “that a simple black veil, such as any woman might wear a
bonnet, should become a terrible thing on Mr. Hooper`s face!”
“Something must surely be amiss with Mr. Hooper`s intellects,” observed her husband,
the physician of the village.
“But strangest part of the affair is the effect on this vagary, even on a a sober-minded
man like myself. The black veil, though it covers only our pastor`s face, throws its
influence over his whole person, amd makes him ghostlike from head to foot. Do you not
feel it so?” (McMichel dalam Minderop, 2013:32)

1.7.2.3.4. Kualitas Mental Para Tokoh


Apabila para tokoh sedang mengobrol, aliran pembicaraan mereka dapat
mengungkapkan kualitas mental mereka. Karakter yang berpartisipasi dalam
perdebatan sengit, misalnya, memiliki pendekatan mental yang berpikiran open-
minded. Ada karakter lain yang ingin mengekspresikan diri mereka sendiri,
berpikiran tertutup, atau penuh rahasia dan menyembunyikan sesuatu. (Pickering
dan Hoeper, dalam Minderop, 2013:33).

1.7.2.3.5. Nada Suara, Tekanan Dialek dan Kosa Kata


Nada suara, tekanan, dialek dan kosa kata dapat membantu dan memperjelas
karakter para tokoh apabila pembaca mampu mengamati dan mencermatinya
secara tekun dan sungguh-sungguh (Minderop, 2013:34).
a. Nada Suara
Nada suara, baik yang dinyatakan secara terang-terangan maupun tersirat,
dapat memberikan kesan kepada pembaca mengenai kepribadian karakter-apakah

8
ia percaya diri, sadar diri, atau pemalu-serta bagaimana tokoh berinteraksi dengan
tokoh lainnya. (Pickering dan Hoeper, dalam Minderop, 2013:34).

b. Tekanan
Penekanan suara memberikan gambaran yang penting mengenai karakter,
karena hal ini menunjukkan keaslian tokoh dan bahkan dapat merefleksikan
pendidikan, pekerjaan, dan status tokoh tersebut (Pickering dan Hoeper dalam
Minderop, 2013:36).

c. Dialek dan Kosa Kata


Dialek dan kosakata dapat mengungkapkan informasi penting tentang karakter
karena mencerminkan keaslian karakter dan bahkan dapat mengungkapkan
pendidikan, pekerjaan, dan status sosial karakter. (Pickering dan Hoeper dalam
Minderop, 2013:37).

1.7.2.3.6. Karakterisasi Melalui Tindakan Para Tokoh


Ciri-ciri karakter dapat diamati melalui perilaku selain melalui ucapan.
Karakter dan perilaku adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Perbuatan dan
perilaku, menurut Henry James, seperti yang dicatat oleh Pickering dan Hoeper,
secara logis merupakan perkembangan psikologi dan kepribadian; menunjukkan
bagaimana karakter seorang tokoh diekspresikan dalam tindakan mereka.
(Pickering dan Hoeper dalam Minderop, 2013:38). Ekspresi wajah juga dapat
mengungkapkan kepribadian karakter. Lebih jauh lagi, ada motif di balik perilaku,
yang mungkin membantu menjelaskan deskripsi karakter. Tidaklah sulit untuk
mengetahui kepribadian tokoh jika pembaca dapat mengikuti penjelasan tersebut.
(Minderop, 2013:38).

a. Melalui Tingkah laku


Untuk mengembangkan karakter berdasarkan perilaku, pembaca harus
memperhatikan peristiwa-peristiwa naratif karena peristiwa-peristiwa tersebut

9
dapat mencerminkan kepribadian karakter, kondisi emosional dan psikologis yang
menyertai karakter secara tidak sadar, dan nilai-nilai yang ditunjukkan. (Pickering
dan Hoeper dalam Minderop, 2013:38).

b. Ekspresi Wajah
Bahasa tubuh (gesture) dan ekspresi wajah biasanya kurang penting
dibandingkan dengan perilaku; namun, tidak selalu demikian. Pembaca mungkin
sering kali dapat merasakan keadaan batin, pergulatan mental, atau pikiran
karakter melalui perilaku yang samar-samar atau spontan atau tidak disadari.
(Pickering dan Hoeper dalam Minderop, 2013:42). Perlu dipahami bahwa ekspresi
wajah dalam karakterisasi termasuk pada perwatakan atau watak (Minderop,
2013:42).
c. Motivasi yang Melandasi
Selain memahami perilaku sadar atau tidak sadar seorang karakter, memahami
apa yang mengilhami karakter tersebut untuk berperilaku seperti itu juga sama
pentingnya, apa yang menyebabkan mereka melakukan suatu tindakan. Jika
pembaca dapat melakukannya dengan pola motivasi (motivate=that which causes
somebody to act) tertentu, maka dapat diasumsikan bahwa pembaca dapat
memahami perilaku karakter dengan menelusuri alasan mengapa karakter tersebut
melakukan sesuatu. (Minderop, 2013:45).
Karakterisasi melalui motivasi dapat menunjukkan perwatakan ganda karena
watak para tokoh yang tampil merupakan gabungan dari tindakan yang dilakukan
tokoh dan hal-hal yang melandasi terjadinya tindakan tersebut (Minderop,
2013:49).

1.7.2.4. Tema
Pada dasarnya, tema adalah pokok pikiran atau dasar cerita yang
dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak dan lain
sebagainya. Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita, yang berperan sebagai

10
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya
(Aminudin, 1995:91).

1.7.2.5. Alur
Forster dalam (Nurgiyantoro, 2015:147-149) mengatakan plot merupakan
sesuatu yang lebih tinggi dan kompleks dari pada cerita. Alur cerita pada
umumnya bergerak melalui lima bagian atau tahapan berbeda, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut (Pickering dan Hoeper, 1981:17):

1.7.2.5.1. Eksposisi
Eksposisi merupakan bagian awal cerita dimana penulis memberikan
informasi latar belakang yang diperlukan, mengatur suasana, dan menetapkan
situasi. Hal ini juga dapat memperkenalkan pembaca kepada para tokoh dan
konflik atau potensi konflik (Pickering dan Hoeper, 1981:16).

1.7.2.5.2. Komplikasi
Komplikasi, yang juga dapat disebut dengan aksi yang meningkat, merusak
keseimbangan yang ada dan memperkenalkan tokoh dengan konflik yang
mendasari atau terpicu (apabila tidak diperkenalkan di bagian eksposisi). Konflik
tersebut kemudian berkembang dan secara bertahap meningkat (Pickering dan
Hoeper, 1981:17).

1.7.2.5.3. Krisis
Krisis, atau disebut juga dengan klimaks adalah saat ketika alur cerita
mencapai titik intensitas emosional terbesar; yaitu titk balik alur cerita, yang
secara langsung memicu resolusinya (Pickering dan Hoeper, 1981:17).

11
1.7.2.5.4. Falling action
Falling Action adalah periode antara klimaks dan kesimpulan cerita. Setelah
krisis atau titk balik telah tercapai, ketegangan mereda dan alur cerita bergerak
menuju kesimpulan yang sudah ditentukan (Pickering dan Hoeper, 1981:17).

1.7.2.5.5. Resolusi
Resolusi merupakan bagian akhir dari alur cerita; yaitu bagian yang
mencakup hasil akhir konflik dan menetapkan membentuk suatu keseimbangan
atau stabilitas baru. Resolusi juga disebut dengan konklusi atau denouement
(Pickering dan Hoeper, 1981:17).

1.7.2.6. Latar
Latar mencakup lokasi fisik yang merangkai aksi dan waktu dalam satu hari
atau satu tahun, kondisi klimaks, dan periode historis di mana aksi tersebut terjadi
(Pickering dan Hoeper, 1981:17). Berdasarkan penggunaannya, latar dapat dibagi
menjadi 5, yaitu sebagai berikut:

1.7.2.6.1. Latar sebagai Latar Belakang Aksi


Latar dalam fiksi bisa sangat luas atau minimal, tergantung pada konteksnya.
Dalam novel sejarah, latar dirinci untuk menyampaikan kehidupan seperti apa
adanya, sementara dalam cerita pendek modern, latar minimal dan disimpulkan
dari dialog. Latar sebagai latar belakang aksi mengacu pada latar yang ada untuk
kepentingannya sendiri, tanpa hubungan yang jelas dengan aksi atau karakter.
Untuk menentukan apakah latar itu penting atau dekoratif, pertimbangkan apakah
karya tersebut dapat berlatar dalam waktu dan tempat lain (Pickering dan Hoeper,
1981:39).

1.7.2.6.2. Latar sebagai Antagonis


Latar di alam dapat bertindak sebagai agen penyebab atau antagonis,
membangun konflik plot dan menentukan hasil akhir dari suatu peristiwa.
Contohnya adalah padang gurun Yukon dalam "To Build a Fire" dan lautan yang

12
bergolak dalam "The Open Boat." Egdon Heath yang mengancam dari Hardy
dalam "The Return of the Native" adalah contoh terkenal dari latar yang berperan
sebagai agen, membangun kepribadiannya yang kuat sebelum pembaca
diperkenalkan dengan karakter atau plot (Pickering dan Hoeper, 1981:39).

1.7.2.6.3. Latar sebagai Sarana Menciptakan Suasana yang Sesuai


Latar dalam sebuah novel memainkan peran penting dalam menciptakan
suasana. Egdon Heath dari Thomas Hardy berfungsi sebagai agen penyebab dan
perangkat pengaturan suasana dalam novelnya. Penulis lain, seperti "Rip Van
Winkle" karya Washington Irving, menggunakan latar untuk membangkitkan
ekspektasi dan menciptakan kondisi pikiran yang sesuai untuk suatu peristiwa.
"The Fall of the House of Usher" karya Edgar Allan Poe menggunakan latar untuk
menciptakan suasana, membuat narator merasa "tidak dapat diakses" dan "suram"
di kamar Roderick Usher, mempersiapkan pembaca untuk pertemuan mereka pada
akhirnya dengan dia (Pickering dan Hoeper, 1981:40-41).

1.7.2.6.4. Latar sebagai Sarana Pengungkapan Karakter


Latar dalam sebuah cerita dapat mengungkapkan keadaan pikiran karakter
lebih dari latar fisik itu sendiri. Dalam "My Kinsman, Major Molineux," Robin
Molineux bingung dengan kegelapan kota dan cahaya bulan yang
membingungkan. Dalam "The House of Usher," Roderick Usher dan rumahnya
adalah bayangan cermin satu sama lain, yang mencerminkan kehancuran internal
dan isolasi karakter (Pickering dan Hoeper, 1981:41-42).

1.7.2.6.5. Latar sebagai Sarana untuk Memperkuat Tema


Latar dalam novel dan cerita pendek dapat memperkuat dan memperjelas
tema. The Return of the Native karya Hardy menggunakan Egdon Heath sebagai
tokoh antagonis dan suasana untuk mengilustrasikan kausalitas buta di alam
semesta yang tidak bersahabat. "The Blue Hotel" karya Stephen Crane
menggunakan latar untuk mengeksplorasi hubungan antara manusia dan alam.
Latar diperkenalkan pada kalimat pertama dan memiliki relevansi tematik

13
langsung dengan konsepsi Crane tentang kelangsungan hidup manusia di alam
semesta yang tidak bersahabat. Hotel biru menegaskan kehadirannya di tengah
lanskap Nebraska yang keras. (Pickering dan Hoeper, 1981:42-43).

1.7.2.6.6. Latar dalam Waktu


Latar dalam fiksi bukan hanya tentang aspek fisik tetapi juga tentang waktu
atau tahun. Dalam novel sejarah, peristiwa sering terjadi pada malam hari, karena
kegelapan secara tradisional merupakan penutup untuk konspirasi dan kekerasan.
Dalam "The Cask of Amontillado" karya Poe, aksi terjadi selama musim karnaval,
menyoroti kegilaan yang muncul dari bawah permukaan kehormatan. Musim juga
cocok untuk peristiwa-peristiwa tertentu, seperti musim gugur tahun ini dalam
"My Kinsman, Major Molineux" karya Poe dan musim dingin dalam "The Blue
Hotel" karya Crane. Penulis sering menggunakan siklus tahun dan hari untuk
menetapkan pengaturan, merujuk pada siklus dalam kehidupan manusia: musim
semi-pagi-muda; musim panas-siang-kedewasaan; musim gugur-sore (atau senja)-
tahun-tahun yang menurun; musim dingin-malam-kematian (Pickering dan
Hoeper, 1981:43-44).

1.7.3. Unsur Ekstrinsik


Unsur Ekstrinsik adalah unsur luar dalam karya sastra yang memiliki sifat
tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme atau bagian
terpenting karya sastra. Unsur ekstrinsik dapat dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu keadaan subjektivitas dari pengarang, biografi pengarang, keadaan
psikologi, dan keadaan sosial dan lingkungan pengarang (Nurgiyantoro, 1998:23-
24). Untuk penelitian ini, saya akan mengambil pendekatan ilmu psikologi sastra.
Kemudian, dilanjutkan dengan naluri kematian dan konsep rasa bersalah.

1.7.3.1. Psikologi Kepribadian


Psikologi berasal dari kata Yunani psyche, yang beratri jiwa, dan logos yang
berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan

14
mempelajari tingkah laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2010:3).
Kepribadian menurut psikologi bisa mengacu pada pola karakteristik perilaku dan
pola pikir yang menentukan penilaian seseorang terhadap lingkungan (Minderop,
2010:4).

1.7.3.2. Psikologi Sastra


Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan
proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya psikologis, hal yang
perlu dipahami adalah sejauh man keterlibatan psikologi pengarang dan
kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan
masalah kejiwaan (Minderop, 2010:54-55)

1.7.3.3. Konsep Rasa Bersalah


Rasa bersalah muncul dari konflik antara ekspresi impulsif dan standar moral,
yang dipengaruhi oleh aturan budaya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa.
Pelanggaran terhadap standar moral, seperti seks dan agresi, yang menyebabkan
rasa bersalah. Perilaku neurotik, di mana individu berjuang untuk mengatasi
masalah kehidupan, juga dapat berkontribusi pada rasa bersalah. Rasa bersalah
sering kali dipendam dalam diri sendiri, yang menunjukkan karakter orang yang
buruk. (Hilgard et al. dalam Minderop, 2010:40)
1.7.3.4. Naluri Kematian
Menurut Freud, naluri yang terdapat dalam diri manusia bisa dibedakan
dalam: eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan destructive instinct atau naluri
kematian (death instinct- Thanatos) (Minderop, 2010: 26). Naluri kematian dapat
menjurus pada tindakan bunih diri atau pengrusakan diri (self-destructive
behavior) atau bersikap agresif terhadap orang lain (Hilgard et al. dalam
Minderop, 2010: 27).

1.8. Metode Penelitian


Berdasarkan penelitian yang saya jelaskan di atas, metode penelitian yang
akan saya gunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan metode
pengamatan. Penelitian akan dilakukan dengan mengamati alur cerita dan
perubahan fisik dan mental karakter utama, Phosphophylite dalam serial manga

15
Land of The Lustrous. Penelitian ini akan disusun menggunakan jenis penelitian
kepustakaan, dengan mengumpulkan data dari serial manga Land of The Lustrous
sebagai sumber data primer, serta dengan buku-buku dan e-book teori, jurnal
ilmiah, dan situs-situs terpercaya untuk mendapatkan informasi tambahan yang
relevan dengan penelitian dengan topik penelitian. Tahapan yang akan diambil
selanjutnya adalah menganalisis tokoh dan perwatakan menggunakan pendekatan
metode showing, yang kemudian saya akan menganalisis alur, latar dan psikologi
sastra untuk mendukung tema yang diteliti menggunakan teori yang relevan.

1.9. Manfaat Penelitian


Berdasarkan hal-hal di atas, hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki
manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil dari penelitian analisis karakter Phosphophylite dalam
serial Land of The Lustrous ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi bagi
mereka yang ingin memperdalam ilmu menganalisis karya sastra dan tokoh sastra.

2. Manfaat Praktis
Diaharapkan hasil dari penelitan ini dapat membantu mereka, terutama para
mahasiswa untuk digunakan sebagai referensi penelitian yang berkaitan dengan
analisa karya sastra dan tokoh sastra.

1.10. Sistematika Penyajian


Berdasarkan yang tertera di atas, sistematika penyajian akan dibagi menjadi
beberapa bagian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, berisi Latar Belakang Masalah, Tinjauan


Pustaka, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Landasan Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penelitian, Skema
Penelitian, dan Daftar Pustaka.

BAB II : ANALISIS KARAKTER PHOSPHOPHYLITE DALAM SERIAL

16
LAND OF THE LUSTROUS MELALUI PENDEKATAN INTRINKSIK, berisi
analisis karakter Phosphophylite dalam serial Land of The Lustrous menggunakan
pendekatan unsur intrinksik yang mengandung unsur tokoh dan penokohan
melalui metode showing, tema, alur, dan latar.

BAB III : ANALISIS KARAKTER PHOSPHOPHYLITE DALAM SERIAL


LAND OF THE LUSTROUS MELALUI PENDEKATAN EKSTRINKSIK, berisi
analisis karakter Phosphophylite dalam serial Land of The Lustrous menggunakan
pendekatan unsur ekstrinksik, yaitu melalui psikologi keprubadian, psikologi
sastra, konsep rasa bersalah, dan naluri kematian.

BAB IV : PENUTUP, berisi kesimpulan dari bab-bab terdahulu.

17
1.11. Skema Penelitian

17
DAFTAR PUSTAKA

Ichikawa, Haruko. (2017) 宝石の国. Tokyo, Japan: Orange Co., Ltd.


Pickering, J. H. & Hoeper, J. D. (1981). Concise Companion to Literature. New

York: Macmillan.

Minderop, Albertine. (2010). Psikologi Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Minderop, Albertine. (2013). Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press

Aminuddin. (1995). Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya

Sastra. Semarang. IKIP Semarang Press.

このマンガがすごい!. (2014).【インタビュー】上は少年、下は少女。性別

のない宝石たちは「色っぽい」! 『宝石の国』市川春子【前編】 .

Diakses dari https://konomanga.jp/interview/8866-2


このマンガがすごい!. (2014). 【インタビュー】妄想がかたちづくる物語
は、自分自身でも予測不能! 『宝石の国』市川春子【後編】. Diakses
dari https://konomanga.jp/interview/9099-2

18

Anda mungkin juga menyukai