Anda di halaman 1dari 3

KHASANAH NASKAH SUNDA

OLEH: WAHYU IRYANA

PENGURAIAN makna akan sebuah identitas untuk menemukan jati diri sangat diperlukan
sebagai bentuk eksistensi suatu bangsa. Lantas bagaimana dengan penuangan eksistensi Ki
Sunda? Penelusuran identitas budaya Sunda tidak lepas dari fragmen-fragmen kesejarahan
masa lalunya, dalam kajian kesejarahan metode yang sering dipakai untuk mengurai tentang
sejarah terdapat empat tahapan dalam melakukan penelitian sejarah.

Pertama, heuristik yaitu pengumpulan data-data primer baik berupa dokumen tertulis, audio
visual maupun artefak. Kedua, kritik setelah data sebagai sumber sejarah di dapatkan oleh
peneliti maka data tersebut harus diuji keautentikannya inilah yang disebut dengan proses
kritik, dalam proses kritik data yang telah di dapat akan di pilah mana yang termasuk sebagai
sumber primer dan mana yang termasuk sumber sekunder. Ketiga, interpretasi yaitu gaya
penulisan yang dilakukan oleh seorang peneliti. Keempat, historiografi yaitu rekonstuksi
penulisan kembali tentang peristiwa sejarah.

Permasalah yang terjadi kemudian, bagaimana mendapatkan sumber primer? Naskah Sunda
merupakan salah satu kekayaan dalam kesejarahan Nusantara. Pada tahun 2010 penulis
pernah menyambangi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) berdasarkan katalog
jumlah naskah Sunda cukup banyak jumlahnya meskipun apabila dibandingkan dengan
naskah Melayu dan Jawa jumlahnya terbilang sedikit. Edi Ekajati dalam Proseding Konfrensi
Intrenasional Budaya Sunda menyebutkan bahwa terdapat ribuan naskah Sunda yang tersebar
di masyarakat dan instansi pemerintahan, namun setidaknya ada 2500 naskah sunda sudah
diinventarisasi (Edi S. Ekajati, 2006:198). Menurut Aditia Gunawan petugas dari Badan
Kearsipan Nasional, menjelaskan setidaknya tercatat ada 785 naskah Sunda yang terdapat di
Universiteit Bibliotheek Leiden, sedangkan Inggris menyimpan 3 naskah, Swedia 1 naskah.
Untuk di dalam negeri sendiri dapat diketahui bahwa Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia menyimpan 467 naskah, Musium Sri Baduga menyimpan sekitar 150
naskah, Musium Prabu Geusan Ulun Sumedang 16 Naskah, Musium Cigugur Kuningan 18
naskah, Kabuyutan Ciburuy 27 naskah, Kraton Kasepuhan, Kraton Kanoman, Kraton
Kesepuhan dan Kraton Kaprabon sekitar 144 naskah. Belum lagi jumlah naskah Sunda yang
tersebar di masyarakat di Jawa Barat, menurut inventarisir Tim Pustlit Arkenas setidaknya
ada 955 naskah yang tersebar di masyarakat dari tahun 1970-1980an, Apabila dijumlah
secara keseluruhan jumlah naskah Sunda yang terinventarisir baik yang ada di luar negeri, di
dalam negeri maupun yang ada di perorangan masyarakat Jawa Barat total keseluruhan
berjumlah 2058, dan penulis menyakini masih banyak naskah Sunda yang belum
terinventarisir dan tersimpan dimasyarakat.

Khazanah naskah Sunda yang menyebar dan tersimpan di instansi-instansi baik yang ada di
dalam negeri maupun di luar negeri menunjukan jumlah yang signifikan. Apabila dianalisis
dalam jumlah naskah Sunda yang berada di dalam negeri kebanyakan beraksara Jawa, di
samping aksara latin dan arab pigon namun tetap memakai bahasa Sunda. Berbeda dengan
naskah Sunda yang tersebar di masyarakat Parahyangan pada umumnya beraksara Arab
Pegon dan hampir tidak ada yang beraksara Jawa. Perbedaan secara fisik maupun isi naskah
Sunda Kuno sangat kaya dan elegan. Naskah Sunda umumnya di tulis di daun lontar,
daun gebang, serpihan bambu, dan kertas daluwang, sedangkan naskah Sunda periode
klasik ditulis di atas kertas daluwang, kertas pabrik dari Cina dan kertas buatan
Eropa. Jumlah naskah yang ditulis di kertas lebih banyak dari pada yang ditulis di atas daun.

Corak naskah Sunda

Naskah Sunda yang populer di masyarakat seperti halnya Sanghyang Siksa Kandang
Karasihan, Sanghyang Sasana Maha Guru, Purwaka Caruban Nagari, Sanghyang Swawar
Cinta, Nagara Kertabumi, Gelaran Sasakan di Kaislaman, Bujangga Manik, Carita
Parahyangan, dan naskah Sunda lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu semuanya
akan terus dikaji oleh para peneliti baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Mikohiro
Moriyama, ahli literasi Sunda berkebangsaan Jepang misalnya mengatakan bahwa naskah-
naskah Sunda dalam aksara Jawa dikumpulkan oleh orang Belanda karena menganggap
bahwa aksara Jawa (Cacarakan) dianggap sebagai aksara orang Sunda. Padahal sejatinya
masyarakat Sunda lebih menggunakan aksara pegon dalam praktik keseharian mereka
(Mikihiro Moriyama, 2003: 35). Hal inilah yang membuat Edi S. Ekadjati menegaskan
bahwa naskah Sunda yang berada di Leiden Belanda tidak dapat menerangkan dinamika
kebudayaan sesungguhnya pada masyarakat Sunda.

Di dalam sebuah seminar pada bulan Maret 2011 yang diadakan di Masjid Salman ITB,
Aditya Gunawan yang mewakili Kearsipan Nasional mengatakan bahwa aksara yang ditulis
dalam naskah Sunda terdapat 5 jenis aksara, yaitu aksara Sunda Kuno, Aksara Buda
(Gunung) untuk naskah Sunda periode pra Islam, sedangkan aksara Arab pegon, aksara
Cacarakan (Sunda-Jawa), dan aksara Latin un tuk n.askah-naskah Sunda Klasik. Bahasa yang
digunakan dalam penulisan naskah Sunda kebanyakan memakai bahasa Sunda, Sunda Kuna,
Jawa, Jawa Kuna, Arab, dan Melayu. Bahasa Jawa Kuna, dan bahasa Sunda Kuna digunakan
pada naskah-naskah daun lontar dan bambu dari abad 14-18, sedangkan naskah Sunda baru
dan Arab Baru, Arab, dan Melayu digunakan pada naskah-naskah dari periode Klasik yaitu
pada abad 18 samapai awal abad 20.

Isi naskah Sunda sendiri menurut Edi S. Ekajati terbagi ke dalam kelompok agama, etika,
hukum, adat istiadat, mitologi, legenda (folklor), pendidikan, primbon, sastra, sejarah,
jangjawokan. Dari pemaparan singkat di atas kiranya naskah sunda sebagai bagian dari
khazanah kearifan lokal untuk mewujudkan jatidiri Ki Sunda yang mandiri setidaknya
membuka dimensi rekonstrukssi pengetahuan yang baru akan kebudayaan Sunda masa lalu
agar dijadikan ibroh untuk masyarakat Jawa Barat khususnya dan masyarakat luas pada
umumnya. Untuk itu naskah Sunda sebagai warisan budaya yang harus dijaga diharapkan ada
pewarisan secara turun temurun sebagai pengetahuian untuk generasi penerus kiranya semua
elemen masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk melakukan dokumentasi budaya
Sunda yang terintegralisasi dengan cara mengidentivikasi, menginventarisasi dan membuka
akses terhadap keberadaan naskah-naskah Sunda. Selanjutnya peranan instansi pemerintah
dari lembaga kearsipan, musium, perpustakaan dan yang tidak kalah pentingnya adalah kajian
komprehensif tentang naskah-naskah Sunda di sekolah dan di perkuliahan dengan kajian
filologi, ilmu kearsipan agar bisa dikaji oleh generasi penerus yang harus mengetahui jati diri
Sunda yang sesungguhnya.

Semoga saja Sunda dengan kekayaan naskah-naskahnya bisa menuangkan harapan baru yang
lebih konkret untuk mensejahtrakan masyarakat Jawa Barat. Eksistensi budaya Sunda
nanjung sebanding lurus dengan proses keadaban Nusantara. Ki Sunda sudah seharusnya
maju tamil ke depan dengan kepercayaan diri yang penuh dan tidak lagi bertanya dalam
makna, pencarian identitas untuk menemukan jatidiri sejatinya Sunda.

Galamedia Senin, 05 Desember 2011

Anda mungkin juga menyukai