Anda di halaman 1dari 4

FILOLOGI

“REVIEW NASKAH DAN IDENTITAS BUDAYA”


Review ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Filologi

Disusun oleh :
Syamsul Ma’arif (11170210000069)
Dosen Mata Kuliah :
Muhammad Nida’ Fadlan, M.Hum

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
NASKAH DAN IDENTITAS BUDAYA
Review yang sedang saya tulis berikut ini merupakan hasil dari pidato seseorang yang
bernama Titik Pudjiastuti atas pengukuhannya menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu
pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Beliau mengemban tugas mengenai studi naskah
lama bersama seorang rekan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI guna
mengunjungi rumah buku-buku tua di daerah Tangerang untuk mengecek keaslian naskah lama
tulisan tangan berhuruf Jawa berjudul Serat Centhini yang dijual dengan harga Rp 2,5 – 3
milyar menurut kolektor yang Titik temui bersama rekannya kenaikkan harganya begitu pesat,
dikarenakan naskah Serat Centini yang mereka temui kebanyakan berjumlah hanya 12 jilid,
tapi naskah kali ini yang ditemui berjumlah 14 jilid. Sekilas mereka melihat dan membaca
naskah tersebut dikarenakan telah diizinkan oleh kolektornya, telah diketahui dari kolofonnya
bahwa naskah Serat Centhini tersebut merupakan naskah salinan pada tahun 1926. Dengan hal
ini, tentu menimbulkan pertanyaan bagi kita semua, apakah naskah lama itu, sehingga
salinannya saja begitu dihargai sedemikian mahal?
Sumber data sejarah dan kebudayaan banyak dan bermacam-macam, salah satu
diantaranya adalah kesaksian tertulis dari tangan pertama yang disusun oleh bangsa yang
bersangkutan di masa hidupnya, yang dapat diketahui melalui cara berpikir, perasaan, dan
kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Jenis kesaksian tertulis inilah yang disebut naskah
lama.
Menurut studi Sastra, ilmu yang berhubungan langsung mengenai naskah lama adalah
filologi, kodikologi, dan paleografi. Filologi berasal dari Bahasa yunani philologia yang berarti
‘senang akan kata’ dan berkembang seiring berjalannya waktu menjadi ‘senang akan karya
tulis yang bernilai tinggi,’ seperti karya sastra. Adapun kodikologi berasal dari Bahasa latin
codex yang berarti ‘teras batang pohon,’ lama kelamaan dalam berbagai bahasa dipakai untuk
menunjukan naskah lama. Dan paleografi berasal dari yunani palaios (=kuna) dan grafein
(=menulis) adalah studi yang mempelajari tulisan kuna.
Filologi lebih memfokuskan lebih kepada pada isi naskah atau kandungan teks,
kodikologi lebih kepada fisik naskah, berupa bahan, jilidan dan iluminasi, dan paleografi
menitikberatkan kajiannya pada perkembangan dan perubahan huruf yang terjadi dari masa ke
masa.
Pentingnya buku katalog memudahkan seorang peneliti apa dan bagaimana naskah
yang menjadi obyek penelitiannya, seperti buku katalog naskah Nusantara yang merupakan
gerbang masuk kedalam hutan pernaskahan nusantara. Katalog yang berasal dari kata Yunani
katalogon (=menurut kata) jadi ‘daftar’ yang umumnya mendeskripsikan tentang informasi
suatu naskah. Dalam pengamatan katalog naskah Nusantara mengalami perkembangan cukup
berarti, diantaranya buku katalog naskah Nusantara yang terbit pada akhir abad ke- 19 sampai
paruh pertama abad ke- 20 informasinya terbatas pada nomor naskah, judul, jumlah halaman,
sampai pada petikan teks, namun pada abad ke-20 informasinya lebih lengkap dan rinci
ketimbang sebelumnya dan ditambahkan juga dengan adanya informasi tentang jumlah baris,
Bahasa, aksara, ukuran naskah, ukuran teks, jenis kertas, bentuk teks, petikan teks setiap bab,
iluminasi yang terdapat di dalam naskah, disertai dengan referensi terkait teksnya, sehingga
sangat membantu para peneliti.
Penelitian naskah-naskah Nusantara yang tersimpan di berbagai daerah di Indonesia,
baik sebagai koleksi lembaga maupun perorangan telah dilakukan Titik dan rekannya. Mereka
merasa lebih mudah dan tidak sulit mencari naskah-naskah yang tersimpan di suatu lembaga
seperti museum atau perpustakaan dan sejenisnya, dikarenakan hanya memesan kepada
petugas, lalu menunggu beberapa saat maka naskah akan keluar dari tempatnya untuk digarap.
Akan tetapi, lain halnya dengan naskah-naskah yang tersimpan sebagai bahan koleksi
perorangan. Dibutuhkan kesabaran, keuletan, dan pendekatan khusus sehingga pemilik yakin
bahwa ‘harta pusaka’ milik mereka tetap aman saat didata oleh para peneliti. Perlu adanya
usaha supaya pemilik bersedia membukakan koleksinya serta waktu yang cukup lama, tetapi
alangkah lebih cepat dengan bantuan dari narasumber yang merupakan orang setempat. Jika
pemilik pun sudah merasa percaya dan yakin kepada para peneliti bahwa kehadirannya untuk
menyelamatkan ‘harta pusaka’ mereka dari kepunahan, maka yang keluar dari mereka bukan
hanya sejumlah naskah, melainkan juga makanan tradisional yang lezat.
Diantara tujuan penyusunan katalog naskah Nusantara bukan hanya untuk ilmu
pengetahuhan terlebih untuk penyelamatan dan pelestarian informasi budaya, terutama naskah-
naskah sebagai koleksi perorangan di masyarakat. Selain mencatat data naskah Titik dan
rekannya juga merekam setiap halaman naskah dengan digital foto serta memberi informasi
perawatan naskah secara sederhana kepada para pemilik naskah-naskah mereka. Dengan
demikian, jika sesuatu terjadi pada naskah-naskah mereka, seperti berpindah tangan, rusak,
hilang, setidaknya masih ada data yang tersimpan. Pekerjaan naskah menggunakan kamera
disebut microfilm, setelah adanya kamera digital disebut digitalisasi.

Bahan-bahan naskah berbagai macam jenisnya seperti lontar, nipah, dluwang, dan kulit
kayu pohon halim. Berikut ini diantaranya bahan naskah tradisional yang masih digunakan
hingga kini adalah lontar. Kata lontar bentuk metatesis dari kata jawa ron tal yang berarti daun
tal. Yaitu daun siwalan. Siwalan termasuk jenis pohon palem (Latin = palmyra), digunakan
sebagai bahan naskah harus yang masih muda, ditandai bahwa daunnya berwarna hijau dan
ujungnya mulai coklat. Proses pembuatannya sebagai bahan naskah membutuhkan waktu
sedikitnya 3 bulan dan yang terbaik adalah 1 tahun. Jika jika pembuatannya tidak sesuai waktu
yang ditentukan, maka daun akan mudah patah dan sulit ditulis. Tempet pembuatannya hingga
kini masih aktif berproduksi di Karangasem. Bali. Beberapa daerah yang mempunya naskah
berbahan lonta adalah Cirebon, Lombok, Kerinci, dan Sulawesi. Di Kerinci, naskah dari daun
lontar disebut kelopak betung. Selain lontar yang bentuknya mirip adalah nipah. Bedanya
nipah menggunakan pena dan tinta sebagai alat tulisnya. Nipah, seperti janur (daun kelapa).
Setelah lontar dan nipah, ada yang namanya dluwang atau dlancang dari Bahasa jawa yang
artinya ‘kertas’ (javanns papier). Selanjutnya ada kulit kayu yang digunakan kulitnya yang
muda.
Diantara beberapa aksara dalam naskah berbagai macam, seperti tulisan (non latin) dari
india ( tulisan pallava) dan arab terdapat di Nusantara, yaitu; tulisan ha na ca ra ka dan
variannya dikenal daerah jawa – bali, ka ga nga dikenal daerah Bugis – Makassar – Batak –
Rejang - Sunda Lama. Aksara dari arab terdapat dinusantara diantaranya; jawi (tulisan Arab
Bahasa Melayu), pegon (Arab Bahasa Jawa, Sunda dan Madura), serang (Arab bahasa Bugis-
Makassar), buri wolio bahasa (buton) dan Arab Jowo (Arab bahasa Aceh).

Anda mungkin juga menyukai