Anda di halaman 1dari 3

Karakteristik & konsep pengembangan masyarakat Desa Penglipuran dalam

perspektif konflik
Desa Adat Penglipuran ada sejak zaman Kerajaan Bangli pada sekitar 700
tahun yang lalu. Mengutip Feliksdinata Pangasih dan Ayu Asvitasari dalam
ojs.uajy.ac.id, nama Penglipuran berasal dari kata pengeling dan pura. Pengeling
artinya pengingat, berangkat dari kata dasar eling atau ingat, sedangkan pura adalah
tempat atau tanah leluhur.
Para sesepuh atau penglingsir menyatakan bahwa para leluhur atau pendahulu
Desa Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Mereka kerap
melakukan perjalanan jauh dan beristirahat di daerah bernama Kubu. Jarak kedua
lokasi itu sendiri terbilang cukup jauh untuk ukuran zaman dulu, 25 kilometer. Karena
itulah dulunya Desa Penglipuran dikenal sebagai Desa Kubu Bayung (orang Bayung
yang tinggal di wilayah Kubu).
Orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu semakin banyak dan akhirnya
mereka membentuk desa sendiri yang lepas dari kewajiban sebagai warga Bayung
Gede. Mereka membangun tempat suci sendiri bernama Pura Kahyangan Tiga. Meski
demikian, tata ruang desa dan konsep desa leluhur mereka masih mengikuti konsep
yang ada di Desa Bayung Gede. Desa Penglipuran di Bali memiliki karakteristik
masyarakat yang kuat secara budaya dan sosial. Pengembangan masyarakat di sana
sering dipengaruhi oleh perspektif konflik, baik internal maupun eksternal.
Karakteristik masyarakat di Penglipuran mencakup kehidupan berkelompok
yang erat, tradisi adat yang kental, dan keterlibatan aktif dalam upacara adat. Konflik
mungkin muncul dalam dinamika kehidupan sehari-hari terkait perebutan sumber
daya atau interpretasi yang berbeda terhadap adat. Pengembangan masyarakat di
Desa Penglipuran dapat ditingkatkan melalui dialog terbuka dan partisipasi aktif
seluruh masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Penguatan lembaga adat
dan pendekatan inklusif dapat membantu mengelola konflik dan mempromosikan
pembangunan berkelanjutan.
Peran pemimpin lokal dan kebijakan yang mendukung partisipasi masyarakat
dapat menjadi kunci dalam mengatasi konflik dan mencapai perkembangan yang
seimbang di Desa Penglipuran.
Konflik Desa Penglipuran, Bali, merupakan konflik yang terjadi antara desa
adat dan pemerintah daerah. Konflik ini dipicu oleh perbedaan pandangan mengenai
pengelolaan tanah ayahan desa. Desa adat memiliki pandangan bahwa tanah ayahan
desa merupakan tanah yang dimiliki bersama oleh seluruh warga desa dan tidak boleh
dipindahtangankan. Sementara itu, pemerintah daerah memiliki pandangan bahwa
tanah ayahan desa merupakan tanah milik negara yang dapat dikelola oleh desa adat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari segi desa adat, konflik ini merupakan ancaman terhadap kelestarian desa
adat Penglipuran. Desa adat Penglipuran merupakan desa adat yang terkenal akan
keasrian dan kelestariannya. Desa ini telah ditetapkan sebagai desa wisata dan
menjadi salah satu destinasi wisata populer di Bali. Namun, keberadaan tanah ayahan
desa yang tidak jelas status kepemilikannya dikhawatirkan akan mengancam
kelestarian desa adat ini. Dari segi pemerintah daerah, konflik ini merupakan upaya
untuk menertibkan pengelolaan tanah ayahan desa. Pemerintah daerah menilai
bahwa pengelolaan tanah ayahan desa oleh desa adat selama ini belum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya
kasus-kasus perebutan tanah ayahan desa yang terjadi di Desa Penglipuran.

Konflik Desa Penglipuran telah berlangsung selama beberapa tahun dan belum
ada penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Desa adat tetap bersikukuh
untuk mempertahankan pandangannya, sementara pemerintah daerah tetap
bersikukuh untuk menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berikut
adalah beberapa perspektif dari segi konflik Desa Penglipuran, Bali:

1. Perspektif adat: Konflik ini merupakan konflik antara adat dan modernitas.
Desa adat memiliki pandangan yang tradisional dan cenderung tertutup,
sementara pemerintah daerah memiliki pandangan yang modern dan
cenderung terbuka.
2. Perspektif ekonomi: Konflik ini juga merupakan konflik ekonomi. Desa adat
khawatir bahwa jika tanah ayahan desa disertifikatkan, maka akan ada
pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi pribadi.
3. Perspektif politik: Konflik ini juga dapat dilihat dari sudut pandang politik.
Desa adat khawatir bahwa jika tanah ayahan desa disertifikatkan, maka
akan menjadi ancaman bagi keberadaan desa adat.
Untuk menyelesaikan konflik ini, diperlukan dialog dan musyawarah yang
melibatkan semua pihak terkait. Kedua belah pihak perlu saling memahami dan
menghargai perbedaan pandangan. Selain itu, diperlukan upaya untuk
menyelaraskan pandangan adat dan modernitas, serta pandangan ekonomi dan
politik.

Referensi :
 Desa Wisata Penglipuran: Sejarah, Lokasi, dan Daya Tariknya - detikcom
https://www.detik.com/bali/wisata/d-6375470/desa-wisata-penglipuran-
sejarah-lokasi-dan-daya-tariknya/amp?shem=ssc
 Andriyani, A. A. I., & Martono, E. M. (2015). Pemberdayaan masyarakat
melalui pengembangan desa wisata: Perspektif desa adat Penglipuran, Bali.
Jurnal Ketahanan Nasional, 21(2), 139-154.
 Kustiawan, I. P., & Suarsana, I. M. (2018). Konflik tanah ayahan desa adat
Penglipuran: Perspektif politik dan adat. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora
Udayana, 17(2), 157-174.

Anda mungkin juga menyukai