Anda di halaman 1dari 3

· Evaluasi menu dilakukan setiap enam bulan sekali.

Perubahan menu dapat terjadi bila dirasa


dibutuhkan dengan tetap memperhatikan mutu makanan dan keharmonisan penyajian (penampilan),
variasi, dan tidak adanya pengulangan menu pada sebelum dan setelahnya.

· Perlu adanya evaluasi terhadap porsi makanan yang disajikan berdasarkan standar porsi yang
telah ditetapkan, apakah petugas memberikan makanan sesuai dengan ukuran porsi yang sudah
ditetapkan. Evaluasi porsi makanan dilakukan dengan cara pemantauan di ruang pengolahan. Sampel
diambil dari jenis diet biasa 2300 kkal, diet lunak 1900 kkal, diet saring 1600 kkal, dan makanan cair
dengan standar porsi 200 ml. Evaluasi ini dilakukan dengan cara menimbang masing-masing kategori
(makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah) pada satu set penyajian makanan dan
menakar makanan cair dengan menggunakan gelas ukur (Lampiran 3) yang sudah diporsikan oleh
petugas. Standar ketepatan ukuran porsi ditetapkan dengan selisih ± 10%.

· Pada diet biasa dan diet lunak, makanan pokok dan lauk hewani memiliki deviasi negatif terhadap
standar porsi, sedangkan buah, sayuran, lauk nabati memiliki deviasi positif dari standar porsinya.
Pada diet saring, semua kategori makanan memiliki deviasi negatif terhadap standar porsinya. Pada
makanan cair, semua sampel makanan cari memiliki deviasi positif terhadap standar porsi. Meski
secara persentase deviasi baik, antar kategori makanan dan jam layanan memiliki deviasi yang
berbeda (baik positif maupun negatif). Inkonsistensi dalam penyajian makanan ini terjadi apabila
sering melebihi nilai toleransi ± 10% dari porsi standar.

· Secara keseluruhan, pemorsian yang dilakukan telah mendekati standar porsi yang ditetapkan.
Namun, beberapa hal perlu dievaluasi kembali terkait konsistensi pemorsian terlebih pada lauk nabati
(bukan produk tempe atau tahu) dan sayuran. Kemudian, untuk makanan pokok (nasi dan bubur
havermut) masih kurang memenuhi standar, tetapi pemberian saus santan cenderung berlebih. Hal
pemorsian ini dapat diantipasi dengan pemakaian alat takar (seperti gelas takar untuk menuang saus
santan) dan sendok khusus untuk menuang bubur havermut. Pemakaian mangkuk untuk menakar nasi
sudah dilakukan, namun perlu diperhatikan kepadatan nasi saat dicetak dalam mangkuk.

· Sementara itu, porsi makanan cair pada dasarnya telah sesuai, walaupun ada beberapa jenis ada
yang berlebih dan kurang sekitar 20 cc. Hal ini dapat diantisipasi dengan ketelitian menggunakan
gelas ukur pada saat menuangkan ke botol makanan cair.
· Permintaan diet khusus dari hari ke hari tidak konstan. Hal ini disebabkan fluktuasi jumlah pasien
dan kebutuhan gizi yang berubah seiring dengan perkembangan kondisi pasien. Secara umum,
produk diet khusus yang tersedia di Produksi Makanan sudah lengkap dan terdapat pembedaan sesuai
dengan jenis penyakit, karakteristik usia, serta penambahan zat gizi tertentu. Sementara itu, selain
makanan cair tersebut, Produksi Makanan juga melayanai makanan untuk pasien yang menjalani
FEES (A Fiberoptoc Endoscopic Evaluation of Swallowing) test. Makanan untuk kondisi ini dibuat
di area pengolahan makanan cair, dengan jenis : 1) Bubur nasi, 2) Havermut, 3) Susu, 4) Bubur sum-
sum, 5) Air manis, yang biasanya diberi tambahan pewarna makanan agar tampilan dan rasa
bervariasi. Penyajian makanan ini menggunakan gelas plastik yang dilengkapi dengan tutup dan label
jenis makanan. Sedangkan, untuk penyajian makanan cair jenis FK dan FRS menggunakan wadah
botol kaca yang dilengkapi dengan takaran ukuran dalam mililiter.

· Namun, salah satu hal penting lainnya pada kegiatan distribusi makanan, selain ketepatan waktu
penyajian makanan adalah ketepatan suhu makanan. Batas kritis suhu makanan untuk dilayani
kepada pasien adalah > 600C. Beberapa jenis makanan telah mencapai suhu di bawah 600C saat
dilakukan pengemasan, baik di sentralisasi maupun di desentralisasi. Untuk mengantisipasi hal ini,
optimasi dalam penggunaan bain marie dapat dilakukan mengingat fungsi utama bain marie adalah
sebagai pemelihara suhu yang bersifat portable. Kondisi di area distribusi, penggunaan bain marie
belum optimal dikarenakan alat tersebut sedang mengalami kerusakan dan belum diperbaiki.
Koordinasi dengan pengawas dan teknisi perlu dilakukan agar pemeliharaan fasilitas dapat dilakukan
secara reguler.

· Kegiatan sebelum dilakukan distribusi makanan adalah pemeriksaan buku makanan yang
dilakukan oleh petugas pramusaji. Petugas tersebut memastikan kesesuaian catatan diet pada buku
makanan pasien dengan etiket makan pasien. Etiket makan pasien berbentuk stiker yang dilengkapi
dengan nama pasien, nomor rekam medis, jenis kelamin, tanggal lahir, jenis ruang, dan jenis diet.
Keterangan alergi, pantang, dan bentuk makanan (lauk pauk cincang) ditulis dengan menggunakan
pena secara manual pada space yang tersedia di area bawah etiket. Koordinasi antara ahli gizi
ruangan dan petugas distribusi dilakukan dengan menggunakan jaringan komunikasi internal
(Whatsapp group) untuk menginformasikan terkait perubahan, penambahan, dan pengurangan
makanan yang sangat mungkin terjadi dalam setiap jam layanan.

· Pemorsian makanan matang ke dalam wadah makan pasien (plato melamin) dilakukan secara
bergiliran. Petugas dibagi menjadi beberapa fungsi sesuai dengan kategori masakan, yaitu pengisian
makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah. Petugas di bagian pengemasan akhir alat
makan pasien memastikan semua jenis makanan sudah dimasukkan ke dalam wadah pasien sesuai
dengan etiket dietnya, kemudian dibungkus dengan plastik wrap.

· Selanjutnya, langkah akhir yaitu memasukkan wadah makanan pasien yang telah dibungkus
plastik wrap ke dalam troli makan pasien. Troli makan pasien dibedakan sesuai dengan jenis ruangan
untuk menghindari kesalahan penghantaran dan pemberian makanan ke pasien, sekaligus
mempermudah petugas dalam proses pengemasan. Buku makanan diletakkan di bagian atas troli
sebagai dasar pembagian makan ke pasien. Troli dilengkapi dengan pengontrol suhu. Namun,
berdasarkan pengamatan, pengontrol suhu belum digunakan secara optimal. Sehingga, suhu makanan
dalam troli relatif sudah berkurang. Hal ini dapat diantisipasi dengan optimasi penggunaan kontrol
suhu pada troli makan pasien, sehingga makanan yang sampai ke pasien masih dalam kondisi hangat
(> 600C). Kontrol suhu makanan pasien berdasarkan aturan tersebut ditujukan agar makanan tidak
mencapai Temperatur Danger Zone (TDZ), yaitu 7.2-600C (Kemenkes RI 2013; Kusuma 2017)

Anda mungkin juga menyukai