Anda di halaman 1dari 27

A.

Latar Belakang
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal akan nilai
adat istiadat dan nilai budaya yang kental akan kekhasannya. Bentuk adat istiadat
dan nilai budaya Bali yang khas ini salah satunya diterapkan dalam bentuk
pemerintahan Desa. Desa di Bali mempunyai dua bentuk pemerintahan Desa,
yaitu Desa dinas dan Desa adat atau Desa pakraman. Masing – masing Desa
memiliki fungsi, sistem serta struktur organisasi yang berbeda. Desa dinas yang
dimaksud adalah pengertian Desa yang tertuang dalam Undang – undang Nomor
32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019
menyatakan bahwa Desa adat yang tumbuh berkembang selama berabad-abad
serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur
rumah tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi sangat besar terhadap
kelangsungan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Desa adat dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut dengan Bendesa
Adat atau Kelihan Desa Adat. Pada Desa adat yang memiliki wilayah yang luas
dan krama (warga) yang banyak maka Desa tersebut akan terbagi menjadi
beberapa Banjar adat yang disebut Kelihan Adat dan yang membantunya disebut
sebagai prajuru adat (Surpha, 2004:14). Pada Desa adat terdapat pula semacam
hukum tertulis yang disebut dengan awig-awig. Awig-awig ini disusun serta
disahkan berdasarkan kesepakatan bersama Bendesa adat, prajuru adat serta
krama Desa adat melalui paruman atau pesangkepan. Desa adat berfungsi untuk
menata dan mengatur kehidupan paguyuban dari warga desanya sebagai suatu
Desa adat, yaitu unsur warganya yang dinamakan pawongan, unsur wilayah
desanya dinamakan palemahan, dan unsur tempat-tempat pemujaan bagi warga
desanya yang dinamakan parhyangan yang dikenal dengan istilah Tri Hita
Karana. Berdasarkan fungsinya, diprogramkanlah tugas-tugas Desa yang
dituangkan dalam bentuk awig-awig Desa, baik yang tertulis maupun yang tidak

1
tertulis (Surpha, 2004: 16-17). Selain itu Desa adat, khususnya di Bali, saat ini
mengemban dua fungsi utama yaitu 1) Fungsi kebudayaan adalah fungsi
memelihara dan pengembangan budaya, 2) Fungsi ekonomi adalah fungsi
pemeliharaan dan kebudayaan sebagai potensi ekonomi, serta pengelolaan
lembaga-lembaga ekonomi milik Desa adat untuk menopang kebutuhan ekonomi
dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi mereka (Sukandia,2010). Sebagai fungsi
ekonomi, Desa adat melakukan pengelolaan dan mengembangkan padruwen serta
utsaha Desa adat yang juga diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4
Tahun 2019. Dalam pengelolaan padruwen serta utsaha yang dikelola desa adat
harus sesuai dengan potensi berbasis kearifan lokal, sumber daya yang dimiliki
Desa adat, serta yang terpenting adalah harus sesuai dengan apa yang menjadi
kebutuhan dari krama Desa adat.
Desa Adat Buleleng merupakan salah satu Desa adat yang terletak di
Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Desa Adat Buleleng yang disebut pula dengan
“Desa Adat Kota” ini memiliki 14 Banjar adat yang masing-masing memiliki
wilayah yang luas. Keempat belas Banjar adat ini antara lain Banjar Liligundi,
Banjar Bale Agung, Banjar Paketan, Banjar Tegal, Banjar Kaliuntu, Banjar
Kampung Anyar, Banjar Kampung Baru, Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar
Tengah, Banjar Peguyangan, Banjar Petak, Banjar Penataran dan Banjar Delod
Peken. Desa Adat Buleleng tidak hanya melayani dan mengayomi krama Desa
adat dalam urusan adat dan agama Hindu. Namun, Desa adat Buleleng juga
mengembangkan potensi Desa dengan membentuk unit usaha. Selain memiliki
Labda Pacingkreman Desa (LPD) sebelumnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD),
Desa Adat Buleleng juga memiliki unit usaha penyewaan kompor mayat. Kompor
mayat ini lazim dipergunakan saat ada upacara pengabenan atau makingsan di
geni yang disebut juga upacara pembakaran mayat. (https://www.nusabali.com).
Bendesa Adat Buleleng I Nyoman Sutrisna, menjelaskan bahwa unit usaha
penyewaan kompor mayat yang dikelola Desa adatnya dimulai sejak tahun 2016.
Pembentukan unit usaha itu bermula saat tercetusnya ide dalam paruman
bagaimana meringankan beban masyarakat yang sedang mengalami kedukaan.
Saat itu pula Bendesa Sutrisna langsung mengangkat tenaga adat yang bertugas
operasional antara lain bersih-bersih di setra dan pengoperasian kompor mayat.

2
“Awalnya ada usulan dari krama. Karena ongkos sewa kompor mayat saat
pangabenan atau makingsan di geni itu lumayan mahal. Dari usulan itu kami
tampung dan mulai unit usaha dengan membeli perlengkapannya,” jelas Bendesa
adat yang Kepala Dinas Pariwisata Buleleng ini. (https://www.nusabali.com).
Usaha penyewaan tentunya ada yang disebut dengan harga sewa. Harga
sewa secara umum diartikan sebagai besarnya nilai berupa uang yang harus
dibayarkan kepada pihak penyedia barang agar dapat menggunakan barang yang
disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut dalam hal ini barang yang
disewa berupa kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng. Harga sewa
kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng ini jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan harga sewa kompor mayat yang berada di luar Desa Adat
Buleleng. Sejak berjalan pertama kali tahun 2016, penyewaan kompor mayat
milik Desa Adat Buleleng hanya dikenakan Rp 850.000,00 kepada krama yang
bernaung di Desa Adat Buleleng, meliputi 14 banjar adat. Nominal harga sewa itu
relatif murah, jika dibandingkan dengan harga penyewaan di luar Desa adat yang
rata-rata Rp 1.500.000,00 satu kali prosesi. (https://www.nusabali.com).
Harga sewa dari penyewaan kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat
Buleleng penentuannya tidak sepenuhnya menggunakan prinsip perhitungan
umum yang dilakukan entitas bisnis. Harga sewa kompor mayat pada Desa Adat
Buleleng ditentukan berdasarkan paruman seperti yang disampaikan oleh
informan bernama Bapak I Nyoman Sutrisna selaku Bendesa Adat Buleleng yang
salah satunya menangani usaha penyewaan kompor mayat . Beliau mengatakan
bahwa:
“Mengapa harga sewa kompor mayat disini lebih murah? Karena kami
sepakat menjalankan utsaha dengan prinsip NEEKAT yaitu niat membantu dan
meringankan krama, efektif, efisien, kreatif, aktif serta transparan dalam
menjalakan usaha serta penentuan harga sewa yang murah tersebut didasarkan
atas paruman. Karena memang dari awal ide pembentukan usaha ini dari paruman
sehingga penentuan harganya pun harus di paruman kan, agar nantinya krama
kami bisa menjangkau harga sewa karena memang tujuan utamanya adalah
meringankan krama. Selain itu, kami fokus utamanya adalah lebih mengutamakan
pelayanan di samping memperoleh laba.”
Berdasarkan hasil observasi awal menunjukkan bahwa harga sewa yang
ditentukan oleh Desa Adat Buleleng adalah lebih murah jika dibandingkan dengan
usaha penyewaan sejenis di luar Desa Adat Buleleng.

3
“Penyewaan sejenis di luar Desa Adat Buleleng ini ada di Desa Adat
Banyuning, Desa Adat Penglatan dan Desa Adat Pemaron yang baru saya
ketahui” tambah Bendesa Adat Buleleng I Nyoman Sutrisna.
Dengan demikian, berdasarkan berita, hasil observasi dan wawancara
tersebut dapat disimpulkan bahwa harga sewa yang ditentukan untuk usaha
penyewaan kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng tidak
sepenuhnya menggunakan prinsip perhitungan umum yang dilakukan oleh entitas
bisnis, namun didasarkan pada paruman. Paruman ini dilakukan oleh Bendesa
Adat, prajuru adat, kelian adat maupun krama yang berdiskusi untuk
menghasilkan sebuah kesepakatan terkait penentuan harga sewa kompor mayat
yang memang tujuan utamanya adalah untuk meringankan beban krama yang
sedang mengalami kedukaan. Penelitian terkait penentuan harga sewa berdasarkan
paruman ini menarik untuk diteliti karena nantinya akan bisa menetapkan harga
sewa yang berubah-ubah sesuai dengan kesepakatan yang dihasilkan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
menganalisis penentuan harga sewa yang tidak sepenuhnya menggunakan prinsip
perhitungan umum namun berdasarkan atas paruman yang disesuaikan dengan
potensi serta kebutuhan dari krama Desa Adat Buleleng. Sehingga, peneliti
mengangkat judul “Analisis Penentuan Harga Sewa Berdasarkan Paruman
pada Usaha Penyewaan Kompor Mayat yang Dikelola oleh Desa Adat
Buleleng, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka identifikasi
masalah yang menjadi bahan dalam penelitian yaitu :
1. Harga sewa kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng
lebih rendah daripada harga sewa kompor mayat yang dikelola oleh
usaha penyewaan sejenis.
2. Harga sewa kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng
tidak sepenuhnya menggunakan prinsip perhitungan umum.
3. Desa Adat Buleleng menentukan harga sewa kompor mayat
berdasarkan paruman agar sesuai dengan tujuan yaitu meringankan
beban krama adat.

4
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang terjadi di Desa Adat Buleleng,
Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, maka penelitian ini memfokuskan
pada penentuan harga sewa kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat
Buleleng. Penentuan harga sewa kompor mayat ini tidak sepenuhnya dilakukan
dengan prinsip perhitungan umum entitas bisnis namun berdasarkan pada
paruman.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang sudah dipaparkan sesuai
dengan kejadian yang terjadi disini peneliti merumuskan permasalahan dalam
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang Desa Adat Buleleng, Kecamatan Buleleng,
Kabupaten Buleleng mengelola usaha penyewaan kompor mayat?
2. Bagaimana dasar maupun prosedur penentuan harga sewa berdasarkan
paruman pada usaha penyewaan kompor mayat milik Desa Adat
Buleleng?
3. Bagaimana implikasi dari ketentuan harga sewa berdasarkan paruman
pada usaha penyewaan kompor mayat bagi Desa Adat Buleleng dan
krama Desa adat Buleleng?
E. Tujuan Penelitian
Bedasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian dari penelitian ini
yaitu :
1. Untuk mengetahui latar belakang Desa Adat Buleleng, Kecamatan
Buleleng, Kabupaten Buleleng mengelola usaha penyewaan kompor
mayat.
2. Untuk mengetahui dasar maupun prosedur penentuan harga sewa
berdasarkan paruman pada usaha penyewaan kompor mayat milik
Desa Adat Buleleng.
3. Untuk mengetahui implikasi dari ketentuan harga sewa berdasarkan
paruman pada usaha penyewaan kompor mayat bagi Desa Adat
Buleleng dan krama Desa adat Buleleng.

5
F. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut;
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan menjadi bahan informasi serta mampu
memperluas wawasan terkait jenis-jenis usaha pada Desa Adat yang
mana usaha tersebut disesuaikan dengan potensi serta kebutuhan krama
Desa adat itu sendiri.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis atau Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
khususnya di bidang jenis-jenis usaha pada Desa Adat Buleleng serta
mengetahui bahwa penentuan harga sewa suatu barang tidak
selamanya kaku menggunakan prinsip perhitungan yang berlaku
umum namun juga berdasarkan atas kesepakatan melalui paruman
sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
b. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
seluruh masyarakat serta Lembaga Desa Adat agar dalam
menjalankan usaha harus disesuaikan dengan potensi serta kebutuhan
masyarakat Desa dalam hal ini disebut krama Desa Adat juga tetap
menjungjung prinsip ringankan krama atau saling tolong menolong
diluar mencari keuntungan. Dimana, orientasi dari sebuah usaha
tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi juga hubungan yang
harmonis agar tidak ada pihak yang dirugikan.
c. Bagi Universitas Pendidikan Ganesha
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan pengetahuan
bagi kemajuan akademisi serta mampu memberikan sumber referensi
untuk penelitian selanjutnya.

6
G. Kajian Pustaka
1. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai pedoman dalam
penelitian ini antara lain sebagai berikut.

Tabel 1
Kajian Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian
(Tahun)
1. Ajeng Penentuan Harga Proses penetapan harga sewa
Iswahyuningtyas Sewa Ruang Kapas ruang dilakukan dengan
(2011) Krampung Plaza menggunakan dua pendekatan
(Kaza) yang pertama faktor internal
dengan menganalisa biaya tetap
dan biaya variable dan yang
kedua faktor eksternal dengan
membuat kurva permintaan
melalui survey kuisioner kepada
para penyewa dan penyewa plasa
sejenis. Hasil dari penelitian ini
berupa harga sewa sebesar Rp.
1.010.000/unit/bulan dengan unit
yang ditawarkan 32 m2 sebesar
Rp. 31.600/m2 /bulan dihitung
dengan perhitungan kurva biaya
dan kurva permintaan.
2. Eni Analisis Penentuan Hasil penelitian menunjukkan
Candraningsih Harga Sewa dengan bahwa : (1) pengelolaan usaha
(2018) Mengedepankan dilatarbelakangi oleh tingginya
Prinsip Menyama kebutuhan masyarakat akan alat-
Braya pada Usaha alat tersebut saat melaksanakan
Penyewaan Alat- suatu acara/kegiatan, (2) prinsip
Alat Suka Duka menyama braya dikedepankan
pada Bumdes dalam penentuan harga sewa, (3)
Gerbang Sadu implikasi dari penentuan harga
Mandara (GSM) sewa tersebut yakni Desa Ularan
Jagat Ditha di Desa disamping memperoleh
Ularan, Kecamatan pendapatan melalui hasil usaha
Seririt, Kabupaten BUMDes, secara tidak langsung
Buleleng juga dapat dikatakan sukses
dalam menjamin kesejahteraan
masyarakat melalui pengelolaan
BUMDes, BUMDes GSM Jagat
Ditha mendapat laba sosial

7
disamping mendapat laba
keuangan, serta seluruh
masyarakat merasa sangat
terbantu sehingga dapat
menghemat pengeluaran.
3. Denamar dan Paruman Agung Hasil penelitian menunjukkan
Dharma Desa Adat Jimbaran: bahwa proses penyelesaian
(2019) Proses dan Kekuatan masalah adat melalui paruman
Hukum Mengikat agung dilakukan dengan cara
Penyelesaian Wicara sebagai berikut: (1) mengetahui
Adat terjadinya penggelapan dana
desa; (2) dilaksanakan rapat adat
di masing-masing banjar; (3)
disepakati dari hasil rapat di
banjar untuk melaksanakan
paruman agung; (4) Bendesa
yang melakukan penggelapan
dana di berhentikan; dan (5)
prajuru yang dianggap bersalah
wajib melaksanakan pengaskara
desa. Setelah dilaksanakannya
paruman agung sebagai lembaga
peradilan adat maka hasil
paruman agung tersebut bersifat
mengikat setelah ditanda tangani
oleh Bendesa adat.

2. Landasan Teori
Dalam rangka mengkaji masalah atau menjawab pertanyaan penelitian
sebagaimana dikemukakan pada uraian di atas, maka diperlukan beberapa teori
yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teori sangat penting guna
memberikan landasan bagi arah penelitian ini. Berkenaan dengan itu ada beberapa
pokok pikiran yang perlu dipaparkan sebagai berikut.

2.1 Latar Belakang Pembentukan Usaha yang Dikelola Desa Adat


Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu Desa Dinas dan
Desa Adat. Desa Dinas didefinisikan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang
secara struktural dan teritorial berkaitan dengan tugas - tugas pemerintah pusat.
Sedangkan Desa Adat diartikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang
menjalankan aturan pemerintahannya secara otonom, demokratis, mencakup

8
wilayah tertentu (hak ulayat) yang jelas batas-batasnya, memiliki pemimpin,
peraturan (awig-awig) untuk warganya, memiliki kekayaan dan secara hirarkis
tidak berada di bawah satu kekuasaan yang lebih tinggi (Parimartha, 2013:24).
Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 menyatakan terdapat dua
pengertian tentang Desa. Pertama, “Desa” dalam pengertian hukum nasional,
sesuai dengan batasan yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang No. 5
Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Desa dalam pengertian ini melaksanakan
berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal
dengan istilah “Desa Dinas” atau “Desa Administratif”. Desa dalam pengertian
yang kedua, yaitu Desa Adat atau Desa Pakraman, mengacu kepada kelompok
tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura
utama (Kahyangan Tiga). Dasar pembentukan Desa adat dan Desa dinas memiliki
persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung
sebuah Desa dinas tidak selalu kongruen dengan Desa adat. Di samping itu, Desa
dinas menjalankan pembangunan berdasarkan Undang-undang, sedangkan Desa
adat menjalankan kewenangannya berdasarkan awig-awig, perarem dan
kesepakatan krama Desa.
Desa adat memiliki identitas unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat
hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas yang membedakannya dengan
kelompok sosial lain. Ciri khas pembeda tersebut antara lain adanya wilayah
tertentu yang mempunyai batas-batas yang jelas yang sebagian besar warganya
berdomisili di wilayah tersebut dan adanya bangunan suci milik Desa adat berupa
Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa (Dharmayuda, 2001).
Eksistensi Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan
dikukuhkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986, yang
mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa adat sebagai kesatuan
masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Bali. Kelembagaan Desa adat bersifat
permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana. Pengertian Desa adat mencakup dua hal,
yaitu : (1) Desa adatnya sendiri sebagai suatu wadah, dan (2) Adat istiadatnya
sebagai isi dari wadah tersebut. Desa adat merupakan suatu lembaga tradisional
yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu
di Bali. Selain itu juga, Desa adat dilandasi oleh prinsip Tri Hita Karana, yaitu :

9
(1) Parahyangan (hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang Widhi
Wasa), (2) Pelemahan (hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat
tinggalnya), dan (3) Pawongan (hubungan antara sesama manusia, sebagai
makhluk ciptaan-Nya) (Dharmayuda, 2001).
Desa adat saat ini telah memiliki regulasi dan kekuatan hukum yang lebih
kuat karena Peraturan Daerah (Perda) Desa adat sudah disahkan. Peraturan daerah
itu adalah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019, yang terdiri dari 18 Bab dan
104 Pasal. Melalui Perda ini pula untuk pertama kalinya Desa adat diakui secara
resmi dan eksplisit sebagai subyek hukum dengan kedudukan hukum yang jelas
dan tegas. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Pasal 28
menjelaskan bahwa:
(1) Tata pemerintahan Desa Adat terdiri atas unsur kelembagaan pemerintahan
Desa Adat dan lembaga pengambilan keputusan.
(2) Kelembagaan pemerintahan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. Prajuru Desa Adat;
b. Sabha Desa Adat;
c. Kerta Desa Adat; dan
d. Banjar Adat/Banjar Suka-Duka atau sebutan lain.
(3) Lembaga pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. Paruman Desa Adat; dan
b. Pasangkepan Desa Adat;
Mengenai Kelembagaan Pemerintahan Desa Adat Pasal 29 menyebutkan
bahwa:
(1) Prajuru Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a
paling sedikit terdiri atas:
a. Bandesa Adat atau sebutan lain;
b. Patajuh Bandesa Adat atau pangliman atau sebutan lain;
c. Panyarikan atau juru tulis atau sebutan lain; dan
d. Patengen atau juru raksa atau sebutan lain.

10
(2) Bandesa adat atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dipilih oleh Krama Desa secara musyawarah mufakat.
(3) Prajuru Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan
huruf d, ditunjuk dan ditetapkan oleh Bandesa Adat dalam Paruman Sabha
Desa Adat.
(4) Pemilihan Bandesa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penunjukan
Prajuru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Awig-Awig dan
/atau Pararem.
(5) Masa jabatan Prajuru Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan Awig-Awig dan/atau Pararem yang berlaku di Desa Adat setempat.
(6) Prajuru Desa Adat melaksanakan tugas dan wewenang secara kolektif
kolegial.
(7) Prajuru Desa Adat dapat mengangkat staf administrasi umum dan keuangan
sesuai kebutuhan.
Perubahan status hak dan fungsi atas tanah Desa adat harus dilakukan
berdasarkan kesepakatan melalui paruman Desa adat/Banjar adat bersangkutan.
Penegasan dan perluasan tugas serta wewenang Desa Adat termasuk kewenangan
lokal berskala Desa adat yang meliputi mengatur, mengurus, dan mengayomi
penyelenggaraan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan Desa adat.
Selanjutnya memelihara dan mengembangkan sistem dan pelaksanaan
hukum adat; menyelenggarakan Sabha Desa Adat dan Kerta Desa Adat;
memajukan adat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal masyarakat
Desa adat. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan nilai Sad Kerthi dengan
menyelenggarakan pasraman berbasis keagamaan Hindu untuk pengembangan
jati diri, integritas moral, dan kualitas masyarakat Bali, memelihara keamanan
Desa adat mengembangkan perekonomian Desa adat, menjaga keberlangsungan
status hak alas tanah padruwen Desa adat, menjaga kesucian, kelestarian,
kebersihan, dan ketertiban palemahan Desa Adat. Sementara itu terkait dengan
Peraturan Gubernur Bali No. 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Adat di Bali mengatur Pendapatan Desa Adat bersumber dari pendapatan asli
Desa adat, hasil pengelolaan padruwen Desa adat, alokasi APBD Provinsi,
bantuan Pemerintah Kabupaten/Kota, bantuan Pemerintah Pusat hibah dan

11
sumbangan (dana punia), pihak ketiga yang tidak mengikat dan pendapatan lain-
lain Desa adat yang sah.
Dengan terbitnya Pergub Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa Adat, maka Desa Adat memiliki pendapatan dari hasil
pengelolaan padruwen Desa adat. Padruwen Desa adat adalah seluruh harta
kekayaan Desa adat baik yang bersifat immaterial maupun materil (Peraturan
Daerah Desa Adat Nomor 4 Tahun 2019).
Berdasarkan pemaparan diatas, bahwasannya Desa Adat Buleleng
melakukan pengelolaan usaha kompor mayat. Pengelolaan usaha kompor mayat
merupakan salah satu pengelolaan padruwen dari Desa adat Buleleng dan juga
sebagai salah satu implementasi dalam mewujudkan perekonomian Desa adat
karena dengan usaha penyewaan kompor mayat ini dapat memberikan lapangan
kerja bagi krama sebagai tenaga adat yang bertugas operasional antara lain
bersih–bersih di setra serta pengoperasian kompor mayat. Pengelolaan usaha
penyewaan kompor mayat ini yang sejak awal berdasarkan atas paruman dimana
krama mengeluhkan biaya dari penyewaan kompor mayat yang telalu mahal,
sehingga melalui paruman diputuskan untuk mengelola usaha penyewaan kompor
mayat dengan tujuan ringankan krama.

2.2 Penentuan Harga Sewa Berdasarkan Paruman


Harga dianggap sebagai faktor penting dan berpengaruh untuk
mendapatkan suatu barang atau jasa dan pelayanannya. Tanpa adanya harga, maka
transaksi tidak dapat terlaksana. Harga sendiri merupakan nilai barang atau jasa
yang diungkapkan dengan dalam satuan rupiah atau mata uang lainnya. Harga
memiliki beberapa istilah kata lainnya seperti tarif, gaji, upah, iuran, komisi dan
sebagainya.
Harga adalah suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang
dinyatakan dalam satuan moneter (Mulyadi, 2009). Menurut Tjiptono (2007)
harga adalah jumlah uang (satuan moneter) atau aspek lain (non moneter) yang
mengandung utilitas, kegunaan tertentu yang diperlukan untuk mendapatkan suatu
jasa. Selanjutnya menurut Kotler, harga adalah jumlah uang yang ditetapkan oleh
produk untuk dibayar oleh konsumen atau pelanggan guna menutupi biaya

12
produksi, distribusi, dan penjualan pokok termasuk pengembalian yang memadai
atas usaha dan resikonya (Juhari, 2016).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa harga merupakan salah satu
penentu keberhasilan suatu perusahaan karena harga menentukan seberapa besar
keuntungan yang akan diperoleh perusahaan dari penjualan produknya baik
berupa barang maupun jasa yang ditawarkan.
Pengertian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan dengan pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya
akan kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga yang diperoleh oleh pihak tersebut belakangan itu
disanggupi pembayarannya (Subekti dan Tjitrosudibio, 2008:381). Secara yuridis
pengertian sewa menyewa dijelaskan dalam Pasal 1548 KUHPerdata, yang
berbunyi sebagai berikut : “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepda pihak yang lainnya kenikmatan
dari segala barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga,
yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu
dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan membayar
uang sewa. Adapun contoh sewa menyewa dalam kehidupan sehari – hari seperti
sewa mobil, sewa kamar hotel, kontrak mengontrak tanah untuk lahan perkebunan
maupun pertanian. Dalam sewa menyewa tentunya harus ada beberapa unsur
seperti ada 2 (dua) orang yang saling mengikatkan diri, ada unsur pokok yaitu
barang, harga dan jangka waktu sewa dan adanya kenikmatan yang diserahkan.
Kenikmatan dalam hal ini adalah penyewa dapat menggunakan barang yang
disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut. Bagi pihak yang menyewakan
akan memperoleh imbalan berupa uang, barang, atau jasa menurut apa yang
diperjanjikan sebelumnya. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa harga sewa adalah besarnya nilai berupa uang yang harus dibayarkan
kepada pihak penyedia barang agar dapat menggunakan barang yang disewa serta
menikmati hasil dari barang tersebut.
Penetapan harga selalu menjadi masalah bagi setiap perusahaan karena
penetapan harga ini bukanlah kekuasaan atau kewenangan yang mutlak dari

13
seorang pengusaha serta pihak perusahaan. Penetapan harga dapat menciptakan
sebuah hasil penerimaan penjualan dari produk yang dipasarkan atau dihasilkan
Walaupun penetapan harga merupakan hal penting, namun masih banyak
perusahaan yang kurang sempurna dalam menangani masalah penetapan harga
tersebut. Hal ini karena menghasilkan penerimaan penjualan, maka harga
mempengaruhi tingkat penjualan serta share pasar yang dapat dicapai perusahaan
(Tjiptono, 1997:223). Harga yang ditetapkan harus dapat menutup semua ongkos,
atau bahkan lebih dari itu, yaitu untuk mendapatkan laba. Tetapi jika harga
ditentukan terlalu tinggi akan berakibat kurang menguntungkan. Kebijakan
penetapan harga oleh manajemen idealnya memastikan pemulihan atas semua
biaya dan mencapai laba, dalam kondisi yang sesulit apapun. Penetapan harga
sewa yang menguntungkan memerlukan pertimbangan atas biaya, selain itu
permintaan juga merupakan faktor penentu dalam penetapan harga, (Carter dan
Usry, 2004). Menurut Kotler dan Amstrong (2001), penetapan harga produk
dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
meliputi : tujuan pemasaran, strategi bauran pemasaran, biaya, dan pertimbangan
organisasi. Faktor eksternal meliputi : sifat pasar dan permintaan, pesaingan, dan
faktor lingkungan (ekonomi, pedagang dan pemerintah).
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa
Adat Bab I, Pasal 1 Paruman Desa Adat atau yang disebut dengan sebutan lain
Lembaga pengambil keputusan tertinggi menyangkut masalah prinsip dan
strategis di Desa Adat. Paruman atau (pasangkepan, sangkep desa adat) adalah
bentuk musyawarah yang sangat demokratis. Paruman umumnya membahas hal-
hal yang dianggap perlu dan biasa diselenggarakan secara rutin (nityakala) atau
juga insidental (padgatakala). Setiap krama Desa Adat memiliki hak suara yang
sama sehingga keputusan yang di ambil dapat memuaskan diri setiap orang untuk
mencapai kepuasan dan kebahagiaan dan kesentosaan bagi seluruh masyarakat.
Sangkepan maupun paruman Desa adat hendaknya diadakan secara rutin
dengan memasukkan teknologi dan manajemen modern dalam mengurus Desa
adat adalah sangat mutlak, sepanjang management modern itu mendukung
pelaksanaan ajaran agama Hindu. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun

14
2019 tentang Desa adat di Bali pada Bab VI mengenai Tata Pemerintahan Desa
Pasal 41 menyatakan bahwa:
(1) Paruman Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf a
merupakan lembaga pengambilan keputusan tertinggi Desa Adat untuk:
a. menetapkan Awig-Awig;
b. mengesahkan Bandesa/Kelihan dan/atau Prajuru terpilih; dan
c.mengesahkan hal-hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan Desa Adat.
(2) Paruman Desa Adat diselenggarakan oleh Prajuru Desa Adat dan dihadiri
oleh Krama Desa Adat serta perwakilan kelembagaan Desa Adat.
(3) Hal-hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan sebagai pelaksanaan Tri
Hita Karana yang meliputi:
a. penataan Desa Adat;
b. perencanaan pembangunan Desa Adat;
c. penyelenggaraan kerjasama Desa Adat;
d. pengelolaan Padruwen Desa Adat;
e. pengambilan keputusan terhadap rencana investasi di Desa Adat;
f. pembentukan dan pengelolaan LPD;
g. pembentukan dan pengelolaan BUPDA;
h. penambahan dan pelepasan Padruwen Desa Adat baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak;
i. pembangunan sarana dan prasarana adat-istiadat, keagamaan, tradisi, seni
dan budaya, serta kearifan lokal;
j. pengembangan pendidikan dalam bentuk Pasraman;
k. pelestarian dan pemberdayaan hak asal-usul, nilai adat, nilai agama, nilai
tradisi, nilai seni dan budaya, serta kearifan lokal; dan
l. hal-hal lain manut dresta.
(4) Paruman Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling
sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun atau dapat dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan (padgata kala).

15
(5) Dalam hal Prajuru Desa Adat tidak menyelenggarakan Paruman Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Paruman Desa Adat dapat
diselenggarakan atas prakarsa anggota tertua atau termuda Sabha Desa Adat
(6) Keputusan Paruman Desa Adat mengikat secara hukum bagi seluruh Krama
Desa Ada.
Proses musyawarah maupun rembug adat di Bali dikenal dengan istilah
paruman atau pertemuan (Dwita, 2010:5 dalam Ekawati terdapat di
https://books.google.co.id/ ). Pendekatan yang dilakukan prajuru adat terhadap
krama Desanya adalah dengan mengadakan sangkep atau paruman. Di dalam
melaksanakan atau mengadakan sangkep atau paruman ini tentu diperlukan suatu
teknik berbicara. Teknik berbicara yang dimaksud adalah teknik komunikasi.
Teknik ataupun cara-cara yang dimaksud adalah suatu teknik yang mampu
membantu proses komunikasi agar berjalan dengan baik. Teknik komunikasi yang
digunakan dalam penentuan keputusan pengelolaan organisasi dalam hal ini Desa
adat dengan mengadakan sangkep atau paruman. Sangkep berasal dari kata
jangkep atau nyangkepang yang memiliki arti mengawinkan. Dalam hal ini dapat
diartikan sebagi mengawinkan atau menyatukan pendapat masyarakat Banjar dari
empat penjuru mata angin. Saat berlangsungnya sangkep atau paruman tersebut
Bendesa adat menggunakan teknik komunikasi kelompok. (Suadyana dalam
https://www.academia.edu/).
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan informan Bapak I
Nyoman Sutrisna sebagai Bendesa adat Buleleng, pengelolaan usaha penyewaan
kompor mayat berdasarkan atas usulan krama melalui paruman. Sehingga,
dikelola usaha penyewaan kompor mayat dengan harga yang lebih murah jika
dibandingkan dengan usaha penyewaan sejenis. Harga yang lebih murah ini
ditentukan berdasarkan paruman. Karena melalui paruman (rapat) semua
pendapat dari krama maupun Kelian adat disatukan yang akhirnya diputuskan
untuk menentukan harga sewa kompor mayat agar sesuai dengan tujuan yaitu
meringankan krama dan juga lebih berfokus pada pelayanan disamping mencari
keuntungan.
Ketika menentukan harga, selain mengetahui dasar diperlukan juga
prosedur penetapan harga. Prosedur dalam penetapan harga barang atau jasa, yang

16
ditawarkan setiap perusahaan tidak menggunakan prosedur yang sama dalam
penetapan harga dimana menurut Stanton bahwa penetapan harga meliputi 5
tahap, yaitu:
a) Mengestimasi Permintaan Barang. Hal ini untuk lebih memudahkan
dilakukan terhadap permintaan barang yang ada dibandingkan dengan
permintaan barang baru. Pengestimasian tersebut dapat dilakukan dengan
jalan:
1) Menentukan harga yang diharapkan (expected price)
2) Mengestimasikan volume penjualan pada berbagai tingkat harga.
b) Mengetahui lebih dahulu reaksi dalam persaingan kebijaksanaan penentuan
harga tentu harus memperhatikan kondisi persaingan. Adapun sumber-sumber
persaingan yang ada dapat berasal dari :
1) Barang sejenis yang dihasilkan oleh perusahaan lain.
2) Barang pengganti ( substitusi)
3).Barang lain yang dibuat oleh perusahaan lain yang sama-sama
menginginkan uang konsumen.
c) Menentukan market share yang dapat diharapkan. Untuk mendapatkan
market share yang lebih besar harus ditunjang oleh kegiatan promosi dan
kegiatan lain dari persaingan non harga.
d) Memilih strategi harga untuk mencapai target pasar ada beberapa strategi
harga yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mencapai target pasar
yang sesuai yaitu:
1) Skim the cream pricing (penetapan harga penyaringan). Kebijakan
penetapan harga ini memiliki tujuan untuk menutupi biaya
pengembangan dan promosi.
2) Penetration pricing ( penetapan harga penetrasi) Kebijakan penetapan
harga ini bertujuan untuk mencapai volume penjualan yang sebesar-
besarnya dalam waktu relatif singkat.
e) Mempertimbangkan politik pemasaran perusahaan faktor lainnya harus
dipertimbangkan dalam penentuan harga adalah mempertimbangkan politik
pemasaran perusahaan dengan melihat barang, sistem distribusi dan program
promosinya.

17
3. Model Penelitian
Penelitian ini dilandasi oleh suatu kerangka pemikiran yaitu penentuan
harga sewa kompor mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng. Penelitian ini
bersifat unik karena penentuan harga sewa tidak sepenuhnya menggunakan dasar
perhitungan umum entitas bisnis namun berdasarkan paruman yang artinya
berdasarkan keputusan rapat dalam hal ini rapat adat dengan tujuan meringankan
beban krama adat.
Secara sederhana model penelitian dari penelitian ini dapat digambarkan
pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1
Model Penelitian
(Sumber: Hasil Pemikiran Peneliti)

18
H. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah rencana dari struktur penelitian yang
mengarahkan proses dan hasil penelitian sebisa mungkin menjadi objektif,
efisien, dan efektif. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Metode analisis deskriptif kualitatif adalah metode analisis yang digambarkan
dengan kata-kata atau kalimat yang terpisah-pisah menurut kategori untuk
memperoleh kesimpulan (Husein Umar:1998). Metode menelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkapkan dan
memahami fenomena yang belum diketahui (Sugiyono:2015). Dalam penelitian
kualitatif peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan
secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif.
Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkapkan dan memahami
suatu dibalik fenomena yang sedikitpun belum diketahui. Di sisi lain, penelitian
kualitatif akan mempertanyakan lebih dalam tentang kasus yang diteliti, sehingga
masih banyak kemungkinan salah atau benarnya pernyataan kita. Dalam hal ini
penelitian dilakukan di Kantor Desa Adat Buleleng. Penelitian ini difokuskan
pada penentuan harga sewa berdasarkan paruman pada usaha penyewaan kompor
mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng. Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab rumusan masalah dalam penelitian serta turut menentukan tujuan yang
ingin dicapai, sehingga rancangan penelitian diperlukan dalam melakukan
penelitian dari tahap awal sampai dengan tahap pelaporan hasil.
Berikut ini adalah gambar rancangan penelitian yang akan
dilaksanakan:

19
Gambar 2. Rancangan Penelitian
Sumber : Hasil Penelitian Penulis ( 2020)

2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana melakukan penelitian.
Penelitian ini dilakukan di Kantor Desa Adat Buleleng, Kecamatan Buleleng,
Kabupaten Buleleng. Lokasi penelitian ini dipilih mengingat Desa Adat Buleleng
disebut juga “Desa Adat Kota” merupakan salah satu Desa Adat di Bali yang
memiliki cukup banyak Banjar Adat yakni sebanyak 14 Banjar Adat. Selain itu,
Desa Adat Buleleng menjalankan usaha salah satunya pengelolaan usaha
penyewaan kompor mayat dimana usaha tersebut dikelola untuk meringankan
krama Desa Adat Buleleng dengan menawarkan harga sewa yang lebih rendah
karena berdasarkan atas keputusan dari paruman.

20
3. Subjek dan Objek Penelitian
Moleong (2010: 132) mendeskripsikan subjek penelitian sebagai informan
yang artinya orang pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari ; Bendesa Adat Buleleng, prajuru
adat yang bertugas khusus menangani penyewaan kompor mayat, krama adat yang
pernah melakukan penyewaan kompor mayat serta pelaku usaha yang mengelola
usaha penyewaan sejenis di luar Desa Adat Buleleng.
Sedangkan objek penelitian merupakan permasalahan yang diteliti dimana
objek dalam penelitian ini adalah harga sewa pada usaha penyewaan kompor
mayat yang dikelola oleh Desa Adat Buleleng, Kecamatan Buleleng, Kabupaten
Buleleng.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini lebih banyak menggunakan
data kualitatif. Straus dan Cobin (2003) menyatakan bahwa istilah penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperbolehkan
melalui prosedur statistik atau berbentuk hitungan lainnya. Tetapi bisa saja
menggunakan data yang dapat dihitung, misalnya data sensus namun analisisnya
bersifat kualitatif. Sumber data yang digunakan penelitian ini dibagi menjadi dua,
yaitu:
a) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian.
Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan
beberapa informan. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara
dengan pedoman wawancara. Wawancara dengan pedoman dimaksudkan untuk
wawancara yang lebih mendalam dengan memfokuskan pada persoalan –
persoalan yang akan diteliti.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data atau informasi yang diperoleh secara tidak
langsung dari objek penelitian yang bersifat publik yang terdiri atas struktur
organisasi dan arsip, dokumen, laporan-laporan serta buku-buku dan lain
sebagainya yang berkenaan dengan penelitian. Data ini diperoleh dengan

21
menggunakan studi pustaka yang dilakukan terhadap banyak buku dan diperoleh
berdasarkan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian. Selain itu,
peneliti mempergunakan data yang diperoleh dari internet. Peneliti juga
menggunakan data menggunakan dokumen yakni berupa data kepemilikan asset
berupa komponen kompor mayat serta dokumen lain yang berhubungan dengan
pengelolaan usaha penyewaan kompor mayat di Desa Adat Buleleng.
5. Menentukan Informan Penelitian
Informan penelitian merupakan para pemberi informasi yang mampu
untuk menjawab segala pertanyaan dibenak peneliti. Informan dalam penelitian
ini ditunjuk secara purposive sampling. Mereka yang ditunjuk ditentukan
kriterianya, dimana peneliti memilih orang-orang yang yang dinilai memiliki
pengetahuan dan mampu menjawab permasalahan peneliti. Beberapa narasumber
tersebut antaranya: Bendesa Adat Buleleng, prajuru adat yang bertugas khusus
menangani penyewaan kompor mayat, krama adat yang pernah melakukan
penyewaan kompor mayat serta pelaku usaha yang mengelola usaha penyewaan
sejenis di luar Desa Adat Buleleng.
6. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif deskriptif data yang terkumpul baik itu dari
data tertulis maupun lisan merupakan ujung tombak untuk memecahkan isu yang
ada agar kita dapat mengetahui fakta sebenarnya. Dalam penelitian ini, peneliti
memiliki tiga metode dalam pengumpulan data penelitian, yaitu sebagai berikut:
a. Wawancara mendalam
Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk
mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi,
perasaan dan sebaginya yang dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara yang
mengajukan pertanyaan kepada orang yang lain yang diwawancarai
(Purhantara, 2010:80). Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara
mendalam yaitu suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara
langsung bertatap muka dengan subjek (Purhantara,2010:82) dengan cara ini,
pewawancara akan mendapatkan gambaran lengkap, ekspresi, emosi,
perasaan, pendapat, pengalaman, dan lain-lain tentang topik yang sedang
diteliti. Setelah itu peneliti akan merekam hasil wawancara dengan tape

22
recorder, kemudian hasil rekaman akan diringkas sesuai informasi yang
dibutuhkan.
b. Observasi
Pengumpulan data yang kedua yaitu dengan melakukan observasi
langsung ke lokasi penelitian tersebut, dimana peneliti yang terjun langsung
sebagai instrumen penelitian. Observasi ini dilakukan untuk mendukung data
wawancara dan analisis dokumen, sehingga peneliti mampu mereduksi data
dan menafsirkan titik jenuh permasalahan menjadi sebuah jawaban yang
mampu menjawab rumusan masalah penelitian. Maka dari itu, pertanyaan
peneliti tetap merupakan patokan yang menuntun kegiatan observasi, mulai
dari identifikasi objek penelitian, penyusunan instrumen observasi, pemilihan
data observasi sampai dengan pemaknaan data pelaporan hasil observasi
(Komang:2014).
c. Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan dalam penelitian ini menggunakan bantuan dari
berbagai sumber buku, artikel ilmiah atau pendapat menurut para ahli untuk
membantu teori-teori yang sesuai dengan penelitian ini.
d. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan rekaman kejadian masa lalu yang ditulis atau
dicetak, mereka dapat berupa catatan, surat, buku harian, dan dokumen-
dokumen. Dokumen merupakan sumber data penting dalam analisis konsep
dan studi bersejarah (Suharsaputra, 2012:215). langkah-langkah terakhir yaitu
dengan melakukan pengambilan dokumentasi pada lokasi penelitian.
Kemudian dilakukan analisis terhadap dokumen yang didapatkan.
7. Metode dan Teknik Analisis Data
Peneliti menggunakan model Miles dan Humbermen dalam buku “Metode
Penelitian Kualitatif” (Moleong, 2010) mengenai metode dan teknik analisis data
kualitatif yang meliputi :
1) Pengumpulan Data
Data yang didapat peneliti dikumpulkan berdasarkan teknik
pengumpulann data yaitu melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi.

23
2) Reduksi Data
Reduksi data meliputi berbagai kegiatan yang bertujuan untuk
mempertajam analisis (Miles and Haberman, 1992 dalam Moleong, 2010).
Proses wawancara kepada informan terkadang keluar dari konteks panduan
wawancara yang disusun. Reduksi pada hasil wawancara ini dilakukan
dengan menghilangkan jawaban-jawaban dan informasi yang keluar dari
konteks pertanyaan pedoman wawancara.
Proses reduksi berkaitan dengan penilaian data dilihat dari
relevansinya dengan pertanyaan penelitian (masalah penelitian), Miles dan
Huberman (1992) dalam Moleong (2010) menyatakan bahwa reduksi data
(data reduction), sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian,
penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data yang muncul dari
catatan tertulis di lapangan maupun hasil wawancara maupun observasi.
Data yang berhasil dikumpulkan kemudian direduksi untuk keperluan
mengorganisasikan data dalam memudahkan penarikan kesimpulan.
Reduksi data dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian
berlangsung.
3) Penyajian Data
Penyajian data dilakukan terhadap data yang diperoleh melalui proses
wawancara, observasi, maupun studi dokumentasi. Data yang diperoleh
melalui proses wawancara dan observasi disajikan melalui penyusunan teks
naratif dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan,
pemaknaan konfigurasi dan alur sebab akibat. Data yang diperoleh melalui
studi dokumen disajikan dalam bentuk tabel-tabel untuk memudahkan
proses analisis.
4) Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan
Analisis data ditekankan pada penelitian sumber, mengungkap fakta
dengan menggunakan bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami,
kemudian data yang diperoleh diuraikan serta dikembangkan berdasarkan
teori yang ada. Hasil analisis ini dimanfaatkan dalam penarikan kesimpulan
penelitian yang menguraikan hal-hal yang hakiki, makna subjektif, temuan
konsep, dan proses universal atas permasalahan yang diteliti.

24
8. Keabsahan Data
Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.
Menurut Patton Moeleng (2005) Ada empat kriteria yang digunakan yaitu derajat
kepercayaaan, keteralihan, kebergantunga dan kepastian.
1. Kepercayaan (credibility). Kriteria ini berfungsi: pertama, melaksanakan
keikutsertaan sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuanya
dapat tercapai. Kedua, ketekunan pengamatan dalam pengecekan dari data
yang diperoleh, yang ketiga yaitu trianggulasi data dan yang keempat yaitu
mendiskusikan dengan teman-teman sejawat.
2. Keteralihan (Transferability). Keteralihan sebagai persoalan empiris
bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Dalam
penelitian ini, peneliti berusaha menyajikan laporan hasil penelitian untuk
memperkaya wacana ilmiah melalui penelitian secara terperinci atau uraian
yang cermat. Maka dari itu, peneliti bertanggungjawab menyediakan data
penelitian secukupnya. Keteralihan hasil penelitian biasanya berkaitan
dengan sejauh mana hasil penelitian itu dapat diterapkan dan digunakan
dalam situasi-situasi yang lain.
3. Kebergantungan (dependability). Peneliti menguji kembali hasil penelitian
melalui proses pemeriksaan yang cermat dan teliti terhadap seluruh
komponen dalam laporan keuangan hasil penelitian untuk meperbaiki
kesalahan sehingga penelitian dapat mencapai kesempurnaan.
4. Kriteria Kepastian (confirmability). Untuk mewujudkan kepastian peneliti
mendiskusikan dan mengonfirmasikan dengan pembimbing. Lebih lanjut
setiap saat dalam penulisan ini maupun konsep yang dihasilkan dari lapangan
dikonsultasikan dengan pembimbing sehingga diperoleh masukan untuk
menambah kepastian dari hasil penelitian.

25
DAFTAR RUJUKAN

Anselm, Strauss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.


Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Candraningsih, Komang Eni. 2018. Analisis Penentuan Harga Sewa Dengan
Mengedepankan Prinsip Menyama Braya pada Usaha Penyewaan Alat-
Alat Suka Duka Pada Bumdes Gerbang Sadu Mandara (GSM) Jagat Ditha
di Desa Ularan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Akuntansi Vol. 9 Nomor 1 Tahun 2018.
Carter, W.K dan Usry, M.F. 2004. Akuntansi Biaya (Terjemahan), Edisi 13.
Jakarta: Salemba Empat.
Denamar, Anak Agung Bagus Brabham dan I Gusti Ngurah Dharma Laksana.
2019. Paruman Agung Desa Adat Jimbaran: Proses dan Kekuatan Hukum
Mengikat Penyelesaian Wicara Adat. Diakses tanggal 27 Januari 2020
pada
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthadesa/article/view/54668/32377.
Dharmayuda, I.M.S., 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali.
Denpasar: Upada Sastra.
Ekawati. 2019. Peran Globalisasi Terhadap Perubahan Perilaku Masyarakat
Bali: Dalam Tinjauan Ekonomi, Politik dan Adat Bali. Diakses tanggal 27
Januari 2020. Terdapat pada https://books.google.co.id/
Husein, Umar. 1998. Riset Sumber daya Manusia Dalam Organisasi. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama
I Nyoman Sukandia, 2010, Sifat Suigeneris LPD Sebagai Lembaga Keuangan
Komunitas Dalam Pengaturan LPD Sebagai Lembaga Keuangan
Komunitas Pada Komunitas Masyarakat Desa Pakraman (Dalam Rangka
Seminar Nasional, Landasan Teoritik Pengaturan LPD Sebagai Lembaga
Keuangan Komunitas Pada Komunitas Adat di Bali.
Iswahyuningtyas, Ajeng. 2011. Penentuan Harga Sewa Ruang Kapas Krampung
Plaza (KAZA). Diakses tanggal 27 Januari 2020 pada
http://digilib.its.ac.id/
Kotler, Amstrong. 2001. Prinsip-prinsip pemasaran, Edisi keduabelas, Jilid 1.
Jakarta: Erlangga
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyadi. 2009. Akuntansi Biaya: Yogyakarta: STIE YKPN
NN. 2020 Ringankan Krama, Kelola Kompor Mayat. Kiat Desa Adat Buleleng
Menaungi 14 Banjar Adat. Diakses pada tanggal 25 Januari 2020 pada
https://www.nusabali.com/berita/67304/ringankan-krama-kelola-kompor-
mayat
NN. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Tersedia di
kbbi.kemdikbud.go.id/entri/religius. Diakses 26 Januari 2020
Parimartha, I Gede. 2013. Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali.
Denpasar: Udayana University Press.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.

26
Peraturan. Daerah Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi,
dan Peranan Desa Adat.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan
Desa Adat.
Purhantara, Wahyu. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Untuk Bisnis. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Roestiyah. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suadnyana, Gus Eka. 2019. Teknik Komunikasi Prajuru Adat. Diakses tanggal 27
Junuari 2020. Terdapat pada https://www.academia.edu/.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
PT. Pradya Paramita.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RdanD. Bandung:
Alfabeta.
Suharsaputra, Uhar. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
Tindakan. Bandung: PT Refika Aditama
Surpha, I Wayan. 2004. Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Bali:
Pustaka Bali Post.
Tjiptono, Fandy. 2007. Strategi Pemasaran, Edisi Pertama. Yogyakarta: Andi
Ofset.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

27

Anda mungkin juga menyukai