Anda di halaman 1dari 29

Fisiologi Jantung

(Aktivitas Listrik dan Mekanik Jantung, Jantung sebagai Pompa,


serta Peran Sistem Saraf Otonom dan RAAS dalam Regulasi
Sistem Kardiovaskuler)

Pendahuluan
Dari pemicu, terdapat pasien laki-laki bernama James, berusia 16 tahun.
James ditemukan oleh ibunya dengan kondisi tergeletak di lantai. Ketika
ibunya bertanya dan menarik bahunya, James hanya merespon dengan
membuka mata dan mengangguk lemah. Ternyata, James tertidur saat
menonton TV. Tiba-tiba handphone James berbunyi dan dia segera
terbangun lalu cepat berdiri untuk mengambil handphonenya. Tiba-tiba
pandangannya berkunang-kunang dan menjadi gelap. Ibunya membawa
James ke dokter. Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan bahwa James
mengalami hipotensi, peningkatan frekuensi nadi dan napas, serta adanya
bunyi murmur pada jantungnya. Sementara itu, dari hasil pemeriksaan
penunjang, didapatkan bahwa hemoglobin dari darah tepi James kurang
dari normal dan sel darah merah mikrositik.

Dari pemicu tersebut, masalah utama yang dapat diambil adalah


bagaimana keluhan yang dirasakan berupa pandangan berkunang-kunang
dan menjadi gelap secara tiba-tiba selepas bangun tidur dan langsung
berdiri dapat terjadi dikaitkan dengan hasil pemeriksaan Hb dibawah
normal, anemia mikrositik, tekanan darah dibawah normal, dan frekuensi
pernapasan diatas normal. Kelompok kami memiliki hipotesis bahwa
berdasarkan keluhan dan pemeriksaan James (laki-laki berusia 16 tahun),
diduga mengalami hipotensi ortostatik akibat anemia mikrositik. Oleh
karena itu, dalam Lembar Tugas Mandiri ini akan dibahas mengenai
fisiologi jantung, terutama mengenai aktivitas listrik dan mekanik jantung,
jantung sebagai pompa, serta peran sistem saraf otonom dan RAAS dalam
pengaturan kardiovaskular.

Pembahasan
A. Fungsi sistem kardiovaskuler
Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah mengangkut zat-zat dari
dan ke seluruh bagian tubuh. Zat-zat yang diangkut oleh sistem
kardiovaskuler terbagi menjadi tiga seperti yang terlihat pada gambar
1 sebagai berikut.1
a. Nutrisi, air, dan gas yang masuk ke dalam tubuh dari lingkungan
luar
b. Zat yang berpindah dari sel ke sel di dalam tubuh
c. Zat-zat yang akan dikeluarkan dari tubuh yang dibawa oleh sel
Gambar 1. Zat yang diangkut oleh sistem kardiovaskular1

Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa oksigen yang memasuki


tubuh berasal dari proses pertukaran udara yang terjadi di paru-paru.
Sementara itu, nutrisi dan air diserap melalui epitel usus. Setelah
zat-zat ini berada di dalam darah, sistem kardiovaskular akan
mendistribusikannya. Pasokan oksigen yang stabil bagi sel sangat
penting karena sel-sel yang kekurangan oksigen dapat mengalami
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dalam waktu singkat. Otak
memiliki sensitivitas terhadap kondisi hipoksia sehingga kontrol
homeostasis akan melakukan segala kemungkinan untuk
mempertahankan aliran darah otak.1,2,3
Di samping itu, transportasi zat dari sel ke sel juga merupakan fungsi
utama sistem kardiovaskular. Misalnya, hormon yang disekresikan oleh
kelenjar endokrin mengalir di dalam darah menuju target. Darah juga
membawa nutrisi, seperti glukosa dari hati dan asam lemak dari
jaringan adiposa ke sel-sel yang aktif secara metabolik.1,2,3

Sistem kardiovaskular juga berperan membawa karbon dioksida dan


sisa-sisa metabolisme yang dikeluarkan oleh sel ke paru-paru dan
ginjal untuk dikeluarkan. Beberapa produk limbah diangkut ke hati
untuk diproses sebelum dikeluarkan melalui urin atau feses. Panas
juga bersirkulasi melalui darah dan berpindah dari dalam tubuh ke
permukaan tempat panas dapat menghilang.1,2,3

B. Aktivitas mekanik jantung


Sistem kardiovaskuler terdiri atas jantung, pembuluh darah, serta sel
dan plasma darah. Arteri merupakan pembuluh darah yang membawa
darah keluar dari jantung. Vena merupakan pembuluh darah yang
mengembalikan darah ke jantung. Saat darah bergerak melalui sistem
kardiovaskular, sistem katup di jantung dan vena memastikan bahwa
darah mengalir hanya dalam satu arah seperti yang terlihat pada
gambar 2 di bawah ini.1
Gambar 2. Sistem kardiovaskuler1

Gambar 2 merupakan diagram skematik yang menunjukkan komponen


dan jalur yang dilalui darah ke seluruh tubuh. Jantung dibagi oleh
dinding tengah atau septum menjadi bagian kiri dan kanan.
Masing-masing setengahnya berperan sebagai pompa independen
yang terdiri dari atrium dan ventrikel. Atrium berperan dalam
menerima darah yang kembali ke jantung dari pembuluh darah dan
ventrikel berperan memompa darah keluar dari jantung melalui
pembuluh darah. Sisi kanan jantung menerima darah dari jaringan dan
mengirimkannya ke paru-paru untuk proses oksigenasi. Sementara sisi
kiri jantung menerima darah baru yang teroksigenasi (kaya oksigen)
dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh. Pada
gambar, darah di sisi kanan jantung berwarna biru. Ini menunjukkan
bahwa darah yang diangkut memiliki lebih sedikit oksigen
dibandingkan darah yang mengalir dari paru-paru ke jaringan.1

Dari atrium kanan, darah mengalir ke ventrikel kanan jantung. Dari


sana, oksigen dipompa melalui arteri pulmonalis ke paru-paru yang
merupakan tempat oksigen teroksigenasi. Setelah darah meninggalkan
paru-paru, ada perubahan warna dari biru menjadi merah pada
gambar. Ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen lebih tinggi
setelah darah meninggalkan paru-paru. Dari paru-paru, darah
mengalir ke sisi kiri jantung melalui vena pulmonalis. Pembuluh darah
yang mengalir dari ventrikel kanan ke paru-paru dan kembali lagi ke
atrium kiri secara kolektif disebut sebagai sirkulasi pulmonal. Darah
dari paru-paru masuk ke jantung melalui atrium kiri dan masuk ke
ventrikel kiri. Darah yang dipompa keluar dari ventrikel kiri memasuki
arteri besar yang disebut aorta. Aorta akan bercabang menjadi
serangkaian arteri yang semakin kecil yang pada akhirnya mengarah
ke jaringan kapiler. Pada gambar terjadi perubahan warna dari merah
dan biru saat darah melewati kapiler. Ini menunjukkan bahwa oksigen
dalam darah telah berdifusi ke jaringan. Setelah meninggalkan kapiler,
darah mengalir ke sisi vena sirkulasi da berpindah dari vena kecil ke
vena yang lebih besar. Vena-vena dari tubuh bagian atas bergabung
membentuk vena cava superior, sedangkan vena-vena yang berasal
dari tubuh bagian bawah membentuk vena cava inferior. Kedua vena
cava bermuara di atrium kanan.1

Pembuluh darah yang membawa darah dari sisi kiri jantung ke


jaringan dan kembali ke sisi kanan jantung secara kolektif dikenal
sebagai sirkulasi sistemik. Pada gambar, cabang pertama aorta setelah
meninggalkan ventrikel kiri merupakan arteri koroner yang berperan
dalam menutrisi otot jantung itu sendiri. Darah dari arteri koroner
mengalir ke kapiler, kemudian ke vena koroner yang bermuara
langsung ke atrium kanan di sinus koroner. Sementara itu, cabang
aorta asendens menuju ke lengan, kepala dan otak. Aorta abdominalis
memasok darah ke batang tubuh, kaki, dan organ dalam seperti arteri,
saluran pencernaan, dan ginjal.1

Darah mengalir melalui jantung dalam satu arah. Untuk memastikan


aliran satu arah ini, terdapat dua set katup jantung yaitu katup
atrioventrikular dan katup semilunar. Kedua katup ini berfungsi untuk
mencegah aliran darah balik. Katup atrioventrikular (AV) membuka
dan menutup untuk mengatur aliran darah antara atrium dan
ventrikel. Sementara itu, katup semilunaris di arteri pulmonalis dan
arteri aorta membuka dan menutup untuk mengatur aliran darah
keluar dari ventrikel.1

C. Jantung sebagai pompa


a. Kontraksi koordinat sinyal listrik
Setiap sel miokard harus mengalami depolarisasi dan berkontraksi
secara terkoordinasi jika jantung ingin menciptakan kekuatan yang
cukup untuk mengedarkan darah. Komunikasi listrik di jantung
dimulai dengan potensial aksi dalam sel otoritmik. Depolarisasi
menyebar dengan cepat ke sel-sel yang berdekatan melalui gap
Junction pada diskus interkalaris seperti gambar di bawah ini.1,2,3,4
Gambar 3. Konduksi elektrik pada sel miokardial1

Gelombang depolarisasi diikuti gelombang kontraksi yang


melewati atrium kemudian bergerak menuju ventrikel. Depolarisasi
dimulai di nodus sinoatrial (nodus SA) yang merupakan sel
otoritmik di atrium kanan yang berperan sebagai alat pacu jantung
utama (sel pacemaker) seperti yang ditunjukkan oleh gambar di
bawah ini.1,2,3,4
Gambar 4. Sistem konduksi jantung1

Gelombang depolarisasi kemudian menyebar dengan cepat melalui


sistem konduksi khusus dari serat autoritmik nonkontraktil. Jalur
internodal bercabang menghubungan nodus SA ke nodus AV
(Atrioventrikular) yang merupakan sekelompok sel otoritmik di
dekat basis atrium kanan. Dari nodus AV, depolarisasi bergerak ke
ventrikel. Serabut Purkinje yang merupakan sel penghantar
khusus akan mengirimkan sinyal listrik dengan sangat cepat ke
berkas atrioventrikular (atau disebut juga berkas His) di septum
ventrikel. Tidak jauh dari septum, serabut berkas AV terbagi
menjadi cabang berkas kiri dan kanan. Serabut cabang berkas
berlanjut ke bawah hingga apeks jantung di mana merupakan
tempat serabut tersebut membelah menjadi serabut Purkinje yang
lebih kecil dan menyebar ke luar di antara sel-sel kontraktil.1,2,3,4

Sinyal listrik untuk kontraksi dimulai ketika nodus SA memicu


potensial aksi dan depolarisasi menyebar ke sel-sel yang
berdekatan melalui sambungan celah (nomor 1 pada gambar).
Konduksi listrik berlangsung cepat melalui jalur konduksi
internodal (nomor 2), tetapi lebih lambat melalui sel kontraktil
atrium (nomor 3). Ketika potensial aksi menyebar ke seluruh
atrium, potensial aksi bertemu dengan kerangka fibrosa jantung di
persimpangan atrium dan ventrikel. Barikade ini mencegah
transfer sinyal listrik dari atrium ke ventrikel. Akibatnya, nodus AV
merupakan satu-satunya jalur sehingga potensial aksi dapat
mencapai serabut kontraktil ventrikel. Sinyal listrik berjalan dari
nodus AV melalui berkas AV dan cabang berkas ke apeks jantung
(nomor 4). Serabut Purkinje menghantarkan impuls dengan
sangat cepat dengan kecepatan hingga 4 m/detik sehingga semua
sel kontraktil di apeks berkontraksi hampir bersamaan (nomor 5).1

Sinyal listrik perlu diarahkan melalui nodus AV dan tidak


membiarkannya menyebar ke bawah dari atrium karena darah
dipompa keluar dari ventrikel melalui lubang di bagian atas bilik
seperti pada gambar di bawah ini.1
Gambar 5. Kontraksi ventrikel1

Jika sinyal listrik dari atrium dialirkan langsung ke ventrikel,


ventrikel akan mulai berkontraksi di bagian atas. Kemudian, darah
akan diperas ke bawah dan terperangkap di bagian bawah
ventrikel. Kontraksi dari apeks ke basis menekan darah menuju
bukaan arteri di basis jantung. Pengeluaran darah dari ventrikel
dibantu oleh susunan spiral otot-otot di dinding seperti gambar di
bawah ini.1

Gambar 6. Otot jantung1


Saat otot-otot ini berkontraksi, otot akan menarik apeks dan basis
jantung menjadi lebih dekat sehingga akan terjadi pengeluaran
darah dari lubang di bagian atas ventrikel. Fungsi lain dari nodus
AV adalah sedikit memperlambat transmisi potensial aksi.
Penundaan ini memungkinkan atrium menyelesaikan kontraksinya
sebelum kontraksi ventrikel dimulai. Penundaan nodus AV dicapai
dengan konduksi sinyal yang lebih lambat melalui sel nodus.
Potensial aksi di sini hanya bergerak 1/20 laju potensial aksi di
jalur internodal atrium.1

b. Pacemaker mengatur detak jantung


Sel-sel nodus SA mengatur kecepatan detak jantung. Sel-sel lain
dalam sistem konduksi, seperti nodus AV dan serabut Purkinje
memiliki potensi istirahat yang tidak stabil dan juga dapat
bertindak sebagai pacemaker dalam kondisi tertentu. Namun,
karena ritmenya lebih lambat dibandingkan nodus SA, biasanya
mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengatur detak jantung.
Serabut Purkinje misalnya, dapat menembakkan potensial aksi
secara spontan tetapi kecepatan penyalaannya sangat lambat
antara 25-40 denyut per menit. Oleh karena itu, pacemaker
tercepat, yaitu nodus SA, yang menentukan laju detak jantung.
Apabila nodus SA mengalami kerusakan dan tidak dapat berfungsi,
salah satu pacemaker yang lebih lambat akan mengambil alih.
Detak jantung kemudian disesuaikan dengan detak jantung yang
baru.1,2,3,4

D. Peran sistem saraf otonom dan RAAS pada pengaturan


kardiovaskular
a. Sistem saraf otonom memodulasi denyut jantung
Denyut jantung istirahat rata-rata pada orang dewasa adalah
sekitar 70 denyut/menit (bpm). Namun, kisaran normalnya sangat
bervariasi. Atlet yang sudah terlatih mungkin memiliki detak
jantung istirahat 50 bpm atau kurang, sedangkan seseorang yang
sedang cemas atau bersemangat mungkin memiliki detak jantung
125 bpm atau lebih tinggi. Anak-anak memiliki rata-rata detak
jantung yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Denyut
jantung dipicu oleh sel otoritmik di nodus SA, tetapi dimodulasi
oleh sistem saraf dan hormonal.1,2,3,4

Cabang simpatis dan parasimpatis dari sistem saraf otonom


mempengaruhi detak jantung melalui kontrol antagonis seperti
gambar di bawah ini.1,2,3,4
Gambar 7. Kontrol otonomik detak jantung1

Aktivitas parasimpatis memperlambat detak jantung, sedangkan


aktivitas simpatis mempercepat detak jantung.1
i. Kontrol parasimpatis
Neurotransmitter parasimpatis Asetilkolin (Ach) berperan
memperlambat detak jantung. Asetilkolin mengaktifkan
reseptor kolinergik muskarinik yang mempengaruhi kanal K+
dan Ca2+ di sel pacemaker seperti gambar di bawah ini.1
Gambar 7. Kontrol otonomik detak jantung1

Permeabilitas kalium meningkat menyebabkan hiperpolarisasi


sel sehingga potensi pacemaker dimulai pada nilai yang lebih
negatif, seperti gambar di bawah ini.1

Gambar 7. Kontrol otonomik detak jantung1

Pada saat yang sama, permeabilitas Ca2+ pacemaker


menurun. Penurunan permeabilitas Ca2+ memperlambat laju
depolarisasi potensial pacemaker. Kombinasi kedua efek
tersebut menyebabkan sel membutuhkan waktu lebih lama
untuk mencapai ambang batas, menunda permulaan
potensial aksi pada pacemaker, dan memperlambat detak
jantung.1
ii. Kontrol simpatis
Stimulasi simpatis pada pacemaker mempercepat detak
jantung seperti gambar di bawah ini.1

Gambar 7. Kontrol otonomik detak jantung1

Katekolamin norepinefrin (dari neuron simpatis) dan epinefrin


(dari medula adrenal) meningkatkan aliran ion melalui kanal
Na+ dan Ca2+. Masuknya kation yang lebih cepat akan
mempercepat laju depolarisasi pacemaker sehingga
menyebabkan sel mencapai ambang batas lebih cepat dan
meningkatkan laju pelepasan potensial aksi seperti gambar di
bawah ini.1

Gambar 7. Kontrol otonomik detak jantung1


Ketika pacemaker menembakkan potensial aksi lebih cepat,
detak jantung akan meningkat. Katekolamin mengerahkan
efeknya dengan mengikat dan mengaktifkan reseptor
β1-adrenergik pada sel otoritmik. Reseptor β1 menggunakan
cAMP second messenger untuk mengubah sifat transpor
kanal ion. Dalam kasus kanal Na+, yang merupakan saluran
dengan gerbang nukleotida siklik, cAMP sendirilah yang
menjadi pembawa pesan. Ketika cAMP berikatan dengan
kanal Na+ yang terbuka, kanal tersebut tetap terbuka lebih
lama. Peningkatan permeabilitas terhadap Na+ dan Ca2+
selama fase potensial pacemaker mempercepat depolarisasi
dan detak jantung.1
iii. Kontrol tonik
Biasanya, kontrol tonik detak jantung didominasi oleh cabang
parasimpatis. Kontrol ini dapat ditunjukkan secara
eksperimental dengan memblokir semua masukan otonom ke
jantung. Ketika semua input simpatis dan parasimpatis
diblok, laju depolarisasi spontan nodus SA adalah 90-100 kali
per menit. Untuk mencapai denyut jantung istirahat 70
denyut per menit, aktivitas parasimpatis tonik harus
memperlambat denyut jantung intrinsik dari 90 denyut
jantung per menit.1

Peningkatan detak jantung dapat dicapai dengan dua cara.


Metode paling sederhana untuk meningkatkan laju adalah
dengan menurunkan aktivitas parasimpatis. Ketika pengaruh
parasimpatis ditarik dari sel-sel otoritmik, mereka
melanjutkan laju depolarisasi intrinsiknya, dan denyut
jantung meningkat menjadi 90-100 denyut per menit.
Alternatifnya, masukan simpatis diperlukan untuk
meningkatkan denyut jantung di atas laju intrinsik.
Norepinefrin (atau epinefrin) pada reseptor β1 mempercepat
laju depolarisasi sel otoritmik dan meningkatkan detak
jantung. Kedua cabang otonom juga mengubah kecepatan
konduksi melalui nodus AV. Asetilkolin memperlambat
konduksi potensial aksi melalui nodus AV sehingga
meningkatkan penundaan nodus AV. Sebaliknya, katekolamin
epinefrin dan norepinefrin meningkatkan konduksi potensial
aksi melalui nodus AV dan melalui sistem konduksi.1

Di bawah ini merupakan tabel yang merangkum pengaruh


sistem saraf otonom terhadap aktivitas jantung.4

Tabel 1. Efek sistem saraf otonom pada aktivitas jantung4

Sementara itu, rangkuman efek simpatis dan parasimpatis


terhadap Mean Arterial Pressure dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.5
Gambar 8. Efek sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang
mempengaruhi Mean Arterial Pressure5

iv. Refleks Baroreseptor Mengatur Tekanan Darah


Jalur refleks utama untuk kontrol homeostasis Mean Arterial
Pressure adalah refleks baroreseptor. Gambar di bawah ini
menunjukkan komponen refleks baroreseptor.1

Gambar 9. Kontrol SSP pada jantung dan pembuluh darah1


Baroreseptor terletak di dinding arteri karotis dan aorta
untuk memantau tekanan darah yang mengalir ke otak
(baroreseptor karotis) dan ke tubuh (baroreseptor aorta).
Baroreseptor karotis dan aorta merupakan reseptor regangan
yang aktif secara tonik yang menembakkan potensial aksi
secara terus menerus pada tekanan darah normal. Ketika
peningkatan tekanan darah di arteri meregangkan membran
baroreseptor, laju pengaktifan reseptor meningkat. Jika
tekanan darah turun, laju pengaktifan reseptor menurun.
Jika tekanan darah berubah, frekuensi potensial aksi yang
berjalan dari baroreseptor ke pusat kendali kardiovaskular
medula juga berubah.1

Respon refleks baroreseptor cukup cepat yaitu perubahan


curah jantung dan resistensi perifer. Sinyal keluaran dari
pusat kendali kardiovaskular dibawa oleh neuron otonom
simpatis dan parasimpatis. Resistensi perifer berada di bawah
kendali tonik simpatis dimana peningkatan pelepasan
simpatis menyebabkan vasokonstriksi. Fungsi jantung diatur
oleh kontrol antagonis. Peningkatan aktivitas simpatis
meningkatkan denyut jantung pada nodus SA,
memperpendek waktu konduksi melalui nodus AV, dan
meningkatkan kekuatan kontraksi miokard. Peningkatan
aktivitas parasimpatis memperlambat detak jantung tetapi
hanya mempunyai efek kecil pada kontraksi ventrikel. Refleks
baroreseptor sebagai respons terhadap peningkatan tekanan
darah dipetakan pada gambar di bawah ini.1
Gambar 10. Refleks baroreseptor1

Baroreseptor meningkatkan laju pembakarannya seiring


dengan meningkatnya tekanan darah, mengaktifkan pusat
kendali kardiovaskular meduler. Sebagai tanggapan, pusat
kendali kardiovaskular meningkatkan aktivitas parasimpatis
dan menurunkan aktivitas simpatis untuk memperlambat
jantung dan melebarkan arteriol. Ketika detak jantung turun,
curah jantung turun. Di pembuluh darah, penurunan aktivitas
simpatis menyebabkan pelebaran arteriol, menurunkan
resistensinya dan memungkinkan lebih banyak darah
mengalir keluar dari arteri. Karena tekanan arteri rata-rata
berbanding lurus dengan curah jantung dan resistensi perifer,
kombinasi penurunan curah jantung dan penurunan
resistensi perifer menurunkan tekanan darah arteri rata-rata.
Penting untuk diingat bahwa refleks baroreseptor berfungsi
sepanjang waktu, tidak hanya dengan gangguan tekanan
darah yang drastis, dan ini bukanlah respons yang semuanya
atau tidak sama sekali. Perubahan tekanan darah dapat
mengakibatkan perubahan curah jantung dan resistensi
perifer atau perubahan hanya pada salah satu dari dua
variabel tersebut.1

b. Renin-Angiotensin-Aldosteron pada Pengaturan Sistem


Kardiovaskuler
i. Komponen RAAS
Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa sistem
renin-angiotensin membantu mengatur tekanan arteri.6

Gambar 11. Mekanisme RAAS pada sistem kardiovaskular6

Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak aktif yang


disebut prorenin di sel juxtaglomerular ginjal. Sel
jukstaglomerular merupakan sel otot polos termodifikasi
yang terletak terutama di dinding arteriol aferen tepat di
proksimal glomerulus. Ketika tekanan arteri turun, reaksi
intrinsik di ginjal menyebabkan banyak molekul prorenin di
sel jukstaglomerular membelah dan melepaskan renin.
Sebagian besar renin memasuki darah ginjal dan kemudian
keluar dari ginjal untuk diedarkan ke seluruh tubuh. Namun,
sejumlah kecil renin tetap berada dalam ginjal dan memulai
beberapa fungsi intrarenal.6

Seperti yang ditunjukkan oleh gambar di atas, renin bekerja


secara enzimatis pada protein plasma lain yaitu suatu
globulin yang disebut substrat renin atau angiotensinogen
untuk melepaskan 10-amino acid peptide yaitu angiotensin I.
Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor ringan tetapi
tidak cukup menyebabkan perubahan yang signifikan pada
fungsi peredaran darah. Renin bertahan di dalam darah
selama 30 menit hingga 1 jam dan terus menyebabkan
pembentukan angiotensin I yang lebih banyak lagi selama
waktu tersebut. Dalam beberapa detik hingga menit setelah
setelah pembentukan angiotensin I, dua asam amino
tambahan dipecah dari angiotensin I untuk membentuk
8-amino acid peptide angiotensin II. Konversi ini sebagian
besar terjadi di paru-paru ketika darah mengalir melalui
pembuluh kecil paru-paru serta dikatalisis oleh Angiotensin
Converting Enzyme yang terdapat di endotel pembuluh
paru-paru. Jaringan lain seperti ginjal dan pembuluh darah
juga mengandung Angiotensin Converting Enzyme sehingga
dapat membentuk Angiotensin II secara lokal.6

Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang sangat kuat.


Namun, Angiotensin II hanya dapat bertahan selama 1 atau
2 menit karena dengan cepat diinaktivasi oleh berbagai
enzim darah dan jaringan yang secara kolektif disebut
Angiotensinase.6
Angiotensin II memiliki dua efek utama yang dapat
meningkatkan tekanan arteri. Pertama, vasokonstriksi di
banyak area tubuh yang prosesnya terjadi dengan cepat.
Vasokonstriksi terjadi secara intensif di arteriol dan lebih
jarang terjadi di vena. Penyempitan arteriol meningkatkan
resistensi perifer total sehingga meningkatkan tekanan arteri.
Selain itu, penyempitan ringan pada vena mendorong
peningkatan aliran balik vena ke jantung sehingga
membantu jantung memompa melawan peningkatan
tekanan.6

Cara kedua yang digunakan Angiotensin II untuk


meningkatkan tekanan arteri adalah dengan menurunkan
ekskresi garam dan air oleh ginjal. Tindakan ini secara
perlahan meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
kemudian dapat meningkatkan tekanan arteri selama
beberapa jam dan hari berikutnya. Efek jangka panjang ini
yang bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler,
bahkan lebih kuat dibandingkan mekanisme vasokonstriktor
akut yang pada akhirnya dapat meningkatkan tekanan
arteri.6

ii. Kecepatan dan Intensitas Respon Tekanan


Vasokonstriktor terhadap Sistem Renin Angiotensin
Gambar 12. Efek RAAS pada perdarahan6

Gambar di atas menunjukkan percobaan yang menunjukkan


efek perdarahan pada tekanan arteri dalam kondisi terpisah,
dengan berfungsinya sistem renin angiotensin dan tanpa
berfungsinya sistem tersebut karena terganggu oleh antibodi
penghambat renin.6

Pada gambar terlihat bahwa setelah perdarahan (cukup


menyebabkan penurunan akut tekanan arteri hingga 50
mmHg), tekanan arteri akan naik kembali menjadi 83 mmHg
ketika sistem renin angiotensin berfungsi. Sebaliknya,
tekanan hanya meningkat menjadi 60 mmHg ketika sistem
renin angiotensin diblok. Fenomena ini menunjukkan bahwa
sistem renin angiotensin cukup kuat untuk mengembalikan
tekanan arteri ke keadaan normal dalam beberapa menit
setelah perdarahan hebat. Tetapi, sistem vasokonstriktor
renin angiotensin memerlukan waktu sekitar 20 menit untuk
menjadi aktif sepenuhnya. Oleh karena itu, tindakannya agak
lambat dalam mengontrol tekanan darah dibandingkan
refleks saraf dan sistem norepinefrin-epinefrin simpatis.6

iii. Angiotensin II Menyebabkan Retensi Garam dan Air


di Ginjal
Angiotensin II menyebabkan ginjal menahan garam dan air
melalui dua cara utama yaitu Angiotensin II bekerja langsung
pada ginjal menyebabkan retensi garam dan air atau
Angiotensin II menyebabkan kelenjar adrenal mengeluarkan
Aldosteron dan Aldosteron selanjutnya meningkatkan
reabsorbsi garam dan air oleh tubulus ginjal. Oleh karena itu,
setiap kali jumlah Angiotensin II berlebih di dalam sirkulasi
darah, seluruh mekanisme jangka panjang cairan ginjal
untuk mengontrol tekanan arteri secara otomatis diatur ke
tingkat tekanan arteri yang lebih tinggi dari biasanya.6

iv. Mekanisme Efek Ginjal Langsung Angiotensin II


Menyebabkan Retensi Garam dan Air di Ginjal
Angiotensin memiliki beberapa efek langsung pada ginjal
yang membuat ginjal menahan garam dan air. Salah satu
efek utamanya adalah menyempitkan arteriol ginjal sehingga
mengurangi aliran darah melalui ginjal. Aliran darah yang
lambat mengurangi tekanan pada kapiler peritubular yang
menyebabkan reabsorbsi cairan dari tubulus dengan cepat.
Angiotensin II juga memiliki tindakan langsung yang penting
pada sel tubulus untuk meningkatkan reabsorbsi natrium dan
air di tubulus. Efek gabungan dari Angiotensin II terkadang
dapat menurunkan keluaran urin hingga kurang dari
seperlima normal.6

v. Angiotensin II Meningkatkan Retensi Garam dan Air


Ginjal dengan Merangsang Aldosteron
Angiotensin II merupakan salah satu stimulator paling kuat
dari sekresi aldosteron oleh kelenjar adrenal. Ketika sistem
renin angiotensin menjadi teraktivasi, laju sekresi aldosteron
biasanya juga meningkat dan fungsi penting aldosteron
selanjutnya adalah menyebabkan peningkatan nyata
reabsorbsi natrium oleh tubulus ginjal sehingga
meningkatkan total natrium cairan ekstraseluler tubuh.
Peningkatan natrium ini kemudian menyebabkan retensi air,
meningkatkan volume cairan ekstraseluler dan selanjutnya
menyebabkan peningkatan tekanan arteri dalam jangka
panjang. Jadi, baik efek langsung Angiotensin pada ginjal
maupun efeknya melalui Aldosteron penting dalam
pengendalian tekanan arteri jangka panjang. Tetapi,
penelitian menunjukkan bahwa efek langsung Angiotensin
pada ginjal mungkin tiga kali lebih kuat dibandingkan efek
tidak langsung melalui Aldosteron.6

Penutup
Sistem kardiovaskular manusia terdiri dari jantung yang memompa darah
melalui sistem pembuluh darah tertutup. Fungsi utama sistem
kardiovaskular adalah pengangkutan nutrisi air, gas, limbah, dan sinyal
kimia ke dan dari seluruh bagian tubuh. Pada sistem kardiovaskular
terdapat sirkulasi pulmonal yang berjalan dari sisi kanan jantung ke
paru-paru dan kembali ke jantung serta terdapat sirkulasi sistemik yang
berjalan dari sisi kiri jantung ke jaringan dan kembali ke jantung.

Pada sistem konduksi jantung, potensial aksi berasal dari nodus sinoatrial
(nodus SA) dan menyebar dengan cepat dari sel ke sel di jantung.
Potensial aksi diikuti oleh gelombang kontraksi. Sinyal listrik bergerak dari
nodus SA melalui jalur internodal menuju nodus Atrioventrikular (nodus
AV), kemudian masuk ke berkas AV, cabang berkas, serabut Purkinje
terminal, dan sel kontraktil miokard. Nodus SA menentukan detak jantung.
Jika Nodus SA tidak berfungsi, sel otoritmik lain di nodus AV atau ventrikel
akan mengendalikan detak jantung.

Sistem saraf otonom berperan dalam pengaturan sistem kardiovaskular.


Aktivitas parasimpatis akan memperlambat detak jantung, sedangkan
aktivitas simpatik mempercepat detak jantung. Di samping itu, sistem
Renin Angiotensin Aldosteron juga berperan dalam pengaturan sistem
kardiovaskular. Renin dapat memicu pembentukan Angiotensin yang dapat
meningkatkan tekanan darah arteri dengan bekerja sebagai
vasokonstriktor di berbagai area tubuh ataupun menurunkan retensi
garam dan air di ginjal. Penurunan retensi garam dan air di ginjal oleh
Angiotensin dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bekerja secara
langsung atau menghasilkan Aldosterone. Semua ini akan berefek pada
pengendalian tekanan arteri jangka panjang.

Pada pemicu disebutkan bahwa pasien mengalami hipotensi ortostatik.


Hipotensi ortostatik dapat memicu refleks baroreseptor. Refleks
baroreseptor berfungsi setiap pagi saat bangun tidur. Saat berbaring, gaya
gravitasi didistribusikan secara merata ke atas dan ke bawah di sepanjang
tubuh, dan darah didistribusikan secara merata ke seluruh sirkulasi. Saat
berdiri, gravitasi menyebabkan darah menggenang di ekstremitas bawah.
Pengumpulan ini menyebabkan penurunan aliran balik vena secara instan.
Akibatnya, lebih sedikit darah yang masuk ke ventrikel pada awal kontraksi
berikutnya. Curah jantung turun dari 5 L/menit menjadi 3 L/menit,
menyebabkan tekanan darah arteri menurun. Kombinasi peningkatan
curah jantung dan peningkatan resistensi perifer meningkatkan tekanan
arteri rata-rata dan mengembalikannya ke normal dalam dua detak
jantung. Pompa otot rangka juga berkontribusi terhadap pemulihan
dengan meningkatkan aliran balik vena ketika otot perut dan kaki
berkontraksi untuk mempertahankan posisi tegak. Namun dalam kasus
hipotensi ortostatik ini, kontrol simpatik pada vena kaki tidak memadai.
Akibatnya, darah terkumpul di ekstremitas bawah tanpa respons
kompensasi yang memadai untuk melawan penurunan tekanan darah
yang disebabkan oleh gravitasi. Akibatnya, dapat terjadi hipotensi
ortostatik dan penurunan aliran darah ke otak menyebabkan pusing atau
pingsan.
Referensi

1. Silverthorn DU. Human physiology. 6th ed. USA: Pearson Education,


Inc; 2013. Unit 3, Integration of function; p.462-543.
2. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of anatomy and
physiology. 9th ed. USA: Pearson Education, Inc; 2012. Chapter 20,
The heart; p. 670-703
3. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 15th
ed. USA: John Willey and Sons, Inc; 2017. Chapter 20, The
cardiovascular system: the heart; p. 695-736.
4. Sherwood L. Human physiology. 9th ed. USA: Cengage Learning;
2016. Chapter 9, Cardiac physiology; p. 297-334.
5. Sherwood L. Human physiology. 9th ed. USA: Cengage Learning;
2016. Chapter 10, The blood vessels and blood pressure; p. 335-79.
6. Hall JE. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 13th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016. Unit 4, The circulation; p. 226-43.

Anda mungkin juga menyukai