Anda di halaman 1dari 7

BAB V

PERAWATAN TUBUH TRADISIONAL PRA-NIKAH BAGI CALON PENGANTIN PRIA


DAN WANITA MELAYU DI DESA SEMUNTAI

5.1. Sejarah Lahirnya Tradisi Betangas di Sanggau

Betangas merupakan kegiatan mandi uap hasil rebusan dari rempah-rempah alami.

Agar wewangian dari rempah dapat meresap sempurna kedalam tubuh, calon pengantin akan

duduk mendekati air rebusan rempah, sementara itu sekelilingnya ditutupi tikar pandan atau

dan di tutupi kain.

Masyarakat Melayu Sanggau mempercayai bahwa tradisi Betangas sudah ada sejak

Putri Daranante membangun kerajaan Sanggau di Labai Lawai. Pada tanggal 7 april 1310 M,

Putri Daranante membangun kerajaan Sanggau di tempat persinggahannya Labai Lawai

ketika menyusuri Sungai Sekayam untuk pulang ke Sukadana. Sejak kerajaan Sanggau

dibangun, tradisi Betangas ini mulai dilakukan oleh anggota kerajaan atau anggota keraton

saat akan melaksanakan acara pernikahan. Tradisi ini bukan mutlak dilakukan pertama kali

oleh keluarga keraton Sanggau, melainkan tradisi Betangas ini adalah tradisi yang di adobsi

dari kerajaan Melayu Riau. Masyarakat Melayu Riau mempercayai Tradisi Betangas sebagai

bentuk pembersihan diri sebelum melaksanakan pernikahan. Dengan melakukan rangkaian

tradisi Betangas, pengantin di anggap suci luar dalam sehingga sudah siap untuk menjadi

pasangan hidup orang lain.

Dari hasil wawancara dengan bapak SE yang mengetahui sejarah tradisi Betangas,

diharapkan masyarakat Melayu Sanggau dapat melestarikan tradisi Betangas yang telah susah

payah ditanamkan oleh keluarga keraton kepada masyarakatnya.

Seiring berjalannya waktu, keluarga keraton Sanggau merasakan dampak positif dari

tradisi Betangas sehingga mereka memperkenanalkan tradisi ini kepada masyarakat Melayu

Sanggau untuk di lakukan sebelum menjelang pernikahan. Dimulai dari lingkungan kerajaan
yang sengaja menceritakan khasiat dari tradisi Betangas kepada pekerja dan penjaga juga

lainnya.

Tradisi ini kemudian sengaja digelar oleh keluarga keraton dikerajaan dengan terbuka,

dengan mempertontonkan bahan apa saja yang digunakan serta alat apa saja yang dipakai.

Meskipun terbuka, calon pengantin yang melakukan Betangas tetap di jaga privasinya dengan

menutupi tubuh mereka menggunakan sehelai kain kuning. Setelah calon pengantin

memasuki tempat Betangas, kain penutup tubuhnya di gunakan untuk menutup ruang atas

yang masih terbuka agar uap dari ramuan Betangas tidak keluar sehingga dapat menyerap ke

tubuh dengan maksimal.

Dengan melihat secara langsung pelaksanaan Betangas, masyarakat melayu Sanggau

mulai mempraktekkan aktifitas mandi uap tersebut kepada anak-anaknya yang hendak

menikah dengan tujuan mensucikan diri sebelum menikah. Pada masa itu hanya masyarakat

Melayu yang datang ke Keraton dan menyaksikan Betangas yang dapat melakukan rangkaian

tradisi tersebut. Karena hanya mereka yang mendapat ayat-ayat bacaan (Al-Qur’an) yang

dianjurkan di baca saat sedang mempersiapkan bahan,alat bahkan saat pelaksanaan Betangas.

Sementara masyarakat yang tidak hadir dan menyaksikan tradisi Betangas secara langsung

tidak dapat melakukannya sendiri. Sejak saat itu, masyarakat yang datang ke keraton saat

tradisi Betangas di pertontonkan menjadi tokoh pelaku tradisi Betangas untuk masyarakat

sekitar. Ketika mereka lanjut usia dan wafat, anak-anak dan cucunya lah sebagai penerus

tradisi Betangas hingga saat ini.

Dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber yang mengetahui sejarah tradisi

Betangas, mereka menceritakan bahwa sejarah yang mereka ketahui juga didapat dari orang

tua terdahulu dan juga tokoh adat. Dari cerita orang terdahulu dan beberapa tokoh adat

mengenai tradisi Betangas, serta pantang larang yang berkaitan dengan betangas ini yang

melatarbelakangi mereka melakukan tradisi Betangas hingga saat ini. Hasil wawancara
dengan informan SE berusia 44 tahun, bapak SE ini mengatakan bahwa tradisi Betangas yang

ia ketahui dari orang tuanya, dan juga tokoh adatnya di perkenalkan pada masa ia hendak

melaksanakan upacara pernikahan. Bapak SE mempercayai petuah yang ada pada tradisi ini

membawa dampak positif hingga bapak SE melakukan tradisi ini pada anaknya, dan ia juga

berkata akan menurunkannya pada generasi berikutnya dengan tujuan melestarikan tradisi

Betangas agar tidak hilang atau kalah pada teknologi modern yang lebih praktis tetapi tidak

ada nilai dan implementasi kebudayaan yang terkandung didalamnya. Saat peneliti

mewawancarai informan, subjek mengatakan sebagai berikut:

“Sebenarnya tradisi Betangas tuk kula ndak tau betul kati ia bisa tejadi,

Cuma yang kula tau tradisi tuk ada pas Putri Daranante singgah dan bikin kerajaan

kita tuk, kerajaan Sanggau. Tradisi tuk pun di amik dari Kepulauan Riau, ditunak

oleh orang Melayu kita karna sama-sama Melayu. Oleh orang Melayu Riau tradisi

tuk dijadikan sebagai ritual pembersihan, semacam pensucian gak. Orang yang nak

menikah tunak harus suci luar dalam, jadi dengan Betangas tuk dianggap mampu

mensucikan seseorang luar dalam menurut orang Melayu Kepulauan Riau. Cerita

yang bapak tau ni pun dapat dari orang tua-tua jaman dulu, dari ketua adat kita. Tik

sejarah tertulis dari buku atau catatan bapak ndak tau sejarah ini ada ditulis

dimena”.

Dari hasil wawancara dengan bapak SE yang mengetahui sejarah tradisi Betangas,

diharapkan masyarakat Melayu Sanggau dapat melestarikan tradisi Betangas yang telah susah

payah ditanamkan oleh keluarga keraton kepada masyarakatnya. Selain sebagai aset budaya

yang ada pada masyarakat Melayu, tradisi Betangas ini juga memberikan dampak positif bagi

tubuh, dari proses Betangas yang menggunakan bahan-bahan alami ini akan menghasilkan

aroma harum yang meresap pada kulit, selain itu tradisi ini juga dapat menghilangkan
keringat pada hari H pernikahan. Dengan tidak adanya keringat yang keluar pada hari H juga

memberikan kenyamanan bagi pengantin untuk menjadi ratu dan raja semalam.

5.2. Pandangan Masyarakat Melayu Sanggau Terhadap Tradisi Betangas.

Masyarakat di Desa Semuntai yang terdiri dari beberapa suku, menilai tradisi

Betangas dengan pandangan berbeda dari sudut pandang suku, dan kelompok usia yang

berbeda pula. Pada masyarakat Melayu dengan kelompok usia 30 tahun keatas mempercayai

tradisi Betangas sebagai tradisi turunan raja-raja yang wajib dilakukan agar tidak kualat

terhadap patuah. Sebagian masyarakat dengan kelompok usia 17 hingga 25 tahun

mempercayai tradisi Betangas sebagai aset budaya yang harus dilestarikan, dan juga sebagai

bentuk menghormati aturan tata cara pernikahan menurut orang tuanya, keluarganya serta

lingkungan sosialnya.

Dari hasil wawancara dengan narasumber masyarakat Melayu yang mengetahui

tradisi Betangas dari berbagai kalompok usia, mereka menjelaskan bagaimana mereka

melihat tradisi Betangas yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat sekitar yang hendak

melakukan acra pernikahan. Mereka menjelaskan berdasarkan apa yang mereka ketahui,

seperti hasil wawancara peneliti dengan narasumber informan EH berusia 36 tahun, ibu EH

ini melihat tradisi Betangas sebagai bentuk penghormatan pada tradisi warisan turunan raja-

raja Melayu terdahulu, mewawancarai informan sebagai berikut:

“Orang jaman dolok pecaya Tradisi Betangas di lakukan langsung oleh

keluarga kerajaan yang rata-rata orang kerajaan tu orang-orang pandai. Mereka tau

apa yang baik dan ndak. Sebagai rasa cinta ia dengan masyarakat, ia beri Tradisi

Betangas ke kita. Kita ikut Tradisi ini berati kita hormat dengan ia. Petuah orang

duluk, kalau ndak dilaksana biasanya tulah rangkah. Kita sebagai manusia ndak

boleh bangkang, kalau ibu apa yang di nasehatkan orang tua ibu ikut, biar ndak

tulah. Ibu ikut Tradisi Betangas dari dulu Alhamdulillah pesta pernikahan lancar”
Penjelasan dari informan EH yang menganggap tradisi Betangas atas dasar

menghormati petuah dari keluarga kerajaan terdahulu yang menanamkan tradisi Betangas

pada masyarakatnya, ibu EH juga merasakan kelancaran acaranya saat mengikuti anjuran

petuah yang sudah ada sejak dulu. Masih dengan kalangan masyarakat melayu, dengan

kelompok usia yang lebih muda informan WN berusia 19 tahun dalam wawancara

mengatakan:

“Saya ndak begitu paham sih kak kalau detailnya Tradisi ini, soalnya saya

pun pena nikah kak. Tapi kalau saya nikah nanti pasti tetap pakai tradisi Betangas

soalnya inikan petuah orang tua. Lagian kalau bukan kita sepa lagilah yang nak

neruskan tradisi Betangas. Sebagai penerus, kami juga selalu diajarkan untuk hormat

dengan petuah, kalau ndak takutnya kita dapat balak kak. Saya dan penerus lainnya

pasti tetap menjalankan tradisi ini meskipun sekarang ni memang banyak Betangas

dalam bentuk modernnya kayak sauna”.

Penjelasan dari informan WN mengenai pandangannya terhadap tradisi Betangas ini

ia mengatakan akan menjaga bahkan meneruskannya kepada generasi berikutnya. Menurut

WN, jika bukan generasinya yang melestarikan tradisi Betangas lantas generasi mana yang

akan meneruskannya. WN juga akan melakukan tradisi Betangas sebagai bentuk pelestarian

tradisi Betangas ini secara nyata.

Tradisi Betangas ini juga mendapat perhatian dari suku lain seperti suku Dayak.

Sebagian suku Dayak yang mengetahui tradisi Betangas sangat tertarik dengan khasiat yang

ramai diperbincangkan, mereka percaya setiap tradisi yang diturunkan dari leluhur

mempunyai tujuan yang baik untuk generasinya. Sedangkan untuk sebagian masyarakat suku

Dayak juga ada yang tidak mengetahui tradisi Betangas. Dalam wawancara terhadap salah

satu masyarakat suku Dayak, narasumber EN berusia 23 tahun mengatakan:


“Kula tau di situk ada tradisi Betangas mpuk sidak urang Melayu, kalak asa nak

ngelabak cuman kula udah nikah dan bukan urang Melayu. Betangas yak bukan

tradisi biasa yang di kerja cuma-cuma. Tapi tradisi Betangas yang kula tau ada

khasiat pakai pengantin, biar ndak bau, ndak bepeluh. Yang nama tradisi turun

temurun pasti ada manfaat yang sengaja dilestarikan. Penjelasan narasumber EN

mengenai pandangan terhadap tradisi Betangas ini mengenai keingin tahuannya

mencoba tradisi Betangas namun ia tidak dapat melakukannya”.

Berbeda juga pada masyarakat Jawa yang mayoritas adalah masyarakat pendatang

luar, mereka yang menikah dengan masyarakat Melayu bahkan mengikuti tradisi Betangas

walaupun mereka sebenarnya mempunyai tradisi pra-nikah tersendiri. Mereka sangat

menghargai tradisi Betangas dan merasakan sendiri manfaat dari tradisi Betangas.

Masyarakat Jawa melihat tradisi Betangas sebagai pembersihan diri dengan cara mandi yang

juga terdapat pada tradisi Jawa tetapi beda tata cara pelaksanaan dan penyebutan nama.

Menurut narasumber HRW yang merupakan masyarakat Jawa pendatang, kemudian menikah

dengan orang Melayu dan melaksanakan tradisi Betangas mengatakan :

“Saya pindahan dari Demak, kemarin menikah disini saya mengikuti tradisi Mandi

Betangas. Saya ikut tradisi suami, kebetulan suami Melayu. Sebenarnya sih tradisi

Mandi Betangas yang saya lakukan kemarin, juga dilakukan ditradisi jawa, cuman

nama nya saja yang berbeda. Kalau diJawa khususnya tradisi yang sering keluarga

saya lakukan, nama mandinya itu mandi pangir. Cara pelaksanaannya hampir sama

menggunakan dedaunan, rempah dan bahan alami lainnya. Tujuannya juga hamper

sama sebagai pembersihan diri sebelum melaksanakan upacara pernikahan. Tetapi

memang ada yang berbeda dengan Mandi Betangas, dari bahannya, alatnya dan cara
mandinya yang menggunakan uap dari rebusan rempah. Kalau di Jawa langsung

mandi dari air rempah nya itu. Tapi sama-sama mempunyai khasiat yang bagus”.

Dari hasil wawancara informan HRW suku Jawa yang mengikuti tradisi Betangas

mengatakan bahwa, di Jawa juga terdapat tradisi mandi pemebersihan sebelum melaksanakan

upacara pernikahan yang sedikit berbeda dari mandi pembersihan sebelum melaksanakan

upacara pernikahan di suku Melayu Sanggau. Perbedaan yang dimaksud terdapat pada

bahan-bahan yang digunakan, alat, dan tata cara yang dilakukan.

5.3. EKSISTENSI TRADISI BETANGAS DI DESA SEMUNTAI

Masyarakat yang melakukan Tradisi Betangas terus menurun hampir setiap tahunnya,

meskipun masih dalam skala kecil namun hal ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi

masyarakat untuk melupakan bahkan meninggalkan tradisi Betangas hingga akhirnya Tradisi

Betangas ini hilang dengan sendirinya.

Tradisi Betangas pada sebagian masyarakat modern saat ini dianggap salah satu

bagian pra-nikah yang banyak memakan waktu dan tenaga. Didalam pelaksanaan tradisi

Betangas dilarang keras untuk menggunakan alat yang terbuat dari besi atau alumunium

seperti peralatan dapur yang pada umumnya terbuat dari alumunium. Bahan yang digunakan

juga tidak boleh kurang satu pun, meskipun dari alam bahan yang digunakan untuk

pelaksanaan tradisi Betangas ini hampir jarang ditemukan karena kurangnya pelestarian

tumbuhan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai