MEILANI P LIMBONGAN
19013111
2023
FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SALEP EKSTRAK DAUN
PUCUK MERAH (Syzygium myrtifolium Walp.) TERHADAP LUKA
INSISI
SKRIPSI
Farmasi (S.Farm)
Diajukan Oleh
Meilani P Limbongan
19013111
MAKASSAR
2023
iii
iv
iii
iv
KATA PENGANTAR
Syalom, salam sejahtera buat kita semua, puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat, Kasih karunia serta
“Formulasi dan Uji Aktivitas Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium
myrtifolium Walp.) Terhadap Luka Insisi” sebagai salah satu syarat akademik dalam
menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana farmasi di Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Makassar.
terkasih yaitu Ayah Tercinta Julius K Limbongan dan Ibunda Tercinta Silpha atas
cinta kasih dan ketulusannya serta selalu menyebut penulis di setiap sujud doanya.
Terima kasih untuk didikan, motivasi, dukungan mental maupun materi yang
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Serta adik saya Salti, Jembris Limbongan, Brenda Geraldine Limbongan yang selalu
menyemangati saya, dan Erfandi Surya Laksono yang selalu menemani dan menjadi
support system penulis. Serta sahabat saya Linda Lummy, Novelin Cicilia Mita, Dwi
Putri Mansur, Rahmialna, Fikram Adum Wijaya, dan Andika Saputra Ardi yang
sudah dianggap sebagai saudara kandung yang selalu memberikan nasehat dan
Melalui kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
iii
1. Bapak Drs. H. Sahibuddin A. Gani selaku ketua Yayasan Almarisah Madani
yang menaungi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar atas segala fasilitas,
2. Bapak apt. Akbar Awaluddin., S.Si, M.Si selaku pembimbing utama yang telah
meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan ilmu kepada
3. Ibu apt. Michrun Nisa., S.Farm, M.Sc selaku pembimbing pertama yang telah
meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan ilmu kepada
4. Bapak Prof. Dr. Apt. M. Natsir Djide, M.Si, bapak Dr. apt. Fajriansyah, S.Si.,
M.Si, ibu apt. Andi Nur Aisyah, S.Si., M.Si, dan bapak Fhahri Mubarak,
S.Farm, M.Si selaku penguji dan yang telah memberikan masukan dan
5. Ibu Dr. Nursamsiar, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar
atas ilmu dan bimbingan selama penulis menuntut ilmu sampai penyusunan
skripsi ini.
6. Ibu apt. Yuri Pratiwi Utami, S.Farm., M.Si selaku penasihat akademik dan wali
7. Bapak dan Ibu dosen Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar yang telah
banyak memberikan ilmu, didikan, teguran, canda tawa serta motivasi yang
iv
sangat bermanfaat bagi penulis selama menempuh pendidikan di STIFA
Makassar.
maupun senang.
9. Laboran Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar yang telah bersedia membantu
Ekawirayanti, Egie Valenchy Vistariza, Ahmad Fajri Nur, Delsi Rolita, Siti
Umairah Hi Satar, Fina Arinty Tamsil, dan Brando Yanuarius Inanosa) yang
11. Kepada teman-teman PKM penulis (Meylan Maharani Popang, Suci Sari Putri,
dan Novita Indah Purnamasari) yang telah membantu penulis dan teman
12. Teman-teman mahasiswa Oxytor 2019 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar
maupun senang.
13. Laboran Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar yang telah bersedia membantu
Ekawirayanti, Egie Valenchy Vistariza, Ahmad Fajri Nur, Delsi Rolita, Siti
iii
Umairah Hi Satar, Fina Arinty Tamsil, dan Brando Yanuarius Inanosa) yang
15. Kepada teman-teman PKM penulis (Meylan Maharani Popang, Suci Sari Putri,
dan Novita Indah Purnamasari) yang telah membantu penulis dan teman
16. Pihak-pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung telah
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis menerima segala saran dan kritikan yang bersifat membangun dari segala pihak.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
Meilani P Limbongan
iv
iii
ABSTRAK
Judul : Formulasi dan Uji Aktivitas Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah
(Syzygium myrtifolium Walp.) Terhadap Luka Insisi
Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) adalah tanaman yang mengandung
beberapa senyawa berkhasiat dalam pengobatan. Salah satunya dapat sebagai
penyembuh luka, seperti luka insisi karena memiliki senyawa flavanoid yang dapat
merusak permeabilitas bakteri dan menghambat enzim siklooginase. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui jumlah konsentrasi ekstrak daun pucuk merah terhadap luka insisi
dan mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak daun pucuk merah terhadap sifat fisik
salep. Ekstrak daun pucuk merah (S. myrtifolium Walp.) diuji aktivitas antibakteri pada
S. aureus kemudian diformulasikan menjadi sediaan salep dan diaplikasikan pada luka
yang diamati selama 8 hari. Hasil penilitian menunjukan bahwa uji aktivitas ekstrak
daun pucuk merah (S. myrtifolium Walp.) yang didapatkan yaitu konsentrasi sebesar
6% dan kemudian sediaan salep telah memenuhi persyaratan evaluasi. Data diolah
menggunakan uji statistik dengan metode One Way ANOVA dengan SPSS 22. Hasil
analisis SPSS data panjang luka sediaan salep ekstrak daun pucuk merah 6%, salep
povidone iodine, dan kontrol negatif menunjukkan hasil menunjukkan hasil yang
berbeda secara signifikan, yang dimana signifikasiannya yaitu 0,808 (p>0,05) berarti
tidak ada perbedaan bermakna (efektivitasnya sama).
Kata kunci: Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.), Luka Insisi, Salep,
Uji Aktivitas
xi
ABSTRACT
Title : Formulation and Activity Test of Red Bud Leaf Extract Ointment
(Syzygium myrtifolium Walp.) Against Incision Wounds
Red shoots (Syzygium myrtifolium Walp.) is a plant that contains several medicinal
compounds. One of them can be used as a wound healer, such as an incision wound
because it has flavanoid compounds that can damage the permeability of bacteria and
inhibit cycloginase enzymes. The purpose of this study was to determine the amount of
concentration of red shoots leaf extract on the incision wound and to determine the
effect of the concentration of red shoots leaf extract on the physical properties of the
ointment. Red shoot leaf extract (S. myrtifolium Walp.) was tested for antibacterial
activity on S. aureus then formulated into an ointment and applied to the observed
wounds for 8 days. The research results showed that the activity test of red shoots (S.
myrtifolium Walp.) leaf extract obtained was a concentration of 6% and then the
ointment preparation met the evaluation requirements. The data were processed using
statistical tests with the One Way ANOVA with SPSS 22 methods. The results of the
SPSS analysis of wound length data on 6% red shoot leaf extract ointment, povidone
iodine ointment and negative control showed significantly different results (p=0,808)
greater than 0.05, meaning there is no significant difference (the effectiveness is the
same).
xii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................... xi
xiii
II.1.2 Struktur Kulit ................................................................................................ 6
xiv
II.7 Antibakteri ............................................................................................................ 30
xv
III.5 Jenis Data ..................................................................................................... 48
IV.1 Hasil Ekstraksi Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) ................ 49
IV.2 Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Pada Bakteri Staphylococcus aureus ....................................................................... 50
IV.3 Hasil Evaluasi Fisik Sediaan Basis Salep dan Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah
(Syzygium myrtifolium Walp.) ................................................................................. 52
IV.4 Hasil Pengujian Luka Insisi Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus) ................ 53
V.2 Saran.................................................................................................................. 58
LAMPIRAN ............................................................................................................... 63
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rancangan Formula Sediaan Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium
Tabel 2 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus Ekstrak Daun Pucuk
Merah.......................................................................................................................... 50
Tabel 3 Hasil Evaluasi Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium
Walp.) ......................................................................................................................... 52
Tabel 4 Hasil Pengukuran Panjang Luka Insisi Kelinci Hari Ke-1 Hingga Hari Ke-8
.................................................................................................................................... 55
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
myrtifolium) ................................................................................................................. 64
myrtifolium) ................................................................................................................. 70
xix
BAB I
PENDAHULUAN
Luka dalah kerusakan jaringan tubuh dan fungsi struktural yang disebabkan
oleh trauma dan perubahan patologi fisik dan kimiawi, benda tajam atau tumpul,
perubahan suhu, atau gigitan hewan. Luka tidak dapat sembuh dengan sendirinya
karena jika luka dibiarkan atau tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi
penyembuhan luka yaitu infeksi dan perdarahan. Ketika luka terjadi, organisme ini
berubah seperti hilangnya fungsi organ secara total atau sebagian, respons stress
simpatis, kontaminasi bakteri, dan kematian sel. Pada dasarnya luka akut dan luka
kronis sembuh dengan sendirinya melalui proses alami yang terjadi di dalam tubuh.
mengalami luka akibat tusukan, robekan, dan irisan. Dilihat dari kelompok umur,
kelompok umur 25-34 tahun memiliki angka kejadian luka tertinggi, yaitu sekitar
22,3%. Luka insisi dapat diklasifikasikan sebagai akut jika sembuh sesuai dengan
proses penyembuhan normal, atau kronis jika penyembuhannya tertunda atau terdapat
tanda-tanda infeksi. (Hall et al., 2014; Kartika et al., 2015). Luka insisi atau luka bedah
insisi bisa disengaja seperti luka operasi, atau tidak disengaja seperti yang disebabkan
oleh benda tajam atau tumpul. (Widyawati et al., 2021). Oleh karena itu, perawatan
1
luka sayatan sangatlah penting. Sayatan biasanya diobati dengan obat konvensional,
seperti antibiotik topikal. Antibiotik yang tidak digunakan sesuai resep dapat
menyebabkan resistensi obat. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko penggunaan
(Wilantari, 2020).
Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai obat adalah pucuk merah (Syzygium
myrtifolium Walp.). Studi pada daun pucuk merah menunjukkan bahwa ekstrak daun
pucuk merah mengandung alkaloid, flavonoid, fenol dan saponin. Flavonoid merusak
permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom karena interaksi antara
flavonoid dan DNA bakteri. Mekanisme kerja alkaloid sebagai agen antimikroba adalah
Penggunaan ekstrak kental secara langsung pada kulit tidak praktis dan tidak optimal,
sehingga perlu disiapkan sediaan yang dapat melekat pada permukaan kulit dalam
waktu yang lama dan bersifat oklusif sehingga dapat menyembuhkan luka secara efektif
yaitu semi- sediaan padat dalam bentuk salep. (Hernani., et al, 2012). Formulasi salep
membentuk lapisan oklusif pada permukaan kulit yang berfungsi untuk mencegah
hilangnya panas dan cairan. Basis salep melembutkan kulit dengan meninggalkan
2
lapisan di permukaan kulit (emolien), sehingga hidrasi kulit meningkat karena
penguapan air di lapisan kulit terhambat. (BA, Jamie., et al, 2014; Mayba and
Gooderham, 2017).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat
formula sediaan salep berbahan dasar alami ekstrak daun pucuk merah (Syzygium
juga diharapkan sebagai sumber rujukan bagi peneliti didalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) bahwa daun pucuk merah (Syzygium myrtifolium
3
Walp.) dapat dimanfaatkan dalam pembuatan salep yang terbukti dapat memberikan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kulit
Kulit merupakan organ dengan luas permukaan terbesar (± 2 m2) dan menutupi
seluruh bagian luar tubuh, sehingga kulit berperan sebagai lapisan pelindung tubuh
terhadap benda asing, bahan kimia, sinar ultraviolet yang terdapat dari sinar matahari,
dan melindungi tubuh dari mikroorganisme serta menjaga keseimbangan respon tubuh
mendapat kesan umum dengan mengamati perubahan pada kulit. Kulit bisa menjadi
pucat, kuning, merah, atau hangat yang menandakan adanya kelainan pada tubuh atau
kelainan kulit yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Gangguan jiwa juga dapat
menyebabkan kelainan atau perubahan pada kulit, seperti perubahan kulit pada wajah
saat stress, ketakutan, atau sedang dalam keadaan marah. (Mustamu et al., 2020).
invasi oleh mikroorganisme, trauma mekanis dan kimia, serta kehancuran akibat cahaya
UV. Kulit berperan sebagai perlengkapan pelindung bagian dalam, misalnya otot serta
tulang; sebagai perlengkapan peraba dengan dilengkapi berbagai reseptor yang peka
dengan reseptor-reseptor spesial. Reseptor untuk rasa sakit ujungnya menjorok masuk
ke wilayah epidermis. Reseptor untuk tekanan, ujungnya terletak di dermis yang jauh
5
dari epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung reseptornya terletak
Menurut, Kalangi (2014) kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis
(lapisan bagian luar tipis) dan dermis (lapisan tengah). Epidermis ialah jaringan epitel
yang berasal dari ektoderm, sebaliknya dermis berbentuk jaringan ikat agak padat yang
berasal dari mesoderm. Di dasar dermis ada selapis jaringan ikat longgar yaitu
hipodermis (bagian sangat dalam), yang pada sebagian tempat paling utama terdiri dari
jaringan lemak.
Epidermis merupakan susunan terluar kulit, serta terdiri atas epitel berlapis
gepeng dengan susunan tanduk. Epidermis cuma terdiri dari jaringan epitel, tidak
memiliki pembuluh darah ataupun limfa; oleh sebab itu seluruh nutrien serta oksigen
diperoleh dari kapiler pada susunan dermis. Epitel berlapis gepeng, pada epidermis ini
6
tersusun oleh banyak lapis sel yang diucap keratinosit. Epidermis terdiri atas susunan
epitel gepeng yang berisi 4 jenis sel ialah Keratinocytes (90%) yang berperan dalam
penciptaan pigmen yang hendak membagikan warna pada kulit, sel Langerhans
(macrophages) berperan dalam sistem immune response serta sel Merkel yang
mempunyai tugas menangkap sensasi sentuh pada kulit (touch sense) yang tersambung
Sel- sel ini secara senantiasa diperbarui lewat mitosis sel- sel dalam lapis basal yang
secara berangsur digeser ke permukaan epitel. Sepanjang perjalanan, sel- sel ini
sitomorfosis dari sel- sel epidermis. Wujudnya yang berganti pada tingkatan berbeda
7
dalam epitel membolehkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap
permukaan kulit (Kalangi, 2014). Menurut (Hani Yousef, 2021) Epidermis terdiri atas
5 susunan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum, stratum
a. Stratum basal (lapis basal, lapis benih), juga dikenal sebagai stratum germinativum,
adalah lapisan terdalam, dipisahkan dari dermis oleh membran basal (lamina basal)
dan melekat pada membran basal oleh hemidesmosom. Selsel yang ditemukan pada
lapisan ini berbentuk kuboid hingga kolumnar sel punca aktif secara mitosis yang
b. Stratum spinosum (lapis taju), 8- 10 susunan sel, dikenal sebagai susunan sel duri
memiliki sel polihedral tidak beraturan dengan proses sitoplasma, kadang- kadang
disebut "duri", yang memanjang ke luar serta menghubungi sel tetangga sebelah
8
c. Stratum granulosum (lapis berbutir), 3- 5 susunan sel, memiliki sel berupa berlian
bundel. Butiran pipih memiliki glikolipid yang disekresikan ke permukaan sel serta
d. Stratum lucidum (lapis bening), 2- 3 susunan sel, ada pada kulit yang lebih tebal, ada
pada telapak tangan serta telapak kaki, yaitu susunan tipis bening yang terdiri dari
e. Stratum korneum (lapis tanduk), 20- 30 susunan sel, merupakan susunan paling atas,
terdiri dari keratin serta sisik tanduk yang terdiri dari keratinosit mati, yang diketahui
sebagai sel skuamosa berinti. Ini merupakan susunan yang sangat bermacam-
macam ketebalannya, paling utama pada kulit kapalan. Di dalam susunan ini,
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit, batas dengan epidermis dilapisi
oleh membrane basalis dan di samping bawah berbatasan dengan subkutis. Akan tetapi
batas ini kurang jelas dan hanya diambil sebagai patokan dari mulainya terdapat sel
lemak. Batas dermis yang sukar ditentukan, karena menyatu dengan lapisan subkutis
(hipodermis), ketebalannya antara 0,5-3 mm, beberapa kali lebih tebal dari jaringan
epidermis, dibentuk dari komponen jaringan pengikat. Derivat dermis terdiri atas
rambut, kelenjar minyak, kalenjar lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh
9
kedalam dermis. Dermis terdiri atas serat-serat kolagen, dan serabut-serabut elastis, dan
serabut-serabut retikulin. Serat-serat ini bersama pembuluh darah dan pembuluh getah
(Mustamu et al., 2020). Menurut (Kalangi, 2014), Dermis terdiri atas stratum papilaris
dan stratum retikularis, batas antara kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling
menjalin.
a. Stratum papilaris
Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang
pada daerah yang dimana terdapat tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki.
pada jaringan epitel di atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris
yaitu badan Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat. b.
Stratum retikularis
Sebagian besar lapisan ini tersusun gelombang, mengandung sedikit serat retkulin, dan
banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan, serat-serat tersebut membentuk garis
tegangan kulit. Terdapat pola sulkus atau Garis Langer’s (Gambar 4). Insisi pada Garis
Langer’s berpengaruh pada penyembuhan luka. Jika potongan tersebut searah, dapat
10
Gambar 4 Garis Langer’s (Mustamu et al., 2020)
Serat otot polos juga ditemukan di tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut,
skrotum, preputium, dan puting payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet
menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan untuk mengatur ekspresi
jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus yang terorientasi sejajar terhadap
permukaan kulit, beberapa di antaranya menyatu dermis. Pada daerah tertentu, seperti
punggung tangan, lapisan ini memungkinkan gerakan kulit di atas struktur. Di daerah
lain, serat-serat yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan.
Sel-sel lemak lebih banyak daripada dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan
keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung terkumpul di daerah tertentu. Tidak ada
atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis, namun
11
di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih. Lapisan
Luka adalah rusak dan hilangnya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh
trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, paparan zat kimia, ledakan, sengatan listrik,
maupun gigitan hewan. Satu luka dapat menyebabkan kerusakan fungsi perlindungan
kulit akibat hilangnya kontinuitas jaringan epitel dengan atau tanpa kerusakan jaringan
lain, seperti otot, tulang, dan saraf (Wintoko, Dwi and Yadika, 2020).
Luka dapat terjadi karena suatu proses patologis yang terjadi baik dari luar maupun
dalam tubuh. Luka akut biasanya terjadi dalam proses yang terbilang cepat dan
terstruktur. Tubuh masih mempunyai mekanisme perbaikan dan pertahanan yang baik
untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Sedangkan luka kronik adalah luka yang gagal
2015).
jaringan yang rusak atau hilang akibat cedera atau pembedahan. Luka merupakan
degradasi integritas jaringan epitel. Gangguan keutuhan kulit, permukaan mukosa atau
jaringan organ dapat menyebabkan terbentuknya luka, luka dapat terjadi sebagai bagian
dari proses suatu penyakit atau memiliki etiologi yang tidak disengaja atau disengaja.
12
Luka yang disengaja ditujukan untuk terapi, misalnya pada prosedur operasi atau
pungsi vena. Akan tetapi, luka yang tidak disengaja terjadi secara accidental. Trauma
tumpul merupakan suatu rudapaksa akibat terbentur oleh benda tumpul. Trauma tumpul
dapat menyebabkan luka memar (contusio), luka lecet (abrasio) dan luka robek (vulnus
laceratum). Trauma tajam adalah suatu rudapaksa akibat kontak dengan benda tajam.
Trauma tajam dapat mengakibatkan terbentuknya luka iris atau luka sayat (vulnus
scissum), luka tusuk (vulnus punctum) dan luka bacok (vulnus caesum) (Wintoko, Dwi
Luka ialah kondisi lenyap ataupun terputusnya kesatuan jaringan (kulit) yang
biasanya mengganggu proses selular wajar. Sebagian respon yang timbul bila
terbentuknya luka ialah hilangnya segala ataupun sebagian guna organ, reaksi tekanan
a. Luka Lecet (Vulnus excoriasi) cedera ini akibat gesekan dengan barang keras
misalnya terjatuh dari motor sehingga terjadi gesekan antara anggota badan dengan
aspal. Ukuran luka ini cuma mempunyai panjang serta lebar, tetapi umumnya
menimpa ujung- ujung syaraf dan perih di kulit sehingga derajat perih umumnya
13
b. Luka Sayat (Vulnus scissum, incised wound) Tipe luka ini diakibatkan oleh sayatan
barang tajam misalnya logam ataupun kayu. Luka yang dihasilkan tipis serta kecil,
yang pula dapat diakibatkan karena sengaja dalam proses penyembuhan. Umumnya
terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjalin akibat operasi.
Luka bersih (aseptik) umumnya tertutup oleh sutura sehabis segala pembuluh darah
c. Luka Robek ataupun parut (Vulnus laseratum) luka tipe ini biasa disebabkan oleh
barang keras yang mengganggu permukaan kulit misalnya terjatuh, terserang ranting
d. Luka Tusuk (Vulnus punctum) luka terjalin akibat tusukan barang tajam, berbentuk
cedera kecil serta dalam. Pada cedera ini butuh diwaspadai terdapatnya kuman
e. Luka gigitan (Vulnus morsum) luka tipe ini diakibatkan gigitan gigi, baik itu oleh
manusia maupun fauna semacam serangga, ular, serta fauna buas. Butuh diwaspadai
f. Luka bakar (Vulnus combustion) luka ataupun kehancuran jaringan yang mencuat
disebabkan temperatur besar. Penindakan tipe luka ini didasarkan pada 4 stadium
Berdasarkan pada lama pengobatan, luka dapat dibedakan jadi akut serta kronis.
Luka akut merupakan luka trauma yang bisa sembuh dengan baik bila tidak terdapat
kompilkasi. Contohnya: luka sayat, luka bakar, luka tusuk, luka jahit. Sebaliknya luka
14
kronis merupakan luka yang proses pengobatannya memerlukan waktu yang lama serta
kerap terjalin kembali sebab terdapatnya hambatan terhadap proses kesembuhan yang
luka diabetes mellitus, ulkus vena serta luka bakar. Luka dikatakan akut bila
pengobatan terjalin dalam 2- 3 pekan. Sebaliknya luka kronis merupakan seluruh tipe
cedera yang tidak terdapat isyarat sembuh dalam jangka lebih dari 4- 6 pekan (Kartika
(superficial); luka stadium II (paratial thickness); luka stadium III; dan luka stadium
IV. Salah satu luka stadium IV yaitu luka insisi yang mana dapat terjadi melalui
Luka insisi merupakan luka yang ditimbulkan karena teriris oleh instrumen
yang tajam, seperti luka yang terjadi setelah pembedahan atau operasi. Luka insisi dapat
(Wilantari, 2020).
Luka insisi dibuat dengan cara menginsisi kulit menggunakan instrumen tajam
seperti pisau, luka tersebut akan menimbulkan masalah jika penanganannya kurang
baik, sehingga dapat menyebabkan luka kronis akibat tidak tercapainya proses
penutupan luka yang sempurna. Luka insisi dibuat dengan potongan bersih
menggunakan instrumen tajam, luka insisi atau luka bedah operasi seringkali
15
menimbulkan komplikasi infeksi dengan presentase 14%-16%. Luka insisi dapat terjadi
karena disengaja, seperti luka operasi, dan luka tidak disengaja, seperti luka aksidental
yang diakibatkan oleh benda tajam maupun tumpul (Widyawati et al., 2021). Luka
bukan hanya mengganggu aktivitas, namun juga memiliki dampak ekonomi signifikan
Penyembuhan luka merupakan suatu runtutan mekanisme tubuh dari mulai luka
terjadi akibat suatu proses patologis hingga mengembalikan jaringan yang rusak
kembali seperti semula. Dari mulai terjadinya luka hingga luka menjadi sembuh
a. Hemostasis merupakan fase paling awal yang terjadi sesaat setelah luka timbul.
mekanisme hemostasis terjadi sesaat setelah luka terjadi, pembuluh darah di sekitar
luka akan mengerucut dan memperlambat aliran darah ke daerah luka. Trombosit
memiliki peran yang sangat penting, yaitu mengeluarkan zat vasokontriksi dan
Beberapa zat lain yang berperan dalam fase hemostasis adalah ADP (Adhenosine
Diphospate), fibrin, fibrinogen serta growth factors. Fase hemostasis terjadi dalam
16
beberapa menit setelah luka terjadi, kecuali jika penderita memiliki kelainan dalam
pembekuan darah.
b. Fase selanjutnya adalah fase inflamasi. Fase inflamasi dapat terjadi dari beberapa
menit setelah luka hingga mencapai 2 atau 5 hari setelahnya. Fase ini ditandai
dengan adanya gejala-gejala khas inflamasi, yaitu rubor (memerah), kalor (hangat),
sehingga cairan dari pembuluh darah akan masuk ke daerah luka atau yang disebut
dengan eksudasi. Hasil yang berperan penting dari proses eksudasi ini adalah
neutrofil. Eksudat juga membawa banyak nutrisi, growth factors, dan juga enzim
penting sebagai pembersih luka, neutrofil akan memfagositosi debris dan patogen
17
yang ada di bagian luka. Fungsi utama neutrofil adalah membersihkan, meski
nantinya tugas dari neutrofil ini akan lebih banyak digantikan oleh makrofag.
c. Fase selanjutnya adalah proliferasi. Fase proliferasi terjadi dari hari ke-4 hingga
hari ke-21 setelah terjadinya luka. Fase proliferasi merupakan fase pembentukan
Fibroblas merupakan faktor yang paling penting di fase ini. Fibroblas akan mulai
diakhiri dengan pembentukan fibrilar kolagen. Fase ini ditandai dengan adanya
dan epitelisasi. Secara klinis, proliferasi ditandai adanya jaringan kasar berwarna
merah atau kolagen di dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan dermal dan
kadang-kadang jaringan subdermal pada luka yang lebih dalam, serta kontraksi
luka.
d. Fase terakhir adalah fase remodeling. Fase ini merupakan fase terlama yaitu sekitar
8 hari hingga 2 tahun dari terjadinya luka. Lama fase ini dipengaruhi oleh berbagai
18
faktor yang mempengaruhinya. Fase ini ditandai dengan adanya deposit kolagen
dalam jaringan yang rapi dan pembentukan kembali jaringan serta penarikan dari
bekas luka. Pada 3 minggu pertama, kekuatan kulit pada bekas luka hanya sekitar
20% hingga 30%. Kekuatan kulit akan mencapai 70% hingga 80% pada masa akhir
fase remodeling.
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Bekas luka atrofi dapat
menjadi hasil akhir setelah penyelesaian fase pematangan. Sebaliknya, ketika degradasi
kolagen terganggu atau sintesis berlebihan, maka jaringan parut dapat menjadi luka
hyperthrophic atau bahkan keloid. Kondisi yang ideal akan menjadi keseimbangan
antara degradasi, sintesis, atau deposisi kolagen untuk menghasilkan jaringan parut
yang normal.
19
II.3 Uraian Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Mytales
Famili : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Daun pucuk merah ketika baru tumbuh berwarna merah menyala, kemudian
berubah menjadi coklat, lalu berubah lagi menjadi warna hijau. Pucuk merah berupa
20
daun tunggal berbentuk lancip, warna daun mengalami perubahan, bertangkai sangat
pendek, permukaan daun bagian atas mengkilap dan tumbuh berhadapan. Bunga pucuk
merah yang sudah mekar, tampak adanya kepala putik yang berwarna putih dengan
tangkai putik yang berukuran lebih pendek dibandingkan benang sarinya, posisi putik
tepat ditengah, tangkai sari berwarna putih berukuran lebih panjang dari putiknya,
berjumlah sangat banyak dengan kepala sari berwarna kuning muda. Ukuran daun
saponin, tanin, dan steroid/triterpenoid (Herni and Maulida, 2019). Daya antibakteri
tanaman ini disebabkan oleh adanya kandungan antioksidan dan zat aktif pada tanaman
pucuk merah (Syzygium myrtifolium Walp.) antara lain: flavonoid, kalkon, terpenoid,
betulinic acid, alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, dimethyl cardamonin dan minyak
menyatakan bahwa batulinic acid yang terkandung dalam ekstrak metanol daun pucuk
tumor pada tikus (Sunarti, 2021). Pucuk merah diketahui kaya akan kandungan
21
6’methoxy3’,5’-dimethylchalcone), suatu golongan kalkon yang memiliki sifat
II.4 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum
Zat yang dapat digunakan sebagai obat dari suatu simplisia pada umumnya
merupakan suatu zat yang memiliki metabolit sekunder. Tumbuhan secara alamiah dapat
berasal dari tanaman belum tentu dapat diolah, digunakan secara langsung, atau
22
tahapan yang perlu untuk dilakukan sebelum simplisia nabati dipasarkan atau dapat
digunakan dan diolah menjadi suatu olahan produk bahan alam. Tahapan-tahapan
Berikut merupakan tahapan alur pengolahan simplisia menurut Qamari, Tarigan, dan
Tahap pengumpulan atau tahap pemanenan terkadang dianggap sebagai suatu hal
yang sepele. Padahal, tahap ini merupakan tahap yang sangat menentukan untuk
faktor yang perlu diperhatikan dalam pemanenan suatu simplisia nabati, yaitu:
a. Bagian tanaman yang dipanen Penentuan bagian tanaman yang dipanen menjadi
hal yang utama. Tidak semua bagian tanaman dapat dipanen dalam waktu yang
Penentuan waktu panen erat kaitannya dengan tingkat zat aktif yang terdapat
b. Waktu pemanenan, beberapa bagian tanaman yang dapat diambil secara berulang
dalam satu siklus hidup contohnya adalah bagian daun, bunga, buah, dan korteks.
Pemanenan dapat dilakukan pada periode tertentu misalnya, daun dari suatu
tanaman dapat diambil kembali setelah muncul pucuk yang baru. Pada beberapa
tanaman tertentu, pemanenan dilakukan hanya pada saat tertentu. Misalkan: teh
23
akan dipanen dengan baik pada pagi hari karena kadar metabolit seperti senyawa
2. Cara pemanenan akan sangat tergantung pada metabolit yang terkandung. Pada
tanaman yang mengandung senyawa fenolat, umumnya tidak boleh dipanen dengan
3. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan unuk memisahkan cemaran dan kotoran dari simplisia yang
4. Pencucian
Dilakukan dengan menggunakan air yang bersih (air sumur, PDAM, air dari mata
air). Pencucian secara signifikan mampu mengurangi mikroba yang terdapat dalam
Enterobacter, serta E. coli pada simplisia akar, batang, atau buah. Untuk
mengurangi jumlah mikroba awal dapat dilakukan dengan pengupasan kulit luar
terlebih dahulu.
5. Perajangan
simplisia. Untuk lebih amannya, gunakan pisau atau pemotong yang terbuat dari
stainless steel.
24
6. Pengeringan
merupakan suatu hal yang sangat krusial karena beberapa metabolit sangat rentan
terhadap sinar matahari. Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air hingga
kadar tertentu, umumnya tidak boleh lebih dari 10%. Dengan berkurangnya kadar
air, diharapkan akan lebih tahan terhadap pertumbuhan kapang serta kemungkinan
reaksi kimia yang diperantarai oleh air, contoh reaksi redoks atau reaksi enzimatis.
Proses pengeringan yang baik dilakukan pada suhu 30°C-90°C (terbaik 60°C).
Namun pada kondisi bahan aktif tidak tahan terhadap panas atau mengandung bahan
yang mudah untuk menguap, dilakukan pada suhu 30°C-45°C atau dilakukan
7. Sortasi kering
yang tidak diinginkan atau ada cemaran. Proses ini juga dilakukan untuk
II.5 Ekstraksi
Salah satu metode yang digunakan untuk menemukan obat tradisional adalah
metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa
yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan
25
terlebih dahulu. Menurut Mukhriani (2014) Proses ekstraksi khususnya untuk bahan
2. Pemilihan pelarut
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini
sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan dengan
memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang
tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel
tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan.
Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang
digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu,
beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain,
dengan membagi dua cairan penyari yang digunakan kemudian disaring dan ampasnya
26
II.6 Staphylococcus aureus
II.6.1 Morfologi
Divisi : Firmicutes
Kelas : Firmibacteria
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
seperti untaian buah anggur, tidak dapat bergerak dan tergolong bakteri aerob sampai
27
hidung, tenggorokan dan saluran pencernaan manusia. Bakteri ini banyak dijumpai
pada selaput hidung, kulit dan kantung rambut (Krieg et al., 2011).
aureus) dapat berkisar dari infeksi kulit dan jaringan lunak yang sederhana hingga
kondisi yang lebih serius dan mengancam nyawa seperti infeksi darah
ekstraseluler (EPS), yang dikenal sebagai biofilm, yang membantu mikroba untuk
melawan dan meminimalkan efek obat antibakteri. Mirip dengan biofilm bakteri
lainnya, biofilm Staphylococcus aureus juga memiliki dua komponen yang berbeda,
yaitu air (sekitar 97%) dan bahan organik yang meliputi EPS dan mikrokolon. EPS ada
sekitar 50 sampai 90% dari total bahan organik biofilm dan merupakan kompleks zat
polimer yang berbeda, seperti DNA ekstraseluler (eDNA), protein dan polisakarida.
Infeksi kulit terbanyak disebabkan oleh bakteri piogenik yaitu S. aureus dan
sawar kulit yang kurang baik berhubungan dengan terjadinya infeksi kulit yang
28
Gambar 10 Tahapan Infeksi Sistemik Staphylococcus aureus (Cheung et al., 2021)
penghalang pelindung kulit atau penyebaran dari biofilm yang dapat terbentuk pada
perangkat medis yang ada di dalam. Di dalam aliran darah, bakteri dapat secara aktif
toksin sitolitik, atau sebagai alternatif bertahan dalam sel tersebut untuk mencapai
distribusi sistemik. Melewati hati, di mana bakteri dihadapkan oleh aktivitas fagositik
sel Kupffer, merupakan hambatan untuk infeksi sistemik selanjutnya. Jika bakteri
bertahan tahap ini, mereka selanjutnya dapat mendistribusikan melalui aliran darah dan
menempel dan menyerang sel-sel jaringan, yang dimediasi oleh protein permukaan
berbeda yang mencakup permukaan tertentu protein, toksin, dan eksoenzim (Cheung
et al., 2021).
29
II.7 Antibakteri
Struktur sel dirusak dengan menghambat pada saat pembentukan atau setelah proses
komponen seluler
Seperti sulfonamid yang bekerja dengan bersaing dengan PABA, sehingga dapat
30
menghalangi sintesis asam folat yang merupakan asam amino essensial yang
DNA dan RNA yang mempunyai peran yang sangat penting sebagai bahan baku
Suatu sel hidup tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam
nukleat daam keadaan alamiahnya. Suatu antibakteri dapat mengubah keadaan ini
dengan mendenaturasi protein adan asam nuklet sehingga merusak sel secara
permanen.
Metode difusi adalah suatu metode untuk menguji daya antibakteri berdasarkan
berdifusinya zat antimikroba dalam media padat dengan pengamatan pada daerah
pertumbuhan. Biasanya metode ini digunakan untuk zat antimikroba yang larut dan
mikroba uji. Selama inkubasi, senyawa antimikroba tersebut akan berdifusi ke dalam
media agar. Kecepatan difusi melewati media agar tidak secepat kecepatan ekstraksi
senyawa antimikroba dari disk. Oleh karena itu, konsentrasi senyawa antimikroba
terbesar adalah yang paling dekat dengan disk dan berkurang secara logaritmik dengan
bertambahnya jarak dari disk. Efektifitas senyawa antimikroba ditandai dengan adanya
31
zona hambat yang terbentuk disekeliling disk setelah inkubasi. Semakin luas zona
Salep ialah sediaan separuh padat yang mudah dibalurkan serta digunakan
sebagai obat luar, bahan obatnya larut ataupun terdispersi homogen dalam bawah salep
yang sesuai. Perumusan sediaan salep yang bisa bersifat oklusif serta tingkatkan ion
tetap dikelilingi dengan molekul, memiliki basis yang berlemak ataupun berminyak
dengan pengemulsi air dalam minyak ataupun minyak dalam air. Keuntungan utama
dari pemberian secara topikal merupakan obat mendapatkan akses langsung kejaringan,
menghindari kontak permukaan kulit dengan rangsang kulit, normal dalam pemakaian
dampak perlindungan terhadap iritasi mekanik, panas, serta kimia (Davis et al., 2022)
pembawa dibagi dalam 4 kelompok: dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep
serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep
1. Dasar salep hidrokarbon. Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak
antara lain vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair
32
kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar
salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar dicuci. Tidak
2. Dasar salep serap. Dasar salep serap ini dapat dibagi dalam 2 kelompok, Kelompok
pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk
emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan kelompok
kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah
larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga bermanfaat sebagai
emolien.
3. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air. Dasar salep ini adalah emulsi minyak
dalam air antara lain Salep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Krim”. Dasar ini
dinyatakan juga sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci dari kulit
atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Beberapa
bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini daripada
Dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat
diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan
dermatologik.
4. Dasar salep larut dalam air Kelompok ini disebut juga “dasar salep tak berlemak”
dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak
keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung
bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam. Dasar salep
33
ini lebih tepat disebut “gel”. Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor
seperti khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan
hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu
menggunakan dasar salep yang kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas yang
diinginkan. Misalnya obat-obat yang cepat terhidrolisis, lebih stabil dalam Dasar
salep hidrokarbon daripada dasar salep yang mengandung air, meskipun obat
tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mengandung air.
1. Beeswax Putih
Beeswax putih memiliki warna putih hingga agak kuning, bau mirip lilin kuning
tetapi tidak intens, rasa hambar, dan bentuk butiran halus, sedikit tembus cahaya.
Kelarutan praktis tidak larut dalam air, tetapi larut dalam kloroform, eter, minyak tetap,
minyak atsiri, dan karbon disulfida hangat; jarang larut dalam etanol (95%). Fungsi
beeswax putih dalam sediaan salep sebagai pengental, dengan konsentrasi 5-20%, titik
lebur 61-65°C. Stabil ketika lilin dipanaskan di atas 150°C, esterifikasi terjadi dengan
akibatnya menurunkan nilai asam dan elevasi titik leleh. Tidak kompatibel dengan zat
pengoksidasi dan pada dasarnya tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi. Lilin
putih adalah bentuk lilin kuning yang diputihkan secara kimiawi dan digunakan dalam
aplikasi serupa: misalnya, untuk meningkatkan konsistensi krim dan salep, dan untuk
menstabilkan emulsi air dalam minyak. Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup
rapat dan terlindung dari cahaya (Rowe., et al, 2009 : 779 ; (Arthur H, 2006)).
34
2. Paraffin Padat
Paraffin padat memiliki warna putih hingga tidak berwarna, tidak memiliki bau,
tidak memiliki rasa, bentuk bundel mikrokristal keras. Kelarutan praktis tidak larut
dalam air, tetapi larut dalam kloroform, eter, minyak atsiri, dan sebagian besar minyak
tetap hangat; sedikit larut dalam etanol; praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%).
Fungsi paraffin padat pada sediaan salep yaitu sebagai basis, titik lebur berbagai nilai
dengan peleburan spesifik yang berbeda rentang tersedia secara komersial. Parafin
stabil, meskipun pencairan berulang mungkin mengubah sifat fisiknya. Pada dasarnya
tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi. Parafin terutama digunakan dalam
formulasi farmasi topikal sebagai komponen krim dan salep. Dalam salep, dapat
Penyimpanan disimpan di suhu tidak melebihi 40°C dalam wadah yang tertutup rapat
3. Propil Paraben
Propil paraben memiliki rumus molekul C10H12O3, dengan bobot molekul 180,20.
Memiliki warna putih, tidak berbau, tidak berasa, dan bentuk menyerupai Kristal dan
bubuk. Kelarutan 1 dalam 225 pada 80˚C dalam air dan larut bebas dalam aseton dan
eter. pH 8,4 pada 22˚C dan titik lebur 96,1˚C. Fungsi propil paraben dalam sediaan
35
salep sebagai pengawet dengan konsentrasi 0,01-0,6˚C. Efektif pada rentang pH yang
luas dan memiliki spektrum luas aktivitas antimikroba, meskipun mereka paling efektif
melawan ragi dan jamur. Larutan berair pada pH 3-6 stabil (kurang dari 10%
dekomposisi) hingga sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sementara larutan berair pada
pH 8 atau lebih tinggi mengalami hidrolisis cepat (10% atau lebih setelah sekitar 60
hari penyimpanan pada suhu kamar). Inkompatibilitas dengan zat lain seperti bentonit,
magnesium trisilikat, bedak, tragakan, natrium alginat, minyak atsiri, sorbitol, dan
atropin, telah dilaporkan. Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat
4. Stearil Alkohol
Stearil alkohol memiliki rumus molekul C18H38O dengan bobot molekul 270,48.
Memiliki warna putih, bau khas, rasa hambar, dan bentuk potongan keras, lilin, serpihan
bahkan butiran. Kelarutan praktis tidak larut dalam air, tetapi larut dalam kloroform,
etanol (95%), eter, heksana, propilenglikol, benzene, aseton, dan minyak nabati dan
memiliki titik lebur 59,4°C–59,8°C untuk bahan murni. Fungsi stearil alkohol dalam
Stearil alkohol juga memiliki beberapa pengemulsi emolien dan lemah properti, dan
digunakan untuk meningkatkan kapasitas penahan air salep. Stabil terhadap asam dan
alkali. Inkompatibilitas dengan zat pengoksidasi kuat dan asam kuat dan merupakan
36
bahan yang tidak beracun. Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup rapat di
5. Vaselin Kuning
Vaselin kuning memiliki rumus molekul CnH2n+2 dan memiliki warna kuning pucat
hingga kuning, tidak berbau, tidak berasa, bentuk semi padat dan lembut. Kelarutan
praktis tidak larut dalam air, aseton, etanol, panas atau etanol dingin (95%), gliserin;
larut dalam benzene, eter, heksan, dan kloroform. Memiliki titik lebur 38°C-60°C.
Fungsi vaselin kuning dalam sediaan salep sebagai pelembab (Emolient) dengan
konsentrasi 10-30%. Bahan stabil karena tidak reaktif sifat komponen hidrokarbonnya;
Sebagian besar masalah stabilitas terjadi karena adanya sejumlah kecil kotoran. Sedikit
tidak cocok dengan bahan lembab dan umumnya dianggap sebagai bahan tidak beracun.
Penyimpanan disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat yang sejuk dan kering
37
II.9 Uraian Hewan Coba
Filum : Chordata
Subfilum : Vetebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Lagomorpha
Family : Loripedae
Genus : Oryctolagus
38
II.9.2 Karakteristik Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
daun telinga tegak keatas. Kelinci memiliki bibir bagian atasnya terbelah dan
tersambung hingga hidung. Telinga kelinci besar dan banyak terdapat darah sehingga
pada saat membawa kelinci diusahakan jangan memegang telinganya. Kaki belakang
kelinci lebih panjang dan kuat dibandingkan dengan kaki depannya. Sebagai hewan
karnivora, kelinci menyukai makanan berupa rumput-rumputan yang hijau dan segar.
Gigi kelinci tergolong unik, sebab gigi akan terus tumbuh sepanjang usia. Di alam
kelinci hidup secara bebas sehingga harus diberikan ruang gerak yang memadai
(Malluka, 2021).
39
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2022 hingga Januari 2023 di
Alat yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu bejana maserasi, batang
gelas kimia (Iwaki®), gegep, gunting, hot plate (Thermo®), homogenizer, jangka
sorong, kaca arloji, lampu spiritus, lumpang & alu, ose bulat, oven, pencukur bulu
hewan (Sonar®), pH meter, pisau bedah (OneMed®), pinset, pot salep, rotary vaccum
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini alkohol 70%, aluminium foil,
aquadest, beeswax putih, cotton swab (OneMed®), ekstrak daun pucuk merah
(Syzygium myrtifolium Walp.), etanol 96%, kasa steril (OneMed®), kapas, kertas saring,
40
media MHA (Merck KGaA®), NaCl 0,9% (MJB Pharma®), pelarut DMSO 10%, paper
disk, paraffin padat, plester roll (Leukoplast®), propilparaben, salep povidone iodin
(Betadine®), salonpas spray, silica gel GF60, spoit (OneMed®), stearil alkohol, tissue,
Daun pucuk merah dipisahkan dari kotoran, dicuci bersih dengan air mengalir
Sampel kering daun pucuk merah yang telah dihaluskan sebanyak 187 g
dimaserasi dengan etanol 96% sebanyak 1000 mL, kemudian diaduk hingga tercampur
dan didiamkan selama 2 x 24 jam dan pengadukan dilakukan setiap 8 jam. Hasil
maserasi kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang telah didapat
41
III.3.2 Pengujian Aktivitas Bakteri
Alat-alat yang digunakan dicuci kemudian dibilas dengan air suling, dikeringkan
dan dibungkus dengan kertas. Untuk alat-alat non skala disterilkan menggunakan oven
selama 2 jam pada suhu 180oC, sedangkan alat-alat yang berskala disterilkan dalam
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Ose bulat disterilkan dengan cara dipijarkan
Mueller Hinton Agar (MHA) sebanyak 9,5 g ditimbang lalu dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak 250 mL. campuran diaduk,
dipanaskan sampai larut. Media yang sudah larut kemudian disterilkan dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121⁰C selama 15 menit, dan dibiarkan sampai media
cukup dingin. Selanjutnya media MHA yang masih cair dituang ke dalam 3 cawan petri
Bakteri uji diremajakan dengan menginokulasi 1 ose koloni murni pada media
agar miring dan diinkubasi selama 1x24 jam pada suhu 37oC
Staphylococcus aureus yang telah ditanam pada agar miring secara aseptis dengan cara
ditambahkan NaCl 0,9% steril sebanyak 1 ml. kemudian, suspensi dituang ke dalam
42
tabung steril dan dihomogenkan. Kekeruhan suspensi bakteri disesuaikan dengan
Ekstrak dihitung dan ditimbang dalam konsentrasi 2%, 4%, dan 6%. Cara kerja
dalam 3 ml pengenceran DMSO ke dalam vial. Konsentrasi 4%, ditimbang ekstrak 0,12
difusi agar dengan paper disk. Medium Mueller Hinton Agar (MHA) steril sebanyak
ditetesi konsentrasi ekstrak sampel dengan variasi konsentrasi ekstrak 2%, 4%, 6%,
DMSO
10% sebagai kontrol negatif dan paper disk tetracycline sebagai kontrol positif.
Kemudian paper disk dimasukkan secara aseptis ke dalam cawan petri diatas
permukaan medium Mueller Hinton Agar (MHA) dengan jarak yang sama. Perlakuan
diatas diulangi sebanyak dua kali. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 1x24
jam. Adanya daerah bening disekitar paper disk menunjukkan hasil positif adanya
43
aktivitas antibakteri, kemudian diameter zona bening diukur menggunakan jangka
sorong.
Tabel 1 Rancangan Formula Sediaan Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Nama Bahan Fungsi Penimbangan Bahan
F1 F2
Bahan masing-masing ditimbang diatas. Untuk tahap I stearil alkohol, beeswax putih
dan paraffin padat dilebur dengan pemanasan diatas hot plate. Tahap II ditambahkan
vaselin kuning dan propil paraben, kemudian diaduk hingga homogen, lalu
didinginkan, kemudin ditambahkan ekstrak daun pucuk merah lalu dicampur hingga
44
III.3.4 Evaluasi Sediaan Salep
Adapun evaluasi sediaan salep mengikuti prosedur (Lasut et al., 2019), yaitu:
1. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik dilakukan dengan mengamati sediaan salep dari bentuk, bau
dan warna sediaan. Spesifikasi salep yang harus dipenuhi adalah memilih bentuk
setengah padat, warna harus sesuai dengan spesifikasi pada saat pembuatan awal
pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang harus menunjukkan susunan
yang homogen. Salep yang homogen ditandai dengan tidak terdapatnya gumpalan
pada hasil pengolesan, struktur yang rata dan memiliki warna yang seragam dari
titik awal pengolesan sampai titik akhir pengolesan. Salep yang di uji diambil tiga
tempat yaitu bagian atas, tengah dan bawah dari wadah salep.
Sebanyak 0,5 g salep diletakkan diatas kaca bulat dengan kaca lainnya diletakkan
diatasnya dan dibiarkan selama 1 menit. Diameter sebar salep diukur. Setelahnya,
50 g, 100 g, 150 g, 200 g, dan 250 g, beban ditambahkan dan didiamkan selama 1
menit lalu diukur diameter yang konstan. Diameter daya sebar salep yang baik
45
4. Uji Daya Lekat
Daya lekat salep diletakan salep secukupnya diatas objek glass yang telah ditentukan
luasnya, letakan objek glass yang lainnya diatas salep tersebut. Tekan dengan beban
1 kg selama 5 menit. Pasang objek glass pada alat tes, lepaskan beban 80 g dan catat
waktunya sehingga kedua objek glass tersebut terlepas (Nawangsari., et al. 2021).
5. Uji pH Salep
wadah yang berisi sediaan salep yang akan diuji, kemudian dicelupkan kedalam
sediaan salep lalu skala akan bergerak, tunggu hingga angka berhenti dan tidak
6. Uji Viskositas
Sediaan salep sebanyak 100 g, dimasukkan dalam cawan pengukur lalu diukur
skala dalam alat setelah tercapai kestabilan. Nilai kisaran viskositas sediaan salep
Implikasi etik pada hewan, pengolahan hewan uji pada penelitian ini mengikuti animal
Kesehatan (KEPK) Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar dengan Nomor protokol
112212132.
46
III.3.5.2 Pengambilan Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kelinci (Oryctolagus
cuniculus) jantan yang diambil dari tempat pemeliharaan hewan di Kabupaten Maros,
lingkungan selama 7 hari dan di tempatkan pada kandang yang dialasi sekam padi,
diberi pakan pelet, dan minuman berupa air keran yang diberikan rutin yaitu pagi dan
sore secara ad libitum (tak terbatas). Aklimatisasi dilakukan untuk meminimalisir efek
stress pada hewan uji yang dapat berpengaruh pada metabolisme. Hewan uji yang
digunakan pada penelitian ini adalah kelinci (Oryctolagus cuniculus) jantan dengan
berat minimal 1,5-2 kg, sehat dan berumur sekitar 3-5 bulan.
anestesi dengan menggunakan salonpas spray (metil salisilat). Hewan uji dicukur bulu
di daerah punggung sampai licin. Pada saat dibuat luka, terlebih dahulu daerah
punggung dan sekitarnya dibersihkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dibuat luka
sayatan dengan ukuran panjang 2 cm pada bagian punggung dengan cara mengangkat
kulit kelinci dengan pinset, kemudian dibuat luka dengan pisau bedah (Surgical Blade
Sterile) yang sudah disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol 70%, buat luka sedalam
47
III.3.5.5 Perlakuan dan Pengamatan
menggunakan spidol. Misalnya untuk perlakuan hewan uji pertama diberi tanda yaitu
A1 (luka diberi sediaan salep daun pucuk merah 6%), B1 (kontrol positif atau luka yang
diberi salep betadine povidone) dan C1 (kontrol negatif atau luka yang diberi basis
salep), replikasi dilakukan sebanyak 3 kali demikian seterusnya untuk perlakuan hewan
uji yang lain. Kemudian dilakukan pengamatan setiap hari selama 8 hari, ukur panjang
luka, edema, kemerahan dan terbentuknya keropeng. Pengamatan pada luka dilakukan
Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak daun pucuk merah (Syzygium
myrtifolium Walp.) dan Variabel terikat yaitu konsentrasi uji aktivitas antibakteri dan
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer yaitu data yang
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan uji
statistik dengan metode uji One Way ANOVA dengan SPSS 22.
48
BAB IV
Pada penelitian ini dilakukan formulasi salep dan uji aktivitas terhadap luka
insisi dengan menggunakan sampel daun pucuk merah, pengambilan sampel diambil di
makassar, provinsi Sulawesi selatan. Proses awal yaitu pembuatan simplisia pada
sampel daun pucuk merah yang digunakan sebanyak 187 gram, kemudian diolah
menjadi ekstrak dengan menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 96%
sebanyak 1000 mL selama 2 x 24 jam dan dilakukan pengadukan setiap 8 jam sekali.
Penggunaan pelarut etanol 96% karena etanol merupakan pelarut universal dimana
dapat menarik senyawa yang diinginkan, bersifat netral, dan merupakan senyawa polar
yang mudah menguap sehingga baik digunakan sebagai pelarut ekstrak. Proses
terlindung dari cahaya untuk mencegah penguraian zat aktif oleh cahaya matahari
(Zukhri., et al, 2018). Hasil bobot ekstrak etanol yang didapat pada daun pucuk merah
ialah 49 gram yang kemudian dihitung % rendemennya didapatkan hasil 26,2%. Proses
ekstraksi ini bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam sampel.
Metode ekstraksi maserasi remaserasi merupakan metode yang sederhana, mudah, dan
49
IV.2 Hasil Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
suatu zat yang diduga atau telah memiki aktivitas sebagai antibakteri dalam larutan
terhadap suatu bakteri (Jawetz, 2013). Uji aktivitas antibakteri ekstrak daun pucuk
merah dengan variasi konsentrasi ekstrak 2%, 4%, dan 6% dengan tiga kali replikasi,
terdapat daerah jernih di sekitar cakram kertas (paper disk). Uji aktivitas antibakteri
ekstrak daun pucuk merah menggunakan kontrol positif berupa antibiotik tetracycline
dan kontrol negatif berupa pelarut DMSO 10%. Kontrol positif menggunakan antibiotik
tetracycline. Untuk pemilihan pelarut DMSO 10% sendiri agar mengurangi nilai positif
palsu dari reaksi uji daya hambat yang tidak terlihat diameter zona hambat. DMSO
dapat digunakan sebagai pengencer ekstrak untuk memperoleh ekstrak dengan kadar
Tabel 2 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus Ekstrak Daun Pucuk Merah
Berdasarkan hasil pengujian, pada kontrol negatif (pelarut DMSO 10%) tidak
dari ketiga konsentrasi pada larutan ekstrak daun pucuk merah adalah pada konsentrasi
50
6% (lihat tabel 2). Dimana menurut Rachmawati (2021) zona hambat ekstrak 10-20 mm
sudah termasuk kategori kuat dalam menghambat bakteri. Kontrol positif tetracycline
menunjukkan diameter zona hambat yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan
konsentrasi 6%. Hal ini disebabkan karena bahan yang digunakan masih berupa ekstrak
belum berbentuk senyawa murni dan masih terdapat senyawa organik sehingga
hambat yang dihasilkan pada pengujian aktivitas antibakteri dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain: pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri, lamanya
Komponen utama yang terkandung dalam daun pucuk merah berperan sebagai
antibakteri yaitu, flavonoid, fenol, saponin, dan alkaloid. Peran Flavonoid bekerja
51
IV.3 Hasil Evaluasi Fisik Sediaan Basis Salep dan Salep Ekstrak Daun Pucuk
Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Tabel 3 Hasil Evaluasi Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.)
Hasil Evaluasi F1 F2
Organoleptik
Putih Kekuningan Cokelat Muda
Warna Bau
Khas Khas Aromatik
Bentuk
Semi Padat Semi Padat
Homogenitas Homogen Homogen
Daya Lekat (detik) 5 5
Daya Sebar (cm) 5,1 5,7
pH 6,37 5,03
Viskositas (cps) 36.750 36.500
Pengamatan organoleptik dilakukan secara subjektif dengan menilai warna,
bau, dan tekstur dari sediaan yang dihasilkan. Organoleptik akan berpengaruh terhadap
kenyamanan pengguna, oleh karena itu sediaan yang dihasilkan sebaiknya memiliki
bentuk setengah padat, warna harus sesuai dengan spesifikasi pada saat pembuatan awal
salep dan baunya tidak tengik. Kemudian untuk uji homogenitas, salep yang homogen
ditandai dengan tidak terdapatnya gumpalan pada hasil pengolesan, struktur yang rata
dan memiliki warna yang seragam dari titik awal pengolesan sampai titik akhir
pengolesan. Salep yang di uji diambil tiga tempat yaitu bagian atas, tengah dan bawah
dari wadah salep. Hasil uji daya lekat pada tabel diatas, telah memenuhi persyaratan
karena Syarat untuk daya lekat pada sediaan topikal adalah tidak kurang dari 4 detik
(Prabandari, 2019). Hal ini dipengaruhi oleh basis salep yang bersifat lemak yang
memungkinkan untuk waktu kontak sediaan dengan kulit lebih lama, sehingga
penetrasi salep dapat menghasilkan efek yang lebih baik. Pengujian daya sebar
bertujuan untuk melihat kemampuan menyebar salep diatas permukaan kulit saat
52
diaplikasikan. Daya sebar yang baik yaitu 5-7 cm (Lasut et al., 2019). Hasil pengamatan
menunjukan bahwa basis salep telah memenuhi persyaratan dan salep ekstrak daun
pucuk merah konsentrasi 6% juga telah memenuhi persyaratan daya sebar salep yang
baik. Pengujian sifat fisik selanjutnya adalah pengujian pH. Pengujian pH dilakukan
untuk melihat pH salep apakah berada pada rentang pH normal kulit yaitu 4,5 – 6,5
(Megawati, 2020). Jika pH terlalu basa dapat mengakibatkan kulit kering, sedangkan
jika pH kulit terlalu asam dapat memicu terjadinya iritasi kulit. Hasil pengujian
menunjukkan pH sediaan basis salep dan salep hidrokarbon ekstrak daun pucuk merah
berada di antara pH 5-6,4. Hal ini sudah masuk dalam rentang pH yang disyaratkan
tinggi dari salep F2. Kedua formula telah sesuai acuan dengan nilai kisaran viskositas
dengan kemerahan. Hal ini berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami
kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluasnya luka (Megawati, 2020).
Kemerahan mulai memudar pada hari ke-2 setelah pemberian salep povidone iodin
sebagai kontrol positif, basis salep sebagai kontrol negatif, dan salep ekstrak daun
pucuk merah 6%. Pada hari ke-2 pemberian sediaan salep ekstrak daun pucuk merah
53
hari ke-3. Proses inflamasi juga ditandai dengan adanya sedikit pembengkakan pada
luka yang terbuka dan kemerahan. Sedangkan pembengkakan pada pemberian salep
povidone iodin hanya terlihat pada hari ke-3. Pada pemberian basis salep (kontrol
negatif), terlihat adanya nanah pada hari ke-4 hingga hari ke-6 dan membentuk luka
berwarna kuning pada hari ke-7 artinya jaringan nekrosis (mati) yang lunak berbentuk
seperti nanah beku pada permukaan kulit yang sering disebut dengan slough (jaringan
mati berwarna kuning) (Milasari, et al, 2019). Hal ini disebabkan karena basis salep
tidak memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka sayat, melainkan sebagai emolient
atau pelembab. Sehingga apabila diberikan pada luka, luka akan menjadi basah dan
bernanah (Megawati, 2020). Kemudian pada hari ke-4 hingga hari ke-6, pemberian
salep ekstrak daun pucuk merah 6% terlihat mulai mengering dan membentuk keropeng
pada hari-7 dan pada hari ke-8. Pada hari ke-4 hingga hari ke-5 pemberian salep
povidone iodine (kontrol positif) terlihat luka mulai mengering, hari ke-6 membentuk
keropeng, dan hari ke-7 keropeng terkelupas atau terbuka. Hal ini disebabkan karena
54
Tabel 4 Hasil Pengukuran Panjang Luka Insisi Kelinci Hari Ke-1 Hingga Hari Ke-8
Berdasarkan Tabel 4, hewan uji pertama dan ketiga salep ekstrak daun pucuk merah
6% pada ke-1 hingga hari ke-8 terlihat luka membentuk keropeng terkupas atau luka
tertutup dimana panjang luka menjadi 0 cm, sedangkan hewan uji kedua salep ekstrak
daun pucuk merah 6% pada hari ke-7 luka masih membentuk keropeng dan belum
terbuka dan luka tertutup pada hari ke-8. Untuk salep povidone iodin pada hari ke-1
hingga hari ke-8 terlihat bahwa luka telah tertutup dimana panjang luka menjadi 0 cm.
Sedangkan untuk basis salep pada hari ke-1 hingga hari ke-7 luka masih terbuka namun
pada hari ke-8 terlihat bahwa luka telah tertutup dimana panjang luka menjadi 0 cm.
Metode analisa yang digunakan adalah aplikasi SPSS versi 22.0 for windows.
Analisa dilakukan terhadap perubahan panjang luka dari hari ke-1 hingga hari ke-8.
Berdasarkan hasil diketahui bahwa perbandingan parameter panjang luka sayat salep
povidone iodine, basis salep, dan ekstrak daun pucuk merah 6% dengan metode One
55
Way Anova. Hasil uji dilanjutkan dengan pengolahan data melalui statistik dan visual.
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak.
Normalitas data merupakan hal yang penting karena dengan data yang terdistribusi
normal, maka data tersebut dianggap dapat mewakili populasi. Hasil yang didapatkan
untuk uji normalitas adalah signifikan (p>0,05) artinya data terdistribusi normal.
Kemudian, uji ANOVA digunakan untuk melihat perbedaan yang signifikan dari ketiga
kelompok. Jika signifikan 0,05 dan data homogen (p>0,05) untuk melihat perbedaan
yang signifikan. Sebelum dilakukan uji One Way ANOVA, data mengenai rata-rata
panjang luka terbuka pada kelinci harus terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap
homogenitas varian data, agar didapat data yang valid. Hasil varian data didapat
dilanjutkan ke uji selanjutnya yaitu One Way ANOVA. Analisa menggunakan metode
analisa varian satu arah untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna atau
tidak ada pada setiap kelompok perlakuan. Hasil uji One Way Anova menunjukkan
hasil yang berbeda secara signifikan pada kelompok percobaan p= 0,808 yang dimana
(p> 0,05). Berdasarkan hasil analisis data SPSS diatas terdapat perbedaan tetapi tidak
bermakna dengan signifikan (p>0,05) antara salep ekstrak daun pucuk merah 6%,
kontrol positif (salep povidone iodin) dan kontrol negatif (basis salep), maka dapat
disimpulkan bahwa salep ekstrak daun pucuk merah memiliki efektivitas yang sama
dengan salep povidone iodin (kontrol positif). Hal ini dapat terjadi karena daun pucuk
56
penyembuh luka sayat dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin, leukotrin
57
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa jumlah
bakteri Stapylococcus aureus. Hasil pembuatan salep ekstrak daun pucuk merah 6%
telah memenuhi persyaratan fisik sediaan salep. Hasil analisis SPSS data panjang luka
sediaan salep ekstrak daun pucuk merah 6%, salep povidone iodine dan kontrol negatif
percobaan (p=0,808) lebih besar dari 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna
(efektivitasnya sama).
V.2 Saran
Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian terhadap luka insisi
58
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, M.R. 2015. Talas (Colocasia esculenta [ L .] Schott) sebagai Obat Herbal untuk
Taro (Colocasia esculenta [ L .] Schott) as Herbal Medicine to Accelerate, jurnal
Agromed Unila, 2(2), pp. 108–112.
Brush, A. 2015. Uji Toksisitas dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Merah Tanaman
Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) Terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli’, Jurnal Kimia Mulawarman Volume 13 Nomor 1,
13, pp. 35–40.
Davis, S.E. et al. 2022. Formulasi Dan Pengujian Sediaan Salep Ekstrak Etanol Daun
Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) Dengan Berbagai Variasi Basis
Salep, Biofarmasetikal Tropis, 4(2), pp. 66–73.
Depkes RI. 2020. Farmakope Indonesia edisi VI, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Hall, J. et al. 2014. Point prevalence of complex wounds in a defined United Kingdom
population, Wound Repair and Regeneration, 22(6), pp. 694–700.
Hamzah, H., Y Yamlean, P. V and Mongi, J. 2013. Formulasi Salep Ekstrak Etanol
Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) dan Uji Efektivitas Terhadap
Penyembuhan Luka Terbuka Pada Kelinci, PHARMACON Jurnal Ilmiah
Farmasi – UNSRAT Agustus, 2(03), pp. 2302–2493.
59
L.) Untuk Penyembuhan Luka, Media Farmasi Indonesia, 11(2), pp. 2886–2894.
Indriani, L., Almasyhuri, A. and Pratama, A.R. 2020. Aktivitas Gel Ekstrak Etanol
Daun Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium) Terhadap Penyembuhan Luka Bakar
Tikus Sprague-Dawley, FITOFARMAKA: Jurnal Ilmiah Farmasi, 10(2), pp.
178–187.
Jawetz, M. a. A. 2013. Medical Microbiology. 26th ed. New York: McGraw-Hill Inc.
Kalangi, S.J.R. 2014. Histofisiologi Kulit, Jurnal Biomedik (Jbm), 5(3), pp. 12–20.
Kartika, R.W. et al. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing,
Perawatan Luka Kronis Dengan Modern Dressing, 42(7), pp. 546–550.
Khotijah, L. d. S. D. 2017. Panduan Beternak Kelinci. 1st ed. Jakarta: Penebar Swadya.
Krieg, N.R. et al. 2011. Bergey's Manual Of Systematic Bacteriology. Second Edi,
Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology, Sixth Edition. Second Edi.
USA.
Lasut, T.M. et al. 2019. Uji Stabilitas Fisik Sediaan Salep Ekstrak Etanol Daun Nangka
Artocarpus heterophyllus Lamk, Biofarmasetikal Tropis, 2(1), pp. 63–70.
Malluka, B.I. 2021. Perbandingan Efektivitas Hidrogel Wound Dressing dan Gel Dari
Ekstrak Daun Kirinyuh (Chromolaena odorata L.) Dalam Penyembuhan Luka
Insisi, Skripsi. Makassar
Mayba, J.N. and Gooderham, M.J. 2017. A guide to topical vehicle formulations,
Journal of Cutaneous Medicine and Surgery, 22(2), pp. 207–212.
Megawati, S. 2020. Formulasi Dan Uji Efektivitas Penyembuhan Luka Sayat Salep
Ekstrak Metanol Bunga Ginje (Thevetia Peruviana) Terhadap Kelinci Jantan New
Zealand White, Jurnal Farmasi Udayana, p. 180.
60
Milasari, M., Jamaluddin, A.W. and Adikurniawan, Y.M. 2019. Pengaruh Pemberian
Salep Ekstrak Kunyit Kuning (Curcuma longa Linn) Terhadap Penyembuhan
Luka Sayat Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus), 4(1), pp. 186–202.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif, Jurnal
Kesehatan Volume 7 No.2
Ningsih, W.R. 2017. Laju fotosintesis dan kandungan Pb daun pucuk merah, Prodising
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Biologi, pp. 97–102.
Oktaviani, D.J. et al. 2019. Review: Bahan Alami Penyembuh Luka, Farmasetika.com
(Online), 4(3), p. 44.
Prabandari, R. 2019. Evaluasi Sifat Fisik Sediaan Salep Minyak Cengkeh (Syzigium
Aromaticum) Dalam Basis Larut Air, Viva Medika: Jurnal Kesehatan,
Kebidanan dan Keperawatan, 10(2), pp. 31–39.
Putri, T.D., Prasasti, A.G. and Idayanti, T. 2020. Potensi Ekstrak Daun Pucuk Merah
pada Tanaman Pucuk Merah (Syzygium myrtifolium Walp.) Sebagai
Handsanitizer Alami, pp. 1–5.
Qamari, M. Al, Tarigan, D.M. and Alridiwirsah. 2017. Budidaya Tanaman Obat &
Rempah. 1st edn. Edited by S.. Mentari Oniva Mulya. Medan: UMSU Press.
Rachmawati, N., Maulidiyah, G. and Aminah. 2021. Uji Daya Hambat dan Toksisitas
Ekstrak Daun Jamblang [Syzygium cumini (L.) Skeels] Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Staphylococcus epidermidis, Jurnal Biologi Indonesia, 17(1), pp. 39–46.
61
Rida, W.N. and Taharuddin. 2021. Efektifitas Pemberian Daun Binahong (Anredera
Cordifolia (Ten.)Stennis) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus:
Literature Review, Borneo Student Research, 2(2), pp. 2721–5725.
Riskesdes kemenkes RI, 2018. 2018. Laporan Nasional RKD2018 FINAL.pdf’, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, p. 674.
Rollando. 2019. Senyawa Antibakteri dari Fungi Endofit. I. Malang, Jawa Timur: CV.
Seribu Bintang.
Saputri, G.A.R. et al. 2021. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata
L.) Dalam Penyembuhan Luka Insisi Kulit Kelinci (Oryctogalus cuniculus),
Jurnal Farmasi Malahayati, 4(1), pp. 1–11.
Satria, R., Hakim, A.R. and Darsono, P.V. 2022. Penetapan Kadar Flavonoid Total Dari
Fraksi n-Heksana Ekstrak Daun Gelinggang dengan Metode Spektrofotometri
UV-Vis, Journal of Engineering, Technology, and Applied Science, 4(1), pp. 33–
46.
Sunarti, S. 2021. Daun Pucuk Merah : Inovasi dan Pengembangan Obat Herbal
sebagai Terapi Antidiabetes.
Widyawati, R. et al. 2021. Efektivitas Salep Ekstrak Daun Sirih Merah Terhadap Luka
Insisi Mencit, Cell medicine, 7(2), pp. 59–66.
Wilantari, P.D. 2020. Aktivitas Penyembuhan Luka Insisi dari Salep Daun Binahong
(Anredera scandens (L.) Moq.), Jurnal Farmasi Udayana, 8(2), p. 78.
Wintoko, R., Dwi, A. and Yadika, N. 2020. Manajemen Terkini Perawatan Luka
Update Wound Care Management, JK Unila, 4, pp. 183–189.
Zukhri, S., Murni Sari Dewi, K. and Hidayati, N. 2018. Uji Sifat Fisik dan Antibakteri
Salep Ekstrak Daun Katuk (sauropus androgynus (l) merr.), Jurnal Ilmiah
Kesehatan (JIK), XI(1), p. 308.
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 2 Skema Kerja Pembuatan Ekstrak Daun Pucuk Merah (Syzygium
myrtifolium)
64
Lampiran 3 Skema Kerja Uji Aktivitas Antibakteri Staphylococcus aureus
65
Lampiran 4 Skema Kerja Pembuatan Sediaan Salep
66
Lampiran 5 Skema Kerja Pengujian Salep Terhadap Hewan Coba
67
Lampiran 6 Perhitungan % Rendemen Ekstrak
Diketahui:
49 𝑔
= 187 𝑔 x 100%
= 0,262 x 100%
= 26,2 %
68
Lampiran 7 Hasil Uji Statistik SPSS
Uji Normalitas
Uji Homogenitas
69
Lampiran 8 Dokumentasi Proses Pembuatan Ekstrak Daun Pucuk Merah
(Syzygium myrtifolium)
Metode Maserasi
70
Penguapan dengan rotary evaporator
Ekstrak yang telah kental kemudian
ditimbang untuk didapatkan %rendemen
71
Lampiran 9 Dokumentasi Proses Uji Aktivitas Antibakteri Stapylococcus aureus
72
Hasil uji aktivitas ekstrak daun pucuk
Bakteri Staphylococcus aureus yang
digores kedalam cawan petri merah replikasi 1
Hasil uji aktivitas ekstrak daun pucuk Hasil uji aktivitas ekstrak daun pucuk
73
Lampiran 10 Dokumentasi Proses Pembuatan Sediaan Salep
74
Salep Ekstrak Daun Pucuk Merah 6% Evaluasi Uji Daya Sebar
Evaluasi Uji pH
75
Evaluasi Uji Daya Lekat
76
Lampiran 11 Dokumentasi Pembuatan Luka Insisi Pada Kelinci (Oryctolagus
cuniculus)
jangka sorong
77
Lampiran 12 Gambar Luka Insisi Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
78