Anda di halaman 1dari 15

KLIMATOLOGI PERKEBUNAN

Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Nabila Khairunnisya (2303320032)
2. Sulastri (2303320028)
3. Ahmad Syaifudin (2303320033)
4. Rasyadan Zildhika Firjatullah (2303320029)
5. Mgs Reszky Rahmad Danny (2303320030)
6. Harya Dwi Natta (23033200
7. Rahmad Sudarman (2303320017)
8. Dwi Rendra (23033200

Dosen Pengampu :
Dr. DEWI MEIDALIMA, S.P., M.P

FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


UNIVERSITAS TRIDINANTI TAHUN AJARAN 2023/2024
 PENGARUH CUACA TERHADAP KEGIATAN PERKEBUNAN

Nama : Rasyadan Zildhika Firjatullah


Npm : 2303320029

1. Pengertian Cuaca

Cuaca merupakan keadaan udara di atmosfer yang terjadi pada waktu serta tempat
tertentu dan juga sifatnya tidak menentu serta berubah-ubah. Biasanya ini berhubungan
dengan suhu, kelembaban, tekanan udara, kecepatan dan arah angin. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) cuaca adalah keadaang udara (tentang suhu, cahaya matahari
kelembapan, kecepatan angin, dan sebagainya) pada satu tempat tertentu dengan jangka
waktu terbatas. Selain itu, cuaca bisa menentukan periode waktu yang singkat hingga
dalam waktu beberapa hari. Kondisi cuaca itu bisa dikatakan sebagai suatu gambaran
fenomena cuaca yang khas, seperti diantaranya pada serangkaian badai petir di musim
panas, bulan berkabut di musim gugur, ataupun kondisi cuaca lainnya yang khas untuk
suatu daerah dan musim tertentu.
Cuaca merupakan salah satu bagian dari siklus kehidupan di alam. Ada 3 jenis
cuaca yang terjadi di alam secara umum yaitu cuaca cerah, cuaca mendung dan cuaca
hujan. 3 jenis cuaca tersebut sangat bermanfaat dan menentukan beberapa hal penting
dalam sebuah kegiatan, seperti kegiatan pertanian dan perkebunan yang manusia lakukan
di alam.

2. Pengaruh Cuaca Terhadap perkebunan

Di bidang perkebunan cuaca juga mempengaruhi mulai dari tanaman hingga buah
yang dihasilkan, ada tanaman perkebunan yang tidak boleh suhunya terlalu panas maka
buah yang dihasilkan tidak bagus kualitasnya sehingga jika terjadi perubahan cuaca
secara tiba-tiba misalnya daerah yang harusnya dingin berubah menjadi panas tentu akan
merusak kualitas tanaman perkebunan itu sendiri. Pengaruh cuaca yang ditimbulkan
terhadap kegiatan dalam bidang perkebunan adalah sebagai berikut:
1. Cuaca akan mempengaruhi waktu tanam, seperti petani padi tidak akan menanam
padi ketika cuaca hujan.
2. Cuaca yang berubah ubah akan mempengaruhi kualitas tanaman dari bidang
perkebunan, seperti adanya tanaman yang akan rusak buahnya ketika musim hujan
terus menerus dan ada tanaman yang tidak berbuah ketika cuaca cukup panas.
3. Cuaca yang berubah ubah pada bidang perkebunan akan menyebabkan gagal panen.
4. Cuaca juga menentukan waktu yang tepat untuk menanam tumbuhan pada bidang
perkebunan agar hasil panen yang didapatkan memuaskan.
 DAMPAK BANJIR AIR PASANG DAN KEKERINGAN TERHADAP
SEKTOR PERKEBUNAN

Nama :
NPM :

1. Dampak Banjir Air Pasang

Menurut Armah (2010) bagi negara agraris, sektor perkebunan merupakan sumber
mata pencaharian penduduk. Sebagian besarpendapatan penduduknya dihasilkan dari
sektor perkebunan dan pertainan. Sektor perkebunan menyumbang cukup besar untuk
pendapatan nasional namun sektor perkebunan dan pertanianmerupakan salah satu
yang paling rentan terhadap perubahan iklim atau bencana khususnya bencana banjir.
Apabila musim hujan datang dan intensitas hujan yang lebih wilayah pedesaan yang
dekat dengan aliran sungai selalu digenangi banjir yang mengakibatkan hilangnya
perubahan iklim, hancurnya infrastruktur utama, kerusakan pada sistem irigasi dan
pasokan air, dan hancurnya lahan perkebunan serta hilangnya cadangan makanan
ternak diseluruh wilayah. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan produksi
pertanian, pergeseran mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian,
dan secara signifikan akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Tanaman pangan
(jagung, sorgum, millet, kacang tanah, ubi, singkong, dan padi) yang terkena banjir
diperkirakan rentan mengalami kerawanan pangan dan kekurangan gizi pasca bencana.
Marfai, (2013) menjelaskan bahwa air laut pasang yang terlalu lama menggenang
dipermukaan tanah akan mempengaruhi kesuburan tanah dan sifat tanah. Genangan
air laut pasang dapat meningkatkan sanitasi tanah pada daerah genangan. Hal ini akan
berakibat pada penurunan kesuburan tanah sehingga tidak dapat di manfaatkan lagi
sebagai lahan budidaya perkebunan.. lahan perkebunan yang mengalami banjir
menjadi tidak produktif produktivitas lagi dan berdampak pada penurunan perkebunan.

 DAMPAK KEKERINGAN TERHADAP SEKTOR PERKEBUNAN


 PENGARUH TEMPARATUR DAN KELEMBABAN TANAH
TERHADAP PERKEBUNAN JAMBU BIJI

Nama :
NPM :

1. Temparatur

Temperatur tanah. Pada tanaman jambu biji kristal secara umum, pertumbuhan
tanaman jambu biji kristal yang baik memerlukan temperatur tanah berkisar antara 30
°C. Akan tetapi tanaman jambu masih dapat tumbuh pada suhu di atas 35 °C, namun
pertumbuhan dan produksinya kurang baik (Parimin, 2005). Keadaan temperatur udara
di suatu daerah atau wilayah berkaitan erat dengan ketinggian tempat (m dpl). Dimana
setiap kenaikan tinggi tempat 100 m, suhu menurun 0,61 °C. Sementara, pertumbuhan
tanaman di pengaruhi oleh temperatur.
Temperatur tanah merupakan salah satu faktor tumbuh tanaman yang penting
sebagaimana halnya air, udara dan unsur hara. Temperatur tanah juga sangat
mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah dan aktiivitas ini sangat terbatas pada
temperatur di bawah 10 °C, laju optimum aktivitas biota tanah yang menguntungkan
terjadi pada temperatur 18-30 °C, seperti bakteri pengikat N pada tanah berdrainase
baik (Pathan and Colmer, 2002). Adapun fungsi dari temperatur itu pada tanah istilah
untuk menyatakan intensitas atau tingkat panas yang berfungsi sebagai indikator
tingkat atau derajat aktivitas molekuler (Hanafiah, 2012). Ada beberapa faktor yang
membuat tinggi rendahnya temperatur tanah. Salah satunya yaitu terdapat dari faktor
luar antara lain radiasi matahari, awan, curah hujan, kecepatan angin dan kelembaban
udara. Sedangkan untuk faktor dalam meliputi faktor tanah yang meilupti struktur
tanah, kadar air tanah, kandungan bahan organik, pH tanah dan warna tanah. Makin
tinggi suhu makan semakin cepat pematangan pada tanaman (Ardhana dan Gede,
2012).

2. Kelembaban

Kelembaban tanah. Di daerah yang iklimnya tropis dengan curah hujan tidak tinggi
sangat cocok untuk membudidayaan jambu. Tanaman jambu yang di tanam di daerah
yang curah hujannya tinggi, tanaman mudah terserang penyakit dan buah mudah
rontok. Disamping itu, hujan lebat yang terus-menerus pada musim berbunga dapat
menyebabkan yang rontok sehingga produksi buahnya sedikit. Daerah yang memiliki
iklim basah dengan curah hujan berkisar 200 mm/tahun sangat baik untuk
pertumbuhan tanaman jambu. Keadaan curah hujan sangat berpengaruh terhadap
kualitas buah yang dihasilkan dan terhadap pembungaan, tanaman jambu yang ditanam
di daerah yang memiliki curah hujan tidak sesuai, maka tanaman hanya membentuk
daun-daun muda dan buang yang sedikit, bahkan tanaman tidak berbunga.
pada perkebunan jambu biji kristal umur 11 tahun, 6 tahun dan 5 tahun memiliki
rata-rata kelembaban kelembaban tinggi pada kedalaman tanah 0 cm. Sedangkan pada
Tabel. 4 kedalaman 30 cm tahun ke 11 dan tahun ke 6 memiliki rata-rata Kelembaban
tinggi sedangkan pada tahun ke 5 rata-rata didapatkan Wet (Lembab). Menurut ElNaby
(2000) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan
organik dapat dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu :
1) sifat dari bahan tanaman termasuk jenis tanaman, umur tanaman dan komposisi
kimia, 2) tanah termasuk aerasi, temperatur tanah, kelembaban tanah, kemasaman (pH
tanah), dan tingkat kesuburan, dan
3) faktor iklim terutama pengaruh dari kelembaban dan temperatur udara.
 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM KARENA PEMANASAN
GLOBAL TERHADAP PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Nama : Mgs Reszky Rahmad Danny
NPM : 2303320030

a. Pengertian Iklim
Iklim (climate) dan cuaca (weather) dinyatakan dengan besaran unsur fisika
atmosfer yang nantinya disebut unsur iklim atau unsur cuaca. Unsur iklim atau
unsur cuaca terdiri atas suhu udara, intensitas radiasi surya, lama penyinaran,
kecepatan dan arah angin, kelembaban udara, tekanan udara, penutupan awan,
presipitasi (curah hujan), serta evapotranspirasi (Nasir, 2008). Cuaca merupakan
kondisi yang mewakili keadaan atmosfer dalam jangka pendek pada suatu tempat
tertentu. Adapun iklim merupakan rata-rata perubahan unsur-unsur cuaca dalam
jangka panjang yang mencakup suatu tempat yang luas. Iklim maupun cuaca
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, perkembangan maupun produksi
tanaman, tetapi sampai saat ini masih sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, 2
iklim maupun cuaca seringkali disebut sebagai given factor dalam usaha
perkebunan.
Iklim mempunyai peranan penting dalam setiap tahapan pengelolaan
perkebunan kelapa sawit, mulai pembukaan lahan, pengadaan bahan tanaman,
pembibitan, pertumbuhan dan perkembangan, pemeliharaan hingga pemanenan.
Iklim berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap waktu pelaksanaan
setiap kegiatan kultur teknis. Lebih dari itu iklim juga turut berperan dalam
mempengaruhi kebutuhan biaya tahunan termasuk kebutuhan tenaga kerja. Akan
menjadi sebuah kesalahan besar apabila dalam usaha perkebunan, khususnya
kelapa sawit, mengacuhkan peranan iklim dan cuaca. Sampai saat ini, pemanfaatan
data cuaca dan iklim hanyalah sebatas pengamatan dan pencatatan data, bahkan
tidak jarang iklim menjadi kambing hitam atas permasalahan perkebunan (misalnya
penurunan produksi). Berdasarkan uraian-uraian tersebut, tidak bisa dipungkiri
bahwa pemahaman peranan iklim untuk pengelolaan pertanaman kelapa sawit perlu
ditingkatkan, tidak sebatas penggunaan alat instrumentasi untuk pengamatan dan
pengumpulan data, tetapi juga analisis serta aplikasinya.

b. Perubahan Iklim Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit

Perubahan iklim dapat terjadi sebagai akibat adanya pemanasan global.


Pemanasan global disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca; salah
satunya adalah CO2, di atmosfer bumi. Pada periode 400.000 tahun lalu hingga
tahun 1950, kadar CO2 di atmosfer adalah di bawah 300 ppm dengan rata-rata suhu
sekitar 15oC. Akan tetapi, saat ini konsentrasi CO2 di atmosfer bumi sudah
mencapai 400 ppm. Penelitian yang dilakukan oleh PPKS di Sumatera Utara dalam
kurun waktu 1971-2005 menunjukkan telah terjadi peningkatan suhu udara rata-
rata hingga 0,47oC (Siregar et al., 2006). Sementara itu, dilaporkan rata-rata
kenaikan suhu global sudah mencapai hingga 1oC (Boer, 2017).
Banyak ahli meyakini bahwa pemanasan global telah menyebabkan
peningkatan fenomena iklim ekstrim di berbagai tempat di dunia seperti
peningkatan pencairan es di kutub, peningkatan muka air laut, kekeringan, banjir,
gelombang panas dan lain sebagainya. Di Indonesia, kejadian iklim ekstrim
(khususnya curah hujan) berasosiasi dengan fenomena ENSO/El Niño Southern
Oscilation. Intensitas dan frekuensi ENSO mengalami peningkatan yang
diperkirakan sebagai akibat adanya efek dari pemanasan global (Boer, 2017).
Dalam kaitannya dengan tanaman kelapa sawit, fenomena ENSO negatif / El
Niño dapat menyebabkan kekeringan panjang yang akan mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan serta menurunkan produktivitas tanaman. Daerah Indonesia
bagian selatan dan bagian timur merupakan daerah yang lebih rentan kekeringan.
Dengan adanya perubahan iklim, diperkirakan daerah Sumatera akan relatif lebih
basah, sedangkan daerah Indonesia lainnya relatif lebih kering di masa depan.
Selain itu, persentase hujan tahunan yang turun pada musim hujan diperkirakan
secara umum meningkat. Hal ini menandakan bahwa frekuensi dan intensitas
kejadian iklim ekstrim meningkat (Boer, 2017).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanpa terkecuali kelapa sawit,
sangat bergantung pada faktor genetik, kondisi tanah dan iklim (Hartley, 1977). 3
Selain itu, produktivitas yang tinggi juga tergantung pada tindakan kultur teknis
dan pengelolaan perkebunan. Akan tetapi perlu diingat, iklim bukanlah satu-
satunya komponen yang dibutuhkan secara esensial, tetapi iklim juga saling
berinteraksi dengan faktor lain dalam memberikan daya dukung terhadap suatu
sistem perkebunan. Tanpa mengesampingkan unsur iklim lainnya, unsur iklim yang
berpengaruh dominan pada perkebunan kepala sawit di Indonesia adalah curah
hujan, radiasi matahari, dan suhu udara (untuk kasus di dataran tinggi).

Gambar 1. Stasiun klimatologi di tengah lahan pembibitan kelapa sawit


Boer, R. 2017. Perubahan iklim dan pembangunan sawit Indonesia. Disampaikan
dalam acara Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2017. Solo, Jawa Tengah.
 PENGARUH IKLIM TERGADAP PRKEBUNAN KELAPA SAWIT

Nama : Harya Dwi Natta


NPM : 2303320032

1. Curah Hujan

Curah hujan Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik di areal dengan
curah hujan tahunan antara 1750 - 3000 mm dan menyebar merata sepanjang tahun
(Adiwiganda et. al., 1999). Penyebaran curah hujan merata yang dimaksud adalah
tidak terdapat perbedaan mencolok dari satu bulan ke bulan berikutnya dan tidak
terdapat curah hujan bulanan di bawah 60 mm sehingga tanaman tidak mengalami
cekaman. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada perkebunan-perkebunan
kelapa sawit di Indonesia, telah diketahui curah hujan tahunan minimal untuk
tanaman kelapa sawit adalah 1.250 mm tanpa bulan kering (curah hujan bulanan
kurang dari 60 mm). 4 Penyebaran curah hujan juga merupakan faktor penting
untuk perkembangan bunga dan produksi tandan. Pada umumnya sewaktu musim
hujan terbentuk lebih banyak bunga betina, sedang pada musim kemarau terbentuk
lebih banyak bunga jantan (Turner, 1978). Selanjutnya telah diketahui bahwa
sebagian besar dari produksi tandan pada tahun sedang berjalan sebenarnya sangat
ditentukan oleh keadaan 24 - 42 bulan sebelumnya. Keadaan ini disebabkan adanya
hubungan yang erat antara curah hujan maupun radiasi matahari dengan sex ratio
(Hartley, 1977).
Sehubungan dengan keperluan pengelolaan perkebunan kelapa sawit, curah
hujan bulanan dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok (Lubis, 1992), yaitu
bulan kering ( 200 mm /bulan). Kelompok curah hujan bulanan ini nantinya akan
menentukan waktu maupun metode yang tepat dalam pengelolaan perkebunan
kelapa sawit.
Pada pembibitan kepala sawit, penyiraman harus dilakukan setiap hari jika
curah hujan kurang dari 8-10 mm. Sedangkan bila curah hujan telah mencapai 8- 10
mm atau lebih sudah dapat disetarakan memenuhi kebutuhan air untuk bibit kelapa
sawit dalam sehari. Pada waktu pembukaan areal, kawasan yang mempunyai
perbedaan musim kemarau dan musim hujan yang jelas, penumbangan dalam
pembukaan areal dilakukan pada awal musim kemarau. Pengolahan tanah pada
lahan yang terlalu kering akan mengakibatkan pecahnya agregat tanah, sedangkan
dalam keadaan terlalu basah akan mengakibatkan pemadatan. Oleh karena itu
pengolahan tanah yang tepat adalah pada bulan hujan sedang. Penanaman tanaman
kelapa sawit ke lapang sebaiknya dilakukan pada bulan hujan sedang atau bulan
hujan besar untuk menghindari terhambatnya pertumbuhan kelapa sawit. Pada
daerah yang tidak dijumpai curah hujan bulanan kurang dari 100 mm, penanaman
dapat dilakukan sepanjang tahun serta dipilih curah hujan yang lebih tinggi.
Keberhasilan pemupukan sangat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan.
Pemupukan yang tepat dilakukan pada bulan hujan sedang atau setidaknya pada
bulan curah hujan kecil, sehingga pencucian pupuk dapat dikurangi. Pemupukan
pada bulan hujan besar akan menyebabkan sebagian pupuk tercuci, sebaliknya
pemupukan pada bulan kering akan menyebabkan penguapan pupuk dan
ketersediaannya berkurang.

2. Radiasi Matahari

Tanaman kelapa sawit di lapang membutuhkan penyinaran matahari yang


optimum untuk fotosintesinya, karena kelapa sawit merupakan jenis tanaman
heliofit (penyuka matahari). Penyinaran matahari dibutuhkan sedikitnya 4 jam/hari
sehingga diharapkan hujan turun pada sore atau malam hari.
Sumber lain menyatakan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh optimal dengan lama
penyinaran 5 – 7 jam/hari atau 1.800 – 2.200 jam/tahun (Verheye, 2010).
Lama penyinaran erat kaitannya dengan energi radiasi surya yang tersedia
untuk fotosintesis tanaman. Semakin pendek lama penyinaran, tentu energi dari
radiasi surya yang diabsorbsi tanaman akan semakin sedikit. Apabila hal ini
berlangsung secara terus-menerus tentu akan menyebabkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, lama penyinaran yang kurang
dapat menyebabkan penurunan produksi inflorescence betina (Verheye, 2010).
Penurunan inflorescence betina akan berimbas pada penurunan sex ratio. Pengaruh
radiasi matahari akan semakin besar bila curah hujan dalam keadaan optimal.
Selain lama penyinaran, intensitas radiasi matahari terutama dari spektrum panjang
gelombang 0,4 – 0,7 mikron 5 (cahaya tampak) juga berpengaruh terhadap laju
fotosintesis. Kombinasi antara terganggunya pertumbuhan, perkembangan, dan
penurunan sex ratio akan menyebabkan penurunan produktivitas tanaman. Hal ini
diperkuat dengan fakta bahwa penurunan 20% intensitas radiasi matahari dari
spektrum cahaya tampak (visible light) dapat menurunkan fotosintesis potensial
tanaman hingga  50% (Ferwerda, 1977).

3. Suhu Udara

Suhu udara Temperatur udara pada batas-batas tertentu berpengaruh


terhadap metabolisme sel-sel pada organ tanaman yang akhirnya mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi. Perkebunan kelapa sawit dengan hasil yang tinggi
terdapat pada kawasan-kawasan yang mempunyai variasi suhu udara bulanan yang
kecil. Tanaman kelapa sawit tumbuh dan berkembang baik pada kawasan yang
mempunyai suhu udara rata-rata tahunan 24 – 28 C (Ferwerda, 1977). Untuk
produksi yang tinggi dibutuhkan suhu udara maksimum rata-rata pada kisaran 29 -
32C dan suhu udara minimum rata-rata pada kisaran 22 - 24C (Hartley, 1977).
Batas temperatur udara minimum rata-rata untuk syarat pertumbuhan dan
perkembangan kelapa sawit adalah 18C, bila kurang akan menghambat
pertumbuhan dan mengurangi hasil. Temperatur udara yang rendah pada
bulanbulan tertentu akan menghambat penyerbukan bunga yang akan menjadi
buah. Temperatur udara rendah akan meningkatkan aborsi bunga betina sebelum
antesis dan memperlambat pematangan buah (Ferwerda, 1977).

4. Faktor Iklim Lain

Faktor iklim lain Faktor iklim lain misalnya kecepatan angin dan
kelembaban udara merupakan pengaruh dari proses-proses dinamika unsur-unsur
iklim/cuaca lainnya, seperti radiasi surya, curah hujan, suhu udara. Kecepatan angin
yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan fisik pada pertanaman kelapa sawit.
Kelembaban udara erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan hama
dan penyakit kelapa sawit. Fluktuasi dan distribusi kelembaban udara menurut
waktu serta tempat 6 mengikuti fluktuasi unsur-unsur suhu, curah hujan dan radiasi
matahari. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan
kelembaban relatif 75 - 80% (Hartley, 1977), dimana kelembaban optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit adalah sekitar 75% (Ferwerda,
1977). Kelembaban udara yang cukup tinggi ini berkaitan dengan radiasi surya dan
suhu udara yang cenderung rendah dan curah hujan yang relatif tinggi. Kelembaban
yang terlalu tinggi akan menyebabkan tanaman menjadi rentan terhadap serangan
hama penyakit khususnya penyakit busuk buah Marasmius.

Gambar 2. Busuk tandan akibat serangan Marasmius sp.

Menurut Arie Malangyodo, seorang praktisi perkebunan kelapa sawit


nasional, penting untuk memilih jenis tanah yang tepat. Meskipun mayoritas lahan
dan iklim di Indonesia dianggap cocok, pemahaman lebih lanjut tetap diperlukan.
Kelapa sawit tumbuh subur di wilayah tropis dengan suhu optimal antara 28 hingga
32 derajat Celsius sepanjang tahun. Ketinggian ideal tempatnya adalah antara 1
hingga 500 meter di atas permukaan laut, dengan kecepatan angın 5-6 km/jam
untuk membantu proses penyerbukan.

Penyinaran matahari yang cukup juga penting, dengan kelapa sawit


membutuhkan sekitar 5-7 jam sinar matahari per hari. Ini mendukung proses
fotosintesis yang kuat, pertumbuhan pelepah daun yang optimal, dan akhirnya
menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang melimpah. Namun, perlu diingat
bahwa kelapa sawit membutuhkan air yang cukup. Kurangnya curah hujan di
bawah 1.500 mm per tahun dan lebih dari 5 bulan musim kemarau dapat
menghambat pertumbuhan pelepah daun secara optimal.
Selain iklim dan kebutuhan air, pemilihan jenis tanah juga krusial. Kelapa
sawit tumbuh baik di tanah datar, berdrainase baik, berlapis tebal, dan subur. Tanah
yang mengandung banyak lempung, dengan pH tanah antara 4-6, menjadi pilihan
yang baik. Jenis tanah seperti Latosol, Ultisol, Aluvial, gambut saprik, dataran
pantai, dan muara sungai dianggap sesuai untuk perkebunan kelapa sawit.
Penting untuk memilih lahan yang relatif datar dalam menanam kelapa
sawit. Lahan yang bergelombang atau berbukit dapat menyulitkan proses panen dan
angkutan TBS sawit, yang pada akhirnya meningkatkan biaya produksi. Erosi juga
dapat terjadi lebih mudah di lahan yang tidak datar, mengakibatkan hilangnya tanah
subur. Selain itu, akar kelapa sawit sulit menembus lapisan tanah yang keras,
sehingga pertumbuhan tanaman dapat terhambat.

Lubis, A. U. 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan


Marihat-Bandar Kuala. Pematang Siantar. 435p
 PENGARUH HAMA TERHADAP PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT

Nama : Nabila Khairunnisya


NPM : 2303320032

1. Hama Tikus

Hama mampu merusak tanaman kelapa sawit mulai dari tahap pembibitan
hingga tanaman menghasilkan, sehingga mengakibatkan bertambahnya biaya
pemeliharaan dan produksi yang harus dikeluarkan untuk memulihkan kondisi
tanaman. Salah satu hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit adalah
tikus (Rattus tiomanicus). Tikus merupakan hewan pengerat yang mampu
merusak tanaman budidaya dalam waktu singkat dan dapat menimbulkan
kehilangan hasil dalam jumlah besar. Menurut Nasution (2013), serangan tikus
pada tanaman kelapa sawit tidak tergantung musim, namun ada kecenderungan
bahwa serangan tikus akan lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan pada
musim penghujan.
Tingginya serangan tikus pada musim kemarau disebabkan oleh pada
musim kemarau kebutuhan makan tikus meningkat sedangkan ketersediaan
sumber makanan berkurang. Pada tanaman belum menghasilkan, serangan tikus
pada tanaman kelapa sawit yang baru ditanam dapat menyebabkan kematian 20-
30 %, karena tikus menyerang pelepah hingga titik tumbuh tanaman (Madry,
1996). Dampak dari serangan ini adalah harus dilakukannya penanaman ulang
yang memerlukan biaya tambahan untuk bibit dan tenaga kerja, serta
menyebabkan tertundanya masa panen tanaman.

Gambar 3. Hama tikus yang menyerang kelapa sawit


2. Hama Ulat Api

Kelapa sawit diserang oleh serangga yang berbeda dari pembibitan hingga
tanaman yang dikembangkan di lapangan. Saat di lapangan, serangga
menyerang pada fase muda tanaman (TBM) hingga tanaman menghasilkan
(TM). Ulat api adalah salah satu gangguan umum yang menyerang kelapa sawit.
Berdasarkan informasi dari Direktorat Perlindungan Perkebunan, diketahui
bahwa luas serangan hama penyakit pada perkebunan kelapa sawit pada tahun
2014 seluas 78.764,31 ha, dengan ulat dan tikus tercatat sebagai hama utama.
Scarab dan infeksi dapat mengurangi kreasi hingga 70%. Hambatan lain yang
ditimbulkan oleh serangan serangga adalah kenaikan biaya pemeliharaan dan
pembuatan yang seharusnya disebabkan untuk membangun kembali kondisi
pabrik.(Sri et al., 2017).

Gambar 4. Jenis ulat api yang ditemukan pada kelapa sawit

3. Hama Serangga Kembang Tanduk

Serangga hama Oryctes rhinoceros kerap kali dikenal dengan nama lokal
kumbang tanduk/kumbang badak/kumbang penggerek pucuk kelapa. Populasi
dari serangga hama kumbang tanduk ini tinggi karena pakan terus menerus
tersedia sehingga menunjang keberlangsungan hidup hama. Serangan yang
disebabkan kumbang tanduk membahayakan bagi tanaman belum
menghasilkan (TBM) karena jika sampai mengenai titik tumbuhnya maka akan
muncul penyakit yang disebabkan karena infeksi melalui luka terbuka pada
tanaman dan kemungkinan terburuknya dapat menyebabkan kematian.
Kumbang tanduk dominan menimbulkan kerusakan pada areal TBM
dibandingkan TM. Imago (dewasa) kumbang tanduk menggerek pada titik
tumbuh (pupus) dengan membuat lubang pada pangkal pelepah daun muda
yang masih memiliki tekstur lunak.
Kumbang tanduk dengan stadia imago lah yang berperan menjadi hama
karena memakan tajuk tanaman dengan menggerek melalui pangkal menuju ke
dalam titik tumbuh tanaman sehingga terbentuk kumpulan serat dari bekas
gerekannya. Serangan tersebut akan memperlihatkan gejala berupa pelepah
dengan bentuk huruf ‘V’ terbalik. Kondisi ini dapat berlangsung selama kurang
lebih 6-9 bulan sesuai umur kumbang tanduk. Kumbang tanduk memiliki
kemampuan untuk berpindah dari tanaman kelapa sawit yang satu ke yang lain
setiap 4-5 hari sehingga kemampuan merusak dari satu ekor kumbang tanduk
hingga 6-7 pohon/bulan. Apabila terjadi serangan ulangan, tanaman menjadi
rentan untuk terserang serangga hama kumbang garis merah (Rhynchophorus
bilineatus M.), terpuntirnya titik tumbuh yang menyebabkan tanaman tumbuh
dengan tidak baik, bahkan kematian pada tanaman.
Tergolong ke dalam ordo Coleoptera, family Scarabidae, dan subfamily
Dynastinae, siklus hidup kumbang tanduk variatif tergantung kondisi
lingkungan. Kondisi habitat yang optimal bagi perkembangan larva adalah
27°C-29°C dengan kelembaban 85%-95%. Kondisi habitat yang optimal juga
akan berpengaruh pada lama siklus hidup dari kumbang tanduk. Kumbang
tanduk betina dapat memproduksi telur hingga 70 butir telur dalam satu siklus
hidupnya. Hal tersebut dapat membuat keberadaan hama ini di lokasi
perkebunan akan semakin meningkat dan dapat menimbulkan kerugian dan
kerusakan tanaman kelapa sawit yang lebih besar. Serangan kumbang tanduk
pada perkebunan apabila tidak dikendalikan secara terpadu / PHT
(Pengendalian Hama Terpadu / Integrated Pest Management), maka akan
memberikan hasil yang tidak optimal. Perlu diketahui secara baik juga siklus
hidupnya untuk pengendalian yang lebih efektif.

Gambar 5. Hama Serangga Kembang Tanduk

Madry B. 1996. Pengendali Hama Tikus dengan Alternatif Pemeliharaan


Burung Hantu (Tytoalba). Depatermen Pertanian Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai