Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyebab Kematian

2.1.1. Penyebab, Mekanisme, dan Cara Kematian

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia mendefinisikan penyebab kematian sebagai semua penyakit, kondisi atau
penyebab cedera yang menyebabkan atau berperan terhadap terjadinya kematian. Setiap
rekam medis pasien yang meninggal harus mencantumkan penyebab kematian, hal ini
sangat penting untuk berbagai tujuan seperti kesehatan publik, epidemiologi, penelitian,
keamanan publik, kedokteran, dan administrasi kesehatan.12 Informasi mengenai
penyebab kematian medis dalam bidang kesehatan dapat digunakan untuk menghitung
angka harapan hidup, angka kematian berdasarkan penyebab dan usia, serta sebagai dasar
untuk mengambil keputusan terkait upaya preventif untuk meningkatkan status
kesehatan.13

Mekanisme kematian dapat didefinisikan sebagai kekacauan fisiologis yang


disebabkan oleh penyebab kematian yang mengakibatkan kematian. Beberapa contoh
dari mekanisme kematian adalah perdarahan, septikemia, dan aritmia jantung.
Mekanisme kematian berhubungan erat dengan penyebab kematian, mekanisme
kematian tertentu dapat disebabkan oleh berbagai penyebab kematian dan sebaliknya.
Sebagai contoh, apabila seseorang meninggal karena pendarahan hebat, hal tersebut
dapat disebabkan oleh luka tembak, luka tusuk, tumor ganas paru-paru yang terkikis
hingga ke pembuluh darah, dan lain sebagainya. Terdapat juga kebalikannya, dimana
beberapa penyebab kematian, seperti luka tembak di perut, dapat mengakibatkan banyak
kemungkinan mekanisme kematian, seperti perdarahan atau peritonitis.14

Cara kematian dapat didefinisikan sebagai bagaimana penyebab kematian itu terjadi.
Cara kematian secara umum dapat dikategorikan sebagai alami, pembunuhan, bunuh diri,
kecelakaan, atau tidak dapat ditentukan. Sebagaimana mekanisme kematian dapat
mempunyai banyak penyebab dan penyebab kematian mempunyai banyak mekanisme,
suatu penyebab kematian juga dapat mempunyai banyak cara. Seseorang dapat
meninggal karena perdarahan masif (mekanisme kematian), akibat luka tembak di
jantung (penyebab kematian), dengan cara kematiannya adalah pembunuhan (ada yang
menembak), bunuh diri (mereka menembak diri sendiri), kecelakaan (senjata jatuh dan
terlepas), atau tidak dapat ditentukan (kita tidak yakin apa yang terjadi).14

2.1.2. Klasifikasi Penyebab Kematian

Pada tahun 1967, International Statistical Classification of Diseases (ICD)


mendefinisikan penyebab kematian sebagai “semua penyakit, kondisi tidak sehat atau
cedera yang mengakibatkan atau berkontribusi terhadap kematian dan keadaan
kecelakaan atau kekerasan yang menyebabkan cedera tersebut”.15 Definisi tersebut
memuat hampir semua faktor yang berkaitan dengan kematian, yang meliputi penyakit,
cedera, komplikasi, kesalahan medis, penyakit iatrogenik, dan akibat dari kecelakaan
atau kondisi awal. Dalam ICD, empat macam penyebab kematian telah ditetapkan
sebagai berikut:

 Penyebab dasar kematian  penyakit atau cedera yang mengawali rangkaian


peristiwa yang menyebabkan kematian secara langsung dan tak terelakkan.
Penyebab dasar kematian juga dapat diartikan sebagai keadaan kecelakaan
atau kekerasan yang menyebabkan cidera berakhir dengan kematian.16
 Penyebab langsung kematian  penyakit, cedera, atau komplikasi akhir yang
diakibatkan oleh penyebab dasar kematian dan secara langsung menyebabkan
kematian.
 Penyebab kematian perantara  untuk beberapa kematian, urutan penyakit
atau cedera melibatkan kondisi yang terjadi pada waktu antara penyebab
kematian dasar dan penyebab langsung kematian. Hal ini sering disebut
sebagai penyebab kematian perantara.17
 Intervensi penyebab kematian  faktor-faktor antara penyebab dasar dan
penyebab langsung dalam proses kematian, dimana faktor-faktor tersebut
memainkan peran kohesif dan sekunder dalam mekanisme kematian.
 Kontribusi penyebab kematian  faktor-faktor yang mendorong atau
mempercepat proses kematian sampai batas tertentu, dan tidak ada hubungan
sebab akibat langsung dengan penyebab dasar kematian. Faktor-faktor tersebut
memainkan peran tidak langsung dalam mekanisme kematian.18

Selain dari penyebab kematian yang telah ditetapkan dari ICD, para ahli forensik di
Tiongkok juga menetapkan empat jenis penyebab kematian lainnya untuk diterapkan
dalam praktik forensik, sehingga semua faktor penyebab yang terkait dengan kematian
telah dibagi menjadi delapan jenis secara total. Empat jenis penyebab kematian lainnya
telah ditetapkan sebagai penyebab kematian induktif, penyebab kematian gabungan,
penyebab kematian sinergis, dan faktor yang tidak relevan.19

2.1.2.1. Penyebab Kematian Induktif

Penyebab kematian induktif didefinisikan sebagai faktor cedera ringan dan


sementara atau rangsangan lain yang mengakibatkan potensi serangan penyakit,
perkembangan, dan bahkan kematian individu. Faktor tersebut tidak dapat
menyebabkan cedera parah dan kematian secara terpisah. Secara umum, rangsangan
tersebut merupakan rangsangan fisik atau mental yang ringan, sementara dan mentap
yang bekerja pada fungsi fisiologis. Sebagai contoh, faktor-faktor seperti agitasi,
kelelahan, dan makan berlebihan, semuanya dapat menyebabkan serangan penyakit
jantung koroner (PJK) yang berpotensi fatal. Pecahnya angioma ensefalik dan
pendarahan otak yang fatal juga terkadang diakibatkan oleh pukulan ringan seperti
tamparan di wajah. Mengingat tingkat cederanya, diyakini bahwa penyebab kematian
induktif harus termasuk dalam lingkup “Cedera Ringan”, namun penyebab kematian
yang berkontribusi dan penyebab intervensi yang mempengaruhi fungsi fisik dan
mental secara terus menerus, dan pada akhirnya mengakibatkan kematian harus
berada di atas tingkat “Cedera Daging”.19

2.1.2.2. Penyebab Kematian Gabungan

Penyebab kematian gabungan didefinisikan sebagai dua atau lebih faktor yang
terjadi bersamaan seperti penyakit, cedera, atau toksikosis, dimana hanya salah satu
saja sudah dapat menyebabkan kematian individu secara terpisah. Terjadinya dua atau
lebih faktor secara bersamaan tersebut hanya kebetulan, dan tidak ada hubungan
sebab akibat di antara keduanya. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut disebut juga
sebagai koordinat penyebab kematian. Terdapat tiga kemungkinan kombinasi kondisi
yang dapat menjadi penyebab kematian gabungan; kombinasi cedera-cedera, seperti
nygma jantung dan laserasi batang otak; kombinasi cedera-penyakit, seperti laserasi
batang otak dan perdarahan akibat tukak lambung yang pecah; kombinasi penyakit-
penyakit, seperti pendarahan otak hipertensi dan infark miokard PJK.19

2.1.2.3. Penyakit Kematian Sinergis


Penyebab kematian sinergis didefinisikan sebagai dua atau lebih faktor simultan
termasuk penyakit, cedera atau toksikosis, yang tidak dapat menyebabkan kematian
individu secara terpisah, berakibat fatal karena efek kolektif atau interaktif seperti
efek obat sinergis dalam farmakologi. Karena kekhasan faktor-faktor tersebut, sulit
untuk membedakan peran primer dan sekunder dalam praktik forensik. Seperti halnya
penyebab kematian gabungan, terdapat juga tiga kemungkinan kombinasi kondisi,
yaitu sinergisme cedera-cedera, sinergisme cedera-penyakit, dan sinergisme penyakit-
penyakit. Dalam analisis forensik penyebab kematian, perbedaan penyebab kematian
gabungan dengan sinergis harus dibedakan dengan baik, dan faktor tunggal penyebab
kematian yang sinergis tidak dapat menyebabkan kematian secara independen.
Sebagai contoh, memukul leher atau kepala orang mabuk dengan kepalan tangan, efek
sinergis dari alkoholisme dan pemukulan dapat menyebabkan perdarahan
subarachnoid traumatis yang fatal.19

2.1.2.4. Faktor yang tidak Relevan

Faktor yang tidak relevan didefinisikan sebagai penyakit atau cedera independen
lainnya yang mengakibatkan atau berkontribusi terhadap kematian. Sebagai contoh,
seorang pasien tunarungu menderita pankreatitis nekrotikans hemoragik akut dan
meninggal mendadak karena makan dan minum berlebihan. Dalam kasus ini,
pankreatitis nekrotikans hemoragik akut dianggap sebagai penyebab utama dan
penyebab langsung kematian, dan makan serta minum berlebihan dianggap sebagai
penyebab kematian induktif. Adapun ketulian merupakan faktor yang tidak relevan
dalam kejadian tersebut. Dalam analisis forensik penyebab kematian, faktor yang
tidak relevan dan penyebab kematian harus dibedakan dengan benar. Faktor yang
tidak relevan adalah kondisi kebetulan yang tidak ada kaitannya dengan akibat yang
fatal, dan tidak berperan dalam mekanisme kematian. Namun kontribusi penyebab
kematian dapat mempercepat proses kematian karena dampak negatifnya, meskipun
tidak ada hubungan sebab akibat dengan penyakit atau cedera yang menyebabkan
kematian secara langsung.19

2.1.3. International Classification of Diseases (ICD)

The International Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD)


merupakan sarana untuk mencatat, melaporkan dan mengelompokkan kondisi dan faktor
yang mempengaruhi kesehatan. ICD berisi kategori penyakit dan kelainan, kondisi
terkait kesehatan, penyebab eksternal penyakit atau kematian, anatomi, lokasi, aktivitas,
obat-obatan, dan vaksin. Tujuan dari ICD adalah untuk memungkinkan pencatatan
sistematis, analisis, interpretasi, serta perbandingan data mortalitas dan morbiditas yang
dikumpulkan di berbagai negara atau wilayah dan pada waktu yang berbeda-beda. ICD
telah menjadi dasar statistik pembanding mengenai penyebab kematian dan kesakitan
antar tempat dan waktu selama lebih dari satu abad. ICD pertama berasal dari abad ke-
19, sedangkan versi terbaru dari ICD, ICD-11, telah disahkan oleh World Health
Assembly ke-72 pada tahun 2019 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2022.

ICD merupakan alat penting dalam sistem informasi kesehatan, yang memungkinkan
penggunaan kembali data untuk analisis epidemiologi, alokasi sumber daya, penelitian,
dan penggunaan di tingkat individu seperti dokumentasi kesehatan dan pendukung
keputusan. Ini memberikan informasi rinci di luar kategori statistik melalui
pengidentifikasi unik, memungkinkan pencatatan dan pelaporan penyakit langka, temuan
khusus, dan obat-obatan individual. ICD menerjemahkan diagnosis penyakit dan masalah
kesehatan ke dalam kode alfanumerik untuk penyimpanan, pengambilan, dan analisis. Ini
berfungsi sebagai standar internasional untuk analisis epidemiologi umum dan
manajemen kesehatan, termasuk kejadian penyakit, prevalensi, dan pemeriksaan masalah
kesehatan dalam kaitannya dengan variabel lain. Selama 150 tahun terakhir, ICD telah
berevolusi dari daftar penyebab kematian menjadi sistem klasifikasi yang komprehensif,
dengan desain berbasis ontologi ICD-11 yang memungkinkan integrasi penuh
terminologi dan klasifikasi. ICD digunakan secara global oleh berbagai pengguna,
termasuk dokter, perawat, peneliti, dan pekerja teknologi informasi kesehatan, untuk
mengalokasikan sumber daya kesehatan dan melakukan studi mengenai aspek keuangan
sistem kesehatan. Ini mencakup kerangka informasi terperinci untuk memilih kumpulan
kode yang sesuai dan memastikan konsistensi dengan versi ICD sebelumnya,
memfasilitasi pencatatan, klasifikasi, dan penggunaan data dalam berbagai judul yang
ditemukan dalam catatan dan dokumen kesehatan.

2.1.3.1. Fungsi ICD dalam Mortalitas

Statistik mortalitas banyak digunakan untuk penelitian medis, pemantauan


kesehatan masyarakat, evaluasi intervensi kesehatan, dan perencanaan serta tindak
lanjut layanan kesehatan. Aturan yang diadopsi oleh WHA mengenai pemilihan satu
penyebab atau kondisi, dari sertifikat kematian, untuk tabulasi rutin statistik kematian
disediakan untuk membakukan penyusunan data kematian. Penerapan ICD untuk
kematian memerlukan pembangunan infrastruktur untuk pelaporan dan penyimpanan
informasi, desain arus informasi, jaminan kualitas dan umpan balik, dan pelatihan
bagi pengguna klasifikasi yang bekerja dengan masukan atau keluaran data. Deskripsi
mengenai satu penyebab utama kematian, dan pendekatan terpilih untuk memperoleh
informasi lebih lanjut mengenai penyebab kematian, juga dilaporkan dalam sertifikat
kematian, memungkinkan identifikasi tren kesehatan pada populasi tertentu.

2.1.3.2. Fungsi ICD dalam Morbiditas

Data morbiditas sebagian besar digunakan untuk pelaporan statistik di tingkat


nasional atau lokal. Data berkode ICD juga menjadi dasar untuk sistem casemix yang
berbeda, seperti jenis Diagnosis Related Groups (DRG) yang berbeda. Data
morbiditas yang diberi kode juga dapat digunakan untuk menginformasikan berbagai
pedoman klinis melalui penyediaan informasi mengenai beban penyakit. Pengertian
diagnosis utama berkaitan dengan gambaran suatu episode perawatan di rumah sakit.
Tenaga kesehatan harus mencatat dan mengidentifikasi diagnosis utama sebagai suatu
kondisi yang ditentukan sebagai alasan untuk masuk rumah sakit, yang ditetapkan
pada akhir episode pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang bertanggung jawab
atas perawatan pasien juga bertanggung jawab untuk mendokumentasikan kondisi
kesehatan pasien. Informasi kondisi kesehatan pasien harus disusun dan dicatat secara
sistematis, karena pencatatan yang lengkap sangat penting untuk manajemen pasien
yang baik. Ketika catatan tertulis mengenai kondisi pasien tersedia, pengkodean
informasi ini dalam ICD dan klasifikasi terkait akan menghasilkan sumber data
epidemiologi dan data statistik lainnya yang berharga mengenai morbiditas dan
masalah layanan kesehatan lainnya.20

2.1.4. Penentuan dan Pelaporan Penyebab Dasar Kematian

Dalam konteks pasien yang meninggal dunia selama perawatan, semua catatan
kesehatan pasien tersebut akan didokumentasikan dalam rekam medis. Proses
pengumpulan riwayat kesehatan dan keluhan pasien dilakukan melalui anamnesis oleh
tenaga kesehatan. Kegiatan anamnesis melibatkan wawancara pasien atau keluarganya
untuk mendapatkan informasi tentang masalah kesehatan pasien di masa lalu maupun
status kesehatan pasien saat ini.
Penentuan penyebab dasar kematian di rumah sakit dilakukan oleh dokter yang
merawat pasien melalui berbagai tahapan pelayanan yang diterima pasien di rumah sakit,
dimulai dengan melakukan anamnesis, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang sesuai kebutuhan pasien. Penyebab dasar kematian yang
ditentukan dari upaya tersebut dapat berupa satu kondisi atau beberapa kondisi. Di rumah
sakit, dokter memeriksa seluruh riwayat kesehatan pasien hingga saat kematiannya,
pendekatan tersebut bertujuan untuk menghasilkan sertifikat kematian yang lengkap dan
akurat. Penentuan urutan penyebab kematian juga memerlukan pengetahuan tentang
jangka waktu penyakit atau kondisi yang dialami pasien, untuk menetapkan urutan
diagnosis awal hingga kematian pasien secara akurat.

Apabila seorang pasien meninggal dunia di luar rumah sakit, penetapan penyebab
dasar kematian dilakukan oleh puskesmas. Karena data riwayat kesehatan untuk pasien
yang meninggal di luar rumah sakit yang tersedia cenderung lebih terbatas, akan
dilakukan metode alternatif untuk menentukan penyebab kematian dalam bentuk autopsi
verbal. Autopsi verbal adalah suatu bentuk wawancara yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan kepada anggota keluarga pasien yang meninggal untuk mengumpulkan data
riwayat kesehatan yang komprehensif. Tujuan dari dilakukannya autopsi verbal adalah
untuk memudahkan petugas kesehatan, seperti dokter di puskesmas, dalam
mengidentifikasi penyebab kematian yang relevan.

Apabila seorang pasien meninggal di rumah sakit, maka penyebab kematiannya harus
dilaporkan, baik secara internal maupun eksternal. Pelaporan internal akan digunakan
oleh rumah sakit untuk menginformasikan keputusan kebijakan mengenai pengelolaan
penyakit serupa pada pasien lain. Sebagai contoh, selama pandemi, banyak kematian
dilaporkan akibat COVID-19, dan dengan laporan ini, rumah sakit dapat meningkatkan
layanannya, termasuk penyediaan obat-obatan, alat diagnostik, ruang isolasi, serta tenaga
layanan kesehatan, untuk mengurangi angka kematian masyarakat. Untuk pelaporan
eksternal, laporan kematian disampaikan kepada dinas kesehatan di tingkat kabupaten,
kota, provinsi, dan nasional, serta lembaga terkait lainnya. Sebagai contoh, jika banyak
kematian di suatu wilayah disebabkan oleh prevalensi diabetes yang tinggi, data tersebut
dapat digunakan untuk menentukan kebijakan penyediaan obat diabetes, layanan
perawatan luka bagi pasien diabetes, dan program edukasi diabetes di masyarakat.21
Gambar 2.1 Alur pengumpulan dan pemanfaatan laporan kematian
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010

2.1.5. Sertifikat Kematian

Format sertifikat kematian yang direkomendasikan oleh WHO terdiri dari dua bagian:

 Bagian I digunakan untuk penyakit atau kondisi yang merupakan bagian dari
rangkaian kejadian yang mengarah langsung pada kematian.
 Bagian II digunakan untuk kondisi yang tidak termasuk dalam Bagian I namun
keberadaannya berkontribusi terhadap kematian.

Bagian I dari serrtifikat kematian memiliki 3-4 baris, tergantung pada peraturan tiap
instansi, untuk mencatat urutan kejadian yang menyebabkan kematian. Apabila terdapat
dua atau lebih penyebab kematian yang perlu dicatat, maka petugas yang mengisi
sertifikat tersebut harus mencatat urutan kejadian yang menyebabkan kematian, dengan
masing-masing kejadian pada baris tersendiri. Penyebab langsung kematian ditulis pada
baris pertama, diikuti penyebab kematian perantara, dan terakhir penyebab dasar
kematian pada baris terakhir yang digunakan.

Oleh sebab itu sertifikat yang lengkap berisi informasi sebagai berikut:

A. penyebab langsung
B. penyebab antara dari A
C. penyebab antara dari B
D. penyebab dasar dari C

Struktur ini memastikan bahwa penyebab kematian didokumentasikan secara akurat,


serta memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang rangkaian peristiwa yang
menyebabkan kematian individu.

2.1.5.1. Format Sertifikat Kematian

Format atau bentuk dari sertifikat kematian berbeda-beda antar institusi,


bahkan istilah "sertifikat kematian" bisa mempunyai berbagai nama, seperti akta
kematian, sertifikat medis penyebab kematian, formulir kematian, dan surat kematian.

Gambar 2.2 Formulir Internasional Sertifikat Kematian


Sumber: World Health Organization, 2010

Dalam format sertifikat tersebut, hubungan sebab dan akibat pada Bagian I
meliputi baris a, b, c, dan d. Urutan penyebab kematian ditulis sesuai aturan pada
Bagian I dan Bagian II.

Berikut contoh sertifikat kematian dari rumah sakit yang memiliki sedikit
perbedaan. Pada sertifikat di bawah ini, Bagian I mempunyai 3 baris yaitu a, b, dan c.
Jumlah barisnya berbeda, namun prinsipnya tetap sama; Bagian I digunakan untuk
menuliskan urutan penyebab kematian.
Gambar 2.3 Formulir Sertifikat Kematian
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010

2.2. Kematian Intraoperatif

2.2.1. Definisi Kematian Intraoperatif

Kematian intraoperatif (IOD) mengacu pada kematian pasien selama prosedur


pembedahan. Kematian selama prosedur pembedahan dapat dibagi menjadi beberapa
kategori berdasarkan etiologi. Kategori pertama adalah kematian yang tidak terkait
langsung dengan prosedur, tetapi disebabkan oleh penyakit yang mendasari untuk
prosedur tersebut. Contoh dari prosedur diagnostik ini adalah kateterisasi jantung setelah
seseorang tiba di rumah sakit dengan nyeri dada. Selama angiografi jantung, pasien
mengembangkan aritmia fatal dan mati. Secara operasional, kasus yang paling sering
ditemui adalah kematian selama operasi bypass jantung. Individu ditempatkan di pompa
bypass jantung dan operasi berhasil dilakukan, tetapi denyut jantung pasien tidak
kembali ketika pompa dilepas.

Kategori kedua mencakup kematian yang terkait dengan anestesi, baik lokal maupun
umum. Sebagian besar kematian yang terkait dengan anestesi disebabkan oleh kesalahan
manusia, dengan masalah yang paling umum adalah terkait dengan ventilasi. Kematian
intra-operatif bisa disebabkan oleh kesalahan sederhana seperti memasukkan selang
intubasi ke esofagus. Mungkin terdapat extubasi yang tidak terdeteksi, pemutusan pasien
dari ventilator, ventilasi yang tidak memadai, reaksi alergi terhadap agen anestesi, atau
kontaminasi pada gas yang diberikan. Dalam beberapa kasus, akibat kesalahan
tercampurnya gas dalam kemasan, gas yang diberikan pada pasien salah. Pasien juga
dapat mengembangkan hipertermia maligna, hal ini umumnya terkait dengan
penggunaan anestesi halogen dan suksinilkolin. Individu biasanya memiliki
kecenderungan genetik, tetapi kondisi ini mungkin tidak terjadi pada setiap kali diberikan
anestesi. Gejala awal hipertermia maligna umumnya ditandai dengan peningkatan cepat
suhu tubuh, takikardia, aritmia, dan kekakuan otot rangka. Pasien kemudian dapat
mengalami koagulopati intravaskular diseminata, kelainan elektrolit seperti hiperkalemia,
dan rhabdomyolysis.

Kategori ketiga mencakup kematian yang terkait dengan pemberian obat yang salah
atau pengobatan yang tepat dengan dosis yang salah. Pemberian obat yang tidak tepat
dapat menimbulkan reaksi alergi. Hal ini sering terlewatkan kecuali bila dilakukan
analisis toksikologi. Selain pemberian obat, pemberian darah yang tidak tepat juga dapat
menyebabkan kematian, hal ini umumnya diakibatkan pemberian golongan darah yang
salah, sehingga menimbulkan reaksi transfusi darah.

Kategori keempat mencakup kematian yang disebabkan oleh gangguan mekanis yang
tidak disengaja pada organ vital. Mungkin terdapat perforasi arteri koroner selama
angioplasti atau angiografi, ataupun perforasi uterus yang tidak diketahui selama
kuretase. Pada individu dengan perlengketan perikardial yang luas, prosedur yang
melibatkan pembelahan tulang dada di bagian tengah terkadang dapat mengakibatkan
perforasi jantung. Sejumlah besar kematian terjadi selama kateterisasi pembuluh darah.
Kateter telah melubangi vena cava, atrium dan ventrikel kanan, serta arteri pulmonalis.
Gangguan mekanis pada pembuluh darah selama pembedahan dapat mengakibatkan
masuknya udara ke dalam sistem pembuluh darah. Hal ini paling sering terjadi selama
prosedur laminektomi dan sistem saraf pusat.14

2.3. Kematian Perioperatif

2.3.1. Definisi Kematian Perioperatif

Angka kematian perioperatif (POMR) didefinisikan sebagai angka kematian setelah


pembedahan dan anestesi, baik pada hari pembedahan, sebelum hari ke-30 pascaoperasi,
atau pada hari keluar dari rumah sakit dan merupakan indikator akses terhadap anestesi
dan pembedahan yang aman.22 Kematian perioperatif mencakup berbagai penyebab,
termasuk komplikasi langsung selama pembedahan, kondisi medis yang sudah ada
sebelumnya, dan kejadian terkait anestesi. Kematian perioperatif merupakan
kekhawatiran yang signifikan dalam bidang layanan kesehatan, karena kematian tersebut
merupakan bagian dari kematian yang dapat dipengaruhi oleh intervensi bedah segera
dan konteks kesehatan pasien dengan lingkungan bedah yang lebih luas, hal tersebut
menunjukkan bahwa angka kematian perioperatif berkorelasi terbalik dengan
peningkatan akses terhadap perawatan anestesi tingkat lanjut dan layanan bedah.23

2.3.2. Faktor Kematian Perioperatif

Angka kematian perioperatif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, kondisi
komorbiditas terkait, dan faktor bedah. Faktor usia ekstrim yaitu pada lansia dan bayi
memunculkan tantangan besar dalam anestesi dan pembedahan. Pasien lanjut usia
memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas pasca operasi tertinggi karena berkurangnya
kapasitas fungsional organ dan memiliki penyakit komorbid seperti hipertensi yang
sudah ada sebelumnya, penyakit jantung iskemik, diabetes melitus, dan gagal ginjal.24
Demikian pula, pada populasi anak-anak, terdapat angka kematian perioperatif yang
lebih tinggi pada neonatus dan bayi dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua.

Faktor kondisi komorbiditas terkait adalah kondisi medis/bedah yang sudah ada
sebelumnya selain dari jenis pembedahan yang sedang dilakukan. Penilaian American
Society of Anaesthesiologists (ASA) adalah suatu sarana yang dapat digunakan untuk
menilai risiko yang ada. Pasien dengan ASA derajat III dan seterusnya mempunyai risiko
lebih tinggi mengalami komplikasi perioperatif dan kematian. Sebagai contoh, pasien
dengan ASA derajat III memiliki angka kematian 1,8% dibandingkan dengan 9,4% pada
pasien derajat V. Selain kondisi komorbiditas, faktor risiko kematian perioperatif lainnya
adalah terkait dengan lokasi pembedahan. Pembedahan aorta, toraks, atau perut bagian
atas merupakan prosedur bedah dengan risiko tertinggi bahkan pada pasien sehat.
Demikian pula, prosedur bedah darurat, jantung, dan saraf lebih berisiko dibandingkan
dengan pembedahan lainnya.25

2.3.3. Penyebab Kematian Perioperatif

Kematian perioperatif dapat disebabkan oleh penyebab anestesi dan penyebab bedah.
Penyebab anestesi mencakup pemberian dosis obat yang berlebihan, pelabelan obat yang
salah, pemberian obat yang tidak disengaja melalui rute yang salah, kurangnya
pengalaman, dan kesalahan saat proses intubasi. Penyebab anestesi dapat terjadi akibat
kesalahan manusia (human error) yang dilakukan oleh ahli anestesi. Seorang ahli
anestesi yang sedang dalam keadaan stress atau berada dalam tekanan psikologis besar
akan lebih rentan untuk melakukan kesalahan yang fatal. Hipersensitivitas terhadap
inhalasi, agen induksi, atau pelemas otot dapat menyebabkan aritmia/henti jantung.
Berbagai kesalahan manusia seperti kegagalan laringoskopi, pemberian campuran
hipoksia secara tidak sengaja akibat persilangan pipa, kerusakan peralatan, pipa tertekuk,
rangsangan vagal selama intubasi yang menyebabkan obstruksi glottis, dan
laringospasme/bronkospasme juga dapat terjadi selama dan/atau setelah
anestesi/prosedur bedah karena beberapa faktor. Terkadang, pasien tidak menyampaikan
dengan benar atau menyembunyikan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya atau
kondisi ini diabaikan oleh ahli anestesi/ahli bedah. Dalam beberapa kasus, seorang ahli
anestesi melakukan kesalahan karena dia harus bekerja di tempat yang tidak dilengkapi
peralatan lengkap, atau dia tidak sepenuhnya terbiasa dengan lingkungannya.26

Penyebab bedah menunjuk pada suatu kondisi dimana prosedur pembedahan


terkadang tidak berhasil secara 100%. Selalu ada risiko kematian dalam setiap prosedur
pembedahan terkait dengan keadaan. Terkadang, bila keadaan pasiennya sangat buruk,
seperti saat terjadi pendarahan berlebihan, perforasi organ yang tidak disengaja, atau
cedera pada pembuluh darah utama, dokter bedah pun tidak mempunyai pilihan.
Prosedur pembedahan darurat untuk luka trauma tembus atau tumpul pada dada dan
perut juga memiliki risiko yang lebih besar.27

Anda mungkin juga menyukai