Anda di halaman 1dari 98

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SALEP EKSTRAK DAUN

PUCUK MERAH (Syzygium myrtifolium Walp.) TERHADAP LUKA


INSISI

MEILANI P LIMBONGAN

19013111

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR

2023
FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SALEP EKSTRAK DAUN
PUCUK MERAH (Syzygium myrtifolium Walp.) TERHADAP LUKA
INSISI

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana

Farmasi (S.Farm)

Diajukan Oleh

Meilani P Limbongan

19013111

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR

MAKASSAR

2023

iii
iv
iii
iv
KATA PENGANTAR

Syalom, salam sejahtera buat kita semua, puji dan syukur penulis panjatkan

kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat, Kasih karunia serta

kemampuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Formulasi dan Uji Aktivitas Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) Terhadap Luka Insisi” sebagai salah satu syarat akademik dalam

menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana farmasi di Sekolah Tinggi Ilmu

Farmasi Makassar.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua

terkasih yaitu Ayah Tercinta Julius K Limbongan dan Ibunda Tercinta Silpha atas

cinta kasih dan ketulusannya serta selalu menyebut penulis di setiap sujud doanya.

Terima kasih untuk didikan, motivasi, dukungan mental maupun materi yang

diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Serta adik saya Salti, Jembris Limbongan, Brenda Geraldine Limbongan yang selalu

menyemangati saya, dan Erfandi Surya Laksono yang selalu menemani dan menjadi

support system penulis. Serta sahabat saya Linda Lummy, Novelin Cicilia Mita, Dwi

Putri Mansur, Rahmialna, Fikram Adum Wijaya, dan Andika Saputra Ardi yang

sudah dianggap sebagai saudara kandung yang selalu memberikan nasehat dan

motivasi untuk menyelesaikan pendidikan di STIFA Makassar.

Melalui kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

iii
1. Bapak Drs. H. Sahibuddin A. Gani selaku ketua Yayasan Almarisah Madani

yang menaungi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar atas segala fasilitas,

sarana dan prasarana pendidikan yang telah disediakan.

2. Bapak apt. Akbar Awaluddin., S.Si, M.Si selaku pembimbing utama yang telah

meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan ilmu kepada

penulis selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Ibu apt. Michrun Nisa., S.Farm, M.Sc selaku pembimbing pertama yang telah

meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan ilmu kepada

penulis selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

4. Bapak Prof. Dr. Apt. M. Natsir Djide, M.Si, bapak Dr. apt. Fajriansyah, S.Si.,

M.Si, ibu apt. Andi Nur Aisyah, S.Si., M.Si, dan bapak Fhahri Mubarak,

S.Farm, M.Si selaku penguji dan yang telah memberikan masukan dan

arahan untuk perbaikan skripsi penulis.

5. Ibu Dr. Nursamsiar, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar

atas ilmu dan bimbingan selama penulis menuntut ilmu sampai penyusunan

skripsi ini.

6. Ibu apt. Yuri Pratiwi Utami, S.Farm., M.Si selaku penasihat akademik dan wali

bagi penulis di kampus, yang selalu memberikan nasihat dan bimbingan,

selama penulis menempuh pendidikan di STIFA Makassar.

7. Bapak dan Ibu dosen Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar yang telah

banyak memberikan ilmu, didikan, teguran, canda tawa serta motivasi yang

iv
sangat bermanfaat bagi penulis selama menempuh pendidikan di STIFA

Makassar.

8. Teman-teman mahasiswa Oxytor 2019 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar

khususnya kelas Reguler C yang selalu membantu dalam keadaan susah

maupun senang.

9. Laboran Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar yang telah bersedia membantu

selama penulis meneliti dan praktikum di laboratorium.

10. Kepada teman-teman Everyday is malming (Noor Ashari, Gemitha

Ekawirayanti, Egie Valenchy Vistariza, Ahmad Fajri Nur, Delsi Rolita, Siti

Umairah Hi Satar, Fina Arinty Tamsil, dan Brando Yanuarius Inanosa) yang

telah menjadi teman seperjuangan dan teman diskusi.

11. Kepada teman-teman PKM penulis (Meylan Maharani Popang, Suci Sari Putri,

dan Novita Indah Purnamasari) yang telah membantu penulis dan teman

diskusi mulai dari penyusunan proposal hingga penelitian.

12. Teman-teman mahasiswa Oxytor 2019 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar

khususnya kelas Reguler C yang selalu membantu dalam keadaan susah

maupun senang.

13. Laboran Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar yang telah bersedia membantu

selama penulis meneliti dan praktikum di laboratorium.

14. Kepada teman-teman Everyday is malming (Noor Ashari, Gemitha

Ekawirayanti, Egie Valenchy Vistariza, Ahmad Fajri Nur, Delsi Rolita, Siti

iii
Umairah Hi Satar, Fina Arinty Tamsil, dan Brando Yanuarius Inanosa) yang

telah menjadi teman seperjuangan dan teman diskusi.

15. Kepada teman-teman PKM penulis (Meylan Maharani Popang, Suci Sari Putri,

dan Novita Indah Purnamasari) yang telah membantu penulis dan teman

diskusi mulai dari penyusunan proposal hingga penelitian.

16. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung telah

memberikan bantuan, dukungan dan semangat yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,

penulis menerima segala saran dan kritikan yang bersifat membangun dari segala pihak.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca

dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Makassar, Januari 2023

Meilani P Limbongan

iv
iii
ABSTRAK

Judul : Formulasi dan Uji Aktivitas Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah
(Syzygium myrtifolium Walp.) Terhadap Luka Insisi

(Dibimbing oleh: Akbar Awaluddin dan Michrun Nisa)

Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) adalah tanaman yang mengandung
beberapa senyawa berkhasiat dalam pengobatan. Salah satunya dapat sebagai
penyembuh luka, seperti luka insisi karena memiliki senyawa flavanoid yang dapat
merusak permeabilitas bakteri dan menghambat enzim siklooginase. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui jumlah konsentrasi ekstrak daun pucuk merah terhadap luka insisi
dan mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak daun pucuk merah terhadap sifat fisik
salep. Ekstrak daun pucuk merah (S. myrtifolium Walp.) diuji aktivitas antibakteri pada
S. aureus kemudian diformulasikan menjadi sediaan salep dan diaplikasikan pada luka
yang diamati selama 8 hari. Hasil penilitian menunjukan bahwa uji aktivitas ekstrak
daun pucuk merah (S. myrtifolium Walp.) yang didapatkan yaitu konsentrasi sebesar
6% dan kemudian sediaan salep telah memenuhi persyaratan evaluasi. Data diolah
menggunakan uji statistik dengan metode One Way ANOVA dengan SPSS 22. Hasil
analisis SPSS data panjang luka sediaan salep ekstrak daun pucuk merah 6%, salep
povidone iodine, dan kontrol negatif menunjukkan hasil menunjukkan hasil yang
berbeda secara signifikan, yang dimana signifikasiannya yaitu 0,808 (p>0,05) berarti
tidak ada perbedaan bermakna (efektivitasnya sama).

Kata kunci: Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.), Luka Insisi, Salep,
Uji Aktivitas

xi
ABSTRACT

Title : Formulation and Activity Test of Red Bud Leaf Extract Ointment
(Syzygium myrtifolium Walp.) Against Incision Wounds

(Supervised by: Akbar Awaluddin dan Michrun Nisa)

Red shoots (Syzygium myrtifolium Walp.) is a plant that contains several medicinal
compounds. One of them can be used as a wound healer, such as an incision wound
because it has flavanoid compounds that can damage the permeability of bacteria and
inhibit cycloginase enzymes. The purpose of this study was to determine the amount of
concentration of red shoots leaf extract on the incision wound and to determine the
effect of the concentration of red shoots leaf extract on the physical properties of the
ointment. Red shoot leaf extract (S. myrtifolium Walp.) was tested for antibacterial
activity on S. aureus then formulated into an ointment and applied to the observed
wounds for 8 days. The research results showed that the activity test of red shoots (S.
myrtifolium Walp.) leaf extract obtained was a concentration of 6% and then the
ointment preparation met the evaluation requirements. The data were processed using
statistical tests with the One Way ANOVA with SPSS 22 methods. The results of the
SPSS analysis of wound length data on 6% red shoot leaf extract ointment, povidone
iodine ointment and negative control showed significantly different results (p=0,808)
greater than 0.05, meaning there is no significant difference (the effectiveness is the
same).

Keywords: Activity Test, Incision Wound, Ointment, Red shoots (Syzygium


myrtifolium Walp.)

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................................... xi

ABSTRACT ............................................................................................................... xii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xvii

DAFTAR TABEL ................................................................................................... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

I.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1

I.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 3

I.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................. 3

I.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5

II.1 Kulit ..................................................................................................................... 5

II.1.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit ......................................................................... 5

xiii
II.1.2 Struktur Kulit ................................................................................................ 6

II.2 Definisi Luka ........................................................................................................ 12

II.2.1 Jenis-jenis dan Mekanisme Luka ................................................................ 13

II.2.2 Luka Insisi (Incised wound) ....................................................................... 15

II.2.3 Proses Penyembuhan Luka ......................................................................... 16

II.3 Uraian Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) .................................. 20

II.3.1 Uraian Tanaman ......................................................................................... 20

II.3.2 Klasifikasi Tanaman ................................................................................... 20

II.3.3 Morfologi Tumbuhan ................................................................................. 20

II.3.4 Kandungan Kimia ....................................................................................... 21

II.3.5 Manfaat Daun Pucuk Merah ....................................................................... 21

II.4 Simplisia ............................................................................................................... 22

II.4.1 Tahapan Pembuatan Simplisia.................................................................... 23

II.5 Ekstraksi ............................................................................................................... 25

II.6 Staphylococcus aureus .......................................................................................... 27

II.6.1 Morfologi .................................................................................................... 27

II.6.2 Klasifikasi Staphylococcus aureus ............................................................. 27

II.6.3 Karakteristik Staphylococcus aureus .......................................................... 27

xiv
II.7 Antibakteri ............................................................................................................ 30

II.8 Formulasi Salep ................................................................................................. 32

II.8.1 Definisi Salep .............................................................................................. 32

II.8.2 Uraian Bahan Tambahan............................................................................. 34

II.9 Uraian Hewan Coba .......................................................................................... 38

II.9.1 Klasifikasi Kelinci (Oryctolagus cuniculus) ............................................... 38

II.9.2 Karakteristik Kelinci (Oryctolagus cuniculus) ........................................... 39

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 40

III.1 Jenis, Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 40

III.2 Pelaksanaan Penelitian ..................................................................................... 40

III.2.1 Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 40

III.3 Metode Penelitian ............................................................................................ 41

III.3.1 Penyiapan Sampel...................................................................................... 41

III.3.2 Pengujian Aktivitas Bakteri ....................................................................... 42

III.3.3 Formulasi Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah ............................................ 44

III.3.4 Evaluasi Sediaan Salep .............................................................................. 45

III.3.5 Cara Kerja .................................................................................................. 46

III.4 Variabel Penelitian ....................................................................................... 48

xv
III.5 Jenis Data ..................................................................................................... 48

III.6 Analisis Data ................................................................................................ 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 49

IV.1 Hasil Ekstraksi Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) ................ 49

IV.2 Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Pada Bakteri Staphylococcus aureus ....................................................................... 50

IV.3 Hasil Evaluasi Fisik Sediaan Basis Salep dan Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah
(Syzygium myrtifolium Walp.) ................................................................................. 52

IV.4 Hasil Pengujian Luka Insisi Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) ................ 53

BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 58

V.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 58

V.2 Saran.................................................................................................................. 58

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 59

LAMPIRAN ............................................................................................................... 63

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur Kulit (Kalangi, 2014) ..................................................................... 6

Gambar 2 Sel-sel Epidermis (Mustamu et al., 2020) ................................................... 7

Gambar 3 Lapisan-lapisan Epidermis (Hani Yousef, 2021) ......................................... 8

Gambar 4 Garis Langer’s (Mustamu et al., 2020) ...................................................... 11

Gambar 5 Fase Inflamasi ............................................................................................ 18

Gambar 6 Fase proliferasi ........................................................................................... 19

Gambar 7 Fase remodeling merupakan fase terlama penyembuhan luka ................... 20

Gambar 8 Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) (Dokumentasi Pribadi)


………......................................................................................................................... 21

Gambar 9 Bakteri Staphylococcus aureus (Jawetz, 2013) .......................................... 28

Gambar 10 Tahapan Infeksi Sistemik S. aureus (Cheung et al., 2021) ...................... 30

Gambar 11 Propil Paraben (Rowe., et al, 2009 : 596) ................................................ 36

Gambar 12 Stearil Alkohol (Rowe., et al, 2009 : 700) ............................................... 37

Gambar 13 Kelinci (Oryctolagus cuniculus) .............................................................. 39

xvii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rancangan Formula Sediaan Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) ..................................................................................................... 43

Tabel 2 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus Ekstrak Daun Pucuk

Merah.......................................................................................................................... 50

Tabel 3 Hasil Evaluasi Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium

Walp.) ......................................................................................................................... 52

Tabel 4 Hasil Pengukuran Panjang Luka Insisi Kelinci Hari Ke-1 Hingga Hari Ke-8
.................................................................................................................................... 55

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik Penelitian ...................................................................... 63

Lampiran 2 Skema Kerja Pembuatan Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium

myrtifolium) ................................................................................................................. 64

Lampiran 3 Skema Kerja Uji Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus .............. 65

Lampiran 4 Skema Kerja Pembuatan Sediaan Salep .................................................. 66

Lampiran 5 Skema Kerja Pengujian Salep Terhadap Hewan Coba ............................ 67

Lampiran 6 Perhitungan % Rendemen Ekstrak .......................................................... 68

Lampiran 7 Hasil Uji Statistik SPSS ........................................................................... 69

Lampiran 8 Dokumentasi Proses Pembuatan Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium

myrtifolium) ................................................................................................................. 70

Lampiran 9 Dokumentasi Proses Uji Aktivitas Antibakteri Stapylococcus aureus .... 72

Lampiran 10 Dokumentasi Proses Pembuatan Sediaan Salep .................................... 74

Lampiran 11 Dokumentasi Pembuatan Luka Insisi Pada Kelinci ............................... 76

Lampiran 12 Gambar Luka Insisi Pada Kelinci .......................................................... 77

xix
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Luka dalah kerusakan jaringan tubuh dan fungsi struktural yang disebabkan

oleh trauma dan perubahan patologi fisik dan kimiawi, benda tajam atau tumpul,

perubahan suhu, atau gigitan hewan. Luka tidak dapat sembuh dengan sendirinya

karena jika luka dibiarkan atau tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi

penyembuhan luka yaitu infeksi dan perdarahan. Ketika luka terjadi, organisme ini

berubah seperti hilangnya fungsi organ secara total atau sebagian, respons stress

simpatis, kontaminasi bakteri, dan kematian sel. Pada dasarnya luka akut dan luka

kronis sembuh dengan sendirinya melalui proses alami yang terjadi di dalam tubuh.

(Widyawati., et al, 2021; Saputri et al., 2021).

Data Riskesdes kemenkes RI (2018), prevalensi penyakit luka di Indonesia

tercatat sebanyak 20,1%, di daerah Sulawesi Selatan tercatat sebanyak 27,8%

mengalami luka akibat tusukan, robekan, dan irisan. Dilihat dari kelompok umur,

kelompok umur 25-34 tahun memiliki angka kejadian luka tertinggi, yaitu sekitar

22,3%. Luka insisi dapat diklasifikasikan sebagai akut jika sembuh sesuai dengan

proses penyembuhan normal, atau kronis jika penyembuhannya tertunda atau terdapat

tanda-tanda infeksi. (Hall et al., 2014; Kartika et al., 2015). Luka insisi atau luka bedah

operasi seringkali menimbulkan komplikasi infeksi dengan presentase 14%-16%. Luka

insisi bisa disengaja seperti luka operasi, atau tidak disengaja seperti yang disebabkan

oleh benda tajam atau tumpul. (Widyawati et al., 2021). Oleh karena itu, perawatan

1
luka sayatan sangatlah penting. Sayatan biasanya diobati dengan obat konvensional,

seperti antibiotik topikal. Antibiotik yang tidak digunakan sesuai resep dapat

menyebabkan resistensi obat. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko penggunaan

antibiotik tanpa resep diperlukan pendekatan pengobatan lain yaitu pengobatan

komplementer. Menurut WHO (2013), obat komplementer dapat berasal dari

tumbuhan, mineral, hewan atau kombinasi bahan-bahan yang berpotensi obat.

(Wilantari, 2020).

Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai obat adalah pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.). Studi pada daun pucuk merah menunjukkan bahwa ekstrak daun

pucuk merah mengandung alkaloid, flavonoid, fenol dan saponin. Flavonoid merusak

permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom karena interaksi antara

flavonoid dan DNA bakteri. Mekanisme kerja alkaloid sebagai agen antimikroba adalah

dengan mengganggu penyusun peptidoglikan sel bakteri. Mekanisme kerja saponin

sebagai antibakteri adalah dapat menyebabkan denaturasi protein dan enzim

intraseluler. Mekanisme antimikroba senyawa fenolik untuk membunuh

mikroorganisme adalah dengan mendenaturasi protein seluler (Putri., et al. 2020).

Penggunaan ekstrak kental secara langsung pada kulit tidak praktis dan tidak optimal,

sehingga perlu disiapkan sediaan yang dapat melekat pada permukaan kulit dalam

waktu yang lama dan bersifat oklusif sehingga dapat menyembuhkan luka secara efektif

yaitu semi- sediaan padat dalam bentuk salep. (Hernani., et al, 2012). Formulasi salep

membentuk lapisan oklusif pada permukaan kulit yang berfungsi untuk mencegah

hilangnya panas dan cairan. Basis salep melembutkan kulit dengan meninggalkan

2
lapisan di permukaan kulit (emolien), sehingga hidrasi kulit meningkat karena

penguapan air di lapisan kulit terhambat. (BA, Jamie., et al, 2014; Mayba and

Gooderham, 2017).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat

formula sediaan salep berbahan dasar alami ekstrak daun pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) terhadap luka insisi pada kelinci (Oryctolagus cuniculus).

I.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Berapakah konsentrasi ekstrak daun pucuk merah (Syzygium myrtifolium

Walp.) yang efektif terhadap luka insisi?

2. Bagaimanakah pengaruh konsentrasi ekstrak daun pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) terhadap sifat fisik salep?

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui jumlah konsentrasi ekstrak daun pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) terhadap luka insisi.

2. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak daun pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) terhadap sifat fisik salep.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi dikalangan masyarakat dan

juga diharapkan sebagai sumber rujukan bagi peneliti didalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi (IPTEK) bahwa daun pucuk merah (Syzygium myrtifolium

3
Walp.) dapat dimanfaatkan dalam pembuatan salep yang terbukti dapat memberikan

efek terhadap luka insisi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kulit

II.1.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ dengan luas permukaan terbesar (± 2 m2) dan menutupi

seluruh bagian luar tubuh, sehingga kulit berperan sebagai lapisan pelindung tubuh

terhadap benda asing, bahan kimia, sinar ultraviolet yang terdapat dari sinar matahari,

dan melindungi tubuh dari mikroorganisme serta menjaga keseimbangan respon tubuh

terhadap perubahan lingkungan. Kulit merupakan indikator pada seseorang untuk

mendapat kesan umum dengan mengamati perubahan pada kulit. Kulit bisa menjadi

pucat, kuning, merah, atau hangat yang menandakan adanya kelainan pada tubuh atau

kelainan kulit yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Gangguan jiwa juga dapat

menyebabkan kelainan atau perubahan pada kulit, seperti perubahan kulit pada wajah

saat stress, ketakutan, atau sedang dalam keadaan marah. (Mustamu et al., 2020).

Kulit mempunyai banyak kegunaan. Kulit berperan sebagai penghalang air,

invasi oleh mikroorganisme, trauma mekanis dan kimia, serta kehancuran akibat cahaya

UV. Kulit berperan sebagai perlengkapan pelindung bagian dalam, misalnya otot serta

tulang; sebagai perlengkapan peraba dengan dilengkapi berbagai reseptor yang peka

terhadap bermacam rangsangan; sebagai perlengkapan ekskresi; dan sebagai pengatur

temperatur badan. Sehubungan dengan kegunaan perlengkapan peraba, kulit dilengkapi

dengan reseptor-reseptor spesial. Reseptor untuk rasa sakit ujungnya menjorok masuk

ke wilayah epidermis. Reseptor untuk tekanan, ujungnya terletak di dermis yang jauh

5
dari epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung reseptornya terletak

di dekat epidermis (Hani Yousef, 2021; Mustamu et al., 2020).

II.1.2 Struktur Kulit

Menurut, Kalangi (2014) kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis

(lapisan bagian luar tipis) dan dermis (lapisan tengah). Epidermis ialah jaringan epitel

yang berasal dari ektoderm, sebaliknya dermis berbentuk jaringan ikat agak padat yang

berasal dari mesoderm. Di dasar dermis ada selapis jaringan ikat longgar yaitu

hipodermis (bagian sangat dalam), yang pada sebagian tempat paling utama terdiri dari

jaringan lemak.

Gambar 1 Struktur Kulit (Kalangi, 2014)

1. Epidermis (lapisan bagian luar tipis)

Epidermis merupakan susunan terluar kulit, serta terdiri atas epitel berlapis

gepeng dengan susunan tanduk. Epidermis cuma terdiri dari jaringan epitel, tidak

memiliki pembuluh darah ataupun limfa; oleh sebab itu seluruh nutrien serta oksigen

diperoleh dari kapiler pada susunan dermis. Epitel berlapis gepeng, pada epidermis ini

6
tersusun oleh banyak lapis sel yang diucap keratinosit. Epidermis terdiri atas susunan

epitel gepeng yang berisi 4 jenis sel ialah Keratinocytes (90%) yang berperan dalam

memproduksi keratin selaku penahan air, Melanocytes bertugas memproduksi

penciptaan pigmen yang hendak membagikan warna pada kulit, sel Langerhans

(macrophages) berperan dalam sistem immune response serta sel Merkel yang

mempunyai tugas menangkap sensasi sentuh pada kulit (touch sense) yang tersambung

dengan ujung syaraf di susunan dermis.

Gambar 2 Sel-sel Epidermis (Mustamu et al., 2020)

Sel- sel ini secara senantiasa diperbarui lewat mitosis sel- sel dalam lapis basal yang

secara berangsur digeser ke permukaan epitel. Sepanjang perjalanan, sel- sel ini

berdiferensiasi, membengkak, serta mengumpulkan filamen keratin dalam

sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati serta secara senantiasa

dilepaskan (terkelupas). Waktu yang diperlukan untuk menggapai permukaan

merupakan 20 hingga 30 hari. Modifikasi struktur sepanjang ekspedisi ini disebut

sitomorfosis dari sel- sel epidermis. Wujudnya yang berganti pada tingkatan berbeda

7
dalam epitel membolehkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap

permukaan kulit (Kalangi, 2014). Menurut (Hani Yousef, 2021) Epidermis terdiri atas

5 susunan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum, stratum

granulosum, stratum lusidum, serta stratum korneum.

Gambar 3 Lapisan-lapisan Epidermis (Hani Yousef, 2021)

a. Stratum basal (lapis basal, lapis benih), juga dikenal sebagai stratum germinativum,

adalah lapisan terdalam, dipisahkan dari dermis oleh membran basal (lamina basal)

dan melekat pada membran basal oleh hemidesmosom. Selsel yang ditemukan pada

lapisan ini berbentuk kuboid hingga kolumnar sel punca aktif secara mitosis yang

terus-menerus memproduksi keratinosit. Lapisan ini juga mengandung melanosit.

b. Stratum spinosum (lapis taju), 8- 10 susunan sel, dikenal sebagai susunan sel duri

memiliki sel polihedral tidak beraturan dengan proses sitoplasma, kadang- kadang

disebut "duri", yang memanjang ke luar serta menghubungi sel tetangga sebelah

dengan desmosom. Sel dendritik bisa ditemui pada susunan ini.

8
c. Stratum granulosum (lapis berbutir), 3- 5 susunan sel, memiliki sel berupa berlian

dengan butiran keratohyalin serta butiran pipih. Granula keratohyalin memiliki

prekursor keratin yang intinya beragregasi, berikatan silang, serta membentuk

bundel. Butiran pipih memiliki glikolipid yang disekresikan ke permukaan sel serta

berperan selaku lem, melindungi agar sel senantiasa melekat.

d. Stratum lucidum (lapis bening), 2- 3 susunan sel, ada pada kulit yang lebih tebal, ada

pada telapak tangan serta telapak kaki, yaitu susunan tipis bening yang terdiri dari

eleidin yang merupakan produk transformasi keratohyalin.

e. Stratum korneum (lapis tanduk), 20- 30 susunan sel, merupakan susunan paling atas,

terdiri dari keratin serta sisik tanduk yang terdiri dari keratinosit mati, yang diketahui

sebagai sel skuamosa berinti. Ini merupakan susunan yang sangat bermacam-

macam ketebalannya, paling utama pada kulit kapalan. Di dalam susunan ini,

keratinosit yang mati menghasilkan defensin yang merupakan bagian dari

pertahanan imunitas awal kita.

2. Dermis (lapisan tengah)

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit, batas dengan epidermis dilapisi

oleh membrane basalis dan di samping bawah berbatasan dengan subkutis. Akan tetapi

batas ini kurang jelas dan hanya diambil sebagai patokan dari mulainya terdapat sel

lemak. Batas dermis yang sukar ditentukan, karena menyatu dengan lapisan subkutis

(hipodermis), ketebalannya antara 0,5-3 mm, beberapa kali lebih tebal dari jaringan

epidermis, dibentuk dari komponen jaringan pengikat. Derivat dermis terdiri atas

rambut, kelenjar minyak, kalenjar lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh

9
kedalam dermis. Dermis terdiri atas serat-serat kolagen, dan serabut-serabut elastis, dan

serabut-serabut retikulin. Serat-serat ini bersama pembuluh darah dan pembuluh getah

bening membentuk anyaman-anyaman yang memberikan perdarahan untuk kulit

(Mustamu et al., 2020). Menurut (Kalangi, 2014), Dermis terdiri atas stratum papilaris

dan stratum retikularis, batas antara kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling

menjalin.

a. Stratum papilaris

Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang

jumlahnya bermacam-macam antara 50–250/mm2. Jumlahnya banyak dan lebih dalam

pada daerah yang dimana terdapat tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki.

Sebagian besar papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi

pada jaringan epitel di atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris

yaitu badan Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat. b.

Stratum retikularis

Lapisan retikulosa mengandung jaringan pengikat rapat dan serat kolagen.

Sebagian besar lapisan ini tersusun gelombang, mengandung sedikit serat retkulin, dan

banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan, serat-serat tersebut membentuk garis

tegangan kulit. Terdapat pola sulkus atau Garis Langer’s (Gambar 4). Insisi pada Garis

Langer’s berpengaruh pada penyembuhan luka. Jika potongan tersebut searah, dapat

menyebakan penyembuhan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak searah.

10
Gambar 4 Garis Langer’s (Mustamu et al., 2020)

Serat otot polos juga ditemukan di tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut,

skrotum, preputium, dan puting payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet

menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan untuk mengatur ekspresi

wajah. Lapisan retikular menyatu dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya

yaitu jaringan ikat longgar yang banyak mengandung sel lemak.

3. Hipodermis (Bagian paling dalam)

Lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ini berupa

jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus yang terorientasi sejajar terhadap

permukaan kulit, beberapa di antaranya menyatu dermis. Pada daerah tertentu, seperti

punggung tangan, lapisan ini memungkinkan gerakan kulit di atas struktur. Di daerah

lain, serat-serat yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan.

Sel-sel lemak lebih banyak daripada dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan

keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung terkumpul di daerah tertentu. Tidak ada

atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis, namun

11
di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih. Lapisan

lemak ini disebut pannikulus adiposus (Kalangi, 2014).

II.2 Definisi Luka

Luka adalah rusak dan hilangnya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh

trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, paparan zat kimia, ledakan, sengatan listrik,

maupun gigitan hewan. Satu luka dapat menyebabkan kerusakan fungsi perlindungan

kulit akibat hilangnya kontinuitas jaringan epitel dengan atau tanpa kerusakan jaringan

lain, seperti otot, tulang, dan saraf (Wintoko, Dwi and Yadika, 2020).

Luka merupakan gangguan struktur fungsi ataupun anatomis suatu jaringan.

Luka dapat terjadi karena suatu proses patologis yang terjadi baik dari luar maupun

dalam tubuh. Luka akut biasanya terjadi dalam proses yang terbilang cepat dan

terstruktur. Tubuh masih mempunyai mekanisme perbaikan dan pertahanan yang baik

untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Sedangkan luka kronik adalah luka yang gagal

mengalami proses mekanisme pertahanan dan perbaikan yang seharusnya. Sehingga

kerusakan jaringan dapat berlangsung lama tanpa adanya perkembangan (Ansori,

2015).

Luka juga merupakan terputusnya kontinuitas jaringan akibat adanya substansi

jaringan yang rusak atau hilang akibat cedera atau pembedahan. Luka merupakan

degradasi integritas jaringan epitel. Gangguan keutuhan kulit, permukaan mukosa atau

jaringan organ dapat menyebabkan terbentuknya luka, luka dapat terjadi sebagai bagian

dari proses suatu penyakit atau memiliki etiologi yang tidak disengaja atau disengaja.

12
Luka yang disengaja ditujukan untuk terapi, misalnya pada prosedur operasi atau

pungsi vena. Akan tetapi, luka yang tidak disengaja terjadi secara accidental. Trauma

tumpul merupakan suatu rudapaksa akibat terbentur oleh benda tumpul. Trauma tumpul

dapat menyebabkan luka memar (contusio), luka lecet (abrasio) dan luka robek (vulnus

laceratum). Trauma tajam adalah suatu rudapaksa akibat kontak dengan benda tajam.

Trauma tajam dapat mengakibatkan terbentuknya luka iris atau luka sayat (vulnus

scissum), luka tusuk (vulnus punctum) dan luka bacok (vulnus caesum) (Wintoko, Dwi

and Yadika., 2020).

II.2.1 Jenis-jenis dan Mekanisme Luka

Luka ialah kondisi lenyap ataupun terputusnya kesatuan jaringan (kulit) yang

biasanya mengganggu proses selular wajar. Sebagian respon yang timbul bila

terbentuknya luka ialah hilangnya segala ataupun sebagian guna organ, reaksi tekanan

pikiran simpatis, pendarahan serta pembekuan darah, kontaminasi kuman serta

kematian sel (Oktaviani et al., 2019).

Adapun jenis-jenis luka berdasarkan sifatnya mengikuti prosedur (Oktaviani et

al., 2019), yaitu:

a. Luka Lecet (Vulnus excoriasi) cedera ini akibat gesekan dengan barang keras

misalnya terjatuh dari motor sehingga terjadi gesekan antara anggota badan dengan

aspal. Ukuran luka ini cuma mempunyai panjang serta lebar, tetapi umumnya

menimpa ujung- ujung syaraf dan perih di kulit sehingga derajat perih umumnya

lebih besar dibandingkan luka robek.

13
b. Luka Sayat (Vulnus scissum, incised wound) Tipe luka ini diakibatkan oleh sayatan

barang tajam misalnya logam ataupun kayu. Luka yang dihasilkan tipis serta kecil,

yang pula dapat diakibatkan karena sengaja dalam proses penyembuhan. Umumnya

terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjalin akibat operasi.

Luka bersih (aseptik) umumnya tertutup oleh sutura sehabis segala pembuluh darah

yang cedera diikat (Ligasi).

c. Luka Robek ataupun parut (Vulnus laseratum) luka tipe ini biasa disebabkan oleh

barang keras yang mengganggu permukaan kulit misalnya terjatuh, terserang ranting

tumbuhan, ataupun terserang batu sehingga memunculkan robekan pada kulit.

Ukuran cedera panjang, lebar serta dalam.

d. Luka Tusuk (Vulnus punctum) luka terjalin akibat tusukan barang tajam, berbentuk

cedera kecil serta dalam. Pada cedera ini butuh diwaspadai terdapatnya kuman

Clostridium tetani barang tajam/ logam yang menimbulkan cedera.

e. Luka gigitan (Vulnus morsum) luka tipe ini diakibatkan gigitan gigi, baik itu oleh

manusia maupun fauna semacam serangga, ular, serta fauna buas. Butuh diwaspadai

luka akibat gigitan dari ular berbisa yang beresiko.

f. Luka bakar (Vulnus combustion) luka ataupun kehancuran jaringan yang mencuat

disebabkan temperatur besar. Penindakan tipe luka ini didasarkan pada 4 stadium

cedera serta prosentase permukaan badan yang dibakar.

Berdasarkan pada lama pengobatan, luka dapat dibedakan jadi akut serta kronis.

Luka akut merupakan luka trauma yang bisa sembuh dengan baik bila tidak terdapat

kompilkasi. Contohnya: luka sayat, luka bakar, luka tusuk, luka jahit. Sebaliknya luka

14
kronis merupakan luka yang proses pengobatannya memerlukan waktu yang lama serta

kerap terjalin kembali sebab terdapatnya hambatan terhadap proses kesembuhan yang

disebabkan oleh permasalahan multifactor dari pengidap. Contohnya: ulkus decubitus,

luka diabetes mellitus, ulkus vena serta luka bakar. Luka dikatakan akut bila

pengobatan terjalin dalam 2- 3 pekan. Sebaliknya luka kronis merupakan seluruh tipe

cedera yang tidak terdapat isyarat sembuh dalam jangka lebih dari 4- 6 pekan (Kartika

et al., 2015; Rida dan Taharuddin, 2021).

II.2.2 Luka Insisi (Incised wound)

Berdasarkan kedalaman dan luas luka dibedakan menjadi luka stadium I

(superficial); luka stadium II (paratial thickness); luka stadium III; dan luka stadium

IV. Salah satu luka stadium IV yaitu luka insisi yang mana dapat terjadi melalui

pembedahan (Wilantari, 2020).

Luka insisi merupakan luka yang ditimbulkan karena teriris oleh instrumen

yang tajam, seperti luka yang terjadi setelah pembedahan atau operasi. Luka insisi dapat

dikelompokkan menjadi luka akut jika mengalami keterlambatan penyembuhan

(delayed healing) atau menunjukkan tanda-tanda infeksi karena terkontaminasi bakteri

(Wilantari, 2020).

Luka insisi dibuat dengan cara menginsisi kulit menggunakan instrumen tajam

seperti pisau, luka tersebut akan menimbulkan masalah jika penanganannya kurang

baik, sehingga dapat menyebabkan luka kronis akibat tidak tercapainya proses

penutupan luka yang sempurna. Luka insisi dibuat dengan potongan bersih

menggunakan instrumen tajam, luka insisi atau luka bedah operasi seringkali

15
menimbulkan komplikasi infeksi dengan presentase 14%-16%. Luka insisi dapat terjadi

karena disengaja, seperti luka operasi, dan luka tidak disengaja, seperti luka aksidental

yang diakibatkan oleh benda tajam maupun tumpul (Widyawati et al., 2021). Luka

insisi/operasi berkembang menjadi luka kronis yang dapat menyebabkan gangguan,

bukan hanya mengganggu aktivitas, namun juga memiliki dampak ekonomi signifikan

berkaitan dengan biaya penanganannya, juga mengakibatkan penurunan produktivitas

akibat morbiditasnya, terutama nyeri (Malluka, 2021).

II.2.3 Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu runtutan mekanisme tubuh dari mulai luka

terjadi akibat suatu proses patologis hingga mengembalikan jaringan yang rusak

kembali seperti semula. Dari mulai terjadinya luka hingga luka menjadi sembuh

sempurna dibutuhkan 4 fase. Fase-fase tersebut adalah hemostasis, inflamasi,

proliferasi dan remodeling (Ansori, 2015).

Adapun fase-fase yang berperan dalam penyembuhan luka mengikuti prosedur

(Ansori, 2015; Kartika et al., 2015), yaitu:

a. Hemostasis merupakan fase paling awal yang terjadi sesaat setelah luka timbul.

mekanisme hemostasis terjadi sesaat setelah luka terjadi, pembuluh darah di sekitar

luka akan mengerucut dan memperlambat aliran darah ke daerah luka. Trombosit

memiliki peran yang sangat penting, yaitu mengeluarkan zat vasokontriksi dan

membentuk gumpalan penyumbat untuk menutup pembuluh darah yang rusak.

Beberapa zat lain yang berperan dalam fase hemostasis adalah ADP (Adhenosine

Diphospate), fibrin, fibrinogen serta growth factors. Fase hemostasis terjadi dalam

16
beberapa menit setelah luka terjadi, kecuali jika penderita memiliki kelainan dalam

pembekuan darah.

b. Fase selanjutnya adalah fase inflamasi. Fase inflamasi dapat terjadi dari beberapa

menit setelah luka hingga mencapai 2 atau 5 hari setelahnya. Fase ini ditandai

dengan adanya gejala-gejala khas inflamasi, yaitu rubor (memerah), kalor (hangat),

dolor (nyeri) dan tumor (membengkak). Setelah pembuluh darah

bervasokonstriksi, beberapa saat kemudian ia akan kembali bervasodilatasi yang

akan difasilitasi oleh histamin, serotonin dan sitokin.

Gambar 5 Fase Inflamasi

Selain membuat vasodilatasi histamin juga akan meningkatkan permeabilitas vena,

sehingga cairan dari pembuluh darah akan masuk ke daerah luka atau yang disebut

dengan eksudasi. Hasil yang berperan penting dari proses eksudasi ini adalah

neutrofil. Eksudat juga membawa banyak nutrisi, growth factors, dan juga enzim

yang akan membantu proses penyembuhan. Peran neutrofil dikatakan sangat

penting sebagai pembersih luka, neutrofil akan memfagositosi debris dan patogen

17
yang ada di bagian luka. Fungsi utama neutrofil adalah membersihkan, meski

nantinya tugas dari neutrofil ini akan lebih banyak digantikan oleh makrofag.

c. Fase selanjutnya adalah proliferasi. Fase proliferasi terjadi dari hari ke-4 hingga

hari ke-21 setelah terjadinya luka. Fase proliferasi merupakan fase pembentukan

jaringan baru menggantikan jaringan rusak.

Gambar 6 Fase proliferasi

Fibroblas merupakan faktor yang paling penting di fase ini. Fibroblas akan mulai

memperbaiki sel yang rusak dengan mulai menghasilkan gikosaminoglikans dan

diakhiri dengan pembentukan fibrilar kolagen. Fase ini ditandai dengan adanya

angiogenesis, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granulasi, kontraksi luka

dan epitelisasi. Secara klinis, proliferasi ditandai adanya jaringan kasar berwarna

merah atau kolagen di dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan dermal dan

kadang-kadang jaringan subdermal pada luka yang lebih dalam, serta kontraksi

luka.

d. Fase terakhir adalah fase remodeling. Fase ini merupakan fase terlama yaitu sekitar

8 hari hingga 2 tahun dari terjadinya luka. Lama fase ini dipengaruhi oleh berbagai

18
faktor yang mempengaruhinya. Fase ini ditandai dengan adanya deposit kolagen

dalam jaringan yang rapi dan pembentukan kembali jaringan serta penarikan dari

bekas luka. Pada 3 minggu pertama, kekuatan kulit pada bekas luka hanya sekitar

20% hingga 30%. Kekuatan kulit akan mencapai 70% hingga 80% pada masa akhir

fase remodeling.

Gambar 7 Fase remodeling merupakan fase terlama penyembuhan luka

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan adanya keseimbangan

antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Bekas luka atrofi dapat

menjadi hasil akhir setelah penyelesaian fase pematangan. Sebaliknya, ketika degradasi

kolagen terganggu atau sintesis berlebihan, maka jaringan parut dapat menjadi luka

hyperthrophic atau bahkan keloid. Kondisi yang ideal akan menjadi keseimbangan

antara degradasi, sintesis, atau deposisi kolagen untuk menghasilkan jaringan parut

yang normal.

19
II.3 Uraian Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)

II.3.1 Uraian Tanaman

Gambar 8 Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) (Dokumentasi Pribadi)

II.3.2 Klasifikasi Tanaman

Menurut Ningsih (2017), Klasifikasi tanaman pucuk merah (Syzygium myrtifolium

Walp.) adalah sebagai berikut:


Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Class : Magnoliopsida

Sub Class : Rosidae

Ordo : Mytales

Famili : Myrtaceae

Genus : Syzygium

Spesies : Syzygium myrtifolium Walp.


II.3.3 Morfologi Tumbuhan

Daun pucuk merah ketika baru tumbuh berwarna merah menyala, kemudian

berubah menjadi coklat, lalu berubah lagi menjadi warna hijau. Pucuk merah berupa

20
daun tunggal berbentuk lancip, warna daun mengalami perubahan, bertangkai sangat

pendek, permukaan daun bagian atas mengkilap dan tumbuh berhadapan. Bunga pucuk

merah yang sudah mekar, tampak adanya kepala putik yang berwarna putih dengan

tangkai putik yang berukuran lebih pendek dibandingkan benang sarinya, posisi putik

tepat ditengah, tangkai sari berwarna putih berukuran lebih panjang dari putiknya,

berjumlah sangat banyak dengan kepala sari berwarna kuning muda. Ukuran daun

pucuk merah panjang ± 6 cm dan lebar ± 2 cm dengan pertulangan daunnya menyirip,

bunga majemuk tersusun dalam malai berkarang terbatas (Ningsih, 2017).

II.3.4 Kandungan Kimia

Skrining fitokimia daun pucuk merah menunjukkan adanya flavonoid, kuinon,

saponin, tanin, dan steroid/triterpenoid (Herni and Maulida, 2019). Daya antibakteri

tanaman ini disebabkan oleh adanya kandungan antioksidan dan zat aktif pada tanaman

pucuk merah (Syzygium myrtifolium Walp.) antara lain: flavonoid, kalkon, terpenoid,

betulinic acid, alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, dimethyl cardamonin dan minyak

atsiri (Putri, Prasasti and Idayanti, 2020).

II.3.5 Manfaat Daun Pucuk Merah

Tanaman pucuk merah juga mengandung senyawa sianidin-glikosida, suatu

senyawa antosianin yang bersifat antioksidan. Penelitian yang telah dilakukan

menyatakan bahwa batulinic acid yang terkandung dalam ekstrak metanol daun pucuk

merah memiliki aktivitas antikanker kolon dengan cara menghambat angiogenesis

tumor pada tikus (Sunarti, 2021). Pucuk merah diketahui kaya akan kandungan

flavonoid, salah satunya senyawa dimethyl cardamonin (2’,4’-dihydroxy-

21
6’methoxy3’,5’-dimethylchalcone), suatu golongan kalkon yang memiliki sifat

sitotoksik. Senyawa golongan kalkon diketahui memiliki aktivitas antikanker,

antiinflamasi, analgesik, antibakteri, antijamur, dan antiprotozoal. Selain itu pucuk

merah mengandung senyawa sianidin-glikosida, suatu senyawa antosianin yang

bersifat antioksidan (Brush, 2015). Peran Flavonoid bekerja mengurangi

pembengkakan dengan mekanisme penangkapan radikal bebas dan penghambatan

enzim siklooksigenase sehingga prostaglandin, leukotrin dan histamin sebagai pemicu

terjadinya inflamasi menjadi terhambat (Indriani., et al, 2020).

II.4 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun, kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan

yang dikeringkan. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun

kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal. Untuk memenuhi

syarat, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain:

1. Bahan baku simplisia

2. Proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia

3. Cara pengepakan dan penyimpanan simplisia

Zat yang dapat digunakan sebagai obat dari suatu simplisia pada umumnya

merupakan suatu zat yang memiliki metabolit sekunder. Tumbuhan secara alamiah dapat

menghasilkan metabolit primer maupun metabolit sekunder. Simplisia nabati yang

berasal dari tanaman belum tentu dapat diolah, digunakan secara langsung, atau

dipasarkan sebagai komoditas, terutama dalam kapasitas produksi. Terdapat beberapa

22
tahapan yang perlu untuk dilakukan sebelum simplisia nabati dipasarkan atau dapat

digunakan dan diolah menjadi suatu olahan produk bahan alam. Tahapan-tahapan

tersebut penting dilakukan untuk mendapatkan simplisia dengan kualitas yang

diharapkan (Qamari, Tarigan, dan Alridiwirsah, 2017).

II.4.1 Tahapan Pembuatan Simplisia

Berikut merupakan tahapan alur pengolahan simplisia menurut Qamari, Tarigan, dan

Alridiwirsah (2017), sebagai berikut:

1. Pengumpulan Bahan Baku

Tahap pengumpulan atau tahap pemanenan terkadang dianggap sebagai suatu hal

yang sepele. Padahal, tahap ini merupakan tahap yang sangat menentukan untuk

mendapatkan simplisia dengan kualitas yang memenuhi standar. Terdapat beberapa

faktor yang perlu diperhatikan dalam pemanenan suatu simplisia nabati, yaitu:

a. Bagian tanaman yang dipanen Penentuan bagian tanaman yang dipanen menjadi

hal yang utama. Tidak semua bagian tanaman dapat dipanen dalam waktu yang

bersamaan. Bagian tanaman yang akan dipanen menentukan waktu panen.

Penentuan waktu panen erat kaitannya dengan tingkat zat aktif yang terdapat

dalam suatu simplisia.

b. Waktu pemanenan, beberapa bagian tanaman yang dapat diambil secara berulang

dalam satu siklus hidup contohnya adalah bagian daun, bunga, buah, dan korteks.

Pemanenan dapat dilakukan pada periode tertentu misalnya, daun dari suatu

tanaman dapat diambil kembali setelah muncul pucuk yang baru. Pada beberapa

tanaman tertentu, pemanenan dilakukan hanya pada saat tertentu. Misalkan: teh

23
akan dipanen dengan baik pada pagi hari karena kadar metabolit seperti senyawa

katekat atau epigalokatekin galat.

2. Cara pemanenan akan sangat tergantung pada metabolit yang terkandung. Pada

tanaman yang mengandung senyawa fenolat, umumnya tidak boleh dipanen dengan

menggunakan pisau atau alat-alat yang terbuat dari besi.

3. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan unuk memisahkan cemaran dan kotoran dari simplisia yang

baru dipanen. Sortasi ini dapat mengurangi jumlah kontaminasi mikroba.

4. Pencucian

Dilakukan dengan menggunakan air yang bersih (air sumur, PDAM, air dari mata

air). Pencucian secara signifikan mampu mengurangi mikroba yang terdapat dalam

simplisia. Penggunaan air harus diperhatikan. Beberapa mikroba lazim terdapat di

air yaitu: Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus,

Enterobacter, serta E. coli pada simplisia akar, batang, atau buah. Untuk

mengurangi jumlah mikroba awal dapat dilakukan dengan pengupasan kulit luar

terlebih dahulu.

5. Perajangan

Dilakukan untuk mempermudah dalam proses pengeringan, pengepakan, dan

penggilingan. Perajangan harus memperhatikan senyawa yang terkandung dalam

simplisia. Untuk lebih amannya, gunakan pisau atau pemotong yang terbuat dari

stainless steel.

24
6. Pengeringan

Setelah suatu simplisia nabati dipanen, umumnya simplisia tersebut akan

dikeringkan, jika memang tidak akan digunakan secara segar. Pengeringan

merupakan suatu hal yang sangat krusial karena beberapa metabolit sangat rentan

terhadap sinar matahari. Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air hingga

kadar tertentu, umumnya tidak boleh lebih dari 10%. Dengan berkurangnya kadar

air, diharapkan akan lebih tahan terhadap pertumbuhan kapang serta kemungkinan

reaksi kimia yang diperantarai oleh air, contoh reaksi redoks atau reaksi enzimatis.

Proses pengeringan yang baik dilakukan pada suhu 30°C-90°C (terbaik 60°C).

Namun pada kondisi bahan aktif tidak tahan terhadap panas atau mengandung bahan

yang mudah untuk menguap, dilakukan pada suhu 30°C-45°C atau dilakukan

dengan menggunakan oven vakum. Umumnya, senyawa-senyawa yang berwarna

memiliki kerentanan terhadap sinar matahari.

7. Sortasi kering

Merupakan tahap sebelum simplisia dikemas. Dilakukan untuk memisahkan bagian

yang tidak diinginkan atau ada cemaran. Proses ini juga dilakukan untuk

memisahkan simplisia-simplisa tergantung pada mutu.

II.5 Ekstraksi

Salah satu metode yang digunakan untuk menemukan obat tradisional adalah

metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa

yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan

25
terlebih dahulu. Menurut Mukhriani (2014) Proses ekstraksi khususnya untuk bahan

yang berasal dari tumbuhan adalah sebagai berikut:

1. Pengelompokkan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan

penggilingan bagian tumbuhan.

2. Pemilihan pelarut

3. Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya

4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya

5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petroleum eter, kloroform, dan sebagainya.

Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini

sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan dengan

memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang

tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai

kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel

tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan.

Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang

digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu,

beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain,

metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat

termolabil (Mukhriani, 2014). Maserasi remaserasi adalah penyarian yang dilakukan

dengan membagi dua cairan penyari yang digunakan kemudian disaring dan ampasnya

di maserasi kembali dengan cairan penyari kedua.

26
II.6 Staphylococcus aureus

II.6.1 Morfologi

Gambar 9 Bakteri Staphylococcus aureus (Jawetz, 2013)

II.6.2 Klasifikasi Staphylococcus aureus

Menurut Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology (Krieg et al., 2011)


klasifikasi S. aureus adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Monera

Divisi : Firmicutes

Kelas : Firmibacteria

Bangsa : Eubacteriales

Suku : Micrococcaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus


II.6.3 Karakteristik Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk bulat

dengan diameter 0,8–1,0 µm dan tersusun bergerombol tidak beraturan, kadang-kadang

seperti untaian buah anggur, tidak dapat bergerak dan tergolong bakteri aerob sampai

anaerob fakultatif. S. aureus merupakan mikroorganisme yang normal ada di kulit,

27
hidung, tenggorokan dan saluran pencernaan manusia. Bakteri ini banyak dijumpai

pada selaput hidung, kulit dan kantung rambut (Krieg et al., 2011).

Staphylococcus aureus (juga dilambangkan sebagai Staph. aureus atau S.

aureus) dapat berkisar dari infeksi kulit dan jaringan lunak yang sederhana hingga

kondisi yang lebih serius dan mengancam nyawa seperti infeksi darah

(bakteremia/septikemia). Staphylococcus aureus mengeluarkan zat polimer

ekstraseluler (EPS), yang dikenal sebagai biofilm, yang membantu mikroba untuk

melawan dan meminimalkan efek obat antibakteri. Mirip dengan biofilm bakteri

lainnya, biofilm Staphylococcus aureus juga memiliki dua komponen yang berbeda,

yaitu air (sekitar 97%) dan bahan organik yang meliputi EPS dan mikrokolon. EPS ada

sekitar 50 sampai 90% dari total bahan organik biofilm dan merupakan kompleks zat

polimer yang berbeda, seperti DNA ekstraseluler (eDNA), protein dan polisakarida.

Bagian sisanya, 10–25%, terdiri dari mikrokoloni (Idrees et al., 2021).

Infeksi kulit terbanyak disebabkan oleh bakteri piogenik yaitu S. aureus dan

Streptokokus hemolitik grup A antara lain S. pyogenes. Kebersihan serta perawatan

sawar kulit yang kurang baik berhubungan dengan terjadinya infeksi kulit yang

disebabkan oleh bakteri terutama S. aureus (Putri et al., 2022).

28
Gambar 10 Tahapan Infeksi Sistemik Staphylococcus aureus (Cheung et al., 2021)

Infeksi sistemik S. aureus sering dimulai dengan penerobosan bakteri melalui

penghalang pelindung kulit atau penyebaran dari biofilm yang dapat terbentuk pada

perangkat medis yang ada di dalam. Di dalam aliran darah, bakteri dapat secara aktif

menyerang dan menghilangkan sel-sel kekebalan tersebut sebagai neutrofil melalui

toksin sitolitik, atau sebagai alternatif bertahan dalam sel tersebut untuk mencapai

distribusi sistemik. Melewati hati, di mana bakteri dihadapkan oleh aktivitas fagositik

sel Kupffer, merupakan hambatan untuk infeksi sistemik selanjutnya. Jika bakteri

bertahan tahap ini, mereka selanjutnya dapat mendistribusikan melalui aliran darah dan

menempel dan menyerang sel-sel jaringan, yang dimediasi oleh protein permukaan

MSCRAMM. Pembentukan abses selanjutnya dipengaruhi oleh banyak faktor bakteri

berbeda yang mencakup permukaan tertentu protein, toksin, dan eksoenzim (Cheung

et al., 2021).

29
II.7 Antibakteri

Antibakteri merupakan zat yang menekan pertumbuhan atau reproduksi bahkan

dapat membunuh bakteri. Antibakteri terbagi atas dua berdasarkan mekanisme

kerjanya, yaitu bakteriostatika yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan

bakterisida yang bersifat membunuh bakteri. Antibakteri dapat memiliki aktivitas

bakteriosatika menjadi aktivitas bakterisida apabila kadarnya ditingkatkan melebihi

kadar hambatan minimal (KHM) (Rollando, 2019). Target mekanisme antibakteri

adalah sebagai berikut:

a. Perusakan dinding sel

Struktur sel dirusak dengan menghambat pada saat pembentukan atau setelah proses

pembentukan dinding sel. Seperti antibiotika penisilin yang menghambat

pembentukan dinding sel dengan cara menghambat pembentukan mukopeptida

yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.

b. Pengubahan permeabilitas sel

Kerusakan pada membran sitoplasma akan mengambat pertumbuhan sel, karena

membran sitoplasma berfungsi mempertahankan bagian-bagian tertentu dalam sel

serta mengatur aktivitas difusi bahan-bahan penting, dan membentuk integritas

komponen seluler

c. Penghambatan kerja enzim

Penghambatan enzim akan menyebabkan aktivitas selular tidak berjalan normal.

Seperti sulfonamid yang bekerja dengan bersaing dengan PABA, sehingga dapat

30
menghalangi sintesis asam folat yang merupakan asam amino essensial yang

berfungsi dalam sintesis purin dan pirimidin.

d. Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein

DNA dan RNA yang mempunyai peran yang sangat penting sebagai bahan baku

pembentukan sel bakteri. Penghambatan DNA dan RNA akan mengakibatkan

kerusakan pada sel.

e. Pengubahan molekul protein dan asam nukleat

Suatu sel hidup tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam

nukleat daam keadaan alamiahnya. Suatu antibakteri dapat mengubah keadaan ini

dengan mendenaturasi protein adan asam nuklet sehingga merusak sel secara

permanen.

Metode difusi adalah suatu metode untuk menguji daya antibakteri berdasarkan

berdifusinya zat antimikroba dalam media padat dengan pengamatan pada daerah

pertumbuhan. Biasanya metode ini digunakan untuk zat antimikroba yang larut dan

tidak larut (Rollando, 2019).

Disk Diffusion (Kirby-Bauer test) dilakukan dengan cara meletakkan piringan

(disk) yang mengandung senyawa antimikroba pada permukaan media terinokulasi

mikroba uji. Selama inkubasi, senyawa antimikroba tersebut akan berdifusi ke dalam

media agar. Kecepatan difusi melewati media agar tidak secepat kecepatan ekstraksi

senyawa antimikroba dari disk. Oleh karena itu, konsentrasi senyawa antimikroba

terbesar adalah yang paling dekat dengan disk dan berkurang secara logaritmik dengan

bertambahnya jarak dari disk. Efektifitas senyawa antimikroba ditandai dengan adanya

31
zona hambat yang terbentuk disekeliling disk setelah inkubasi. Semakin luas zona

hambatnya semakin sensitif senyawa tersebut (Rollando, 2019).

II.8 Formulasi Salep

II.8.1 Definisi Salep

Salep ialah sediaan separuh padat yang mudah dibalurkan serta digunakan

sebagai obat luar, bahan obatnya larut ataupun terdispersi homogen dalam bawah salep

yang sesuai. Perumusan sediaan salep yang bisa bersifat oklusif serta tingkatkan ion

tetap dikelilingi dengan molekul, memiliki basis yang berlemak ataupun berminyak

dengan pengemulsi air dalam minyak ataupun minyak dalam air. Keuntungan utama

dari pemberian secara topikal merupakan obat mendapatkan akses langsung kejaringan,

dengan paling tidak membagikan dampak secara lokal.

Sediaan salep mempunyai sebagian kelebihan semacam pelindung untuk

menghindari kontak permukaan kulit dengan rangsang kulit, normal dalam pemakaian

serta penyimpanan, gampang dipakai, gampang terdistribusi menyeluruh serta selaku

dampak perlindungan terhadap iritasi mekanik, panas, serta kimia (Davis et al., 2022)

Menurut Depkes RI (2020), tentang dasar salep yang digunakan sebagai

pembawa dibagi dalam 4 kelompok: dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep

serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep

obat menggunakan salah satu dasar salep tersebut.

1. Dasar salep hidrokarbon. Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak

antara lain vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair

dapat dicampurkan ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang

32
kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar

salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar dicuci. Tidak

mengering dan tidak tampak berubah dalam waktu lama.

2. Dasar salep serap. Dasar salep serap ini dapat dibagi dalam 2 kelompok, Kelompok

pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk

emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan kelompok

kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah

larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga bermanfaat sebagai

emolien.

3. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air. Dasar salep ini adalah emulsi minyak

dalam air antara lain Salep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Krim”. Dasar ini

dinyatakan juga sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci dari kulit

atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Beberapa

bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini daripada

Dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat

diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan

dermatologik.

4. Dasar salep larut dalam air Kelompok ini disebut juga “dasar salep tak berlemak”

dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak

keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung

bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam. Dasar salep

33
ini lebih tepat disebut “gel”. Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor

seperti khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan

hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu

menggunakan dasar salep yang kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas yang

diinginkan. Misalnya obat-obat yang cepat terhidrolisis, lebih stabil dalam Dasar

salep hidrokarbon daripada dasar salep yang mengandung air, meskipun obat

tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mengandung air.

II.8.2 Uraian Bahan Tambahan

1. Beeswax Putih

Beeswax putih memiliki warna putih hingga agak kuning, bau mirip lilin kuning

tetapi tidak intens, rasa hambar, dan bentuk butiran halus, sedikit tembus cahaya.

Kelarutan praktis tidak larut dalam air, tetapi larut dalam kloroform, eter, minyak tetap,

minyak atsiri, dan karbon disulfida hangat; jarang larut dalam etanol (95%). Fungsi

beeswax putih dalam sediaan salep sebagai pengental, dengan konsentrasi 5-20%, titik

lebur 61-65°C. Stabil ketika lilin dipanaskan di atas 150°C, esterifikasi terjadi dengan

akibatnya menurunkan nilai asam dan elevasi titik leleh. Tidak kompatibel dengan zat

pengoksidasi dan pada dasarnya tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi. Lilin

putih adalah bentuk lilin kuning yang diputihkan secara kimiawi dan digunakan dalam

aplikasi serupa: misalnya, untuk meningkatkan konsistensi krim dan salep, dan untuk

menstabilkan emulsi air dalam minyak. Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup

rapat dan terlindung dari cahaya (Rowe., et al, 2009 : 779 ; (Arthur H, 2006)).

34
2. Paraffin Padat

Paraffin padat memiliki warna putih hingga tidak berwarna, tidak memiliki bau,

tidak memiliki rasa, bentuk bundel mikrokristal keras. Kelarutan praktis tidak larut

dalam air, tetapi larut dalam kloroform, eter, minyak atsiri, dan sebagian besar minyak

tetap hangat; sedikit larut dalam etanol; praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%).

Fungsi paraffin padat pada sediaan salep yaitu sebagai basis, titik lebur berbagai nilai

dengan peleburan spesifik yang berbeda rentang tersedia secara komersial. Parafin

stabil, meskipun pencairan berulang mungkin mengubah sifat fisiknya. Pada dasarnya

tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi. Parafin terutama digunakan dalam

formulasi farmasi topikal sebagai komponen krim dan salep. Dalam salep, dapat

digunakan untuk meningkatkan titik leleh formulasi atau menambah kekakuan.

Penyimpanan disimpan di suhu tidak melebihi 40°C dalam wadah yang tertutup rapat

(Rowe., et al, 2009 : 474).

3. Propil Paraben

Gambar 11 Propil Paraben (Rowe., et al, 2009 : 596)

Propil paraben memiliki rumus molekul C10H12O3, dengan bobot molekul 180,20.

Memiliki warna putih, tidak berbau, tidak berasa, dan bentuk menyerupai Kristal dan

bubuk. Kelarutan 1 dalam 225 pada 80˚C dalam air dan larut bebas dalam aseton dan

eter. pH 8,4 pada 22˚C dan titik lebur 96,1˚C. Fungsi propil paraben dalam sediaan

35
salep sebagai pengawet dengan konsentrasi 0,01-0,6˚C. Efektif pada rentang pH yang

luas dan memiliki spektrum luas aktivitas antimikroba, meskipun mereka paling efektif

melawan ragi dan jamur. Larutan berair pada pH 3-6 stabil (kurang dari 10%

dekomposisi) hingga sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sementara larutan berair pada

pH 8 atau lebih tinggi mengalami hidrolisis cepat (10% atau lebih setelah sekitar 60

hari penyimpanan pada suhu kamar). Inkompatibilitas dengan zat lain seperti bentonit,

magnesium trisilikat, bedak, tragakan, natrium alginat, minyak atsiri, sorbitol, dan

atropin, telah dilaporkan. Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat

yang sejuk dan kering (Rowe., et al, 2009 : 596).

4. Stearil Alkohol

Gambar 12 Stearil Alkohol (Rowe., et al, 2009 : 700)

Stearil alkohol memiliki rumus molekul C18H38O dengan bobot molekul 270,48.

Memiliki warna putih, bau khas, rasa hambar, dan bentuk potongan keras, lilin, serpihan

bahkan butiran. Kelarutan praktis tidak larut dalam air, tetapi larut dalam kloroform,

etanol (95%), eter, heksana, propilenglikol, benzene, aseton, dan minyak nabati dan

memiliki titik lebur 59,4°C–59,8°C untuk bahan murni. Fungsi stearil alkohol dalam

sediaan salep sebagai agen pengkaku dengan konsentrasi 20-30%.

Stearil alkohol juga memiliki beberapa pengemulsi emolien dan lemah properti, dan

digunakan untuk meningkatkan kapasitas penahan air salep. Stabil terhadap asam dan

alkali. Inkompatibilitas dengan zat pengoksidasi kuat dan asam kuat dan merupakan

36
bahan yang tidak beracun. Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup rapat di

tempat yang sejuk dan kering (Rowe., et al, 2009 : 700).

5. Vaselin Kuning

Vaselin kuning memiliki rumus molekul CnH2n+2 dan memiliki warna kuning pucat

hingga kuning, tidak berbau, tidak berasa, bentuk semi padat dan lembut. Kelarutan

praktis tidak larut dalam air, aseton, etanol, panas atau etanol dingin (95%), gliserin;

larut dalam benzene, eter, heksan, dan kloroform. Memiliki titik lebur 38°C-60°C.

Fungsi vaselin kuning dalam sediaan salep sebagai pelembab (Emolient) dengan

konsentrasi 10-30%. Bahan stabil karena tidak reaktif sifat komponen hidrokarbonnya;

Sebagian besar masalah stabilitas terjadi karena adanya sejumlah kecil kotoran. Sedikit

tidak cocok dengan bahan lembab dan umumnya dianggap sebagai bahan tidak beracun.

Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat yang sejuk dan kering

(Rowe., et al, 2009 : 481).

37
II.9 Uraian Hewan Coba

II.9.1 Klasifikasi Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Gambar 13 Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Menurut (Khotijah, 2017) taksonomi kelinci (Oryctolagus cuniculus) adalah


sebagai berikut:
Kingdom : Metazoa

Filum : Chordata

Subfilum : Vetebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Lagomorpha

Family : Loripedae

Genus : Oryctolagus

Spesies : Oryctolagus cuniculus

38
II.9.2 Karakteristik Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Kelinci berpunggung melengkung dan berekor pendek. Kepalanya kecil dan

daun telinga tegak keatas. Kelinci memiliki bibir bagian atasnya terbelah dan

tersambung hingga hidung. Telinga kelinci besar dan banyak terdapat darah sehingga

pada saat membawa kelinci diusahakan jangan memegang telinganya. Kaki belakang

kelinci lebih panjang dan kuat dibandingkan dengan kaki depannya. Sebagai hewan

karnivora, kelinci menyukai makanan berupa rumput-rumputan yang hijau dan segar.

Gigi kelinci tergolong unik, sebab gigi akan terus tumbuh sepanjang usia. Di alam

kelinci hidup secara bebas sehingga harus diberikan ruang gerak yang memadai

(Malluka, 2021).

39
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Jenis, Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan bersifat eksperimental berskala laboratorium.

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2022 hingga Januari 2023 di

Laboratorium Farmasetika, Laboratorium Farmakologi Farmasi dan Laboratorium

Mikrobiologi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar.

III.2 Pelaksanaan Penelitian

III.2.1 Alat dan Bahan Penelitian

III.2.1.1 Alat Penelitian

Alat yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu bejana maserasi, batang

pengaduk, blender, cawan petri (Pyrex®), cawan porselen, erlenmeyer (Pyrex®),

gelas kimia (Iwaki®), gegep, gunting, hot plate (Thermo®), homogenizer, jangka

sorong, kaca arloji, lampu spiritus, lumpang & alu, ose bulat, oven, pencukur bulu

hewan (Sonar®), pH meter, pisau bedah (OneMed®), pinset, pot salep, rotary vaccum

evaporator (Shimadzu®), sendok tanduk, thermometer, timbangan analitik (Mettler

Toledo®), viscometer brookfield (Ametek®).

III.2.1.2 Bahan Penelitian

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini alkohol 70%, aluminium foil,

aquadest, beeswax putih, cotton swab (OneMed®), ekstrak daun pucuk merah

(Syzygium myrtifolium Walp.), etanol 96%, kasa steril (OneMed®), kapas, kertas saring,

40
media MHA (Merck KGaA®), NaCl 0,9% (MJB Pharma®), pelarut DMSO 10%, paper

disk, paraffin padat, plester roll (Leukoplast®), propilparaben, salep povidone iodin

(Betadine®), salonpas spray, silica gel GF60, spoit (OneMed®), stearil alkohol, tissue,

vaselin kuning, dan vial.

III.3 Metode Penelitian

III.3.1 Penyiapan Sampel

III.3.1.1 Pengambilan Sampel

Sampel Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) diambil di daerah

Makassar, Sulawesi Selatan.

III.3.1.2 Pengolahan Sampel

Daun pucuk merah dipisahkan dari kotoran, dicuci bersih dengan air mengalir

kemudian ditiriskan. Daun pucuk merah kemudian dipotong-potong kecil dan

dikeringkan dalam oven.

III.3.1.3 Pembuatan Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)

Sampel kering daun pucuk merah yang telah dihaluskan sebanyak 187 g

dimaserasi dengan etanol 96% sebanyak 1000 mL, kemudian diaduk hingga tercampur

dan didiamkan selama 2 x 24 jam dan pengadukan dilakukan setiap 8 jam. Hasil

maserasi kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang telah didapat

kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental.

41
III.3.2 Pengujian Aktivitas Bakteri

III.3.2.1 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dicuci kemudian dibilas dengan air suling, dikeringkan

dan dibungkus dengan kertas. Untuk alat-alat non skala disterilkan menggunakan oven

selama 2 jam pada suhu 180oC, sedangkan alat-alat yang berskala disterilkan dalam

autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Ose bulat disterilkan dengan cara dipijarkan

menggunakan lampu spiritus.

III.3.2.2 Pembuatan Medium

Mueller Hinton Agar (MHA) sebanyak 9,5 g ditimbang lalu dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak 250 mL. campuran diaduk,

dipanaskan sampai larut. Media yang sudah larut kemudian disterilkan dengan

menggunakan autoklaf pada suhu 121⁰C selama 15 menit, dan dibiarkan sampai media

cukup dingin. Selanjutnya media MHA yang masih cair dituang ke dalam 3 cawan petri

masing-masing sebanyak 10 mL, dan dibiarkan hingga memadat.

III.3.2.3 Peremajaan Bakteri

Bakteri uji diremajakan dengan menginokulasi 1 ose koloni murni pada media

agar miring dan diinkubasi selama 1x24 jam pada suhu 37oC

III.3.2.4 Pembuatan Suspensi Bakteri

Pembuatan suspensi dilakukan dengan cara mengambil biakan bakteri

Staphylococcus aureus yang telah ditanam pada agar miring secara aseptis dengan cara

ditambahkan NaCl 0,9% steril sebanyak 1 ml. kemudian, suspensi dituang ke dalam

42
tabung steril dan dihomogenkan. Kekeruhan suspensi bakteri disesuaikan dengan

standar Mc Farland 0,5. Hasil suspensi digunakan untuk pengujian.

III.3.2.5 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Daun Pucuk Merah

Ekstrak dihitung dan ditimbang dalam konsentrasi 2%, 4%, dan 6%. Cara kerja

pembuatan konsentrasi yaitu, konsentrasi 2%, ditimbang ekstrak 0,06 g dilarutkan

dalam 3 ml pengenceran DMSO ke dalam vial. Konsentrasi 4%, ditimbang ekstrak 0,12

g dilarutkan dalam 3 ml pengenceran DMSO ke dalam vial, dan konsentrasi 6%,

ditimbang 0,18 g dilarutkan dalam 3 ml pengenceran DMSO ke dalam vial.

III.3.2.6 Pengujian Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak daun pucuk merah menggunakan metode

difusi agar dengan paper disk. Medium Mueller Hinton Agar (MHA) steril sebanyak

10 ml dituang secara aseptis ke dalam cawan petri lalu dibiarkan memadat.

Masingmasing suspensi bakteri Staphylococcus aureus dimasukkan ke dalam cawan

petri dengan cara digores homogen. Masing-masing paper disk berdiameter 6 mm

ditetesi konsentrasi ekstrak sampel dengan variasi konsentrasi ekstrak 2%, 4%, 6%,

DMSO

10% sebagai kontrol negatif dan paper disk tetracycline sebagai kontrol positif.

Kemudian paper disk dimasukkan secara aseptis ke dalam cawan petri diatas

permukaan medium Mueller Hinton Agar (MHA) dengan jarak yang sama. Perlakuan

diatas diulangi sebanyak dua kali. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 1x24

jam. Adanya daerah bening disekitar paper disk menunjukkan hasil positif adanya

43
aktivitas antibakteri, kemudian diameter zona bening diukur menggunakan jangka

sorong.

III.3.3 Formulasi Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah

Tabel 1 Rancangan Formula Sediaan Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Nama Bahan Fungsi Penimbangan Bahan

F1 F2

Ekstrak Daun Pucuk Merah Bahan Aktif - 6%


Propil Paraben Pengawet 0,02% 0,02%
Beeswax Putih Pengental 2% 2%
Paraffin Padat Basis Salep 3% 3%
Stearil Alkohol Agen Pengkaku 5% 5%
Vaselin Kuning Emolient 88,99% 88,93%
Keterangan:
F1 = Basis Salep
F2 = Konsentrasi Daun Pucuk Merah 6%

Bahan masing-masing ditimbang diatas. Untuk tahap I stearil alkohol, beeswax putih

dan paraffin padat dilebur dengan pemanasan diatas hot plate. Tahap II ditambahkan

vaselin kuning dan propil paraben, kemudian diaduk hingga homogen, lalu

didinginkan, kemudin ditambahkan ekstrak daun pucuk merah lalu dicampur hingga

homogen menggunakan homogenizer.

44
III.3.4 Evaluasi Sediaan Salep

Adapun evaluasi sediaan salep mengikuti prosedur (Lasut et al., 2019), yaitu:

1. Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan dengan mengamati sediaan salep dari bentuk, bau

dan warna sediaan. Spesifikasi salep yang harus dipenuhi adalah memilih bentuk

setengah padat, warna harus sesuai dengan spesifikasi pada saat pembuatan awal

salep dan baunya tidak tengik.


2. Uji Homogenitas

Pengujian homogenitas sediaan salep dilakukan dengan cara mengoleskan salep

pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang harus menunjukkan susunan

yang homogen. Salep yang homogen ditandai dengan tidak terdapatnya gumpalan

pada hasil pengolesan, struktur yang rata dan memiliki warna yang seragam dari

titik awal pengolesan sampai titik akhir pengolesan. Salep yang di uji diambil tiga

tempat yaitu bagian atas, tengah dan bawah dari wadah salep.

3. Uji Daya Sebar

Sebanyak 0,5 g salep diletakkan diatas kaca bulat dengan kaca lainnya diletakkan

diatasnya dan dibiarkan selama 1 menit. Diameter sebar salep diukur. Setelahnya,

50 g, 100 g, 150 g, 200 g, dan 250 g, beban ditambahkan dan didiamkan selama 1

menit lalu diukur diameter yang konstan. Diameter daya sebar salep yang baik

antara 5-7 cm.

45
4. Uji Daya Lekat

Daya lekat salep diletakan salep secukupnya diatas objek glass yang telah ditentukan

luasnya, letakan objek glass yang lainnya diatas salep tersebut. Tekan dengan beban

1 kg selama 5 menit. Pasang objek glass pada alat tes, lepaskan beban 80 g dan catat

waktunya sehingga kedua objek glass tersebut terlepas (Nawangsari., et al. 2021).

5. Uji pH Salep

Pengukuran nilai pH menggunakan alat pH meter, pH meter dimasukkan ke dalam

wadah yang berisi sediaan salep yang akan diuji, kemudian dicelupkan kedalam

sediaan salep lalu skala akan bergerak, tunggu hingga angka berhenti dan tidak

berubah-ubah. Range pH normal menyesuaikan pH kulit yaitu 4,5-6,5.

6. Uji Viskositas

Sediaan salep sebanyak 100 g, dimasukkan dalam cawan pengukur lalu diukur

viskositasnya menggunakan viscometer brookfield. Viskositas dapat dilihat pada

skala dalam alat setelah tercapai kestabilan. Nilai kisaran viskositas sediaan salep

yaitu berada dalam kisaran 2.000-50.000 cPs.

III.3.5 Cara Kerja

III.3.5.1 Pengajuan Etik Penelitian

Implikasi etik pada hewan, pengolahan hewan uji pada penelitian ini mengikuti animal

ethics. Penelitian ini dilakukan berdasarkan persetujuan Komisi Etik Penelitian

Kesehatan (KEPK) Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar dengan Nomor protokol

112212132.

46
III.3.5.2 Pengambilan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kelinci (Oryctolagus

cuniculus) jantan yang diambil dari tempat pemeliharaan hewan di Kabupaten Maros,

Provinsi Sulawesi Selatan.


III.3.5.3 Persiapan Hewan Coba

Sebelum pengujian kelinci jantan berjumlah tiga ekor, diaklimatisasikan dengan

lingkungan selama 7 hari dan di tempatkan pada kandang yang dialasi sekam padi,

diberi pakan pelet, dan minuman berupa air keran yang diberikan rutin yaitu pagi dan

sore secara ad libitum (tak terbatas). Aklimatisasi dilakukan untuk meminimalisir efek

stress pada hewan uji yang dapat berpengaruh pada metabolisme. Hewan uji yang

digunakan pada penelitian ini adalah kelinci (Oryctolagus cuniculus) jantan dengan

berat minimal 1,5-2 kg, sehat dan berumur sekitar 3-5 bulan.

III.3.5.4 Pembuatan Luka Insisi

Sebelum pembuatan luka insisi, kelinci percobaan terlebih dahulu diberikan

anestesi dengan menggunakan salonpas spray (metil salisilat). Hewan uji dicukur bulu

di daerah punggung sampai licin. Pada saat dibuat luka, terlebih dahulu daerah

punggung dan sekitarnya dibersihkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dibuat luka

sayatan dengan ukuran panjang 2 cm pada bagian punggung dengan cara mengangkat

kulit kelinci dengan pinset, kemudian dibuat luka dengan pisau bedah (Surgical Blade

Sterile) yang sudah disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol 70%, buat luka sedalam

0,3 cm sampai bagian subkutan kulit kelinci.

47
III.3.5.5 Perlakuan dan Pengamatan

Sebelum perlakuan, ketiga kelinci diberi tanda menurut perlakuan dengan

menggunakan spidol. Misalnya untuk perlakuan hewan uji pertama diberi tanda yaitu

A1 (luka diberi sediaan salep daun pucuk merah 6%), B1 (kontrol positif atau luka yang

diberi salep betadine povidone) dan C1 (kontrol negatif atau luka yang diberi basis

salep), replikasi dilakukan sebanyak 3 kali demikian seterusnya untuk perlakuan hewan

uji yang lain. Kemudian dilakukan pengamatan setiap hari selama 8 hari, ukur panjang

luka, edema, kemerahan dan terbentuknya keropeng. Pengamatan pada luka dilakukan

sebelum pemberian dan sesudah perlakuan sampai menunjukkan adanya tanda-tanda

kesembuhan dengan cara mengukur panjang luka menggunakan jangka sorong.

III.4 Variabel Penelitian

Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak daun pucuk merah (Syzygium

myrtifolium Walp.) dan Variabel terikat yaitu konsentrasi uji aktivitas antibakteri dan

efek salep terhadap luka insisi.

III.5 Jenis Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer yaitu data yang

dikumpulkan sendiri oleh peneliti saat penelitian berlangsung.

III.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan uji

statistik dengan metode uji One Way ANOVA dengan SPSS 22.

48
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Ekstraksi Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)

Pada penelitian ini dilakukan formulasi salep dan uji aktivitas terhadap luka

insisi dengan menggunakan sampel daun pucuk merah, pengambilan sampel diambil di

makassar, provinsi Sulawesi selatan. Proses awal yaitu pembuatan simplisia pada

sampel daun pucuk merah yang digunakan sebanyak 187 gram, kemudian diolah

menjadi ekstrak dengan menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 96%

sebanyak 1000 mL selama 2 x 24 jam dan dilakukan pengadukan setiap 8 jam sekali.

Penggunaan pelarut etanol 96% karena etanol merupakan pelarut universal dimana

dapat menarik senyawa yang diinginkan, bersifat netral, dan merupakan senyawa polar

yang mudah menguap sehingga baik digunakan sebagai pelarut ekstrak. Proses

maserasi dilakukan menggunakan botol kaca dan penyimpanannya ditempat yang

terlindung dari cahaya untuk mencegah penguraian zat aktif oleh cahaya matahari

(Zukhri., et al, 2018). Hasil bobot ekstrak etanol yang didapat pada daun pucuk merah

ialah 49 gram yang kemudian dihitung % rendemennya didapatkan hasil 26,2%. Proses

ekstraksi ini bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam sampel.

Metode ekstraksi maserasi remaserasi merupakan metode yang sederhana, mudah, dan

tanpa melalui proses pemanasan, sehingga kemungkinan rusaknya komponen senyawa

kimia dapat diminimalisir (Satria., et al, 2022).

49
IV.2 Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)

Pada Bakteri Staphylococcus aureus

Tahap berikutnya adalah pengujian aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus

aureus. Tujuan pengukuran aktivitas antibakteri adalah untuk menentukan potensi

suatu zat yang diduga atau telah memiki aktivitas sebagai antibakteri dalam larutan

terhadap suatu bakteri (Jawetz, 2013). Uji aktivitas antibakteri ekstrak daun pucuk

merah dengan variasi konsentrasi ekstrak 2%, 4%, dan 6% dengan tiga kali replikasi,

menunjukkan mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus karena

terdapat daerah jernih di sekitar cakram kertas (paper disk). Uji aktivitas antibakteri

ekstrak daun pucuk merah menggunakan kontrol positif berupa antibiotik tetracycline

dan kontrol negatif berupa pelarut DMSO 10%. Kontrol positif menggunakan antibiotik

tetracycline. Untuk pemilihan pelarut DMSO 10% sendiri agar mengurangi nilai positif

palsu dari reaksi uji daya hambat yang tidak terlihat diameter zona hambat. DMSO

dapat digunakan sebagai pengencer ekstrak untuk memperoleh ekstrak dengan kadar

konsentrasi tertentu (Rachmawati., et al, 2021).

Tabel 2 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus Ekstrak Daun Pucuk Merah

Konsentrasi Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3


2% 11,1 mm 12,5 mm 11,7 mm
4% 14,3 mm 13,1 mm 13,6 mm
6% 15,4 mm 14,5 mm 14,2 mm

Berdasarkan hasil pengujian, pada kontrol negatif (pelarut DMSO 10%) tidak

menunjukkan adanya diameter zona hambat, sedangkan penghambatan paling besar

dari ketiga konsentrasi pada larutan ekstrak daun pucuk merah adalah pada konsentrasi

50
6% (lihat tabel 2). Dimana menurut Rachmawati (2021) zona hambat ekstrak 10-20 mm

sudah termasuk kategori kuat dalam menghambat bakteri. Kontrol positif tetracycline

menunjukkan diameter zona hambat yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan

konsentrasi 6%. Hal ini disebabkan karena bahan yang digunakan masih berupa ekstrak

belum berbentuk senyawa murni dan masih terdapat senyawa organik sehingga

memungkinkan terjadinya perbedaan diameter zona hambat. Perbedaan diameter zona

hambat yang dihasilkan pada pengujian aktivitas antibakteri dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain: pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri, lamanya

inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri.

Komponen utama yang terkandung dalam daun pucuk merah berperan sebagai

antibakteri yaitu, flavonoid, fenol, saponin, dan alkaloid. Peran Flavonoid bekerja

mengurangi pembengkakan dengan mekanisme penangkapan radikal bebas dan

penghambatan enzim siklooksigenase sehingga prostaglandin, leukotrin dan histamin

sebagai pemicu terjadinya inflamasi menjadi terhambat (Indriani., et al, 2020).

51
IV.3 Hasil Evaluasi Fisik Sediaan Basis Salep dan Salep Ekstrak Daun Pucuk
Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Tabel 3 Hasil Evaluasi Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)

Hasil Evaluasi F1 F2

Organoleptik
Putih Kekuningan Cokelat Muda
Warna Bau
Khas Khas Aromatik
Bentuk
Semi Padat Semi Padat
Homogenitas Homogen Homogen
Daya Lekat (detik) 5 5
Daya Sebar (cm) 5,1 5,7
pH 6,37 5,03
Viskositas (cps) 36.750 36.500
Pengamatan organoleptik dilakukan secara subjektif dengan menilai warna,

bau, dan tekstur dari sediaan yang dihasilkan. Organoleptik akan berpengaruh terhadap

kenyamanan pengguna, oleh karena itu sediaan yang dihasilkan sebaiknya memiliki

bentuk setengah padat, warna harus sesuai dengan spesifikasi pada saat pembuatan awal

salep dan baunya tidak tengik. Kemudian untuk uji homogenitas, salep yang homogen

ditandai dengan tidak terdapatnya gumpalan pada hasil pengolesan, struktur yang rata

dan memiliki warna yang seragam dari titik awal pengolesan sampai titik akhir

pengolesan. Salep yang di uji diambil tiga tempat yaitu bagian atas, tengah dan bawah

dari wadah salep. Hasil uji daya lekat pada tabel diatas, telah memenuhi persyaratan

karena Syarat untuk daya lekat pada sediaan topikal adalah tidak kurang dari 4 detik

(Prabandari, 2019). Hal ini dipengaruhi oleh basis salep yang bersifat lemak yang

memungkinkan untuk waktu kontak sediaan dengan kulit lebih lama, sehingga

penetrasi salep dapat menghasilkan efek yang lebih baik. Pengujian daya sebar

bertujuan untuk melihat kemampuan menyebar salep diatas permukaan kulit saat

52
diaplikasikan. Daya sebar yang baik yaitu 5-7 cm (Lasut et al., 2019). Hasil pengamatan

menunjukan bahwa basis salep telah memenuhi persyaratan dan salep ekstrak daun

pucuk merah konsentrasi 6% juga telah memenuhi persyaratan daya sebar salep yang

baik. Pengujian sifat fisik selanjutnya adalah pengujian pH. Pengujian pH dilakukan

untuk melihat pH salep apakah berada pada rentang pH normal kulit yaitu 4,5 – 6,5

(Megawati, 2020). Jika pH terlalu basa dapat mengakibatkan kulit kering, sedangkan

jika pH kulit terlalu asam dapat memicu terjadinya iritasi kulit. Hasil pengujian

menunjukkan pH sediaan basis salep dan salep hidrokarbon ekstrak daun pucuk merah

berada di antara pH 5-6,4. Hal ini sudah masuk dalam rentang pH yang disyaratkan

untuk sediaan topikal. Pada pengujian viskositas, Pengukuran salep dilakukan

menggunakan Viscometer Brookfield dengan spindle 64 pada kecepatan 12 rpm. Hasil

pengukuran viskositas menunjukan bahwa salep F1 memiliki viskositas yang paling

tinggi dari salep F2. Kedua formula telah sesuai acuan dengan nilai kisaran viskositas

sediaan salep yaitu berada dalam kisaran 2.000-50.000 cPs.

IV.4 Hasil Pengujian Luka Insisi Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Penyayatan pada kulit akan menimbulkan reaksi inflamasi yang ditandai

dengan kemerahan. Hal ini berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami

kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluasnya luka (Megawati, 2020).

Kemerahan mulai memudar pada hari ke-2 setelah pemberian salep povidone iodin

sebagai kontrol positif, basis salep sebagai kontrol negatif, dan salep ekstrak daun

pucuk merah 6%. Pada hari ke-2 pemberian sediaan salep ekstrak daun pucuk merah

6% mengalami pembengkakan atau edema dan pembengkakan masih terlihat hingga

53
hari ke-3. Proses inflamasi juga ditandai dengan adanya sedikit pembengkakan pada

luka yang terbuka dan kemerahan. Sedangkan pembengkakan pada pemberian salep

povidone iodin hanya terlihat pada hari ke-3. Pada pemberian basis salep (kontrol

negatif), terlihat adanya nanah pada hari ke-4 hingga hari ke-6 dan membentuk luka

berwarna kuning pada hari ke-7 artinya jaringan nekrosis (mati) yang lunak berbentuk

seperti nanah beku pada permukaan kulit yang sering disebut dengan slough (jaringan

mati berwarna kuning) (Milasari, et al, 2019). Hal ini disebabkan karena basis salep

tidak memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka sayat, melainkan sebagai emolient

atau pelembab. Sehingga apabila diberikan pada luka, luka akan menjadi basah dan

bernanah (Megawati, 2020). Kemudian pada hari ke-4 hingga hari ke-6, pemberian

salep ekstrak daun pucuk merah 6% terlihat mulai mengering dan membentuk keropeng

pada hari-7 dan pada hari ke-8. Pada hari ke-4 hingga hari ke-5 pemberian salep

povidone iodine (kontrol positif) terlihat luka mulai mengering, hari ke-6 membentuk

keropeng, dan hari ke-7 keropeng terkelupas atau terbuka. Hal ini disebabkan karena

povidone iodin berperan sebagai antiseptik tidak untuk mempercepat waktu

penyembuhan luka, melainkan mencegah luka terinfeksi mikroorganisme lainnya dan

Adanya povidone iodine akan meracuni mikroorganisme sehingga tidak dapat

membentuk protein dan akan mengakibatkannya hancur (Milasari, et al, 2019);

(Megawati, 2020). Sedangkan, pemberian basis salep (kontrol negatif) mulai

mengering pada hari ke-8 dan membentuk keropeng.

54
Tabel 4 Hasil Pengukuran Panjang Luka Insisi Kelinci Hari Ke-1 Hingga Hari Ke-8

Hewan Replikasi Rata-rata Panjang Luka (cm)


Uji (n)
1 2 3 4 5 6 7 8
A1 2 1.56 1.22 0.98 0.84 0.42 0 0
1 B1 2 1.54 1.43 1 0.83 0.42 0 0
C1 2 1.82 1.86 1.41 1.35 0.85 0.07 0
A2 2 1.53 1.22 1.19 0.52 0.43 0.04 0
2 B2 2 1.53 1.22 0.91 0.52 0.41 0 0
C2 2 1.57 1.25 1.25 0.83 0.83 0.26 0
A3 2 1.54 1.22 1.04 0.73 0.52 0 0
3 B3 2 1.54 1.1 0.82 0.72 0.52 0 0
C3 2 1.8 1.31 1.18 1.15 0.83 0.04 0
Keterangan:
A : Salep Esktrak Daun Pucuk Merah 6%
B : Salep Povidone Iodine (Kontrol Positif)
C : Basis Salep (Kontrol Negatif)

Berdasarkan Tabel 4, hewan uji pertama dan ketiga salep ekstrak daun pucuk merah

6% pada ke-1 hingga hari ke-8 terlihat luka membentuk keropeng terkupas atau luka

tertutup dimana panjang luka menjadi 0 cm, sedangkan hewan uji kedua salep ekstrak

daun pucuk merah 6% pada hari ke-7 luka masih membentuk keropeng dan belum

terbuka dan luka tertutup pada hari ke-8. Untuk salep povidone iodin pada hari ke-1

hingga hari ke-8 terlihat bahwa luka telah tertutup dimana panjang luka menjadi 0 cm.

Sedangkan untuk basis salep pada hari ke-1 hingga hari ke-7 luka masih terbuka namun

pada hari ke-8 terlihat bahwa luka telah tertutup dimana panjang luka menjadi 0 cm.

Metode analisa yang digunakan adalah aplikasi SPSS versi 22.0 for windows.

Analisa dilakukan terhadap perubahan panjang luka dari hari ke-1 hingga hari ke-8.

Berdasarkan hasil diketahui bahwa perbandingan parameter panjang luka sayat salep

povidone iodine, basis salep, dan ekstrak daun pucuk merah 6% dengan metode One

55
Way Anova. Hasil uji dilanjutkan dengan pengolahan data melalui statistik dan visual.

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak.

Normalitas data merupakan hal yang penting karena dengan data yang terdistribusi

normal, maka data tersebut dianggap dapat mewakili populasi. Hasil yang didapatkan

untuk uji normalitas adalah signifikan (p>0,05) artinya data terdistribusi normal.

Kemudian, uji ANOVA digunakan untuk melihat perbedaan yang signifikan dari ketiga

kelompok. Jika signifikan 0,05 dan data homogen (p>0,05) untuk melihat perbedaan

yang signifikan. Sebelum dilakukan uji One Way ANOVA, data mengenai rata-rata

panjang luka terbuka pada kelinci harus terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap

homogenitas varian data, agar didapat data yang valid. Hasil varian data didapat

homogen/identik signifikan p=0,935 yang dimana (p>0,05). Data yang didapat

dilanjutkan ke uji selanjutnya yaitu One Way ANOVA. Analisa menggunakan metode

analisa varian satu arah untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna atau

tidak ada pada setiap kelompok perlakuan. Hasil uji One Way Anova menunjukkan

hasil yang berbeda secara signifikan pada kelompok percobaan p= 0,808 yang dimana

(p> 0,05). Berdasarkan hasil analisis data SPSS diatas terdapat perbedaan tetapi tidak

bermakna dengan signifikan (p>0,05) antara salep ekstrak daun pucuk merah 6%,

kontrol positif (salep povidone iodin) dan kontrol negatif (basis salep), maka dapat

disimpulkan bahwa salep ekstrak daun pucuk merah memiliki efektivitas yang sama

dengan salep povidone iodin (kontrol positif). Hal ini dapat terjadi karena daun pucuk

merah memiliki kandungan golongan flavonoid yang memberikan efektivitas sebagai

56
penyembuh luka sayat dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin, leukotrin

dan histamin sebagai pemicu terjadinya inflamasi (Megawati, 2020).

57
BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa jumlah

konsentrasi ekstrak daun pucuk merah dengan konsentrasi 6% dapat menghambat

bakteri Stapylococcus aureus. Hasil pembuatan salep ekstrak daun pucuk merah 6%

telah memenuhi persyaratan fisik sediaan salep. Hasil analisis SPSS data panjang luka

sediaan salep ekstrak daun pucuk merah 6%, salep povidone iodine dan kontrol negatif

menunjukkan menunjukkan hasil yang berbeda secara signifikan pada kelompok

percobaan (p=0,808) lebih besar dari 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna

(efektivitasnya sama).

V.2 Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terhadap luka insisi

dengan menggunakan konsentrasi lain dan bentuk sediaan yang lain.

58
DAFTAR PUSTAKA

Ansori, M.R. 2015. Talas (Colocasia esculenta [ L .] Schott) sebagai Obat Herbal untuk
Taro (Colocasia esculenta [ L .] Schott) as Herbal Medicine to Accelerate, jurnal
Agromed Unila, 2(2), pp. 108–112.

Arthur H, K. &. P. J. W. 2006. Handbook Of Pharmaceutical Excipients. 5th edition


ed. London: American Pharmaceutical Association and Pharmaceutical Press.
BA, Jamie Rosen, Angelo Landriscina, A.J.F. 2014. Principles and Approaches for
Optimizing Therapy With Unique Topical Vehicles, Journal of Drugs in
Dermatology, 13(12), pp. 1431–1435.

Brush, A. 2015. Uji Toksisitas dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Merah Tanaman
Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) Terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli’, Jurnal Kimia Mulawarman Volume 13 Nomor 1,
13, pp. 35–40.

Cheung, G.Y.C. et al. 2021. Pathogenicity and virulence of Staphylococcus aureus


Pathogenicity and virulence of Staphylococcus aureus Abstract, Virulence, 12(1),
pp. 547–569.

Davis, S.E. et al. 2022. Formulasi Dan Pengujian Sediaan Salep Ekstrak Etanol Daun
Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) Dengan Berbagai Variasi Basis
Salep, Biofarmasetikal Tropis, 4(2), pp. 66–73.

Depkes RI. 2020. Farmakope Indonesia edisi VI, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Hall, J. et al. 2014. Point prevalence of complex wounds in a defined United Kingdom
population, Wound Repair and Regeneration, 22(6), pp. 694–700.

Hamzah, H., Y Yamlean, P. V and Mongi, J. 2013. Formulasi Salep Ekstrak Etanol
Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) dan Uji Efektivitas Terhadap
Penyembuhan Luka Terbuka Pada Kelinci, PHARMACON Jurnal Ilmiah
Farmasi – UNSRAT Agustus, 2(03), pp. 2302–2493.

Hani Yousef, M. A. S. S. 2021. Anatomy, Skin (Integument), Epidermis. USA:


StatPearls Publishing.
Hernani, Sugiyono Yulis, M. 2012. Formulasi Salep Ekstrak Air Tokek (Gekko gecko

59
L.) Untuk Penyembuhan Luka, Media Farmasi Indonesia, 11(2), pp. 2886–2894.

Herni, R. and Maulida, S. 2019. Current Research on Biosciences and Luteolin, a


flavonoid from Syzygium myrtifolium Walp., 1(1), pp. 31–33.

Idrees, M. et al. 2021. Staphylococcus aureus Biofilm : Morphology , Genetics ,


Pathogenesis and Treatment Strategies, International Journal of Environmental
Research and Public Health.

Indriani, L., Almasyhuri, A. and Pratama, A.R. 2020. Aktivitas Gel Ekstrak Etanol
Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium) Terhadap Penyembuhan Luka Bakar
Tikus Sprague-Dawley, FITOFARMAKA: Jurnal Ilmiah Farmasi, 10(2), pp.
178–187.

Jawetz, M. a. A. 2013. Medical Microbiology. 26th ed. New York: McGraw-Hill Inc.
Kalangi, S.J.R. 2014. Histofisiologi Kulit, Jurnal Biomedik (Jbm), 5(3), pp. 12–20.

Kartika, R.W. et al. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing,
Perawatan Luka Kronis Dengan Modern Dressing, 42(7), pp. 546–550.

Khotijah, L. d. S. D. 2017. Panduan Beternak Kelinci. 1st ed. Jakarta: Penebar Swadya.
Krieg, N.R. et al. 2011. Bergey's Manual Of Systematic Bacteriology. Second Edi,
Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology, Sixth Edition. Second Edi.
USA.

Lasut, T.M. et al. 2019. Uji Stabilitas Fisik Sediaan Salep Ekstrak Etanol Daun Nangka
Artocarpus heterophyllus Lamk, Biofarmasetikal Tropis, 2(1), pp. 63–70.

Malluka, B.I. 2021. Perbandingan Efektivitas Hidrogel Wound Dressing dan Gel Dari
Ekstrak Daun Kirinyuh (Chromolaena odorata L.) Dalam Penyembuhan Luka
Insisi, Skripsi. Makassar

Mayba, J.N. and Gooderham, M.J. 2017. A guide to topical vehicle formulations,
Journal of Cutaneous Medicine and Surgery, 22(2), pp. 207–212.

Megawati, S. 2020. Formulasi Dan Uji Efektivitas Penyembuhan Luka Sayat Salep
Ekstrak Metanol Bunga Ginje (Thevetia Peruviana) Terhadap Kelinci Jantan New
Zealand White, Jurnal Farmasi Udayana, p. 180.

60
Milasari, M., Jamaluddin, A.W. and Adikurniawan, Y.M. 2019. Pengaruh Pemberian
Salep Ekstrak Kunyit Kuning (Curcuma longa Linn) Terhadap Penyembuhan
Luka Sayat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus), 4(1), pp. 186–202.

Mukhriani. 2014. Ekstraksi, pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif, Jurnal
Kesehatan Volume 7 No.2

Mustamu, A.C. et al. 2020. Modul Perawatan luka, Ijonhs.

Ningsih, W.R. 2017. Laju fotosintesis dan kandungan Pb daun pucuk merah, Prodising
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi, pp. 97–102.

Oktaviani, D.J. et al. 2019. Review: Bahan Alami Penyembuh Luka, Farmasetika.com
(Online), 4(3), p. 44.

Prabandari, R. 2019. Evaluasi Sifat Fisik Sediaan Salep Minyak Cengkeh (Syzigium
Aromaticum) Dalam Basis Larut Air, Viva Medika: Jurnal Kesehatan,
Kebidanan dan Keperawatan, 10(2), pp. 31–39.

Putri Oktriana Rachman, Suci Widhiati, Arie Kusumawardani, Indah Julianto


Kampono, Leli Saptawati, N.R.M. 2022. Hubungan Status Infeksi Human
Immunodeficiency Virus dan Kebersihan Personal Dengan Jumlah Koloni
Staphylococcus aureus Pada Kulit anak di Panti Asuhan, Jurnal Ilmiah Indonesia
p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398 Vol.7,No.11, 7(11).

Putri, T.D., Prasasti, A.G. and Idayanti, T. 2020. Potensi Ekstrak Daun Pucuk Merah
pada Tanaman Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) Sebagai
Handsanitizer Alami, pp. 1–5.

Qamari, M. Al, Tarigan, D.M. and Alridiwirsah. 2017. Budidaya Tanaman Obat &
Rempah. 1st edn. Edited by S.. Mentari Oniva Mulya. Medan: UMSU Press.

Rachmawati, N., Maulidiyah, G. and Aminah. 2021. Uji Daya Hambat dan Toksisitas
Ekstrak Daun Jamblang [Syzygium cumini (L.) Skeels] Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Staphylococcus epidermidis, Jurnal Biologi Indonesia, 17(1), pp. 39–46.

Raymond C Rowe, Paul J Sheskey, M.E.Q. 2009. Handbook pharmaceutical excipients


6th edition, Pharmaceutical Press.

61
Rida, W.N. and Taharuddin. 2021. Efektifitas Pemberian Daun Binahong (Anredera
Cordifolia (Ten.)Stennis) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus:
Literature Review, Borneo Student Research, 2(2), pp. 2721–5725.

Riskesdes kemenkes RI, 2018. 2018. Laporan Nasional RKD2018 FINAL.pdf’, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, p. 674.

Rollando. 2019. Senyawa Antibakteri dari Fungi Endofit. I. Malang, Jawa Timur: CV.
Seribu Bintang.

Saputri, G.A.R. et al. 2021. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata
L.) Dalam Penyembuhan Luka Insisi Kulit Kelinci (Oryctogalus cuniculus),
Jurnal Farmasi Malahayati, 4(1), pp. 1–11.

Satria, R., Hakim, A.R. and Darsono, P.V. 2022. Penetapan Kadar Flavonoid Total Dari
Fraksi n-Heksana Ekstrak Daun Gelinggang dengan Metode Spektrofotometri
UV-Vis, Journal of Engineering, Technology, and Applied Science, 4(1), pp. 33–
46.

Sunarti, S. 2021. Daun Pucuk Merah : Inovasi dan Pengembangan Obat Herbal
sebagai Terapi Antidiabetes.

Widyawati, R. et al. 2021. Efektivitas Salep Ekstrak Daun Sirih Merah Terhadap Luka
Insisi Mencit, Cell medicine, 7(2), pp. 59–66.

Wilantari, P.D. 2020. Aktivitas Penyembuhan Luka Insisi dari Salep Daun Binahong
(Anredera scandens (L.) Moq.), Jurnal Farmasi Udayana, 8(2), p. 78.

Wintoko, R., Dwi, A. and Yadika, N. 2020. Manajemen Terkini Perawatan Luka
Update Wound Care Management, JK Unila, 4, pp. 183–189.

Zukhri, S., Murni Sari Dewi, K. and Hidayati, N. 2018. Uji Sifat Fisik dan Antibakteri
Salep Ekstrak Daun Katuk (sauropus androgynus (l) merr.), Jurnal Ilmiah
Kesehatan (JIK), XI(1), p. 308.

62
LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik Penelitian

63
Lampiran 2 Skema Kerja Pembuatan Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium

myrtifolium)

64
Lampiran 3 Skema Kerja Uji Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus

65
Lampiran 4 Skema Kerja Pembuatan Sediaan Salep

66
Lampiran 5 Skema Kerja Pengujian Salep Terhadap Hewan Coba

67
Lampiran 6 Perhitungan % Rendemen Ekstrak

Diketahui:

Total ekstrak daun pucuk merah = 49 gram

Bobot Simplisia kering daun pucuk merah = 187 gram

Maka, persen rendemen esktrak daun pucuk merah adalah:

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ (𝑔)


%rendemen = x 100%
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 (𝑔)

49 𝑔
= 187 𝑔 x 100%

= 0,262 x 100%

= 26,2 %

68
Lampiran 7 Hasil Uji Statistik SPSS

Uji Normalitas

Uji Homogenitas

Uji One Way ANOVA

69
Lampiran 8 Dokumentasi Proses Pembuatan Ekstrak Daun Pucuk Merah

(Syzygium myrtifolium)

Penimbangan Sampel Daun Pucuk


Pengumpulan Sampel Daun Pucuk Merah
Merah

Simplisia Daun Pucuk Merah di


keringkan di dalam oven
Ekstraksi Sampel dengan menggunakan

Metode Maserasi

70
Penguapan dengan rotary evaporator
Ekstrak yang telah kental kemudian
ditimbang untuk didapatkan %rendemen

71
Lampiran 9 Dokumentasi Proses Uji Aktivitas Antibakteri Stapylococcus aureus

Pemanasan media MHA dan air diatas

Penimbangan media MHA hot plate

Ekstrak daun pucuk merah yang telah


dilarutkan dengan pelarut DMSO

Media MHA (Mueller Hinton Agar)

72
Hasil uji aktivitas ekstrak daun pucuk
Bakteri Staphylococcus aureus yang
digores kedalam cawan petri merah replikasi 1

Hasil uji aktivitas ekstrak daun pucuk Hasil uji aktivitas ekstrak daun pucuk

merah replikasi 2 merah replikasi 3

73
Lampiran 10 Dokumentasi Proses Pembuatan Sediaan Salep

Pemanasan bahan salep yang


Bahan ditimbang telah ditimbang

Pencampuran sediaan salep


menggunakan homogenizer Basis Salep

74
Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah 6% Evaluasi Uji Daya Sebar

Evaluasi Uji Viskositas

Evaluasi Uji pH

75
Evaluasi Uji Daya Lekat

76
Lampiran 11 Dokumentasi Pembuatan Luka Insisi Pada Kelinci (Oryctolagus
cuniculus)

Pembuatan luka insisi Menggunakan


Penukuran Bulu Kelinci pisau bedah dengan panjang 2 cm

Pemberian Sediaan ke luka insisi

Pengukuran panjang luka menggunakan

jangka sorong

77
Lampiran 12 Gambar Luka Insisi Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

Ukuran Panjang Luka (cm)


Hari Ke- Kontrol Negatif Salep Ekstrak Daun
Kontrol Positif
(Basis Salep) Pucuk Merah 6%

78

Anda mungkin juga menyukai