Bali
NusaBali.com - Perwakilan Desa Banyuning temui Komisi IV DPRD Bali kamis (8/3) soal dualisme pemimpin di
Desa Banyuning. .-SUKANTA
Kemarin para tokoh menyampaikan kepada Komisi IV DPRD Bali supaya bisa
menyelesaikan persoalan tersebut. Salah satunya kembali kepada awig-awig
tradisi adat yang lama sesuai tradisi. “Dengan menggunakan tradisi adat desa
kami aman-aman saja sejak dulu, semua berjalan dengan teratur, kegiatan
keagamaan berjalan dengan lancar,” tegasnya.
Sementara Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali Jro Gede Wayan
Suwena Putus Upadesa dikonfirmasi NusaBali mengatakan mengetahui
informasi pengaduan para tokoh adat Banyuning ke DPRD Bali. Jro Suwena
menyarankan supaya persoalan tersebut diselesaikan secara adat. “Kalau
MUDP sendiri belum sempat turun ke Banyuning walaupun kita juga ikuti
informasi tersebut (mengadu ke dewan). Karena persoalan seperti ini (Adat)
diselesaikan secara berjenjang. Ada Majelis Alit (Kecamatan), Ada Majelis
Madya (Kabupaten) dan MUDP (Provinsi). Kami sarankan persoalan adat
diselesaikan secara adat. Nanti ke Majelis Alit dulu, kalau tidak selesai ke Majelis
Madya. Tidak selesai baru ke MUDP ,” ujar pensiunan polisi berpangkat
Kombes ini.
Jro Suwena mengakui kalau jabatan di Desa Adat ada dua jenis. Ada yang
dijabat karena garis keturunan, ada yang dipilih krama secara demokrasi.
“Kalau yang berdasarkan garis keturunan biasanya itu terkait niskala. Sekarang
awig (aturan adat) atau Desa Kalapatra atau Desa Mewacara di Banyuning itu
seperti apa? Itu perlu dicek dulu. Kami akan koordinasi dengan Majelis Alit dulu.
Levelnya di kecamatan. Kami sih sarankan selesaikan secara adat. Karena ada
salurannya. Hukum adat dengan hukum positif itu berbeda. Jadi harus secara
adat,” ujar Jro Suwena.*nat
Salah satu tokoh adat asal Banyuning Timur Ketut Wenten menjelaskan, selama ini di
Desa Banyuning Timur ada dua pemimpin yakni Bendesa Adat berdasarkan keturunan
tradisi dan Klien Desa Pakraman melalui jalur demokrasi yang modern. "Jadi di Desa
Banyuning Timur ini ada dualisme kepemimpinan. Ada kepemimpinan Bendasa, ada
kepemimpinan Klien Desa Pakraman. Ini (bisa) munculnya konflik pribadi," ujarnya,
Kamis (08/03) kemarin.
Dari dulu, Desa Banyuning Timur dalam menentukan pemimpin berdasarkan garis
keturunan raja yang ada sejak dahulu, bahkan menjadi tradisi. Sementara
kepemimpinan versi Klien Desa Pakraman merupakan sistem kepemerintahan
berdasarkan mekanisme yang demokrasi dan modern. Justru, dengan adanya
pemerintahan desa yang modern cenderung lebih diskriminasi dalam hal membuat
aturan dan kebijakan. Misalnya saja dalam upacara di Pura. "Contohnya kalo ada
upacara di Pura itu tidak semua diundang, hanya orang orang tertentu saja. Padahal
aturan sebelumnya kalo ada upacara di Pura semua harus hadir," jelasnya.
Bukan hanya itu, dengan adanya dualisme tersebut, banyak aturan yang tumpang
tindih. Bila dibiarkan, tak menutup kemungkinan akan terjadi gesekan sosial yang
berkepanjangan karena sejak dualisme ini, hubungan warga antara banjar sangat tidak
akur. "Mumpung Klien Desa Pakraman akan berakhir pada bulan Mei, kami tetua-tetua
adat Desa Banyuning menginginkan alangkah baiknya kembali ke awig-awig tradisi
adat. Jadi dengan begitu desa kami aman. Dulu ketika masih menggunakan tradisi
adat desa kami aman aman saja. Semua berjalan dengan teratur upacara berjalan
dengan lancar," tegasnya.
Sementara itu, Komisi IV yang menerima para perwakilan dari Desa Banyuning Timur
menilai, awig-awig desa sudah jelas dan tegas dalam menyebutkan. Maka dari itu,
pemilihan Bendesa harus berdasarkan keturunan. "Mereka tegas dengan awek awek
bahwa pemilihan keberadaan Bendesa itu berdasarkan keturunan. Di Bali banyak yang
begitu bahkan ada yang nyan-nyan juga," tegas Ketua Komisi IV Nyoman Parta.
Desa Bungkulan masih konflik tapal batas dengan Desa Giri Emas
karena keberadaan Pura Alit dan banyak penduduk ber-KTP Bungkulan
di perbatasan Banjar Dauh Muduk dan Banjar Dangin Yeh
SINGARAJA, NusaBali
Sedikitnya 23 desa di wilayah Kabupaten Buleleng masih terbelit masalah
tapal batas. Pemkab Buleleng pun kembali menjadwalkan upaya mediasi
terhadap 23 desa tersebut. Bila tidak menemukan jalan tengah, Bupati
Buleleng bisa menggunakan kewenangannya untuk menyelesaikan masalah
tapal batas tersebut.
Dari 23 desa yang masih terbelit konflik tapal batas tersebut, 7 di antaranya
berada di Kecamatan Banjar, yakni Desa Gobleg, Desa Kayuputih, Desa
Banyuastis, Desa Banyuseri, Desa Banjar, Desa Banjar Tegeha, dan Desa
Dencarik. Sedangkan di wilayah Kecamatan Seririt juga terdapat 7 desa
terbelit konflik tapalk batas, yakni Desa mayong, Desa Bestala, Desa
Kalianget, Desa Tangguwisia, Desa Ularan, Desa Lokapaksa, dan Kelurahan
Seritit.
“Sebanyak 23 desa yang masih konflik masalah tapal batas ini sebetulnya
sudah beberapa kali kami upayakan mediasi. Namun, sejauh ini memang
belum ada kesepakatan,” ungkap Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten
Buleleng, Made Sudama Diana, saat dikonfirmasi NusaBali di Singarapa,
Selasa (6/11) lalu.
Selain itu, kata Sudama, ada juga karena di lokasi sudah menjadi ladang
usaha/bisnis, sehingga antar desa masih saling klaim masuk wilayahnya.
“Sebenarnya ini persoalan administrasi dinas, bukan masuk ke adat. Kalau
misalnya karena pura terjadi saling klaim, tidak bisa dikaitkan ke sana. Itu
kan krama pangemongnya bisa dari mana saja, walaupun batas desanya
beda,” terang Sudama.
Menurut mantan Camat Busungbiu ini, untuk 23 desa yang belum ada
kesepakatan masalah tapal batas, akan diupayakan mediasi kembali tahun
2019 mendatang. Upaya tersebut dengan meminta masing-masing desa
menunjukkan bukti-bukti yang kuat. Kendati demikian, pihaknya tetap
mengupayakan penyelesaian tapal batas desa dengan mengedepankan
musyawarah mufakat di antara para tokoh masayarakat.
Sementara itu, penetapan tapal batas Desa Giri Emas (Kecamatan Sawan)
dan Desa Bungkulan (Kecamatan Sawan) hingga saat ini belum ada titik
temu, karena persoalan historis. Lokasi yang masih menjadi perdebatan
berada di bagian selatan kedua desa bertetangga ini, yakni antara Banjar
Dauh Muduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Dangin Yeh (Desa Giri Emas).
Pihak Desa Bungkulan mengklaim wilayah itu menjadi bagian dari
administrasi desanya, karena di sana ada Pura Alit yang sebagian besar
pangemponnya adalah krama Desa Pakraman Bungkulan. Di samping itu, di
lokasi ini juga ada 40 kepala keluarga (KK) ber KTP Desa Bungkulan.
“Karena ini ada hubungan historis. Pura Alit itu bagian dari Pura Ancak,
Desa Pakraman Bungkulan, sehingga kami tidak berani melepasnya,”
ungkap Kepala Desa (Perbekel) Bungkulan, Ketut Kusuma Ardana, saat
dikonfirmasi NusaBali, Rabu (7/11) lalu.
Menurut Kusuma Ardana, pihaknya sudah memberikan solusi kepada pihak
Desa Desa Giri Emas, di mana perbatasan desa yang berada di bagian utara
antara Banjar Dauh Munduk (Desa Bungkulan) dan Banjar Segara (Desa Giri
Emas) sepenuhnya diberikan kepada Desa Giri Emas. Pihaknya tidak
memasalahkan perbatasan wilayah tersebut, meski masih menjadi bagian
Desa Bungkulan.
Di sisi lain, pihak Desa Giri Emas mengklaim batas-batas desa sudah pernah
dituangkan dalam SK Bupati Buleleng ketika Banjar Sangsit Dangin Yeh
keluar dari desa iduknya, yakni Desa Sangsit. Bagi Desa Giri Emas, tidak ada
alasan perbatasan wilayah di bagian selatan antara Banjar Dauh Munduk
(Desa Bungkulan) dan Banjar Dangin Yeh (Desa Giri Emas) itu masuk wilayah
Desa Giri Emas.
Meski demikian, baik pihak Desa Giri Emas maupun Desa Bungkulan
menyerahkan sepenuhnya penyelesaian persoalan tapal batas ini kepada
Pemkab Buleleng. Perbekel dua desa bertetangga di Kecamatan Sawan ini
juga mengaku sudah menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan
dalam penetapan tapal batas tersebut kepada Pemkab Buleleng. *k19