Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

KISTA BARTHOLIN

Disusun Oleh :
Nama : Nadiya Fahriani
NIM : P07120421074

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2022/2023
I. Tinjauan Teori Kasus

A. Definisi Kista Bartholin


Kista Bartholini adalah penyumbatan pada kelenjar Bartholini yang
ada di vagina sehingga menyebabkan cairan lubrikasi pada vagina tidak
keluar. Kista Bartholini adalah tumor kistik jinak yang ditimbulkan akibat
saluran kelenjar Bartholini yang mengalami sumbatan yang biasanya
disebabkan oleh infeksi kuman Neisseria gonorrhoeae (Widjanarko, 2017).
Kista Bartholini adalah penyumbatan pada kelenjar Bartholini yang
ada di vagina sehingga menyebabkan cairan lubrikasi pada vagina tidak
keluar. Penyumbatan pada kelenjar Bartholini biasanya disebabkan oleh
infeksi bakteri .Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
Kista Bartholini adalah penyumbatan kelenjar bartholini karena terinfeksi
oleh bakteri sehingga cairan lubrikasi vagina tidak keluar dan
menimbulkan benjolan (Baradero, 2016).

B. Etiologi Kista Bartholin


Hingga saat ini penyebab dari Kista Bartholini belum sepenuhnya
diketahui, tetapi beberapa teori menyebutkan adanya gangguan pada
pembentukan estrogen (Mast, 2010). Faktor penyebab kista meliputi :
1. Umur
Kista Bartholini bisa menyerang pada umur berapapun, masalah kista
sering ditemui pada wanita muda, umumnya terjadi pada wanita usia
20- 35 tahun terutama mereka yang belum pernah hamil atau baru
hamil sekali tapi sifatnya tidak ganas dimana pada usia reproduksi
sangat rentang terjadi kista. Dimana hormon estrogen pada usia
reproduksi mulai berfungsi dengan baik. Pada usia puberitas dan anak-
anak jarang ditemukan dikarenakan hormon estrogen belum berfungsi
dengan baik namun kadang kista terjadi karena pengaruh genetik atau
keturunan. Lain halnya dengan kista pada wanita menopause, yang

1
biasanya mengarah pada kanker dan perlu dilakukan tindakan operatif
secepatnya.
2. Paritas
Kista Bartholini umumnya terjadi pada wanita yang belum pernah
hamil dan pernah hamil namun sekali, namun sifat kista ini tidak ganas.
Penyebab pasti belum diketahui namun, studi epidemiologi
menyatakan beberapa faktor resiko terjadinya kista, antara lain tidak
menikah, tidak punya atau sedikit anak, nulipara. Kista sangat erat
kaitannya dengan wanita yang angka melahirkannya rendah dan infertil
atau tingkat kesuburannya rendah.
3. Riwayat Kista Bartholini Sebelumnya
Wanita yang pernah menderita Kista Bartholini sebelumnya memiliki
resiko terulangnya kista ini 20-40%. Tidak ada jaminan Kista
Bartholini tidak akan kambuh lagi setelah dilakukan pengobatan. Sebab
tanpa memperhatikan personal hygiene serta kurangnya pemeriksaan
tentang kesehatan alat reproduksi kista dapat timbul atau muncul
kembali. Hal ini merupakan bagian dari kista yang belum terpecahkan.
4. Jumlah pasangan seksual
Kista bisa terjadi pada wanita yang memiliki pasangan seks lebih dari
satu. Bila berhubungan seks hanya dengan pasangannya, dan
pasangannya pun tak melakukan hubungan seks dengan orang lain,
maka tidak akan mengakibatkan kista. Namun, bila memiliki pasangan
lebih dari satu, hal ini terkait dengan kemungkinan tertulamya penyakit
kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan
mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi
lebih banyak. Apabila terlalu banyak dan tidak sesuai dengan
kebutuhan, tentu akan menyebabkan timbulnya penyakit, misalnya
Kista Bartholini.
5. Gaya Hidup Tidak Sehat
a. Mengkonsumsi makanan yang berlemak dan kurang sehat

2
Makanan merupakan sumber energi bagi tubuh agar semua organ
tubuh dapat berfungsi secara optimal. Pola makan yang sehat dapat
menjadikan tubuh kita sehat, sebaliknya dengan pola makan yang
tidak sehat maka tubuh kita rentang terhadap berbagai penyakit Ada
beberapa hal yang harus kita perhatikan agar kita mempunyai pola
makan yang sehat, yaitu jumlah makanan yang kita komsumsi, jenis
makanan, dan jadwal makan. Jenis makanan yang kita komsumsi
harusnya mempunyai proporsi yang seimbang antara karbohidrat,
protein dan lemaknya. Komposisis yang disarankan adalah 55-65%
karbohidrat, 10-15% protein, 25-35% lemak. Memilih jenis
makanan yang hendak dikomsumsi perlu diperhatikan komposisi
atau kadar gizinya, hidangan direstoran seperti junk food yang
termasuk makanan berkelas dan bermutu namun banyak
mengandung lemak dan kolesterol. Makanan yang mengandung
lemak dan kolesterol dapat memicu terjadinya kista.
b. Kurang olahraga
Jarang berolahraga dan gerakan fisik. Bekerja dalam jangka waktu
yang panjang, jika bukan dalam bentuk dokumen pasti hampir
menghabiskan 10 jam waktunya di hadapan komputer, saking
sibuknya bahkan untuk mengangkat kepala sejenak saja tidak
sempat. Dan bekerja dengan sistem duduk lama atau hidup dengan
sistem horizontal, mudah mengakibatkan tulang keropos dan
penyakit lain. Kerja otak yang tegang dapat menyebabkan
penyelarasan cairan sistem saraf menjadi tidak normal,
menyebabkan metabolisme berupa minyak menjadi tidak teratur,
dan kolestrol darah meningkat.
c. Terpapar dengan polusi Faktor pemicu kista saat ini banyak sekali,
diantaranya pencemaran udara akibat debu dan asap pembakaran
kendaraan atau pabrik. Asap kendaraan, misalnya, mengandung
dioksin yang dapat memperlemah daya tahan tubuh, termasuk daya

3
tahan seluruh selnya. Kondisi ini merupakan pemicu. munculnya
kista
d. Personal hygiene
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang
tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya, alat
genitalia rentan dengan terjangkitnya bakteri selain pada anus.
Untuk itu sangat penting untuk menjaga kebersihan diri terutma alat
genitalia supaya tidak terinfeksi bakteri yang bias saja memicu
terjadinya kista bartholini. Selain Kista Bartholini, kurangnya
kesadaran akan personal hygiene juga dapat memicu terjadinya
penyakit infeksi kelamin, seperti kanker serviks.
6. Faktor Genetik
Dalam tubuh kita terdapat gen-gen yang berpotensi memicu kanker,
yaitu protoonkogen, karena suatu sebab tertentu, misalnya makanan
yang bersifat karsinogen, polusi atau terpapar zat kimia tertentu karena
radiasi, protoonkogen ini dapat berubah menjadi onkogen yaitu gen
pemicu kanker.

C. Tanda dan Gejala Kista Bartholin


Pada saat kelenjar bartholini terjadi peradangan maka akan membengkak,
merah dan nyeri tekan. Kelenjar bartholini membengkak dan terasa nyeri
bila penderita berjalan dan sukar duduk (Djuanda, 2007). Kista bartholini
tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang dirasakan sebagai
benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Bila kista
bartholini berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat
berjalan atau duduk. Tanda kista bartholini yang tidak terinfeksi berupa
penonjolan yang tidak nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan
atau pambengkakan pada daerah vulva disertai kemerahan atau
pembengkakan pada daerah vulva (Amiruddin, 2004).

4
Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkenbang menjadi abses
bartholini dengan gajala klinik berupa (Amiruddin, 2004):
1. Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik atau berhubungan seksual.
2. Umunnya tidak disertai demam kecuali jika terifeksi dengan organisem
yang ditularkan melaui hubungan seksual.
3. Pembengkakan pada vulva selam 2-4 hari.
4. Biasanya ada secret di vagina.
5. Dapat terjadi rupture spontan.
Tanda dan gejala yang dapat dilihat pada penderita kista bartolini adalah:
1. Pada vulva perubahan warna kulit,membengkak, timbunan nanah
dalam kelenjar, nyeri tekan.
2. Pada Kelenjar bartolin: membengkak, terasa nyeri sekali bila penderia
berjalan atau duduk juga dapat disertai demam.
Kebanyakkan wanita penderita kista bartolini, datang ke rumah sakit
dengan keluhan keputihan dan gatal, rasa sakit saat berhubungan dengan
pasangannya, rasa sakit saat buang air kecil, atau ada benjolan di sekitar
alat kelamin dan yang terparah adalah terdapat abses pada daerah kelamin.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan cairan mukoid berbau dan bercampur
dengan darah kelamin dan yang terparah adalah terdapat abses pada daerah
kelamin. Pada pemeriksaan fisik ditemukan cairan mukoid berbau dan
bercampur dengan darah

D. Patofisiologi Kista Bartholin


Kelenjar Bartholini terus menerus menghasilkan cairan, maka lama
kelamaan sejalan dengan membesarnya kista, tekanan didalam kista
semakin besar. Dinding kelenjar/kista mengalami peregangan dan
meradang. Demikian juga akibat peregangan pada dinding kista, pembuluh
darah pada dinding kista terjepit mengakibatkan bagian yang lebih dalam
tidak mendapatkan pasokan darah sehingga jaringan menjadi mati
(Setyadeng, 2010). Infeksi oleh kuman, maka terjadilah proses
pembusukan, bernanah dan menimbulkan rasa sakit. Karena letaknya di

5
vagina bagian luar, kista akan terjepit terutama saat duduk dan berdiri
menimbulkan rasa nyeri yang terkadang disertai dengan demam. Pasien
berjalan ibarat menjepit bisul di selangkangan (Djuanda, 2017).

E. Komplikasi dan Prognosis Kista Bartholin


Komplikasi kista Bartholin adalah terbentuknya abses, jika proses
infeksi terus berlangsung. Jika abses telah terbentuk, proses infeksi bisa
menyebar secara sistemik hingga menyebabkan sepsis.
Sedangkan komplikasi dari penatalaksanaan kista dan abses
Bartholin dengan teknik pembedahan misalnya pendarahan, dispareunia
pasca operasi, dan infeksi. Angka rekurensi pada teknik ini juga tinggi.
Sebaliknya, operasi laser CO2 lebih tidak invasif dan lebih efektif karena
dapat menyelesaikan banyak kelemahan operasi tradisional.

6
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pap smear
Untuk mengetahui kemungkinan adanya kanker/kista (mast, 2010)
2. Hitung darah lengkap
Penurunan Hb (Hemaglobin) dapat menunjukkan anemia kronis
sementara penurunan Ht (Hematokrit) menduga kehilangan darah aktif,
peningkatan SDP (Sel darah putih) dapat mengindikasikan proses
inflamasi/infeksi.
3. CA 125
Titer CA 125 serum sering membantu membedakan antara massa yang
benigna dan maligna. Terutama pada pasien pasca menopause.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kista bartholini tergantung pada beberapa faktor
seperti gejala klinik nyeri atau tidak, ukuran kista, dan terinfeksi tidaknya
kista. Jika kistanya tidak besar dan tidak menimbulkan ganguan tidak perlu
dilakukan tindakan apa-apa. Pada kasus jika kista kecil hanya perlu diamati
beberapa waktu untuk melihat ada tidaknya pembesaran (Wiknjosastro,
2017).
Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan, akan tetapi
kadang-kadang dirasakan sebagai benda berat dan menimbulkan kesulitan
pada saat coitus. Jika kistanya tidak besar dan tidak menimbulkan
gangguan, tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Dalam hal ini perlu
dilakukan tindakan pembedahan, tindakan itu terdiri atas ekstirpasi, akan
tetapi tindakan ini bisa menyebabkan perdarahan. Akhir-akhir ini
dianjurkan marsupisialisasi sebagai tindakan tanpa resiko dan dengan hasil
yang memuaskan. Pada tindakan ini setelah diadakan sayatan dan isi kista
dikeluarkan, dinding kista yang terbuka dijahit pada kulit yang terbuka
pada sayatan Tapi kalau kistanya besar dan menyebabkan keluhan atau
terinfeksi menjadi bisul (abses) terapi definitifnya berupa operasi kecil
(marsupialisasi).

7
Marsupialisasi yaitu sayatan dan pengeluaran isi kista diikuti
penjahitan dinding kista yang terbuka pada kulit vulva yang terbuka.
Tindakan ini terbukti tidak beresiko dan hasilnya memuaskan. Insisi
dilakukan vertical pada vestibulum sampai tengah kista dan daerah luar
cincin hymen. Lebar insisi sekitar 1,5 - 3 cm, tergantung besarnya kista
kemudian kavitas segera dikeringkan. Kemudian dilakukan penjahitan
pada bekas irisan. Bedrest total dimulai pada hari pertama post operatif.
1. Konservatif
Sejumlah tindakan konservatif dapat dilakukan untuk membantu
meringankan secara sementara rasa nyeri yang berat sehubungan
dengan infeksi kelenjar atau saluran bartholini. Misalnya, anjurkan
pasien untuk mencuci vulva engan air hangat beberapa kali sehari.
Berikan obat analgesik jika diperlukan. Setelah mengambil kultur,
pertimbangkan untuk memberikan antibiotik spekttrum luas yang
efektif melawan organisme yang tersering ditemukan pada infeksi ini
seperti bakteri koliform, klamidia dan gonokokus.
2. Marsupialisasi
Kadang merupakan terapi terpilih untuk pasien dibawah umur 40 tahun
jika tidak di indikasi eksisi kista. Selain itu marsupialisasi ditujukan
untuk mencegah kekambuhan dimasa mendatang. Setelah kista
dikosongkan, pelapisnya dijahit ke kulit labium minus dengan jahitan
terputus halus sepanjang pinggir luka. Sepotong kasa dimasukkan ke
dalam ostium yang baru dibentuk (Salim, 2009).
3. Mengeksisi Kista Bartholini
Pada saat ini jarang ada keperluan mengeksisi kista Bartholini kecuali
jika diduga karsinoma kelenjar Bartholini, eksisi bisa menjelaskan
diagnosis histologi. Kulit labium minus diinsisi dan tepi luka
ditegangkan. Kemudian dinding kistanya dikeluarkan secara tajam
dengan scalpel (Salim, 2009).

8
4. Kateter Word
Kateter word biasanya digunakan untuk penanganan kista saluran
bartolini dan abses. Batang karet kateter ini memiliki panjang 1 inchi
dan diameter no.10 french foley catheter. Balon kecil yang ditiup di
ujung kateter dapat menahan sekitar 3 ml larutan salin atau garam.
Setelah persiapan steril dan anestesi local, dinding kista atau abses
dijepit dengan forsep kecil, dan mata pisau no 11 digunakan untuk
membuat sayatan 5 mm (menusuk) kedalam kista atau abses. Sayatan
harus berada dalam introitus hymenalis eksternal terhadap daerah
dilubang saluran. Jika sayatan terlalu besar, kateter word akan jatuh
keluar. Setelah dibuat sayatan, kateter word dimasukkan, dan ujung
balon di kembangkan dengan 2-3 ml larutan garam yang disuntikkan
melalui pusat kateter yang memungkinkan balon kateter untuk tetap
berada di dalam rongga kista atau abses. Ujung bebas kateter dapat di
tempatkan dalam vagina. Untuk memungkinkan ephitelialisasi dari
pembedahan saluran di ciptakan, kateter word dibiarkan pada
tempatnya selama empat sampai enam minggu, meskipun
epithelialisasi dapat terjadi segera setelah tiga sampai empat minggu.
Jika kista bartolini atau abses terlalu dalam, penempatan kateter tidak
praktis, dan pilihan laian harus di pertimbangkan (Mast, 2010).

9
II. Tinjauan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Pengkajian Fokus
a. Wawancara
Identitas klien, keluhan utama (nyeri), riwayat obstetrik, riwayat
ginekologi, riwayat perkawinan, pekerjaan, pendidikan, keluhan
sejak kunjungan terakhir, pengeluaran pervaginam, riwayat
kehamilan, riwayat persalinan.
b. Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)
Tanda-tanda vital: Tekanan darah normal, nadi meningkat (> 100
x/mnt), suhu meningkat (> 37°C), RR normal (16 - 20 x/mnt)
Genitalia: Nyeri pada area genitalia, adanya benjolan lunak dan
supel berisi cairan berwarna kuning dan berbau, adanya perubahan
warna kulit, udem pada labia mayor posterior, adannya pengeluaran
cairan pada kelenjar bartolini.
c. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah
2. Pemeriksaan urin
3. Pemeriksaan kultur cairan vagina
4. Terapi
5. Pemberian antibiotik spektrum luas
2. Pengkajian Keperawatan
a. Data biografi pasien
b. Riwayat kesehatan saat ini, meliputi keluhan utama masuk RS,
faktor pencetus, lamanya keluhan, timbulnya keluhan, faktor yang
memperberat, upaya yang dilakukan untuk mengatasi, dan
diagnosis medis.
c. Riwayat kesehatan masa lalu, meliputi penyakit yang pemah
dialami, riwayat alergi, imunisasi, kebiasaan merokok, minum
kopi, obat-obatan dan alkohol.

10
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Pemeriksaan fisik umum dan keluhan yang dialami. Untuk pasien
dengan kanker servik, pemeriksaan fisik dan pengkajian keluhan
lebih spesifik ke arah pengkajian obstretri dan ginekologi, meliputi
Riwayat kehamilan. meliputi gangguan kehamilan. Pemeriksaan
fisik umum dan keluhan yang dialami. Untuk pasien dengan kanker
servik, pemeriksaan fisik dan pengkajian keluhan lebih spesifik ke
arah pengkajian obstretri dan ginekologi, meliputi Riwayat
kehamilan, meliputi gangguan kehamilan, proses persalinan, lama
persalinan, tempat persalinan, masalah persalinan, masalah nifas
serta laktasi, masalah bayi dan keadaan anak saat ini
f. Pemeriksaan genetalia
g. Pemeriksaan payudara
h. Riwayat operasi ginekologi
i. Pemeriksaan pap smear
j. Usia menarche
k. Menopause
l. Masalah yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi
m. Kesehatan lingkungan/hygiene
n. Aspek psikososial meliputi : pola pikir, persepsi diri, suasana hati,
hubungan/komunikasi, kebiasaan seksual, pertahanan koping,
sistem nilai dan kepercayaan dan tingkat perkembangan.
o. Data laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain
p. Terapi medis yang diberikan
q. Efek samping dan respon pasien terhadap terapi Persensi klien
terhadan nenvakitnva

11
B. Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan inkontinitus jaringan
sekunder
2. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses atau
tindakanoperasi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma pada kulit atau tindakan
operasi.

C. Perencanaan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan inkontinitus jaringan
sekunder
Intervensi :
Manajemen Nyeri
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyaninan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat dingin,
terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)

12
- Fasilitasi Istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyerl
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses atau


tindakanoperasi.
Intervensi :
Reduksi Ansietas
Observasi
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis. kondisi, waktu,
stresor)
- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
Terapeutik
- Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
dating

13
Edukasi
- Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
- Informasikan secara faktual mengenal diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
- Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
- Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

3. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma pada kulit atau tindakan


operasi.
Intervensi:
Pencegahan Infeksi
Observasi
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik
- Berikan perawatan kulit pada area edema
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

14
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham. F.G., MacDonald, P.C. (2005). Obstetri Williams. Jakarta: EGC.


Norwitz, E., Schorge, J. (2008). At A Glance: Obstetri & Ginekologi. Edisi 2.
Jakarta: Erlangga.
Blumstein, A Howard. 2005. Bartholin Gland Diseases.
Omole,FolashadeM.D. 2003. Management of Bartholin's Duct Cyst and Gland
Stenchever MA. Comprehensive gynecology 4th ed. St. Louis: Mosby, 2001:482-
6,645-6.
Hill DA, Lense JJ. Office management of Bartholin gland cysts and abscesses. Am
Fam Physician. 1998;57:1611-6.1619-20.
Govan AD, Hodge C. Callander R. Gynaecology illustrated. 3d ed New York:
Churchill Livingstone, 1985:19,195
Aghajanian A, Bernstein L, Grimes DA. Bartholin's duct abscess and cyst: a-case-
control study.South Med J. 1994;87:26
Visco AG, Del Priore G. Postmenopausal Bartholin gland enlargement: a hospital-
based cancer risk assessment. Obstet Gynecol. 1996:87:286–90.
Hill Ashley, M.D. 1998. Office Management of Bartholin Gland Cyst and
Wiknjosastro, Hanifa. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

15

Anda mungkin juga menyukai