Anda di halaman 1dari 26

Kegiatan 3:

Jenis-Jenis Pendekatan Dalam Pembelajaran IPA di SD

A. Pendekatan Lingkungan
1. Pengertian Pendekatan Lingkungan
Pembelajarn biologi tidak terlepas dari lingkungan, karena belajar biologi mengamati
makhluk hidup dan lingkungannya. Menurut Nuryani, (2006) pendekatan lingkungan itu
adalah dalam pembelajaran biologi kita mengaitkan lingkungan sebagai sumber belajar.
Makhluk hidup itu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga siswa dalam belajar
biologi diarahkan untuk mengamati lingkungan sehari-hari mereka sebagai sumber belajar.
Siswa diajak untuk mengenal lebih dekat kenyataan- kenyataan yang ada di alam lingkungan
sekitarnya. Dengan membawa siswa untuk selalu memperhatikan lingkungan, mereka akan
merasakan betapa agungnya ciptaan Tuhan, yang nantinya akan membawa mereka untuk
selalu bersyukur atas ciptaan Tuhan.
Guru kalau menggunakan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran biologi, mereka
harus mengetahui dulu lingkungan mana yang akan dikunjungi yang sesuai dengan materi
pelajarannya. Lingkungan yang dijadikan sebagai sumber belajar harus dapat memberikan
pemahaman terhadap siswa tentang materi yang akan dipelajarinya. Misalnya, tentang materi
tentang ekosistem, pencemaran air, pencemaran tanah, hewan-hewan invertebrata, jamur,
alga, dan sebagainya. Lingkungan yang akan dijadikan sumber belajar harus diperhatikan
tentang jaraknya tidak terlalu jauh, keamananannya, serta ada tidaknya objek yang akan
dipelajarinya. Kebun sekolah, kolam sekolah, taman sekolah dapat kita gunakan sebagai
sumber belajar. Kebun raya, kebun binatang, kawasan cagar alam, kawasan hutan lindung,
sungai, danau-danau dapat juga digunakan sebagai sumber belajar biologi.
Metode studi lapangan terpadu (SLT) dapat juga digunakan sebagai pendekatan
lingkungan dalam pembelajaran biologi. Metode karyawisata, metode diskusi, metode jelajah
alam sekitas (JAS) bisa juga digunakan dalam pendekatan lingkungan pada pembelajaran
biologi. Selain itu, mungkin juga ada metode-metode lain yang dapat digunakan dalam
pendekatan lingkungan.
2. Langkah-Langkah Pembelajaran
a. Tahap Eksplorasi

1) Guru menceritakan tentang beberapa contoh kingdom plantse ditinjau dari segi
agama islam. Dari pemutaran video guru menceritakan bagaimana proses
penciptaan tumbuh-tumbuhan dimuka bumi dan mengaitkannya dengan Imtaq
siswa.
2) Guru mengajukan topik penyelidikan yaitu: ciri umum dan sifatnya, cara
reproduksi, klasifikasi dan peranan dari kingdom tumbuhan tersebut dalam
kehidupan.
3) Guru memunculkan masalah :
a) Apakah ada perbedaan ciri-ciri umum tumbuhan lumut dan paku?
b) Bagaimana daur hidup dan cara reproduksi dari lumut dan paku?
c) Apa saja peranan dari lumut dan paku didalam kehidupan manusia?

b. Tahap Eksplanasi

1) Guru mengajak siswa ke lingkungan sekolah.


2) Guru dan siswa mengkaji LKS tentang cirri umum, klasifikasi, dan manfaat
dari tumbuhan paku dan lumut. Guru memfasilitasi siswa menganalisis dan
menginterpretasi data untuk menguji hipotesisnya
3) Siswa melakukan diskusi kelompok dan ustadz sebagai pendampingnya
4) Siswa menyerahkan hasil diskusi kelompok

c. Tahap Ekspansi
Tumbuhan paku (Pterydhopyta) merupakan tumbuhan berkormus dan berpembuluh
yang paling sederhana. Terdapat lapisan pelindung sel (jaket steril) di sekeliling organ
reproduksi, sistem transpor internal, hidup di tempat yang lembap. Akar serabut berupa
rizoma, ujung akar dilindungi kaliptra. Sel-sel akar membentuk epidermis, korteks, dan
silinder pusat (terdapat xilem dan fleom).
Tumbuhan ini benar-benar telah berupa kormus, jadi telah jelas adanya akar, batang
dan daun. Ada yang hidup sebagai saprofit dan ada pula sebagi epifit. Paku menyukai
tempat lembab (Higrofit), tumbuhnya mulai dari pantai (paku laut) sampai sekitar
kawah-kawah (paku kawah). Lumut (Bryophyta) merupakan tumbuhan darat yang
tubuhnya tidak dapat dibedakan antara akar, batang, dan daun. Lumut menyesuaikan
dirinya dengan kehidupan didarat yang ditunjukan oleh adanya alat-alat tubuh seperti
akar semu (rhizoid).
d. Tahap Evaluasi

 Tes kemampuan kognitif

B. Pendekatan Kontekstual (CTL)


1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual (CTL)
Pendekatan kontekstual menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang
menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan
sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Contextual
Learning (CTL) adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola
yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak
yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan kehidupan
sehari-hari siswa (Johnson 2006: 65).
Hull's dan Sounders (dalam Komalasari, 2013: 6) menjelaskan bahwa didalam
pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak
dengan penerapan praktis di dunia nyata. Siswa menyangkutkan konsep melalui penemuan,
penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran kontekstual menghendaki kerja sebuah tim
misalnya di sekolah, di tempat kerja, maupun di rumah Pembelajaran kontekstual menuntut
guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk pengalaman
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sedangkan menurut Sa'ud (2006: 38) CTL adalah
suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan
dengan kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam
kehidupannya.
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang menekankan pada proses
keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya
dengan kehidupan nyata (konteks kehidupan sehari-hari, seperti konteks pribadi, sosial, dan
budaya) dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses demikian akan
mengakrabkan siswa dengan lingkungannya, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun
dunia kerja.
Pembelajaran kontekstual dikembangkan berdasarkan teori belajar konstruktivistik.
Dalam pandangan konstruktivistik, belajar adalah kegiatan mengonstruk makna atau
memaknai pengetahuan baru melalui proses interaksi dengan lingkungan. Oleh karena itu,
bahan ajar harus terkait dengan konteks, seperti rumah, masyarakat, ataupun lingkungan
kerja; pembelajar harus dapat mengaitkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan
nyata; penyajian bahan ajar memungkinkan pembelajar menghadapi konteks nyata atau hal
baru, kemudian difasilitasi untuk membangun pemahaman dari konteks atau hal baru yang
diamati dan menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam konteks komunikasi nyata;
serta penilaian otentik dan perbaikan terhadap berbagai masalah dilaksanakan secara
alamiah dan terpadu dalam seluruh proses pembelajaran.
Adapun tujuan belajar berbasis pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut.
Pertama, mendorong siswa untuk menemukan pengalaman-pengalaman baru. Kedua,
menghubungkan antara kemampuan awal dengan kemampuan baru. Ketiga, membantu
siswa agar dapat menyimpulkan titik temu antara pengalaman baru dengan yang lama.
Keempat, mendorong siswa untuk mengidentifikasi kemampuan-kemampuan awal sehingga
dapat mengkonstruksi pengetahuan/pengalaman baru yang bermakna. Kelima,
mengembangkan kemampuan siswa untuk menyelesaikan permasalahan berbasis kontektual,
baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun budaya. Keenam, mewujudkan pembelajaran
sesuai dengan potensi dan kebutuhan siswa. Ketujuh, mengukur kemampuan siswa berbasis
kinerja (proses dan hasil). Kedelapan, memfasilitasi siswa agar memiliki kemampuan
berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS).
Contextual Teaching and Learning merupakan suatu proses pendidikan yang holistik
dan bertujuan memotivasi siswa. Pembelajaran ini digunakan untuk memahami makna
materi pelajaran yang sedang dipelajari dalam konteks kehidupan sehari-hari siswa (konteks
pribadi, sosial, dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan yang secara fleksibel
dapat diterapkan dari satu konteks ke konteks lainnya (Aqib, 2013). Dengan pendekatan
pembelajaran kontekstual siswa akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan sebagai
bekal untuk memecahkan masalah kehidupannya di lingkungan masyarakat. Siswa adalah
generasi yang dipersiapkan untuk menghadapi dan memecahkan masalah di masa
mendatang sehingga perlu dilatih dan sekarang. Menurut S. Nasution memecahkan masalah
adalah metode belajar yang mengharuskan pelajar untuk menemukan jawabannya
(discovery) tanpa bantuan khusus. Masalah yang dipecahkan, ditemukan sendiri tanpa
bantuan khusus akan memberi hasil yang lebih unggul dibanding pemecahan masalah yang
mendapat bantuan khusus (Nasution, 2011)

2. Karakteristik Pembelajaran berdasarkan pendekatan kontekstual


The Nort West Regional Education Labolatory USA mengemukakan ada enam
karakteristik pembelajaran konteks- tual sebagai berikut:
a. Pembelajaran Bermakna: pemahaman, relevasi dan penilaian pribadi sangat
terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran.
Pembelajar- an dirasa terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat
isi pembelajaran. Jika mereka merasa berkepentingan umum belajar demi masa
yang akan datang.
b. Penerapan Pengetahuan: kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari
dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau dimasa
yang akan datang.
c. Berfikir Tingkat Tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kreatif
dalam pengumpulan data,pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
d. Kurikulum yang dilambangkan berdasar standar. Isi pembelajaran harus dikaitkan
dengan standar lokal (pro- vinsi), nasional, perkembangan pengetahuan dan tek-
nologi.
e. Responsife terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai
kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat dimana dia
mendapat pendidikan. Setidaknya guru juga harus memperhatikan empat hal dalam
pembelajaran kontekstual yaitu: individu siswa, kelompok siswa baik tim akan
keseluruhan kelas tatanan sekolah, dan besar tatanan komunitas kelas
f. Penilaian autentik: penggunaan berbagai misalnya penilaian tugas terstruktur,
kegiatan siswa, pengguna. an portofolio dan sebagainya akan merepleksikan hasil
besar sesungguhnya.

3. Prinsip-prinsip Pembelajaran berdasarkan Pendekata Kontekstual


Prinsip-prinsip dasar di dalam pendekatan kontekstual adalah belajar berbasis masalah,
belajar berbasis konteks, belajar berbasis perbedaan, belajar berbasis individu, belajar
berbasis kelompok, dan belajar berbasis penilaian otentik (Johnson 2002). Pertama,
pembelajaran menekankan pada pemecahan masalah. Pengajaran kontekstual dapat dimulai
dengan suatu simulasi atau masalah nyata. Dalam hal ini siswa menggunakan keterampilan
berpikir kritis dan pendekatan sistematik untuk menemukan dan mengungkapkan masalah
atau isu-isu dan mungkin juga menggunakan berbagai isi materi pembelajaran untuk
menyelesaikan masalah. Masalah yang dimaksudkan adalah relevan dengan siswa,
pengalaman, sekolah, tempat tinggal, dan masyarakat yang memiliki arti penting bagi siswa.
Kedua, mengakui kebutuhan pembelajaran terjadi di berbagai konteks, misalnya rumah,
masyarakat, dan tempat kerja. Pembelajaran kontekstual menyarankan bahwa pengetahuan
tidak dapat dipisahkan dari fisik dan konteks sosial tempat siswa berkembang. Bagaimana
dan di mana siswa memperoleh dan memunculkan pengetahuan selanjutnya menjadi sangat
berarti serta pengalaman belajarnya akan diperkaya jika ia mempelajari berbagai
keterampilan di dalam konteks yang bervariasi (rumah masyarakat, dan tempat kerja).
Ketiga, mengontrol dan mengarahkan pembelajaran sehingga siswa akan menjadi
pembelajar yang mandiri (Self- Regulated Learners). Akhirnya, siswa harus menjadi
pembelajar sepanjang hayat yang mampu mencari, menganalisis, serta menggunakan
informasi tanpa atau dengan sedikit bimbingan dan semakin menyadari bagaimana mereka
memproses informasi, menggunakan strategi pemecahan masalah, serta memanfaatkannya.
Untuk mencapai itu, siswa harus melakukan uji coba (trial and error) dengan menggunakan
waktu dan struktur materi yang reflektif dan memperoleh dukungan yang cukup serta
bantuan untuk berubah dari pembelajar yang dependen menjadi pembelajar yang
independen.
Keempat, bermuara pada keragaman konteks hidup yang dimiliki siswa. Secara
menyeluruh populasi siswa sangatlah beragam, baik ditinjau dari perbedaan dalam nilai, adat
istiadat, sosial, maupun perspektif. Di dalam proses pembelajaran kontekstual perbedaan
tersebut dapat menjadi daya dorong untuk belajar dan sekaligus menambah kompleksitas
pembelajaran itu sendiri. Kerja sama tim dan aktivitas kelompok belajar di dalam proses
pembelajaran kontekstual sangatlah menghargai keragaman siswa, memperluas perspektif,
dan membangun keterampilan interpersonal (berpikir melalui berkomunikasi dengan orang
lain). Mendorong siswa untuk belajar dari sesamanya dan bersama-sama atau menggunakan
kelompok belajar interdependen (Interdependent Learning Group). Siswa akan dipengaruhi
dan sekaligus berkontribusi terhadap pengetahuan dan kepercayaan orang lain. Kelompok
belajar atau komunitas pembelajaran akan terbentuk di tempat kerja dan sekolah kaitannya
dengan suatu usaha untuk bersama-sama memakai pengetahuan, memusatkan pada tujuan
pembelajaran, dan memperkenankan semua orang untuk belajar dari sesamanya. Dalam hal
ini, para pendidik harus bertindak sebagai fasilitator, pelatih, dan pembimbing akademis.
Kelima, menggunakan penilaian otentik (autent assessment). Pembelajaran kontekstual
diharapkan membangu pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang bermakna melalui
pengikutsertaan siswa ke dalam kehidupan nyata ata didasarkan pada konteks otentik. Untuk
proses pembelajaran yang demikian itu diperlukan suatu bentuk penilaian yang metodologi
dan tujuan dari pembelajaran itu sendiri (penilai otentik). Penilaian otentik menunjukkan
bahwa pembelajaran telah terjadi; menyatu ke dalam proses belajar mengajar memberikan
kesempatan dan arahan kepada siswa untuk maju serta sekaligus dipergunakan sebagai alat
kontrol untuk melihat kemajuan siswa dan umpan balik bagi praktik pengajaran.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, dapat dibedakan antara pendekatan kontekstual
dengan pendekatan tradisional. Dalam pembelajaran kontekstual, hal yang lebih penting
adalah bagaimana guru dapat mendorong dan menerima otonomi siswa, investigasi bertolak
dari data mentah dan sumber-sumber primer, menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian,
dan teka- teki sebagai pengarah pembelajaran. Dalam pembelajaran tradisional,
pembelajaran dianggap sebagai bagian "menirukan" suatu proses yang melibatkan
pengulangan siswa atau meniru- niru informasi yang baru disajikan dalam laporan atau kuis
dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih diutamakan untuk
membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi
informasi baru.
Terdapat tujuh komponen Pendekatan contextual teaching and learning (CTL). Berikut
ini akan diuraikan secara singkat ke tujuh komponen tersebut:
a. Konstruktivisme
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas
melalui konteks yang tidak terbatas. Siswa dilatih untuk memecahkan masalah dan
menemukan ide-ide. Guru dalam proses belajar-mengajar tidak akan mampu
memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu pembelajaran dikemas
sebagai proses merekonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Jadi dapat disimpulkan
bahwa siswa membangun sendiri pengetahuan dengan keterlibatannya secara aktif
dalam belajar. Guru bukan lagi pusat pembelajaran tetapi siswa. Dalam belajar guru
hanya sebagai fasilittor.
b. Menemukan
Menemukan, didalam pendekatan CTL diperoleh dengan mampunya siswa
membangun keterkaitan untuk menemukan makna. Menemukan merupakan kegiatan
inti dari pembelajaran berbasis CTL.
c. Bertanya
Bertanya adalah strategi utama yang digunakan dalam pembelajaran berbasis CTL.
Pertanyaan akan mampu membimbing dan menuntun pemikiran siswa. Pertanyaan itu
adalah bagian terpenting dalam pembelajaran inquiri, karena dengan pertanyaan itulah
dapat digali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui dan
mengarahkan pada hal-hal yang belum diketahui (Riyanto 2009).
d. Masyarakat belajar
Masyarakat belajar akan tercipta dengan adanya proses komunikasi dua arah.
Konsep dari masyarakat belajar ini menghendaki siswa bekerjasama dibawah
bimbingan guru. Dengan adanya kerjasama dalam CTL akan mampu menghadapi
berbagai rintangan, bertindak mandiri, dan penuh tanggung jawab serta dapat
menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya pengalaman dan cara pandang
yang sempit. Hal ini dikarenakan daya tangkap siswa dan perhatian yang berbeda.
Dengan adanya interaksi kelompok dapat menghasilkan pemikiran yang lebih baik,
karena akan saling melengkapi pokok permasalahan ( B. Elaine 2011).
e. Pemodelan
Model merupakan suatu perilaku atau aktivitas yang dilakukan seseorang dan bisa
ditiru oleh siswa. Dengan adanya pemodelan terhadap sesuatu maka siswa akan
memikirkan keterkaitan pelajaran dengan apa yang dimodelkan dibawah bimbingan
guru.
f. Refleksi
Refleksi merupakan kemampuan berfikir tentang apa yang telah dipelajari, dengan
kata lain mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan
baru yang diterima oleh siswa
g. Penilaian sebenarnya
Penilaian sebenarnya merupakan proses pengumpulan berbagai data yang
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. CTL mewajibkan siswa mencapai
standar tinggi dan ketika para siswa mampu melihat makna dalam pembelajaran
mereka (B. Elaine 2011). Menurut Siregar & Nara (2011) komponen yang menyusun
pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut:
1) Membangun hubungan untuk menemukan makna (relating),
2) Melakukan sesuatu yang bermakna (experiencing),
3) Belajar secara mandiri,
4) Kolaborasi (collaborating),
5) Berpikir kritis dan kreatif (applying),
6) Mengembangkan potensi individu (transfering),
7) Standar pencapaian yang tinggi,
8) Asesmen yang autentik.

4. Langkah-langkah Pendekatan Kontekstual


Sebelum melaksanakan pembelajaran, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat
skenario pembelajaran sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam
pelaksanaannya. Dalam pendekatan kontekstual ada beberapa langkah yang harus dilalui
yang disebut degan fase, Aqib (2013) menjelaskan terdapat enam fase dalam pembelajaran
antara lain:
Fase 1 (menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa), guru menyampaikan tujuan yan
ingin dicapai dalam pembelajaran dan memotivasi siswa.
Fase 2 (Menyampaikan Informasi), guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan
jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase 3 (Mengorganisasi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar), guru menjelaskan
kepada siswa bagaimana cara setiap membentuk kelompok belajar dan membantu kelompok
agar melakukan transisi secara efisien.
Fase 4 (Membimbing kelompok belajar dan bekerja), guru membimbing kelompok
belajar pada saat mengerjakan tugas mereka.
Fase 5 (Evaluasi), guru mengevaluasi hasil belajar tentang mater yang telah
dipelajari/meminta kelompok untuk presentasi hasil kerja.
Fase 6 (Memberikan Penghargaan), guru mengharagai baik upaya maupun hasil belajar
individu maupun kelompok.
Pendapat lain mengenai langkah-langkah pembelajaran kontekstual juga disampaikan
Trianto (2009) bahwa terdapat tujuh langkah yang harus dilaksanakan oleh guru dalam
menerapkan pendekatan pembelajaran ini, sebagai berikut:
a. Mengembangkan pemikiran anak bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya.
b. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri semua topik.
c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Melakukan refleksi diakhir pertemuan.
g. Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

C. Pendekatan Kooperatif

1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif


Pembelajaran kooperatif adalah salah satu pembelajaran yang berdasarkan faham
bentuk konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah
siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja
sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran
kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum
menguasai bahan pelajaran. Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah
sebagai berikut (Lundgreen, 1994).
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka "tenggelam atau berenang
bersama."
b. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain
dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari
materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota
kelompok.
e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan
bekerja sama selama belajar.
g. Setiap siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Ada beberapa pakar mengomentari tentang pendekatan kooperatif seperti di bawah ini:
Menurut Thompson, et al. (1995), pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur
interaksi sosial pada pembelajaran sains. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar
bersama dalam kelompok- kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas
disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 6 orang siswa, dengan kemampuan yang
heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa,
jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan
bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Menurut Abdurrahman dan Bintoro (1998), pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang saling asah,
silih asih, dan silih asuh antara sesama siswa sebagai latihan hidup dalam masyarakat nyata.
Bruner dalam (Siberman, 2000) mendeskripsikan belajar secara bersama merupakan
kebutuhan manusia yang mendasar untuk merespon yang lain dalam mencapai suatu tujuan.
Suatu reciprocity yang merupakan sumber motivasi yang setiap pengajar dapat menjalankan
stimulasi untuk belajar.
Dari berbagai uraian tersebut, pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-
keterampilan khusus. agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti
menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau
tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok
adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).

2. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif


Beberapa ciri ciri dari pembelajaran kooperatif adalah; (a) setiap anggota memiliki
peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok
bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru
membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, (e) guru
hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993).
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana
dikemukakan oleh Slavin (1995), yaitu penghargaan kelompok,pertanggungjawaban
individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh
penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor
di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan
individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang
saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.
b. Pertanggung jawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota
kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota
kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara
individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas
lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai
perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang
terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi
rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan
melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.

3. Model Pembelajaran Kooperatif


Pembelajaran kooperatif telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai
penelitian, tujuannya untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk
hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan
akademik melalui aktivitas kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat saling
ketergantungan positif di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa
mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada siswa
dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung
dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi,
percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun
hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua siswa dapat
menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar.
Ada 4 macam model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Arends (2001),
yaitu; (1) Student Teams Achievement Division (STAD), (2) Group Investigation, (3)
Jigsaw, dan (4) Structural Approach. Sedangkan dua pendekatan lain yang dirancang untuk
kelas- kelas rendah adalah; (1) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
digunakan pada pembelajaran membaca dan menulis pada tingkatan 2-8 (setingkat TK
sampai SD), dan Team Accelerated Instruction (TAI) digunakan pada pembelajaran
matematika untuk tingkat 3-6 (setingkat TK).
Senada dengan ciri-ciri tersebut, Johnson dan Johnson (1984) serta Hilke (1990)
mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah; (1) terdapat saling ketergantungan
yang positif di antara anggota kelompok, (2) dapat dipertanggungjawabkan secara individu,
(3) heterogen, (4) berbagi kepemimpinan, (5) berbagi tanggung jawab, (6) menekankan pada
tugas dan kebersamaan, (7) membentuk keterampilan sosial, (8) peran guru/dosen
mengamati proses belajar mahasiswa, (9) efektivitas belajar tergantungpada kelompok.
Proses belajar terjadi dalam kelompok- kelompok kecil (3-4 orang anggota), bersifat
heterogen tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan akademik, jender, suku, maupun
lainnya.
a. Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa
atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan- keterampilan khusus yang
disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk
melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan
membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan
selama kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut (Lundgdreen, 1994).
1) Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
Keterampilan tingkat awal meliputi; (1) Menggunakan kesepakatan (2) Yang
dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan pendapat yang
berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok (3) menghargai
kontribusi (4) menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat
dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan
anggota lain, dapat saja kritik yang diberikan itu ditujukan terhadap ide dan tidak
individu (5) mengambil giliran dan berbagi tugas (6) pengertian ini mengandung
arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia
mengemban tugas atau tanggungjawab tertentu dalam kelompok (7) berada dalam
kelompok (8) maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalamkelompok kerja
selama kegiatan berlangsung (9) berada dalam tugas (10) yang dimaksud berada
dalam tugas adalah meneruskan tugas yang menjadi tanggungjawabnya, agar
kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan (11) mendorong
partisipasi (12) mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok
untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok (13) Mengundang orang
lain (14) maksudnya adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi
terhadap tugas (15) menyelesaikan tugas dalam waktunya (16) menghormati
perbedaan individu (17) menghormati perbedaan individu berarti bersikap
menghormati terhadap budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau
peserta didik.
2) Keterampilan Tingkat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan
simpati, mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara dapat diterima,
mendengarkan degeneratif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan,
mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
3) Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan
cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
b. Pengembangan keterampilan social
Tujuan penting pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa
keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting
dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan
sosial.
c. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain pendekatan pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-
tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling
menghargai satu sama lain.
d. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli
berpendapat bahwa pendekatan ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-
konsep sulit. Para pengembang pendekatan ini telah menunjukkan bahwa pendekatan
struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping
mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif
dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas
yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

D. Pendekatan Pembelajaran Science Environment Technology Society (SETS)


1. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Science Environment Technology Society (SETS)
Kata SETS (Science Environment Technology and Society) dapat dimaknakan sebagai
sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, merupakan satu kesatuan yang dalam konsep
pendidikan mempunyai implementasi agar siswa mempunyai kemampuan berpikir tingkat
tinggi (higher order thinking).Pendidikan SETS dapat diawali dengan konsep-konsep y
sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar kehidupan sehar yang hari peserta didik atau
konsep-konsep rumit sains maupun non sains.
Sejarah membuktikan bahwa kehidupan di masa lalu beserta pendidikan generasi
mudanya sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Setiap produk yang
dihasilkan baik teknologi maupun sumber daya manusianya berlomba-lomba untuk
mengeksplorasi kekayaan bumi tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan di masa yang
akan datang. Setelah masalah dalam kehidupan yang disebabkan oleh kerusakan begitu
menggejala, barulah sebagian negara, beberapa lembag swadaya masyarakat dan aktivis
pecinta lingkungan hidup bersuara
Sejak itulah dalam dunia pendidikan mulai diintegrasikan pendidikan berwawasan
lingkungan, misalnya Pendidikan bervis STS (Science Technology Society) berarti
pendidikan bervisi Sains Teknologi dan Masyarakat, Pendidikan bervisi EE (Environmental
Education) pendidikan lingkungan hidup, pendidikan STL (Sciencetific and Technological
Literacy) artinya pendidikan berwawasan Sains dan merujuk Teknologi. Beberapa waktu
berlalu belum menampakkan hasil optimal dari pengintegrasian visi-vis tersebut dalam
pendidikan. Untuk itulah perlu dikembangkan pendidikan bervisi SETS sebagai satu
kesatuan Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat yang tidak boleh dipisahkan.
2. Hakikat Pembelajaran Science Environment Technology Society
Hakikat SETS dalam pendidikan merefleksikan bagaimana harus melakukan dan apa
saja yang bisa dijangkau oleh pendidikan SETS. Pendidikan SETS harus mampu membuat
peserta didik yang mempelajarinya baik siswa maupun warga masyarakat benar- benar
mengerti hubungan tiap-tiap elemen dalam SETS. Hubungan yang tidak terpisahkan antara
sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat merupakan hubungan timbal balik dua arah
yang dapat dikaji manfaat-manfaat maupun kerugian-kerugian yang dihasilkan. Pada
akhirnya peserta didik mampu menjawab dan mengatasi setiap problem yang berkaitan
dengan kekayaan bumi maupun isu-isu sosial serta isu-isu global, hingga pada akhirnya
bermuara menyelamatkan bumi.
Keberhasilan Pendidikan SETS dengan kedalaman yang memadai sangat relevan untuk
memecahkan problem yang melanda kehidupan sehari-hari. Misalnya masalah pencemaran,
pengangguran, bencana alam, kerusuhan sosial dan lain-lainnya. Isu-isu tersebut dapat
dibawa ke dalam kelas dan dikaji melalui pendidikan SETS untuk dicarikan pemecahannya,
paling tidak pencegahannya.
Pendidikan SETS pada hakikatnya akan membimbing peserta didik untuk berpikir
global dan bertindak lokal maupun global dalam memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi sehari- hari. Masalah-masalah yang berada di masyarakat dibawa ke dalam kelas
untuk dicari pemecahannya menggunakan pendidikan SETS secara terpadu dalam hubungan
timbal balik antar elemen- elemen sains, lingkungan, teknologi, masyarakat.
Peserta didik dilatih agar mampu berpikir secara global dalam memecahkan masalah
lokal, nasional maupun internasional sesuai dengan kadar kemampuan berpikir dan
bernalarnya. Peserta didik dibimbing untuk memiliki kepekaan terhadap masalah- masalah
di masyarakat dan berperan aktif untuk turut mencari pemecahannya.

3. Tujuan Pendekatan Science Environment Technology Society


Tujuan Pendidikan SETS adalah untuk membantu peserta didik mengetahui
sains, perkembangan sains, teknologi-teknologi yang digunakannya, bagaimana
perkembangan sains dan teknologi mempengaruhi lingkungan serta masyarakat.
Pendidikan SETS berupaya memberikan pemahaman tentang peranan lingkungan terhadap
sains, teknologi, masyarakat. Sebaliknya peranan masyarakat terhadap arah perkembangan
sains, teknologi dan keadaan lingkungan. Termasuk juga peranan teknologi dalam
penyesuaiannya dengan sains, manfaatnya terhadap masyarakat dan dampak-dampak yang
ditimbulkan terhadap lingkungan. Tidak ketinggalan peranan sains untuk melahirkan
konsep-konsep yang berdaya guna positif, keterlibatannya pada teknologi yang dipakai
maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan secara timbal balik.
Jadi tujuan utama Pendidikan SETS ialah bagaimana membuat agar SETS dapat
menolong manusia membuat surga dunia di muka bumi ini, bukan sebaliknya menciptakan
neraka dunia dalam segala aspek kehidupan. SETS sesungguhnya harus mampu menolong
setiap negara di dunia untuk mewujudkan kemakmuran bagi semua warga negaranya.
Dalam memberikan pengantar Pendidikan SETS kepada peserta didik, setiap guru harus
dapat menciptakan variasi pendekatan atau konsep pembelajaran yang disesuaikan tingkat
kemampuan maupun obyektivitas dari pendidikan SETS itu sendiri. Perlu diingat bahwa
tidak tertutup kemungkinan seorang siswa memiliki peluang lebih besar untuk mengalami
sesuatu topik masalah secara lebih nyata dibanding dengan gurunya. Apabila hal itu terjadi,
para guru hendaknya tidak merasa berkecil hati, justru merasa lebih tertantang dengan
kondisi yang ada untuk belajar lebih keras dan mencoba mendahului kemampuan muridnya
dengan tujuan positif. Jangan sampai terjadi karena muridnya diketahui lebih cepat dapat
mengakses pengetahuan yang ada, seorang guru menjadi tidak suka atau antipati kepada
muridnya. Segi baik lainnya adalah setiap murid secara perorangan dapat mengoptimalkan
pengetahuan yang dimilikinya untuk bekerja sama dengan temannya dalam proses
Pendidikan SETS. Hal ini mengandung arti murid yang bersangkutan telah belajar
bagaimana bersosial masyarakat.

4. Pelaksanaan Pendekatan Science Environment Technology Society


Berkenaan dengan strategi pelaksanaan pendekatan STM, Anna Poedjiadi (1995:4)
mengemukakan bahwa pelaksanaan pendekatan STM dapat dilakukan melalui tiga macam
strategi. Strategi pertama; menyusun topik-topik tertentu yang menyangkut konsep-konsep
yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Pada awal perubahan tiap topik, guru
memperkenalkan atau menunjukkan kepada peserta didik adanya isu atau masalah di
lingkungan peserta didik satu menunjukkan aplikasi sains atau suatu produk teknologi yang
ada dilingkungan mereka. Masalah atau isu yang ada dilingkungan masyarakat dapat pula
diusahakan agar ditemukan oleh peserta didik sendiri setelah guru membimbing dengan
cara-cara tertentu. Melalui kegiatan eksperimen atau diskusi kelompok yang dirancang oleh
guru akhirnya dibangun atau dikonstruksi pengetahuan pada peserta didik, dalam hal ini
pengetahuan yang berbentuk konsep-konsep. Strategi ini mirip dengan stategi pendidikan
IPA terpadu. Perbedaannya ialah bahwa pada program STM, isu atau masalah harus
diangkat pada awal pembahasan topik yang diajarkan, sedangkan dalam IPA terpadu tidak
mutlak harus dilaksanakan demikian.
Strategi kedua, menyajikan suatu topik yang relevan dengan konsep-konsep tertentu
yang termasuk dalam GBPP. Pada saat membahas konsep-konsep tertentu suatu topik yang
relevan telah dirancang sesuai strategi pertama dapat diterapakan dalam pembelajaran.
Dengan demikian program STM merupakan suplemen dari kurikulum.
Strategi ketiga, mengajak peserta didik untuk berpikir dan menemukan aplikasi konsep
sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan
belajar berlangsung, contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains, isu atau masalah
sebaiknya diperkenalkan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi
peserta didik mempelajari konsep-konsep selanjutnya atau mengarahkan perhatian peserta
didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi.
Ada beberapa hal yang dipandang menjadi kelebihan dari pendekatan integratif (SETS)
dibanding menggunakan pendekatan lain, antara lain: Bisa meningkatkan motivasi belajar
siswa; bisa meningkatkan prestasi hasil belajar siswa; bisa meningkatkan partisipasi siswa
dalam belajar biologi: pendekatan integratif pada pembelajaran biologi diharapkan bisa
melatih siswa dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan multidisiplin ilmu dan
interdisi-pliner, sehingga pemahaman siswa terhadap sesuatu masalah lebih bersifat
komprehensif. Dengan pendekatan integratif siswa akan dilatih bekerjasama dengan ang-
gota kelompok dalam memecah-kan permasalahan.

E. Pendekatan Inquiry/Discovery
1. Pengertian Pendekatan Inquiry/Discovery
Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam
belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai stimulus yang
dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Peranan guru lebih banyak
menempatkan diri sebagai pembimbing atau pemimpin belajar dan fasilitator belajar.
Dengan demikian, siswa lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk
kelompok memecahkan permasalahan, dengan bimbingan guru.
Pendekatan inquiry merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar
dan mengembangkan cara berpikir ilmiah Pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak
belajar sendiri, untuk mengembangkan kekreatifan dalam pemecahan masalah. Siswa betul-
betul ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan inquiry
adalah pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah memilih
masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Tugas
berikutnya dari guru ialah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka pemecahan
masalah. Tentu bimbingan dan pengawasan dari guru masih tetap diperlukan, namun campur
tangan atau intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi.
Pendekatan inquiry dalam mengajar termasuk pendekatan modern yang sangat
didambakan untuk dilaksanakan di setiap sekolah. Adanya tuduhan bahwa sekolah
menciptakan kultur bisu, tidak akan terjadi apabila pendekatan ini digunakan. Pendekatan
inquiry dapat dilaksanakan apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada
kelas (persoalan bersumber dari bahan pelajaran yang menantang
siswa/problematik) dan sesuai dengan daya nalar siswa.
b. Guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan menciptakan
situasi belajar yang menyenangkan.
c. Adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup.
d. Adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya, dan berdiskusi.
e. Partisipasi setiap siswa dalam setiap kegiatan belajar.
f. Guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa.

Ada lima tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan inquiry/discovery,


yaitu sebagai berikut.
a. Perumusan masalah untuk dipecahkan siswa;
b. Menetapkan jawaban sementara atau lebih dikenal dengan istilah hipotesis;
c. Siswa mencari informasi, data, dan fakta yang diperlukan untuk menjawab
permasalahan/hipotesis;
d. Menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi;
e. Mengaplikasikan kesimpulan/generalisasi dalam situasi baru.
Metode mengajar yang biasa digunakan guru dalam pendekatan ini antara lain metode
diskusi dan pemberian tugas. Diskusi untuk memecahkan permasalahan dilakukan oleh
sekelompok siswa (antara 3-5 orang) dengan arahan dan bimbingan guru. Kegiatan ini
dilaksanakan pada saat tatap muka atau pada saat kegiatan terjadwal. Dengan demikian,
dalam pendekatan inquiry/discovery model komunikasi yang digunakan bukan komunikasi
satu arah atau komunikasi sebagai aksi, tetapi komunikasi banyak arah atau komunikasi
sebagai transaksi. Studi dan penelitian terhadap kedua pendekatan ini telah banyak
dilakukan. Misalnya, studi yang dilakukan oleh University of Philipine sampai kepada
kesimpulan bahwa pendekatan ekspositeri dan inquiry tidak berbeda keefektifannya dalam
mencapai hasil belajar yang bersifat informasi, fakta dan konsep, tetapi berbeda secara
signifikan dalam mencapai keterampilan berpikir, pendekatan inquiry lebih efektif daripada
pendekatan ekspositeri.

F. Pendekatan Pembelajaran Terpadu (Integrated Learning)


1. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Terpadu (Integrated Learning)
Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada
kebutuhan dan karakteristik peserta didik jenjang SD. Pendekatan ini juga merupakan
karakteristik Kurikulum 2013 SD/M yang mengamanatkan pendekatan pembelajaran
terpadu diterapkan di SD. Pembelajaran terpadu merupakan implementasi dari kurikulum
terpadu (integrated curriculum), yang menghubungkan berbagai disiplin ilmu dalam bentuk
keterpaduan. Kompetensi-kompetensi yang akan dicapai berdasarkan mata pelajaran
dihubungkan dalam satu jaringan kompetensi untuk menjelaskan suatu konteks yang
menggambarkan keterpaduan (Kemendikbud, 2016: 7).
Pendekatan pembelajaran terpadu dilandasi pandangan psikologi bahwa peserta didik
jenjang SD, taraf perkembangan berpikirnya masih bersifat holistik dan operasional konkret.
Holistik diartikan bahwa peserta didik jenjang SD masih berpikir satu kesatuan belum
terkotak-kotak, dan membutuhkan objek nyata (konkret) untuk memahami fakta atau konsep
Pembelajaran terpadu bercirikan memadukan berbagai disiplin ilmu atau kompetensi mata
pelajaran, untuk memadukannya didekati dengan tema. Dengan kata lain pembelajaran
terpadu bertolak dari sebuah tema. Oleh karena itu disebut dengan pembelajaran tematik
terpadu. Istilah terpadu dan tematik sekilas tampak berbeda, namun demikian pada
hakikatnya memiliki kesamaan arti.
Robin Fogarty (1991) mengemukakan sepuluh model pembelajaran terpadu, yaitu:
a) penggalan (fragmented), b) keterhubungan (connected), c) sarang (nested), d) urutan
(sequenced), e) bagian (shared), f) jaring laba-laba (webbed), g) gulur (threaded), h)
keterpaduan (integrated), i) celupan (immersed), dan j) jaringan (networked). Model-model
ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Model penggalan (fragmented) bercirikan pemaduan terbatas pada satu mata
pelajaran saja. Contoh, dalam pelajaran Bahasa Indonesia dipadukan antara
keterampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis.
b. Model keterhubungan (connected), model ini dilandasi pandangan bahwa butir-
butir atau aspek-aspek pembelajaran dapat diindukkan pada bidang studi. Dengan
kata lain aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan tertentu dipayungi oleh bidang
studi, misalnya tata bahasa, kosakata, dan mengarang dipayungi oleh bidang studi
bahasa. Dengan model ini proses pembelajaran bahasa untuk keterampilan
mengarang diproses pula pengetahuan tentang tata bahasa (struktur) dan kosakata.
c. Model sarang (nested), yaitu model keterpaduan dalam sebuah kegiatan
pembelajaran. Kegiatan observasi lingkungan sekitar, peserta didik difasilitasi
untuk mengarang puisi sebagai pengembangan keterampilan berimajinasi dan
berpikir logis berdasarkan fakta. Penguasaan konsep dan keterampilan
keseluruhannya melalui kegiatan dan tidak harus dirumuskan dalam tujuan
pembelajaran.
d. Model urutan (sequenced), adalah model pemaduan topik-topik atau subpokok
bahasan antarbidang studi yang berbeda secara paralel.Contoh, topik tentang
perjuangan kemerdekaan dipadukan dengan kosakata tentang perjuangan dan
maknanya serta pahlawan perjuangan.
e. Model bagian (shared), yaitu pemaduan pembelajaran karena adanya "overlapping"
konsep dari dua bidang studi. Contoh, konsep lingkungan masyarakat dan
lingkungan sosial.
f. Model jaring laba-laba (webbed). Model ini sangat dikenal dan merupakan salah
satu model yang dimuat dalam Panduan Pembelajaran Tematik Terpadu SD
(Kemdikbud, 2016). Model ini bertolak pada sebuah tema sebagai pemadu/pengait
sehingga disebut dengan model pembelajaran tematik terpadu. Model ini
dikembangkan dengan cara menentukan tema atau topik sebagai pengait
kompetensi berbagai mata pelajaran (Kemdikbud, 2016: 9).
g. Model galur (threaded), yaitu model peraduan bentuk keterampilan. Contoh,
keterampilan memprediksi dan estimasi kerugian ekonomi dan sektor pariwisata
dengan adanya pandemi Covid 19. Inti dari model ini merupakan pemaduan
keterampilan berpikir analisis terhadap suatu peristiwa ditinjau dari beberapa sudut
tinjauan. Model ini lebih ke arah mengembangkan pengetahuan metakognitif.
h. Model terpadu (integrated), adalah model yang memadukan beberapa bidang studi
berdasarkan keterampilan, konsep, dan sikap yang saling tumpang tindih.
Pembelajaran model terpadu dirancang berdasarkan satu kegiatan yang dilakukan
untuk mencapai berbagai kompetensi dasar dari berbagai disiplin ilmu (Kemdikbud,
2016: 8).
i. Model celupan, adalah model untuk merabantu peserta didik menyaring dan
memaculean pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki dengan lingkup
penerapannya.
j. Model jaringan (werworked) merupakan model terpadu yang mengandaikan
kemungkinan pengubahan konsepsi, pemecahan masalah, serta keterampilan baru
setelah peserta didik mengadakan studi lapangan dalam situasi atau konteks yang
berbeda.

Pembelajaran tematik terpadu merupakan model dari pendekatan pembelajaran terpadu,


dengan cirinya dipadukan melalui tema atau bertolak dari tema pembelajaran. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rusman (2015: 140), bahwa model pembelajaran tematik terpadu adalah
model pembelajaran terpadu yang menggunakan tematik yang melibatkan beberapa muatan
mata pelajaran, untuk memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Model ini tampak
pada model webbed dan model terpadu atau integrated dan sesuai dengan yang tercantum
dalam Panduan Pembelajaran Tematik Terpadu Sekolah Dasar
Dalam Panduan Pembelajaran Tematik Terpadu Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh
Kemendikbud (2016), disebutkan bahwa keterpaduan diklasifikasikan dalam dua kelompok
besar, yaitu keterpaduan materi dan keterpaduan kompetensi atau capaian pembelajaran.
Keterpaduan materi pembelajaran terdiri atas keterpaduan di dalam mata pelajaran, antar
mata pelajaran, dan di luar mata pelajaran. Tiga model keterpaduan materi pembelajaran
tersebut menggunakan pendekatan intradisipliner, multidisipliner, interdisipliner, dan
transdisipliner (Kemdikbud, 2016: 7)..
Maksud dari keterpaduan kompetensi atau capaian pembelajaran adalah keterpaduan
diimplementasikan dalam proses pembelajaran yang bertujuan mencapai tiga kompetensi
secara utuh, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Model pembelajaran terpadu yang
berorientasi pada keterpaduan kompetensi atau capaian pembelajaran dengan bertolak pada
tema, sebagaimana tercantum dalam Panduan Pembelajaran Tematik Terpadu Sekolah Dasar
yang diterbitkan Kemdikbud (2016) adalah model webbed dan model terpadu (integrated).

Tabel 1 klasifikasi pendekatan pembelajaran berdasarkan kronologis perkembangannya

Kebijakan dan
Pendekatan Pembelajaran
Perkembangan Kurikulum
Kurikulum 1984 Pendekatan konsep, pendekatan
keterampilan proses, pendekatan Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA), pendekatan
Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan
Menyenangkan (PAIKEM).
Kurikulum 2013 Pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL), pendekatan Science
Technology and Society (STS),
pendekatan saintifik (scientific
approach), pendekatan pembelajaran
terpadu (integrated learning).

G. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)


1. Pengertian cara belajar siswa aktif (CBSA)
Pendektan Cara belajar siswa aktif (CBSA) adalah suatu pendekatan dalam
pembelajaran yang menitikberatkan pada keaktifan siswa, yang merupakan inti dari kegiatan
belajar. Pada hakikatnya, keaktifan belajar terjadi dan terdapat pada semua perbuatan
belajar, materi yang dipelajari dan tujuan yang hendak dicapai.
Dalam CBSA, kegiatan belajar di wujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti:
mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu, menulis laporan, memecahkan masalah,
memberikan prakarsa/gagasan, menyusun rencana, dan sebagainya. Keaktifan itu ada yang
dapat di amati, dan ada pula yang tak dapat diamati secara langsung. Setiap kegiatan tersebut
menuntut keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam proses pembelajaran melalui
asimilasi, dan akomodasi kognitif untuk mengembangkan pengetahuan, tindakan, serta
pengalaman langsung dalam rangka membentuk keterampilan (motorik, kognitif, dan
sosial), penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap (Joni, 1980: 2)
Sejak dimunculkannya pendekatan CBSA dalam lingkungan p didikan di tanah air,
konsep CBSA telah mengalami perkembangan yang cukup jauh. Pendekatan CBSA dinilai
sebagai suatu sistem belaja mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental,
intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara
matra kognitif, afektif, dan psikomotorik (Yasin, 1984: 24).
Dalam kerangka sistem belajar mengajar, terdapat komponen proses yakni keaktifan
fisik, mental, intelektual dan emosional dan komponen produk, yakni hasil belajar berupa
keterpaduan aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Secara lebih rinci komponen
produk tersebut mencakup berbagai kemampuan mengamati, menginter- pretasikan,
meramalkan, mengkaji, menggeneralisasi, menemukan, mendiskusikan dan
mengkomunikasikan hasil penemuan. Aspek-aspek kemampuan tersebut dikembangkan
secara terpadu melalui sistem pembelajaran berdasarkan pendekatan Cara Belajar Siswa
Aktif.
2. Rasional CBSA dalam Pembelajaran
Penerapan dan pendayagunaan konsep CBSA dalam pembelajar- an merupakan
kebutuhan dan sekaligus sebagai keharusan dalam kaitannya dengan upaya merealisasikan
Sistem Pendidikan Nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yang pada
gilirannya berimplikasi terhadap sistem pembelajaran yang efektif.
Siswa/peserta didik dipandang dari dua sisi yang berkaitan, yakni sebagai objek
pembelajaran dan sebagai subjek yang belajar. Siswa sebagai subjek dipandang sebagai
manusia yang potensial sedang ber- kembang, memiliki keinginan-keinginan, harapan dan
tujuan hidup. aspirasi dan motivasi dan berbagai kemungkinan potensi lainnya. Siswa
sebagai objek dipandang, sebagai yang memiliki potensi yang perlu dibina, diarahkan dan
dikembangkan melalui proses pembelajaran Karena itu proses pembelajaran harus
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manusiawi (humanistik), misalnya melalui suasana
ke- keluargaan, terbuka dan bergairah serta bervariasi sesuai dengan keadaan perkembangan
siswa bersangkutan.
Pelaksanaan proses pembelajaran dititikberatkan pada keaktifan siswa belajar dan
keaktifan guru menciptakan lingkungan belajar yang serasi dan menantang Penerapan CBSA
dilakukan dengan cara mengfungsionalisasikan seluruh potensi manusiawi siswa melalui pe-
nyediaan lingkungan belajar yang meliputi aspek-aspek bahan pelajaran, guru, media
pembelajaran, suasana kelas dan sebagainya.
Cara belajar disesuaikan dengan minat dan pemberian kemudahan kepada siswa untuk
memperoleh pemahaman, pendalaman, dan pengendapan se- hingga hasil belajar
berinteralisasi dengan pribadi siswa. Dalam kondisi ini semua unsur pribadi siswa aktif
seperti emosi, perasaan, intelektual, penginderaan, fisik, dan sebagainya. Cara belajar siswa
aktif tersebut dapat berlangsung dengan efektif, bila guru melaksanakan peran dan fungsinya
secara aktif dan kreatif, mendorong dan membantu serta berupaya mempengaruhi siswa
untuk mencapai tujuan pembelajaran dan belajar yang telah ditentukan. Keaktifan guru
dilakukan pada tahap-tahap kegiatan perencanaan, pe- laksanaan, penilaian dan tindak lanjut
pembelajaran.
Peranan guru bukan sebagai orang yang menuangkan materi pelajaran kepada siswa,
melainkan bertindak sebagai pembantu dan pelayan bagi siswanya. Siswa aktif belajar,
sedangkan guru memberi- kan fasilitasi belajar, bantuan dan pelayanan. Beberapa kegiatan
yang Ndapat dilakukan oleh guru, ialah:
a. Menyiapkan lembaran kerja;
b. Menyusun tugas bersama siswa;
c. Memberikan informasi tentang kegiatan yang akan dilakukan;
d. Memberikan bantuan dan pelayanan apabila siswa mendapat kesulitan,
e. Menyampaikan pertanyaan yang bersifat asuhan,
f. Membantu mengarahkan rumusan kesimpulan umum,
g. Memberikan bantuan dan pelayanan khusus kepada siswa yang lamban;
h. Menyalurkan bakat dan minat siswa;
i. Mengamati setiap aktivitas siswa.
Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan, bahwa pembelajaran berdasarkan pendekatan
CBSA tidak diartikan guru menjadi pasif, melainkan tetap harus aktif namun tidak bersikap
mendominsi siswa dan menghambat perkembangan potensinya. Guru bertindak sebagai guru
inquiry, dan fasilitator.
3. Penerapan CBSA dalam Pembelajaran
Pendekatan CBSA dapat diterapkan dalam pembelajaran dalam bentuk dan teknik: 1).
pemanfaatan waktu luang, 2). pembelajaran individual, 3). belajar kelompok, 4). bertanya
jawab, 5). belajar mandin, 6). umpan balik, 7). pendayagunaan lingkungan masyarakat, 8).
pengajaran unit, 9). pameran/display hasil karya siswa, dan 10). mem- pelajari buku sumber
(teks). Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini.
a. Pemanfaatan waktu luang
Pemanfaatan waktu luang di rumah oleh siswa memungkinkan dilakukannya
kegiatan belajar aktif, dengan cara menyusun rencana belajar, memilih bahan untuk
dipelajari, dan menilai penguasaan bahan sendiri. Jika pemanfaatan waktu tersebut
dilakukan secara saksama dan berkesinambungan akan memberikan manfaat yang baik
dalam menunjang keberhasilan belajar di sekolah.
b. Pembelajaran individual
Pembelajaran individual adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan
karakteristik perbedaan individu tiap siswa, seperti minat abili- bakat, kecerdasan, dan
sebagainya Guru dapat mempersiapkan/ merencanakan tugas-tugas belajar bagi para
siswa, sedang pilihan di- kukan oleh siswa masing-masing, dan selanjutnya tiap siswa
aktif belajar secara perseorangan. Teknik lain, kegiatan belajar dilakukan dalam bentuk
kelompok, yang terdiri dari siswa yang memiliki ke- mampuan, minat bakat yang sama.
c. Belajar kelompok
Belajar kelompok memiliki kadar CBSA yang cukup tinggi. Teknik
pelaksanaannya dapat dalam bentuk kerja kelompok, diskusi kelom- pok, diskusi kelas,
diskusi terbimbing, dan diskusi ceramah. Dalam situasi belajar kelompok, masing-
masing anggota dapat mengajukan gagasan, pendapat, pertanyaan, jawaban, kritik dan
sebagainya. Siswa aktif berpartisipasi, berelasi dan berinteraksi satu dengan yang lain-
nya.
d. Bertanya jawab
Kegiatan tanya jawab antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa, dan antara
kelompok siswa dengan kelompok lainnya memberi- kan peluang cukup banyak bagi
setiap siswa belajar aktif. Kadar CBSA-nya akan lebih besar jika pertanyaan-pertanyaan
tersebut timbul dan diajukan oleh pihak siswa dan dijawab oleh siswa lainnya. Guru
bertindak sebagai pengatur lalu lintas atau distributor, dan dianggap perlu guru
melakukan koreksi dan perbaikan terhadap pertanyaan dan jawaban-jawaban tersebut.
e. Belajar Inquiry/discovery (belajar mandiri)
Dalam strategi belajar ini, siswa melakukan proses mental intelek- tual dalam upaya
memecahkan masalah. Dia sendiri yang merumuskan suatu masalah, mengumpulkan
data, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan serta mengaplikasikan hasil
belajamya. Dalam konteks ini, keaktifan siswa belajar memang lebih menonjol,
sedangkan kegiatan guru hanya mengarahkan, membimbing, memberikan fasilitas yang
memungkinkan siswa melakukan kegiatan inkuirinya. Strategi dan kemampuan
berinkuin ini, akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan mengenai keterampilan
proses sebagai bagian dari CBSA
f. Pengajaran unit
Strategi pengajaran ini berpusat pada suatu masalah atau suatu proyek. Pada
tahap-tahap kegiatan belajar ditempuh tiga tahap kegiatan utama, yakni tahap
pendahuluan di mana siswa melakukan orientasi dan perencanaan awal, tahap
pengembangan di mana siswa melaku- kan kegiatan mencari sendiri informasi dan
selanjutnya menggunakan informasi itu dalam kegiatan praktik, tahap kegiatan
kulminasi, di mana siswa mengalami kegiatan penilaian, pembuatan laporan dan
tindak lanjut.
Berdasarkan beberapa contoh strategi pembelajaran tersebut di atas, maka semakin
jelas tentang bagaimana penerapan pendekatan CBSA tersebut dalam proses
pembelajaran, kendatipun dengan kadar yang berbeda-beda.

H. Pendekatan Keterampilan Proses


1. Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan
pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yang bersumber dari
kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa
(Depdikbud, 1986: 7). Dari batasan pendekatan keterampilan proses tersebut, kita
memperoleh suatu gambaran bahwa pendekatan keterampilan proses bukanlah tindakan
instruksional yang berada di luar kemampuan siswa. Justru pendekatan keterampilan proses
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
a. Pendekatan keterampilan proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat
tentang hakikat ilmu pengetahuan. Siswa dapat mengalami rangsangan ilmu
pengetahuan dan dapat lebih baik mengeni fakta dan konsep ilmu pengetahuan.
b. Mengajar dengan keterampilan proses berarti memberi kesempatan kepada siswa
bekerja dengan ilmu pengetahuan, tidak sekadar menceritakan atau mendengarkan
cerita tentang ilmu pengetahuan. Di sisi yang lain, siswa merasa bahagia sebab
mereka aktif dan tidak menjadi pebelajar yang pasif.
c. Menggunakan keterampilan proses untuk mengajar ilmu pengetahuan, membuat
siswa belajar proses dan produk ilmu pengetahuan sekaligus. (Funk, 1985: xiii.)

2. Jenis-Jenis Keterampilan dalam Keterampilan Proses


Ada berbagai keterampilan dalam keterampilan proses, keterampilan-keterampilan
tersebut terdiri dari keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan-
keterampilan terintegrasi (inte- grated skills). Keterampilan-keterampilan dasar terdiri dari
enam keterampilan, yakni: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur,
menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan-keterampilan terintegrasi
terdiri dari: mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk
grafik, menggambarkan hubungan antar-variabel, mengumpulkan dan mengolah data,
menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional,
merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen (Funk, 1985: xiii).
Sejumlah keterampilan proses yang dikemukakan oleh Funk, dalam kurikulum
(pedoman proses belajar-mengajar) dikelompokkan menjadi tujuh keterampilan proses,
Adapun tujuh keterampilan proses ersebut adalah mengamati, menggolongkan, menafsirkan,
meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian, dan mengkomunikasikan (Depdikbud,
1986 b:9-10).
Funk (1985) lebih lanjut mengemukakan, meskipun keterampilan- Leterampilan
tersebut saling bergantung, masing-masing menitikberatkan pada pengembangan suatu area
keterampilan khusus. Selain itu, keterampilan-keterampilan proses merupakan dasar yang
sebelumnya menyediakan suatu landasan menuju keterampilan-keterampilan terintegrasi
yang lebih kompleks.
Contoh: Untuk dapat mentabulasikan data, terlebih dahulu seseorang harus dapat
mengukur.
Dari pernyataan dalam kalimat-kalimat sebelumnya, kita dapat memperoleh gambaran
bahwa keterampilan-keterampilan proses suatu saat dapat dikembangkan secara terpisah,
saat yang lain harus dikem- bangkan secara terintegrasi satu dengan yang lain.
Keterampilan-kete- rampilan proses yang perlu dikembangkan, tidak dapat dikembangkan
pada semua bidang studi untuk semua keterampilan yang ada. Hal ini menuntut adanya
kemampuan guru mengenal karakteristik bidang studi dan pemahaman terhadap masing-
masing keterampilan proses.
Penjelasan dari tiap-tiap proses, akan terurai pada pembahasan berikut ini. Pembahasan
menyangkut mengapa suatu keterampilan proses penting dikembangkan, pengertian
keterampilan proses tersebut, dan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan penampakan dari
keterampilan proses tersebut.
a. Mengamati
Melalui kegiatan mengamati, kita belajar tentang dunia sekitar kita yang fantastis.
Manusia mengamati objek-objek dan fenomena alam dengan pancaindra: penglihatan,
pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa/pencecap. Informasi yang kita peroleh,
dapat menuntut keingintahuan, mempertanyakan, memikirkan, melakukan interpretasi
tentang lingkungan kita, dan meneliti leb lanjut. Selain itu, kemampuan mengamati
merupakan keterampilan paling dasar dalam proses dan memperoleh ilmu pengetahuan
serta merupakan hal terpenting untuk mengembangkan keterampilan keterampilan
proses yang lain. Mengamati merupakan tanggapan kita terhadap berbagai objek dan
peristiwa alam dengan menggunakan pancaindra. Dengan kata lain, melalui observasi
kita mengumpulkan data tentang tanggapan-tanggapan kita (Funk, 1985 :4; Gage dan
Berliner, 1984: 349).
Mengamati memiliki dua sifat utama, yakni sifat kualitatif dan sifat kuantitatif.
Mengamati bersifat kualitatif apabila dalam pelaksanaannya hanya menggunakan
pancaindra untuk memperoleh informasi. Contoh kegiatan mengamati yang bersifat
kualitatif ialah menentukan wama (penglihatan), mengenali suara jengkenk
(pendengaran), membandingkan rasa manis gula dengan sakarin (pencecap),
menentukan kasar halus suara objek (perabaan), membedakan bau jahe dan bau
lengkuas (penciuman).
Mengamati bersifat kuantitatif apabila dalam pelaksanaannya selain menggunakan
pancaindra, juga menggunakan peralatan lain yang memberikan informasi khusus dan
tepat. Contoh kegiatan mengamati yang bersifat kuantitatif ialah menghitung panjang
ruang kelas dengan satuan ukuran tegel, menentukan suhu air yang mendidih dengan
bantuan termometer, membedakan luas daerah satu dengan daerah lain, dan kegiatan
lain yang sejenis.
b. Mengklasifikasikan
Agar kita memahami sejumlah besar objek, peristiwa, dan segala yang ada dalam
kehidupan di sekitar kita, lebih mudah apabila menentukan berbagai jenis golongan.
Kita menentukan golongan dengan mengamati persamaan, perbedaan, dan hubungan
serta pengelompokan objek berdasarkan kesesuaian dengan berbagai tujuan. Syarat-
syarat dasar dari berbagai sistem pengelompokan adalah bahwa hal itu berguna
sepenuhnya. Mengklasifikasikan merupakan keterampilan proses untuk memilah
berbagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya, sehingga didapatkan
golongan/kelompok sejenis dari objek peristiwa yang dimaksud. Contoh kegiatan yang
menampakkan keterampilan mengklasifikasi adalah mengklasifikasikan makhluk hidup
selain manusia menjadi dua kelompok: binatang dan tumbuhan, mengklasifikasikan
binatang menjadi binatang beranak dan bertelur, mengklasifikasikan cat berdasarkan
wama, dan kegiatan lain yang sejenis.
c. Mengkomunikasikan
Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain merupakan dasar untuk segala yang
kita kerjakan. Grafik, bagan, peta, lambang- lambang, diagram, persamaan matematik,
dan demonstrasi visual. sama baiknya dengan kata-kata yang ditulis atau dibicarakan,
semuanya adalah cara-cara komunikasi yang seringkali digunakan dalam ilmu
pengetahuan. Komunikasi efektif yang jelas, tepat, dan tidak samar-samar menggunakan
keterampilan-keterampilan yang perlu dalam komunikasi, hendaknya dilatih dan
dikembangkan pada diri siswa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa semua orang
mempunyai kebutuhan untuk mengemukakan ide, perasaan, dan kebutuhan lain pada
diri kita. Manusia mulai belajar pada awal-awal kehidupan bahwa komunikasi
merupakan dasar untuk memecahkan masalah. Mengkomunikasikan dapat diartikan
sebagai menyampaikan dan memperoleh fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan
dalam bentuk suara, visual, atau suara visual. Contoh- contoh kegiatan dari
keterampilan mengkomunikasikan adalah mendiskusikan suatu masalah, membuat
laporan, membaca peta. dan kegiatan lain yang sejenis.
d. Mengukur
Mengukur, berapa banyak? Berapa jaraknya? Berapa ukurannya? Berapa
jumlahnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kita dengar atau ajukan dalam kehidupan
sehari-hari, dan kita perlu untuk memiliki kemampuan menjawabnya dengan mudah.
Pengembangan yang baik terhadap keterampilan-keterampilan mengukur merupa kan
hal yang terpenting dalam membina observasi kuantitatif, mengklasifikasikan, dan
membandingkan segala sesuatu di sekeliling kita, serta mengkomunikasikan secara tepat
dan efektif kepada yang lain. Mengukur dapat diantikan sebagai membandingkan yang
diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Contoh-contoh kegiatan yang menampakkan keterampilan mengukur antara lain:
mengukur panjang garis, mengukur berat badan, mengukur temperatur kamar, dan
kegiatan lain yang sejenis.
e. Memprediksi
Suatu prediksi merupakan suatu ramalan dari apa yang kemudian hari mungkin
dapat diamati. Untuk dapat membuat prediksi yang dapat dipercaya tentang objek dan
peristiwa, maka dapat dilakukan dengan memperhitungkan penentuan secara tepat
perilaku terhadap lingkungan kita. Keteraturan dalam lingkungan kita mengizinkan
untuk mengenal pola-pola dan untuk memprediksi terhadap pola- pola apa yang
mungkin dapat diamati kemudian hari. Memprediksi dapat diartikan sebagai
mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu
mendatang. berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau
hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam ilmu pengetahuan.
Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai keterampilan memprediksi,
antara lain: berdasarkan pola-pola waktu terbitnya matahari yang telah diobservasi dapat
diprediksikan waktu terbitnya matahari pada tanggal tertentu, memprediksi waktu yang
dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu dengan menggunakan kendaraan yang
kecepatannya tertentu, dan kegiatan lain yang sejenis.
f. Menyimpulkan
Kita mempunyai suatu penghargaan dan penghayatan yang lebih baik terhadap
lingkungan kita, jikalau kita mampu menjabarkan dan menjelaskan segala sesuatu yang
membahagiakan dari sekitar kita. Kita belajar untuk mengenal pola-pola dan
memperkirakan pola-pola ini akan terjadi lagi pada kondisi yang sama. Pada umumnya
perilaku manusia didasarkan pada pembuatan kesimpulan tentang kejadian-kejadian.
Sebagai contoh: belajar merupakan suatu kesimpulan yang dibuat dari perubahan dalam
perilaku pebelajar yang diamati.
Menyimpulkan dapat diartikan sebagai suatu keterampilan untuk memutuskan
keadaan suatu objek atau peristiwa berdasarkan fakta, konsep, dan prinsip yang
diketahui. Kegiatan-kegiatan yang menampakkan keterampilan menyimpulkan, antara
lain: berdasarkan pengamatan diketahui bahwa api lilin mati setelah ditutup dengan
gelas rapat-rapat, siswa dapat menyimpulkan bahwa lilin dapat menyala bila ada
oksigen.

3. Penerapan Keterampilan Proses dalam Pembelajaran


Penerapan Keterampilan Proses dalam pembelajaran bukan merupakan hal yang
mengada-ada, akan tetapi merupakan hal yang wajar dan harus dilaksanakan oleh setiap
guru dalam pembelajarannya. Untuk dapat menerapkan Keterampilan Proses dalam
pembelajaran, kita perlu mempertimbangkan dan memperhatikan karakteristik siswa dan
karakteristik mata pelajaran/ bidang studi. Selain itu, kita perlu menyadari bahwa dalam
suatu kegiatan pembelajaran dapat terjadi pengembangan lebih dari satu pmacam
keterampilan proses. Untuk keterampilan dasar yakni mengobservasi, mengklasifikasi.
memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan pengembangannya tidak
berhenti hanya pada jenjang sekolah dasar.

Rangkuman
Uji Kompetensi 3

Anda mungkin juga menyukai